Anda di halaman 1dari 92

SKRIPSI

KAJIAN FORMULASI LIGHTER BISCUIT DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PRODUK BARU DI PT ARNOTTS INDONESIA BEKASI

Oleh : MOLID NURMAN HADI F24102076

2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

KAJIAN FORMULASI LIGHTER BISCUIT DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PRODUK BARU DI PT ARNOTTS INDONESIA BEKASI

SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : MOLID NURMAN HADI F24102076

2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KAJIAN FORMULASI LIGHTER BISCUIT DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PRODUK BARU DI PT ARNOTTS INDONESIA BEKASI

SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : MOLID NURMAN HADI F24102076

Dilahirkan pada tanggal 2 Desember 1984 Di Banyumas, Jawa Tengah Tanggal Lulus : 12 Januari 2007

Menyetujui, Bogor, Januari 2007

Ir. Budi Nurtama, MAgr Pembimbing I Mengetahui,

Riris Triwati, STP. Pembimbing II

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Molid Nurman Hadi. F24102076. Kajian Formulasi Lighter Biscuit Dalam Rangka Pengembangan Produk Baru di PT Arnotts Indonesia Bekasi. Di bawah bimbingan : Budi Nurtama dan Riris Triwati. 2007. RINGKASAN Pengembangan produk baru adalah suatu usaha ekstensifikasi dari suatu perusahaan pangan yang merupakan hasil kerja sama antara bagian pengembangan produk, pemasaran, produksi, pengawasan mutu, dan bagian persediaan bahan. Penelitian dan pengembangan merupakan kegiatan perusahaan dalam rangka mengembangkan produk baru dan mengantisipasi perubahan pasar. Formulasi produk merupakan bagian dalam tahap pengembangan produk. Tahap ini merupakan tahap yang sangat penting dalam penciptaan produk baru. Pada tahap ini dicari beberapa alternatif formulasi bahan baku produk sampai dihasilkan formulasi yang optimum hingga dihasilkan produk bermutu yang secara ekonomis menguntungkan dan secara organoleptik dapat diterima dan disukai oleh konsumen. Penelitian ini difokuskan untuk memperoleh rancangan formula pembuatan biskuit lebih khususnya yaitu lighter biscuit yang optimum. Tahap awal dari penelitian ini adalah melakukan uji variasi beberapa bahan baku yaitu bahan pengembang, tepung, pati, shortening, serta uji variasi proses mixing (pencampuran). Kemudian dilanjutkan dengan perancangan formula pembuatan lighter biscuit yang optimum menggunakan program Design Expert version 7 dan secara organoleptik diterima. Jumlah formulasi yang dilakukan sebanyak 12 formula biskuit dengan respon produk yang diukur yaitu % weight loss, % L increase, dan tebal. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan lighter biscuit terdiri atas bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama meliputi : soft flour, pati modifikasi, shortening, gula dan skim. Bahan tambahan meliputi : bahan pengembang, lesitin, garam, air dan flavor susu. Proses pembuatan biskuit terdiri atas penyiapan bahan, menimbang, mixing (pencampuran), proofing (pengistirahatan), laminasi, pencetakan dan baking (pemanggangan). Analisis respon formula menunjukkan hasil bahwa nilai % WT loss paling tinggi yaitu 19.67% terdapat pada formula 3 yang menggunakan soft flour sebesar 40%, pati modifikasi A 4.25%, pati modifikasi B 4.25% dan bahan pengembang 3.5%. Sedangkan yang terendah sebesar 14.43% terdapat pada formula 5 yang menggunakan soft flour sebesar 40%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.0%. Model persamaan polinomial dari respon % weight loss adalah linear. Model ini memiliki nilai p prob>F lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar <0.0001. Hal ini berarti bahwa respon % WT loss sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen formula yang dilakukan. Untuk respon % L increase, nilai tertinggi sebesar 7.45 % terdapat pada formula 7 yang menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.25% dan bahan pengembang 3.5%. Sedangkan yang terendah sebesar 2.69% terdapat pada formula 1 yang menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.25%. Model persamaan polinomial dari respon % L increase adalah linear. Model ini memiliki nilai p prob>F lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar <0.0001.

Hal ini berarti bahwa respon % L increase sangat dipengaruhi oleh komponenkomponen formula yang dilakukan. Analisis respon tebal menunjukkan bahwa nilai tebal tertinggi terdapat pada formula 6 dan 1 yaitu sebesar 0.828 cm. Formula 6 menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati modifikasi A 4.25%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.5%. Sedangkan pada formula 10 digunakan soft flour sebesar 39.5%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.5%. Nilai tebal terendah sebesar 0.7120 cm terdapat pada formula 5 yang menggunakan soft flour sebesar 40%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.0%. Model persamaan polinomial memiliki nilai p prob>F lebih besar dari 0,05. Nilai ini menunjukkan bahwa model linear yang direkomendasikan tidak bersifat signifikan dan respon tebal tidak dipengaruhi oleh komponen-komponen formula yang dilakukan. Formula yang terpilih dari proses optimasi yaitu formula ke-1 (F new 1), dengan komposisi soft flour 39.62%, pati modifikasi A 4.318%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.5%. Formula ini diprediksi akan menghasilkan biskuit dengan tebal 0.823901 cm, nilai % WT loss 17.84%, nilai % L increase 5.65% dengan nilai desirability sebesar 0.964662 artinya formula tersebut akan menghasilkan produk yang memiliki karakteristik paling optimal dan sesuai dengan keinginan kita sebesar 96.47%. Setelah divalidasi diperoleh biskuit dengan nilai tebal 0.95 cm, % WT loss 18.03% dan % L increase 4.53%.

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Molid Nurman Hadi, dilahirkan pada tanggal 2 Desember 1984 di Banyumas dan merupakan putra kelima dari pasangan Djadi Hadi dan (almh) Kuswati. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Wangon III (1990-1996), pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Wangon (19961999), dan pendidikan menengah umum di SMUN 1 Jatilawang (1999-2002). Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 melalui jalur USMI. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis aktif sebagai pengurus BKIM (Badan Kerohanian Mahasiswa Islam) IPB periode 2004-2005 sebagai staf BKIMedia dan periode 2005-2006 sebagai kepala Badan Otonom BKIMedia, serta anggota HIMITEPA. Penulis pernah terlibat dalam kepanitian Seminar Nasional Pangan Halal, BAUR 2004 dan Simposium Nasional Lembaga Dakwah Kampus. Penulis juga pernah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di Desa Cinangka Bogor pada tahun 2005. Terakhir penulis menyelesaikan tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dalam bentuk magang-penelitian di PT Arnotts Indonesia Bekasi dengan judul Kajian Formulasi Lighter Biscuit Dalam Rangka Pengembangan Produk Baru di PT Arnotts Indonesia Bekasi di bawah bimbingan Ir. Budi Nurtama, M.Agr dan Riris Triwati, STP.

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan syukur alhamdulillah kepada Allah SWT atas rahmat, karunia, serta berkah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kajian Formulasi Lighter Biscuit Dalam Rangka Pengembangan Produk Baru di PT Arnotts Indonesia Bekasi. Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan kaum muslimin yang senantiasa memegang teguh ajaran-Nya. Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis, terutama kepada : 1. Ir. Budi Nurtama, M.Agr. selaku Dosen Pembimbing I yang senantiasa sabar dan bijaksana dalam membimbing dan mendukung penulis. 2. Riris Triwati, S.TP. atas kesediaan untuk menjadi pembimbing magang sekaligus Pembimbing II yang senantiasa membantu dan membimbing serta banyak memberikan masukan-masukan kepada penulis. 3. Nur Wulandari, S.TP., MSi. selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis. 4. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis. 5. Keluarga tercinta Bapak, Ibu dan Kakak atas doa, kasih sayang, nasihat, dorongan dan motivasi yang diberikan. 6. Teman sebimbinganku Ruri, atas bantuan dan dukungannya terhadap penulis. 7. Saudara-saudaraku tercinta dan seperjuangan di Wisma Jundullah: Rikza, Hafid, Renato, Fanani, Slamet dan semuanya atas kebersamaan, bantuan, dukungan serta kasih sayangnya. 8. Sahabat-sahabat golongan C khususnya C3: Hana, Bobby dan Yudhan atas kebersamaan, bantuan dan dorongannya kepada penulis

9. Sahabat-sahabat TPG 39 lainnya atas dukungan, kebersamaan, dan persahabatan yang penuh warna. 10. Mba Lia, Bu Darwati, Mba Erni, Bu Yani, Mas Setyo, Mba Indah dan teman-teman magang di lab R&D PT Arnotts Indonesia Bekasi atas bantuan dan kerjasamanya.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh sebab itu masukan dan kritik yang membangun selalu penulis tunggu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2007

Penulis

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI .. DAFTAR TABEL .. DAFTAR GAMBAR . DAFTAR LAMPIRAN . I. PENDAHULUAN A. B. C. LATAR BELAKANG ... TUJUAN MAGANG-PENELITIAN KEGUNAAN MAGANG-PENELITIAN .

i iii v vi vii

1 3 3

II.

TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN A. B. C. D. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN .. LOKASI DAN TATA LETAK PERUSAHAAN .............. STRUKTUR ORGANISASI PERUSAHAAN .................. KETENAGAKERJAAN .................................................... 4 5 6 8

III.

TINJAUAN PUSTAKA A. PENGEMBANGAN PRODUK . B. BISKUIT 1. Definisi ........................................................................... 2. Jenis Biskuit ................................................................... 3. Karakteristik Biskuit ...................................................... C. BAHAN BAKU BISKUIT 1. Tepung .......................................................................... 2. Gula .............................................................................. 3. Lemak dan Minyak ....................................................... 4. Emulsifier ...................................................................... 5. Bahan Pengembang ...................................................... 6. Pati Jagung .................................................................... 7. Garam ............................................................................ 10 12 12 13 13 14 14 16 18 19 21 24 28

iii

D. PEMBUATAN BISKUIT ................................................... E. MIXTURE DESIGN.

29 31

IV.

METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT .... 1. Bahan .............................................................................. 2. Alat ................................................................................. B. METODOLOGI PENELITIAN ........................................ 1. Persiapan ....................................................................... 2. Penelitian Pendahuluan .................................................. 3. Penelitian Utama ............................................................ 33 33 33 33 33 34 37

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. B. C. PROSES PEMBUATAN LIGHTER BISCUIT ................. PENELITIAN PENDAHULUAN..................................... PENELITIAN UTAMA ................................................... 1. Rancangan Percobaan .................................................... 2. Analisis Respon ............................................................. 3. Optimasi Formula .......................................................... 4. Validasi .......................................................................... 38 40 43 43 45 53 56

VI.

KESIMPULAN DAN SARAN A. B. KESIMPULAN .................................................................. SARAN .............................................................................. 57 57

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

58 61

iv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tingkat kemanisan produk hidrolisis pati dibandingkan dengan sukrosa ................................................................. Karakteristik beberapa CO2 carrier. Kadar bahan pengembang (% terhadap tepung) dalam uji variasi bahan pengembang .. Jenis dan kadar tepung (% terhadap tepung) dalam uji variasi tepung .. Kadar pati jagung (% terhadap tepung) dalam uji variasi pati ... Kadar shortening (% terhadap tepung) dalam uji variasi shortening. Metode dan waktu pencampuran (mixing) dalam uji variasi pencampuran (mixing) . Formulasi lighter biscuit . Rancangan formula mixture design ..................................... Hasil analisis %WT loss ...................................................... Hasil analisis % L increase . Hasil analisis respon tebal (cm) ... 17 23 34

Tabel 4.

35

Tabel 5.

35

Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12.

36 36 37 44 45 48 51

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Rumus struktur lemak ...................................................... Proses pembuatan biskuit skala laboratorium ...... Grafik contour plot hasil uji % WT loss . Grafik tiga dimensi hasil respon % WT loss .... Grafik contour plot hasil uji % L increase...................... Grafik tiga dimensi hasil respon % L increase Grafik contour plot hasil respon tebal ............................. Grafik tiga dimensi hasil respon tebal .............................. Contour plot desirability produk terhadap formulasi ....... 18 30 47 47 49 50 52 53 54 55

Gambar 10. Grafik tiga dimensi hasil nilai desirability .......................

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10.

Hasil uji variasi bahan baku .......................................... Hasil anova respon % WT loss . Persamaan polinomial respon % WT loss . Hasil anova respon % L increase . Persamaan polinomial respon % L increase . Hasil anova respon tebal Persamaan polinomial respon tebal .. Hasil optimasi formula .. Hasil uji rating dan deskripsi formula terpilih lighter biscuit Descriptive Statistics .....................................................

61 62 63 64 65 66 67 68 69 70

vii

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Sistem perdagangan semakin ketat dan kompetitif pada era globalisasi ini. Banyak sekali industri baru yang muncul dan menjual produknya ke pasar khususnya industri yang bergerak di bidang pangan. Produsen berlombalomba untuk menarik perhatian masyarakat dengan menghasilkan produk yang memberikan kepuasan kepada konsumen. Oleh karena itu, peran mutu produk yang dihasilkan menjadi sangat nyata dalam rangka persaingan antar produsen. Hal ini dipertegas oleh meningkatnya pandangan dan kesadaran konsumen terhadap mutu sehingga terjadi suatu kecenderungan dimana hanya produk yang memenuhi tuntutan konsumen yang diterima oleh konsumen, sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan tren orientasi produsen dari profit oriented menjadi consumer satisfaction oriented (Soekarto, 1990). Selain mengendalikan dan menjamin mutu produk, usaha lain yang dapat dilakukan industri pangan agar tetap eksis dan memenangkan persaingan dalam dunia bisnis pada era globalisasi ini antara lain dengan melakukan terobosan-terobosan baru yang kreatif dan inovatif. Terobosan-terobosan tersebut dapat diwujudkan, salah satunya melalui pengembangan produk baru dan memanfaatkan semaksimal mungkin peluang bisnis yang ada. Pengembangan produk baru adalah suatu usaha ekstensifikasi dari suatu perusahaan pangan hasil kerja sama antara bagian pengembangan produk, pemasaran, produksi, pengawasan mutu, dan bagian persediaan bahan. Penelitian dan pengembangan merupakan kegiatan perusahaan dalam rangka mengembangkan produk baru dan mengantisipasi perubahan pasar. Usahausaha pengembangan produk baru ini bertujuan untuk menciptakan produkproduk unggulan yang sering disebut sebagai food trend leader, bermutu tinggi, aman dan sesuai dengan kebutuhan konsumen. Formulasi produk merupakan bagian dalam tahap pengembangan produk. Tahap ini merupakan tahap yang sangat penting dalam penciptaan produk baru. Pada tahap ini dicari beberapa alternatif formulasi bahan baku

produk sampai dihasilkan formulasi yang optimum hingga dihasilkan produk bermutu yang secara ekonomis menguntungkan dan secara organoleptik dapat diterima dan disukai oleh konsumen. Salah satu produk makanan yang sudah banyak di pasaran dan banyak dikonsumsi sejak dulu adalah biskuit. Persaingan industri pangan khususnya biskuit, akhir-akhir ini menjadi semakin ketat. Banyak sekali produk-produk baru bermunculan, mulai mengganti produk lama yang mulai ditinggalkan. Namun, tidak sedikit pula produk lama yang masih bertahan hingga sekarang. Biskuit adalah produk makanan kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar tepung terigu, lemak dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang diizinkan. Secara umum biskuit diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu biskuit keras, crackers, cookies, dan wafer (SII No. 0177, 1990). Riset berskala laboratorium mengenai biskuit telah banyak dilakukan, baik dalam rangka reformulasi maupun formulasi produk baru. Biskuit banyak disukai konsumen karena beberapa hal, antara lain rasanya yang enak dan bervariasi, harga relatif murah, cukup mengenyangkan, hingga kandungan gizi yang lengkap. Jenis dan bentuk biskuit yang beredar di pasaran pun beragam. Mulai dari yang sederhana, seperti berbentuk kotak, bulat sampai berbentuk binatang. Penyajiannya pun beragam, ada yang langsung dimakan hingga dikombinasikan dengan coklat atau lainnya. Hal yang paling dianggap sebagai keuntungan menjual biskuit adalah harganya yang murah dengan jumlah per kemasan cukup banyak. Berdasarkan hal itu, Departemen Penelitian dan Pengembangan Produk (Research and Development Product Department atau R&D) PT Arnotts Indonesia mempunyai ide untuk membuat lighter biscuit. Lighter biscuit merupakan salah satu jenis biskuit yang memiliki bobot ringan namun bervolume besar (less weight high volume) sehingga diharapkan

meminimalisasi biaya jika diaplikasikan dalam skala produksi. Di samping itu terkait juga dengan pengemasan. Biskuit dengan jenis yang sama, namun jika volumenya lebih besar akan tampak lebih banyak per kemasan dengan bobot yang lebih ringan.

B. TUJUAN MAGANG-PENELITIAN Secara umum tujuan kegiatan magang-penelitian di Departemen Penelitian dan Pengembangan Produk (Research and Development Product Department atau R&D) PT Arnotts Indonesia adalah untuk melatih keterampilan lapangan dan pengembangan wawasan berpikir mahasiswa yang berkaitan dengan penguasaan konseptual dalam usaha pemahaman dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secara integral dan profesional. Selain itu kegiatan ini juga memiliki tujuan khusus yaitu mendapatkan formula terbaik dan terpilih lighter biscuit yaitu biskuit dengan bobot yang ringan namun memiliki volume yang besar (less weight high volume) dalam rangka pengembangan produk baru biskuit skala laboratorium. C. KEGUNAAN MAGANG-PENELITIAN Penelitian ini mendukung pengembangan produk baru biskuit di PT Arnotts Indonesia. Formulasi hasil penelitian ini dapat digunakan oleh perusahaan sebagai formula produk baru setelah dilakukan riset pasar yang lebih mendalam dan diaplikasikan dalam skala produksi.

II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN

A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN Sejarah PT. Arnotts Indonesia dimulai dengan berdirinya perusahaan yang bergerak di bidang makanan kering dengan nama PT. Tatas Mulya pada tahun 1977. Sejalan dengan perkembangan pasar yang kurang menyukai produk ini, maka perusahaan mulai membuat makanan kecil dalam bentuk chips. Pada tahun 1982 secara resmi dibuat akte pendirian perusahaan yang menjadi cikal bakal PT. Arnotts Indonesia. Pada tahun 1984, perusahaan ini berkembang menjadi dua, yaitu PT. Tatas Mulya yang berlokasi di Pulo Mas dan PT. Cipta Rasa Primatama yang pindah ke Pulo Gadung, Jakarta Timur. Pada Januari 1985, PT. Tatas Mulya berganti nama menjadi PT. Bukit Manikam Sakti (PT. BMS). Selanjutnya pada tahun 1986, PT. BMS berpindah lokasi ke Bekasi. Pada tahun 1985, PT. BMS bekerja sama dengan Arnotts Biscuit Limited Australia yang merupakan perusahaan biskuit terbesar di Australia. Perusahaan tersebut berdiri sejak tahun 1865 dan hingga kini telah menguasai hampir 60% pangsa pasar dunia. Berbekal pengalaman lebih dari 134 tahun, menjadikan Arnotts sebagai market leader dalam industri dan distribusi biskuit yang memiliki kualitas dan bahan baku terbaik. Dengan adanya kerjasama antara PT. Bukit Manikam Sakti dengan. Arnotts Biscuit Limited Australia maka nama PT. BMS berubah menjadi PT. Helios Arnotts Indonesia (PT. HAI) dan menjadi salah satu perusahaan makanan ringan terkenal di Indonesia. Pada awalnya, PT. HAI memiliki dua lokasi yang terpisah, yaitu di Pulo Gadung untuk bagian pemasaran, sedangkan pabrik dan departemen lainnya berlokasi di Bekasi Barat. Namun, terhitung sejak 1 April 1998, keseluruhan fungsi organisasi dan pabrik berlokasi di Bekasi Barat, tepatnya di Jl. H. Wahab Affan No 8 (Jalan Raya Bekasi km. 28) Medan Satria, Bekasi Barat.

Sejalan dengan perkembangan industri, pada bulan Desember 1998, PT. Helios Arnotts Indonesia berganti nama menjadi PT. Arnotts Indonesia dan berafiliasi langsung ke Campbell Soup Company yang merupakan salah satu perusahaan Amerika berskala dunia yang memproduksi makanan dan dikelola dengan baik. Dengan berjalannya waktu, beberapa produk andalan PT. Arnotts Indonesia yang ada di pasaran saat ini adalah : 1. Milk Plus 2. Nyam-Nyam 3. Stikko 4. Joddy 5. Prestige 6. Piroutte 7. Corinthians 8. Rondoletti Selain produk-produk di atas, PT. Arnotts Indonesia juga 9. Good Time Teddy dan Good Time Smiley 10. Tri and Two 11. Golden n Cheese 12. Mic Mac Sanwidch Crackers 13. Tim Tam Wafer dan Tim Tam Biscuit

memproduksi biskuit bayi untuk perusahaan lain. Biskuit bayi yang diproduksi adalah : 1. Milna Baby Biscuit 2. Farleys Baby Biscuit 3. Nestle Baby Biscuit 4. SGM Baby Biscuit 5. Promina Baby Biscuit

B. LOKASI DAN TATA LETAK PERUSAHAAN PT. Arnotts Indonesia terletak di Jl. H. Wahab Affan No. 8 (Jalan Raya Bekasi km. 28) Medan Satria, Bekasi Barat. Luas keseluruhan areal pabrik adalah sekitar 6,7 Ha. Lokasi perusahaan ini cukup baik untuk keperluan industri karena berada dekat dengan bahan baku produk, sumber tenaga kerja, dan daerah pemasaran untuk distribusi produk. Lokasi perusahaan juga didukung dengan adanya jalan tol Cikampek yang dekat

dengan perusahaan sebagai salah satu sarana yang juga memudahkan distribusi produk, terutama untuk distribusi ke daerah luar Jakarta. Terdapat beberapa pabrik di sekitar perusahaan, antara lain pabrik pakan ternak, pabrik baja dan pabrik otomotif. Akan tetapi, keberadaan pabrik-pabrik di sekitar PT. Arnotts Indonesia ini tidak mengganggu kegiatan produksi di perusahaan.

C. STRUKTUR ORGANISASI PERUSAHAAN Bentuk struktur organisasi pada PT. Arnotts Indonesia adalah struktur organisasi proyek dengan hubungan organisasi terutama pada orang-orang yang bekerja pada proyek yang sama. Struktur organisasi perusahaan terdiri dari beberapa kelompok dari fungsi yang berbeda dengan setiap kelompok yang menitikberatkan pada pengembangan produk tertentu atau lini produksi. Kendali perusahaan berada pada Presiden Direktur sebagai pucuk pimpinan. Pelimpahan tugas kepada bawahan melalui masing-masing manajer departemen, kemudian dilanjutkan pada staf serta karyawan. Berikut akan dibahas lebih lanjut mengenai tugas, wewenang dan tanggung jawab masingmasing bagian. 1. Presiden Direktur Presiden Direktur merupakan pucuk pimpinan tertinggi di dalam perusahaan yang mempunyai kekuasaan penuh dan bertanggung jawab atas maju atau mundurnya perusahaan. Tugas, wewenang dan tanggung jawab Presiden Direktur antara lain : Menentukan kebijaksanaan perusahaan secara menyeluruh. Mengarahkan kegiatan yang dilaksanakan oleh bawahan untuk mencapai tujuan. Mengadakan koordinasi yang tepat dari semua direktur untuk menjamin kelancaran organisasi melalui pertanggungjawaban masingmasing direktur.

2. Direktur Finance dan Accounting Tugas, wewenang dan tanggung jawab bagian ini adalah : Menyelenggarakan perencanaan, pembinaan dan pengawasan sistem keuangan, akuntansi dan administrasi. Melakukan administrasi yang tertib. Menjamin terciptanya pengawasan internal perusahaan.

3. Direktur Marketing Tugas, tanggung jawab dan wewenang Direktur Marketing antara lain : Merumuskan strategi dan program pemasaran Mengawasi pelaksanaan dan pencapaian target yang telah ditentukan Memantau dan menganalisa keadaan ekonomi dan pasar, baik dalam maupun luar negeri, agar dapat mempertimbangkan pengembangan pasar atau produk yang dihasilkan. Melakukan negosiasi dengan pembeli dalam membuat kontrak penjualan ekspor. 4. Direktur Sales (Penjualan) Tugas, wewenang dan tanggung jawab Direktur Sales (Penjualan) meliputi : Mengamati dan mengikuti perkembangan pasar, harga dan promosi, baik untuk produk sendiri maupun produk saingan Memeriksa kredit langganan dan pengiriman barang ke para pelanggan Bekerja sama dengan bagian pemasaran dalam menyusun target penjualan Mengadakan kunjungan secara periodik ke pelanggan dan wilayahnya untuk mengetahui langsung kegiatan pesaing dan menjalin hubungan baik dengan pelanggan. Menerima inormasi dari pengiriman mengenai kebutuhan kuota yang dimiliki perusahaan 5. General Manager (Manajer Utama) Manajer Utama harus mengawasi kegiatan operasional yang terjadi di lapangan, mengawasi fungsi pendukung seperti warehouse dan purchasing.

6. Plant Manager (Manajer Pabrik) Tugas, wewenang dan tanggung jawab manajer pabrik meliputi : Mengawasi kerja manajer produksi Memberi laporan kepada presiden Direktur mengenai aktivitas perusahaan dalam hal pengoperasian Mengadakan pengawasan dan pengecekan kualitas produk Bertanggung jawab terhadap pelaksanaan dalam lingkungan perusahaan.

D. KETENAGAKERJAAN Segala hal yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dan peraturannya telah ditetapkan dalam kesepakatan kerja bersama antara PT. Arnotts Indonesia dengan Serikat Kerja Tingkat Perusahaan. Karyawan di PT. Arnotts Indonesia bekerja dengan jangka waktu kerja yang dibedakan menjadi dua status, yaitu : 1. Pekerja Kontrak Pekerja kontrak adalah pekerja yang memiliki hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu berdasarkan kontrak kerja dengan menerima gaji berdasarkan jumlah hari hadir. 2. Pekerja Tetap Pekerja tetap adalah pekerja yang memiliki hubungan kerja untuk jangka waktu yang tidak ditentukan berdasarkan hari kerja yang melebihi dua puluh hari dalam satu bulan dan tidak melebihi tiga bulan secara terusmenerus dengan menerima gaji baik bulanan maupun borongan. Dalam rangka memperlancar jalannya kerja dalam proses produksi maka perusahaan membagi waktu kerja sebagai berikut : a. Karyawan kantor Kegiatan kerja dimulai dari pukul 08.00 sampai dengan 16.30 dengan waktu istirahat selama 30 menit. b. Karyawan bagian produksi Kegiatan kerja dibagi menjadi tiga kelompok jam kerja (shift) yang secara bergantian setiap minggunya, yaitu :

Shift I : Pukul 06.30 sampai dengan 15.00, dengan waktu istirahat 30 menit Shift II : Pukul 15.00 sampai dengan 22.30, dengan waktu istirahat 30 menit Shift III : Pukul 22.30 sampai dengan 06.30, dengan waktu istirahat 30 menit Selama satu minggu terdapat lima hari kerja, yaitu Senin sampai

Jumat kecuali hari libur nasional dan hari libur perusahaan yang sudah ditetapkan. Jumlah jam kerja dalam satu minggu adalah 40 jam. PT. Arnotts Indonesia sebagai perusahaan yang berkredibilitas tinggi juga memberikan fasilitas kepada karyawannya. Beberapa fasilitas yang diberikan perusahaan antara lain berupa jaminan sosial dan kesejahteraan karyawan dalam bentuk sistem pemberian upah yang diatur menurut status pekerja. Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) berupa jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan kesehatan yang meliputi pemeriksaan kesehatan pada dokter, perawatan di rumah sakit, biaya persalinan istri pekerja dan keluarga berencana. Fasilitas penunjang kerja juga diberikan kepada karyawan dalam bentuk alat kerja yang berupa pakaian kerja yang diberikan oleh perusahaan. Peralatan keselamatan kerja seperti kaca mata las, sarung tangan dan topi selalu tersedia bagi karyawan yang memerlukan. Sedangkan fasilitas lainnya adalah koperasi karyawan, klinik dan jasa dokter yang terbuka setiap hari kerja, tempat peribadatan (musholla) dan sarana olah raga.

III. TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGEMBANGAN PRODUK Penelitian dan pengembangan merupakan kegiatan industri dalam rangka mengembangkan produk baru dan mengantisipasi perubahan pasar. Pengembangan produk adalah suatu kegiatan menghasilkan produk yang baru atau produk lama yang dimodifikasi dengan tambahan rasa baru atau pencampuran rasa yang sudah ada. Secara umum, produk baru (new product) adalah produk yang belum pernah ada sebelumnya atau produk hasil modifikasi dan inovasi dari produk yang sudah ada sebelumnya dari aspek produksi seperti bahan baku, proses, karakteristik produk maupun kemasan. Pada dunia industri, produk baru mengandung pengertian yaitu produk yang sebelumnya belum pernah diproduksi oleh suatu perusahaan meskipun produk tersebut telah atau pernah diproduksi oleh perusahaan lain. Beberapa modifikasi dan inovasi yang dapat dilakukan terkait pengembangan produk baru antara lain modifikasi flavor, warna, bentuk, substitusi bahan baku utama dengan bahan baku lainnya dengan tujuan menurunkan biaya produksi atau meningkatan nilai gizi produk tersebut tanpa mengurangi dan menurunkan mutunya (Soekarto, 1990). Produk baru dapat digolongkan menjadi tiga jenis. Pertama, fresh new product atau produk yang benar-benar baru, yaitu produk tersebut belum pernah diproduksi dan dikomersialkan oleh suatu perusahaan. Kedua, produk modifikasi atau modified product yaitu produk baru hasil modifikasi produk yang sudah ada di suatu perusahaan. Modifikasi dapat dilakukan pada jenis kemasan, formula bahan, jenis bahan baku atau penggunaan flavor yang berbeda. Ketiga, me too, yaitu produk baru hasil tiruan produk perusahaan lain yang sebelumnya produk tersebut belum diproduksi oleh perusahaan. Produk me too ini biasanya dibuat oleh perusahaan follower atau perusahaan challenger dengan maksud untuk merebut daerah pemasaran perusahaan leader. Salah satu ciri produk jenis ini antara lain harganya yang

10

lebih murah dibandingkan harga produk sejenis dari perusahaan leader (Feigenbaum, 1989). Terdapat beberapa alasan yang menjadi faktor pendorong perlunya pengembangan produk baru. Alasan-alasan tersebut antara lain yaitu untuk meningkatkan mutu produk yang sudah ada baik dari segi kandungan gizi maupun penampakannya. Adanya produk baru diharapkan dapat meningkatkan efisiensi proses produksi serta meminimalkan biaya produksi. Di samping itu, pengembangan produk diperlukan untuk memenuhi keinginan dan tuntutan konsumen yang selalu berubah seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi. Tidak kalah pentingnya, pengembangan produk perlu dilakukan untuk meningkatkan daya saing guna menghadapi persaingan industri yang semakin ketat khususnya industri pangan (Feigenbaum, 1989). Tahap-tahap yang perlu dilalui dalam kegiatan pengembangan produk pangan baru yaitu pencarian dan pemilihan ide, pengembangan formula dan proses, panel test, consumer sampling, pendugaan umur simpan (shelf life), pengemasan, tahap produksi, market testing, dan tahap komersialisasi. Dalam setiap tahapan tersebut perlu dilakukan evaluasi dengan berbagai pertimbangan sehingga produk tersebut layak untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya (Feigenbaum, 1989). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan produk baru adalah optimasi formulasi bahan baku serta daya terima konsumen. Di samping itu, produk baru tersebut harus memenuhi beberapa kriteria antara lain dapat menghasilkan keuntungan bagi perusahaan dengan biaya produksi yang minimal, dapat bersaing dengan produk pesaing yang sejenis, sesuai dengan kebutuhan dan prioritas konsumen serta mengikuti trend yang sedang berkembang seperti pangan fungsional, health food, makanan bernutrisi tinggi. Menurut Feigenbaum (1989) formulasi produk merupakan bagian dalam tahap pengembangan produk. Tahap ini merupakan tahap yang sangat penting dalam penciptaan produk baru. Pada tahap ini dicari beberapa alternatif formulasi bahan baku produk sampai dihasilkan formulasi yang optimum hingga dihasilkan produk bermutu yang secara ekonomis

11

menguntungkan dan secara organoleptik dapat diterima dan disukai oleh konsumen. Kegiatan formulasi untuk produk yang akan dikembangkan meliputi bahan dan komposisi bahan. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah mencari alternatif bahan-bahan yang digunakan mencakup bahan utama dan bahan tambahan, mempertimbangkan masalah ketersediaan bahan, fungsi serta harga bahan yang akan digunakan. Ketersediaan bahan berkaitan dengan kelangsungan produksi, harga bahan baku akan menyangkut biaya produksi yang berpengaruh terhadap harga produk akhir. Di samping itu, pengetahuan tentang fungsi dan manfaat bahan baku juga merupakan hal yang penting agar tidak terjadi kesalahan dalam pemilihan bahan baku yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan produk (Feigenbaum, 1989). Kegiatan pengembangan produk yang berhubungan dengan formulasi ini meliputi optimasi biaya produksi, peningkatan mutu atribut organoleptik produk yang meliputi warna, rasa, tekstur serta penampakannya. Usaha yang dapat dilakukan untuk mencapai optimal biaya diantaranya menggunakan bahan baku yang lebih murah tanpa menurunkan mutu akhir produk, penyederhanaan formula misalnya perubahan formula dari yang awalnya menggunakan 3 jenis bahan diganti menjadi 2 jenis bahan dengan tanpa mengurangi mutu dan daya terima konsumen terhadap produk yang dihasilkan.

B. BISKUIT 1. Definisi Biskuit Biskuit merupakan makanan kering hasil pemanggangan yang dibuat dengan bahan dasar tepung terigu dan bahan tambahan lain membentuk suatu formula adonan sehingga menghasilkan suatu produk dengan sifat dan struktur tertentu (Matz, 1978). Menurut Whiteley yang dikutip oleh Sunaryo (1985), biskuit atau produk sejenisnya harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu dibuat dari bahan-bahan serealia seperti gandum, jagung, oat, barley dan sebagainya dengan kadar air kurang lebih 5%. Apabila diisi dengan bahan-

12

bahan pembentuk (krim, jam, jelli dan sebagainya) kadar airnya dapat melebihi 5% dan apabila bahan utamanya lebih dari 60% bukan serealia maka tidak dapat disebut sebagai biskuit. Biskuit adalah produk makanan kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar tepung terigu, lemak dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang diizinkan. Biskuit diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu biskuit keras, crackers, cookies, dan wafer (SII No. 0177, 1990). 2. Jenis Biskuit Biskuit dapat dikategorikan menjadi 4 jenis, yaitu biskuit keras, crackers, cookies dan wafer. Biskuit keras adalah jenis biskuit manis yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, jika dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat dan dapat berkadar lemak tinggi atau rendah. Crackers adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, melalui proses fermentasi, berbentuk pipih, biasanya berasa asin, relatif renyah dan jika dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis. Cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, cukup renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya mempunyai tekstur beronggarongga. Wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair, mempunyai pori-pori kasar, relatif rendah dan bila dipatahkan penampang potongannya membentuk rongga-rongga (SII No. 0177, 1990). 3. Karakteristik Biskuit Biskuit pada umumnya berwarna coklat keemasan, permukaan agak licin, bentuk dan ukuran seragam, crumb berwarna putih kekuningan, kering, renyah dan ringan serta aroma yang menyenangkan (Vail et al., 1978). Bahan pembentuk biskuit dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu bahan pengikat dan bahan perapuh. Bahan pengikat terdiri dari tepung, air, padatan dari susu dan putih telur. Bahan pengikat berfungsi untuk membentuk adonan

13

yang kompak. Bahan perapuh terdiri dari gula, shortening, bahan pengembang dan kuning telur (Matz, 1978). C. BAHAN BAKU BISKUIT

1. Tepung Tepung merupakan komponen penting dan merupakan bahan dasar pada pembuatan biskuit dan produk bakery lainnya. Terdapat bermacammacam jenis tepung, tergantung pada sumber bahan baku, tujuan penggunaanya, kandungan protein dan lain-lain. Contoh tepung yang sudah banyak beredar di pasaran antara lain tepung terigu (gandum), tepung beras, tepung jagung, tepung kacang hijau. Namun, jenis tepung yang paling terkenal dan paling banyak digunakan adalah tepung terigu. Tepung ini dibuat dari biji gandum. 1.1. Jenis Tepung Terigu Menurut Sutomo (2006), di pasaran banyak beredar jenis tepung terigu yang masing-masing memiliki karakteristik dan fungsi berlainan. Beberapa jenis tepung terigu yang dikenal di masyarakat :

a. Hard Wheat ( Terigu Protein Tinggi) Tepung ini diperoleh dari gandum keras (hard wheat) dengan kandungan proteinnya 11-13%. Tingginya protein terkandung menjadikan sifatnya mudah dicampur, difermentasikan, daya serap airnya tinggi, elastis dan mudah digiling. Karakteristik ini menjadikan tepung terigu hard wheat sangat cocok untuk bahan baku roti, mie dan pasta karena sifatnya elastis dan mudah difermentasikan.

14

b. Medium Wheat (Terigu Protein Sedang) Jenis terigu medium wheat mengandung protein 10%-11%. Sebagian orang mengenalnya dengan sebutan all-purpose flour atau tepung serba guna. Tepung ini dibuat dari campuran tepung terigu hard wheat dan soft wheat sehingga karakteristiknya diantara kedua jenis tepung tersebut. Tepung ini cocok untuk membuat adonan fermentasi dengan tingkat pengembangan sedang, seperti donat, bakpau, bapel, panada atau aneka cake dan muffin.

c. Soft Wheat (Terigu Protein Rendah) Tepung ini dibuat dari gandum lunak dengan kandungan protein gluten 8%-9%. Sifatnya, memiliki daya serap air yang rendah sehingga akan menghasilkan adonan yang sukar diuleni, tidak elastis, lengket dan daya pengembangannya rendah. Tepung jenis ini cocok untuk membuat kue kering, biskuit, pastel dan kuekue yang tidak memerlukan proses fermentasi.

d. Self Raising Flour Jenis tepung terigu ini sudah ditambahkan bahan pengembang dan garam. Penambahan ini menjadikan sifat tepung lebih stabil dan tidak perlu menambahkan pengembang lagi ke dalam adonan. Jika sukar didapat, tambahkan satu sendok teh baking powder ke dalam sekilo tepung sebagai gantinya. Self raising flour sangat cocok untuk membuat cake, muffin, dan kue kering.

e. Enriched Flour Jenis tepung terigu ini sudah disubstitusi dengan beragam vitamin atau mineral dengan tujuan memperbaiki nilai gizi terkandung. Biasanya harganya relatif lebih mahal. Cocok untuk kue kering dan bolu.

15

f. Whole Meal Flour Tepung ini biasanya dibuat dari biji gandum utuh termasuk dedak dan lembaganya sehingga warna tepung lebih gelap/krem. Terigu whole meal sangat cocok untuk makanan kesehatan dan menu diet karena kandungan serat (fiber) dan proteinnya sangat tinggi.

2. Gula Secara kimia gula lebih dikenal dengan nama sukrosa. Jenis gula yang beredar di pasaran pun beragam. Gula dapat dibedakan berdasarkan bentuk, jenis dan sifat bahan baku, dan proses pembuatan serta tingkat kemanisan. Berdasarkan bentunya gula dapat dibedakan menjadi gula kristal, gula halus dan sirup. Berdasarkan bahan bakunya gula dapat dibedakan menjadi gula tebu, gula bit, gula aren dan lain-lain. Sedangkan berdasarkan tingkat kemanisan gula sintetik umumnya lebih manis dibandingkan gula non sintetik (Manley, 1983). Sukrosa atau yang lebih dikenal dengan gula pasir merupakan jenis gula yang paling banyak ditemukan. Sifat fisik dari gula pasir sendiri adalah berbentuk kristal putih dengan ukuran yang bervariasi tergantung ukuran granulanya. Semakin kecil ukuran granula berarti semakin halus dan lembut atau yang lebih dikenal dengan nama gula halus. Menurut Manley (1983) jenis gula inilah yang semakin banyak digunakan oleh industri bakery maupun biskuit karena tidak akan menyebabkan tekstur dan rasa berpasir pada produk yang dihasilkan. Di samping itu, terdapat juga gula kristal berwarna coklat atau dikenal dengan brown sugar. Jenis gula ini dibedakan berdasarkan warna dan ukuran partikel. Warna coklat yang dihasilkan tergantung dari jumlah sirup yang ditambahkan dan menyelimuti kristal melalui reaksi pencoklatan atau reaksi Maillard. Penggunaan gula coklat pada produk bakery maupun biskuit akan berpengaruh pada warna dan flavor produk yang dihasilkan. Biasanya akan dihasilkan warna yang lebih gelap dan

16

flavor agak gosong dibandingkan penggunaan gula kristal putih maupun gula halus (Manley, 1983). Jenis gula yang lain adalah gula cair. Jenis gula ini sangat sering digunakan oleh industri yaitu sukrosa dalam bentuk cair (larutan). Beberapa keuntungan dari penggunaan gula cair ini antara lain lebih akurat dalam pengukuran, lebih murah dibandingkan gula kristal karena dalam proses produksinya merupakan hasil sebelum tahap pengkristalan, mudah larut dan menyatu dengan bahan lain selama pencampuran. Dalam penyimpanannya, gula cair umumnya terdiri dari 67% padatan dan mengandung tidak lebih dari 5% gula invert untuk mencegah kristalisasi (Manley, 1983). Di samping itu juga dikenal gula dalam bentuk sirup. Jenis gula ini dapat dibedakan menjadi dua kelas, yaitu turunan dari sukrosa baik sebagian maupun total dan turunan dari material pati khususnya pati jagung melalui proses hidrolisis. Pada kedua jenis ini kuantitas dan kualitas molekul rantai gula yang lebih pendek sangat penting (Manley, 1983). Pati yang banyak digunakan untuk membuat gula adalah pati jagung. Namun tidak jarang pula digunakan pati kentang, tapioka sebagai bahan bakunya. Dalam proses pembuatannya, pati akan dipecah melalui hidrolisis oleh asam atau menggunakan enzim khusus ataupun kombinasi keduanya. Setelah pati dihidrolisis, akan terbentuk senyawa yang larut dan manis. Perbandingan tingkat kemanisan produk hidrolisis pati dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Tingkat kemanisan produk hidrolisis pati dibandingkan dengan sukrosa* Jenis gula Fruktosa Sukrosa Dextrose Saccharin * Manley (1983) Tingkat kemanisan (1 unit = 100) 173 100 74 300

17

3. Lemak dan Minyak Lemak merupakan bahan baku yang penting dalam pembuatan biskuit dan merupakan satu dari tiga komponen terbesar dalam pembuatan biskuit selain tepung dan gula, namun harganya relatif mahal. Sifat fisik dan kimia lemak cukup kompleks. Nilai kalori dari lemak paling tinggi dibandingkan karbohidrat dan protein yaitu 9 kkal (Winarno, 1997). Secara kimia lemak merupakan campuran trigliserida yang terdiri dari asam lemak yang berbeda jenis maupun sama. Rumus kimia dari lemak dapat dilihat pada Gambar 1. OH OH OH Gliserol R1 R2 R3 Trigliserida Gambar 1. Rumus struktur lemak Jenis asam lemak bervariasi berdasarkan panjang rantai karbonnya dan dapat bersifat jenuh maupun tidak jenuh. Semakin panjang rantai karbonnya semakin tinggi titik lelehnya. Asam lemak jenuh tidak memiliki rantai karbon dengan ikatan rangkap sehingga senyawa ini lebih stabil dari rekasi oksidasi. Sedangkan pada asam lemak tidak jenuh terdapat satu atau lebih ikatan rangkap pada rantai karbonnya dengan bentuk konfigurasi cis maupun trans (Winarno, 1997). Berdasarkan bentuknya lemak dapat dibedakan menjadi lemak padat dan lemak cair. Dalam pembuatan biskuit, lemak dapat digunakan langsung sebagai bahan baku dalam adonan, pengisi, penyemprot maupun pelapis. Dalam adonan, lemak berperan dalam pembentukan tekstur biskuit. Penggunaan lemak akan menghasilkan biskuit yang lebih lembut (tidak terlalu keras) dibandingkan tanpa lemak. Penggunaan lemak sebagai krim pengisi maupun pelapis, berfungsi sebagai pembawa dan melepaskan flavor yang enak ketika biskuit dimakan (Manley, 1983).

18

Selama pencampuran adonan, terdapat persaingan antara fase cair dan lemak pada permukaan tepung. Air atau larutan gula berinteraksi dengan protein yang terkandung dalam tepung menghasilkan gluten yang membentuk jaringan yang ekstensibel dan kohesif (Manley, 1983). Ketika beberapa lemak melapisi tepung, jaringan yang terbentuk terganggu sehingga akan berpengaruh pada tekstur biskuit yang dihasilkan yaitu setelah dipanggang akan menjadi lebih lembut, lunak dan lebih mudah larut dalam mulut. Jika kandungan lemak tinggi, fungsi lubrikasi dalam adonan menjadi lebih nyata, sehingga sedikit air dibutuhkan untuk mencapai konsistensi yang diinginkan. Di samping itu akan semakin sedikit gluten yang terbentuk, pembengkakan dan gelatinisasi pati berkurang sehingga menghasilkan tekstur yang lebih lembut. Pada pembuatan cake, lemak berfungsi menyediakan udara untuk proses ekspansi (pengembangan) dan berperan dalam pembentukan tekstur selama pemanggangan. Menurut Joyner (1953), lemak menghambat difusi gas menuju dinding sel selama tahap kritis antara suhu 38-58 0C ketika adonan menjadi lebih lembut dan sebelum pati pecah yang memberikan kekuatan dan elastisitas yang lebih.

4. Emulsifier Proses pengolahan, distribusi dan penyimpanan produk

panggangan (bakery) membutuhkan bahan tambahan pangan yang dapat mempertahankan kualitas dan kesegaran yaitu emulsifier. Produk panggangan (bakery) tanpa emulsifier dideskripsikan menjadi keras, kering, apek, berkerak atau tidak memiliki rasa (Brandt, 1996). Emulsifier adalah senyawa yang berfungsi sebagai penstabil campuran dua cairan immiscible. Dalam hal pangan, dua cairan immiscible ini menunjukkan air dan minyak/lemak. Menurut Manley (1991), emulsifier atau zat pengemulsi didefinisikan sebagai senyawa yang mempunyai aktivitas permukaan (surface-active agents) sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan (surface tension) antara udara-cairan dan cairan-cairan yang terdapat

19

dalam suatu sistem makanan. Kemampuannya menurunkan tegangan permukaan menjadi hal menarik karena emulsifier memiliki keajaiban struktur kimia yang mampu menyatukan dua senyawa berbeda polaritasnya. Sifat fisik dan kimia emulsifier cukup kompleks, namun prinsip kerjanya sederhana yaitu berperan pada molekul polar dan non polar. Molekul polar bersifat mengikat air (mempunyai afinitas terhadap air) disebut hidrofilik sedangkan bagian non polar bersifat mengikat lemak (mempunyai afinitas terhadap lemak) disebut lipofilik. Fungsi emulsifier pada kondisi banyak mengandung lemak atau banyak mengandung air berbeda-beda tergantung pada ukuran dan kondisi fraksi polar dan non polar dari komponen molekul emulsifier. Oleh karena itu, penting untuk menentukan jumlah emulsifier yang paling efektif untuk tiap aplikasi (Manley, 1991). Interaksi antara emulsifier dan komponen tepung sangat beragam dan dapat memperbaiki fungsi dan penampakan produk panggangan (bakery). Emulsifier akan membentuk kompleks dengan fraksi amilosa dari pati. Komponen emulsifier yang mengandung asam lemak jenuh tunggal juga akan membentuk struktur helikal dengan amilosa yang mempengaruhi reaksi gelatinisasi pati dan mengurangi kecenderungan amilosa berdifusi keluar dari granula pati dengan adanya air hangat. Kemampuan mengkompleks amilosa dari pati ini mempengaruhi sifat menahan atau menyimpan gas dalam adonan. Interaksi emulsifier dengan protein tepung ditandai dengan adanya perubahan sifat viskoelastis gluten yang akan memperbaiki toleransi adonan terhadap mixing dan machining. Mekanisme interaksi tersebut cukup sulit dimengerti, namun keterlibatan ikatan ionic dengan protein tepung sangat penting. Sifat emulsifier yang dapat mengkompleks pati dan protein juga berperan untuk memperbaiki sheetability atau pembuatan lembaran dari adonan dengan kadar lemak rendah (Manley, 1991). Menurut Timmermann (2000), daya kerja emulsifier menurunkan tegangan permukaan dicirikan bagian lipofilik (non-polar) dan hidrofilik

20

(polar) yang terdapat pada struktur kimianya. Ukuran relatif bagian hidrofilik dan lipofilik zat pengemulsi menjadi faktor utama yang menentukan perilakunya dalam pengemulsian. Untuk memilih pengemulsi yang cocok untuk pemakaian pada produk pangan olahan tertentu, telah dikembangkan apa yang disebut sistem HLB (Hidrophilic/Lipophilic Balance atau perimbangan hidrofilik/lipofilik). Bila emulsifier tersebut memiliki kecenderungan terikat lebih kuat pada air atau nilai HLBnya tinggi, dapat membantu terbentuknya emulsi minyak dalam air (M/A). Contohnya, antara lain susu, es krim, dan mayonnaise. Sebaliknya bila emulsifier memiliki kecenderungan terikat lebih kuat terhadap minyak atau nilai HLB rendah, akan terbentuk emulsi air dalam minyak (A/M). Contohnya, antara lain adalah mentega dan margarin. Menurut Manley (1991), emulsifier alami masih sedikit jumlahnya dan hanya lesitin yang cukup dikenal. Lesitin dari kedelai merupakan lesitin alami yang banyak digunakan. Fungsi emulsifier dalam bahan pangan antara lain : 1. Penstabil emulsi minyak dalam air 2. Penstabil emulsi air dalam minyak 3. Memodifikasi kristalisasi lemak 4. Mengubah konsistensi, ketebalan dan pembentukan gel pati melalui pembentukan kompleks antara pati, protein dan gula 5. Memberikan efek lubrikasi pada adonan dengan kandungan lemak rendah

5. Bahan Pengembang Menurut Bode (1987) di dalam Ernst Brose, et al. (1996), bahan pengembang merupakan sistem komponen satu atau lebih senyawa kimia. Jika terdapat panas, senyawa kimia yang berperan sebagai bahan pengembang akan terdekomposisi menjadi gas dan senyawa kimia lain. Bahan pengembang merupakan sumber karbondioksida yang akan membentuk volume adonan. Bahan pengembang yang digunakan adalah natrium bikarbonat, baking powder dan ammonium bikarbonat.

21

Natrium bikarbonat atau lebih dikenal dengan nama baking soda merupakan sumber gas yang memiliki harga murah, tingkat toksisitas rendah, mudah digunakan, relatif tidak meninggalkan rasa pada produk akhir. Menurut Bretschneider (1969) di dalam Ernst Brose, et al. (1996), pada suhu 60 0C, natrium bikarbonat akan melepaskan karbondioksida pada adonan. Jika tanpa leavening acid juga akan terbentuk natrium karbonat dan memberikan efek lebih alkali serta bau seperti sabun (soapy off-flavor) pada adonan. Reaksi natrium bikarbonat dalam menghasilkan gas CO2 adalah sebagai berikut : 2 NaHCO3 Natrium bikarbonat Na2CO3 Natrium Karbonat + H 2O Air + CO2 Karbon dioksida

Menurut Brose, et al.(1996), baking powder merupakan campuran yang terdiri dari CO2 carrier, satu atau lebih leavening acid dan separation agent. CO2 carrier berfungsi sebagai sumber CO2, leavening acid berperan dalam pelepasan CO2 dan separating agent berperan dalam mencegah preeeliminary CO2 yang disebabkan oleh reaksi asam dengan alkali. Di samping itu, separating agent dapat meningkatkan umur simpan baking powder dan menstandarisasi baking powder dalam hal kuantitas dan ukuran kemasan. Senyawa yang termasuk CO2 carrier antara lain natrium bikarbonat, ammonium bikarbonat, ammonium karbonat dan potassium karbonat. Pada umumnya, industri banyak menggunakan natrium bikarbonat atau lebih dikenal dengan baking soda. Karakteristik beberapa CO2 carrier dapat dilihat pada tabel 2. Senyawa yang tergolong leavening acid antara lain asam tartarat, asam sitrat, natrium acid pirophospat, kalsium laktat dan kalsium sulfat. Senyawa atau bahan yang banyak digunakan sebagai separating agent antara lain pati, tepung, kalsium karbonat maupun campuran ketiganya. Pati jagung paling banyak digunakan sebagai separating agent. (Brose et al., 1996). Baking powder yang digunakan dalam formulasi ini dibuat dari 36% natrium bikarbonat,

22

49% SAPP (Sodium Acid Pyro Phosphat) dan 10% maizena serta 5% kalsium karbonat (CaCO3). Penggunaan kedua bahan pengembang ini berpengaruh terhadap diameter, panjang atau lebar adonan. Reaksi yang terjadi selama pencampuran dan pemangganngan adalah sebagai berikut : Na2H2P2O7 + 2NaHCO3 Na4P2O7 + 2CO2 + 2H2O

Sodium Acyd Pyrophosphat Menurut Brose,

Tetra Sodium Pyrophosphat (1996), natrium bikarbonat akan

et

al.

menghasilkan CO2 jika terdapat leavening acid seperti SAPP. Kalsium karbonat (CaCO3) dan maizena berfungsi sebagai separating agent yang akan mengikat dan mempertahankan CO2 yang dihasilkan dalam adonan. CaCO3 merupakan garam yang bersifat basa kuat dan merupakan senyawa yang bersifat stabil. Senyawa ini akan terurai jika diberi perlakuan panas yang sangat tinggi. Tabel 2. Karakteristik beberapa CO2 carrier Karakteristik Rumus kimia Berat Molekul Penampakan Bau Natrium bikarbonat NaHCO3 84.01 Putih, kristal Kalium bikarbonat KHCO3 100.11 Putih, kristal Ammonium Bikarbonat NH4HCO3 79.05 Putih, kristal Ammonia Kalium karbonat K2CO3 138.21 Putih, kristal Tidak berbau

Tidak berbau Tidak berbau

Ammonium bikarbonat juga digunakan pada pembuatan biskuit kali ini. Bahan pengembang jenis ini biasanya digunakan pada produk dengan kadar air rendah dan benar-benar kering karena dapat meninggalkan rasa pada produk akhir. Bahan pengembang jenis ini berpengaruh pada tebal adonan. Reaksi ammonium bikarbonat dalam menghasilkan gas CO2 adalah sebagai berikut :

23

NH4HCO3 Ammonium Bikarbonat

NH3

H 2O

CO2

ammonia

6. Pati Jagung Polisakarida penyimpan yang paling penting di alam adalah pati yang khas bagi sel tanaman. Pati terdapat dalam sel bentuk gumpalan besar atau granula. Molekul pati terhidrasi pada tingkat yang cukup tinggi karena mempunyai gugus hidroksil yang terbuka (Thenawijaya, 1997). Pati merupakan polisakarida yang tersusun oleh unit-unit glukosa dengan ikatan alfa glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai karbonnya serta lurus atau bercabang rantai molekulnya (Winarno, 1997). Pati memegang peranan penting dalam pengolahan pangan terutama karena mensuplai kebutuhan energi manusia di dunia dengan porsi yang tinggi. Lebih dari 80 persen tanaman pangan terdiri dari bijibijian atau umbi-umbian dan tanaman sumber pati lainnya (Greenwood dan Munro, 1979) Pati banyak terdapat pada tanaman sebagai cadangan karbohidrat, dan merupakan sumber karbohidrat utama bagi manusia. Pati memiliki karakteristik tertentu berdasarkan bentuk, ukuran, distribusi ukuran, komposisi, dan kekristalan granulanya (Belitz, dan Grosch, 1999). Dalam bentuk aslinya secara alami, pati merupakan butiran-butiran kecil yang disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena itu dapat digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula, karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum, serta permukaan granulanya (Hodge dan Osman, 1976). Pati tidak larut pada air dingin dan akan membentuk massa pasta yang padat dan keras apabila dicampur dengan air dingin. Oleh karena itulah pati sangat sulit dijadikan massa adonan yang nantinya mengalami pencetakan. Sifat pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang

24

komposisinya masih lengkap. Pati jagung atau yang dikenal dengan nama dagang maizena merupakan produk utama dari industri penggilingan jagung dengan teknik basah (wet mill) (Greenwood, 1975). Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik, yang banyak terdapat pada tumbuhan terutama pada biji-bijian, dan umbiumbian. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai atom karbonnya, serta lurus atau bercabang. Dalam bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Bentuk ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena itu digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum, serta permukaan granulanya (Hodge dan Osman, 1976). Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin, dan material antara seperti protein dan lemak (Banks dan Greenwood, 1975). Umumnya pati mengandung 12 30% amilosa, 75 80% amilopektin dan 5 10% material antara. Struktur dan jenis material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pati biji-bijian mengandung bahan antara yang lebih besar dibandingkan pati batang dan pati umbi (Greenwood, 1979). Pati mempunyai sifat dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga dibawah mikroskop akan terlihat hitam putih. Sifat ini disebut sifat birefringence. Pada waktu granula mulai pecah sifat birefrengence ini akan hilang. Kisaran suhu yang menyebabkan 90% butir pati dalam air panas membengkak sedemikian rupa sehingga tidak kembali ke bentuk normalnya disebut birefrengence end point temperature atau disingkat BEPT (Winarno, 1997). Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat bahwa granula pati dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan tipis yang tersusun terpusat. Granula pati bervariasi dalam bentuk tidak beraturan demikian juga umurnya, mulai kurang dari 1 mikron sampai 150 mikron

25

ini tergantung sumber patinya. Untuk pati jagung memiliki diameter berkisar antara 21 96 m, kentang 15 10 m, ubi jalar 15 55 m, tapioka 6 36 m, gandum 3 38 m, dan beras 3 9 m (Fennema, 1976). 6.1. Granula Pati Granula pati mempunyai ukuran diameter 3-26 m, namun ratarata ukuran granula pati jagung adalah 15 m. Pati dengan ukuran granula besar mempunyai ketahanan DSC terhadap panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati dengan granula yang berukuran kecil. Pengamatan dengan (Differential Scanning Calorimetry) menunjukkan bahwa pati dengan ukuran kecil mempunyai suhu awal gelatinisasi lebih rendah dibandingkan dengan pati yang berukuran granula lebih besar (Wirakartakusumah, 1981). Secara mikroskopik, dalam granula pati campuran molekul berstruktur linier dan bercabang tersusun membentuk lapisan-lapisan tipis yang berbentuk cincin atau lamela, dimana lamela tersebut tersusun terpusat mengelilingi titik awal yang disebut hilus atau hilum. Penampakan cincin atau lamela pada granula pati adalah akibat dari pengendapan lapisan molekul pati yang terjadi pada waktu yang berlainan dan tidak sama kadarnya. Selanjutnya Hodge et al., (1976) menjelaskan bahwa ikatan paralel terbentuk antara molekul linier yang berdekatan atau dengan cabang yang terluar dari molekul bercabang. Ikatan ini dihubungkan dengan ikatan hidrogen, menghasilkan daerah kristalisasi atau misela. Daerah yang kurang padat yang disebut daerah amorf mudah dimasuki air. Misela menyebabkan granula pati memiliki sifat birefringence, yaitu sifat yang dapat merefleksikan atau memantulkan cahaya terpolarisasi sehingga akan tampak seperti susunan kristal hitam putih di bawah mikroskop (Whistler et al., 1996). Letak hilum dalam granula pati ada yang ditengah dan ada yang ditepi. Granula pati dari golongan tanaman Graminae (beras, jagung, dan

26

gandum) mempunyai hilum yang terletak ditengah, sedangkan pada granula pati kentang dan sagu mempunyai letak hilum di tepi. Bentuk butir pati secara fisik berupa semikristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf (Greenwood, 1975). Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim sedangkan amorf sifatnya labil terhadap asam kuat dan enzim. Bagian amorf dapat menyerap air dingin sampai 30% tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan (Hodge dan Osman, 1976). Sampai saat ini diduga bahwa amilopektin merupakan komponen yang bertanggung jawab terhadap sifat-sifat kristal dari granula pati. 6.2. Amilosa Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan -(1,4) dari struktur cincin piranosa, yang membentuk rantai lurus umumnya dikatakan sebagai linier dari pati. Meskipun sebenarnya jika amilosa dihidrolisa dengan -amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil hidrolisis yang sempurna (Greenwood, 1975). -amilase menghidrolisa amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutuskan ikatan (1,4) dari ujung non pereduksi rantai amilosa menghasilkan maltosa. Banyaknya satuan glukosa dalam setiap rantai tergantung pada sumbernya. Biasanya setiap rantai mengandung 850 atau lebih unit gluosa dan dari setiap rantai lurus tersebut terdapat satu titik cabang ikatan -(1,6) glikosida. Berat molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan metoda ekstraksi yang dipergunakan. Suatu karakteristik dari amilosa dalam suatu larutan adalah kecenderungan membentuk struktuk koil yang sangat panjang dan fleksibel yang selalu bergerak melingkar. Struktur ini yang mendasari terjadinya interaksi iod-amilosa membentuk warna biru, dan ini dapat ditentukan kadarnya dengan mengunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 660 nm (Greenwood, 1975).

27

6.3. Amilopektin Amilopektin seperti amilosa juga mempunyai ikatan -(1,4) pada rantai lurusnya, serta ikatan -(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4 5% dari seluruh ikatan yang ada pada amilopektin (Hodge dan Osman, 1976 ; Fennema, 1976). Biasanya amilopektin mengandung 1000 atau lebih unit molekul glukosa untuk setiap rantai. Berat molekul bervariasi tergantung sumbernya. Amilopektin pada pati umbi-umbian mengandung sejumlah kecil ester fosfat yang terikat pada atom karbon yang ke 6 dari cincin glukosa (Greenwood dan Munro, 1979). Dalam produk makanan amilopektin bersifat merangsang terjadinya proses mekar (puffing) dimana produk makanan yang berasal dari pati yang kandungan amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan, porus, garing dan renyah. Kebalikannya pati yang mengandung amilosa yang tinggi, cenderung menghasilkan produk yang keras, pejal karena proses mekarnya terjadi secara terbatas.

7. Garam Garam dapur adalah sejenis mineral yang lazim dimakan manusia. Bentuknya kristal putih, dihasilkan dari air laut. Biasanya garam dapur yang tersedia secara umum adalah natrium klorida (NaCl). Garam sangat diperlukan tubuh, namun bila dikonsumsi secara berlebihan dapat menyebabkan berbagai penyakit, termasuk tekanan darah tinggi. Selain itu garam juga digunakan untuk mengawetkan makanan dan sebagai bumbu. Untuk mencegah penyakit gondok, garam dapur juga sering ditambahi iodium (Anonimc, 2006) Natrium klorida, juga dikenal dengan garam dapur, atau halit, adalah senyawa kimia dengan rumus kimia NaCl. Senyawa ini adalah garam yang paling mempengaruhi salinitas laut dan cairan ekstraselular pada banyak organisme multiselular. Sebagai komponen utama pada

28

garam dapur, natrium klorida sering digunakan sebagai bumbu dan pengawet makanan. Penggunaan garam bervariasi dalam produk bakery tergantung kebutuhan fungsi. Pada umumnya, tingkat atau kandungan garam akan menurun secara gradual dalam makanan karena melebihi tingkat atau kandungan natrium dalam banyak makanan. Beberapa fungsi garam dalam pembuatan produk bakery antara lain : 1. Berkontribusi dalam flavor produk 2. Menurunkan aw (water activity) produk (Cauvan & Young, 2000) 3. Menghambat aktivitas kamir dan dapat digunakan untuk mengontrol fermentasi dalam pembuatan roti (Williams & Pullen, 1998) 4. Memodifikasi reologi adonan 5. Berkontribusi dalam pembentukan warna coklat pada roti

D. PEMBUATAN BISKUIT Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan lighter biscuit terdiri atas bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama meliputi : soft flour, pati modifikasi, shortening, gula dan skim. Bahan tambahan meliputi : bahan pengembang, lesitin, garam, air dan flavor susu. Proses pembuatan biskuit yang dilakukan pada penelitian ini secara umum meliputi tahap penimbangan, mixing (pencampuran), proofing (pengistirahatan), laminasi, pencetakan, dan baking (pemanggangan). Diagram alir proses pembuatan biskuit secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 2..

29

Ammonium bikarbonat

Dilarutkan dalam air hangat Gula + Shortening + Lesitin Flavor Creaming (5-8 menit) Na-bikarbonat, baking powder, garam + air Dicampur (mixing) selama 10-15 menit dengan kecepatan tinggi Proofing 5-10 menit Laminasi (dipipihkan) tebal 0.25 cm Pencetakan Pemanggangan dengan oven suhu 180-210 0C 5 menit Pemanasan dengan microwave suhu 130 0C 8-10 menit Biskuit Gambar 2. Proses pembuatan biskuit skala laboratorium

Tepung, pati modifikasi, skim, air

30

E. MIXTURE DESIGN Program Design Expert version 7 ini adalah suatu program yang mempunyai berbagai metode rancangan percobaan dan analisis untuk data statistik. Metode rancangan penelitian tersebut terdiri dari desain faktorial, Response Surface Methods (RSM), Mixture Design techniques, dan Combined Designs. Desain faktorial merupakan suatu rancangan percobaan untuk mengidentifikasi faktor perlakuan yang penting sekali dan berpengaruh pada suatu penelitian. Response Surface Methods (RSM) yaitu suatu metode rancangan percobaan untuk menemukan rancangan proses yang ideal. Mixture Design techniques yaitu untuk mencari formulasi yang optimal pada berbagai formula yang dibuat, Combine Design yaitu untuk menggabungkan (combine) variabel-variabel proses, campuran komponen dan faktor yang berpengaruh dalam satu desain, sehingga dapat menghasilkan suatu kondisi proses dan formula yang optimal (Anonim b, 2005). Optimasi pada salah satu atau seluruh aspek produk adalah tujuan dalam pengembangan produk. Hasil evaluasi sensori seringkali digunakan untuk menentukan apakah produk yang optimum telah dikembangkan dengan benar. Metode Mixture Design (MD) seringkali diterapkan dalam mengoptimasi formula suatu produk. MD merupakan kumpulan dari teknik matematika dan statistika yang berguna untuk permodelan dan analisa masalah sebuah respon yang dipengaruhi oleh beberapa variabel dan tujuannya adalah mengoptimalkan respon tersebut (Montgomery, 2002). Respon yang digunakan dalam MD adalah fungsi dari proporsi perbedaan komponen atau bahan dalam suatu formula (Cornell,1990). Menurut Cornell (1990), MD terdiri dari enam tahap yaitu menentukan tujuan percobaan, memilih komponen-komponen dari campuran, mengidentifikasi batasan-batasan pada komponen campuran, mengidentifikasi variabel respon yang akan dihitung, membuat model yang sesuai untuk mengolah data dari respon, dan memilih disain percobaan yang sesuai. MD digunakan untuk menentukan dan secara simultan menyelesaikan persamaan multivariasi. Persamaan tersebut dapat

31

ditampilkan secara grafik sebagai respon yang dapat digunakan dalam menggambarkan bagaimana variabel uji mempengaruhi respon, menentukan hubungan antar variabel uji, dan menentukan bagaimana kombinasi seluruh variabel uji mempengaruhi respon. Menurut Cornell (1990), metode MD tidak hanya terdiri dari dua orde. Namun yang sering digunakan adalah orde pertama dan kedua. Orde pertama dari MD dengan dua variabel uji digambarkan pada persamaan (1), sedangkan orde kedua digambarkan pada persamaan (2). Y = b0 + b1X1 + b2X2 (1)

Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b11X12 + b22X22 + b12X1X2 (2) Orde pertama seringkali memberikan deskripsi bentuk geometri

permukaan respon yang kurang memadai. Oleh karena itu penggunaan orde kedua lebih dianjurkan. Rancangan mixture design ini berfungsi untuk menemukan formula yang optimal yang sesuai yang kita inginkan. Untuk mencapai kondisi tersebut harus memperkirakan respon produk atau parameter produk yang menjadi ciri yang penting serta dapat meningkatkan mutu produk. Respon yang dipilih tersebut akan dijadikan input data yang selanjutnya diproses oleh program rancangan RSM mixture design, sehingga membentuk gambaran dan kondisi proses yang optimal (Anonim
b

, 2005).

32

IV. METODE PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan - bahan yang digunakan dalam magang-penelitian ini adalah tepung terigu kadar protein rendah, tepung terigu kadar protein sedang, tepung terigu kadar protein tinggi, maizena, pati modifikasi, shortening, margarin, butter, minyak (oil), gula, susu skim, natrium bikarbonat, ammonium bikarbonat, baking powder, sodium acyd pyrophosphat, kalsium karbonat, garam, lesitin, flavor dan air yang diperoleh di PT Arnotts Indonesia Bekasi. 2. Alat Alat - alat yang digunakan dalam magang-penelitian ini adalah timbangan, gelas ukur, sendok, mixer, oven, microwave, loyang, laminator, cetakan, stop watch dan sigmat yang terdapat di PT Arnotts Indonesia Bekasi.

B. METODE PENELITIAN Kegiatan magang penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu penelitian pendahuluan, tahap persiapan dan penelitian utama. Tahap persiapan meliputi penyiapan bahan baku dan bahan tambahan untuk pembuatan lighter biscuit. Penelitian pendahuluan meliputi uji variasi bahan pengembang, variasi pati, variasi tepung, variasi shortening, dan variasi pencampuran (mixing). Penelitian utama meliputi formulasi lighter biscuit menggunakan rancangan percobaan mixture design dan uji organoleptik.

1. Persiapan Tahap persiapan pada kegiatan magang penelitian ini meliputi penyiapan bahan baku dan bahan tambahan. Bahan-bahan yang harus dipersiapkan adalah soft flour, pati modifikasi A, pati modifikasi B,

33

shortening, gula, susu skim, sodium bikarbonat, ammonium bikarbonat, baking powder, garam, lesitin, flavor dan air.

2. Penelitian Pendahuluan Tahap penelitian pendahuluan meliputi uji variasi bahan

pengembang, variasi pati, variasi tepung, variasi shortening, dan variasi pencampuran (mixing). Uji variasi bahan pengembang dilakukan sebanyak 8 formula, uji variasi pati dilakukan sebanyak 7 formula, uji variasi tepung dilakukan sebanyak 3 formula, uji variasi shortening dilakukan sebanyak 6 formula dan uji variasi pencampuran (mixing) dilakukan sebanyak 4 formula. Setelah itu dilanjutkan dengan optimasi formula dari masingmasing uji variasi. Uji variasi bahan pengembang bertujuan untuk mengetahui pengaruh bahan pengembang terhadap sifat dan karakteristik biskuit yang dihasilkan. Bahan pengembang yang digunakan dalam uji ini adalah sodium bikarbonat, baking powder dan ammonium bikarbonat. Uji variasi bahan pengembang dilakukan sebanyak 8 formula dengan kadar bahan pengembang yang berbeda-beda. Kadar bahan pengembang yang digunakan untuk masing-masing formula dapat dilihat pada Tabel 3.: Tabel 3. Kadar bahan pengembang (% terhadap tepung) dalam uji variasi bahan pengembang Formula Bahan pengembang Sodium bikarbonat Baking powder Ammonium bikarbonat F1 0.8% 1.0% F2 1.0% F3 1.6% 1.0% F4 0.8% F5 0.8% 2.0% F6 F7 0.8% 1.0% 0.5% F8 0.8% 1.0% 1.5%

34

Uji variasi tepung bertujuan untuk mengetahui jenis tepung yang cocok dan baik untuk digunakan dalam pembuatan biskuit. Jenis tepung yang digunakan dalam uji ini adalah soft flour, medium flour dan bread flour. Uji variasi tepung dilakukan sebanyak 3 formula dengan kadar tertentu. Jenis dan kadar tepung yang digunakan dalam uji variasi tepung dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jenis dan kadar tepung (% terhadap tepung) dalam uji variasi tepung Formula Jenis tepung Soft flour Bread flour Medium flour F1 100% F2 100% F3 100%

Uji variasi pati bertujuan untuk mengetahui jenis pati yang cocok dalam pembuatan biskuit dan pengaruh pati jika dikombinasikan dengan tepung terhadap karakteristik biskuit yang dihasilkan. Jenis pati yang digunakan dalam uji ini adalah pati jagung atau yang lebih dikenal dengan nama maizena. Uji variasi pati dilakukan sebanyak 7 formula dengan kadar yang berbeda-beda. Kadar pati jagung yang digunakan dalam uji variasi pati dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kadar pati jagung (% terhadap tepung) dalam uji variasi pati Formula Jenis pati dan tepung Soft flour Bread flour Maizena F1 100% F2 100% F3 80% 20% F4 80% 20% F5 50% 50% F6 50% 50% F7 100%

Uji variasi shortening bertujuan untuk mengetahui jenis shortening yang cocok dalam pembuatan biskuit dan pengaruhnya terhadap karakteristik biskuit yang dihasilkan. Jenis shortening yang digunakan

35

dalam uji ini adalah fat shortening yellow, butter, margarin dan liquid oil. Uji variasi shortening dilakukan sebanyak 6 formula dengan kadar yang berbeda-beda. Kadar shortening yang digunakan dalam uji variasi shortening dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kadar shortening (% terhadap tepung) dalam uji variasi shortening Formula Jenis shortening Fat Shortening Yellow Butter Margarin Liquid Oil F1 35% F2 45% F3 55% F4 45% F5 45% F6 45%

Uji variasi pencampuran (mixing) bertujuan untuk mengetahui metode pencampuran dan waktu yang tepat dalam pembuatan biskuit. Metode pencampuran (mixing) yang digunakan adalah metode all in dan metode creaming. Uji variasi pencampuran (mixing) dilakukan sebanyak 4 formula dengan waktu yang berbeda-beda. Metode dan waktu

pencampuran (mixing) dalam uji variasi pencampuran dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Metode dan waktu pencampuran (mixing) dalam uji variasi pencampuran (mixing) Formula 1 Metode Waktu All in 2 menit Formula 2 All in 15 menit Formula 3 Creaming 2 menit Formula 4 Creaming 15 menit

Optimasi formulasi dilakukan terhadap formula-formula terbaik dan terpilih dari uji variasi yang dilakukan sebelumnya. Optimasi difokuskan pada kadar gula, shortening dan bahan pengembang serta penambahan beberapa bahan baku. Bahan baku yang ditambahkan adalah pati modifkasi, lesitin dan flavor.

36

3.

Penelitian Utama Tahap penelitian utama meliputi formulasi lighter biscuit menggunakan rancangan percobaan program Design Expert version 7. Pembuatan rancangan percobaan hanya difokuskan pada bahan baku tepung terigu (soft flour), pati modifikasi A, pati modifikasi B dan bahan pengembang (leavening agent) karena keempat bahan inilah yang paling berpengaruh dalam pembuatan lighter biscuit. Hasil rancangan percobaan menghasilkan 12 formula lighter biscuit yang dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Formulasi lighter biscuit (% terhadap total bahan) Pati Pati modifikasi A modifikasi B (%) (%) 4.50 4.50 4.50 4.00 4.25 4.25 4.00 4.50 4.50 4.50 4.25 4.50 4.50 4.25 4.25 4.50 4.50 4.25 4.50 4.50 4.25 4.50 4.50 4.50

Formula F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10 F11 F12

SF (%) 39.75 40.00 40.00 40.00 40.00 39.75 39.75 40.00 40.00 39.50 39.75 39.50

LA (%) 3.25 3.50 3.50 3.50 3.00 3.50 3.50 3.25 3.25 3.50 3.50 3.50

Terdapat beberapa kendala atau persyaratan bahan dalam rancangan percobaan lighter biscuit yaitu penentuan jumlah bahan yang digunakan dalam persentase tertentu. Untuk soft flour digunakan selang antara 39.5 - 40 % terhadap total bahan, pati modifikasi A dan pati modifikasi B masing-masing digunakan antara 4.0 - 4.5 % terhadap total bahan serta bahan pengembang digunakan antara 3.0 3.5 % terhadap total bahan. Adapun respon produk akhir yang diukur adalah % weight loss, % L increase dan tebal.

37

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PROSES PEMBUATAN LIGHTER BISCUIT Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan lighter biscuit terdiri atas bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama meliputi : soft flour, pati modifikasi, shortening, gula dan skim. Bahan tambahan meliputi : bahan pengembang, lesitin, garam, air dan flavor susu. Proses pembuatan biskuit terdiri atas penyiapan bahan, menimbang, mixing (pencampuran), laminasi, proofing (pengistirahatan), pencetakan dan baking (pemanggangan). Tahap pertama bahan baku dipersiapkan lalu ditimbang sesuai dengan formula. Setelah itu dilanjutkan dengan proses mixing (pencampuran) menggunakan varimixer Teddy berukuran sedang dan mampu menampung adonan sebanyak 500 gram. Tahap mixing (pencampuran) dapat dilakukan menggunakan dua metode yaitu all in method dan creaming method. Metode yang pertama yaitu all in method, seluruh bahan baku dimasukkan ke dalam wadah mixer hampir secara bersamaan selama waktu tertentu yaitu sekitar 10-15 menit. Pada umumnya proses mixing dengan metode ini kurang menghasilkan adonan yang baik karena bahan tidak tercampur rata. Metode yang kedua yaitu creaming method, dimana pada awal mixing dicampurkan gula, shortening dan lesitin secara bersamaan hingga terbentuk krim. Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan krim sekitar 8-10 menit dengan kecepatan mixing rendah. Lesitin pada proses ini berperan sebagai emulsifier. Setelah terbentuk krim, bahan baku yang lain dimasukkan ke dalam wadah mixer dan dilanjutkan proses mixing dengan kecepatan tinggi selama 5-8 menit. Perlu diperhatikan dalam memasukkan bahan pengembang. Ammonium bikarbonat terlebih dahulu dilarutkan dalam air hangat hingga terlarut semua. Hal ini terkait dengan after taste getir pada produk yang sering ditimbulkan sebagai akibat ammonium bikarbonat yang kurang larut. Bahan pengembang jenis ini dimasukkan di awal bersamaan dengan proses creaming. Bahan lain yang perlu dilarutkan terlebih dahulu dengan air adalah garam. Hal ini bertujuan

38

supaya garam menyebar rata dalam adonan. Penambahan air ke dalam adonan dilakukan secara bertahap agar fungsi air sebagai pelarut bahan baku optimal sehingga terbentuk adonan yang benar-benar menyatu atau tercampur rata membentuk massa yang cukup elastis. Penambahan air juga perlu diperhatikan terkait dengan kadar air produk yang akan berpengaruh pada tekstur dan umur simpan produk. Pembentukan massa yang elastis terjadi karena pada tepung terigu terdapat protein yang terdiri atas gliadin dan glutenin. Gliadin dan glutenin merupakan jenis protein yang mempunyai sifat dapat membentuk massa yang elastic-cohesive bila ditambahkan air dan diuleni. Tahap selanjutnya yaitu proses laminasi. Sebelum melalui tahap ini, adonan dibiarkan terlebih dahulu dalam kondisi tertutup (proofing) kurang lebih selama 5-10 menit. Hal ini bertujuan untuk mengeluarkan gas yang dihasilkan oleh bahan pengembang yang digunakan. Setelah adonan didiamkan lalu dilanjutkan ke tahap laminasi menggunakan alat laminator. Tujuan proses ini adalah memipihkan adonan dengan tebal tertentu sehingga mudah dicetak dan membentuk layer (lapisan) pada produk akhir. Tahap selanjutnya adalah pencetakan adonan yang telah dipipihkan. Dalam pembuatan biskuit kali ini digunakan cetakan berbetuk segi empat (persegi panjang) atau rektangular. Tebal awal adonan adalah 2.50-2.55 cm dengan panjang antara 6.2-6.5 cm dan lebar antara 2.9-3.2 cm. Setelah dicetak, lalu adonan dipanggang pada suhu 180-210
0

menggunakan oven selama 5 menit. Dalam proses pemanggangan, panas disuplai kepada produk dari dinding oven melalui proses radiasi. Perpindahan panas juga terjadi secara konveksi dari sirkulasi udara dan secara konduksi dari tray tempat meletakkan adonan biskuit (Cauvain & Young, 2001). Ketika biskuit dimasukkan ke dalam oven, kadar air pada permukaan biskuit akan menurun dan menjadi kering. Setelah dipanggang, biskuit dipanaskan dalam microwave pada suhu 130 0C selama 8-10 menit. Hal ini bertujuan untuk meratakan proses pematangan biskuit. Setelah biskuit matang, dilajutkan dengan proses pengukuran variabel atau respon produk yang diinginkan yaitu % weight loss (% WT loss), % L increase dan tebal. Tujuan dari tahap pemanggangan adalah untuk meningkatkan sifat sensori produk dan memberi

39

selang rasa, aroma dan tekstur. Perubahan tekstur ditentukan oleh sifat alami produk seperti kadar air dan komposisi lemak, protein dan struktur karbohidrat serta suhu dan lama pemanggangan. Pada umumnya karakteristik dari produk panggang adalah pembentukan crust pada permukaan biskuit (Cauvain & Young, 2001). Selama pemanggangan, terjadi beberapa reaksi dari bahan

pengembang yang digunakan. Bahan pengembang inilah yang menyebabkan biskuit memiliki volume yang lebih besar dibandingkan dengan sebelum pemanggangan. Kondisi ini disebabkan pelepasan gas CO2 dari hasil reaksi bahan pengembang. Di samping itu, juga dihasilkan garam terlarut dan uap air. Pada tahap ini juga terjadi proses gelatinisasi yang diawali dengan

pengembangan granula pati karena molekul-molekul air berpenetrasi ke dalam granula dan terperangkap pada susunan molekul amilosa dan amilopektin. Pengembangan granula pati berpengaruh terhadap massa adonan. Gelatinisasi lebih lanjut akan menyebabkan amilosa berdifusi ke luar dari granula pati, dan setelah dingin amilosa akan membentuk matriks yang seragam sehingga kekuatan ikatan antar granula meningkat (Fennema, 1976). Lighter biscuit yang dihasilkan setelah pemanggangan memiliki tebal 0.7-0.9 cm dengan bobot rata-rata 5.3-5.6 gram per satu biskuit. Nilai ini nantinya dibandingkan dengan produk sejenis dari kompetitor yang memiliki tebal 0.69-0.71 cm dengan bobot 5.0-5.5 gram.

B. PENELITIAN PENDAHULUAN Lighter biscuit merupakan biskuit dengan bobot ringan (less weight) namun memiliki volume yang besar (high volume). Parameter atau respon produk yang digunakan untuk menunjukkan keduanya adalah % weight loss dan % L increase. Nilai % weight loss menunjukkan persen kehilangan bobot biskuit yang diperoleh dari pengurangan bobot sebelum pemanggangan dengan bobot setelah pemanggangan dibagi dengan bobot sebelum pemanggangan dikalikan 100%. Sedangkan % L increase menunjukkan daya pengembangan (spread) biskuit. Nilai ini diperoleh dari pengurangan luas

40

biskuit setelah pemanggangan dengan sebelum pemanggangan dibagi dengan luas biskuit sebelum pemanggangan dikalikan 100%. Semakin besar nilai % L increase dan nilai % weight loss berarti semakin mendekati lighter biscuit yang diinginkan. Penelitian pendahuluan meliputi beberapa uji variasi bahan baku yaitu uji variasi bahan pengembang, uji variasi tepung, uji variasi pati, uji variasi shortening dan uji variasi mixing. Hasil selengkapnya untuk masing-masing uji variasi dapat dilihat pada Lampiran 1. Formula yang terpilih pada uji variasi bahan pengembang adalah F7 yaitu menggunakan 0.8% sodium bikarbonat, 1 % baking powder dan 0.5% ammonium bikarbonat. Biskuit yang dihasilkan menunjukkan pengembangan yang besar yang ditunjukkan dengan nilai % L increase paling besar yaitu 28.07%. Di samping itu, nilai kehilangan bobot (% weight loss) dari biskuit yang dihasilkan cukup besar yaitu 10.32%. Penggunaan bahan pengembang akan berpengaruh pada sifat adonan dan biskuit yang dihasilkan. Bahan pengembang yang digunakan pada pembuatan lighter biscuit ini meliputi sodium bikarbonat, baking powder dan ammonium bikarbonat. Penggunaan baking powder dan sodium bikarbonat saja akan menghasilkan biskuit yang kurang maksimal. Penggunaan sodium bikarbonat saja akan menghasilkan biskuit dengan nilai % kehilangan bobot tinggi dan daya pengembangan cukup besar. Sebaliknya, penggunaan baking powder saja akan menghasilkan biskuit dengan nilai % kehilangan bobot rendah namun tidak terlalu mengembang. Penggunaan sodium bikarbonat dan baking powder secara bersama-sama dengan kombinasi dan kadar tertentu menghasilkan biskuit dengan sifat dan karakteristik yang lebih baik. Kombinasi kedua bahan pengembang dengan kadar baking powder lebih besar dibandingkan sodium bikarbonat menghasilkan biskuit dengan karakteristik lebih maksimal yaitu daya pengembangan paling besar dan % kehilangan bobot yang cukup besar. Penambahan ammonium bikarbonat sebagai bahan pengembang sangat berpengaruh terhadap daya pengembangan (spread) biskuit yang dihasilkan. Namun, penggunaan ammonium bikarbonat tidak boleh terlalu banyak sampai

41

kadar tertentu agar dihasilkan daya pengembangan yang maksimal dan tidak menghasilkan after taste yang terlalu kuat Pada uji variasi tepung digunakan tiga jenis tepung yaitu soft flour tepung medium, dan tepung roti. Ketiga jenis tepung tersebut berbeda pada kadar proteinnya. Penggunaan soft flour menghasilkan biskuit dengan nilai % weight loss paling kecil dengan daya spread yang cukup besar. Sedangkan penggunaan tepung medium menghasilkan biskuit dengan nilai % L increase paling besar dan % kehilangan bobot lebih tinggi dibandingkan menggunakan soft flour. Penggunaan tepung roti menghasilkan biskuit dengan % kehilangan bobot tinggi dan daya spread paling kecil. Uji variasi pati terdiri dari 7 formula. Pati yang digunakan adalah pati jagung (maizena) dengan jumlah tertentu. Penggunaan maizena

dikombinasikan dengan tepung dengan perbandingan tertentu. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa formula terpilih adalah kombinasi antara 80% soft flour dan 20% maizena dimana menghasilkan biskuit dengan % L increase terbesar yaitu 23.71% dan nilai % WT loss cukup besar yaitu 9.97%. Penggunaan 100% maizena menghasilkan biskuit yang kurang maksimal dimana % L increase lebih kecil yaitu 21.09% dan nilai % WT loss yang tinggi yaitu 11.13%. Di samping itu penggunaan 100% maizena menghasilkan biskuit yang keras dan kering. Uji variasi shortening terdiri dari 6 formula. Jenis shortening yang digunakan adalah fat shortening yellow, butter, margarin dan minyak nabati (oil). Pada formula yang menggunakan fat shortening yellow, secara umum biskuit yang dihasilkan memiliki tekstur yang lebih baik dibandingkan yang lain. Formula yang terpilih menggunakan 55% fat shortening yellow dengan nilai % L increase paling tinggi yaitu 29.64% dan % WT loss cukup tinggi yaitu 9.74%. Jumlah variasi yang dilakukan pada uji variasi mixing (pencampuran) sebanyak 8 jenis metode. Secara umum proses pencampuran terbagi menjadi 2 metode yaitu all in method dan creaming method. Variasi yang dilakukan adalah jumlah waktu pencampuran (mixing) yaitu selama 2 menit dan 15 menit untuk kedua metode pencampuran. Berdasarkan hasil penelitian, metode

42

yang menghasilkan biscuit yang maksimal adalah all in method selama 15 menit dimana nilai % L increase paling tinggi yaitu 29.75% dan nilai % WT loss cukup tinggi yaitu 9.05%.

C. PENELITIAN UTAMA 1. Rancangan Percobaan Rancangan metode penelitian yang dipakai pada program Design Expert version 7 adalah rancangan Response Surface Methodology (RSM) mixture design. Penggunaan RSM mixture design karena metode rancangan tersebut sesuai dengan faktor perlakuan yang ada pada penelitian ini. Faktor perlakuan yang digunakan pada penelitian ini adalah formulasi bahan yang paling berpengaruh yang terdiri dari soft flour, pati modifikasi A, pati modifikasi B dan bahan pengembang.. Out put dari proses analisis mutu awal produk yang diolah oleh rancangan statistik RSM mixture design adalah suatu model polinomial yang menunjukkan hasil analisis mutu awal atau respon produk. Persamaan polinomial yang didapatkan setiap respon ditunjukkan dengan variabel tertentu, yang terdiri dari Mean (M) = pangkat 0, Linear (L) = pangkat 1, Quadratic (Q) = pangkat 2, dan Cubic (C) = pangkat 3. Variabel tersebut menjadi penentu suatu rancangan model polinomial untuk faktor perlakuan pada penelitian. Sehingga didapatkan respon yang mendukung terciptanya produk yang optimal (Anonimb, 2005) Pada tahap perancangan formula, jumlah soft flour yang digunakan berkisar antara 39.5 40% terhadap total bahan, pati modifikasi A dan pati modifikasi B antara 4.0 4.5% serta bahan pengembang antara 3.0 3.5%. Hal-hal tersebut merupakan kendala bahan dalam membuat rancangan percobaan. Dalam hal ini ada beberapa persyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh program Design Expert version 7 untuk menentukan formula yang disarankan nantinya. Pada tahap perancangan formula ditentukan juga respon yang akan diukur dan dioptimasi. Variabel atau respon yang akan dioptimasi adalah %

43

weight loss (% WT loss), % L increase dan tebal. Hal ini sesuai dengan tujuan utama penelitian ini yaitu menghasilkan lighter biscuit dimana biskuit dengan bobot rendah (ringan) tetapi bervolume besar (mengembang). Nilai % weight loss menunjukkan persen kehilangan bobot biskuit yang diperoleh dari pengurangan bobot sebelum pemanggangan dengan setelah pemanggangan dibagi dengan bobot sebelum pemanggangan dikalikan 100%. Nilai % L increase menunjukkan daya pengembangan (spread) biskuit. Nilai ini diperoleh dari pengurangan luas biskuit setelah pemanggangan dengan sebelum pemanggangan dibagi dengan luas biskuit sebelum pemanggangan dikalikan 100%. Nilai tebal biskuit menunjukkan tebal biskuit setelah pemanggangan. Formula yang disarankan oleh program Design Expert version 7 adalah 12 formula yang dihasilkan pada tahap rancangan percobaan, seperti pada Tabel 9. Pada pembuatan produk, bahan yang paling berpengaruh adalah soft flour, pati modifikasi A, pati modifikasi B dan bahan pengembang. Biskuit yang dihasilkan diukur % weight loss (%WT loss), % L increase dan tebal.

Tabel 9. Rancangan Formulasi Mixture Design Formula F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10 F11 F12 SF (%) 39.75 40.00 40.00 40.00 40.00 39.75 39.75 40.00 40.00 39.50 39.75 39.50 % WT %L Pati Pati increase modifikasi A modifikasi B loss (%) (%) 4.50 4.50 4.50 4.00 4.25 4.25 4.00 4.50 4.50 4.50 4.25 4.50 4.50 4.25 4.25 4.50 4.50 4.25 4.50 4.50 4.25 4.50 4.50 4.50 Tebal (cm)

44

2. Analisis Respon Program Design Expert version 7 akan merekomendasikan satu model (dari 5 model polinomial) yang digunakan untuk setiap respon. Diantara kelima model yang tersedia dalam program Design Expert version 7 antara lain mean, linear, quadratic, special cubic dan cubic.

a. Analisis Respon % Weight Loss (% WT loss) Nilai % weight loss menunjukkan persen kehilangan bobot biskuit yang diperoleh dari pengurangan bobot sebelum pemanggangan dengan bobot setelah pemanggangan dibagi dengan bobot sebelum pemanggangan dikalikan 100%. Bobot biskuit yang ditimbang merupakan rata-rata dari beberapa sampel. Semakin besar nilai % WT loss maka bobot akhir produk semakin kecil (ringan). Hasil analisis uji respon % WT loss dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil uji dari respon % WT loss pada produk dengan nilai % WT loss berkisar antara 14.43% sampai 19.67% dapat dilihat pada Tabel 10. Nilai ratarata (mean) dari hasil uji respon % WT loss adalah 17.0075%. Nilai % WT loss yang paling tinggi adalah 19.67% yang terdapat pada formula 3 yaitu menggunakan soft flour sebesar 40%, pati modifikasi A 4.25%, pati modifikasi B 4.25% dan bahan pengembang 3.5%.

Tabel 10. Hasil analisis %WT loss Pati Pati Formula SF (%) modifikasi A modifikasi B LA (%) (%) (%) F1 39.75 4.50 4.50 3.25 F2 40.00 4.50 4.00 3.50 F3 40.00 4.25 4.25 3.50 F4 40.00 4.00 4.50 3.50 F5 40.00 4.50 4.50 3.00 F6 39.75 4.25 4.50 3.50 F7 39.75 4.50 4.25 3.50 F8 40.00 4.25 4.50 3.25 F9 40.00 4.50 4.25 3.25 F10 39.50 4.50 4.50 3.50 F11 39.75 4.25 4.50 3.50 F12 39.50 4.50 4.50 3.50

%WT Loss 17.56 17.54 19.67 16.12 14.43 17.67 15.46 16.34 16.09 17.77 17.67 17.77

45

Berdasarkan analisis pada program Design Expert version 7 model polinomial dari % WT loss adalah linear. Hasil uji sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa interaksi antara komponen A (soft flour) dan B (pati modifikasi A) berpengaruh nyata terhadap respon % WT loss, begitu juga komponen A (soft flour) dan komponen C (pati modifikasi B), interaksi komponen A (soft flour) dan D (bahan pengembang), interaksi komponen B (pati modifikasi A) dan C (pati modifikasi B), interaksi komponen B (pati modifikasi A) dan komponen D (bahan pengembang), serta interaksi komponen C (pati modifikasi B) dan komponen D (bahan pengembang)

berpengaruh nyata. Hal ini ditunjukkan dengan analisis sidik ragam yang dilakukan oleh program Design Expert version 7 dengan nilai p prob>F lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar <0.0001. Hal ini juga menunjukkan bahwa model yang direkomendasikan yaitu linear adalah signifikan. Hasil analisis ANOVA dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 2. Persamaan polinomial untuk respon skor % WT loss adalah sebagai berikut : % WT loss = (1481.43 A) + (-37461.4 B) + (62364.07 C) + (-52392.6 D)+ (31366.4 AB) + (-94964.5 AC) + (63165.44 AD) + (122869.8 BC) + (46076.16 BD) + (4542.72 CD) Ket : A = soft flour B = pati modifikasi A C = pati modifikasi B D = bahan pengembang Persamaan polinomial selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Gambar 3. menunjukkan hasil nilai % WT loss terhadap komponen bahan baku yang mempengaruhinya yaitu soft flour, pati modifikasi A, pati modifikasi B dengan bahan pengembang sebesar 3.375%.

46

Design-Expert Software %WT loss 19.67

A: SF 39.625

17.9143

14.43 X1 = A: SF X2 = B: Pati modifikasi A X3 = C: Pati modifikasi B Actual Component D: LA = 3.375

4.500
17.5577 17.5577 17.2012

4.500
16.488 16.8446

17.2012

17.9143

4.125 B: Pati modifikasi A

40.000

4.125 C: Pati modifikasi B

%WT loss

Gambar 3. Grafik contour plot hasil uji % WT loss

Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa garis yang menunjukkan nilai respon % WT loss dalam beberapa kombinasi bahan baku berdasarkan persamaan polinomial yang diperoleh. Di samping itu juga dapat dilihat grafik tiga dimensi dari hasil respon % WT loss seperti pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik tiga dimensi hasil respon % WT loss

47

b. Analisis Respon % L increase Nilai % L increase menunjukkan daya pengembangan (spread) biskuit. Nilai ini diperoleh dari pengurangan luas biskuit setelah pemanggangan dengan sebelum pemanggangan dibagi dengan luas biskuit sebelum pemanggangan dikalikan dengan 100%. Biskuit diukur panjang dan lebarnya menggunakan alat pengukur sigmat. Nilai luas biskuit diperoleh dari pengambilan beberapa sampel biskuit kemudian dirata-ratakan. Parameter yang diinginkan untuk membuat lighter biscuit adalah nilai % L increase yang besar yang menunjukkan volume biskuit yang besar pula. Hasil nilai dari respon % L increase pada produk dengan nilai % L increase berkisar antara 2.69% sampai 7.45% dapat dilihat pada Tabel 11. Nilai % L increase paling tinggi yaitu 7.45% terdapat pada formula 7 yang menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati modifikasi A modifikasi B 4.25% dan bahan pengembang 3.5%. 4.5%, pati

Tabel 11. Hasil analisis % L increase Pati Pati Formula SF (%) modifikasi A modifikasi B LA (%) (%) (%) F1 39.75 4.50 4.50 3.25 F2 40.00 4.50 4.00 3.50 F3 40.00 4.25 4.25 3.50 F4 40.00 4.00 4.50 3.50 F5 40.00 4.50 4.50 3.00 F6 39.75 4.25 4.50 3.50 F7 39.75 4.50 4.25 3.50 F8 40.00 4.25 4.50 3.25 F9 40.00 4.50 4.25 3.25 F10 39.50 4.50 4.50 3.50 F11 39.75 4.25 4.50 3.50 F12 39.50 4.50 4.50 3.50

% L increase 2.69 4.98 3.76 5.66 6.81 5.73 7.45 5.33 4.48 5.22 5.73 5.22

Berdasarkan analisis pada program Design Expert version 7 model polinomial dari % L increase adalah linear. Hal ini ditunjukan dengan analisis sidik ragam yang dilakukan oleh program Design Expert version 7 dengan nilai prob>F lebih kecil dari 0,05. Berdasarkan hasil uji sidik ragam (ANOVA) juga menunjukkan bahwa interaksi antara komponen A (soft flour)

48

dan B (pati modifikasi A), interaksi komponen A (soft flour) dan komponen C (pati modifikasi B), interaksi komponen A (soft four) dan D (bahan pengembang), interaksi komponen B (pati modifikasi A) dan C (pati modifikasi B), interaksi komponen B (pati modifikasi A) dan komponen D (bahan pengembang), serta interaksi komponen C (pati modifikasi B) dan komponen D (bahan pengembang) berpengaruh nyata terhadap respon % L increase. Hasil respon ini dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 4. Persamaan polinomial untuk respon skor % L increase adalah sebagai berikut : % L increase = (-1118.49 A) + (-2137.69 B) + (-69138.6 C) + (118260 D) + (12546.56 AB) + (101670.4 AC) + (-143853 AD) + (67491.8 BC) + (-39153.9 BD) + (-61218.6 CD) Ket : A = soft flour B = pati modifikasi A C = pati modifikasi B D = bahan pengembang Persamaan polinomialnya dapat dilihat di Lampiran 5.

Design-Expert Software %L increase 7.45 2.69 X1 = A: SF X2 = B: Pati modifikasi A X3 = C: Patii modifikasi B Actual Component D: LA = 3.375 4.5

A: SF 39.625
3.48125 3.83875

4.19625

4.5
4.91125 4.55375 4.55375

4.91125

4.19625

4.125 B: Pati modifikasi A

40

4.125 C: Pati modifikasi B

%L increase

Gambar 5. Contour Plot Hasil Uji Skor % L increase

49

Gambar 6. Grafik tiga dimensi hasil respon % L increase

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa garis yang menunjukkan nilai respon % L increase dalam beberapa kombinasi bahan baku berdasarkan persamaan polinomial yang diperoleh dengan bahan pengembang sebesar 3.375%. Di samping itu juga dapat dilihat grafik tiga dimensi dari hasil respon % WT loss seperti pada Gambar 6.

c. Analisis Respon tebal Hasil uji dari respon tebal (cm) pada produk dengan nilai tebal berkisar antara 0.712 cm sampai 0.828 cm menggunakan alat ukur sigmat dapat dilihat pada Tabel 12. Nilai tebal yang paling tinggi adalah 0.828 cm terdapat pada formula 6 dan 10. Formula 6 menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati modifikasi A 4.25%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.5%. Sedangkan pada formula 10 digunakan soft flour sebesar 39.5%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3%.

50

Tabel 12. Hasil analisis respon tebal (cm) Pati Pati Formula SF (%) modifikasi A modifikasi B (%) (%) F1 39.75 4.50 4.50 F2 40.00 4.50 4.00 F3 40.00 4.25 4.25 F4 40.00 4.00 4.50 F5 40.00 4.50 4.50 F6 39.75 4.25 4.50 F7 39.75 4.50 4.25 F8 40.00 4.25 4.50 F9 40.00 4.50 4.25 F10 39.50 4.50 4.50 F11 39.75 4.25 4.50 F12 39.50 4.50 4.50

LA (%) 3.25 3.50 3.50 3.50 3.00 3.50 3.50 3.25 3.25 3.50 3.50 3.50

tebal(cm) 0.8020 0.7470 0.7195 0.7935 0.7120 0.8280 0.7250 0.7375 0.7758 0.8280 0.8170 0.8000

Analisis sidik ragam yang dilakukan oleh program Design Expert version 7 pada respon tebal terhadap formula yang dibuat, menunjukkan bahwa persamaan linear formula yang dibuat tidak signifikan (tidak berpengaruh nyata) terhadap respon tebal dimana nilai Prob > F lebih besar dari 0.05 pada selang kepercayaan 95%. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Berdasarkan hasil uji ANOVA pada skor tebal menunjukkan bahwa interaksi antara komponen A (soft flour) dan B (pati modifikasi A), interaksi komponen A (soft flour) dan komponen C (pati modifikasi B), interaksi komponen A (soft four) dan D (bahan pengembang), interaksi komponen B (pati modifikasi A) dan C (pati modifikasi B), interaksi komponen B (pati modifikasi A) dan komponen D (bahan pengembang), serta interaksi komponen C (pati modifikasi B) dan komponen D (bahan pengembang) tidak berpengaruh nyata terhadap respon skor tebal. Hal ini ditunjukkan dengan. nilai prob>F lebih besar dari 0,05 untuk masing-masing interaksi. Persamaan polinomial untuk optimasi produk pada respon tebal adalah sebagai berikut. Tebal = (-3.7619 A) + (-415.238 B) + (1881.404 C) + (-1431.35 D) + (811.2 AB) + (-2401.15 AC) + (1687.296 AD) + (-2195.65 BC) + (-659.776 BD) + (2003.123 CD)

51

Ket : A = soft flour B = pati modifikasi A C = pati modifikasi B D = bahan pengembang

Persamaan polinomial selengkapnya nya dapat dilihat pada Lampiran 7.

Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa garis yang menunjukkan nilai respon tebal dalam beberapa kombinasi bahan baku berdasarkan persamaan polinomial yang diperoleh. Di samping itu juga dapat dilihat grafik tiga dimensi dari hasil respon tebal seperti pada Gambar 8.
A: SF 39.625

Design-Expert Software tebal 0.828 0.712 X1 = A: SF X2 = B: Pati modifikasi A X3 = C: Pati modifikasi B Actual Component D: LA = 3.375

0.804543

0.791335

4.5

0.778128

4.5

0.76492 0.751713 0.76492

4.125 B: Pati modifikasi A

40

4.125 C: Pati modifikasi B

tebal

Gambar 7. Contour plot Hasil Respon Tebal

52

Gambar 8. Grafik tiga dimensi hasil respon tebal

3. Optimasi Formula Setelah mendapatkan data Anova dari ketiga respon, maka dilanjutkan pada optimasi produk. Pada penelitian ini proses optimasi dilakukan untuk mencapai komposisi atau formula yang paling optimal yaitu dengan desirability mendekati 1. Parameter yang dioptimasi pada penelitian ini adalah bahan baku utama yaitu soft flour, pati modifikasi A, pati modifikasi B dan bahan pengembang. Program Design Expert version 7 telah menyediakan pembobotan ini dengan nama importance. Pada kolom importance terdapat pilihan tanda positif (+), mulai dari positif 1(+) hingga positf 5(+++++). Semakin tinggi tingkat kepentingan dari atribut/respon yang diukur terhadap produk, maka semakin banyak tanda positif (+) diberikan. Optimasi yang dilakukan adalah dengan mengoptimalkan jumlah soft flour yaitu antara 39 - 40% dan target komponen adalah in range. Jumlah pati modifikasi A dioptimalkan antara 4-4.5% dan target komponen adalah in range. Jumlah pati modifikasi B dioptimalkan antara 4-4.5% dan target komponen adalah in range. Untuk jumlah bahan pengembang dioptimalkan antara 3-3.5% dan target komponen adalah in range. Skor respon tebal

53

dioptimalkan antara 0.712-0.828 cm dengan target maximize. Skor respon % WT loss dioptimalkan antara 14.43% - 19.67% dengan target in range. Skor respon % L increase dioptimalkan antara 2.69% - 7.45% dengan target in range. Semuanya memiliki tingkat rangking 3 (+++). Formula dari proses optimasi yang disarankan oleh program Design Expert version 7 adalah formula ke-1 (F new 1) dengan komposisi soft flour 39.62%, pati modifikasi A 4.318%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan

pengembang 3.5%. Formula ini diprediksi akan menghasilkan biskuit dengan tebal 0.823901 cm, nilai % WT loss 17.84%, nilai % L increase 5.65% dan nilai desirability sebesar 0.964662 artinya formula tersebut akan menghasilkan produk yang memiliki karakteristik yang paling optimal dan sesuai dengan keinginan kita sebesar 96.47%. Selanjutnya formula yang disarankan divalidasi untuk dibuktikan kebenarannya. Hasil proses optimasi dapat dilihat pada Lampiran 8.
A: SF 39.5
2

Design-Expert Software Desirability Design Points 1 0

Prediction
X1 = A: SF X2 = B: pati modifikasi A X3 = C:Pati modifikasi B Actual Component D: LA = 3.500

0.965

0.811

4.500

2
0.657 0.503 0.349 0.196

4.5

0.196

4 B: Pati modifikasi A

40

4.000 C: Pati modifikasi B

Desirability

Gambar 9. Contour plot Desirability Produk Terhadap Formulasi

54

Gambar 10. Grafik tiga dimensi hasil nilai desirability

Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa garis yang menunjukkan nilai desirability dalam beberapa kombinasi bahan baku. Nilai desirability sebesar 0.965 berarti kemampuan formula dalam menghasilkan produk yang optimum sesuai dengan keinginan kita. Di samping itu juga dapat dilihat grafik tiga dimensi dari hasil nilai desirability seperti pada Gambar 10. Faktor-faktor yang mempengaruhi desirability antara lain kompleksitas jumlah komponen, beberapa kendala dalam formulasi dan target.

Kompleksitas jumlah komponen dapat terlihat pada persyaratan jumlah bahan baku yang dianggap penting dan berpengaruh terhadap produk untuk menentukan formulasi. Jumlah masing-masing bahan baku ditentukan dalam selang yang berbeda-beda yang akan berpengaruh pada nilai desirability. Beberapa kendala dalam formulasi antara lain jumlah bahan baku yang ditentukan oleh formulator yang akan mempengaruhi formula yang disarankan oleh progran Design Expert version 7. Semakin lebar selang jumlah bahan baku, formula yang disarankan akan semakin banyak sehingga penentuan formula yang optimum dengan nilai desirability yang tinggi oleh program akan semakin sulit. Dalam hal ini berarti nilai desirability yang dihasilkan

55

kemungkinan rendah. Faktor yang ketiga yaitu target untuk masing-masing respon. Nilai masing-masing respon berbeda targetnya satu sama lain sesuai dengan keinginan formulator, sehingga akan berpengaruh terhadap nilai desirability. 4. Validasi Setelah program Design Expert version 7 merekomendasikan 1 formula terpilih dengan nilai desirability tertentu lalu dilakukan pembuktian terhadap dugaan nilai tebal produk berdasarkan formula terpilih. Hal ini digunakan untuk validasi formula yang direkomendasikan oleh program Design Expert version 7 yang dianggap akan menghasilkan produk yang optimum dengan nilai desirability tertentu. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran diperoleh bahwa validasi formula F ke-1 (F new 1) menghasilkan biskuit dengan tebal 0.95 cm, % WT loss 18.03% dan % L increase 4.53%. Nilai respon tebal jauh di atas nilai dugaan yaitu 0.823901 cm. Nilai % WT loss yang diperoleh juga lebih besar dari nilai dugaan. Hal ini berarti bahwa formula yang direkomendasikan oleh program Design Expert version 7 yang dianggap sebagai formula yang optimum terbukti untuk respon tebal dan % WT loss. Sedangkan nilai % L increase yang diperoleh pada tahap validasi lebih kecil dari nilai dugaan, namun tidak terlalu berbeda. Di samping itu juga dilakukan uji rating dan deskripsi terhadap F new 1 (Lampiran 9). Uji rating dilakukan pengukuran terhadap atribut produk yaitu intensitas rasa, kebulatan/balance rasa, tekstur dan intensitas after taste. Hasil perhitungan statistika diperoleh nilai standard error mean untuk atribut intensitas rasa sebesar 0.579, atribut kebulatan/balance rasa sebesar 0.626, atribut tekstur sebesar 0.485 dan atribut intensitas after taste sebesar 0.629. Sedangkan nilai koefisien ragam untuk atribut intensitas rasa sebesar 29.71, atribut kebulatan/balance rasa sebesar 37.15, atribut tekstur sebesar 22.38 dan atribut intensitas after taste sebesar 30.94. Nilai koefisien ragam menunjukkan keragaman data masing-masing atribut dibandingkan nilai tengah. Semakin kecil nilai koefisien ragam berarti semakin kecil tingkat keragaman data. Secara organoleptik F new 1 memiliki tekstur keras, volume besar, renyah, rasa susu, kurang lembut dan after taste.

56

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN 1. Bahan baku yang paling berpengaruh dalam pembuatan (formulasi) biskuit yaitu soft flour, pati modifikasi A, pati modifikasi B dan bahan pengembang dengan variabel (respon) yang penting yaitu % weight loss, % L increase dan tebal. 2. Bahan pengembang yang digunakan yaitu natrium bikarbonat, baking powder dan ammonium bikarbonat memiliki pengaruh pada biskuit yang dihasilkan dalam hal pengembangan (spread) dan after taste yang kurang disukai. 3. Formula terpilih yang direkomendasikan oleh program Design Expert version 7 menunjukkan bahwa untuk menghasilkan lighter biscuit yang optimum digunakan soft flour 39.62 %, pati modifikasi A 4.318 %, pati modifikasi B 4.5 % dan bahan pengembang 3.5 % dengan nilai desirability 0.964662. Hal ini berarti bahwa kemampuan formula untuk menghasilkan lighter biscuit yang sesuai dengan keinginan kita (optimum) sebesar 96.47 %.

B.

SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh berbagai jenis bahan pengembang dalam pembuatan biskuit terutama pengaruhnya dalam menimbulkan rasa getir produk.

57

DAFTAR PUSTAKA Anonima. 2005.http://www.mnsu.edu/Flint_dent_flour_ears.html Anonimb. 2005. Whats new in http://www.statease.com (05-2006) version 7 (the highlights).

Anonimc. http://id.wikipedia.org/wiki/Garam_dapur" Anonimd. http://www.statease.com/soft_ftp.html Belitz, H. D. dan W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer. Berlin. Bender, A.E. 1978. Food Processing and Nutrition. Academic Press, London. Brandt, L. 1996. Emulsifiers in Baked Goods. Food Product Design, Feb., pp.6476. Di dalam Hasenhuettl, G.L. and R.W Hartel. 1997. Food Emulsifiers and Their Application. Chapman & hall. International Thomson Publishing, New York. Brose, E., Gunter Becker & Wolfgang Bouchain. 1996. Chemical Leavening Agents. Universitatsdruckerei Und Verlag H. Schmidt Mainz. Buhler.,A.G.2006.ExtruderSystem.http://www.buhlergroup.com/Docs/25320EN.p df Uzwil, Switzerland. (26-05 2006). Buckle, K.A., R.A. Edward, G.H. Fleet and M.Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Diterjemahkan oleh H. Purnomo dan Adiono. UI Press, Jakarta. Cauvain, S.P and Young, L.S. 2000. Bakery Food Manufacture and Quality : Water Control and Effects. Blackwell Scince. Oxford, UK. Cauvain, S.P and Young, L.S. 2001. Baking Problems Solved. Woodhead Publishing Limited and CPC Press. LLC, UK. Dziedzic, S.Z. dan M.W. Kearsley. 1998. The Technology of Starch Production. Di dalam. Hoseney, R.C. 1998. Principles of Cereal Science and Technology (2nd ed.). American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul. Minnesota, USA. Feigenbaum, A.V. 1989. Kendali Mutu Terpadu. Terjemahan. Erlangga, Jakarta. Fennema, O.R. 1976. Food Chemistry. Marcell Dekker Inc. Basel. Greenwood, C.T. 1975. Observation on The Structure of The Starch Granule. Di dalam T. R. Muchtadi, P. Hariyadi, dan A.B. Azra. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.

58

Greenwood, C.T. and D. N. Munro. 1979. Carbohydrates. Di dalam T.R. Muchtadi, P. Hariyadi, dan A.B. Azra. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Hodge, J.E. and Osman, E.M. 1976. Carbohydrates. Di dalam T. R. Muchtadi, P. Hariyadi, dan A.B. Azra. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Hoseney, R.C. 1998. Principles of Cereal Science and Technology, 2nd edition. American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA. Ketaren, S. 1986, Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Ed.1. UI Press, Jakarta. Manley, DE.J.R. 1983. Technology of Biscuit, Crackers and Cookies. Ellis Horwood Limited, London. Manley, DE.J.R. 1991. Technology of Biscuit, Crackers and Cookies. 2nd ed. Ellis Horwood Limited, London. Matz, S.A. 1978. Cookies and Crackers Technology. The AVI Publishing Company Inc. Westport, Connecticut. Montgomery, D.C. 1991. Design and Analysis of Experiments. Montgomery, D.C. 1996. Introduction to Statistical Quality Control. 3rd ed. The AVI Publishing Company, Inc., New York. Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1989. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soekarto, S.T. 1990. Dasar-Dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soenaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fateta. IPB. Bogor. Standar Industri Indonesia (SII). 1990. Standar Mutu dan Cara Uji Biskuit. No. 0177-1990. Sutomo, B.2006.http://budiboga.blogspot.com/memilih-tepung-terigu-yang-benaruntuk.html Swinkles, J. J. M. 1985. Source of Starch, Its Chemistry and Physics. Di dalam Starch Conversion Technology, V. Beynum dan J. A. Roels (eds). Marcel Dekker, Inc. New York, Basel.

59

Timmermann, F. 2000. Food Emulsifier, Basic Theory to Practical Realities. Jurnal Asia Fasifik Food Industry. Vail, G.E., J.A. Philips, L.D. Rust, R.M.Griswold & M. Justin. 1978. Foods. Houston Mifflin Company. Boston. Walpole, R. E. 1982. Introduction to Statistic 3rd. Ed. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Whistler dan Daniel. 1996. Carbohydrates. Di dalam Food Cemistry, Fennema, O. R. (ed). Marcell Dekker Inc, Basel. Whiteley, P.R. 1971. Biscuits Manufacture. Applied Science Publishing. Jakarta. Williams, A and Pullen, G. 1998. Functional Ingredients. Di dalam S.P Cauvain and L.S. Young. 1998. Technology of Breadmaking. Blackie Academic & Professional. London, UK. Winarno, F. G. dan Rahayu, T. S. 1994. Bahan Tambahan untuk Pangan dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wirakartakusumah, M.A. 1981. Kinetics of Starch Gelatinization and Water Absorption in Rice. PhD Disertation, University of Wisconsin, Madison.

60

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil uji variasi bahan baku 1. Uji variasi bahan pengembang F1 F2 F3 F6 F7 F8 % WT 10.2% 9.64% 10.76% 11.13% 10.43% 9.56% 10.32% 11.59% loss %L 15.24% 16.05% 20.76% 19.35% 22.87% 13.83% 28.07% 25.34% increase 2. Uji variasi tepung Respon % WT loss % L increase 3. Uji variasi pati Respon % WT loss %L increase F1 10.96% 14.40% F2 9.18% 9.70% F3 9.97% 23.71% Formula F4 9.98% 8.88% F5 11.18% 21.76% F6 10.07% 16.36% F7 11.13% 21.09% F1 10.20 % 15.24 % Formula F2 11.22 % 12.31 % F3 11.00 % 23.26 % Respon Formula F4 F5

4. Uji variasi shortening Respon % WT loss %L increase Formula F1 9.79% 10.72% F2 10.92% 26.35% F3 9.74% 29.64% F4 11.29% 18.51% F5 13.66% 28.77% F6 11.89% 21.50%

5. Uji variasi mixing Respon % WT loss % L increase Formula F1 10.20 % 15.24 % F2 9.05 % 29.75 % F3 11.45 % 12.14 % F4 11.08 % 21.06 %

61

Lampiran 2

Respon 1

%WT LOSS

ANOVA for Mixture Quadratic Model *** Mixture Component Coding is U_Pseudo. *** Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Source Model Linear Mixture AB AC AD BC BD CD Pure Error Cor Total Squares 20.83163 7.827159 0.600714 3.504018 1.550255 5.377067 0.756150 0.007350 0 20.83163 df 9 3 1 1 1 1 1 1 2 11 Mean Square 2.314625 2.609053 0.600714 3.504018 1.550255 5.377067 0.756150 0.007350 0 F Value p-value Prob > F

63660000 < 0.0001 significant 63660000 < 0.0001 63660000 < 0.0001 63660000 < 0.0001 63660000 < 0.0001 63660000 < 0.0001 63660000 < 0.0001 63660000 < 0.0001

The Model F-value of 63660000.00 implies the model is significant. There is only a 0.01% chance that a "Model F-Value" this large could occur due to noise.

Values of "Prob > F" less than 0.0500 indicate model terms are significant. In this case Linear Mixture Components, AB, AC, AD, BC, BD, CD are significant model terms.

Values greater than 0.1000 indicate the model terms are not significant. If there are many insignificant model terms (not counting those required to support hierarchy), model reduction may improve your model.

62

Lampiran 3. Final Equation in Terms of U_Pseudo Components: % WT LOSS = 17.77 * A 16.12 * B 17.54 * C 14.43 * D 2.9 * A * B -8.78 * A * C 5.84 * A * D 11.36 * B * C 4.26 * B * D 0.42 * C * D Final Equation in Terms of Real Components: (terhadap 100% total bahan) % WT LOSS = 1481.43 * A -37461.4 * B 62364.07 * C -52392.6 * D 31366.4 * A * B -94964.5 * A * C 63165.44 * A * D 122869.8 * B * C 46076.16 * B * D 4542.72 * C * D Final Equation in Terms of Actual Components: (terhadap 52% total bahan) % WT LOSS = 28.48904 * A -720.411 * B 1199.309 * C -1007.55 * D 11.6 * A * B -35.12 * A * C 23.36 * A * D 45.44 * B * C 17.04 * B * D 1.68 * C * D Keterangan : A = soft flour B = pati modifikasi A C = pati modifikasi B D = bahan pengembang

63

Lampiran 4. Respon 2 %L increase ANOVA for Mixture Quadratic Model *** Mixture Component Coding is U_Pseudo. *** Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Squares 17.34990 0.098081 0.096114 4.016364 8.040455 1.622400 0.546017 1.334817 0 17.3499 Mean Square 1.927767 0.032694 0.096114 4.016364 8.040455 1.622400 0.546017 1.334817 0 F p-value Value Prob > F 63660000< 0.0001 significant 63660000< 0.0001 63660000< 0.0001 63660000< 0.0001 63660000< 0.0001 63660000< 0.0001 63660000< 0.0001 63660000< 0.0001

Source Model Linear Mixture AB AC AD BC BD CD Pure Error Cor Total

df 9 3 1 1 1 1 1 1 2 11

The Model F-value of 63660000.00 implies the model is significant. There is only a 0.01% chance that a "Model F-Value" this large could occur due to noise. Values of "Prob > F" less than 0.0500 indicate model terms are significant. In this case Linear Mixture Components, AB, AC, AD, BC, BD, CD are significant model terms. Values greater than 0.1000 indicate the model terms are not significant. If there are many insignificant model terms (not counting those required to support hierarchy), model reduction may improve your model.

64

Lampiran 5. Final Equation in Terms of U_Pseud Components:


%L increase = 5.22 * A 5.66 * B 4.98 * C 6.81 * D 1.16 * A * B 9.4 * A * C -13.3 * A * D -6.24 * B * C -3.62 * B * D -5.66 * C * D

Final Equation in Terms of Real Components:


%L increase = -1118.49 * A -2137.69 * B -69138.6 * C 118260 * D 12546.56 * A * B 101670.4 * A * C -143853 * A * D -67491.8 * B * C -39153.9 * B * D -61218.6 * C * D

Final Equation in Terms of Actual Components:


%L increase = -21.5094 * A -41.1094 * B -1329.59 * C 2274.231 * D 4.64 * A * B 37.6 * A * C -53.2 * A * D -24.96 * B * C -14.48 * B * D -22.64 * C * D

Keterangan : A = soft flour B = pati modifikasi A

C = pati modifikasi B D = bahan pengembang

65

Lampiran 6. Respon 3 Tebal ANOVA for Mixture Quadratic Model *** Mixture Component Coding is U_Pseudo. *** Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Source Squares Model 0.020348 Linear Mixture 0.011682 AB 0.000402 AC 0.002240 AD 0.001106 BC 0.001717 BD 0.000155 CD 0.001429 Pure Error 0.000453 Cor Total 0.020800 Mean Square 0.002261 0.003894 0.000402 0.002240 0.001106 0.001717 0.000155 0.001429 0.000226 F Value 9.992821 17.21156 1.775848 9.901356 4.889201 7.589134 0.685267 6.316582 p-value Prob > F 0.0942 not significant 0.0554 0.3142 0.0879 0.1576 0.1104 0.4948 0.1285

df 9 3 1 1 1 1 1 1 2 11

The Model F-value of 9.99 implies there is a 9.42% chance that a "Model F-Value" this large could occur due to noise. Values of "Prob > F" less than 0.0500 indicate model terms are significant. In this case there are no significant model terms. Values greater than 0.1000 indicate the model terms are not significant. If there are many insignificant model terms (not counting those required to support hierarchy), model reduction may improve your model.

66

Lampiran 7. Final Equation in Terms of U_Pseudo Components:


Tebal = 0.814 * A 0.7935 * B 0.747 * C 0.712 * D 0.075 * A * B -0.222 * A * C 0.156 * A * D -0.203 * B * C -0.061 * B * D 0.1852 * C * D

Final Equation in Terms of Real Components:


Tebal = -3.7619 * A -415.238 * B 1881.404 * C -1431.35 * D 811.2 * A * B -2401.15 * A * C 1687.296 * A * D -2195.65 * B * C -659.776 * B * D 2003.123 * C * D

Final Equation in Terms of Actual Components:


Tebal = -0.07234 * A -7.98534 * B 36.18086 * C -27.5259 * D 0.3 * A * B -0.888 * A * C 0.624 * A * D -0.812 * B * C -0.244 * B * D 0.7408 * C * D

Keterangan : A = soft flour B = pati modifikasi A

C = pati modifikasi B D = bahan pengembang

67

Lampiran 8. Optimasi Constraints Name Goal SF is in range Pati modifikasi A is in range Pati modifikasi B is in range LA is in range tebal maximize % WT loss is in range % L increase is in range Solutions Number 1 SF 39.682 Pati Pati modifikasi A modifikasi B 4.318 4.5 LA 3.5 tebal 0.823901 % WT loss % L increase 17.84 5.65 Desirability 0.964662 Selected Lower Limit 39.5 4 4 3 0.712 14.43 2.69 Upper Limit 40 4.5 4.5 3.5 0.828 19.67 7.45 Lower Weight 1 1 1 1 1 1 1 Upper Weight 1 1 1 1 1 1 1 Importance 3 3 3 3 3 3 3

Component A B C D

Name Level SF 39.75 Pati modif. A 4.5 Pati modif. B 4.25 LA 3.5 Total = 52

Low Level High Level Std. Dev. Coding 39.5 40 0 Actual 4 4.5 0 Actual 4 4.5 0 Actual 3 3.5 0 Actual

Lampiran 9. HASIL UJI RATING DAN DESKRIPSI FORMULA TERPILIH LIGHTER BISCUIT Nama Mba Somy Mba Lia Pipit Pak Widodo Linda Bu Yani Mba Chusnul Mba Meri Mba Erni Cici Iqbal Mba Wulan Kode 217 217 217 217 217 217 217 217 217 217 217 217 Rasa/flavor Intensitas Kebulatan/balance 8 5 8 8 4 5 9 3 8 9 5 8 7 7 5 9 5 3 5 4 7 4 5 10 Tekstur 7 6 7 7 5 8 10 9 5 8 8 10 Intensitas aftertaste 8 8 6 5 2 8 9 9 6 6 7.5 10

Keterangan : a. Intensitas rasa 0-10 : semakin sangat kuat b. Kebulatan/balance rasa 0-10 : semakin sangat bulat c. Tekstur 0-10 : semakin sangat keras d. Intensitas after taste 0-10 ; semakin sangat kuat

69

Lampiran 10. Descriptive Statistics : INTENSITAS, BALANCE, TEKSTUR, AFTERTASTE Variable INTENSITAS BALANCE TEKSTUR AFTERTASTE Mean 6.750 5.833 7.500 7.042 SE Mean 0.579 0.626 0.485 0.629 StDev 2.006 2.167 1.679 2.179 Variance 4.023 4.697 2.818 4.748 CoefVar 29.71 37.15 22.38 30.94 Minimum 3.000 3.000 5.000 2.000 Maximum 9.000 10.000 10.000 10.000 Range 6.000 7.000 5.000 8.000

Jurnal Skripsi

Kajian Formulasi Lighter Biscuit Dalam Rangka Pengembangan Produk Baru di PT Arnotts Indonesia Bekasi Oleh : Molid Nurman Hadi F24102076 Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Abstract This research was focused to get formula of biscuit specially the optimum lighter biscuit. First step from the research is test of variation from raw materials there are leavening agent, flour, starch, shortening, and also test of mixing process. Then continued with make planning of the optimum lighter biscuit formula use Design Expert version 7 as the software. There is 12 formula as the result from this software, which is % weight loss % L Increase, and thick as variable of product respond. The choosen formula from optimation process of making lighter biscuit is F New 1, which is soft flour 39.62%, modification starch A 4.318%, modification starch B 4.5% and leavening agent 3.5% as the composition. This Formula will yield biscuit thickly 0.823901 cm, % WT Loss 17.84%, % L Increase 5.65% from the prediction, and give desirability value about 0.964662. it means the formula will yield product with most optimal characteristic and it is about 96.47% which is most desireable . After validation, we obtained biscuit with thick value 0.95 cm, % WT Loss 18.03% and % L Increase 4.53%.

I. Pendahuluan Pengembangan produk baru adalah suatu usaha ekstensifikasi dari suatu perusahaan pangan hasil kerja sama antara bagian pengembangan produk, pemasaran, produksi, pengawasan mutu, dan bagian persediaan bahan. Penelitian dan pengembangan merupakan kegiatan perusahaan dalam rangka mengembangkan produk baru dan mengantisipasi perubahan pasar. Pada dunia industri, produk baru mengandung pengertian yaitu produk yang sebelumnya belum pernah diproduksi oleh suatu perusahaan meskipun produk tersebut telah atau pernah diproduksi oleh perusahaan lain. Beberapa modifikasi dan inovasi yang dapat dilakukan terkait pengembangan produk baru antara lain modifikasi flavor, warna, bentuk, substitusi bahan baku utama dengan bahan baku lainnya dengan tujuan menurunkan biaya produksi atau meningkatan nilai gizi produk tersebut tanpa mengurangi dan menurunkan mutunya (Soekarto, 1990).

Formulasi produk merupakan bagian dalam tahap pengembangan produk. Tahap ini merupakan tahap yang sangat penting dalam penciptaan produk baru. Pada tahap ini dicari beberapa alternatif formulasi bahan baku produk sampai dihasilkan formulasi yang optimum hingga dihasilkan produk bermutu yang secara ekonomis menguntungkan dan secara organoleptik dapat diterima dan disukai oleh konsumen. Salah satu produk makanan yang sudah banyak di pasaran dan banyak dikonsumsi sejak dulu adalah biskuit. Biskuit adalah produk makanan kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar tepung terigu, lemak dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang diizinkan. Secara umum biskuit diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu biskuit keras, crackers, cookies, dan wafer (SII No. 0177, 1990). Riset berskala laboratorium mengenai biskuit telah banyak dilakukan, baik dalam rangka reformulasi maupun formulasi produk baru.

Berdasarkan hal itu, Departemen Penelitian dan Pengembangan Produk (Research and Development Product Department atau R&D) PT Arnotts Indonesia mempunyai ide untuk membuat lighter biscuit. Lighter biscuit merupakan salah satu jenis biskuit yang memiliki bobot ringan namun bervolume besar (less weight high volume) sehingga diharapkan meminimalisasi biaya jika diaplikasikan dalam skala produksi. II. Tujuan Kegiatan magang-penelitian ini memiliki tujuan khusus yaitu mendapatkan formula terbaik dan terpilih lighter biscuit yaitu biskuit dengan bobot yang ringan namun memiliki volume yang besar (less weight high volume) dalam rangka pengembangan produk baru biskuit skala laboratorium. III. Metodologi Penelitian 1. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam magang-penelitian ini adalah tepung terigu kadar protein rendah, tepung terigu kadar protein sedang, tepung terigu kadar protein tinggi, maizena, pati modifikasi, shortening, margarin, butter, minyak (oil), gula, susu skim, natrium bikarbonat, ammonium bikarbonat, baking powder, sodium acyd pyrophosphat, kalsium karbonat, garam, lesitin, flavor dan air yang diperoleh di PT Arnotts Indonesia Bekasi. Alat - alat yang digunakan dalam magang-penelitian ini adalah timbangan, gelas ukur, sendok, mixer, oven, microwave, loyang, laminator, cetakan, stop watch dan sigmat yang terdapat di PT Arnotts Indonesia Bekasi. 2. Metode Penelitian Kegiatan magang penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu penelitian pendahuluan, tahap persiapan dan penelitian utama. Tahap persiapan meliputi penyiapan bahan baku dan bahan tambahan untuk pembuatan lighter biscuit. Penelitian pendahuluan meliputi uji variasi bahan pengembang,

variasi pati, variasi tepung, variasi shortening, dan variasi pencampuran (mixing). Penelitian utama meliputi formulasi lighter biscuit menggunakan rancangan percobaan mixture design dan uji organoleptik. IV. Pembahasan Biskuit merupakan makanan kering hasil pemanggangan yang dibuat dengan bahan dasar tepung terigu dan bahan tambahan lain membentuk suatu formula adonan sehingga menghasilkan suatu produk dengan sifat dan struktur tertentu (Matz, 1978). Menurut Whiteley yang dikutip oleh Sunaryo (1985), biskuit atau produk sejenisnya harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu dibuat dari bahan-bahan serealia seperti gandum, jagung, oat, barley dan sebagainya dengan kadar air kurang lebih 5%. Apabila diisi dengan bahan-bahan pembentuk (krim, jam, jelli dan sebagainya) kadar airnya dapat melebihi 5% dan apabila bahan utamanya lebih dari 60% bukan serealia maka tidak dapat disebut sebagai biskuit. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan lighter biscuit terdiri atas bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama meliputi : soft flour, pati modifikasi, shortening, gula dan skim. Bahan tambahan meliputi : bahan pengembang, lesitin, garam, air dan flavor susu. Proses pembuatan biskuit terdiri atas penyiapan bahan, menimbang, mixing (pencampuran), laminasi, proofing (pengistirahatan), pencetakan dan baking (pemanggangan). Tahap pertama bahan baku dipersiapkan lalu ditimbang sesuai dengan formula. Setelah itu dilanjutkan dengan proses mixing (pencampuran) menggunakan varimixer Teddy berukuran sedang dan mampu menampung adonan sebanyak 500 gram. Metode mixing yang digunakan adalah creaming method yaitu dimana pada awal mixing dicampurkan gula, shortening dan lesitin secara bersamaan hingga terbentuk krim. Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan krim sekitar 8-10 menit dengan kecepatan mixing rendah. Tahap selanjutnya yaitu proses laminasi. Sebelum melalui tahap ini, adonan dibiarkan terlebih dahulu dalam kondisi tertutup (proofing) kurang lebih selama 5-10 menit. Hal ini bertujuan untuk mengeluarkan gas yang dihasilkan oleh bahan pengembang yang digunakan. Setelah adonan didiamkan

lalu dilanjutkan ke tahap laminasi menggunakan alat laminator. Tujuan proses ini adalah memipihkan adonan dengan tebal tertentu sehingga mudah dicetak dan membentuk layer (lapisan) pada produk akhir. Tahap selanjutnya adalah pencetakan adonan yang telah dipipihkan. Dalam pembuatan biskuit kali ini digunakan cetakan berbetuk segi empat (persegi panjang) atau rektangular. Tebal awal adonan adalah 2.50-2.55 cm dengan panjang antara 6.2-6.5 cm dan lebar antara 2.9-3.2 cm. Setelah dicetak, lalu adonan dipanggang pada suhu 180-210 0C menggunakan oven selama 5 menit. Kemudian biskuit dipanaskan dalam microwave pada suhu 130 0 C selama 8-10 menit. 1. Penelitian Pendahuluan Formula yang terpilih pada uji variasi bahan pengembang adalah F7 yaitu menggunakan 0.8% sodium bikarbonat, 1 % baking powder dan 0.5% ammonium bikarbonat. Biskuit yang dihasilkan menunjukkan pengembangan yang besar yang ditunjukkan dengan nilai % L increase paling besar yaitu 28.07%. Di samping itu, nilai kehilangan bobot (% weight loss) dari biskuit yang dihasilkan cukup besar yaitu 10.32%. Pada uji variasi tepung digunakan tiga jenis tepung yaitu soft flour tepung medium, dan tepung roti. Ketiga jenis tepung tersebut berbeda pada kadar proteinnya. Penggunaan soft flour menghasilkan biskuit dengan nilai % weight loss paling kecil dengan daya spread yang cukup besar. Sedangkan penggunaan tepung medium menghasilkan biskuit dengan nilai % L increase paling besar dan % kehilangan bobot lebih tinggi dibandingkan menggunakan soft flour. Penggunaan tepung roti menghasilkan biskuit dengan % kehilangan bobot tinggi dan daya spread paling kecil. Uji variasi pati terdiri dari 7 formula. Pati yang digunakan adalah pati jagung (maizena) dengan jumlah tertentu. Penggunaan maizena dikombinasikan dengan tepung dengan perbandingan tertentu. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa formula terpilih adalah kombinasi antara 80% soft flour dan 20% maizena dimana menghasilkan biskuit dengan % L increase terbesar yaitu 23.71% dan nilai % WT loss cukup besar yaitu

9.97%. Penggunaan 100% maizena menghasilkan biskuit yang kurang maksimal dimana % L increase lebih kecil yaitu 21.09% dan nilai % WT loss yang tinggi yaitu 11.13%. Di samping itu penggunaan 100% maizena menghasilkan biskuit yang keras dan kering. Uji variasi shortening terdiri dari 6 formula. Jenis shortening yang digunakan adalah fat shortening yellow, butter, margarin dan minyak nabati (oil). Pada formula yang menggunakan fat shortening yellow, secara umum biskuit yang dihasilkan memiliki tekstur yang lebih baik dibandingkan yang lain. Formula yang terpilih menggunakan 55% fat shortening yellow dengan nilai % L increase paling tinggi yaitu 29.64% dan % WT loss cukup tinggi yaitu 9.74%. Jumlah variasi yang dilakukan pada uji variasi mixing (pencampuran) sebanyak 8 jenis metode. Secara umum proses pencampuran terbagi menjadi 2 metode yaitu all in method dan creaming method. Variasi yang dilakukan adalah jumlah waktu pencampuran (mixing) yaitu selama 2 menit dan 15 menit untuk kedua metode pencampuran. Berdasarkan hasil penelitian, metode yang menghasilkan biscuit yang maksimal adalah all in method selama 15 menit dimana nilai % L increase paling tinggi yaitu 29.75% dan nilai % WT loss cukup tinggi yaitu 9.05%. 2. Penelitian Utama Rancangan metode penelitian yang dipakai pada program Design Expert version 7 adalah rancangan Response Surface Methodology (RSM) mixture design. Penggunaan RSM mixture design karena metode rancangan tersebut sesuai dengan faktor perlakuan yang ada pada penelitian ini. Pada tahap perancangan formula, jumlah soft flour yang digunakan berkisar antara 39.5 40% terhadap total bahan, pati modifikasi A dan pati modifikasi B antara 4.0 4.5% serta bahan pengembang antara 3.0 3.5%. Pada tahap ini ditentukan juga respon yang akan diukur dan dioptimasi. Variabel atau respon yang akan dioptimasi adalah % weight loss (% WT loss), % L increase dan tebal. Nilai % weight loss menunjukkan persen kehilangan bobot biskuit yang diperoleh dari pengurangan bobot sebelum pemanggangan dengan setelah

pemanggangan dibagi dengan bobot sebelum pemanggangan dikalikan 100%. Nilai % L increase menunjukkan daya pengembangan (spread) biskuit. Nilai ini diperoleh dari pengurangan luas biskuit setelah pemanggangan dengan sebelum pemanggangan dibagi dengan luas biskuit sebelum pemanggangan dikalikan 100%. Nilai tebal biskuit menunjukkan tebal biskuit setelah pemanggangan. Formula yang disarankan oleh program Design Expert version 7 adalah 12 formula yang dihasilkan pada tahap rancangan percobaan, seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Rancangan Formulasi Mixture Design Pati Pati Formula SF (%) modifikasi modifikasi B (%) A (%) F1 39.75 4.50 4.50 F2 40.00 4.50 4.00 F3 40.00 4.25 4.25 F4 40.00 4.00 4.50 F5 40.00 4.50 4.50 F6 39.75 4.25 4.50 F7 39.75 4.50 4.25 F8 40.00 4.25 4.50 F9 40.00 4.50 4.25 F10 39.50 4.50 4.50 F11 39.75 4.25 4.50 F12 39.50 4.50 4.50 Hasil uji dari respon % WT loss pada produk dengan nilai % WT loss berkisar antara 14.43% sampai 19.67% dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai rata-rata (mean) dari hasil uji respon % WT loss adalah 17.0075%. Nilai % WT loss yang paling tinggi adalah 19.67% yang terdapat pada formula 3 yaitu menggunakan soft flour sebesar 40%, pati modifikasi A 4.25%, pati modifikasi B 4.25% dan bahan pengembang 3.5%. Berdasarkan analisis pada program Design Expert version 7 model polinomial dari % WT loss adalah linear. Persamaan polinomial untuk respon skor % WT loss adalah sebagai berikut : % WT loss = (1481.43 A) + (-37461.4 B) + (62364.07 C) + (-52392.6 D)+ (31366.4 AB) + (-94964.5 AC) + (63165.44 AD) + (122869.8 BC) + (46076.16 BD) + (4542.72 CD)

Ket : A = soft flour B = pati modifikasi A C = pati modifikasi B D = bahan pengembang Tabel 2. Hasil analisis %WT loss
Formula F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10 F11 F12 Pati Pati SF modifikasi modifikasi (%) A (%) B (%) 39.75 4.50 4.50 40.00 4.50 4.00 40.00 4.25 4.25 40.00 4.00 4.50 40.00 4.50 4.50 39.75 4.25 4.50 39.75 4.50 4.25 40.00 4.25 4.50 40.00 4.50 4.25 39.50 4.50 4.50 39.75 4.25 4.50 39.50 4.50 4.50 LA %WT (%) Loss 3.25 3.50 3.50 3.50 3.00 3.50 3.50 3.25 3.25 3.50 3.50 3.50 17.56 17.54 19.67 16.12 14.43 17.67 15.46 16.34 16.09 17.77 17.67 17.77

Gambar 1. menunjukkan hasil nilai % WT loss terhadap komponen bahan baku yang mempengaruhinya yaitu soft flour, pati modifikasi A, pati modifikasi B dengan bahan pengembang sebesar 3.375%.
Design-Expert Software %WT loss 19.67 14.43 X1 = A: SF X2 = B: Pati modifikasi A X3 = C: Pati modifikasi B Actual Component D: LA = 3.375
17.9143

A: SF 39.625

4.500
17.5577 17.5577 17.2012 17.2012

4.500
16.488 16.8446

17.9143

40.000 4.125 B: Pati modifikasi A

4.125 C: Pati modifikasi B

%WT loss

Gambar 1. Contour plot hasil uji skor % WT loss Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa garis yang menunjukkan nilai respon % WT loss dalam beberapa kombinasi bahan baku berdasarkan persamaan polinomial yang diperoleh. Di samping itu juga dapat dilihat grafik tiga dimensi dari hasil respon % WT loss seperti pada Gambar 2.

Ket : A = soft flour B = pati modifikasi A C = pati modifikasi B D = bahan pengembang Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa garis yang menunjukkan nilai respon % L increase dalam beberapa kombinasi bahan baku berdasarkan persamaan polinomial yang diperoleh dengan bahan pengembang sebesar 3.375%. Di samping itu juga dapat dilihat grafik tiga dimensi dari hasil respon % WT loss seperti pada Gambar 4. Gambar 2. Grafik tiga dimensi hasil respon % WT loss Hasil nilai dari respon % L increase pada produk dengan nilai % L increase berkisar antara 2.69% sampai 7.45% dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai % L increase paling tinggi yaitu 7.45% terdapat pada formula 7 yang menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.25% dan bahan pengembang 3.5%. Tabel 3. Hasil analisis % L increase
Pati Pati LA %L Formula SF (%) modifikasi modifikasi (%) increase A (%) B (%) F1 39.75 4.50 4.50 3.25 2.69 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10 F11 F12 40.00 40.00 40.00 40.00 39.75 39.75 40.00 40.00 39.50 39.75 39.50 4.50 4.25 4.00 4.50 4.25 4.50 4.25 4.50 4.50 4.25 4.50 4.00 4.25 4.50 4.50 4.50 4.25 4.50 4.25 4.50 4.50 4.50 3.50 3.50 3.50 3.00 3.50 3.50 3.25 3.25 3.50 3.50 3.50 4.98 3.76 5.66 6.81 5.73 7.45 5.33 4.48 5.22 5.73 5.22
Design-Expert Software %L increase 7.45 2.69 X1 = A: SF X2 = B: Pati modifikasi A X3 = C: Patii modifikasi B Actual Component D: LA = 3.375 4.5 4.5
4.91125 4.55375 4.55375 4.91125 4.19625

A: SF 39.625
3.48125 3.83875 4.19625

4.125 B: Pati modifikasi A

40

%L increase

4.125 C: Pati modifikasi B

Gambar 3. Contour Plot Hasil Uji Skor % L increase

Gambar 4. Grafik tiga dimensi hasil respon % L increase Hasil uji dari respon tebal (cm) pada produk dengan nilai tebal berkisar antara 0.712 cm sampai 0.828 cm menggunakan alat ukur sigmat dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai tebal yang paling tinggi adalah 0.828 cm terdapat pada formula 6 dan 10. Formula 6 menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati modifikasi A 4.25%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.5%. Sedangkan pada formula 10 digunakan soft flour sebesar 39.5%, pati

Berdasarkan analisis pada program Design Expert version 7 model polinomial dari % L increase adalah linear. Persamaan polinomial untuk respon skor % L increase adalah sebagai berikut : % L increase = (-1118.49 A) + (-2137.69 B) + (-69138.6 C) + (118260 D) + (12546.56 AB) + (101670.4 AC) + (-143853 AD) + (-67491.8 BC) + (-39153.9 BD) + (61218.6 CD)

modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3%. Tabel 4. Hasil analisis respon tebal (cm)
Pati Pati Formula SF (%) modifikasi modifikasi A (%) B (%) F1 39.75 4.50 4.50 F2 40.00 4.50 4.00 F3 40.00 4.25 4.25 F4 40.00 4.00 4.50 F5 40.00 4.50 4.50 F6 39.75 4.25 4.50 F7 39.75 4.50 4.25 F8 40.00 4.25 4.50 F9 40.00 4.50 4.25 F10 39.50 4.50 4.50 F11 39.75 4.25 4.50 F12 39.50 4.50 4.50 LA tebal(cm) (%) 3.25 3.50 3.50 3.50 3.00 3.50 3.50 3.25 3.25 3.50 3.50 3.50 0.8020 0.7470 0.7195 0.7935 0.7120 0.8280 0.7250 0.7375 0.7758 0.8280 0.8170 0.8000

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa garis yang menunjukkan nilai respon tebal dalam beberapa kombinasi bahan baku berdasarkan persamaan polinomial yang diperoleh. Di samping itu juga dapat dilihat grafik tiga dimensi dari hasil respon tebal seperti pada Gambar 6.

Persamaan polinomial untuk optimasi produk pada respon tebal adalah sebagai berikut. Tebal = (-3.7619 A) + (-415.238 B) + (1881.404 C) + (-1431.35 D) + (811.2 AB) + (-2401.15 AC) + (1687.296 AD) + (2195.65 BC) + (-659.776 BD) + (2003.123 CD) Ket : A = soft flour B = pati modifikasi A C = pati modifikasi B D = bahan pengembang

Gambar 6. Grafik tiga dimensi hasil respon tebal 3. Optimasi Formula Setelah mendapatkan data Anova dari ketiga respon, maka dilanjutkan pada optimasi produk. Pada penelitian ini proses optimasi dilakukan untuk mencapai komposisi atau formula yang paling optimal yaitu dengan desirability mendekati 1. Parameter yang dioptimasi pada penelitian ini adalah bahan baku utama yaitu soft flour, pati modifikasi A, pati modifikasi B dan bahan pengembang. Optimasi yang dilakukan adalah dengan mengoptimalkan jumlah soft flour yaitu antara 39 - 40% dan target komponen adalah in range. Jumlah pati modifikasi A dioptimalkan antara 4-4.5% dan target komponen adalah in range. Jumlah pati modifikasi B dioptimalkan antara 4-4.5% dan target komponen adalah in range. Untuk jumlah bahan pengembang dioptimalkan antara 3-3.5% dan target komponen adalah in range. Skor respon tebal dioptimalkan antara 0.712-0.828 cm dengan target maximize. Skor respon % WT loss dioptimalkan antara 14.43% - 19.67% dengan target in range. Skor respon % L increase dioptimalkan antara 2.69% - 7.45% dengan target in range. Semuanya memiliki tingkat rangking 3 (+++). Formula dari proses optimasi yang disarankan oleh program Design Expert

Design-Expert Software tebal 0.828 0.712 X1 = A: SF X2 = B: Pati modifikasi A X3 = C: Pati modifikasi B Actual Component D: LA = 3.375

A: SF 39.625

0.804543

0.791335

4.5

0.778128

4.5

0.76492 0.751713 0.76492

40 4.125 B: Pati modifikasi A

4.125 C: Pati modifikasi B

teb al

Gambar 5. Contour plot Hasil Respon Tebal

version 7 adalah formula ke-1 (F new 1) dengan komposisi soft flour 39.62%, pati modifikasi A 4.318%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.5%. Formula ini diprediksi akan menghasilkan biskuit dengan tebal 0.823901 cm, nilai % WT loss 17.84%, nilai % L increase 5.65% dan nilai desirability sebesar 0.964662 artinya formula tersebut akan menghasilkan produk yang memiliki karakteristik yang paling optimal dan sesuai dengan keinginan kita sebesar 96.47%. Selanjutnya formula yang disarankan divalidasi untuk dibuktikan kebenarannya.
Design-Expert Software Desirability Design Points 1 0

A: SF 39.5
2

Prediction
X1 = A: SF X2 = B: pati modifikasi A X3 = C:Pati modifikasi B Actual Component D: LA = 3.500

0.965

0.811

4.500

2
0.657 0.503 0.349 0.196

4.5

0.196

4 B: Pati modifikasi A

40

4.000 C: Pati modifikasi B

Desirability

Gambar 7. Contour plot desirability produk terhadap formulasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi desirability antara lain kompleksitas jumlah komponen, beberapa kendala dalam formulasi dan target. Kompleksitas jumlah komponen dapat terlihat pada persyaratan jumlah bahan baku yang dianggap penting dan berpengaruh terhadap produk untuk menentukan formulasi. Jumlah masingmasing bahan baku ditentukan dalam selang yang berbeda-beda yang akan berpengaruh pada nilai desirability. Beberapa kendala dalam formulasi antara lain jumlah bahan baku yang ditentukan oleh formulator yang akan mempengaruhi formula yang disarankan oleh progran Design Expert version 7. Semakin lebar selang jumlah bahan baku, formula yang disarankan akan semakin banyak sehingga penentuan formula yang optimum dengan nilai desirability yang tinggi oleh program akan semakin sulit. Dalam hal ini berarti nilai desirability yang dihasilkan kemungkinan rendah. Faktor yang ketiga yaitu target untuk masing-masing respon. Nilai masing-masing respon berbeda targetnya satu sama lain sesuai dengan keinginan formulator, sehingga akan berpengaruh terhadap nilai desirability. 4. Validasi Setelah program Design Expert version 7 merekomendasikan 1 formula terpilih dengan nilai desirability tertentu lalu dilakukan pembuktian terhadap dugaan nilai tebal produk berdasarkan formula terpilih. Hal ini digunakan untuk validasi formula yang direkomendasikan oleh program Design Expert version 7 yang dianggap akan menghasilkan produk yang optimum dengan nilai desirability tertentu. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran diperoleh bahwa validasi formula F ke-1 (F new 1) menghasilkan biskuit dengan tebal 0.95 cm, % WT loss 18.03% dan % L increase 4.53%. Nilai respon tebal jauh di atas nilai dugaan yaitu 0.823901 cm. Nilai % WT loss yang diperoleh juga lebih besar dari nilai dugaan. Hal ini berarti bahwa formula yang direkomendasikan oleh program Design Expert version 7 yang dianggap sebagai formula yang optimum terbukti untuk respon tebal dan % WT loss. Sedangkan nilai % L increase yang diperoleh pada tahap validasi lebih kecil dari nilai dugaan, namun tidak terlalu berbeda.

Gambar 8. Grafik tiga dimensi desirability produk terhadap formulasi Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa garis yang menunjukkan nilai desirability dalam beberapa kombinasi bahan baku. Nilai desirability sebesar 0.965 berarti kemampuan formula dalam menghasilkan produk yang optimum sesuai dengan keinginan kita. Di samping itu juga dapat dilihat grafik tiga dimensi dari hasil nilai desirability seperti pada Gambar 8.

DAFTAR PUSTAKA Anonim.http://www.statease.com/soft_ftp.ht ml Brose, E., Gunter Becker & Wolfgang Bouchain. 1996. Chemical Leavening Agents. Universitatsdruckerei Und Verlag H. Schmidt Mainz. Matz, S.A. 1978. Cookies and Crackers Technology. The AVI Publishing Company Inc. Westport, Connecticut. Soekarto, S.T. 1990. Dasar-Dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Standar Industri Indonesia (SII). 1990. Standar Mutu dan Cara Uji Biskuit. No. 0177-1990. Whiteley, P.R. 1971. Biscuits Manufacture. Applied Science Publishing. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai