Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
D
3
atau paling sedikit sepasang D
yang tidak sama
2) Ho : W
1
= W
2
= W
3
H1 :W
1
W
2
W
3
atau paling sedikit ada sepasang I
1
yang tidak sama
3) Ho : D x W = 0
H1 : D x W 0
Kaidah keputusan yang digunakan adalah :
a) Jiak F
hitung
> F
tabel
pada taraf 5 %, pengaruh perlakuan dikatakan nyata dan
hasil F
hitung
ditandai dengan superskrip
*
b) F
hitung
F
tabel
pada taraf 5 %, pengaruh perlakuan dikatakan tidak nyata dan
hasil F
hitung
ditandai dengan superskrip
tn
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis sidik r agam, apabila
terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan
52
antara perlakuan (Duncan New Multiple Range Test), sesuai dengan petunjuk
Steel dan Torries, 1995.
6.6.1. Penelitian Tahap II ( Pengukuran Penentuan Energi Metabolis dan
pengukuran Kecernaan).
3. Pengukuran Energi Metabolis
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan t-Student untuk
melihat perbedaan energi metabolis produk fermentasi dan tanpa fermentasi.
4. Pengukuran Nilai Kecernaan.
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan t-Student untuk
melihat perbedaan nilai kecernaan produk fermentasi dan tanpa fermentasi
dengan rumus sebagai berikut :
2 n n
1)Sd (n 1)Sd (n
s
2 1
2
2 2
2
1 1
+
+
=
( )
1 n
Sd
1
2
, 1
1
X X
=
i
( )
1 n
Sd
1
2
2 , 1
2
X X
=
i
2
n
1
1
n
1
s
2
X
1
X
t
+
=
53
Keterangan:
Sd
1
= Simpangan Baku Bungkil inti sawit non fermentasi
Sd
2
= Simpangan Baku Bungkil inti sawit fermentasi
X
1
= Bungkil inti sawit non Fermentasi
X
2
= Bungkil inti sawit Fermentasi
n = Jumlah Pengamatan
s = Simpangan baku gabungan
Kaidah Keputusan:
H
0
:
1
=
2
H
1
:
1
<
2
Keterangan:
H
0
: Rata-rata nilai kecernaan bungkil i nti sawait non fermentasi sama
dengan rata-rata nilai kecernaan bungkil inti sawit produk fermentasi.
H
1
: Rata-rata nilai kecernaan bungkil inti sawit tanpa fermentasi lebih kecil
dari pada rata-rata nilai kecernaan bungkil inti sawit produk fermentasi.
Maka: Bila t
hit
s - t
0,05
(n
1
+n
2
2); tolak H
0
dan terima H
1
:
1
s
2
(n,s)
Bila t
hit
> -t
0,05
(n
1
+n
2
2); terima H
0
:
1
=
1
(n,s)
fermentasi non sawit inti Bungkil rata Rata X
1
=
fermentasi sawit inti Bungkil rata Rata X
2
=
54
3.4.3. Penelitian Tahap III (Feeding Trial)
Percobaan dilakukan secara eksperimen dengan menggunakan rancangan
acak lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan ransum dan masing-masing diulang 5
kali, dan setiap unit percobaan terdiri atas 10 ekor ayam broiler. Perlakuan yang
diberikan adalah tingkat bungkil inti sawit produk fermentasi (terpilih pada
penelitian tahap satu dan dua) dalam ransum, yaitu: 0%; 15%; 20%; 25%; 30%
dan 35%. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam . Apabila terdapat
perbedaan antar perlakuan akan dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan .
Perlakuan ransum adalah sebagai berikut:
6. R
O
= 0 % BIS produk fermentasi dalam ransum.
7. R
1
= 15 % BIS produk fermentasi dalam ransum.
8. R
2
= 20 % BIS produk fermentasi dalam ransum.
9. R
3
= 25 % BIS produk fermentasi dalam ransum.
10. R
4
= 30 % BIS produk fermentasi dalam ransum.
6. R
5
= 35 % BIS produk fermentasi dalam ransum.
55
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penelitian Tahap I (Fermentasi Bungkil Inti Sawit)
4.1.1. Pengaruh Perlakuan terhadap Perubahan Kandungan Bahan Kering
Kandungan bahan kering bungkil inti sawit sebelum dan sesuda h
fermentasi serta perubahannya tertera pada Lampiran 2. Rataan Peningkatan
Kandungan Bahan Kering Bungkil Inti Sawit disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan Peningkatan Bahan Kering pada setiap Dosis Inokulum
dan Lama Fermentasi
Dosis Lama Fermentasi
W
1
W
2
W
3
---------------------------------%------------------------------
D
1
37,94
57,89
77
D
2
54,02
75,69
76,23
D
3
71,80
76,95
77,87
Ket : - D
1
: Dosis Inokulum 5 % - W
1 :
Waktu Fermentasi 2 minggu
-D
2
: Dosis Inokulum 7,5 % - W
2
: Waktu Fermentasi 3 minggu
-D
3
: Dosis Inokulum 10 % - W
3
: Waktu Fermentasi 4 minggu
Tabel 3 di atas memperlihatkan bahwa fermentasi bungkil inti sawit
dengan menggunakan jamur Marasmius sp dapat meningkatkan bahan kering
dengan peningkatan bahan kering yang variatif. Peningkatan bahan kering
terkecil dicapai pada perlakuan dosis 5% dan dengan lama waktu fermentasi 2
minggu (37,94%), dan yang tert inggi dicapai pada perlakuan d engan
56
menggunakan dosis 10% dengan lama waktu fermentasi 4 minggu (77%) dari
bungkil inti sawit tanpa fermentasi. Peningkatan bahan kering bungkil inti sawit
dapat dilihat pada Ilustrasi 1 dibawah ini.
Peningkatan Kandungan Bahan Kering
36.04
13.72
24.92
38.28
38.59
14.25
40.77
16.08
39.26
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
2 3 4
Waktu Fermentasi (Minggu)
% Peningkatan
D1
D2
D3
Ilustrasi 1 . Grafik Peningkatan Kandungan Bahan Kering Bungkil Inti
Sawit.
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peningkatan kandungan
bahan kering dilakukan uji statistik dengan menggunakan sidik ragam. Hasil
analisis keragaman memperlihatkan (Lampiran 5 ) bahwa perlak uan dosis
inokulum ataupun lama fermentasi berpengaruh nyata terhadap peningkatan
bahan kering bungkil inti sawit, dari hasil analisis keragaman memperlihatkan
juga bahwa terdapatnya interaksi antara kedua faktor perlakuan. (P<0,05).
Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan terhadap peningkatan
57
kandungan bahan kering bungkil inti sawit produk fermentasi maka dilakukan uji
lanjut berupa uji jarak berganda Duncan yang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Uji Jarak Berganda Duncan Pengaruh Interaksi Perlakuan
terhadap Peningkatan Kandungan Bahan Kering Bungkil Inti
Sawit
Dosis Lama Fermentasi Rataan
W
1
W
2
W
3
-----------------------------------%--------------------------------
D
1
37,94
a
A 57,89
a
B 77
a
C 57,61
D
2
54,02
b
A 75,69
b
B 76,23
a
B 68,65
D
3
71,80
c
A 76,95
b
A 77,87
a
A 75,54
Rataan 54,59 70,18 77,03
Ket : -Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkkan
perbedaan yang nyata (P<0,05).
-Huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
Perbedaan yang nyata (P<0,05).
Tabel 4 di atas memperlihatkan bahwa pengaruh perlakuan dosi s
inokulum pada setiap lama fermentasi adalah sebagai berikut : pada lama
fermentasi 2 minggu, perlakuan dosis inokulum 5 % (37,94 %) berbeda nyata
lebih rendah dibandingkan dengan dosis inokulum 7,5% (54,02%) dan 10 %
(71,8%) begitu juga dengan dosis inokulum 7,5 % (54,02%) nyata lebih rendah
dibandingkan dengan dosis inokulum 10 % (71,8%). Pada lama fermentasi 3
minggu perlakuan dosis 5 % (57,89%) berbeda nyata lebih rendah dengan dosis
inokulum 7,5% (75,69%) dan pada dosis inokulum 10 % (76,95%), tetapi apabila
perlakuan dosis inokulum 7,5 % (75,69%) dan dosis inokulum 10 % (76,95%)
58
pada waktu yang sama dibandingkan maka akan terlihat tidak ada perbedaan
yang nyata (P>0,05). pada lama fermentasi 4 minggu perlakuan dari ketiga dosis
inokulum memperlihatkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05).
Pengaruh lama fermentasi pada setiap dosis adalah sebagai berikut : pada
taraf dosis 5 %, lama waktu 2 minggu (37,94%) berbeda nyata lebih rendah
dibandingkan dengan lama fermentasi 3 minggu (57,89%) dan 4 minggu (77%),
demikian juga lama fermentasi 3 minggu (57,89%) nyata lebih rendah
dibandingkan dengan lama fermentasi 4 minggu (77%). Pada dosis inokulum 7,5
% lama fermentasi 2 minggu (54 ,02%) berbeda nyata lebih rend ah dari
fermentasi 3 minggu (75,69%) dan 4 minggu (76,23%), tetapi pada dosis 7,5%
lama fermentasi 3 minggu (75,69%) jika dibandingkan dengan lama fermentasi 4
minggu (76,23%) memperlihatkan tidak ada perbedaan yang nyat a (P>0,05),.
Pada dosis 10 % perlakuan lama fermentasi tidak terdapat perbedaan yang nyata
(P>0,05).
Tabel 3 dan Ilustrasi 1 memper lihatkan bahwa secara umum terjadi
peningkatan terhadap bahan kering, peningkatan tertinggi diperoleh pada dosis
inokulum 10 % dengan lama waktu 4 minggu (77,87 %) hal ini disebabkan
karena makin tinggi dosis inokulum yang digunakan makin cepat pertumbuhan
populasi jamur Marasmius sp yang pada gilirannya dengan meningkatnya
populasi jamur yang akan mengakibatkan kehilangan sejumlah air yang terikat
dalam bungkil inti sawit sehingga akan berakibat terhadap peningkatan bahan
59
kering substrat. Berkurangnya air yang terikat dalam bungkil inti sawit ini
disebabkan air tersebut digunakan oleh jamur Marasmius sp untuk kebutuhan
hidupnya selama fase pertumbuhan dan perkembangan sehingga pada fase
tersebut akan terjadi proses epavorasi yang menyebabkan air pada substrat
hilang. Penguapan air pada waktu proses pengolahan dan pengeringan dapat juga
dijadikan indikator terhadap peningkatan bahan kering. Selain itu peningkatan
bahan kering juga dipengaruhi pada proses penggilingan produk menjadi tepung
dimana pada saat proses tersebut berlaku, maka akan berakibat terhadap luas
permuakan bahan atau produk akan meregang sehingga akan memungkinkan
pengeluaran sejumlah air yang terikat dalam bahan pakan (Winarno,et al.,1980).
Peningkatan bahan kering sejal an dengan bertambahnnya waktu
fermentasi. Peningkatan kadar bahan kering tertinggi dicapa i pada lama
fermentasi 4 minggu, hal ini dikarenakan semakin lama waktu fermentasi akan
menyebabkan lebih banyak air yang terikat dalam substrat itu digunakan oleh
jamur Marasmius sp untuk pertumbuhan dan perkembangan miseliumnya, selain
itu semakin lama fermentasi maka akan semakin banyak air yang akan menguap
ketika proses fermentasi terus berlangsung.
Tabel 4 di atas setelah diuji jarak berganda Duncan memperl ihatkan
bahwa pada lama fermentasi 4 minggu tidak terdapat perbedaan yang nyata pada
setiap dosis yang dilakukan, hal ini dapat dijelaskan karena pada saat itu
perkembangan dan pertumbuhan jamur Marasmius sp berada pada fase stasioner
60
dimana pada fase ini jumlah populasi mikroba menjadi sedikit karena kandungan
nutrient bahan yang digunakan oleh jamur berkurang sehingga menyebabkan
banyak koloni jamur bersaing u ntuk mendapatkan nutrient untu k
pertumbuhannya termasuk air.
Tabel 4 memperlihatkan bahwa pada dosis fermentasi 10 % deng an
pemberian perlakuan waktu yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang
nyata (P>0,05), hal ini dapat dijelaskan bahwa pada dosis tersebut populasi
mikroba pada substrat semakin meningkat yang menyebabkan ter jadinya
persaingan mikroba untuk menda patkan air serta nutrient lainnya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga peningkatan bahan kering menjadi
stagnan pada kisaran tertentu.
Hasil pengujian memperlihatkan bahwa pengaruh dosis 7,5 % de ngan
lama waktu fermentasi 3 minggu merupakan kombinasi yang terbaik terhadap
peningkatan kandungan gizi bungkil inti sawit hal ini dengan memperhatikan
segi efisiensi dari jamur Marasmius sp dalam mendegradasi komponen zat
makanan bungkil inti sawit.
4.1.2. Pengaruh Perlakuan terhadap Peningkatan Kandungan Protein
Kasar.
Kandungan protein bungkil inti sawit sebelum dan sesudah fermentasi,
serta perubahannya tertera pada Lampiran 3. Rataan Peningkat an kandungan
protein dari masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 5.
61
Tabel 5. Rataan Peningkatan Kandungan Protein Kasar pada setiap Dosis
Inokulum dan Lama Fermentasi oleh Marasmius sp
Lama Fermentasi
Dosis
W
1
W
2
W
3
--------------------------------%-------------------------------
D
1
3,58 10,15 17,45
D
2
5,08 27,62 25,65
D
3
19,86 19,74 19,47
Ket : - D
1
: Dosis Inokulum 5 % - W
1 :
Waktu Fermentasi 2 minggu
-D
2
: Dosis Inokulum 7,5 % - W
2
: Waktu Fermentasi 3 minggu
-D
3
: Dosis Inokulum 10 % - W
3
: Waktu Fermentasi 4 minggu
Tabel 5 di atas memperlihatkan bahwa fermentasi bungkil int i sawit
menggunakan Marasmius sp dapat meningkatkan kandungan protein kasar
dengan peningkatan yang variatif dari yang terkecil 3,58% sampai terbesar
27,62%. Peningkatan kandungan protein kasar disajikan pada Ilustrasi 2
Peningkatan Kandungan Protein Kasar
17.45
10.15
3.58
5.08
25.65
27.62
19.86
19.47
19.74
0
5
10
15
20
25
30
2 3 4
Waktu Fermentasi
%
Peningkatan
D1
D2
D3
Ilustrasi 2. Grafik Peningkatan Kandungan Protein Kasar Bungkil Inti
Sawit
(minggu)
62
Ilustrasi 2 di atas memperlih atkan bahwa secara umum terdap at
peningkatan protein kasar bungkil inti sawit yang disebabkan kombinasi antara
perlakuan. Untuk mengetahui pe ngaruh perlakuan terhadap peni ngkatan
kandungan protein kasar bungkil inti sawit hasil fermentasi maka dilakukan uji
statistik dengan menggunakan s idik ragam (Lampiran 6). Hasil analisis
keragaman pengaruh dosis inokulum dan lama fermentasi menunjukkan bahwa
ada pengaruh interaksi (P<0,05) antara dosis inokulum dan lama fermentasi
terhadap peningkatan protein kasar. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan
antara perlakuan terhadap peningkatan kandungan protein kasar bungkil inti
sawit produk fermentasi maka dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan yang
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Uji Jarak Berganda Du ncan Pengaruh Interaksi antar
perlakuan terhadap Peningkatan Kandungan Protein Kasar
Bungkil Inti Sawit.
Lama Fermentasi
Dosis W
1
W
2
W
3
Rataan
---------------------------------------%----------------------------------
D
1
3,58
a
A 10,15
a
B 17,45
a
C 10,39
D
2
5,08
a
A 27,62
b
B 25,65
b
B 19,45
D
3
19,86
b
A 19,74
b
A 19,47
ab
A 19,68
Rataan 9,51 19,17 20,58
Ket : -Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkkan
perbedaan yang nyata (P<0,05).
-Huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
Perbedaan yang nyata (P<0,05).
63
Berdasarkan uji jarak berganda Duncan (Tabel 6) diperoleh ba hwa
pengaruh perlakuan dosis inokulum pada setiap lama fermentasi adalah sebagai
berikut : pada dosis 5 % dengan lama fermentasi 2 minggu berbeda nyata lebih
rendah dari 3 minggu dan 4 minggu, demikian juga lama fermentasi 3 minggu
berbeda nyata lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lama fermentasi 4
minggu. Pada dosis 7,5 % , lama fermentasi 2 minggu berbeda nyata lebih rendah
dibandingkan dengan lama fermentasi 3 dan 4 minggu, akan tetapi pada dosis
yang sama lama fermentasi antara 3 minggu dan 4 minggu tidak ada perbedaan
yang nyata (P>0,05) yang berarti secara statistik rataan yang dihasilkan sama
antara perlakuan. Pada dosis 10 % pengaruh perlakuan lama fermentasi tidak ada
perbedaan yang nyata (P<0,05)antara lama fermentasi 2; 3; da n 4 minggu.
Peningkatan kadar protein tertinggi dicapai pada interaksi dosis inokulum 7,5 %
dan lama waktu 3 minggu (27,62%).
Perlakuan dosis inokulum 5 % tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis
inokulum 7,5 % pada waktu 2 minggu akan tetapi dosis 5 % berbeda nyata lebih
rendah jika dibandingkan dengan dosis inokulum 10 % pada lama fermentasi 2
minggu, sedangkan perlakuan dosis 5 % pada lama fermentasi 3 minggu berbeda
nyata lebih kecil dibandingkan dosis inokulum 7,5 % dan 10 % akan tetapi pada
lama fermentasi yang sama dosis 7,5 % tidak berbeda nyata dengan dosis 10 %.
Pengaruh perlakuan dosis 5 % pada lama fermentasi 4 minggu memperlihatkan
bahwa pemberian dosis inokulum 5 % berbeda nyata lebih rendah dibandingkan
64
dengan dosis inokulum 7,5 % akan tetapi bila dibandingkan dengan dosisi
inokulum dosis 10 % tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata, pada waktu
yang sama dosis 7,5 % tidak berbeda nyata dengan dosis inokulum 10 %.
Peningkatan kadar protein tertinggi terdapat pada dosis 7,5%, hal ini
disebabkan semakain tinggi inokulum yang digunakan menyebabkan semakain
cepat pertumbuhan populasi jamur Marasmius sp yang pada gilirannya akan
berpengaruh terhadap produksi miselium sehingga aka n meningkatkan
kandungan nitrogen total secara proposional karena terdegradasinya serat kasar,
demikian juga terjadinya perombakan karbohidrat menjadi energi yang
diperlukan untuk proses pertumbuhan jamur tersebut (Griffin, et al.,1974).
Peningkatan protein sejalan dengan bertambahnya lama waktu fermentasi,
dari tabel 3 dapat diperoleh bahwa peningkatan protein tertinggi dicapai pada
interaksi dosis inokulum 7,5 % dengan lama waktu 3 minggu. Peningkatan
protein yang terjadi selama proses fermentasi berlangsung di akibatkan adanya
kerja dari mikroba tersebut dan adanya protein yang disumbangkan oleh tubuh
mikrobia akibat pertumbuhannya ( Halid ,1991 dan Tangedjaja,1987).
Kenaikan protein substrat selama proses fermentasi menandakan bahwa jamur
Marasmius sp mampu menggunakan bagian dari substrat untuk pertumbuhannya
dan pembentukan protein mikrobia. Peningkatan tersebut dapat dijelaskan
bahwa hal ini disebabkan oleh adanya pertumbuhan miselium yang banyak
mengandung protein (protein sel tunggal) selain itu juga peningkatan tersebut
65
disebabkan oleh adanya perubahan komponen zat makanan dari substrat tersebut
seperti halnya dengan penurunan serat kasar.
Hasil analisis uji berjarak Duncan dan Ilustrai 2 memperlihatkan adanya
penurunan sejumlah protein ketika proses fermentasi berlangsung, penurunan itu
terjadi pada dosis 7,5 % dan 10 % dengan lama waktu fermentasi antara 3 dan 4
minggu, hal ini dapat dijelaskan bahwa pada waktu tersebut masa pertumbuhan
jamur Marasmius sp berada pada fase stasioner pada waktu minggu ke-3 dan
fase menuju kematian pada wakt u minggu ke-4, hal ini dapat dilihat bahwa
jumlah koloni mengalami penurunan rentang waktu minggu ke-3 dan ke-4 (
Lampiran 7). Kedua yaitu pada waktu minggu ke-3 dan ke-4 terjadinya
penurunan pH dimana dengan adanya penurunan pH substrat menjadi sedikit
asam sehingga berpengaruh terhadap laju pertumbuhan dan perkembangan dari
jamur Marasmius sp tersebut. Dijelaskan oleh Blanchette,1992 bahwa jamur
busuk putih untuk dapat mendegradasi lignin secara efektif membutuhkan pH
kisaran 5,5 6,5. pertumbuhan dan kemampua n Marasmius sp dalam
mendegradasi komponen serat khususnya lignin bagaimana pun dipengaruhi oleh
perubahan pH eksternal walaupun mekanisme secara subseluller belum diketahui
(Eggins dan Allsop,1975). Dinyatakan oleh Trahayu (1994) bahwa jamur
Marasmius sp mampu tumbuh pada pH 2 12 akan tetapi pada pH 2 dan pH
diatas 10 pertumbuhan miselium terhambat, pH optimum untuk pertumbuhan
jamur Marasmius sp adalah 6-8. Melihat pendapat para ahli dapat disimpulkan
66
bahwa dengan penurunan pH akan berpengaruh terhadap metabolisme karena
perubahan pH berhubungan langsung dengan aktivitas katalik enzim sehingga
pertumbuhan miselium dari jamur tesebut terhambat. Ketiga adalah pengaruh
pemberian mineral yang berlebi h yang berakibat terhadap terh ambatnya
pertumbuhan miselium jamur Marasmius sp tersebut. Menurut Trahayu (1994),
penambahan nitrogen anorganik 0, 5 1 % dalam substrat serbuk ger gaji
memberikan pertumbuhan panjang miselium yang cukup tinggi se rta dapat
menurunkan kadar lignin dalam serbuk gergaji sebesar 20,31 23,16 %, namun
penurunan kadar lignin tertinggi terjadi pada penambahan nitrogen anorganik
sebanyak 1 %. Janshekar dan Fr ichter (1983) menyatakan bahwa nitrogen
anorganik hanya dibutuhkan pada saat dan konsentrasi yang sesuai, apabila
ketentuan ini tidak dipenuhi maka kelebihan nitrogen akan menghambat jalannya
proses pendegradasian lignin oleh jamur busuk putih. Kadar ammonium yang
terlalu tinggi dalam kultur akan mengakibatkan racun bagi jamur (Garraway dan
Evans.,1984).
Dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa pembe rian
nitrogen lebih dari 1% dalam substrat akan berakibat t erhadap penurunan
kemampuan jamur Marasmius sp dalam merombak zat zat makanan yang ada
pada bungkil inti sawit, selain itu pemberian Nitrogen anorganik diambang batas
dapat mengakibatkan jamur mati karena keracunan.
67
Hasil pengujian memperlihatkan bahwa pengaruh dosis 7,5 % dengan
lama waktu fermentasi 3 minggu merupakan kombinasi yang terbaik terhadap
peningkatan kandungan Protein kasar bungkil inti sawit
4.1.3. Pengaruh Perlakuan terhadap Penurunan Kandungan Serat Kasar
Bungkil Inti Sawit.
Penurunan kandungan serat kasar Bungkil Inti Sawit sebelum dan sesudah
fermentasi serta perubahannya tertera pada lampiran 4. Rataan penurunan kadar
serat kasar dari masing masing perlakuan disajikan pada Tabel 7.
Table 7. Rataan Penurunan Kandungan Serat Kasar pada setiap Dosis
Inokulum dan Lama fermentasi oleh Marasmius sp
Dosis Lama Fermentasi
W
1
W
2
W
3
----------------------------------%----------------------------------
D
1
13,72 24,92 36,04
D
2
14,25 38,28 38,59
D
3
16,08 39,26 40,77
Ket : - D
1
: Dosis Inokulum 5 % - W
1 :
Waktu Fermentasi 2 minggu
-D
2
: Dosis Inokulum 7,5 % - W
2
: Waktu Fermentasi 3 minggu
-D
3
: Dosis Inokulum 10 % - W
3
: Waktu Fermentasi 4 minggu
Tabel 7 di atas memperlihatkan adanya penurunan kadar serat kasar
Bungkil Inti Sawit yang variatif dimulai dari yang terendah 13,72 % sampai yang
tertinggi 40,77 %, dari data tersebut juga dapat kita lihat bahwa penurunan kadar
serat kasar dipengaruhi oleh dosis inokulum dan lama fermentasi. Tingkat
penurunan serat kasar dapat dilihat pada ilustrasi 3 dibawah ini.
68
Penurunan Kandungan Serat Kasar
24.92
13.72
36.04
38.28
14.25
38.59
16.08
39.26 40.77
0
10
20
30
40
50
2 3 4
Waktu Fermentasi (minggu)
%
P
enurunan
D1
D2
D3
Ilustrasi 3. Grafik Penurunan Kandungan Serat Kasar
Ilustrasi 3 diatas memperlihatkan bahwa secara umum terdapat penurunan
kandungan serat kasar bungkil inti sawit yang disebabkan kombinasi antara
perlakuan. Untuk mengetahui p engaruh perlakuan terhadap pen urunan
kandungan serat kasar bungkil inti sawit hasil fermentasi maka dilakukan uji
statistik dengan menggunakan s idik ragam (Lampiran 7). Hasi l analisis
keragaman pengaruh dosis inokulum dan lama fermentasi menunjukkan bahwa
ada pengaruh interaksi (P<0,05) antara dosis inokulum dan lama fermentasi
terhadap penurunan serat kasar. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antara
perlakuan terhadap penurunan bungkil inti sawit produk fermentasi maka
dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan yang disajikan pada Tabel 8.
69
Tabel 8. Uji Jarak Berganda D uncan Pengaruh Interaksi antar
perlakuan terhadap Penurunan Kandungan Serat Kasar
Bungkil Inti Sawit.
Lama Fermentasi
Dosis W
1
W
2
W
3
Rataan
------------------------------------%------------------------------------
D
1
13,72
a
A 24,92
a
B 36,04
a
C 24,89
D
2
14,25
a
A 38,28
b
B 38,59
a
B 30,37
D
3
16,09
a
A 39,26
b
B 40,77
a
B 32,04
Rataan 14,69 34,15 38,47
Ket : -Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkkan
perbedaan yang nyata (P<0,05).
-Huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
Perbedaan yang nyata (P<0,05).
Hasil analisis keragaman (Lamp iran 7 ) memperlihatkan bahwa
terdapatnya interaksi yang sangat nyata antara dosis inokulu m dan lama
fermentasi. Hasil uji jarak berganda Duncan memperlihatkan bahwa pengaruh
perlakuan dosis inokulum pada setiap lama fermentasi adalah sebagai berikut:
pada dosis 5 % dengan lama fermentasi 2 minggu berbeda nyata lebih kecil
dibandingkan dengan lama fermentasi 3 dan 4 minggu, demikian juga lama
fermentasi 3 minggu berbeda nyata lebih kecil dibandingkan dengan lama
fermentasi 4 minggu. Pada dosis inokulum 7,5 % dengan lama fermentasi 2
minggu berbeda nyata lebih kecil dibandingkan dengan lama fermentasi 3 dan 4
minggu akan tetapi jika lama f ermentasi 3 minggu dibandingkan dengan 4
minggu memperlihatkan tidak berbeda nyata (P>0,05). Pada d osis 10 %
pengaruh perlakuan pada lama fermentasi 2 minggu berbeda nyata lebih kecil
70
dibandingkan dengan lama fermentasi 3 dan 4 minggu tetapi pa da lama
fermentasi 3 minggu hasilnya tidak berbeda nyata dengan lama fermentasi 4
minggu.
Perlakuan dosis 5%, 7,5% dan 10 % pada lama fermentasi 2 minggu tidak
terdapat perbedaan yang nyata terhadap penurunan kadar serat kasar bungkil inti
sawit hal ini dikarenakan pada saat itu jamur Marasmius sp belum maksimal
menggunakan komponen serat kasar dalam memenuhi kebutuhan gizinya untuk
pertumbuhannya karena pada saat itu jamur Marasmius sp masih menggunakan
zat makanan yang mudah dirombak sebagai sumber energi siap pakai seperti pati,
glukosa dan hemiselulosa, sedangkan pada lama waktu 3 minggu dan 4 minggu
baru terlihat penurunan kadar serat kasar secara signifikan antara perlakuan. Hal
ini dapat dijelaskan bahwa pada waktu itu diasumsikan bahwa karbohidrat siap
pakai dari bungkil inti sawit sudah habis terpakai untuk pertumbuhan miselium
dari jamur Marasmius sp, oleh karena itu pada minggu ke-3 dan ke-4 Marasmius
sp dapat mendegradasi senyawa kompleks dari komponen penyususn serat kasar
diantaranya lignin untuk memen uhi kebutuhan nutrisinya pada proses
pertumbuhan dan perkembangan miseliumnya.
Tabel 8 di atas memperlihatkan bahwa terjadinya penurunan yang berbeda
nyata pada waktu fermentasi minggu ke-3 dan ke-4 dengan berbagai dosis yang
berbeda, hal ini dapat dijelaskan bahwa pada saat tersebut jamur Marasmius sp
sudah mulai mendegradasi senyawa kompleks serat kasar diantaranya lignin
71
secara optimal, dikatakan oleh Hendritomo (1995) bahwa proses biodegradasi
lignin meliputi reaksi pelepasan ikatan C C, -0-4 dimetilasi, ikatan -0-3,-0-5,
yang diikuti dengan fragmen-fragmen lignin dengan bobot molekul rendah.
Pemecahan cincin aromati k secara oksidatif, reduksi se rta hidroksilasi
pemecahan senyawa kompleks pada bungkil inti sawit (lignin) yang dilakukan
oleh Marasmius sp yang tidak lain dikarenakan o leh aktivitas enzim
lignoselulotik dimana enzim ini dapat memecah ikatan lignin dengan selulosa,
ikatan lignin dengan hemiselulosa serta ikatan lignin dengan protein. Dengan
pecahnya ikatan lignin tersebut maka secara langsung akan berakibat terhadap
penurunan kadar serat kasar pada bungkil inti sawit selain itu dengan pecahnya
ikatan tersebut maka komponen zat makanan lainnya akan lebih mudah untuk
dihidrolisis oleh pencernaan ternak khususnya ternak ayam.
Tabel 8 memperlihatkan bahwa pada setiap dosis yang diberikan pada
lama waktu 4 minggu tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata, hal ini dapat
dijelaskan bahwa pada minggu ke empat jamur Marasmius sp berada pada fase
kematian karena data jumlah koloni memperlihatkan bahwa pada waktu tersebut
jumlah koloni menurun (Lampiran 8).
Uji jarak berganda Duncan memperlihatkan penurunan kadar serat kasar
yang tertinggi terdapat pada interaksi dosis inokulum 10 % dan lama waktu 4
minggu, hal ini sesuai dengan perkembangbiakan jamur Marasmius sp itu sendiri
sehingga popolasinya meningkat, seiring dengan bertambahnya enzim yang
72
dihasilkan marasmius sp untuk mendegradasi serat kasar pada Bungkil Inti Sawit,
selain itu meskipun jumlah koloni menurun pada waktu minggu ke-4 tetapi masih
adanya enzim yang aktif yang terus merombak komponen serat pada bungkil inti
sawit menjadi senyawa yang lebih sederhana. Hasil pengujian memperlihatkan
bahwa pengaruh dosis 7,5 % den gan lama waktu fermentasi 3 mi nggu
merupakan kombinasi yang terbaik terhadap penurunan kandungan serat kasar
bungkil inti sawit.
4.2. Penelitian Tahap II (Pengukuran Energi Metabolis dan Nilai
Kecernaan)
4.1.1. Nilai Energi Metabolis BIS dan Produk Fermentasinya dengan
Jamur Marasmius sp. pada Ayam Broiler
Pada penelitian ini nilai energi metabolis berupa Energi Metabolis yang
dikoreksi dengan nilai Retensi Nitrogen (EMn). Rataan nilai EMn BIS dan
produk fermentasinya, tercantum pada Tabel 9.
73
Tabel 9. Nilai EMn BIS dan Produk Fermentasinya.*
Ulangan BIS Non Fermentasi BIS Fermentasi
.%....
1 2202,012 2471,257
2 2190,557 2484,288
3 2177,219 2448,261
4 2171,335 2511,167
5 2155,688 2448,629
6 2154,896 2475,450
7 2206,704 2498,762
8 2202,387 2499,062
9 2144,225 2446,906
10 2171,006 2216,091
Jumlah 21776,030 24599,874
rata-rata 2177,603
a
2459,987
b
Keterangan : * Hasil dari cara perhitungan pada Lampiran 6.
Konversi EMn BIS non Fermentasi dari energi brutonya sebesar 47,35%
yaitu dari 4598 kkal/kg menjadi 2177,603 kkal/kg, sedangkan konversi EMn BIS
Fermentasi dari energi brutonya sebesar 58,31% yaitu dari 4219 kkal/kg menjadi
2459,987 kkal/kg. Schaible (19 76) menyatakan bahwa energi met abolis
diperoleh dari 70% energi brut o bahan makanan yang dikonsums i. Pada
penelitian ini nilai EMn masih dibawah 70% dari energi brutonya, sehingga
menunjukkan bahwa masih banyak energi yang terbuang melalui ekskreta. Nilai
EMn BIS Fementasi lebih tinggi dari BIS non Fermentasi. Untuk melihat sejauh
mana paningkatan tersebut maka, data diuji statistik yang perhitungannya dapat
dilihat pada Lampiran 7.
Dari Uji-t Student terhadap nilai EMn tersebut menunjukkan bahwa EMn
BIS Fermentasi nyata lebih tinggi (P<0,05) daripada BIS non Fermentasi. Proses
74
fermentasi BIS dengan jamur Marasmius sp. meningkatkan nilai EMn sebesar
282,384 kkal/kg atau 12,96% yaitu dari 2177,603 kkal/kg menj adi 2459,987
kkal/kg. Peningkatan tersebut menunjukkan terjadinya aktivitas enzim yang
dihasilkan oleh jamur Marasmius sp. dalam pemecahan serat kasar menjadi
karbohidrat sederhana, yang akhirnya lebih mudah dicerna oleh unggas. Hasil ini
sejalan dengan pendapat (Shurtleft dan Aoyagi, 1979 dalam Abun, 2003) bahwa
pada proses fermentasi akan te rjadi perubahan molekul-molekul kompleks
menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana dan mudah dicerna.
Pada penelitian ini nilai EMn BIS non Fermentasi (2177,603 kkal/kg)
lebih tinggi bila dibandingkan dengan 1844 kkal/kg dari hasil penelitian
Simanjuntak (1998). Tetapi dal am hal peningkatan nilai EMn, BIS yang
difermentasi dengan Marasmius sp. (12,96%) lebih kecil dari pada BIS yang
difermentasi dengan Aspergillus niger (14%) yang diteliti oleh Simanjuntak
(1998). Dari perbandingan ini bisa di katakan bahwa kemampuan jamur
Marasmius sp. tidak jauh berbeda dengan Aspergillus niger dalam memecah
serat kasar.
4.2.1. Nilai Retensi Nitrogen BIS dan produk fermentasinya dengan Jamur
Marasmius sp. pada Ayam Broiler
Nilai Retensi Nitrogen BIS dan pro duk fermentasinya dengan jamur
Marasmius sp. dapat dilihat pada Tabel 4. N ilai retensi nitrogen yang
dicantumkan tidak dikoreksi dengan nitrogen endogen yang berasal dari sel-sel
75
epitel yang rusak dan enzim-enzim saluran pencernaan yang bercampur dengan
ekskreta. Dari Tabel 10. dapat diketahui bahwa rataan nilai Retensi Nitrogen BIS
Fermentasi (53,82%) dan rataan nilai Retensi Nitrogen BIS non Fermentasi
(40,45%).
Tabel 10. Nilai Retensi Nitrogen BIS dan Produk Fermentasinya.*
Ulangan BIS Non Fermentasi BIS Fermentasi
%..
1 40.79 53.49
2 40.59 54.44
3 40.73 54.73
4 40.17 53.69
5 40.41 54.79
6 40.16 54.80
7 40.10 54.43
8 41.29 54.25
9 40.05 53.00
10 40.18 50.62
Jumlah 404.48 538.24
rata-rata 40.45 53.82
Keterangan : *Hasil dari cara perhitungan pada lampiran 6.
Untuk mengetahui besarnya perbedaan antar perlakuan maka data penelitian
diuji secara statistik dengan Uji T-Student yang dapat dilihat pada lampiran 7.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai Retensi Nitrogen BIS Fermentasi
(53,82%) nyata lebih tinggi (P<0,05) daripada BIS non Fermentasi (40,45%).
Proses fermentasi BIS dengan jamur Marasmius sp. mampu meningkatkan nilai
Retensi Nitrogen sebesar 13,37% atau 33,1% dari 40,45%. Peningkatan tersebut
76
menunjukkan adanya efisiensi penggunaan protein dari BIS Fermentasi, sehingga
protein yang tercerna menjadi lebih banyak.
Wahju (1997) menerangkan bahwa protein yang diretensi oleh ayam broiler
adalah 67% dari protein yang dikonsumsi. Jadi hanya 67% yang diretensi untuk
pertumbuhan jaringan per hari, pertumbuhan bulu dan penggant ian nitrogen
endogen yang hilang. Nitrogen yang diretensi ini menggambarkan efisiensi
penggunaan protein pada ayam b roiler. Nilai Retensi Nitrogen BIS non
Fermentasi maupun BIS Fermentasi masih lebih rendah dari 67%.
Kualitas protein bergantung pada kelengkapan dan keseimbangan asam-
asam amino esensial yang membentuknya. Komposisi protein yang lengkap
dengan kualitas protein yang baik maka nilai retensi nitrogennya akan menjadi
tinggi. Peningkatan nilai efisiensi penggunaan protein akan mengakibatkan
kebutuhan protein dalam ransum menurun, tetapi memberikan pertumbuhan dan
produksi optimal (Scott, dkk., 1982).
77
4.2.3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Bahan Kering
Rataan nilai kecernaan bahan kering percobaan disajikan pada tabel 11
dibawah ini.
Tabel 11. Rataan Nilai Kecernaan Bahan Kering Bungkil Inti Sawit, Bungkil
Inti Sawit Fermentasi pada Ayam Broiler
Perlakuan
Ulangan
Non Fermentasi Fermentasi
(%)
1. 58,33 68,28
2. 58,68 69,18
3. 57,26 69,09
4. 57,75 68,97
5. 57,93 68,05
6. 58,46 68,40
7. 57,14 69,69
8. 57,57 69,43
9. 57,40 68,44
10. 57,25 68,89
Jumlah 577,78 689,42
Rata-rata 57,78
a
68,94
b
Nilai kecernaaan bahan kering menunjukkan berapa besar bahan kering
yang dapat dicerna oleh tubuh ternak. Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat
adanya peningkatan nilai kecernaan bahan kering pada bungkil inti sawit yang
difermentasi dibandingkan tanpa fermentasi, dengan peningka tan sekitar
19,31%, yakni dari 57,78% menjadi 68,94%. Setelah dilakukan analisis statistik
dengan menggunakan uji t -student (Lampiran 4.), hasilnya menunjukkan
perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap kecernaan bahan kering bungkil inti
sawit.
Meningkatnya nilai kecerna an tersebut disebabkan menurun nya
kandungan serat kasar atau ter degradasinya serat kasar yang terdapat pada
78
bungkil inti sawit yang difermentasi sehingga menyebabkan kecernaan zat-zat
makananan lainnya meningkat. Hal ini disebabkan karena dinding sel bungkil inti
sawit yang mengalami proses fermentasi menjadi tipis dan mudah ditembus oleh
getah pencernaan, sehingga proses degradasi serat kasar tersebut menjadi mudah
dalam saluran pencernaan. Menurut pendapat Anggorodi (1994), semakin tinggi
suatu bahan makanan yang mengandung serat kasar semakin rendah juga daya
cerna bahan tersebut.
Serat kasar dan BETN (bahan ek strak tanpa nitrogen) merupakan
golongan karbohidrat yang dapat digunakan sebagai bahan makanan, tetapi
mempunyai nilai kecernaan yang berbeda. Serat kasar pada ternak unggas tidak
dapat dicerna, karena tidak me mpunyai mikroorganisme dalam s aluran
pencernaannya. Oleh karena itu, bila serat kasar tidak tercerna pada ternak
unggas secara keseluruhan dapat membawa zat-zat makanan yang dapat dicerna
dari bahan-bahan makanan lain akan ditemukan kembali pada feses (Wahyu, J.
1997). Sesuai dengan pernyataan Ranjhan, (1980) tinggi rendahnya kecernaan
zat-zat makanan dalam bahan pakan dapat dipengaruhi oleh laju perjalanan
makanan di dalam saluran pencernaan serta kandungan zat-zat makanan yang
terdapat bahan tersebut.
Tingginya kecernaan bahan keri ng disebabkan rendahnya kandungan
bahan kering yang dieksresikan kembali dalam feses dan Culli son, (1978)
mengemukakan bahwa zat makanan yang terdapat di dalam feses dianggap zat
makanan yang tidak tercerna dan tidak diperlukan kembali sehingga sedikit
kandungan bahan kering dalam feses maka semakin tinggi nilai kecernaannya.
79
4.2.4. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Bahan Organik
Rataan nilai kecernaan bahan organik percobaan disajikan pada tabel 4
dibawah ini.
Tabel 4. Rataan Nilai Kecernaan Bahan Organik Bungkil Inti Sawit, Bungkil Inti
Sawit Fermentasi pada Ayam Broiler
Perlakuan
Ulangan
Non Fermentasi Fermentasi
(%)
1. 56,50 68,77
2. 56,48 69,71
3. 55,85 69,67
4. 56,13 69,44
5. 56,00 69,45
6. 56,29 68,99
7. 55,88 70,30
8. 56,32 69,83
9. 55,39 68,87
10. 55,88 69,45
Jumlah 560,71 694,49
Rata-rata 56,07
a
69,45
b
Tabel 4 memperlihatkan bahwa r ataan nilai kecernaan bahan organik
bungkil inti sawit yang difermentasi mengalami peningkatan dibandingkan tanpa
fermentasi. Peningkatan nilai kecernaan bahan organik tersebut sebesar 23,86%,
yakni dari 56,07% menjadi 69,45%. Selanjutnya dilakukan anal isis statistik
dengan menggunkan uji t-student (Lampiran 5.), menunjukan perbedaan yang
nyata (P<0.05).
Tingginya nilai kecernaan bahan organik tersebut disebabkan oleh
tingginya nilai kecernaan bahan kering dari bungkil inti sawit yang difermentasi.
Selain itu bahan makanan yang menggandung zat organik seperti karbohidrat,
karena pada karbohidrat merupakan lebih kurang tiga perempat bagian dari bahan
80
kering yang sebagian besar terdapat pada tumbuh-tumbuhan (Anggorodi, 1985),
sehinga karbohidrat tersebut terurai dan ditemukan kembali dipada feses dalam
jumlah sangat sedikit. Semakin sedikit bahan kering yang dit emukan di feses
maka kecernaan dari bahan kering tersebut sangat tinggi, begitu pula pada bahan
organik dan bahan kering merupakan ukuran dalam pemberian suatu makanan zat
organik. Hal ini sejalan dengan prinsip perhitungan bahan organik dari analisis
proksimat, dimana semakin tinggi persentase bahan kering maka akan diikuti
oleh peningkatan persentase bahan organik (Tillman, dkk. 1998).
4.2.5. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Protein Kasar
Tabel 5. Rataan Nilai Kecernaan Protein Kasar Bungkil Inti Sawit, Bungkil Inti
Sawit Fermentasi pada Ayam Broiler
Perlakuan
Ulangan
Non Fermentasi Fermentasi
(%)
1. 59,56 69,98
2. 59,01 71,80
3. 57,97 71,59
4. 59,09 70,81
5. 59,03 70,48
6. 59,76 70,09
7. 58,12 72,30
8. 58,67 71,91
9. 58,20 70,65
10. 58,06 71,31
Jumlah 587,46 710,92
Rata-rata 58,75
a
71,09
b
81
Berdasarkan tabel 5, tampak terjadi kenaikan nilai kecernaan protein kasar
pada bungkil inti sawit yang difermentasi. Kenaikan kecernaan protein kasar
sebesar 21,00 %, yakni dari 58,75% menjadi 71,09%. Berdasarkan analisis
statistik dengan menggunakan u ji t-student (Lampiran 6.), menunju kan
perbedaan yang nyata (P<0.05).
Adanya peningkatan kecernaan ini, disebabkan bungkil inti sawit yang
difermentasi mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi dan kandungan
serat kasar yang lebih rendah dibandingkan dengan bungkil inti sawit yang tidak
difermentasi. Protein yang dikonsumsi tergantung dari kandungan protein dalam
bahan pakan tersebut, semakin tinggi tingkat protein di dalam bahan pakan, maka
konsumsi protein makin tinggi pula, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap
nilai kecernaan bahan pakan tersebut (Wahju, J., 1997).
Selain itu protein yang dalam bungkil inti sawit yang difermentasi
disebabkan rendahnya serat kasar, karena serat kasar tersebut didegradasi oleh
enzim selulase yang dihasilkan oleh jamur Marasmius sp. sehingga tidak
mempengaruhi proses pencernaan protein dalam saluran pencern aan.
Meningkatnya nilai daya cerna bahan pakan bungkil initi sawit yang difermentasi
disebabkan pula oleh enzim prorease sebagai katalisator dalam pencernaan
protein (proteolitik), sehingga di dalam saluran pencernaan protein menjadi lebih
mudah dicerna (Sudarmadji, 1975). Oleh karena itu, tingginya nilai kecernaan
bahan kering akan berpengaruh terhadap protein, dan menurut Morisson, (1961)
82
protein merupakan bagian dari bahan kering sehingga apabila kecernaan bahan
kering tinggi maka daya cerna protein juga tinggi. Dimana daya cerna bahan
kering menunjukan tingginya kualitas ransum. Protein yang mudah dicerna
merupakan protein yang berkualitas baik (Bautrif, 1990).
83
DAFTAR PUSTAKA
Atmadilaga, D. 1991. Rekayasa Genetika dan Bioteknologi Mutakir Terobosan
Kelambanan Bioteknologi Konves ional dan Meningkatkan Produks i
pertanian. Universitas Putra Bangsa, Surabaya.
Jay,L.M. 1978. Modern Food Microbiologi. D Van Nostrund Company, New
York, Toronto, London.
Kuhad, R.C., A. Singh, K.K. Triphati, R.K. Saxena, dan K. Eriksson. 1997.
Mikroorganisms as Alternative Source Prorein. Nutr. Rev 55, 65-75.
Leoniwics, A., Matuszewska, J. Luterek, D. Ziegenhagen, M. Wojtaswisilewska,
N.S. Cho, M. Hofrichter, dan J. Rogalsky. 1999. Biodegradation of Linin
by White-rot Fungi. Funct. Gen. Biol 27, 175-185.
Musnandar,E. 2003. Rumput Hayati Sabut Sawit Oleh jamur Marasmius sp.
Serta Pemanfaatanya Pada Kambi ng Kacang. Disertasi, Pascasarjana
Unpad, Bandung.
Parakasi. 1983 . Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Angkasa ,
Bandung.
Saono, S. 1976. Pemanfaatan Jasad Renikdalam Pengolahan Hasil Sampingan
Atau Sisa-sisa Produk Pertanian. Berita IPTEK, Jakarta.
Scott, M.L., M.C. Nasheim and R.J. Young. 1982. Nutrition of the Chicken. 3
nd. Ed. M.L. Scott and Ithaca, New York.
Schnider, B.H dan W.P. Flatt. 1973. The Evaluation of Feeds Through
Digestibility Experiment. The University of Georgia Press, New York.
Sibbald I.R., J.D. Summers and Slingers. 1960. Factors Affecting The
Metabolisme Energy Content of Poultry Feed. Poultry Science.
Suhermiyati, S. 2003. Biokonversi Limbah Kakao Oleh Marasmius sp. dan
Saccharomyces cerevisae Serta Implikasi Efeknya Terhadap Produksi Ayam
Broiler. Disertasi, Pascasarjana, Unpad, Bandung.
84
Tilman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S.
Lebdosoekojo 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University
Press, Yogyakarta.
Tulung, B. 1987. Efek Fisiologis Serat Kasar Di Dalam Alat Pencernaan
Bagian Bawah Hewan Monogastrik. Makalah Simposium Biologi, Unstrat
Menado.
Wahju, J. 1988. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan Kedua. Gajah Mada University
Press, Yogyakarta.
Winarno, F.G. 1980. Bahan Pangan Terfermentasi. Pusat penelitian dan
Pengembangan Teknologi Pangan, IPB, Bogor.
Wolayan, F.R. 1998. Pengaruh Fermentasi Bungkil Kelapa Menggunakan
Trichoderma viride terhadap Komposisi Kimia Dan Kernaan Protein Pada
Ayam Broiler. Disertasi, Pascasarjana IPB, Bogor.
10. BIODATA TIM PELAKSANA
A. CURRICULUM VITAE KETUA PENELITI
Nama lengkap dan Gelar : DR. Ir. Tuti Widjastuti, MS.
Pangkat / Golongan : Pembina / IVa.
Unit Kerja : Staf Pengajar Fakultas Peterna kan Universitas
Padjadjaran.
Alamat : Jl. Sepak Bola No. 3 Arcamanik, Bandung - 40293.
Pendidikan : 1. Sarjana Peternakan (S
1
) UNPAD.
2. Magister Sains (S
2
) IPB.
3. Doktor (S
3
) UNPAD.
Pengalaman penelitian : 24 (dua puluh empat) tahun.
Track Record Penelitian:
85
1. Penentuan efisiensi Penggunaan Protein, Kebutuhan Protein dan Efisiensi
untuk Pertumbuhan dan Produksi Telur Ayam Sentul pada Kandang Sistem
Litter dan system Cage (Desertasi, Tahun 1996).
2. Hubungan Antara Efisiensi Penggunaan Protein dengan Keseimbangan
Energi/ Protein pada Pertumbuhan Ayam Sentul (Tahun 1999).
3. Pengaruh Tingkat Pemberian Yodium dan Tingkat Protein Ransum terhadap
Performans Ayam Kampung Jantan (Tahun 2000).
4. Hasil-hasil Penetasan Ayam Sentul pada Dua Sistem Alas Kandang yang
Diberi Ransum dengan Berbagai Tingkat Energi/Protein (Tahun 2000).
5. Aplikasi Teknologi Peternakan Mengoptimalkan Potensi Usaha Peternakan
Ayam Buras di Pedesaan (Tahun 2000).
6. Pemanfaatan Tepung Daun Singkong dalam Upaya Peningkatan Kualitas
Telur Ayam Lokal (Tahun 2001).
7. Usaha Ternak Ayam Buras Melalui Optimalisasi Pemanfaatan Limbah
Pertanian di Pedesaan (Tahun 2001).
8. Pengaruh Subtitusi Tepung Ikan dan Tepung Pupa Ulat Sutera (Bombyx-mori
Linn) dalam Ransum Terhadap Performan Itik Lokal Jantan (Tahun 2002).
Track Record Pendidikan dan Pengajaran:
1. Memberikan kuliah Ilmu Management Ternak Unggas dan Ilmu Produksi
Aneka Ternak di S
1
reguler dan ekstension Fakultas Peternakan UNPAD.
2. Membimbing Skripsi S
1
dan Thesis S
2.
3. Menguji pada Sidang Sarjana S
1
dan S
2.
4. Membimbing laporan mahasiswa D
3
Fakultas Peternakan UNPAD.
5. Membimbing praktek kerja lapangan mahasiswa Fakultas Peternakan
UNPAD.
6. Mengikuti seminar, loka karya dan penataran yang diselenggarakan di dalam
dan di luar lingkungan Universitas Padjadjaran.
86
7. Membantu penyuluhan bidang perunggasan pada masyarakat pedesaan Jawa
Barat.
8. Melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
B. CURRICULUM VITAE ANGGOTA PENELITI I
Nama lengkap dan Gelar : Ir. A b u n , MP.
Pangkat / Golongan : Penata / III-C
Jabatan Fungsional : Lektor Kepala
Unit Kerja : Staf Pengajar Fakultas Peterna kan Universitas
Padjadjaran.
Alamat : Komp. Rancaekek Permai Blok E 4 No. 11 BDG.
Pendidikan : 1. Sarjana Peternakan Unpad (S
1
) (Tahun 1991).
2. Magister Pertanian Unpad (S
2
) Bidang Ilmu Nutrisi
Ternak (Tahun 2002).
Track Record Penelitian:
1. Pengaruh Perbedaan Spesies Jamur dan Tingkat Perbandingan Bu ngkil
Kelapa dan Onggok terhadap Perubahan Nilai Gizi dan Kecernaan Bahan
Kering Pada Ayam Pedaging (2000).
2. Pengaruh Suhu dan Ketinggian Tempat terhadap Produksi Ayam Pedaging
(2001).
3. Penentuan Nilai Kecernaan Ransum Mengandung Ampas Umbi Garut
(Maranta arundinacea Linn.) pada Ayam Broiler dengan Metode
Pemotongan (2002).
4. Pengaruh Cara Pengolahan Limbah Ikan Tuna (Thunnus atlanticus) terhadap
Kandungan Gizi dan Energi Metabolis pada Ayam Pedaging (2002).
5. Pengolahan Limbah Umbi Garut (Maranta arundinacea Linn.) melalui
Fermentasi dengan Aspergillus niger terhadap Perubahan Nilai Gizi dan
Kecernaan Ransum pada Ayam Broiler (2003).
87
6. Biokonversi Ampas Umbi Garut (Maranta arundinacea Linn.) oleh
Aspergillus niger terhadap Perubahan Komposisi Gizi dan Nilai Energi
Metabolis pada Ayam Broiler (2003).
7. Pengaruh Dosis Inokulum Aspergillus niger dan Lama Fermentasi terhadap
Perubahan Protein Kasar dan Serat Kasar Ampas Umbi Garut (2004).
8. Pengaruh Cara Pengolahan Limbah Ikan Tuna (Thunnus atlanticus) terhadap
Kandungan Gizi dan Nilai Energi Metabolis pada Ayam Pedaging (2004).
Track Record Pendidikan dan Pengajaran:
1. Memberikan kuliah Nutrisi Ternak Unggas, Teknologi Pengolahan Pakan,
Bioteknologi Pakan dan Nutrisi Ternak Eksperimental pada Program S-1
Reguler, Fakultas Peternakan Unpad.
2. Membimbing Skripsi S-1
dan D-3
.
3. Membimbing Praktek Kerja Lapang.
4. Menguji pada Sidang Program D-3, S-1
dan S-2
.
5. Membimbing laporan mahasiswa D
3
Fakultas Peternakan UNPAD.
6. Mengikuti seminar, loka karya dan penataran yang diselenggarakan di dalam
dan di luar lingkungan Universitas Padjadjaran.
7. Membimbing Kuliah Kerja Nyata.
8. Melakukan Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat.
C. CURRICULUM VITAE ANGGOTA PENELITI II
Nama lengkap dan Gelar : Ir. Wiwin Tanwiriah, MS.
Pangkat / Golongan : Penata Muda/III-A
Jabatan Fungsional : Asisten Ahli
88
Unit Kerja : Staf Pengajar Fakultas Peterna kan Universitas
Padjadjaran.
Alamat : Kabupaten Garut.
Pendidikan : 1. Sarjana Peternakan Unpad (S
1
)
2. Magister Peternakan Unpad (S
2
) Bidang Produksi
Ternak.
Track Record Penelitian:
1. Pengaruh Kriteria Pengisian Ransum dengan Bentuk Fisik yang Berbeda
dalam Tempat Makanan terhadap Jumlah Ransum yang Terhambur pada
Ayam Petelur.
2. Pengaruh Umur Induk dan Frekwensi Pengambilan Telur Tetas Ayam Buras
Sentul terhadap Fertilitas dan Hasil Penetasan.
3. Pengaruh Tingkat Pemberian Temulawak pada Ayam Petelur yang Diberi
Ransum Kadar Lemak Berbeda terhadap Produksi dan Kadar Kolesterol
Telur.
4. Penentuan Efisiensi Penggunaan Protein dan Kebutuhan Protein Untuk
Pertumbuhan dan Produksi Telur pada Itik Tegal.
5. Pengaruh Lamanya Pemuasaan pada Perlakuan Force Molting terhadap
Performan Ayam Petelur.
Track Record Pendidikan dan Pengajaran:
1. Memberikan kuliah Ilmu Management Ternak Unggas dan Ilmu Produksi
Aneka Ternak di S
1
reguler Fakultas Peternakan UNPAD.
2. Membimbing Skripsi S-1
dan D-3
.
3. Membimbing Praktek Kerja Lapang.
4. Menguji pada Sidang Program D-3, dan S-1
.
5. Membimbing laporan mahasiswa D
3
Fakultas Peternakan UNPAD.
89
6. Mengikuti seminar, loka karya dan penataran yang diselenggarakan di dalam
dan di luar lingkungan Universitas Padjadjaran.
7. Membimbing Kuliah Kerja Nyata.
8. Melakukan Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat.
D. CURRICULUM VITAE ANGGOTA PENELITI III
Nama lengkap dan Gelar : Indrawati Yudha Asmara, SPt., MSi.
Pangkat / Golongan : Penata Muda tingkat I/III-b
Jabatan Fungsional : Asisten Ahli
Unit Kerja : Staf Pengajar Fakultas Peterna kan Universitas
Padjadjaran.
Alamat : Pamulihan, Kec. Cilengkrang Bandung
Pendidikan : 1. Sarjana Peternakan Unpad (S
1
)
2. Magister Sains (S
2
) Institut Teknologi Bandung.
Track Record Penelitian:
1. Pengaruh Kepadatan Ayam dan Imbangan Energi Protein terhadap Bobot
Hidup, Bobot Karkas dan Kualitas Karkas Ayam Broiler.
2. Pengelolaan Burung Maleo (Macrosephalon maleo) di Suaka Marga Satwa
Penjan-Tanjung Matop Sulawesi Tengah.
Track Record Pendidikan dan Pengajaran:
1. Memberikan kuliah Ilmu Management Ternak Unggas dan dan Produksi
Ternak Unggas di S
1
reguler Fakultas Peternakan UNPAD.
2. Membimbing Skripsi S-1
3. Membimbing Praktek Kerja Lapang.
90
4. Menguji pada Sidang Program D-3, dan S-1
.
5. Mengikuti seminar, loka karya dan penataran yang diselenggarakan di dalam
dan di luar lingkungan Universitas Padjadjaran.
6. Membimbing Kuliah Kerja Nyata.
7. Membimbing Kuliah Kerja Nyata.