Anda di halaman 1dari 15

case report EFUSI PLEURA

PENDAHULUAN Efusi pleura adalah penimbunan cairan di dalam rongga pleura akibat transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi pleura bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan pertanda suatu penyakit. Pada keadaan normal, rongga pleura hanya mengandung sedikit cairan sebanyak 10-20 ml yang membentuk lapisan tipis pada pleura parietalis dan viseralis, dengan fungsi utama sebagai pelican gesekan antara permukaan kedua pleura pada waktu pernafasan. Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan efusi pleura adalah tuberkulosis, infeksi paru non-tuberkulosis, keganasan, sirosis hati, trauma tembus atau tumpul pada daerah dada, infark paru, serta gagal jantung kongestif. Di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di negaranegana yang sedang berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan oleh infeksi tuberculosis

LAPORAN KASUS Identitas Pasien Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Alamat : Sandi : 45 tahun : Laki-laki : Petani : Bandar Lampung

Tanggal masuk RS : 26 April 2011

Hasil Anamnesis Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 26 April 2010 pukul 11.00 WIB. a. Keluhan utama : Sesak nafas sejak 3 hari yang lalu b. Keluhan tambahan : c. Sesak nafas pada saat aktivitas Nyeri dada +/Batuk berdahak dengan bercak darah sejak 1 bulan yang lalu Nafsu makan menurun sejak 1 bulan yang lalu

Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke Poli Paru RS Pendidikan Unila dengan keluhan sesak nafas sejak 3 hari yang lalu. Sesak nafas dirasakan hilang timbul. Pasien mengeluh sesak nafas jika pasien melakukan aktivitas. Pasien juga mengeluh nyeri dada di sebelah kanan dan batuk-batuk yang dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Pasien batuk dengan mengeluarkan sputum berwarna putih disertai bercak darah. Nafsu makan pasien sejak 1 bulan yang lalu menurun. Pasien pernah melakukan pengobatan dengan seorang dokter umum di rumahsakit swasta di Bandar Lampung dan mendapatkan 4 macam obat, tetapi pasien tidak dapat mengingat jenis obat yang telah diberikan.

d. Riwayat penyakit dahulu pasien : Pasien mengaku tidak pernah menderita keluhan seperti ini sebelumnya. e. Riwayat Pengobatan : Pasien pernah melakukan pengobatan terhadap keluhannya dengan seorang dokter umum di rumahsakit swasta di Bandar Lampung dan mendapatkan 4 macam obat, tetapi pasien tidak dapat mengingat jenis obat yang telah diberikan. Pasien tidak ada riwayat alergi obat-obatan.

f. Riwayat penyakit keluarga dan lingkungan : Dikeluarga maupun di lingkungan pasien tidak ada yang menderita keluhan yang sama. g. Riwayat perilaku/kebiasaan Pasien mengaku sebagai perokok selama 10 tahun, tetapi telah berhenti merokok sejak 6 bulan yang lalu.

Hasil Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 26 April 2011 pada pukul 11.30 WIB.

a. Keadaan umum : Pasien tampak sakit sedang.

b. Status Gizi : Tinggi Berat IMT : 160 cm : 45 Kg : 17,57 (kurang)

c. Tanda Vital : Tekanan darah Denyut nadi Respirasi rate Temperatur : 80/50 mmHg (Hipotensi) : 76x/menit (Normal) : 23x/menit (Meningkat) : 35,70C (Hipotermi)

d. Inspeksi : Ekspresi wajah Warna kulit Bentuk dada Gerakan pernafasan : pasien tampak sakit : tidak sianosis : statis, simetris dan tidak ada deformitas : dada kanan tertinggal dari dada kiri

Retraksi otot pernafasan : (-)

e. Palpasi : Gerakan pernafasan Nyeri dada Massa/benjolan Taktil fremitus : Dada kanan tertinggal dari dada kiri : -/: (-) : menurun pada dada kanan

f. Perkusi : Batas diafragma dan hepar ada pada ICS 5 Redup pada ICS 2 dextra Jantung dalam batas normal

g. Auskultasi : Wheezing : -/-

Ronki basah halus : +/Vesikuler : menurun

Pemeriksaan Penunjang a. Spirometri Pemeriksaan ini tidak dilakukan tidak dilakukan

b. Pemeriksaan laboratorium : Pemeriksaan sputum BTA belum dilakukan, normalnya tidak ditemukan BTA pada sputum. c. Pemeriksaan rontgen : Hasil yang diperoleh adalah efusi massif pleura dextra, normalnya tidak ditemukan efusi pada pleura dan pulmo akan terlihat radiolusen karena ada udara dan radioopak karena adanya costae.

PEMBAHASAN

Dari hasil anamnesis didapatkan adanya sesak nafas yang timbul saat aktivitas, nyeri dada kanan, dan batuk berdahak dengan bercak darah. Hal ini menunjukkan adanya gangguan pada system pernafasan. Adanya riwayat merokok selama 10 tahun merupakan factor yang mendukung timbulnya gangguan pada system tersebut.

Dari hasil pemeriksaan fisik, pasien didapatkan status gizi yang kurang, hal ini dapat disebabkan karena pengaruh dari penyakit yang diderita dimana pasien mengalami penurunan pada nafsu makan. Pada saat anamnesis pasien tidak mengetahui berat badan sebelumnya, sehingga tidak diketahui apakah pasien mengalami penurunan berat badan atau tidak. Penurunan berat badan dapat menjadi salah satu gejala dari tuberculosis dan keganasan. Pada pemeriksaan tanda vital, didapatkan bahwa pasien mengalami hipotensi (TD : 80/50 mmHg), hipotermi (T : 35,70C), denyut nadi normal (76x/menit) dan takipneu (23x/menit).

Hasil inspeksi pada pasien didapatkan adanya ketertingalan dada kanan dari dada kiri saat bernafas (keterlambatan gerakan pernafasan unilateral), hal ini menunjukkan adanya gangguan yang penyebab dasarnya di paru atau pleura dan paralisis nervus frenikus.

Hasil palpasi dada anterior pasien selain didapatkan adanya ketertinggalan gerakan pernafasan pada dada kanan, didapatkan pula taktil fremitus yang menurun. Taktil fremitus yang menurun dapat merupakan suatu gejala dari asma bronchial, emfisema, efusi pleura, atelektasis obstruksi, obesitas dan

pneumothorak.

Pada perkusi dada anterior pasien, didapatkan hasil redup dimulai dari ICS 2 dextra. Perkusi yang normal pada paru adalah sonor yang menandakan adanya udara. Perkusi redup menandakan bahwa pada paru terdapat suatu cairan, penyakit yang memiliki perkusi redup antara lain konsolidasi, efusi pleura dan fibrosis.

Dari hasil auskultasi dada anterior pasien, didapatkan bahwa adanya suara tambahan yaitu ronki basah halus pada dada kanan dan pernafasan vesikuler yang menurun. Ronki pada pernafasan adalah suara tambahan yang merupakan pertanda patologis. Suara ini timbul karena adanya secret dalam saluran pernafasan atau terbukanya alveolus yang kolaps. Pada ronki basah halus ditimbulkan oleh krepitasi atau gesekan cilia saluran pernafasan yang antara lain dapat dijumpai pada early lung edema dan pneumonia. Vesikuler merupakan suara pernafasan dasar. Suara vesikuler yang melemah atau menurun dapat ditimbulkan oleh beberapa penyebab antaralain efusi pleura, pneumothorak, awal pneumonia, edema paru, emfisema paru, nyeri pleuritik dan sebagainya.

Pada kasus ini, pemeriksaan penunjang yang baru dilakukan adalah foto rontgen thoraks. Hasil yang didapatkan ialah adanya efusi massif pleura pada thoraks dextra. Hal ini menandakan pasien mengalami efusi pleura dimana adanya akumulasi cairan pada rongga pleura yang massif pada dada kanan.

Diagnosis Banding Dalam kasus ini, diagnosis banding yang mungkin adalah : a. Efusi pleura massif dextra et causa pleuritis tuberculosa b. Efusi pleura massif dextra et causa keganasan paru

a. Efusi pleura massif dextra et causa pleuritis tuberculosa

Gejala Klinis Gejala klinik tuberculosis paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala local dan gejala sistemik. Gejala respiratorik batuk lebih dari 2 minggu batuk darah sesak napas nyeri dada

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala sistemik Demam Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun Gejala tuberkulosis ekstra paru Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat. Pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

Pemeriksaan Fisik Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

Dalam kasus ini, cukup banyak gejala klinis dan pemeriksaan fisik pada pasien yang menunjukkan kesamaan dengan literature.

Pemeriksaan Penunjang Untuk menegakkan diagnosis efusi pleura massif dextra et causa tuberculosis paru, harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti analisis cairan pleura, indentifikasi BTA ( dengan pemeriksaan sputum, biakan cairan pleura atau dengan kultur jaringan dari biopsy jaringan pleura), biopsy jaringan pleura untuk melihat gambaran histopatologi.

Analisis Cairan Pleura Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah Indentifikasi BTA Dengan specimen sputum Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS): Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan) Pagi ( keesokan harinya ) Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)

atau setiap pagi 3 hari berturut-turut. Dengan biakan cairan pleura Dengan kultur dari jaringan pleura yang di biopsi Pemeriksaan histopatologi jaringan Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsy yaitu biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman). Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histopatologi.

Jika didapatkan bakteri tahan asam dan hasil pemeriksaan penunjang lainnya diatas menunjukkan positif tuberculosis, maka dapat dipastikan pasien menderita efusi pleura massif dextra et causa tuberculosis paru. Penyakit ini kebanyakan terjadi sebagai komplikasi penyakit tuberculosis paru melalui focus subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat juga melalui robeknya perkijuan kearah saluran getah bening yang menuju rongga pleura, costa atau columna vertebralis.

Rencana Terapi Dengan melakukan Water Sealed Drainage (WSD) untuk menghilangkan

sesak dan akumulasi cairan eksudat pada rongga pleura, dan pemberian obatobat anti tuberculosis (rimfampisin, INH, Pirazinamid/Etambutol/

Streptomisin) selama 6-12 bulan.

Rencana Edukasi Edukasi yang diberikan pada pasien adalah mengenai penyakit pasien yang bersifat menular dan memerlukan pengobatan dalam jangka waktu lama, sehingga pasien harus sabar dan taat minum obat. Selain itu anggota juga perlu memeriksakan dahaknya, karena memiliki kemungkinan tertular, anggota

keluarga juga harus mengingatkan dan memotivasi pasien dalam menjalani pengobatan.

b. Efusi pleura massif dextra et causa keganasan

Gejala Klinis Pada anamnesis kecuali gejala klinis seperti sesak napas yang berkaitan dengan volume cairan atau keluhan lain maka riwayat perjalanan klinis yang mengarah ke penyakit keganasan rongga toraks dan organ luar toraks lain harus dapat digali secara baik, sistematik dan tepat. Faktor risiko untuk

penyakit keganasan lain yang dipunyai pasien dapat memperkuat analisis, misalnya laki- laki usia lebih dari 40 tahun dan perokok atau perempuan dengan riwayat pernah dikemoterapi untuk kanker payudara. Kebanyakan kasus EPG (Efusi Pleura Ganas) simptomatis meskipun sekitar 15% datang tanpa gejala, terutama pasien dengan volume cairan kurang dari 500ml.

Sesak napas adalah gejala tersering pada kasus EPG terutama jika volume cairan sangat banyak. Sesak napas terjadi karena reflex neurogenik paru dan dinding dada karena penurunan keteregangan (compliance) paru,

penurunan volume paru ipsilateral, pendorongan mediastinum ke arah kontralateral dan penekanan diafragma ipsilateral. Gejala lain adalah nyeri dada sebagai akibat reaksi inflamasi pada pleura parietal terutama pada mesotelioma, batuk, batuk darah (pada karsinoma bronkogenik), anoreksia dan berat badan turun

Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik, penderita dapat terlihat sesak nafas dengan pernafasan yang dangkal, hemitoraks yang sakit lebih cembung, ruang sela iga melebar, mendatar dan tertinggal pada pernafasan. Fremitus suara melemah sampai menghilang, dan pada perkusi terdengar suara redup sampai pekak di daerah efusi, tergantung jumlah cairan; untuk menimbulkan suara pekak paling sedikit harus terdapat cairan sekitar 500 ml. Selain itu, dapat ditemukan tanda-

10

tanda pendorongan jantung dan mediastinum ke arah sisi yang sehat. Pada auskultasi, suara pernafasan melemah sampai menghilang pada daerah efusi pleura

Dalam kasus ini, cukup banyak gejala klinis dan pemeriksaan fisik pada pasien yang mendukung diagnosis klinis efusi pleura massif dextra et causa keganasan paru.

Pemeriksaan Penunjang Untuk menegakkan diagnosis efusi pleura massif dextra et causa keganasan paru, maka beberapa pemeriksaan selain foto rontgen yang harus dilakukan adalah Analisis jenis cairan pleura, torakosentesis, biopsi pleura, pemeriksaan patologi anatomi dan bronkoskopi Analisis cairan pleura Cairan efusi pleura keganasan pada umumnya merupakan suatu eksudat serta lazim bersifat hemoragik. Kadar protein pada umumnya tinggi (lebih dari 3 g/dl), demikian juga kadar LDH (di atas 200 UI). Kadar glukosa kurang dari 60 mg/dl, jumlah eosinofil meningkat, jumlah limfosit pada hitung jenis leukosit 50% atau lebih, dan jumlah eritrosit lebih dari 100.000/ ml.

Torakosentesis, biopsi pleura dan pemeriksaan patologi anatomi Diagnosis pasti keganasan adalah dengan penemuan sel ganas pada cairan pleura (sitologi) atau jaringan pleura (histologi patologi)

Bronkoskopi Jika dengan pencitraan tidak ditemukan tumor primer intratoraks maka perlu dilakukan bronkoskopi. Dengan menggunakan bronkoskop dapat dilihat tanda keganasan (mukosa infiltratif atau tumor primer) pada lumen bronkus atau penekanan dinding bronkus oleh massa sentral di rongga toraks. Dengan menggunakan bronkoskop light imaging fluorescence endoscopy (LIFE) bahkan dapat dideteksi lesi praneoplastik. Penting diingat sebaiknya bronkoskopi dilakukan setelah usaha pengurangan volume cairan pleura telah dilakukan dengan maksimal sehingga observasi

11

intrabronkus dapat maksimal dan tidak terganggu dengan obstruksi kompresi akibat tekanan efusi pleura yang masif.

Rencana Terapi Penatalaksanaan EPG harus segera dilakukan sebagai terapi paliatif setelah diagnosis dapat ditegakkan. Tujuan utama penatalaksanaan segera ini adalah untuk mengatasi keluhan akibat volume cairan dan meningkatkan kualiti hidup penderita. Pada pedoman penatalaksanaan KPKBSK menurut PDPI, EPG dengan cairan masif yang menimbulkan gejala klinis sehingga mengganggu kualiti hidup penderita maka dapat dilakukan torakosentesis berulang atau jika perlu dengan pemasangan water sealed drainage (WSD). Pada kasus-kasus tertentu harus dilakukan pleurodesis yaitu dengan memasukkan bahan tertentu ke rongga pleura. Intervensi bedah dilakukan jika semua usaha telah dilakukan dan gagal. Pada EPG yang tidak masif dan gejala klinis ringan terapi khusus tidak dibutuhkan. Efek terapi diharapkan timbul dari pemberian kemoterapi yang menjadi pilihan terapi kanker paru. Pilihan kemoterapi berdasarkan jenis sel kanker paru (KPKBSK atau KPKSK), stage penyakit dan tampilan pasien. Kemoterapi adalah pilihan terapi dengan tujuan paliatif untuk KPKSK dan KPKBSK stage IIIB dan IV. Jika EPG disebabkan tumor lain di luar paru maka penatalaksanaan EPG hanya untuk mengatasi masalah klinis di paru yang ditimbulkan. Tindakan yang dilakukan sama dengan penatalaksanaan EPG massif pada kanker paru. Sedangkan jika EPG dengan klinis ringan terapi berdasarkan tumor primer penyebab. Alur penatalaksanaan dapat dilihat pada gambar 2.

12

Volume cairan yang harus dikeluarkan saat torakosentesis pada EPG massif tidak baku untuk semua kasus, untuk memutuskan jumlah cairan yang akan dikeluarkan penting diperhatikan reaksi tubuh pasien, umumnya tidak dianjurkan mengeluarkan > 1.500 ml satu kali punksi untuk mencegah terjadi syok karena hipovolemik mendadak dan/ atau reaksi pemutaran organ mediastinum (jantung). Pengosongan dalam jumlah banyak dan tiba-tiba juga dapat menyebabkan terjadi peningkatan permeabiliti kapiler sehingga menyebabkan edema paru reekspansi. Demikian juga pada kondisi jika harus dilakukan pemasangan WSD, pada awalnya dilakukan pengaliran secara bertahap dengan jumlah 100-300 ml per 4 jam sampai terjadi produksi harian yang stabil pada posisi WSD terpasang dan aliran tetap terbuka. Rekomendasi dari BTS tentang torakosentesis pada EPG; melakukan punksi berulang untuk mengatasi sesak napas dan WSD hanya dianjurkan bila direncanakan akan dilakukan pleurodesis untuk mencegah terjadi rekurensi.7 Pada kondisi cairan yang terus diproduksi dilakukan usaha untuk mengurangi produksi cairan dengan target sel tumor yang ada di rongga pleura (kemoterapi intrapleura). Biasanya dilakukan setelah volume cairan yang diproduksi sudah tidak terlalu banyak (<400 ml/hari). Jenis obat yang sering digunakan untuk tujuan itu adalah bleomisin dengan dosis 45-60 mg/kali atau adriamisin 45 mg/kali.

13

Kemoteapi intrapleura dan pleurodesis adalah terapi paliatif pada kasus EPG dengan keluhan (simptomatik) dan/ atau berulang. Kemoterapi intrapleura pada dasarnya istilah yang tidak terlalu tepat karena mekanisme kerjanya tidak sama dengan kemoterapi sistemik yaitu membunuh sel kanker melalui proses apoptosis. Pemberian obat antikanker intrapleura mengharapkan terjadi penyumbatan pada vena atau limphe di pleura parietalis sehingga produksi cairan dapat berkurang. Penggunaan obat antikanker (kemoterapi) dengan prinsip pleurodesis dilakukan bila paru sudah mengembang dan tidak ditemukan obstruksi bronkus atau fibrosis yang luas, dan sebaiknya segera dilakukan setelah jumlah cairan minimal (<150 ml/ hari) dan paru mengembang. Kemoterapi intrapleura diindikasikan untuk kanker paru dengan masalah efusi pleura yang produktif setelah dilakukan punksi berulang atau setelah pemasangan WSD. Penggunaan continous suction sebelum atau sesudah tindakan masih pro dan kontra, tetapi apabila tetap digunakan sebaiknya dengan volume besar dan tekanan rendah. Penggunaan antikanker misalnya bleomisin atau adriamisin digunakan untuk kemoterapi intapleura lebih disukai karena prosedur lebih sederhana, tinggi efektiviti dan ringan efek samping tetapi mahal harganya. Obat itu juga dapat digunakan untuk pleurodesis. Dosis bleomisin atau adriamisin yang direkomendasikan adalah 30-60 mg intrapleura perkali. Dosis yang sering digunakan adalah 45 mg/kali dan dapat dilakukan hingga 3x dengan evaluasi 1 minggu. Tindakan invasif atau bedah dapat dipikirkan jika setelah pemberian kemoterapi intrapleura 3x belum memberi respons yang baik. Bahan lain yang juga sering digunakan untuk pleudesis adalah tetrasiklin 500 mg/kali. doksisiklin 500 mg/kali atau minosiklin 300 mg/kali diencerkan dengan 50-100ml cairan salin steril. Penggunaan bahan ini sedikit lebih rumit karena sifat iritan yang sering menimbulkan syok akibat nyeri yang ditimbulkannya dan membutuhkan premedikasi, antara lain anestetik intrapleura dan analgesik (pain killer) injeksi yang kuat. Talk steril (Mg3Si4010[OH]2), metilprednisolon, povidon iodine dan sitokin (IL-2, IFN- dan TNF-) adalah bahan yang juga dapat digunakan untuk pleurodesis meski masih dalam uji klinis. 2,4,7,19 Pada kasus gagal atau

14

berulang maka pleurodesis dapat diulang,2 sampai 3 kali dengan selang waktu 1 minggu.

Bedah pintas pleuroperitoneal yaitu tindakan pilihan untuk pasien dengan efusi yang menetap setelah dilakukan pleurodesis. Pada kasus dengan produktifiti yang gagal diatasi dengan usaha di atas perlu tindakan pleurektomi yaitu tindakan membuang pleura parietal.

KESIMPULAN

Efusi pleura dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti tuberculosis paru atau keganasan paru. Untuk mendapatkan diagnosis klinis harus dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang yang mendukung.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Nirwan dkk.Efusi Pleura Gana pada Kanker Paru. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi.Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaRS Persahabatan : Jakarta. http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.pdf.diakses 28 April 2011 Bickley, Lynn S.2008.Buku Saku Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan Bates.Jakarta : EGC Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2002.Tuberculosis Pedoman dan penatalaksanaan di Indonesia. http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.pdf. diakses 28 April 2011 Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.2007.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.Jakarta : Departemen IPD FKUI

15

Anda mungkin juga menyukai