Anda di halaman 1dari 21

GANGGUAN SENDI TEMPOROMANDIBULAR

OLEH : YESSY ANGELINA NI PUTU YESSY KARMILA PUTRI NI PUTU SARTIKA SUKMA PUTRI IGA MIRAH TRESNA ANDAYANI ( 006/G/08 ) ( 007/G/08 ) ( 008/G/08 ) ( 010/G/08 )

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR 2012

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas di bagian Kepaniteraan Klinik Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. Sebagai manusia yang tidak lepas dari kelemahan, penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu adapun kritik dan saran yang membangun, penulis terima dengan senang hati. Makalah ini memuat tentang Gangguan Sendi Temporomandibular yang meskipun tidak mengancam jiwa tapi memiliki dampak berkurangnya kualitas hidup akibat nyeri dan gangguan fungsi rahang bawah. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Akhir kata, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, bangsa dan Negara Indonesia serta pengembangan ilmu dan masyarakat.

Denpasar, 6 September 2012

Penulis

ii

DAFTAR ISI Halaman Judul.. i KATA PENGANTAR.. ii DAFTAR ISI.... iii BAB I. PENDAHULUAN. 1 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Rumusan Masalah... 3 1.3. Tujuan Penelitian 3 1.4. Manfaat Penelitian.. 3 BAB II. SENDI TEMPOROMANDIBULAR .. 4 2.1. .. 2.2. 2.3. .... BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN... 6.1. Simpulan..... 6.2. Saran... DAFTAR PUSTAKA ...

iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Sendi Temporomandibular (temporomandibular joint, TMJ) adalah sendi yang menghubungkan tulang temporalis dan tulang mandibularis. Sendi temporomandibular ini adalah sendi synovial dan merupakan salah satu sendi yang paling aktif pada tubuh manusia. Sendi ini memungkinkan gerakan ke samping kiri dan kanan, ke depan dan belakang, serta ke atas ke bawah, membuat manusia bisa mengunyah, berbicara, dan menampakkan ekspresi wajah (Tsai et al, 2010). Gangguan sendi temporomandibular merupakan suatu keadaan keradangan akut atau kronis dari sendi temporomandibular, yang berhubungan dengan rahang bawah. Gangguan yang terjadi pada temporomandibular dapat menyebabkan sakit yang signifikan dan kerusakan. Tanda dan gejala dari kelainan sendi temporomandibular sangat beragam dan disebabkan karena hal-hal yang kompleks (Aryanti S, 2007). Penyebab gangguan temporomandibular
[7]

sangat

kompleks

dan

multifaktorial. Ada banyak faktor yang dapat berkontribusi pada gangguan temporomandibular. Etiologi dari gangguan ini antara lain, bruxism, kebiasaan mengatupkan mulut terlalu kuat, kebiasaan menggigit kuku, maloklusi, tidak adanya gigi di bagian posterior, gangguan struktur sendi, inflamasi, degenerasi, neoplasia, serta stres fisik maupun psikologis. (7) Diagnosis dari gangguan sendi temporomandibular tergantung dari pemeriksaan klinis dan riwayat penyakit menyeluruh, serta evaluasi gambaran radiografis. Ada beberapa macam pemeriksaan radiografik sendi temporomandibular, antara lain transkraniolateral, panoramik, tomografi, artografi, computed tomography (CT), Magnetic Resonance Imaging (MRI) (Heru, 2000). Cara perawatan yang rasional diarahkan untuk menghilangkan beban yang berlebih pada sendi, terutama dengan mengurangi aksi otot yang berlebihan serta abnormal. Adapun, perawatan gangguan sendi temporomandibular yang dapat

iv

dibedakan menjadi perawatan non bedah (konservatif) dan perawatan bedah/ operatif (Aryanti, 2007). Pada makalah ini akan diuraikan mengenai sendi temporomandibular, faktorfaktor penyebab gangguan sendi temporomandibular, diagnosis serta penatalaksanaan untuk gangguan sendi temporomandibular.

BAB II SENDI TEMPOROMANDIBULAR 2.1 Anatomi Komponen Tulang Komponen tulang dari sendi temporomandibular terdiri dari kondilus mandibularis di bagian inferior dan fosa glenoid serta tonjolan (eminence) artikular di bagian superior (Khan et al, 2008). Kondilus mandibularis berbentuk elips dan terletak di puncak leher mandibula kiri dan kanan. Fosa glenoid di bagian temporal berbentuk konkav dan tonjolan artikular berbentuk konveks. Keduanya terbentuk dari bagian squamous tulang temporal. Bagian medial fosa berbentuk agak sempit serta tertutup dengan plat tulang yang mencegah terjadinya dislokasi kondilus ke bagian medial persendian (Jahan et al, 2009).

Gambar 1. Anatomi Sendi temporomandibular

Komponen Jaringan Ikat Diantara komponen tulang temporal dan mandibular terdapat meniskus yang memisahkan kedua bagian tersebut. Meniskus ini berbentuk sadel,

vi

fleksibel tetapi juga kuat, terbentuk dari jaringan kolagen dan terbungkus dengan kapsul (Khan et al, 2008). Bagian sentral cakram ini lebih tipis dari perifer, dan bagian posterior dan anteriornya, yang dikenal dengan band posterior dan band anterior, lebih tebal. Bagian inferior dari meniskus berbentuk konkav sehingga cocok dengan kaput mandibularis 2001). Meniskus terhubung dengan jaringan ikat posterior yang disebut zona bilaminer. Zona bilaminer merupakan jaringan ikat yang memiliki fungsi penting yang memungkinkan kondilus bergerak ke depan (Gillespy, 2001). Meniskus memisahkan persendian, sehingga terdapat ruangan sendi superior dan ruangan sendi inferior. Hanya terdapat sedikit sekali cairan sendi pada kedua ruangan ini (Gillespy, 2001). Vaskularisasi Persendian ini di vaskularisasi oleh beberapa cabang pembuluh darah, diantranya adalah: Percabangan arteri temporalis profunda, cabang masseter dari arteri maskilaris, dan cabang superfisial dari artei temporalis yang muncul dari arteri karotis eksterna. Drainase vena melalui plesksus venosus temporalis superfisial, maksilaris, dan pterigoid (Khan et al, 2008). Inervasi Kapsul persendian di inervasi oleh cabang besar nervus aurikulotemporalis. Bagian anterior diinervasi oleh nervus masseter dan nervus temporalis profunda posterior. Inervasi sensorik dari persendian ini adalah melalui nervus trigeminus. Bagian kartilago artikuler dan meniskus bagian sentral tidak memiliki inervasi (Khan et al, 2008).. 2.2 Gerakan Sendi Ketika mulut terbuka, kaput mandibula memutar pada sumbu horisontal serta melakukan (gerak rotasi) gerakan meluncur pada permukaan bawah meniskus (gerak translasi) ke arah depan dan bawah (Gillespy, 2001).. Gerakan ini akan terhenti apabila jaringan ikat posterior dari meniskus telah teregang maksimal (Khan et al, 2008).. (Gillespy,

vii

Gerakan menutup mulut terjadi sebaliknya. Pada fase pertama, kaput mandibula akan meluncur ke belakang disusul dengan gerakan meluncur dari meniskus ke belakang dan atas (Gillespy, 2001 dan Khan et al, 2008).

Gambar 2. Fungsi Sendi Temporomandibular

BAB III

viii

GANGGUAN SENDI TEMPOROMANDIBULAR Belum ada definisi yang tegas dari gangguan ini.
(5; 6)

Gangguan ini

merupakan kumpulan dari beberapa gejala antara lain: nyeri pada sendi atau di sekitar sendi temporomandibular, adanya suara sendi, serta keterbatasan dalam membuka mulut. (7) 3.1 Epidemiologi Asal dan homologi rahang pada semua vertebrata dijelaskan kerangkanya abad lalu oleh Gegenbauer
[3]

. Kemudian pernyataan definitifnya dibuat oleh


[4]

Reichert pada 1937 dan dikenal sebagai Teori Reichert

. Faucett

[5]

telah

menunjukkan bahwa pada manusia, tulang dermal (sesuai namanya, berasal dari jaringan dermal) menutupi kranium, menaungi organ-organ wajah dan membentuk rahang dewasa. Sisa-sisa rahang kartilagenus telah dijelaskan pada embriologi manusia, dan kartilago Meckel terkenal luas sebagai sisa jejak embrionik dari rahang bawah. Tulang dermal ini adalah salah satu tulang yag paling awal muncul pada fetus. Sangat jelas bahwa ada sejumlah temuan yang konsisten pada berbagai studi epidemiologis tentang kemunculan gangguan sendi temporomandibular pada populasi umum. Pertama, tanda-tanda gangguan sendi temporomandibular muncul pada 60% - 70% dari populasi umum, namun hanya 1 dari 4 orang dengan gejala gangguan sendi temporomandibular yang sadar ataupun melaporkan gejala-gejala tersebut [4]. Frekuensi gangguan parah yang disertai dengan sakit kepala dan nyeri wajah dan ditandai dengan kebutuhan terapi yang mendesak berkisar antara 1% 2% pada anak-anak, 5% pada remaja, dan 5% - 12% dewasa [7]. Penemuan lain yang konsisten adalah diantara mereka yang mencari pengobatan untuk gangguan sendi temporomandibular, sejauh ini mayoritas adalah wanita, melampaui jumlah pria dengan rasio sekitar 4:1. Tidaklah jelas apa sebabnya, sedangkan ada kecurigaan bahwa gangguan sendi temporomandibular di populasi umum mempengaruhi baik lelaki maupun wanita dengan jumlah yang hampir sama. Masalah yang parah di populasi klinis jauh lebih umum pada wanita,

ix

dan rasio antara wanita dan pria yang mencari pengobatan untuk gangguan sendi temporomandibular adalah 8:1 [8]. Selama paruh pertama abad ke-20, dislokasi meniscus
[9]

sendi

temporomandibular dengan gejala dan tanda klinis seperti nyeri dan suara pop banyak dideskripksikan. Pada tahun 1934, James Costen menjelaskan sekelompok gejala yang terpusat pada telinga dan sendi temporomandibular. Karena hasil studinya, istilah Sindrom Costen pun dikembangkan. Tahun 1947, Nogaard mendemonstrasikan Schwartz
[11] [10]

menggunakan teknik-teknik artrografik untuk anterior diskus artikularis pada sendi

dislokasi

temporomandibular yang bersuara klik atau pop. Selama tahun 1950an, memakai istilah sindrom disfungsi nyeri sendi temporomandibular. Kemudian muncul istilah gangguan fungsional sendi temporomandibular yang dipopulerkan oleh Ash dan Ramford [12]. Beberapa istilah menjelaskan faktor etiologis yang mungkin, seperti misalnya gangguan oklusomandibular dan myoartropati sendi temporomandibular, sedangkan istilah-istilah lain menekankan sindrom disfungsi nyeri, seperti sindrom disfungsi nyeri miofasial dan sindrom disfungsi nyeri temporomandibular. Selanjutnya, sebagai hasil dari observasi klinis dan berbagai penelitian, Laskin
[18]

mengajukan istilah myofacial pain dysfunction syndrome (MPDSsindrom nyeri disfungsi miofasial). Beliau menyatakan bahwa nyeri, suara sendi dan pergerakan mandibula yang terbatas disebabkan oleh banyak faktor dan beliau pun menyediakan bukti eksperimental untuk konsep gangguan psikofisiologis. Gejalanya tidak selalu terbatas pada sendi temporomandibular. Beberapa peneliti percaya bahwa jangkauan istilahnya terlalu sempit dan sebuah istilah yang lebih luas dan kolektif harus digunakan, seperti gangguan kraniomandibular. Istilah gangguan kraniomandibular digunakan secara sinonim dengan istilah gangguan temporomandibular dan dianggap sebagai penyebab terbesar nyeri nondental pada region orofasial. Bell
[14]

mengajukan istilah gangguan temporomandibular. Istilah-istilah

yang beragam yang digunakan telah turut menyebabkan kebingungan pada bidang yang sudah terlalu kompleks ini. Karena itu, American Dental Association mengadopsi istilah gangguan temporomandibular. Fasialartromialgia, disfungsi

mandibular, nyeri miofasial, sindrom mialgia mastikasi (pengunyahan) dan mialgia primer yang menyerang otot-otot mastikasi adalah istilah-istilah sejenis yang sering digunakan. 3.2 Klasifikasi dan Etiologi American Academy of Orofacial Pain (AAOP) mengklasifikasikan gangguan ini menjadi (1) Gangguan Temporomandibular yang berhubungan dengan otot (muscle-related TMD/ Myogenous TMD) dan (2) Gangguan temporomandibular yang berhubungan dengan sendi atau yang sering disebut gangguan sendi temporomandibular sebenarnya (joint-related TMD/ Arthrogenous TMD/ True TMD). Kedua tipe ini dapat terjadi bersamaan, sehingga membuat diagnosa semakin sulit. (6) Penyebab gangguan temporomandibular
[7]

sangat

kompleks

dan

multifaktorial. Ada banyak faktor yang dapat berkontribusi pada gangguan temporomandibular. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko gangguan temporomandibular disebut faktor predisposisi, faktor yang menyebabkan mulainya onset gangguan temporomandibular disebut faktor inisiasi, dan faktor yang mengganggu proses penyembuhan atau memperparah gangguan temporomandibular disebut faktor perpetuasi. Pada beberapa kasus, satu faktor dapat mengisi semua peran di atas. Penanganan gangguan temporomandibular yang sukses tergantung pada proses identifikasi dan pengelolaan faktor yang berkontribusi yang termasuk abnormalitas oklusi, pengobatan ortodontik, kebiasaan menggertakkan gigi dan instabilitas ortopedik, makrotrauma dan mikrotrauma, juga faktor-faktor lain seperti nutrisi dan kesehatan umum yang buruk, laksitas sendi (joint laxitysendi yang longgar) serta estrogen eksogenus
[15].

Faktor psikososial seperti stress, tekanan, kecemasan dan


[16]

depresi dapat mengarah pada gangguan sendi temporomandibular

. Studi kasus

kontrol yang dilakukan di sebuah sekolah gigi menggunakan evaluasi klinis dan neurofisiologis untuk menguji peran disfungsi tidur dan depresi sendiri-sendiri atau dikombinasikan dengan gangguan sendi temporomandibular. Analisis hasilnya menunjukkan bahwa depresi jauh lebih umum pada grup gangguan sendi temporomandibular dibandingkan dengan grup kontrol [17].

xi

Oklusi mungkin adalah faktor etiologis dari gangguan temporomandibular yang paling pertama dan yang paling sering didiskusikan. Costen
[9]

menyimpulkan

bahwa overclosure (penutupan berlebihan) merupakan penyebab dari gangguan temporomandibular. Karena alasan ini beliau dan beberapa dokter gigi kontemporer lainnya mengadopsi prosedur peninggian gigitan sebagai terapi untuk gangguan temporomandibular, yang ternyata gagal memberikan solusi pada pasien. Peran oklusi pada perkembangan gangguan sendi temporomandibular masih kontroversial. Dewasa ini perannya dipertimbangkan secara luas sebagai faktor inisiasi, perpetuasi ataupun predisposisi dari gangguan sendi temporomandibular[18]. Faktor inisiasi menyebabkan dimulainya onset gejala klinis dan terhubung secara primer dengan trauma atau gaya berlawanan pada sistem pengunyah. berikut bisa termasuk pada faktor perpetuasi: 1. Faktor perilaku (menggertakan gigi, menggesekkan gigi, postur kepala yang abnormal) 2. Faktor sosial (dapat mempengaruhi persepsi dan respons terhadap nyeri) 3. Faktor emosional (depresi dan kecemasan) 4. Faktor kognitif (pikiran dan tingkah laku negatif yang dapat menyebabkan kesembuhan penyakit lebih sulit). Faktor predisposisi ada proses patofisiologis, psikologis, atau struktural yang cukup merubah sistem mastikasi untuk meningkatkan resiko perkembangan gangguan temporomandibular. Pullinger, Seligman dan Gornbein
[19]

Hal-hal

menggunakan analisis

faktor multipel, yang menunjukkan kolerasi minimal antara oklusi dengan gangguan temporomandibular. Namun, faktor oklusi berikut memiliki sedikit hubungan: 1. Gigitan terbuka 2. Overjet yang lebih besar dari 6-7 mm 3. Posisi kontak/intercuspal yang retrusi dengan pergeseran lebih dari 4 mm 4. Cross-bite lingual unilateral 5. 5 atau lebih gigi posterior yang hilang 6. Restorasi yang gagal atau prosthesis yang tidak pas Dengan mempertimbangkan distribusi kontak oklusi, simetrisitas dalam hal intensitas lebih penting dibandingkan simetrisitas dalam hal jumlah bila

xii

dihubungkan dengan fungsi temporomandibular telah tercatat [21]. Pullinger dan S

[20]

. Jumlah yang meningkat dan

sakit kepala yang makin sering pada individu dengan sedikit kontak oklusi juga

eligman [22] mengira-ngira lebih lanjut bahwa faktor oklusi berkontribusi sekitar 1020% untuk spektrum total faktor etiologis yang membedakan antara orang yang sehat dengan pasien gangguan sendi temporomandibular. Rasio diskus : tonjolan yang berkurang (panjang antero-posterior diskus dibandingkan dengan panjang tonjolan artikuler) dikaitkan dengan tingkat keparahan yang tinggi pada struktur internal sendi temporomandibular. Pada pasien dengan tonjolan sendi yang datar ada rotasi posterior diskus pada kondilus yang minimal selama rahang dibuka. Seiring meningkatnya kecuraman, dibutuhkan lebih banyak gerakan rotasional antara diskus dan kondilus selama translasi kondilus. Karena itu, pasien dengan tonjolan artikuler yang curam lebih mungkin untuk menunjukkan pergerakan antar kondilus-diskus yang lebih besar selama menjalankan fungsinya. Pergerakan yang berlebihan ini dapat meningkatkan resiko pemanjangan ligamen yang berujung pada gangguan diskus. Mungkin faktor predisposisi ini hanya signifikan ketika dikombinasikan dengan faktor lain yang berhubungan dengan ukuran dari fungsi dan gaya beban sendi [23]. Luka iatrogenik dapat bertindak sebagai faktor inisiasi sekaligus predisposisi. Hal ini dapat terjadi selama prosedur dental manapun dimana terdapat pendahuluan yang lama seperti terapi ortodontik, pengobatan kanal akar gigi singuler, atau karena faktor-faktor seperti kekambuhan yang menyebabkan ketidakseimbangan fungsi antara kedua sendi temporomandibular, otot-ototnya, maupun oklusi. 3.3 Patofisiologi Sepanjang kehidupan, band posterior akan bermigrasi ke depan dan medial sebagai proses normal penuaan. Hal ini menyebabkan terjadinya subluksasio meniskus. Perubahan pada kontur tulang pada penuaan serta keadaan subluksasio mesniskus mengakibatkan band posterior akan bergerak tiba-tiba baik pada keadaan membuka mulut maupun menutup mulut menyebabkan bunyi klik atau pop yang

xiii

khas pada gangguan sendi temporomandibular . Pada penggunaan sendi yang berlebihan akan mengakibatkan degenerasi permukaan fibrikartilago sendi sehingga meningkatkan gesekan dan tegangan pada insersio ligamentum sendi di posterior meniskus. Keadaan ini dapat memperlemah tegangan ligamentum sehingga subluksasio berlangsung progresif. Penggunaan yang berlebihan ini dapat terjadi pada kebiasaan-kebiasaan seperti bruxism, dan lain-lain. Pada penggunaan sendi yang berlebihan juga dapat menyebabkan arthromyalgia. Nyeri ini tersebar ke seluru sisi wajah dan kepala, namun penyebab pasti dari nyeri ini belum diketahui. Dental maloklusi mengakibatkan penderita mengunyah dengan cara yang tidak normal sehingga menstimulasi bruxism, demikian pula keadaan-keadaan intraoral yang tidak normal. Ketiadaan gigi di bagian posterior serta kebiasaan menggigit kuku dan bibir mengakibatkan terjadinya protrusi rahang bawah (menonjolkan rahang bawah ke depan) yang mengakibatkan terjadinya penggunaan sendi yang berlebihan. Keadaan stres psikologis pada orang-orang tertentu kadang mengakibatkan ia melakukan kebiasaan-kebiasaan yang menyebabkan penggunaan sendi yang berlebihan, termasuk gerakan mengatupkan gigi dengan kuat, dll. (7) Trauma langsung pada mandibula, dislokasi mandibula, dislokasi meniskus juga merupakan beberapa hal yang dapat menyebebkan gangguan pada sendi temporomandibular. (2)

BAB IV DIAGNOSIS GANGGUAN SENDI TEMPOROMANDIBULAR

xiv

4.1 Anamnesa (8) Anamnesa yang komperhensif termasuk anamnesa dan pemeriksaan gigi sangat penting untuk membantu proses diagnosa. Pasien mungkin merupakan seorang pengguna komputer yang berlebihan karena bukti empiris menunjukkan penggunaan komputer berlebihan berhubungan dengan gangguan sendi temporomandibular. Sekitar sepertiga dari pasien memiliki riwayat gangguan psikiatrik. Stres emosional juga termasuk riwayat penting yang harus ditanyakan. Pasien mungkin memiliki riwayat trauma pada wajah, perawatan gigi yang kurang baik, gangguan makan yang kronik, juga riwayat nyerileher dan bahu. Hal-hal yang biasanya dikeluhkan oleh pasien ialah:

Nyeri: nyeri biasnya disekitar telinga, berhubungan dengan gerakan mengunyah. Nyeri dapat menyebar ke kepala tetapi berbeda dengan sakit kepala biasa. Dapat unilateral maupun bilateral myogenous TMD, dan bisanya unilatreal pada arthrogenous TMD kecuali pada rheumatoid arthritis. Nyeri biasanya bersifat tajam dan intermiten sesuai dengan gerakan rahang.

Bunyi Klik, pop atau snap pada rahang: Bunyi ini biasanya berhubungan dengan nyeri Keterbatasan dalam membuka mulut dan locking episode (episode terkuncinya rahang): Rahang dapat terkunci pada keadaan mulut terbuka (open lock) maupun tertutup (closed lock). Keadaan open lock diakibatkan oleh dislokasi mandibula anterior, sedangkan closed lock diakibatkan karena nyeri atau dislokasi meniskus

Sakit Kepala: Nyeri kepala pada gangguan ini tidak sama dengan sakit kepala biasa. Gangguan sendi temporomandibular juga dapat merupakan penyebab nyeri kepala pada pasien yang rentan dengan nyeri kepala. Beberapa pasien memiliki riwayat nyeri kepala yang tidak responsif dengan pengobatan, sehingga perlu dipikirkan gangguan sendi temporomandibular pada pasien dengan keadaan tersebut.

xv

4.2 Pemeriksaan Fisik Semua prinsip pemeriksaan fisik digunakan. Inspeksi dimulai dengan operator yang berdiri langsung di depan pasien. Palpasi otot dan sendi paling baik jika operator berada di belakang pasien. Palpasi bilateral adalah metode yang paling utama, karena pergerakan sendi tersebut membutuhkan aksi kontralateral dari sendisendi dan ototnya. Pemeriksa meraba untuk mencari rasa nyeri di sekitar sendi. Auskultasi sendi bisa dilakukan hanya dengan mendengarkan suara abnormal seperti mengatup, bergesek ataupun suara klik yang muncul selama pergerakan. Stetoskop bisa berguna bagi praktisi yang terlatih untuk menggunakan instrumen ini dalam mengevaluasi suara-suara sendi temporomandibular. Perkusi rahang dapt memberikan manfaat jika ingin mengevaluasi kavitas, fraktur, atau pergerakan refleks mandibula. Perkusi sebaiknya secara tidak langsung ketika akan mengecek kavitas dan fraktur tulang dan secara langsung ketika ingin mengetes refleks mandibula. Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan beberapa hal termasuk:

Gerakan rahang bawah. Perlu diperhatikan apakah terdapat deviasi gerakan ke anterior, posterior, medial, ataupun lateral (9) Maloklusi rahang bawah, dan susunan gigi yang abnormal (8; 9) Apakah ada spasme otot leher ipsilateral atau gerakan mengatupkan gigi dengan berlebihan (8; 9) Range of motion (batas pergerakan sendi). Batas pergerakan normal saat membuka mulut adalah 5 cm pada dewasa, sedangakan gerakan ke lateral 1 cm. Beberapa ahli mengatakan bahwa kurang dari 4 cm merupakan gangguan sendi pada dewasa, sedangkan lainnya mengatakan bahwa kurang dari 3,5 cm baik pada dewasa maupun anak-anak (8; 9)

Palpasi pada sendi untuk menentukan ada tidaknya spasme otot, gerakan sendi dan otot yang kaku, krepitasi serta bunyi sendi. Apabila bunyi sendi tidak jelas dapat di lakukan auskultasi. (8; 9)

4.3 Pemeriksaan Penunjang (10) Pemeriksaan darah rutin dapat menunjukkan keadaan infeksi. Rheumatoid Factor (RF), Erythrocite Sedimentation Rate (ERF), Antinuclear Antibody (ANA),

xvi

untuk menunjukkan adanya Rheumatoid arthritis, temporal arthritis, atau gangguan jaringan ikat yg lain. Pemeriksaan asam urat untuk melihat ada tidaknya Gouty arthritis atau pseudogout. Pemeriksaan arthrocentesis dilakukan untuk melihat kristal spesifik dalam sendi. Pemeriksaan radiologi yang sering dilakukan adalah radiografi konvensional untuk melihat struktur tulang. Dynamic high-resolution USG untuk melihat morfologi dan fungsi dari sendi, meniskus, kondilus, serta muskulus ptrigoid lateral. CT scan dapat melihat struktur tulang maupun jaringan lunak pada persendian. MRI dapat mengidentifikasi meniskus dalam berbagai keadaan, baik morfologi, lokasi, pergerakan, saat menutup maupun membuka mulut. Dislokasi meniskus selalu dapat diidentifikasi dengan MRI. MRI juga dapat digunakan untuk membandingkan pergerakan sendi kiri dan kanan sehingga dapat mendeteksi asimetris.

xvii

BAB V PENATALAKSANAAN GANGGUAN SENDI TEMPOROMANDIBULAR

5.1 Terapi Medis (11) Kebanyakan gangguan sendi temporomandibular dapat sembuh sendiri dan tidak bertambah buruk. Perawatan yang sederhana termasuk perawatan gigi dan mulut sendiri, rehabilitasi untuk menghilangkan spasme otot adalah yang dibutuhkan. Obat-obatan anti inflamasi non steroid (AINS) juga dapat digunakan Di sisi yang lain gangguan yang kronik memerlukan pendekatan multi disiplin termasuk ahli bedah, dokter gigi, fisioterapis, psikolog, dan lain-lain. Obat-obatan yang sering digunakan antara lain:

AINS, Ibuprofen atau naproxen diberikan secara reguler 2-4 minggu dengan tapering off), Pelemas otot, seperti diazepam diberikan dengan dosis minimal Antidepresan trisiklik, diberikan dosis rendah dalam jangka waktu yang panjang pada keadaan nyeri yang kronik. Obat ini bekerja menghambat transmisi nyeri dan mengurangi bruxism. Amitriptilin dan nortriptilin adalah obat yang sering digunakan.

Botulinum toxin digunakan sebagai pengobatan tunggal maupun sebagai adjuvant pada arthsrocentesis.

Splint Oklusal Splint Oklusal atau dikenal dengan nightguards/ bruxisme orthotics dapat dibagi 2 kelompok yakni splint reposisi anterior,dan splint anteroposisional. Meskipun mekanisme kerjanya tidak dapat dijelaskan dengan pasti tapi diduga perubahan pada distribusi tenaga saat menggigit, hubungan oklusi, serta perubahan pada struktur dan tenaga persendian memainkan peranan untuk mengurangi nyeri. Injeksi asam hyaluronid sering digunakan, namun perlu penelitian lebih lanjut untuk terapi ini.

5.2 Terapi Bedah (7) xviii

Sasaran dari terapi bedah adalah merekontstruksi keadaan sendi. Penanganan bedah konservatif memiliki angka kesuksesan sampai 90%. Menikoplasty Pembedahan dilakukan melalui insisi preaurikular dan dilakukan arthrotomi. Dilakukan mobilisasi meniskus dengan melepaskan perlekatan, kemudian meniskus dijahit lebih ke posterolateral. MRI post operasi memperlihatkan bahwa reposisi meniskus tidak permanen, dan tingkat kesuksesan operasi ini kemungkinan berhubungan dengan melepaskan perlekatan. Menisektomi Prosedur ini dilakukan jika mensikus tidak dapat di mobilisasi dengan baik, atau terjadi kebocoran atau kerusakan pada meniskus. Pada prosedur ini dapat dilakukan flap menggunakan otot temporal sebagai pengganti meniskus, meskipun dengen prosedur menisektomi tanpa flap hasilnya memuaskan. Materi artifisial Penggunana materi artifisial untuk menggantikan meniskus, meskipun sudah mulai ditinggalkan karena menimbulkan banyak komplikasi. Pembedahan arthtroskopi Saat ini telah dikembangkan teknik arthtroskopi. Dimana lavage dapat dilakukan untuk mengeluarkan zat penyebab inflamasi, serta obat antiinflamasi dapat di suntikkan lansgung ke persendian yang meradang, kemudian dapat dilakukan insisi pada perlekatan. Penggantian sendi Dilakukan penggantian seluruh material sendi dengan bahan artifisial. 5.3 Fisioterapi (11) Selain untuk edukasi pasien dan mengendalikan nyeri, tujuan utama dari fisioterapi adalah menstabilkan sendi dan mengembalikan mobilitas, kekuatan, daya tahan, serta fungsi sendi. Beberapa modalitas untuk tujuan ini adalah latihan relaksasi menggunakan elektromiografi (EMG) biofeedback, pemijatan friksi, penggunaan gelombang ultrasonik, Transcutaneus Electronic Nerve Stimulation (TENS), hipnotis, dan terapi psikologis.

xix

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Sendi Temporomandibular adalah salah satu sendi yang paling banyak digerakkan pada tubuh manusia. Penggunaan sendi ini secara berlebihan dapat menyebabkan gangguan terhadap persendian ini dan memberikan gejala berupa nyeri sendi yang menjalar ke sisi wajah dan kepala, adanya bunyi saat sendi digerakkan serta gangguan dalam membuka dan menutup mulut. Gangguan pada sendi temporomandibular ditemukan pada sekitar 28% populasi orang dewasa berarti sekitar 1 dari 3-4 orang dewasa dapat menderita gangguan ini. Gangguan ini biasanya didiagnosa setelah pasien mengalami gejalnya dalam 3-5 tahun. Gangguan sendi temporomandibular tidak terdiri dari satu kondisi abnormal tertentu, melainkan merupakan sebuah kondisi multifaktorial, termasuk aktivitas yang penuh tekanan, gangguan emosional, hubungan struktur yang salah, trauma, maloklusi dan berbagai jenis penyakit arthritis ataupun virus. Anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang tepat dapat mendiagnosa penyakit ini dan segera dilakukan terapi. Pada keadaan yang ringan gangguan pada sendi ini dapat sembuh sendiri atau hanya perlu penanganan sederhana, tapi pada keadaan kronis penangananya memerlukan penaganan multi disiplin. Peningkatan pengetahuan tentang penyakit ini oleh tenaga medis mutlak perlu karena penyakit ini diderita oleh 1 dari 3-4 orang dalam populasi, dan apabila didiagnosa dengan cepat penanganannya sederhana. Edukasi kepada masyrakat luas diperlukan, karena masyarakat bisanya baru mencari pertolongan tenaga medis setelah mengalami gejala sekitar 3- 5 tahun.

xx

DAFTAR PUSTAKA Gillespy, Thurman. TMJ Anatomy and Functions. UWMSK.org. [Online] Mei 10, 2001. [Cited: Januari 11, 2010.] http://uwmsk.org/tmj/anatomy.html. Jahan-Parwar, Babak and Meyers, Arlen D. Facial Bone Anatomy. Medscape Reference. [Online] Medscape, November 6, 2009. [Cited: Mei 10, 2011.] http://emedicine.medscape.com/article/835401-overview.

xxi

Anda mungkin juga menyukai