Anda di halaman 1dari 13

Trauma Duodenum, Trauma Tumpul Abdomen, Cidera Pankreaticoduodenale

MEKANISME TRAUMA Trauma abdomen terjadi sebagai hasil dari trauma akselerasi-deselerasi dan trauma akibat luka tembak. Kebanyakkan trauma abdomen apakah karena kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh, pukulan langsung ke abdomen disebabkan oleh cedera akselerasi dan deselerasi. Pada saat tubuh dalam keadaaan melaju/akselerasi dan tiba-tiba berhenti mendadak maka organ-organ intraabdominal yang dalam keaadan terisi dengan cairan dapat robek dan mengalami avulsi sehingga dapat menyebabkan robekkan mesenterium, perdarahan, ruptur lien dan avulsi pedikel ginjal. Mayoritas cedera di duodenum adalah disebabkan oleh trauma tembus dan cedera ini kebanyakkan di akibatkan oleh luka tembak (75 %) dan sisanya akibat luka tikaman (20%). Cedera akibat tikaman pisau biasanya menyebabkan laserasi pada dinding duodenum, sedangkan proyektil menghasilkan luka dengan derajat kerusakan jaringan yang berbeda-beda. Trauma pada duodenum jarang terjadi, hanya kira-kira 5 % dari cedera yang terjadi pada abdomen. Trauma pada duodenum dapat disebabkan oleh trauma tumpul dan trauma tembus. Trauma tumpul biasanya disebabkan oleh karena kecelakaan lalulintas, jatuh atau dipukul. Trauma tembus disebabkan oleh luka tikam atau luka tembak. Insiden bervariasi pada lokasi anatomis dari duodenum dimana bagian yang paling sering terkena adalah bagian kedua (33%), bagian ketiga dan bagian keempat (20%), bagian pertama (15%). Trauma tembus bisa terjadi diseluruh bagian duodenum sedang pada trauma tumpul, mayoritasnya terjadi pada bagian kedua dan ketiga. Trauma proyektil memiliki tipe kecepatan yaitu kecepatan rendah dan kecepatan tinggi. Luka akibat peluru dengan kecepatan rendah terbatas pada jalan peluru, namun tidak tertutup kemungkinan arahnya akan melenceng di dalam abdomen. Luka peluru dengan kecepatan tinggi mempunyai lubang masuk yang kecil dan lubang keluar yang besar. Kerusakan jaringan tergantung jarak tembak. Jarak tembak yang dekat menyebabkan kerusakan jaringan yang luas, sedangkan jarak tembak yang jauh menyebabkan kerusakan ringan kecuali langsung mengenai organ atau pembuluh darah. Daya kinetik yang kompleks pada trauma tumpul duodenum dapat menyebabkan bentuk luka remuk, terpotong atau pecah. Bentuk cedera yang remuk terjadi akibat pukulan langsung ke dinding anterior abdomen yang mengenai doudenum yang terfiksir terhadap kolumna vertebralis yang rigid. Pukulan yang terlokalisir akan ditransmisikan ke duodenum yang teregang dapat menyebabkan cedera tipe blow out. Pada kecelakaan lalulintas dengan laju kecepatan tinggi mengalami mekanisme akselerasi /deselerasi yang

cepat maka akan terjadi luka robek. Cedera abdominal yang paling spesifik akibat penggunaaan sabuk pengaman adalah terjadinya Chances fractur: fraktur di lumbal atas vertebra, paling sering adalah L-1, bersamaan dengan perforasi usus halus (yang paling sering adalah yeyunum). Tetapi cedera abdomen karena sabuk pengaman dapat menyebabkan laserasi kolon, usus besar, hepar & lien. EVALUASI TRAUMA ABDOMEN Pasien Yang Tidak Sadar Jika pasien tidak sadar dengan trauma multipel, harus disimpulkan bahwa telah terjadi cedera intraabdominal sehingga dapat disingkirkan dengan pemeriksaan yang spesifik. Cara tercepat untuk menentukan cedera intraabdominal adalah dengan diagnostic peritoneal lavage (DPL) setelah mengosongkan kandung kemih dengan kateter. Teknik yang dipilih adalah teknik terbuka (open technique). Dilakukan insisi kecil di infraumbilikus dan diteruskan ke peritonium, kemudian pegang menggunakan forsep dan buka melalui penglihatan langsung. Kemudian kateter lavage dimasukkan. Jika tidak ada darah ditemukan, 1 liter cairan saline dimasukkan ke dalam kavitas peritoneum dan kemudian dikeluarkan kembali. Hasil positif jika ada: 1) secara makroskopik terdapat darah ; 2) adanya lebih dari 100.000 sel darah merah / mL; dan/atau 3) mengandung cairan empedu, feses atau bakteri. Jika pasien tidak sadar dengan trauma multipel yang stabil hemodinamikanya, terutama jika dicurigai dengan cedera organ abdominal, pemeriksaan CT abdomen dipilih karena cedera lien atau hepar dapat dilihat. Pasien Yang Sadar Dengan pengetahuan tentang tanda dan gejala pada pasien yang sadar sangat membantu setiap dokter. Pasien mungkin mengeluh adanya nyeri abdomen dan/atau mungkin menunjukkan tanda-tanda iritasi peritoneal yang jelas. Ukuran lingkaran abdomen yang meningkat secara terus menunjukkan indikasi bagi perdarahan intraabdominal yang berat. Jika tidak ada tanda-tanda peritonitis, belum tentu tidak terjadi cedera pada organ intra abdomen intraabdominal.Pada pasien dengan hemodinamika yang stabil sebaiknya diamati tanda dan gejala pada abdomen dengan pemeriksaan abdomen secara serial. Jika pasien yang memerlukan terapi operatif, sebaiknya terlebih dahulu dilakukan peritoneal dialisis sebelum dilanjutkan tindakan bedah. MORTALITAS Dilaporkan bahwa cedera pada duodenum menunjukkan angka mortalitas yang bervariasi dari 5 25 % ( 15 %). Kebanyakan mortalitas pada pasien dengan cedera duodenum disebabkan oleh cedera-cedera penyerta dari organ lain.Cedera tunggal pada duodenum merupakan penyebab kematian pada minoritas kasus (6-12%). Kematian pada saat awal setelah suatu cedera duodenum biasanya berhubungan dengan adanya cedera pada pembuluh darah besar. Dilaporkan bahwa sebagian besar pasien yang meninggal menunjukkan gejala syok. Angka mortalitas juga dipengaruhi oleh mekanisme trauma

yang menunjukkan bahwa angka mortalitas pada trauma tumpul sedikit lebih tinggi dibandingkan pada trauma tembus (20% versus 15 %). Adanya cedera pada duktus bilier dan organ-organ utama yang berhubungan dengan pankreas mempunyai resiko mortalitas 2 kali lebih tinggi di bandingkan cedera tunggal duodenum.Keterlambatan dalam mendiagnosa cedera duodenum melebihi 24 jam akan meningkatkan angka mortalitas samapi 40%. DIAGNOSIS Trauma Tembus Diagnosis trauma tembus duodenum biasanya ditegakkan diatas meja operasi. Alur masuknya pisau atau tembakan yang melewati duodenum membutuhkan visualisasi yang teliti dan perlu eksplorasi yang menyeluruh dari duodenum untuk menyingkirkan kemungkinan cedera organ lain. Trauma Tumpul Diagnosis trauma tumpul duodenum lebih sulit dibandingkan dengan trauma tembus. Dilaporkan bahwa diagnosis sering terlambat di tegakkan sehingga pasien dengan kecurigaan trauma ini memerlukan penanganan dan monitor oleh seorang ahli bedah yang berpengalaman. Trauma tumpul duodenum jarang terjadi dan sangat sukar di diagnosis dibandingkan trauma tembus dan dapat berdiri sendiri atau bersamaan dengan trauma pada pancreas. Keadaan kompresi pada duodenum biasanya terjadi karena hentakkan antara tulang belakang dan setir, dashboard mobil atau lainnya yang terletak di depan abdomen. Beberapa cedera yang berhubungan dengan fraktur flexi atau distraksi pada vertebara L1L2 (Chances fracture). Biasanya trauma duodenum terjadi akibat tendangan atau pukulan pada epigastrium. Yang jarang terjadi adalah akibat deselerasi yang bila terjadi biasanya menyebabkan robekkan pada perbatasan antara bagian ke tiga dan ke empat duodenum, dan bahkan pernah di laporkan robekan terjadi pada duodenum bagian pertama dan kedua.Trauma ini terjadi pada perbatasan bagian duodenum yang bebas (intraperitoneal) dan bagian yang terfiksir (retroperitoneal).Bila ada kecurigaan maka dasar untuk menegakan diagnosa adalah perlu diketahui mekanisme trauma serta permeriksaan jasmani. Perubahan klinis yang pada awal terjadi cedera tidak terlihat jelas dan akan tampak bila keaadan memberat dan berkembang menjadi peritonitis dan mengancam nyawa. Pada perforasi retroperitoneal yang masif, keluhan yang muncul hanyalah kekakuan pada abdomen bagian atas dengan peningkatan suhu yang progresif, takikardi, dan terkadang terdapat keluhan mual. Setalah beberapa jam isi duodenum akan mengalami ekstravasasi kedalam kavum peritoneum dan berkembang menjadi peritonitis. Bila isi tumpah kedalam kantong yang lebih kecil, biasanya akan terbungkus dan terlokalisasi, walaupun terkadang dapat bocor kedalam cavum peritonium melalui foramen Winslowi dan akhirnya timbul peritonitis generalisata.

Secara teori, perforasi duodenum dihubungkan dengan kebocoran amilase dan enzim pencernaan lainnya, dan telah di kemukakan bahwa penentuan konsentrasi serum amilase dapat membantu dalam diagnosis. Pada cedera duodenum, akibat kebocoran konsentrasi amilase bervariasi dan konsentrasi amilase seringkali membutuhkan waktu beberapa jam sampai hari untuk meningkat setelah cedera. Pemeriksaa serial terhadap kadar serum amilase sensitivitasnya masih lemah tetapi penting dilakukan karena turut mempengaruhi penanganan. Pemeriksaan radiologi dapat membantu menegakkan diagnosa.Tanda radiologi cedera duodenum. Foto polos abdomen dapat memperlihatkan udara di sepanjang ginjal kanan atau sepanjang tepi muskulus psoas kanan atau anterior sampai ke tulang belakang bagian atas dan udara bebas intraperitoneal, gas dalam saluran empedu (walaupun jarang terlihat). Hilangnya garis psoas kanan disertai udara retroperitoneal yang sering susah dibedakan dengan udara pada colon transversum atau fraktur processus tranversus pada vertebra lumbalis merupakan indikasi adanya trauma retroperitoneal. Pemeriksaan serial dengan Meglumine ( Gastrografin, Schering, Berlin, Germany) material yang larut air melalui NGT dibawah kontrol fluoroskopi dengan posisi pasien lateral kanan, memberikan hasil yang positif pada 50 %. Bila tidak ada kelainan, dilanjutkan dengan posisi supine dan posisi lateral kiri. Bila hasil gastrografin negatif, harus diikuti dengan kontras barium, karena dapat dengan mudah mendeteksi perforasi yang kecil. Pemeriksaan saluran cerna bagian atas dengan media kontras juga dapat diindikasikan pada pasien dengan kecurigaan hematom duodenum, karena dapat memperlihatkan gambaran coiled spring sebagai obstruksi total oleh hematom. CT scan di tambahkan sebagai alat diagnostik untuk cedera duodenum. Kecurigaan ruptur duodenum retroperitoneal paling baik dikonfirmasi dengan CT-scan abdomen dengan kontras. CT sangat sensitif dengan adanya sejumlah kecil udara pada retroperitoneal, darah atau zat kontras yang mengalami ekstravasasi. Adanya penebalan dinding periduodenal atau hematoma tanpa ekstravasasi kontras harus di periksa dengan pemeriksaan gastrografin dan pemeriksaan kontras barium jika hasil pemeriksaan awal negatif atau normal. Para peneliti menekankan bahwa gambaran trauma duodenum yang tidak khas / samar pada CT abdomen sebaiknya diindikasikan untuk tindakkan laparotomi. DPL tidak dapat dipercaya dalam mendeteksi trauma duodenum ( isolated injury) dan trauma retroperitoneal lainnya. Tapi DPL (40%) berguna untuk mendeteksi cedera penyerta intraabdominal. Penemuan amilase atau empedu pada DPL menunjukan indikator spesifik akan kemungkinan cedera duodenum. Laparoskopik diagnostik tidak memberikan perkembangan yang berarti dalam mendiagnosis cedera duodenum dan karena letak anatomi dan laparoskopik diagnostik memiliki modalitas yang kurang baik untuk mengevaluasi cedera organ tersebut. Eksplorasi laparotomi masih menjadi tes diagnostik yang paling baik untuk kecurigaan adanya suatu trauma duodenum walaupun gambaran radiologinya normal.

KLASIFIKASI TRAUMA DUODENUM (AAST) Grade I Hematoma Deskripsi cedera melibatkan satu segmen duodenum

Laserasi II

laserasi sebagian ketebalan dinding, tidak ada perforasi melibatkan lebih dari satu segmen duodenum

Hematoma

Laserasi III Laserasi

laserasi < 50% sirkumferensi laserasi 50 sampai 75% sirkumferensi D2

50 sampai 100% sirkumferensi segmen D1,D3,D4 IV Laserasi laserasi >75% sirkumferensi D2

Melibatkan ampulla vater atau distal saluran empedu V Laserasi laserasi luas dari kompleks duodenumpankreatico devaskularisasi duodenum

Vaskular

TERAPI Penanganan trauma duodenum ditentukan melalui beratnya trauma dan kemungkinan komplikasi setelah operasi. Sekitar 70- 80 % cedera duodenum dapat dijahit primer dan sekitar 20-30 % merupakan cedera berat yang memerlukan prosedur yang kompleks. Cedera duodenum yang ringan dan tanpa cedera pada pankreas dapat dijahit primer sedangkan cedera duodenum yang berat memerlukan strategi yang lebih kompleks. Ada 5 faktor yang berhubungan dengan keparahan cedera duodenum dan morbiditas dan mortalitas. Dan terdapat faktor keenam yaitu adanya cedera pada pankreas.

DETERMINAN KEPARAHAN CEDERA DUODENUM American Association for the Surgery of Trauma (AAST) Organ Injury Scaling Committee. Cedera duodenum dibagi atas 4 grade. Penjahitan primer dapat dilakukan pada cedera grade I dan II, sedangkan cedera grade III-V memerlukan strategi yang lebih kompleks.
Determinant keparahan Cedera Duodenum NO 1 2 3 4 5 DERAJAT RINGAN Agent Ukuran Lokasi Duodenum Waktu cedera-Operasi Cedera Penyerta Prognosis : Mortalitas 6 Mobiditas 6% 14 % Luka Tusuk < 75% Diameter Pars III, IV < 24 Jam Tidak ada 0% BERAT Tumpul / Peluru >75% Diameter Pars I, II > 24 Jam Ada ( Pankreas, CBD, dll 6%

Hal yang perlu diperhatikan dalam hubungannya dengan pertimbangan anatomis dan fisiologinya adalah lokasi duodenum dan pembagiannya, Hubungan anatomis dengan ampula vater, Karakteristik cedera (laserasi simpel, destruksi dinding duodenum), Keterlibatan sirkumferensial duodenum, Adanya cedera traktus biliaris, pankreas dan pembuluh darah besar. Perhitungan waktu dimulainya operasi sangat penting karena angka kematian meningkat dari 11 ke 40% bila interval waktu operasi lebih dari 24 jam. Sebaiknya yang paling awal dilakukan adalah memastikan letak proksimal dan distal dari Aorta serta distal dari vena cava inferior sebagai kontrol. Awalnya manuver Kocher di lakukan dengan memisahkan perlengketan peritoneum lateral dari duodenum dan memobilisasi bagian kedua dan ketiga duodenum ke medial dengan kombinasi diseksi tajam dan tumpul. Cara masuk kedalam kandung empedu melalui ligamentum gastrokolika akan mencapai ke aspek posterior dari bagian proksimal bagian pertama duodenum dan aspek medial bagian kedua duodenum. Inspeksi yang lebih baik untuk bagian ke tiga dan keempat duodenum, dengan mobilisasai lig.Treitz dan melakukan manuver Cattell dan Braasch, dengan mobilisasi kolon kanan (termasuk flexura hepatika) dari kanan ke kiri sehingga kolon kanan dan usus halus dapat dilihat, dengan insisi secara hati-hati pada perlekatan di retroperitoneal dari kuadran kanan ke lig.Treitz. Bila hasil eksplorasi negatif, tetapi masih terdapat kecurigaan akan cedera duodenum, Brotman dkk merekomendasikan pemberian metilen blue melalui NGT. Bila terlihat berwarna (+),dapat dipastikan lokasi cedera. Secara sederhana duodenum dapat dibagi menjadi bagian atas yang termasuk bagian I dan II serta bagian bawah yaitu bagian III dan IV. Bagian atas memiliki struktur anatomis yang kompleks (termasuk duktus biliaris dan spincter) dan pilorus. Hal ini membutuhkan manuver langsung untuk mendiagnosa cedera tersebut (cholangiogram, inspeksi visual secara langsung) dan teknik yang kompleks untuk memperbaiki defek. Bagian I dan II

duodenum memiliki vaskularisasi yang padat dan aliran darahnya bergantung pada kaput pankreas, sehingga diagnosis dan penanganan setiap cedera sangat kompleks. Bagian bawah relatif simpel untuk ditangani sama seperti penanganan cedera pada usus halus,termasuk debridement, reseksi dan reanastomosis. Cedera transeksi duodenum yang komplit, debridemant tepi mukosa dan penjahitan primer harus dilakukan . Jika mobilisasi dari kedua ujung duodenum tidak mungkin dilakukan, atau cedera sangat dekat dengan ampulla dan mobilisasi kedua ujung duodenum dapat membahayakan saluran empedu, maka Roux-en-Y jejenum anastomose merupakan pilihan yang cocok. Hematom intramural (grade I) Cedera duodenum yang jarang, lebih banyak terjadi pada anak-anak yang mengalami trauma pada abdomen bagian atas, oleh karena fleksibilitas dan kelenturan otot dinding perut anak. Cedera ini dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah dalam lapisan submukosa dan subserosa dinding duodenum, yang memperlihatkan bentuk seperti sosis dan dapat menimbulkan obstruksi duodenum parsial atau komplit. Foto polos abdomen akan memperlihatkan bayangan massa tak jelas pada kuadran kanan atas dan obliterasi bayangan psoas kanan. Pemeriksaan serial traktus gastrointestinal atas memperlihatkan dilatasi lumen duodenum seperti gulungan kumparan pada bagian kedua dan ketiga duodenum yang berhubungan dengan banyaknya valvula koniventes. Diagnosis dapat dibuat dengan CT-scan double kontras atau pemeriksaan saluran cerna bagian atas dengan menggunakan kontras (meglumine diatrizoate), diikuti dengan pemeriksaan barium untuk mendeteksi tanda coiled- spring sign atau stacked coin sign. Tanda ini adalah karakteristik untuk hematom duodenum intramural. Cedera ini biasanya ditangani tanpa pembedahan dan hasil terbaik biasanya diperoleh melalui pengobatan konservatif, apabila cedera yang lain dapat dikesampingkan. Setelah penanganan konservatif selama 3 minggu dengan aspirasi NGT secara kontinyu dan nutrisi parenteral total. Bila tanda obstruksi tidak meredah/ sembuh spontan, pasien kembali dievaluasi dengan pemeriksaan kontras saluran cerna bagian atas dengan interval 5-7 hari. USG dapat juga dilakukan untuk follow up resolusi hematom duodenum. Bila tidak ada perkembangan maka disarankan tindakkan laparotomi untuk menyingkirkan adanya perforasi duodenum atau cedera kaput pankreas (pada sekitar 20% pasien) yang juga dapat menjadi penyebab alternatif untuk terjadinya obstruksi duodenum. Pada penelitian 6 kasus hematom duodenum dan yeyunum akibat trauma tumpul, hematom mengalami resolusi tanpa tindakan operasi sebanyak 5 kasus, durasi lama rawat rat-rata 16 hari ( antara 10- 23 hari) dan durasi nutrisi parenteral total rata-rata 9 hari ( antara 4-16 hari). Pada kasus ke 6 pemeriksaan serial abdomen bagian atas mempelihatkan adanya obstruksi yang gagal mengalami resolusi setelah penanganan konservatif selama 18 hari dan pada saat dilakukan laparotomi ditemukan striktur pada yeyunum dan kolon karena terbentuk fibrosis, tetapi akhirnya dapat direseksi dengan sukses. Hematom intramural yang besar yang melibatkan dua atau lebih segmen jarang sembuh secara spontan. Penanganan hematom intramural ditemukan pada laparotomi kontroversial. Salah satu pilihan yaitu dengan melakukan insisi longitudinal sepanjang serosa kebatas antemesenterika, membuka serosa, mengevakuasi hematom dan serosa yang melekat ke

lapisan muskular tanpa merusak mukosa dan dengan hati-hati memperbaiki dinding usus dengan melakukan penjahitan menggunakan jahitan interuptus 4-0. Perlu diperhatikan bahwa hal ini dapat menimbulkan sedikit robekan bahkan sampai robekan yang tebal pada dinding duodenum. Bila hal itu terjadi maka diperlukan dekompresi gastrik yang lama bahkan feeding yeyunostomi sebaiknya di buat. Pada kasus ini drainase tidak diperlukan. Pilihan lain adalah dengan hati-hati mengeksplorasi duodenum untuk menyingkirkan perforasi. Drainase perkutaneus terhadap hematom duodenum sudah pernah dilaporkan. Perforasi Duodenum (grade II) Sebagian besar perforasi duodenum dapat ditangani dengan prosedur operasi yang sederhana, terutama untuk kasus trauma tembus dimana interval waktu antara trauma dan operasi harus singkat. Metoda perbaikan cedera duodenum dan prosedur supportif untuk pencegahan dehisensi akan di jelaskan berikut ini. Laserasi berat duodenum ditutup secara primerdebridement minimal. Lapisan dalam ditutup dengan jahitan absorbel 4-0. Diikuti jahitan seromuskular nonabsorbel interuptus 40. Luka obliq atau longitudinal ditutup sesuai arah cedera dengan jahitan sekaligus lapisan serosa,muscular dan submukosa. . Laserasi simpel pada duodenum dapat ditutup primer. Laserasi sepanjang axis duodenum dapat dijahit longitudinal atau transverse. Penjahitan secara transverse lebih disukai oleh karena bisa terjadi penyempitan lumen apabila penjahitan secara longitudinal. Repair Perforasi Kebanyakkan cedera duodenum dapat diperbaiki dengan repair primer satu atau dua lapis. Penutupan dapat dilakukan secara tranversal, jika memungkinkan hindari kontak dengan lumen dan dalam penjahitan hindari juga inversi yang berlebihan. Duodenotomi longitudinal dapat menyerupai tranversal bila panjang cedera duodenum <50% lingkar duodenum. Bila penutupan primer dapat merusak lumen duodenum, maka ada beberapa pilihan yang direkomendasikan. Pedicled mucosal graft menggunakan segmen yeyunum atau dengan flap gastric island dari corpus gastricum yang dianjurkan untuk defek duodenum yang lebar. Kemungkinan lain adalah menggunakan tambahan dari serosa yeyunum untuk menutup defek duodenum. Walaupun cukup memuaskan dalam penelitian, aplikasi klinik kedua metoda ini sangat terbatas dan pernah dilaporkan terjadi kebocoran pada garis sutura duodenum. Meletakan loop yeyunum diatas daerah yang cedera seperti serosa yeyunum untuk melapisi duodenum juga bisa disarankan. Laserasi dan Transeksi Duodenum (grade III) Pada transeksi duodenum komplit, metoda perbaikan yang lebih di sukai adalah anastomosis primer. Anastomosis primer dapat dilakukan setelah tepi mukosa dapat di debridement, duodenum dapat dimobilisasi, selain itu bila kehilangan jaringan minimal, bila ampula tidak terlibat dan efek dapat ditutup tanpa tension. Perforasi duodenum sederhana ditutup dengan jahitan simpul kontinyu dengan benang 3-0 yang dapat diserap, melalui seluruh lapisan dinding, diikuti pada lapisan luar dengan jahitan matras terputus

dengan benang yang tidak dapat diserap pada lapisan seromuskular. Cara ini biasanya dilakukan untuk kasus cedera duodenum pars I,III dan IV dimana teknik mobilisasinya tidak sulit. Grade III. Transeksi pada duodenum diterapi dengan debridement dan penjahitan end to end a.Pada cedera dengan transeksi lengkap dari D1,D2 dan D3 dapat diperbaiki dengan anastomosis primer end to end. b.Anastomosis 2 lapis dilakukan dengan menjahit dinding posterior dengan jahitan seromuskular interuptus c.Jepit duodenum dengan klem usus untuk menghindari tumpahnya isi usus sewaktu penjahitan lapisan dalam d.Penjahitan seromuskular pada dinding anterior menggunakan jahitan matras horizontal atau teknik Lambert Namun demikian apabila terdapat sejumlah besar kehilangan jaringan dan aproksimasi ujung duodenum tidak bisa di lakukan karena kemunginan terjadi tension dan bila kasus transeksi komplit ini terjadi pada bagian pertama duodenum maka dilakukan anterectomi dengan penutupan stump duodenum dan gastroyeyunostomi (Billroth II). Apabila mobilisasi tidak adekuat sehingga bisa menyebabkan cedera pada CBD dan bila trauma dekat dengan ampulla Vater ,maka pilihan yang paling mungkin adalah penutupan duodenum distal dan anastomose Roux-en-Y duodenoyeyunal dapat dilakukan. Mobilisasi bagian kedua duodenum terbatas oleh adanya pembagian asupan darah dengan caput pankreas. Anastomosis direk ke loop Roux-en-Y diatas defek duodenum secara end to side merupakan cara terpilih. Hal ini dapat juga di lakukan sebagai metoda alternatif penanganan operasi pada defek ekstensif pada bagian lain duodenum saat anastomosis primer tidak dapat dilakukan. Pada transeksi yang luas dengan udem atau inflamasi, loop Roux-en-Y pada yeyunum dapat digunakan untuk menutup defek Ruptur duodenum yang extensive dapat diterapi dengan reseksi dan end to end Roux-en-Y duodenojejunostomy. Alternatif lain adalah dengan mengunakan patch dari yeyunum untuk menutupi defek yang besar sebagai graft serosa. Patch repair dengan mukosa yeyunum (mucosal jejunal patch repair) jarang dilakukan. Cedera duodenum yang tidak dapat direpair secara primer tanpa mengakibatkan penyempitan dari lumen dapat direpair dengan tehnik serosa patch. Serosa dari jejenum

dijahit pada tepi defek duodenum. Studi experimental memperlihatkan bahwa serosa yang terekspose ke dalam lumen duodenum akan ditutupi oleh epitel. Alternatif penggunaan serosa patch pada cedera duodenum yang berat dengan menggunakan pedicle graft (A sampai D). Graft dapat diambil dari corpus gaster atau dari jejenum. Defek duodenum yang besar dapat ditutup seperti pada gambar E. Segment jejenum direpair secara end to end anastomosis. Pankreotikoduodenektomi hanya dilakukan pada trauma duodenum bila terjadi perdarahan pankreas yang tidak terkontrol atau bila trauma duodenum bersama-sama dengan trauma CBD distal atau duktus pankreatikus. Drainase external juga sangat diperlukan karena mampu mendeteksi dan mengontrol adanya fistula duodeni. Drain sebaiknya sederhana dari karet silikon lunak, sistim tertutup dan diletakan dekat dengan lokasi defek yang diperbaiki. CEDERA PANKREATIKODUODENAL Cedera hebat pada pancreas dan duodenum jarang terjadi. Pada suatu studi yang dilaporkan antara tahun 1981-1990 hanya 48 (3%) dari 1404 pasien yang dilakukan tindakan pancreaticoduodenectomi.Trauma gabungan ini paling sering disebabakan oleh trauma tembus dan terjadinya di hubungkan dengan trauma multipel pada abdomen. Cedera pancreatikoduodenal dihubungkan dengan tingginya angka mortalitas. Dilaporkan bahwa angka mortalitas pada kasus cedera pankreatikoduodenal adalah sebanyak 30-35%. Cedera ini sering dikaitkan dengan cedera hebat pada vaskularisasi mayor dari kaput pancreas, perdarahan dan syok dimana cedera pada vaskular merupakan penyebab kematian tersering. Bahkan cedera ringan pada pankreas meningkatakan angka morbiditas dalam hubungannya dengan cedera pada duodenum. Beberapa penulis melaporkan beberapa teknik simpel yang banyak digunakan untuk penatalaksanaan trauma tersebut adalah penjahitan duodenum dan kapsul pankreas dengan drainase luas, beberapa prosedure tambahan seperti divertikulasi duodenal dan eksklusi pilorik. Hal penting dalam penatalaksanaan cedera kombinasi pankreatikoduodenal adalah perlu diketahui keadaan pankreas dan duktus biliaris. Adanya cedera pada duktus biliaris dapat di identifikasi dengan chlolangiografi, dilanjutkan dengan choledochotomi atau melalui duktus sistikus setelah cholecystectomi. Penilaian terhadap keadaan dari duktus pankreatikus adalah sangat sulit. Pada saat lokasi cedera pada duodenum ditemukan dengan kecurigaan adanya cedera pada duktus pankreatikus, kanulasi pada duktus ke defek di duodenum dan pankreatografi retrograde dapat dengan mudah dikerjakan. Pada kasuskasus dimana duodenum intak dan adanya kecurigaan terdapatnya cedera pada duktus pankreatikus, maka dilakukan retrograde pancreatography dilanjutkan dengan pertimbangan dilakukannya duodenotomy atau antegrade pancreatography setelah amputasi cauda pankreas dapat di usulkan. Cedera pankreatikoduodenal yang mengakibatkan kerusakkan pada duktus pankreatikus di caput pankreas merupaka masalah yang sulit. Cedera ini sering menimbulkan syok akibat cedera pada vaskuler atau adanya feses akibat cedera pada kolon. Banyak penulis mengindikasikan tindakan pankreatikoduodenektomi untuk kasus-kasus cedera berat tersebut.

Penatalaksanaan Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, hyponatremia, koagulopati dan asidosis , yang pertama dilakukan adalah kontrol perdarahan, berikutnya kontrol dan penanganan terhadap saluran cerna dan kontaminasi bakteri dan yang terakhir adalah identifikasi lokasi cedera. Resusitasi selanjutnya dilakukan di ICU dan bila stabil direncanakan untuk tindakan defenitif berupa rekonstruksi dan anastomosis( umumnya 2448 jam kemudian). Cedera pada pankreas dan duodenum yang terjadi bersamaan harus ditangani secara terpisah.Beberapa cedera yang berat membutuhkan prosedur yang rumit. Feliciano dkk melaporkan pengalaman pada cedera pankreas dan duodenum dan mengusulkan bahwa : 1. Cedera duodenum yang simpel tanpa cedera duktus pankreatikus (grade I & II) ditangani dengan perbaikan primer dan drainase 2. Grade III, cedera duodenum dan pankreas, paling baik di tangani dengan reseksi kedua organ, eksklusi pylorus, gastroyeyunostomi, dan penutupan 3. Grade IV & V,cedera duodenum dan pankreas paling baik di tangani dengan pancreaticiduodenectomi Pilihan terapi terbaik diberikan kepada pasien yang ditentukan oleh integritas dari distal CBD dan ampulla sesuai beratnya trauma pada duodenum. Untuk alasan ini, maka setiap pasien dengan kombinasi cedera pancreas dan duodenum dilakukan cholangiography, pancreatography dan evaluasi ampulla. Jika CBD dan ampulla intak, duodenum dapat ditutup secara primer. Apabila status dari duktus pankreatikus tidak dapat dinilai selama intraoperatif dilakukan drainase external luas pada caput pankreas dan pemasangan drain hisap dari pada tindakan total pankreatektomi, diikuti dengan tindakan ERCP atau MRP segera setelah postoperasi. Cedera ekstensif lokal intraduodenal atau duktus biliaris intrahepatik mengharuskan tindakan pankreatikodudenektomi. Cedera lokal yang kurang ektensif dapat ditangani dengan tindakan stenting intraluminal, spincteroplasty atau reimplantasi ampula Vater. Pankreatikoduodenektomi merupakan prosedur operasi besar yang harus dilatih dalam situasi trauma, jka tidak ada alternatif lain. Rekonstruksi dapat dilakukan dalam 48 jam saat pasien sudah stabil. Indikasi untuk melakukan pankreatioduodenektomi adalah terdapatnya kerusakan hebat dari kompleks pankreatikoduodenal, devaskularisasi duodenum dan terkadang adanya cedera ekstensif pada bagian ke dua dari duodenum yang melibatkan ampulla dan bagian distal duktus biliaris. Peranan pankreatikodudenektomi di gambarkan oleh Walt ; pada akhirnya apakah Whipple atau bukan Whipple menjadi pertanyaan. Pada lesi destruktif masif yang melibatkan pankreas, duodenum dan duktus biliaris, keputusan untuk melakukan pankreatikoduodenektomi tidak dapat dilakukan. Dan faktanya adalah banyak keputusan harus diambil cepat, dan faktor psikologi pasien menjadi penentu dalam pengambilan keputusan.

Divertikulasi Duodenum Pertama kali diperkenalkan oleh Berne dkk pada tahun 1968, sebagai terapi tambahan yang digunakan dalam kasus cedera duodenum yang berat atau cedera kombinasi antara pankreas dan duodenum. Teknik ini diciptakan untuk mengeksklusi duodenum yang sedang diperbaiki dan menjadi jalan dari isi gaster. Operasi kombinasi ini terdiri dari antrektomi gaster(Gastrektomi Billroth II distal) , penutupan bagian pertama dari duodenum, gastroyeyunostomy, vagotomy dan tube duodenostomy. Tube duodenostomy dipasang untuk mengurangi kemungkinan gangguan pada garis jahitan duodenum. Dalam kasus cedera kandung empedu ,dilakukan juga tube choledocostomy. Drainase eksterna juga dilakukan dengan menempatkan selang pada bagian yang di perbaiki.Laporan susulan (follow up) oleh Berne dkk mendokumentasiakan angka mortalitas 16 % pada pasien yang dilakukan terapi ini. Secara teori, kelebihan divertikulasi adalah terbentuknya end fistula yang akan tertutup dengan sendirinya. Kekurangan dari divertikulasi duodenum adalah tidak boleh dilakukan pada pasien trauma dengan hemodinamik yang tidak stabil atau pasien dengan cedera multipel. Cedera duodenum dan panceoticoduodenal sering membutuhkan diversi dari isi gaster menjauhi daerah yang telah direpair. Hal ini dapat dicapai secara permanen dengan apa yang disebut sebagai duodenal diverticulation. Hal ini meliputi antrectomy dengan gastrojejunostomy, truncal vagotomy, tube duodenostomy,dan drainase external dari bagian duodenum yang telah direpair. Tube choledochostomy dapat ditambahkan apabila cedera duodenum terjadi pada bagian ampulla. Eksklusi Pylorus Teknik eksklusi pylorus dilaporkan oleh Vaugan dkk pada tahun 1977 sebagai metoda untuk mendapat hasil yang sama dengan teknik divertikulasi dengan lebih mudah. Eksklusi pylorus disarankan sebagai alternatif dari teknik divertikulasi dengan keuntungan waktunya lebih pendek dan prosedur yang reversibel. Setelah perbaikan luka duodenum, dan penempatan selang dekompresi ,gastrotomi dibuat di antrum sepanjang curvatura mayor.Cincin pylorus yang kuat mencengkram dinvaginasi keluar gaster selama gastrotomy dan pylorus dijahit kuat dari dalam dengan menggunakan benang nonabsorable dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya ulcerogenic retained antrum syndrome. Dan sebagai alternatif dapat juga ditutup dengan barisan stepler yang dapat ditempatkan secara melintang atau di bawah pylorus dengan alat stapling. Kemudian dilakukan loop gastroyeyunostomy. Vagotomy tambahan masih kontroversial. Penutupan cincin pylorus akan rusak dalam beberapa minggu dan kontuinitas gastrointestinal akan kembali baik. Perhatian tidak perlu ditujukan pada tindakan penutupan pylorus apakah dengan benang atau dengan stapler tetapi pada potensi terjadinya suatu ulcerogenic pada tindakan eksklusi pylorus. Walaupun tindakan ini ulcerogenik, namun insiden ulserasi marginal pada pasien yang di rawat adalah rendah dilaporkan pada 10 % kasus. Fistula duodenum dapat tetap ada setelah eksklusi pylorus dan perlu diperhatikan bahwa spincter yang terbuka spontan akan memberikan efek negatif terhadap penutupan fistula. Eksklusi pylorus adalah teknik yang mudah, kurang radikal dan lebih cepat dari divertikulasi duodenum dan tampak efektif untuk melindungi duodenum yang telah di

perbaiki. Dari foto kontras gastrointestinal menunjukan bahwa pylorus terbuka kembali setelah beberap minggu. Suatu teknik yang menarik untuk kontrol terbukanya kembali pylorus setelah eksklusi pylorus dilaporakan oleh Fang dkk. Penggunaan octrectide dalam melindungi garis suture pada pancreatikoduodenektomi terlihat cukup menguntungkan. Penggunaanya setelah trauma duodenum untuk proteksi luka duodenum di sarankan oleh Mullins dkk. Prosedur yang sangat berguna pada cedera duodenum dan pankreotikoduodenal adalah eksklusi pylorus. Melalui suatu gastrostomy pda daerah distal gaster, pylorus dijahit dengan benang nonabsorbel. Alternatif lain, dapat digunakan stapler pada duodenum distal dari pylorus. Kemudian dilakukan gastrojejunostomi. DIVERSI DUODENUM Trauma duodenum dengan resiko tinggi, setelah repair akan dikuti oleh insidensi terjadinya dehisensi.Untuk melindungi luka post repair,isi saluran cerna dengan enzim proteolitiknya dapat dialihkan,praktis dan memudahkan penanganan fistula duodenum. Dekompresi Duodenum Dekompresi intraluminal duodenum tube adalah teknik tertua yang digunakan untuk dekompresi duodenum dan diversi isi duodenum untuk mempertahankan integritas duodenografi. Diperkenalkan untuk trauma oleh Stone & Geroni sebagai Triple ostomy yaitu tube gastrotomy untuk decompresi gaster, yeyunostomi untuk dekompresi duodenum dan antegrad yeyunostomy untuk nutrisi pasien. Yeyunostomy feeding pada cedera duodenum dan trauma abdomen yang luas ( index trauma abdomen >25) sangat disarankan. Cedera duodenum yang berat dan telah dilakukan anastomosis sering memerlukan prosedur tambahan untuk memproteksi anastomosis. Cara yang paling sederhana ialah dengan menggunakan duodenostomy tube. Terapi pada cedera duodenum yang berat adalah repair primer, gastostomy, retrograde duodenostomy,dan feeding jejunostomy. Dengan terapi seperti ini insidens fistula sangat rendah

Anda mungkin juga menyukai