Anda di halaman 1dari 15

Lupus Eritematosus Sistemik 1.

Anamnesis Apa ada ruam, anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan, ruam kulit, ruam kupu-kupu, sensitif terhadap sinar matahari, mual dan muntah?. Bagaimana keluhan pasien sehingga datang? Bagaimana keluhan pasien sebelumnya? Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama seperti ini? Apakah sudah pernah menjalani pengobatan sebelumnya? 2.Pemeriksaan fisik Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterflyrash) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches. 4 Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.5 3. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis SLE Secara umum anjuran pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah Analisis darah tepi lengkap (darah rutin dan LED), Sel LE, Antibodi antinuclear (ANA), Anti-dsDNA (anti DNA natif), Autoantibodi lain (anti SM, RF, antifosfolipid, antihiston, dll), Titer komplemen C3, C4 dan CH50, Titer IgM, IgG, IgA, krioglobulin, masa pembekuan, serologi sifilis (VDRL), Uji Coombs, Elektroforesis protein, Kreatinin dan ureum darah, Protein urin (total protein dalam 24 jam), Biakan kuman, terutama dalam urin dan foto rontgen dada. 4 Mengingat banyaknya pemeriksaan yang dilakukan bila tidak terdapat berbagai macam komplikasi atau karena pertimbangan biaya maka maka dapat dilakukan permeriksaan awal yang penting seperti darah lengkap dan hitung jenis, trombosit, LED, ANA, urinalisis, sel LE dan antibodi anti-ds DNA. 4

Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan tetapi yang paling banyak dianut adalah kriteria menurut American College of Rheumatology (ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ACR tersebut. 2,3,4 Kriteria diagnosis lupus menurut ACR (American College of Rheumatology). (Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)
No 1 2 3 4 5 6 Kriteria Definisi Bercak malar (butterfly Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi, rash) cenderung menyebar ke lipatan nasolabial Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari, pada anamnesis atau pemeriksaan fisik Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri Artritis Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi Serositif a. Pleuritis Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik. b. Perikarditis Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan. b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran Gangguan saraf Kejang Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit) Psikosis Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit) Terdapat salah satu kelainan darah Anemia hemolitik dengan retikulositosis Leukopenia < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaan Limfopenia < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat Terdapat salah satu kelainan Anti ds-DNA diatas titer normal Anti-Sm(Smith) (+) Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormal

Gangguan darah

10

Gangguan imunologi

11

Antibodi antinuklear

antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standar tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema palidum atau antibodi treponema Tes ANA (+)

*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 100% spesifisitas Peningkatan titers ANA sering terjadi pada anak-anak dengan lupus aktif. Ini adalah alat penyaringan yang sangat baik, meskipun ANA dapat ditemukan tanpa penyakit atau dapat dikaitkan dengan kondisi rematik dan lainnya. Tingkat anti-DNA rantai ganda, yang lebih spesifik untuk lupus, mencerminkan tingkat aktivitas penyakit. Tingkat serum dari total hemolitik komplemen (CH50), C3, dan C4 akan menurun pada penyakit aktif dan memberikan ukuran kedua aktivitas penyakit. 4 4. Etiologi Penyakit SLE ini penyebabnya belum dikerahui secara pasti, namun kemungkinan penyakit ini ditimbulkan karena infeksi virus dan gangguan sistem autoimun.1 - Faktor genetik Pewarisan genetik kembar monozigot (>20%) dan pengelompokan familial serta HLA clustering menunjukan predisposisi genetik. Disamping itu, faktor-faktor eksogen, seperti pemakaian obat-obatan, pajanan sinar UV dan penggunaan hormon estrogen juga ikut terlibat. Meskipun penyebabnya tidak diketahui, patogenesis SLE dianggap melibatkan beberapa defek dasar dalam pemeliharaan toleransi perifer sel-B terhadap diri sendiri. Keadaan ini dapat terjadi sekunder karena beberapa kombinasi: -Defek yang diturunkan pada pengaturan proliferasi sel-B. Hiperaktivitas sel T-helper; defek primer pada sel T-helper CD4+ dapat menggerakkan selB spesifik antigen sendiri untuk menghasilkan autoantibodi. Kerusakan jaringan terjadi lewat pembentukan kompleks imun (hipersensitivitas tipe III). Meskipun ANA tidak dapat menembus sel tubuh, tetapi autoantibodi yang beredar dalam darah ini dapat memebentuk kompleks imun bersama dengan intrasel yang dibebaskan dari sel yang rusak.1,2 5. Patofisiologi Mekanisme Penyakit Autoimun SLE

Karena sel T-helper mengendalikan imunitas selular maupun humoral, toleransi sel Thelper dianggap sangat penting bagi pencegahan penyakit autoimun. Ada lebih dari satu jalur yang memungkinkan toleransi dapat dipintas, dan semua jalur tersebut meliputi kombinasi gen suseptibilitas serta pemicu dari lingkungan (khususnya infeksi). SLE merupakan prototipe kelainan auroimun sistemik yang ditandai oleh sejumlah autoantibodi, khususnya ANA. Insidens SLE mendekati 1 hari dari 2500 orang dalam beberapa populasi yang umum; rasio perempuan:laki-laki adalah 9:1. ANA umumnya terdeteksi lewat imunofluoresensi tak langsung. Pola imunofluoresensi (misalnya bersifat homogen, perifer, bercak, nukleoler). Walaupun tidak spesifik, dapat menunjukkan tipe antibodi yang beredar. ANA dapat pula ditemukan pada kelainan autoimun tetapi antibodi anti-DNA benang-rangkap dan antibodi antigen anti-smith merupakan petunjuk kuat kearah SLE. Disamping ANA, pasien SLE menghasilkan banyak antibodi lainnya, sebagian bekerja terhadap unsur-unsur darah. Lebih lanjut, 40-50% pasien SLE memiliki antibodi terhadap protein yang berkaitan dengan fosfolipid. Sebagian antibodi terikat pada antigen kaiolipin dan memberikan hasil tes VDRL yang positif palsu. Sebagian lainnya mempengaruhi pemeriksaan assay koagulasi in vitro. Antibodi yang disebut antikuagulan lupus ini sebenarnya menimbulkan efek prokoagulan in vivo sehingga terjadi trombosis vaskuler rekuren, keguguran dan iskemia serebral2,3

Circulating Immune Complex (Kompleks Imun dalam sirkulasi) Sering ditemukan meingkat pda pasien yang masih aktif tetapi tidak dapat dipakai untuk menentukan derajat penyakit maupun panduan terapi dan prognosis karena juga dapat dideteksi pada berbagai penyakit autoimun lain. Kompleks imun ini dapat diukur dengan pengukuran C1q fase solid dan tes sel raji. Banyak pemeriksaan antibodi anti nukleus spesifitasnya masih terbatas

Pemeriksaan histopatologi menggambarkan secara pasti kelainan ginjal. Klasifikasi WHO pada tahun 2003 membagi NL dalam 6 kelas. Skema ini berdasarkan hasil biopsi spesimen yang didapat dari mikroskop cahaya, imunofluoresen, dan mikroskop elektron. International society nephrology/renal pathology society (ISN/RPS) membuat klasifikasi baru ini juga terutama berdasarkan pada perubahan glomerulus serta kelas III dan IV lebih rinci perubahan morfologisnya. Dengan pemeriksaan imunofluoresen dapat ditemukan deposit imun pada semua kompartemen ginjal (glomerulus, tubulus, interstitium, dan pembuluh darah). Biasanya ditemukan lebih dari satu kelas imunoglobulin. Terbanyak ditemukan deposit IgG dengan ko-deposit IgM dan IgA pada sebagian besar sediaan. Juga bisa diidentifikasi komplemen C3 dan C1q. Pewarnaan untuk fibrin-fibrinogen dikerjakan bila terdapat lesi crescent dan lesi nekrotik segmental. Sebagai tambahan klasifikasi patologis, aktivitas dan kronisitasnya secara patologis dan secara prediksi untuk penentuan prognosis ginjalnya (progesi dari penyakit ginjal). Indeks aktivitas merefleksikan keadaan di inflamasi yang aktif yang diperoleh dari biopsi, yang reversibel dengan terapi obat. Indeks kronisitas menunjukan banyaknya fibrosis dan jaringan parut/nekrosis yang tidak berespon terhadap terapi. Lesi ginjal dengan indeks aktivitas yang tinggi lebih merupakan respon terapi yang agresif dimana lesi ginjal yang kronisitasnya tinggi tidak respon. Pengobatan yang agresif akan memberikan gejala-gejala yang merupakan perubahan histopatologi yang aktif. Tanda-tanda kronisitas menunjukan tidak revesibelnya pengobatan atau terapi agrsif yang kurang berhasil. Index aktivitas dan kronisitas menunjukan tidak reversibelnya pengobatan atau terapi agresif yang kurang berhasil. Index aktivitas dan kronisitas dievaluasi pada lesi ginjal yang mungkin mentransfotasi dari 1 kelas ke kelas yang lain secara spontan/pengobatan.3

6. Epidemiologi Diketahui bahwa wanita memiliki kecenderungan terkena lupus lebih besar daripada lakilaki. 8 kali lebih banyak daripada laki-laki. Penyakit ini kebanyakan menyerang umur 20-

45 tahun. Menurut laporan statistik lupus lebih banyak 2 sampai 3 kali terjadi pada perempuan Afrika-Amerika daripada wanita kaukasian. Lebih banyak lagi pada wanita Hispanik, Asian, dan Jepang. Wanita Afrika-Amerika dan Hispanik lebih sering mengalami penyakit lupus aktif dan kerusakan organ dalam yang serius. Dilihat dari faktor genetik, hanya 10% dari mereka yang terdiagnosis lupus memiliki hubungan yang dekat (orangtua atau saudara) yang sudah terlebih dahulu memiliki penyakit lupus. Sekitar 5% dari anak-anak yang lahir menjadi penderita lupus. Menurut peneitian yang diselenggarakan oleh Bruskin / Goldring Research pada tahun 1994, antara 1.4 dan 2 juta orang yang menderita lupus. Penyakit ini lebih prevalensi daripada multiple sclerosis, cystic fibrosis, cerebral palsy, sickle cell anemia and leukemia.1-3 7. Gambaran Klinis1-3 Gambaran klinis SLE dapat membingungkan, terutama pada awalnya. Gejala yang paling sering adalah artritis simetris atau atralgia, yang muncul pada 90% dari waktu perjalanan penyakit, seringkali sebagai manifestasi awal. Sendi-sendi yang paling sering terserang adalah sendi-sendi proksimal tangan, pergelangan tangan, siku, lutut, dan pergelangan kaki. Poloatritis SLE berbeda dari artritis reumaoid karena jarang bersifat menimbulkan deformitas. Nodul subkuta juga jarang ditemukan pada penyakit SLE. Gejala-gejala konstitusiona adalah demam, rasa lelah, lemah, dan berkurangnya berat badan yang biasanya timbul pada awal penyakit dan dapat berulang pada perjalanan penyakit ini. Keletihan dan rasa lemah bisa timbul sebagai gejala sekunder dari anemia ringan sekunder yang ditimbulkan oleh SLE. Manifestasi kulit mencakup ruam eritematosa yang dapat timbul pada wajah, leher, ekstremitas, atau pada tubuh. Kira-kira 40% dari pasien SLE memiliki ruam khas berbentuk kupu-kupu. Sinar matahari dapat memperburuk ruam kulit ini. Dapat timbul alopesia (rambut rontok), yang kadang-kadang dapat menjadi berat. Rambut biasanya dapat tumbuh kembali tanpa ada masalah. Juga, dapat terjadi ulserasi pada mukosa mulut dan nasofaring.

Pleuritis (nyeri dada) dapat timbul akibat proses peradangan kronik dari SLE. SLE juga dapat menyebabkan karditis yang menyerang miokardium, endokardium, atau perikardium. Fenomena raynaud timbul pada sekitar 40% pasien SLE. Beberapa kasus dapat sangat berat sehingga dapat terjadi gangren pada jari. Vaskulitis dapat menyerang semua ukuran arteria dan vena. Nefritis lupus timbul pada waktu antibodi anti-nuklear (anti-DNA) melekat pada antigennya (DNA) dan diendapkan pada glomerulus ginjal. Biasanya DNA tidak bersifat antigenik pada orang normal tetapi dapat menjadi antigenik pada pasien SLE. Komplemen terfiksasi pada kompleks imun ini, dan proses peradangan dimulai. Akibatnya dapat terjadi peradangan, kerusakan jaringan dan pembentukan jaringan ikat. Kira-kira 65% dari pasien SLE akan mengalami gangguan pada ginjalnya. Tetapi hanya 25% yang menjadi berat. Nefritis lupus diketahui dengan melakukan pemeriksaan adanya protein dan eritrosit atau silinder didalam air kemih. Untuk mendapatkan suatu diagnosis pasti mungkin perlu dilakukan biopsi ginjal. SLE juga dapat menyerang sistem saraf pusat maupun perifer. Gejala-gejala yang ditimbulkannya kejang-kejang, gangguan saraf otak, dan neuropati perifer. Perubahanperubahan pada sistem saraf pusat sering diakibatkan oleh bentuk penyakit yang ganas dan seringkali bersifat fatal. Antibodi terhadap untai ganda DNA (dsDNA) dan terhadap kompleks protein asam ribonukleat (RNA) yang timbul Sm, hanya ditemukan pada pasien SLE. Ganguan reumatologik lain dapat menyebabkan antibodi antinuklear menjadi positif (ANA), namun anti-dsDNA dan anti-Sm jarang ditemukan kecuali pada SLE. Glomerulopati/nefropati asimplomatik. Kelainan urinalisis: proteinuria didapatkan pada semua pasien, hematuri mikroskopis pada 80% pasien, sedimen urin (silinder eritrosit, silinder leukosit). Sindrom nefritis akut (SNA). SNA pada lupus sulit dibedakan dengan GN pasca infeksi streptokokus, gangguan tubular pada 60-80% pasien.

Sindrom RPGN (rapidly progressive glomerulonephritis). Ini sulit dibedakan dengan sindrom nefritik akut, gejala-gejala khusus RPGN: 1. onsetnya cepat 2.penurunan LFG progresif dalam beberapa minggu/bulan lalu mencapai gagal ginjal terminal 3. hipertensi sistemik yang cukup mencolok 4. proteinuria 1-3 gram perhari disertai kelainan sedimen aktif. Sindrom Glomerulus Progresif dan Kronis, ditandai dengan kelainan berikut: 1. proteinuria bervariasi antara 1-3 gram/hari disertai kelainan sedimen aktif 2.penurunan faal ginjal LFG progresif lambat sehingga dalam beberapa bulan sampai dengan beberapa tahun gagal ginjal. Sindrom nefrotik. Merupakan gambaran klinis paling sering dijumpai pada NL biasanya berkisar antara 45-63% pasien tetapi tidak disertai dengan hipekolesterolemi. Hipertensi pada 15-50% pasien. Penurunan fungsi ginjal pada 40-80% pasien, dimana penurunan yang mencolok mencapai 30% pasien. Diagnosis klinis nefritis lupus ditegakkan bila pasien LES terdapat proteinuria 1 gram/24 jam dengan/atau hematuri (>8 eritrosit/LPB) dengan / atau penurunan fungsi ginjal sampai 30%. Sedangkan diagnosis pasti nefritis lupus ditegakkan dengan biopsi ginjal dan berdasarkan klasifikasi morfologi dari WHO (1982) nefritis lupus dibagi dalam 6 kelas. Gambaran klinis yang ringan dapat berubah menjadi bentuk yang berat dalam perjalanan penyakitnya. Beberapa prediktor yang dihubungkan dengan perburukan fungsi ginjal pada saat pasien diketahui tenderita NL antara lain: 1. ras kulit hitam 2. hematokrit kurang dari 26%

3. kreatinin serum > 2,4 mg/dL 4. kadar C3< 76 mg/dL. Hubungan Klasifikasi Histopatologi WHO dan Manifestasi Klinis Nefritis Lupus Hubungan ini sangat penting untuk program terapi awal dalam menghadapi keadaan darurat dan untuk keperluan prognosis dan indikasi biopsi ginjal.

8. Penatalaksanaan LES 8.1. Medikamentosa Penatalaksanaan pasien SLE bersifat banyak segi dan meliputi penyuluhan, terapi obat yang kompleks, dan tindakan-tindakan pencegahan. Periode timbulnya penyakit ini tersering adalah pada akhir masa remaja, dan awal dari masa dewasa seorang perempuan. Karena masa ini adalah tahun-tahun reproduksi yang paling prima, maka diperlukan penyuluhan serius dalam mengambil keputusan akan memiliki anak atau tidak. Kehamilan dapat menyebabkan timbulnya SLE, yang dapat berbahaya perempuan yang memiliki kerusakan ginjal. Obat-obatan sitotoksik mungkin diperlukan untuk mengendalikan penyakit ini, dan obat-obatan ini sangat berpotensi untuk mencelakan fetus. Metode kontraseptif oral tidak diperbolehkan, karena dapat memperberat SLE. IUD dapat menjadi masalah bagi perempuan yang mendapatkan pengobatan dengan kortikosteroid sistemik, karena adanya potensi untuk menimbulkan infeksi.2 Terapi dengan obat bagi pasien SLE mencakup pemberian obat-obat anti inflamasi non-steroid (OAINS), kortikosteroid, antimalaria, dan agen penekan imun, pemilihan obat yang sesuai bergantung pada organ-organ yang terserang oleh penyakit ini. OAINS dipakai untuk mengatasi artritis dan antralgia. Aspirin saat ini lebih jarang dipakai karena memiliki insidens hepatotoksik tertinggi, dan sebagai pasien SLE juga

memiliki risiko tinggi terhadap efek samping OAINS pada kulit, hepar dan ginjal, sehingga pemberiannya harus dipantau dengan seksama.1-3 Terapi antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila OAINS tidak dapat mengendalikan gejala-gejala SLE. biasanya Mula-mula antimalaria diberikan dengan dosis tinggi untuk memperoleh keadaan remisi. Bersihnya lesi kulit merupakan parameter untuk memantau pemakaian dosis. Terapi penekan imun (siklofosfamid atau azatioprin) dapat dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun SLE. Obat-obatan ini biasanya dipakai ketika; - diagnosis sudah pasti ditegakkan, - adanya gejala-gejala berat yang mengancam jiwa, - kegagalan tindakan-tindakan pengobatannya lainnya, misalnya bila pemberian steroid tidak memberikan respons atau bila dosis steroid harus diturunkan karena adanya efek samping, dan - tidak adanya infeksi, kehamilan, dan neoplasma. Serangan akut SLE, terutama pada orang yang juga memiliki nefritis intersitial, diobati dengan singkat. Dosis obat-obatan ini biasanya dikurangi setelah beberapa minggu. Baik SLE dan kortikosteroid sistemik dapat menimbulkan perubahan tingkah laku dan akan sulit untuk dibedakan.1-3 Sebaiknya pengobatan diberikan setelah didapatkkan hasil histopatologi dan biopsi ginjal. Pilihan rejimen pengobatan berdasarkan gambaran patologi anatomi.tetapi biasanya pasien datang sudah mendapat kortikosteroid dari tempat praktek RS yang berbeda, karena tidak adanya fasilitas biopsi ginjal atau karena sudah mendapat pengobatan untuk LESnya sendiri tanpa gejala NL.1 Prinsip dasar pengobatan hdala untuk memperbaiki fungs ginja; atau setidaknya untuk mempertahankan fungs ginjal agar tidak bertambah buruk tetapi perlu juga diperhatikan efek samping dari obat yang timbul, karena pengobatan NL memerlukan

waktu yang relatif lama, dimana efek camping obat tadi akan mempengaruhi koalitas hidup pasien.1,2 1.NL kelas I tidak memerlukan pengobatan spesifik. Pengobatan lebih ditujukan pada gejala-gejala ekstra renal. 2.NL kelas IIa jira tidak disertai proteinuria yang bermakna (>1 gram/hari) dan redimen urin yang aktif tidak memerlukan pengobatan. 3.NL kelas IIb yang disertai proteinuri >1 gram/hari, anti-ds DNA yang tinggi, hematuri, dan C3 rendah diberikan pengobatan: prednison 0,5-1 mg/hari selama 6-12 minggu, kemudian diturunkan perlahan-lahan (5-10mg) tiap 1-3 minggu, dan dilakukan penyesuaian dosis sesuai aktivitas klinik. 4.pada NL kelas III dan IV pengobatan lebih ditujukan untk kelainan ginjalnya. Rejimen yang paling banyak dipakai saat ini hdala kombinasi steroid dosis rendah yaitu prednisosm 0,5 mg/kg/hari selama 4 minggu yang kemudian diturunkan perlanlahan sampai dosis minimal untuk mengendalikan kelainan diluir ginjal, dan siklofosfamid 750mg/m2 tiap bulan selama 6 bulan, kemudian setiap 2 bulan dengan dosis yang sama sampai 6 kali pemberian, dosis selanjutnya tiap bulan 3 juga 6 kali pemberian (total pengobatan 3 tahun). Dengan rejimen ini Kira-kira 80% pasien akan mengalami remisi yang ditandai dengan tidak terdapatnya sedimen urin yang aktif, proteinuria < 1 gram/hari, dan klirens kratinin tetap stabil atau membaik sediktnya 30%. Beberapa obat lainnya yang dapat digunakan pada NL kelas III dan kelas IV ialah: 1.azatioprin dengan dosis 2 mg/kg, dikombinasikan dengan prednisone. Pemakain azatioprin bertujuan untuk menghindari efek sampng pada pemakaian siklofosfamid. Obat ini juga relative aman pada perempuan hamil. 2.siklosporin dapat pula dipakai bersama prednisone. Dosis awal 5 mg/kg/hari, yang kemudian diturunkan menjadi 2,5 mg/kg/hari setelah 6 bulan.

3.mycophenolate mofetil (MMF) dengan dosis 0,5-2 gram/hari. Khususnya bila pengobatan dengan siklofosfamid tak berhasil. Diberikan bersama dengan prednisone (dosis 0,5 mg/kg/hari) kemudian diturunkan perlahan. Lama pengobatan bisa mencapai 24 bulan. 4.beberapa obat lainnya yang dipakai dalam pengobatan NL dan masih dalam taraf penelitian misalnya antibody monoclonal (anti-C5, anti CD40 legand), immunoglobulin IV, kladribin, dan LJP394. 5.NL kelas V: diberikan prednisone dengan dosis 1 mg/kg/hari selama 6-12 minggu. Bila tak ada respon klinik, prednisone dihentikan sedangkan bila terdapat respons, prednisone dipertahankan selama 1-2 tahun dengan dosis 10 mg/hari. Juga dapat pula diberikan siklosporin pada NL kelas V ini. 6.NL kelas VI: pengobatan lebih difokuskan pada manifestasi extra renal. Untuk memperlambat penurunan fungs ginjal dilakukan terapi suportif seperti retriksi protein, pengobatan hipertensi, pengikat fosfor oral, dan vitamin D. Pengobatan imunologis dilakukan denga pemberian imunosupresan.sasaran pengobatan ini ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan tanda-tanda klinis lupus (baik renal maupun ekstrarenal) serta petada serologi lupus. Tanda-tanda klinis tersebut berupa proteinuria, hematuri, silinder eritrosis, kreatinin serum, ekskresi kemokin dan sitokin dalam urin, kadar anti C1q dalam darah, komplemen C3-C4, anti-dsDNA, kelainan hematologi, dan kelainan extra renal.1,2 Pengobatan non imunologis dilakukan dengan pemberian obat anti hipertensi (ACEI, AIIRB dan pemberian statin yang tujuannya untuk menurunkan tekanan darah, proteinuria, dan colesterol secara agresif. Sesuai gejala klinis dan gambaran histopatologi terdapat 2 masalah terapi utama yang harus dilakukan: yaitu induksi pengobatan dari NL yang berat, yang mengancam jira sering mempengaruhi banyak sistem organ dan onset penyakitnya pendek. Ini Sangay bebahaya bagian dari survival pasien. Pengobatan selanjutnya hdala pengobatan pemeliharaan dan pengobatan kronis jangka panjang. Dan tujuan pengobatan ini untuk

menghidari efek jangka panjang penyakit sehingga efek camping dari pengobatan penting untuk diawasi. Lalu dilanjutkan dengan dosis yang sama selama 3 bulan/kali, selama 2 tahun. Bila terdapat gangguan fungsi ginjal: dosis siklofosfamid dikurangi. Bila pada pemberian siklofosfamid dalam 12 minggu tidak terdapat perubahan maka siklofosfamid dapat diganti dengan azatioprin 2 mg/kgBB/hari. Pada fase induksi, imunosupresan yang sering digunakan adalah siklosporin, siklofosfamid atau mikofenolat mofetil. Pada fase pemeliharaan yang sering digunakan bila pasien mampu dari sudut finansial adalah mikofenolat mofetil (1-2 gram/hari) atau azatioprin (2 mg/kgBB/hari) maksimal 150-200 mg perhari diberikan selama 1 tahun. Azatioprin diberikan dengan dosis 1 gram 2xsehari (2 gram) selama 6 bulan, lalu dosis diturunkan jadi 500mg 2xsehari selama 6 bulan lagi. Rejimen ini diberikan pada NL kelas III berat, IV, campuran kelas III dan V, campuran kelas IV dan V. siklosporin diberikan dengan dosis <5 mg/kgBB selama 1 tahun, pada NL kelas IV dan V. Pengobatan Non-Imunologis2 Pengobatan non-imunologis dilakukan untuk menurunkan tekanan darah dan proteinuria dengan penghambat ACE dan penghambat reseptor angiotensin. Sedangkan untuk menurunkan kolesterol dipakai golongan statin. Tujuan pengobatan ini adalah untuk mengurangi progresivitas kearah perburukan fungsi ginjal sesuai dengan penanganan kasus penyakit ginjal kronik, sasaran tekanan darah adalah serendah mungkin dimana pasien masih merasa nyaman yaitu 120/75 mmHg, proteinuria kurang dari 0,5 gram/24 jam dan kolesterol LDL<100 mg/dL. Monitoring Respons Pengobatan Terapi yang efektif dihubungkan dengan berkurangnya manifestasi infalamasi, berkurangnya gejala ekstrarenal, membaiknya kadar C3, C4, dan titer anti dsDNA. Untuk kelainan ginjalnya sendiri akan didapatkan aktivitasnya sedimen urin yang menurun, membaiknya kreatinin plasma, dan menurunnya atau berkurangnya proteinuria.

8.2. Non Medikamentosa Diingatkan untuk selalu menghindari hal-hal yang dapat membuat penyakitnya kambuh: 1. Menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari 2. Mengurangi beban kerja dan stress berlebih 3. Menghindari pemakaian obat tertentu. 4. Menggunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila akan bekerja di bawah sinar matahari Penderita dianjurkan diterapi pencegahan dengan antibiotika bila menjalani operasi gigi, saluran kencing, atau tindakan bedah lainnya.1,2 9. Komplikasi Resiko perubahan penyakit menjadi LE sistemik meningkat jika lesi menyebar dan terdapat abnormalitas hasil pemeriksaan darah dan parameter serologikus. Pengobatan dini dapat mencegah terjadinya jaringan parut atau atrofi. Degenerasi malignan jarang terjadi. Pencegahan tumbuhnya lesi baru dianjurkan pada daerah yang sering terekspos1,2 10. Preventif Aspek penting dari pencegahan SLE adalah menghindari terkena sinar ultraviolet (UV). Bagaimana sinar matahari dapat menimbulkan serangan SLE masih belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah satu penjelasan adalah DNA yang terkena sinar UV secara normal akan bersifat antigenik, dan hal ini akan menimbulkan serangan setelah terkena sinar. Pasien SLE harus dianjurkan untuk memakai payung, topi, dan baju lengan panjang apabila keluar rumah. Bisa juga memakai tabir surya dengan faktor proteksi 15 untuk

menahan sinar UV. Tabir surya ini harus dipakai setelah berenang atau setelah berolahraga berat. Pasien juga harus diberi daftar obat-obatan yang dapat menimbulkan serangan penyakit, agar timbulnya penyakit dapat dicegah.2 11. Prognosis Prognosis untuk SLE bervariasi dan bergantung pada keparahan gejala, organ-organ yang terlibat, dan lama waktu remisi dapat dipertahankan. SLE tidak untuk disembuhkan, penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi gejala. Prognosis berkaitan dengan sejauh mana gejala-gejala ini dapat diatasi.1,2

1. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.h.1184-91, 1208
2.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius; 2001.h.536-9

3. Patel P.R. Lecture Notes Radiologi Edisi Kedua. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007.h.211
4. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC;2006.h.1387-8

Anda mungkin juga menyukai