Anda di halaman 1dari 14

Falsafah

Charles R. Darwin
Charles R. Darwin (1809-1882) adalah seorang ahli pengetahuan
alam (naturalis) berkebangsaan Inggris. Teorinya tentang evolusi
organic melewati seleksi alamiah telah menyebabkan perubahan
besar dalam sains biologi, filsafat dan pemikiran keagamaan. Ia
mendapat pendidikan di Universitas Edinburgh dan Universitas
Cambridge. Kemudian ia mengabungkan diri dengan ekspedisi
Inggris di kapal H.M.S. Beagle untuk melakukan penyelidikan
selama lima tahun (1831-1836) tentang tumbuh-tumbuhan
binatang, fosil dan bentukan-bentukan geologi di tempat-tempat
yang terpencil jauh, kebanyakan di pantai Amerika Selatan dan
pulau-pulau di samudera Pasifik.

Karya-karya Darwin, Origin og Species (1859) dan Descent of


Man (1871) memberikan bukti dengan fakta kepada anggapan
bahwa species-species itu mempunyai hubungan satu dengan
lainnya dalam garis ke atas; dan bahwa manusia itu berasal dari
kelompok binatang yang sama seperti chimpanse dan lain-lain
jenis yang berlangsung selama beberapa puluh tahun.
Artikel Di tulis oleh My Name:dkitos 0 comments
Thomas Hobbes
Thomas Hobbes (1588-1679) dilahirkan sebelum waktunya
ketika ibunya tercekam rasa takut oleh ancaman penyerbuan
armada Spayol ke Inggris. Ia belajar di Universitas Oxford,
kemudian menjadi pengajar pada suatu keluarga terpandang.
Hubungan dengan keluarga tersebut memberi kesempatan
kepadanya untuk membaca buku-buku, bepergian ke negeri
asing dan berjumpa dengan tokoh-tokoh penting. Simpatinya
kepada sistim kerajaan pada waktu Inggris dilanda perang
saudara, mendorngnya untuk lari ke Perancis. Di sanalah ia
mengenal filsafat Descartes dan pemikir-pemikir Perancis
lainnya. Karena sangat terkesan dengan ketepatan sains, ia
berusaha menciptakan filsafat atas dasar matematika.

Hobbes menolak tradisi skolastik dalam filsafat dan berusaha


menerapkan konsep-konsep mekanik dari alam fisika kepada
pikirannya tentang manusia dan kehidupan mental. Hal ini
mendorongnya untuk menerima materialism,mekanisme dan
determinisme. Karya utamanya dalam filsafat, Leviathan (1651),
mengekspresikan pandangannya tentang hubungan antara alam,
manusia dan masyarakat. Hobbes melukiskan manusia-manusia
ketika mereka hidup dalam keadaan yang ia namakan “state of
nature” (keadaan alamiah), yang merupakan kondisi manusia
sebelum dicetuskannya suatu Negara atau masyarakat beradab.
Kehidupan dalam keadaan alamiah adalah buas dan singkat,
karena merupakan keadaan perjuangan dan peperangan yang
terus-menerus. Oleh karena manusia menginginkan
kelangsungan hidup dan perdamaian, ia mengalihkan
kemauannya kepada kemauan Negara dalam suatu kontrak social
yang membenarkan kekuasaan tertinggi yang mutlak.
Artikel Di tulis oleh My Name:dkitos 0 comments
AGAMA, FALSAFAH DAN ILMU
Dalam Tahshîl al-sa'âfidah AI-Fârâbi dengan jelas menyatakan
pandangannya tentang sifat agama dan filsafat serta hubungan
antara keduanya:

Ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau


memetik pelajaran darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-
gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya, dan
pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan
bantuan demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari
pengetahuan-pengetahuan ini disebut filsafat .Tetapi jika
gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat
kemiripan-kemiripan yang merupakan tiruan dari mereka, dan
pembenaran terhadap apa yang dibayangkan atas mereka
disebabkan oleh metode-metode persuasif, maka orang-orang
terdahulu menyebut sesuatu yang membentuk pengetahan-
pengetahuan ini agama. Jika pengetahuan-pegetahuan itu sendiri
diadopsi, dan metode-metode persuasif digunakan, maka agama
yang memuat mereka disebut filsafat populer, yang diterima
secara umum, dan bersifat eksternal.

Al-Fârâbî menghidupkan kembali klaim kuno yang menyatakan


bahwa agama adalah tiruan dari filsafat. Menurutnya, baik agama
maupun filsafat berhubungan dengan realitas yang sama.
Keduanya terdiri dari subjek-subjek yang serupa dan sama-sama
melaporkan prinsip-prinsip tertinggi wujud (yaitu, esensi Prinsip
Pertama dan esensi dari prinsip-prinsip kedua nonfisik).
Keduanya juga melaporkan tujuan puncak yang diciptakan demi
manusia yaitu,kebahagiaan tertinggi dan tujuan puncak dari
wujud-wujud lain. Tetapi, dikatakan Al-Fârâbî, filsafat
memberikan laporan berdasarkan persepsi intelektual.
Sedangkan agama memaparkan laporannya berdasarkan
imajinasi. Dalam setiap hal yang didemonstrasikan oleh filsafat,
agama memakai metode-metode persuasif untuk
menjelaskannya.

Tujuan dari 'tiruan-tiruan' kebenaran wahyu kenabian dengan


citra dan lambang telah dijelaskan sebelumnya. Sifat dari citra
dan lambang religius ini membutuhkan pembahasan lebih lanjut.
Menurut Al-Fârâbî, agama mengambil tiruan kebenaran
transenden dari dunia alami, dunia seni dan pertukangan, atau
dari ruang lingkup lembaga sosio-politik. Sebagai contoh,
pengetahuan-pengetahuan yang sepenuhnya sempurna, seperti
Sebab Pertama, wujud-wujud malakut atau lelangit
dilambangkan dengan benda-benda terindra yang utama,
sempuma, dan indah dipandang. Inilah sebabnya mengapa
dalam Islam, matahari melambangkan Tuhan, bulan
melambangkan nabi, dan bintang melambangkan sahabat nabi.

Fungsi dari tugas-tugas politis seperti raja dengan segenap


hierarki bawahannya berikut fungsi-fungsi kehormatannya
memberikan citra dan lambang bagi pemahaman akan hierarki
wujud dan perbuatan-perbuatan ilahi saat menciptakan dan
mengurus alam semesta. Karya-karya seni dan pertukangan
manusia memperlihatkan, tiruan-tiruan gerakan kekuatan dan
prinsip alami yang memungkinkan terwujudnya objek-objek
alami. Sebagai contoh, empat sebab Aristotelian yang disebut Al-
Fârâbî sebagai empat prinsip wujud, dapat dijelaskan dengan
merujuk pada prinsip-prinsip pembuatan objek-objek seni.
Secara umum, menurut Al-Fârâbî, agama berusaha membawa
tiruan-tiruan kebenaran filosofis sedekat mungkin dengan esensi
mereka.

Dalam Islam, pandangan mengenai perbedaan antara agama


(millah) dan filsafat (falsafah) umumnya diidentifikasi dengan
mazhab masysyâ'î ilmuwan filosof di mana Al-Fârâbî termasuk di
dalamnya. Rahman telah memperlihatkan bahwa perbedaan ini
diikuti rumusan terinci menyangkut filsafat agama Yunani-
Romawi dalam perkembangan-perkembangan berikutnya.
Namun, gagasan mendasar yang ingin disampaikan melalui
perbedaan ini bukan sesuatu yang asing bagi perspektif wahyu
Islam. Gagasan yang sama di ungkapkan para Sufi dalam
kerangka perbedaan eksoterik-esoterik. Gagasan itu berbunyi
demikian: kebenaran atau realitas adalah satu namun
pemahamannya oleh pikiran manusia mempunyai derajat
kesempurnaan yang bertingkat-tingkat. Meskipun dia juga
seorang Sufi, Al-Farabi di sini berbicara sebagai wakil dari tradisi
filosofis.

Dalam perspektif falâsifah, filsafat dan agama merupakan dua


pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Apa yang hendak
dibedakan dengan tajam di sini bukan filsafat, yang dipahami
sebagai sistem rasional pemahaman (inteleksi) dan wahyu yang
dirumuskan secara bebas; dan agama, yang dipahami sebagai
tradisi wahyu secara total. Ini sangat jelas tampak dari perkataan
dan Al-Fârâbî tentang filsafat dan agama. Istilah yang
digunakannya untuk menyatakan perbedaan agama dari filsafat
adalah millah; bukan dîn. Ini menunjukkan kehendak Al-Fârâbî
membedakan filsafat secara kontras tidak dengan tradisi wahyu
dalam totalitasnya, melainkan dengan dimensi eksoterik tradisi
wahyu. Karena itu, dia lebih suka menggunakan istilah millah
daripada dîn. Millah lebih tepat karena dia mengacu pada
komunitas religius di bawah sanksi ilahi dengan seperangkat
kepercayaan dan undang-undang atau perintah-perintah hukum
moral yang didasarkan pada wahyu. Dimensi ekstemal dari
tradisi wahyu harus diidentifikasi dengan kepercayaan-
kepercayaan dan praktik-praktik komunitas religius ini.

Dalam wacana yang dikutip di atas, Al-Fârâbî tampaknya


berpendapat ada dua jenis filsafat. Jenis pertama, filsafat yang
disebutnya filsafat populer, diterima secara umum dan eksternal.
Dari paparannya tentang karakteristik filsafat tersebut dan
kalâm, khususnya penjelasan dalam Ihshâ' al-'ulûm, tidak
diragukan bahwa Al-Fârâbî menganggap kalâm sebagai contoh
dari filsafat jenis pertama. Jenis kedua, filsafat esoterik yang
ditujukan bagi kaum elitek yaitu suatu filsafat yang hanya
diperkenalkan pada mereka yang telah siap secara intelektual
dan spiritual. Filsafat dapat digambarkan sebagai ilmu tentang
realitas yang didasarkan atas metode demonstrasi yang
meyakinkan (al-burhân al-yaqînî), suatu metode yang
merupakan gabungan dari intuisi intelektual dan putusan logis
(istinbâth) yang pasti. Karena itu, filsafat adalah sejenis
pegetahuan yang lebih unggul dibanding agama (millah), karena
millah didasarkan atas metode persuasif (al-iqnâ').

Kemudian, bagi Al-Fârâbî, filsafat merujuk pada kebenaran abadi


atau kebijaksaaan (al-hikmah) yang terletak pada jantung setiap
tradisi. Ini dapat diidentifikasi dengan philosophia perennis yang
diajarkan oleh Leibniz dan secara komprehensif dijelaskan dalam
abad ini oleh Schuon, Berbicara mengenai beberapa tokoh kuno
pemilik kebijaksanaan tradisional ini. Al-Fârâbî menulis:

Konon, dahulu kala ilmu ini terdapat dikalangan orang-orang


Kaldea, yang merupakan bangsa Irak, kemudian bangsa Mesir,
dari sini lantas diteruskan pada bangsa Yunani, dan bertahan di
situ hingga diwariskan pada bangsa Syria, dan selanjutnya,
bangsa Arab. Segala sesuatu yang terkandung dalam ilmu
tersebut dijelaskan dalam bahasa Yunani, kemudian Syria, dan
akhirnya Arab.

Dikatakan Al-Fârâbî, bangsa Yunani menyebut pengetahuan


tentang kebenaran abadi ini kebijaksanaan "paripuma" sekaligus
kebijaksanaan tertinggi. Mereka menyebut perolehan
pengetahuan seperti itu sebagai ilmu', dan mengistilahkan
keadaan ilmiah pikiran sebagai filsafat'. Yang dimaksud dengan
yang terakhir ini adalah tidak lain pencarian dan kecintaan pada
kebijaksanaan tertinggi. Menurut Al-Fârâbî, orang-orang Yunani
juga berpendapat bahwa secara potensial kebijaksanaan ini
memasukkan setiap jenis kebajikan. Berdasarkan alasan ini,
filsafat lantas disebut sebagai ilmu dari segala ilmu, induk dari
segala ilmu, kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan dan seni
dari segala seni. Maksud mereka sebenarnya, tutur Al-Fârâbî,
adalah seni yang memanfaatkan segala kesenian, kebajikan yang
memanfaatkan segala kebajikan, dan kebijaksanaan yang
memanfaatkan segala kebijaksanaan.

Al-Fârâbî agaknya sadar sepenuhnya akan fakta berikut:


sementara esensi dari kebijaksanaan abadi ini satu dan sama
dalam setiap tradisi, sejauh ini tidak ditemukan model
pengungkapan yang sama pada tradisi-tradisi ini. Tetapi, Al-
Fârâbî tidak menjelaskan deskripsi cara pengungkapan ini dalam
kasus tradisi pra-Yunani. Tetapi dia menyebut filosof-filosof
Yunani, tepatnya plato dan Aristoteles, khususnya lagi
Aristoteles, sebagai pencipta bentuk-bentuk pengungkapan dan
penjelasan baru dari kebijaksanaan kuno ini, berupa
pengungkapan dialektis atau logis. Pengetahuan tentang bentuk-
bentuknya baru diwarisi oleh Islam melalui orang-orang Kristen
Syria.

Sebagaimana telah kita lihat, Al-Fârâbî mendefinisikan


kebijaksanaan tertinggi sebagai "pengetahuan paling tinggi
tentang Yang Maha Esa sebagai Sebab pertama dari setiap
eksistensi sekaligus Kebenaran pertama yang merupakan sumber
dari setiap kebenaran". Mengikuti Aristoteles, Al-Fârâbî
menggunakan istilah filsafat untuk merujuk pada pengetahuan
metafisis yang diungkapkan dalam bentuk-bentuk rasional serta
ilmu-ilmu,yang dijabarkan dari pengetahuan metafisis yang
didasarkan pada metode demonstrasi yang meyakinkan. Karena
itu, filsafat Al-Fârâbî terdiri dari empat bagian: ilmu-ilmu
matematis, fisika (filsafat alam), metafisika, dan ilmu tentang
masyarakat (politik). Perbedaan filsafat-agama oleh Al-Fârâbî
dibayangkan dalam konteks satu tradisi wahyu yang sama. Tetapi
perbedaan itu memiliki keabsahan universal, yang dapat
diterapkan bagi setiap tradisi wahyu. Dengan meninjau tiap-tiap
tradisi dalam batas-batas pembagian hierarkis menjadi filsafat
dan agama, Al-Farabi memberikan teori untuk menjelaskan
fenomena, keragaman agama. Menurutnya, agama berbeda itu
satu sama lain karena kebenaran-kebenaran intelektual dan
spiritual yang sama bisa jadi memiliki banyak penggambaran
imajinatif yang berlainan. Kendati demikian, terdapat kesatuan
pada setiap tradisi wahyu didataran filosofis, karena pengetahuan
filosofis tentang realitas sesungguhnya hanya satu dan sama bagi
setiap bangsa dan masyarakat.

Pada saat yang sama, Al-Fârâbî menyukai gagasan keunggulan


relatif satu lambang religius atas lambang lainnya, dalam
pengertian bahwa lambang-lambang dan citra-citra yang dipakai
dalam satu agama lebih mendekati kebeparan spiritual yang
hendak disampaikan-lebih tepat dan lebih efektif-ketimbang yang
dipakai dalam agama lainnya. renting dicatat, Al-Farabi diketahui
tidak pernah mencela agama tertentu, meskipun dia berpendapat
bahwa sebagian dari lambang dan citra religius agama tersebut
tak memuaskan atau bahkan membahayakan. Tulisnya:

Tiruan dari hal-hal macam itu bertingkat-tingkat dalam


keutamaannya; penggambaran imajinatif sebagian dari mereka
lebih baik dan lebih sempurna, sementara yang lainnya kurang
baik dan kurang sempurna; sebagian lebih dekat pada
kebenaran, sebagian lain lebih jauh. Dalam beberapa hal, butir-
butir pandangannya sedikit-atau bahkan tidak dapat-diketahui,
atau malah sulit berpendapat menentang mereka, sementara
dalam beberapa hal lainnya, butir-butir pandangannya banyak
atau mudah dilacak, di samping mudah memahami pendapat
tentang mereka atau untuk menolak mereka.

Perbedaan filsafat-agama sebagaimana telah dirumuskan Al-


Fârâbî, lagi-lagi, menjadi fokus pemusatan hierarki ilmu dalam
pemikirannya. Ketika perbedaan ini diterapkan baik pada dimensi
teoretis maupun praktis dari wahyu, seperti dikemukakan
sebelumnya, kita akan sampai pada hasil yang menyoroti lebih
jauh perlakuan Al-Fârâbî terhadap ilmu-ilmu religius dalam
klasifikasinya dikaitkan dengan ilmu-ilmu filosofis. Kalâm dan
fiqh, satu-satunya ilmu-ilmu religius yang muncul dalam
klasifikasinya, Al-Fârâbî adalah ilmu-ilmu eksternal atau eksoterik
dari dimensi-dimensi wahyu secara teoretis dan praktis.
Metafisika (al-'ilm al-ilâhî) dan politik (al-'ilm al-madanî)
berturut-turut merupakan mitra filosofisnya
Artikel Di tulis oleh My Name:dkitos 0 comments
Pengantar Falsafah
Filsafat
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Melayu merupakan kata
serapan dari bahasa Arab ‫فلسة‬, yang juga diambil dari bahasa
Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini
merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia =
persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = “kebijaksanaan”).
Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta
kebijaksanaan” atau “ilmu”. Kata filosofi yang dipungut dari
bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini
lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang
yang mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”.
Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problema
falsafi pula. Tetapi paling tidak bisa dikatakan bahwa “falsafah”
itu kira-kira merupakan studi daripada arti dan berlakunya
kepercayaan manusia pada sisi yang paling dasar dan universal.
Studi ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-
eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan
mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk ini,
memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi
tertentu dan akhirnya dari proses-proses sebelumnya ini
dimasukkan ke dalam sebuah dialektik. Dialektik ini secara
singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada
dialog.
Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam
matematika dan filsafat. Hal ini membuat filasafat sebuah ilmu
yang pada sisi-sisi tertentu bisa dikatakan banyak menunjukkan
segi eksakta, tidak seperti yang diduga banyak orang.
Klasifikasi filsafat
Di seluruh dunia, banyak orang yang menanyakan pertanyaan
yang sama dan membangun tradisi filsafat, menanggapi dan
meneruskan banyak karya-karya sesama mereka. Oleh karena
itu filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan
budaya. Pada dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi: “Filsafat
Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Timur Tengah”.
Filsafat Barat
‘‘‘Filsafat Barat’’’ adalah ilmu yang biasa dipelajari secara
akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah
jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang
Yunani kuno.
Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel
Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx,
Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
Filsafat Timur
‘‘‘Filsafat Timur’’’ adalah tradisi falsafi yang terutama
berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok dan daerah-
daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri
khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan
agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk
Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia
Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama.
Nama-nama beberapa filsuf: Siddharta Gautama/Buddha,
Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao
Zedong.
Filsafat Timur Tengah
‘‘‘Filsafat Timur Tengah’’’ ini sebenarnya mengambil tempat yang
istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filsuf dari tradisi ini
sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi
Filsafat Barat. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-
tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam (dan juga
beberapa orang Yahudi!), yang menaklukkan daerah-daerah di
sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan
tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan
memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani. Bahkan
ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke
Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani,
para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama
dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang
Eropa. Nama-nama beberapa filsuf Timur Tengah: Avicenna(Ibnu
Sina), Ibnu Tufail, dan Averroes.
Munculnya Filsafat
Filsafat, terutama Filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kira-
kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai
berpikir-pikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan
lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri
kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan ini.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani
dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia,
Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani,
tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta
sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales
dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filsuf-filsuf
Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan
Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles
adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah
filsafat tidak lain hanyalah “Komentar-komentar karya Plato
belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar
pada sejarah filsafat.
Sejarah Filsafat Barat
Sejarah Filsafat Barat bisa dibagi menurut pembagian berikut:
Filsafat Klasik, Abad Pertengahan, Modern dan Kontemporer.
Klasik
“Pra Sokrates”: Thales - Anaximander - Anaximenes - Pythagoras
- Xenophanes – Parmenides - Zeno - Herakleitos - Empedocles –
Democritus - Anaxagoras
“Zaman Keemasan”: Sokrates - Plato - Aristoteles
Abad Pertengahan
“Skolastik”: Thomas Aquino
Moderen
Rene Descartes - Baruch de Spinoza- Blaise Pascal - Leibniz -
Thomas Hobbes - John Locke - Georg Hegel - Immanuel Kant -
Søren Kierkegaard - Karl Marx- Friedrich Nietzsche -
Schopenhauer - Edmund Husserl
Kontemporer
Michel Foucault - Martin Heidegger - Karl Popper -Bertrand
Russell - Jean-Paul Sartre – Albert Camus - Jurgen Habermas -
Richard Rotry- Feyerabend- Jacques Derrida - Mahzab Frankfurt
Artikel Di tulis oleh My Name:dkitos 0 comments
Socrates
Socrates (469-399 SM) seorang filosof Yunani dari Athena. Ia
tersohor dengan pendapatnya tentang filsafat sebagai suatu
usaha pencarian yang perlu bagi tiap intelektual. Ia merupakan
contoh seorang yang menghayati prinsip-prinsipnya, walaupun
akhirnya prinsip itu berakibat fatal bagi nyawanya.

Socrates adalah anak Sophronicus, seorang ahli pahat; dalam


usia pertengahan ia kawin dengan Xanthippe, yang dikatakan
suka mengomel dan mencaki-maki, walaupun tak ada dasar kuat
untuk sangkaan tersebut. Socrates termasyur dengan kekuatan
intelektualnya sebelum berusia 40 tahun. Pada waktu itu,
menurut buku Plato yang berjudul Apology (meriwayatkan
tentang pidato pembelaan Socrates), Dewa di Delphi (Oracle at
Delphi) mengatakan bahwa Socrates adalah orang yang paling
bijaksana di Yunani.

Ia menjadi yakin bahwa tugasnya adalah untuk mencari


kebijaksanaan tentang perilaku yang benar yang dapat dipakai
untuk mengarahkan perkembangan moral dan intelektual bagi
warga Athena. Dengan melupakan urusan-urusan pribadinya, ia
selalu sibuk dengan pembicaraan mengenai kebajikan, keadilan,
dan ketaqwaan di tempat-tempat pertemuan penduduk Athena.

Pada tahun 399 SM Socrates diadili dengan tuduhan merusak


kaum remaja dan meyiarkan ajaran agama yang salah. Peradilan
serta kematian Socrates dibentangkan dalam buku-buku Plato
yang berjudul Apology; Crito dan Phaedo. Buku-buku ini ditulis
dengan cara yang dramatis
Artikel Di tulis oleh My Name:dkitos 0 comments
Older Posts

Subscribe to: Posts (Atom)


Penulis
My Name:dkitos
Mahasiswa Universiti Malaya, Akademi Pengajian Islam,
Usuluddin, Akidah dan Pemikiran Islam.
View my complete profile

Demi Masa Yang Berharga

Free @ Hijriah

Sensasi Dan Terkini

JOM KITA SEMBANG


View shoutbox
Free chat widget @ ShoutMix

KERJA KOSONG
Click Here to Sell Your Products or Become a Super
Affiliate

KUNJUNGAN
Blog Archive
• October (2)
• September (5)
• March (3)
• October (1)
• September (2)
• July (1)

Anda mungkin juga menyukai