Anda di halaman 1dari 44

HUBUNGAN KARAKTERISTIK WANITA USIA PRODUKTIF DENGAN PREMENSTRUAL SYNDROME (PMS) DI POLI OBSTETRI DAN GYNEKOLOGY RSUD Provinsi

Sulawesi Tenggara-Kendari

Oleh SITTI NURSANTI K1A110038

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI 2012

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah Wanita mulai dari usia remaja hingga dewasa normalnya akan mengalami

periode menstruasi atau haid dalam perjalanan hidupnya, yaitu pengeluaran darah yang terjadi secara periodik melalui vagina yang berasal dari dinding rahim wanita. Keluarnya darah tersebut disebabkan karena sel telur tidak dibuahi sehingga terjadi peluruhan lapisan dalam rahim yang banyak mengandung pembuluh darah (Mochtar, 1989). Beberapa saat sebelum menstruasi, sejumlah gadis dan wanita biasanya mengalami rasa tidak enak. Mereka biasanya merasakan satu atau beberapa gejala yang disebut dengan kumpulan gejala sebelum datang bulan atau istilah populernya premenstrual syndrome (PMS). Hal-hal yang sering dirasakan adalah nyeri payudara, rasa penuh atau kembung di perut bagian bawah, merasa sangat lelah, nyeri otot, terutama di punggung bagian bawah atau perut, perubahan kebasahan vagina atau tumbuh jerawat dan emosi yang sangat kuat atau sukar di kontrol. Banyak wanita setiap bulan mengalami sekurang-kurangnya satu dari gejala-gejala diatas dan sejumlah wanita lain mengalami semua gejala. Seorang wanita bisa merasakan gejala yang berbeda-beda dari satu bulan ke bulan berikutnya (Burns, 2000). Banyak wanita tidak terpengaruh sama sekali, sementara yang lainnya mengalami gejala yang hebat dan sangat melemahkan (Brunner & Suddarth, 2001). Ciri khas dari kelainan ini adalah

keluhan muncul saat menjelang haid dan akan hilang dengan sendirinya begitu haid datang (Karyadi, 1999). Studi epidemiologi terakhir menunjukkan bahwa 5-10 % wanita kelompok usia reproduksi dari populasi yang diteliti, mengalami gejala-gejala sementara bersifat sedang sampai berat yang berkaitan dengan siklus menstruasi. Mereka pada umumnya mencari bantuan medis. 20-40% merasa kurang sehat selama fase luteal akhir serta awal fase menstruasi dan satu hari atau lebih pada pertengahan siklus (Greenspan et al., 1998). Penelitian lainnya menyebutkan, sekitar 40% wanita berusia 14-50 tahun

mengalami premenstrual syndrome (PMS). Bahkan survey tahun 1982 di Amerika Serikat menunjukkan, PMS dialami 50% wanita dengan sosio ekonomi menengah yang datang ke klinik ginekologi (Karyadi, 1999). Dalam suatu penelitian pada tahun 1994 yang berjudul Biological, Social and Behavioral Factors Associated with Premenstrual Syndrome yang melibatkan 874 wanita di Virginia menunjukkan 8,3% dari wanita tersebut mengalami PMS, dari penelitian tersebut terungkap bahwa wanita yang mengalami PMS 2,9 kali lebih sering memeriksakan diri dibandingkan dengan wanita tanpa PMS. Wanita yang lebih muda, wanita dari ras kulit hitam dan wanita dengan siklus menstruasi yang lebih panjang lebih sering mengalami PMS. Prevalensi PMS adalah 10,4% pada wanita kulit hitam, 7,4% pada wanita kulit putih dan 4,3% pada wanita ras lainnya, sedangkan jika dilihat dari segi usia prevalensi PMS pada wanita yang berusia 35-44 tahun adalah 4,5%, wanita yang berusia dibawah 35 tahun (9,4%) dan prevalensi yang paling tinggi adalah pada wanita yang berusia 25-34 tahun (10,7%). Wanita yang berpendapatan kurang

dari $ 20.000 pertahun lebih banyak mengalami PMS (8,4%) dari pada wanita yang berpenghasilan > $ 20.000 pertahun (6,5%)( (Deuster, 1999). Berat ringannya gejala PMS tersebut dikelompokkan dalam tidak ada gejala yang berarti, ringan, sedang dan berat sampai gejala yang ekstrim. Gejala yang paling dirasakan oleh sebagian besar wanita tersebut yang berupa gejala ringan sampai berat adalah irritable (rasa cepat marah) sebanyak 17,4%, nyeri punggung atau nyeri otot 14,2% dan perasaan bengkak 13,2% (Deuster, 1999). Survey menunjukkan bahwa premenstrual syndrome (PMS) merupakan masalah kesehatan umum yang paling banyak dilaporkan oleh wanita usia reproduksi, pada saat ini diperkirakan prevalensi dari gejala klinis yang berarti adalah sekitar 12,6%-31% dari wanita yang mengalami menstruasi. Studi epidemoilogi menunjukkan kurang lebih 20% dari wanita usia reproduksi mengalami gejala PMS sedang sampai berat (Freeman, 2007). Dalam suatu penelitian terhadap 384 wanita yang berusia 15 tahun melaporkan bahwa mereka mengalami PMS adalah sebanyak 14%. Sedangkan pada penelitian yang disponsori oleh WHO pada tahun 1981 menunjukkan bahwa gejala PMS dialami oleh 23% wanita Indonesia (Essel, 2007). Menurut Karyadi (1999), sindrom ini biasanya lebih mudah terjadi pada wanita yang lebih peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid. Akan tetapi ada beberapa faktor yang meningkatkan resiko terjadinya PMS yaitu wanita yang pernah melahirkan (PMS semakin berat setelah melahirkan beberapa anak), usia (PMS semakin mengganggu dengan semakin bertambahnya usia, terutama antara usia 30-45 tahun), stres (faktor stres memperberat gangguan PMS), diet (faktor kebiasaan makan

seperti tinggi gula, garam, kopi, teh, coklat, minuman bersoda, produk susu dan makanan olahan memperberat gejala PMS), kekurangan zat-zat gizi seperti kurang

vitamin B (terutama B6), vitamin E, vitamin C, magnesium, zat besi, seng, mangan, asam lemak linoleat, kebiasaan merokok dan minum alkohol serta kurang berolah raga dan aktivitas fisik juga dapat memperberat gejala PMS. Sekitar 25 % wanita yang mengalami perubahan suasana hati dan perubahan fisik mengeluhkan perasaan berkurangnya kondisi tubuh yang sehat, sehingga mengganggu hubungan pribadi (Llewellyn, 2005). Kehidupan yang penuh stres dan hubungan yang bermasalah secara umum dapat berhubungan dengan keparahan gejalagejala fisik. Beberapa wanita melaporkan gangguan hidup yang parah akibat PMS yang secara negatif mempengaruhi hubungan interpersonal mereka. PMS juga dapat menjadi faktor dalam mengurangi produktivitas, kecelakaan yang berkaitan dengan pekerjaan dan ketidakhadiran di tempat kerja (Brunner & Suddarth, 2001). Masalah utama yang ditimbulkan oleh PMS ini ialah gangguan pada diri wanita sendiri dan keluarganya, kerugian dalam bidang industri dan komersial, serta dalam skala yang lebih besar adalah kerugian pada ekonomi nasional. Masalah tersebut dikaitkan dengan penurunan produktivitas kerja akibat peningkatan absensi kehadiran, kegiatan di tempat kerja terganggu selama 7-10 hari, dan ini sama dengan 84-120 hari pertahun, dan merupakan suatu kehilangan personal dan sosial yang bermakna (Baziad, 2005).

1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan data di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan yang bermakna antara karakteristik wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara Kendari? dan Bagaimana gambaran antara karakteristik wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari?

Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Mengidentifikasi hubungan antara karakteristik wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari. 1.4.2 Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi hubungan antara umur wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari. b. Mengidentifikasi hubungan antara pendidikan wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari.

c. Mengidentifikasi hubungan antara pendapatan wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari. d. Mengidentifikasi hubungan antara pekerjaan wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari. e. Mengidentifikasi hubungan antara status perkawinan wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari. 1.5 1.5.1 Manfaat Penelitian Manfaat Praktis Sebagai sumber informasi bagi masyarakat terutama wanita usia repoduktif yang mengalami premenstrual syndrome (PMS). 1.5.2 Manfaat Teoritis a. Bagi peneliti sendiri, dapat menambah wawasan, pengetahuan

serta pemahaman tentang hubungan karakteristik wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari b. Bagi institusi pendidikan, sebagai bahan masukan untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan tentang premenstrual syndrome (PMS) pada wanita dengan karakteristik yang berbeda.

c.

Bagi profesi kedokteran secara luas, sebagai bahan kajian/

informasi dalam mengkaji, menganalisa, mendiagnosa dan memberikan perawatan pada wanita yang mengalami premenstrual syndrome (PMS). d. Bagi wanita usia produktif, sebagai bahan masukan agar wanita

dapat mengenal gejala-gejala premenstrual syndrome (PMS) serta dapat menanggulanginya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. 2.1.1

Konsep Menstruasi Pengertian Menurut Bobak (2004), menstruasi adalah perdarahan periodik pada uterus

yang dimulai sekitar 14 hari setelah ovulasi. Hari pertama keluarnya darah menstruasi ditetapkan sebagai hari pertama siklus endometrium. Lama rata-rata aliran menstruasi adalah lima hari (dengan rentang tiga sampai enam hari) dan jumlah darah rata-rata yang hilang ialah 50 ml (rentang 20 sampai 80 ml), namun hal ini sangat bervariasi. Siklus menstruasi mempersiapkan uterus untuk kehamilan. Bila tidak terjadi kehamilan, terjadi menstruasi. Usia wanita, status fisik dan emosi wanita serta lingkungan mempengaruhi pengaturan siklus menstruasi. Fungsi menstruasi normal merupakan hasil interaksi antara hipotalamus, hipofisis, dan ovarium dengan perubahan-perubahan terkait pada jaringan sasaran pada saluran reproduksi normal. Ovarium memainkan peranan penting dalam proses ini, karena tampaknya bertanggung jawab dalam pengaturan perubahan-perubahan siklik maupun lama siklus menstruasi (Greenspan et al., 1998). 2.1.2 Siklus Menstruasi Menurut Bobak (2004), Siklus menstruasi merupakan rangkaian peristiwa yang secara kompleks saling mempengaruhi dan terjadi secara simultan. Adapun rangkaian dari terjadinya menstruasi adalah sebagai berikut :

a. Siklus endometrium Menurut Hamilton (1995) dan Bobak (2004), Siklus menstruasi endometrium terdiri dari empat fase, yaitu : 1) Fase menstruasi 2) Pada fase ini, endometrium terlepas dari dinding uterus dengan disertai pendarahan dan lapisan yang masih utuh hanya stratum basale. Rata-rata fase ini berlangsung selama lima hari (rentang tiga sampai enam hari). Pada awal fase menstruasi kadar estrogen, progesteron, LH (Luteinizing Hormon) menurun atau pada kadar terendahnya selama siklus dan kadar FSH (Folikel Stimulating Hormon) baru mulai meningkat. 3) Fase proliferasi 4) Fase proliferasi merupakan periode pertumbuhan cepat yang berlangsung sejak sekitar hari kelima ovulasi, misalnya hari ke-10 siklus 24 hari, hari ke-15 siklus 28 hari, hari ke-18 siklus 32 hari. Permukaan endometrium secara lengkap kembali normal dalam sekitar empat hari atau menjelang perdarahan berhenti. Sejak saat ini, terjadi penebalan 8-10 kali lipat, yang berakhir saat ovulasi. Fase proliferasi tergantung pada stimulasi estrogen yang berasal dari folikel ovarium. 5) Fase sekresi/luteal 6) Fase sekresi berlangsung sejak hari ovulasi sampai sekitar tiga hari sebelum periode menstruasi berikutnya. Pada akhir fase sekresi,

endometrium sekretorius yang matang dengan sempurna mencapai ketebalan seperti beludru yang tebal dan halus. Endometrium menjadi kaya dengan darah dan sekresi kelenjar.

7) Fase iskemi/premenstrual 8) Implantasi atau nidasi ovum yang dibuahi terjadi sekitar 7 sampai 10 hari setelah ovulasi. Apabila tidak terjadi pembuahan dan implantasi, korpus luteum yang mensekresi estrogen dan progesteron menyusut. Seiring penyusutan kadar estrogen dan progesteron yang cepat, arteri spiral menjadi spasme, sehingga suplai darah ke endometrium fungsional terhenti dan terjadi nekrosis. Lapisan fungsional terpisah dari lapisan basal dan perdarahan menstruasi dimulai. b. Siklus hipotalamus-hipofisis Menjelang akhir siklus menstruasi yang normal, kadar estrogen dan progesteron darah menurun. Kadar hormon ovarium yang rendah dalam darah ini menstimulasi hipotalamus untuk mensekresi gonadotropin realising hormone (Gn-RH). Sebaliknya, Gn-RH menstimulasi sekresi folikel stimulating hormone (FSH). FSH menstimulasi perkembangan folikel de graaf ovarium dan produksi estrogennya. Kadar estrogen mulai menurun dan Gn-RH hipotalamus memicu hipofisis anterior untuk mengeluarkan lutenizing hormone (LH). LH mencapai puncak pada sekitar hari ke-13 atau ke-14 dari siklus 28 hari. Apabila tidak terjadi fertilisasi dan implantasi ovum pada masa ini, korpus luteum menyusut, oleh karena itu kadar estrogen dan progesteron menurun, maka terjadi menstruasi (Bobak, 2004). c. Siklus ovarium Folikel primer primitif berisi oosit yang tidak matur (sel primordial). Sebelum ovulasi, satu sampai 30 folikel mulai matur didalam ovarium dibawah pengaruh FSH dan estrogen. Lonjakan LH sebelum terjadi ovulasi mempengaruhi folikel yang terpilih.

Didalam folikel yang terpilih, oosit matur dan terjadi ovulasi, folikel yang kosong memulai berformasi menjadi korpus luteum. Korpus luteum mencapai puncak

aktivitas fungsional 8 hari setelah ovulasi, mensekresi baik hormon estrogen maupun progesteron. Apabila tidak terjadi implantasi, korpus luteum berkurang dan kadar hormon menurun. Sehingga lapisan fungsional endometrium tidak dapat bertahan dan akhirnya luruh (Bobak, 2004). Rangkaian peristiwa terjadinya menstruasi dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Gambar 2.1 Skema siklus menstruasi ; hipofisis-hipotalamus, ovarium dan endometrium


Hipotalamus Kelenjer hipofisis Anterior Posterior Siklus Hipofisis hipotalamus

Folicle-Stimulating Hormone

Luteinizing Hormane Hormon Hipofisis

Fase folikular

Fase luteal

LH

FSH

Siklus Ovarium Folikel primer Folikel Grazi Estrogen Telur Ovulasi Korpus Luteum Korpus luteum yang berdegenerasi Progesteron sejumlah kecil estrogen Hormon Ovarium

Menstruasi

Fase Prolifeterasi

Fase Sekresi

Fase Iskemik Menstruasi

Lapisan fungsional Lapisan basal Hari

Siklus endometrium

10

14

28 1

Sumber : dikutip dari Bobak (2004), halaman 47

2.1.3

Aspek Hormonal Dalam Siklus Menstruasi Mamalia, khususnya manusia, siklus reproduksinya melibatkan berbagai organ,

yaitu uterus, ovarium, vagina, dan mammae yang berlangsung dalam waktu tertentu atau adanya sinkronisasi, maka hal ini dimungkinkan adanya pengaturan, koordinasi yang disebut hormon. Hormon adalah zat kimia yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin, yang langsung dialirkan dalam peredaran darah dan mempengaruhi organ tertentu yang disebut organ target (Syahrum et al., 1994). Hormon-hormon yang berhubungan dengan siklus menstruasi ialah : a. Hormon-hormon yang dihasilkan gonadotropin hipofisis meliputi : 1). Luteinizing Hormon (LH) LH dihasilkan oleh sel-sel asidofilik (afinitas terhadap asam), bersama dengan FSH berfungsi mematangkan folikel dan sel telur, merangsang terjadinya ovulasi, pembentukan korpus luteum, serta sintesis steroid seks. Folikel yang melepaskan ovum selama ovulasi disebut korpus rubrum yang disusun oleh sel-sel lutein dan disebut korpus luteum (Syahrum et. al., 1994 dan Greenspan et. al., 1998). 2). Folikel Stimulating Hormon (FSH) FSH dihasilkan oleh sel-sel basofilik (afinitas terhadap basa). Hormon ini mempengaruhi ovarium sehingga dapat berkembang dan berfungsi pada saat pubertas. FSH mengembangkan folikel primer yang mengandung oosit

primer dan keadaan padat (solid) tersebut menjadi folikel yang menghasilkan estrogen (Syahrum et. al., 1994 dan Greenspan et. al., 1998). 3). Prolaktin Releasing Hormon (PRH) Secara pilogenetis, prolaktin adalah suatu hormon yang sangat tua serta memiliki susunan yang sama dengan hormon pertumbuhan (Growth hormone, Somatogotropic hormone, thyroid stmulating hormone,

Somatotropin). Secara sinergis dengan estradia, prolaktin mempengaruhi payudara dan laktasi, serta berperan pada pembentukan dan fungsi korpus luteum (Syahrum et. al., 1994). b. Steroid ovarium Ovarium menghasilkan progesteron, androgen, dan estrogen. Banyak dari steroid yang dihasilkan ini juga disekresi oleh kelenjar adrenal atau dapat dibentuk di jaringan perifer melalui pengubahan prekursor-prekursor steroid lain; konsekuensinya, kadar plasma dari hormon-hormon ini tidak dapat langsung mencerminkan aktivitas steroidogenik dari ovarium. 1). Estrogen Fase pubertas terjadi perkembangan sifat seks primer. Kemudian juga terjadi perkembangan sifat seks sekunder. Selanjutnya akan berlangsung siklus pada uterus, vagina dan kelenjar mammae. Hal ini disebabkan oleh pengaruh hormon estrogen. Terhadap uterus, hormon estrogen menyebabkan

endometrium mengalami proliferasi, yaitu lapisan endometrium berkembang dan menjadi lebih tebal. Hal ini diikuti dengan lebih banyak kelenjar-kelenjar,

pembuluh darah arteri maupun vena. Hormon estrogen dihasilkan oleh teka interna folikel. Estradiol (E2) merupakan produk yang paling penting yang disekresi oleh ovarium karena memiliki potensi biologik dan efek fisiologik yang beragam terhadap jaringan perifer sasaran. Peninggian kadar estradiol plasma berkorelasi erat dengan peningkatan ukuran folikel pra-ovulasi. Setelah lonjakan LH, kadar estradiol serum akan mencapai kadar terendah selama beberapa hari dan terjadi peningkatan kedua kadar estradiol plasma yang akan mencapai puncaknya pada pertengahan fase luteal, yang akan mencerminkan sekresi estrogen oleh korpus luteum. Studi kateterisasi telah menunjukkan bahwa peningkatan kadar estradiol plasma pada fase pra-evolusi dan pertengahan fase luteal dari siklus (Syahrum et. al., 1994 dan Greenspan et. al., 1998). 2). Progesteron Kadar progesteron adalah rendah selama fase folikuler, kurang dari 1 ng/ml (3,8 nmol/l) dan kadar progesteron akan mencapai puncak yaitu antara 10-20 mg/ ml (32-64 nmol) pada pertengahan fase luteal. Selama fase luteal, hampir semua progesteron dalam sirkulasi merupakan hasil sekresi langsung korpus luteum. Pengukuran kadar progesteron plasma banyak dimanfaatkan untuk memantau ovulasi. Kadar progesteron di atas 4-5 ng/ml (12,7-15.9 nmol/l) mengisyaratkan bahwa ovulasi telah terjadi. Perkembangan uterus yang sudah dipengaruhi hormon estrogen selanjutnya dipengaruhi progesteron yang

dihasilkan korpus luteum menjadi stadium sekresi, yang mempersiapkan endometrium mencapai optimal. Kelenjar mensekresi zat yang berguna untuk makanan dan proteksi terhadap embrio yang akan berimplantasi. Pembuluh darah akan menjadi lebih panjang dan lebar (Greenspan et. al., 1998). 3). Androgen Androgen merangsang pertumbuhan rambut di daerah aksila dan pubes serta mampu meningkatkan libido. Androgen terbentuk selama sintesis steroid di ovarium dan adrenal, sebagai pembakal estrogen. Androgen pada wanita dapat berakibat maskulinisasi, maka pembentukan yang berlebih akan menyebabkan gangguan yang berarti. Fase folikuler dan fase luteal kadar ratarata testosteron plasma berkisar antara 0,2 ng/mg-0,4ng/mg (0,69-1,39 nmol/l) dan sedikit meningkat pada fase pra-ovulasi (Jacoeb et. al., 1994). 2.2 2.2.1 Konsep Premenstrual Syndrome (PMS) Definisi Premenstrual Syndrome (PMS) Premenstrual syndrome (PMS) adalah kombinasi gejala yang terjadi sebelum haid dan menghilang dengan keluarnya darah menstruasi serta dialami oleh banyak wanita sebelum awitan setiap siklus menstruasi (Brunner & Suddarth, 2001). Magos dalam Hacker (2001), mendefenisikan bahwa premenstrual syndrome (PMS) adalah gejala fisik, psikologis dan perilaku yang menyusahkan yang tidak disebabkan oleh penyakit organik yang secara teratur berulang selama fase siklus haid

menghilang selama waktu haid yang tersisa. Sekitar 5-10% wanita menderita PMS yang berat sehingga mengganggu kegiatan sehari-harinya. Menurut Shreeve (1983) premenstrual syndrome (PMS) adalah sejumlah perubahan mental maupun fisik yang terjadi antara hari ke-2 sampai hari ke-14 sebelum menstruasi dan mereda segera setelah menstruasi berawal. Sedangkan Dalton (1983), mendefinisikan premenstrual syndrome (PMS) adalah kambuhnya gejala-gejala pada saat premenstrum dan menghilang setelah menstruasi usai. Setiap wanita yang haid adalah calon bagi premenstrual syndrome (PMS), dengan hampir 50% dari semua wanita dalam usia reproduksi mengalami gejala-gejala yang ringan atau berat. Meskipun para remaja mungkin menderita sindroma itu. Gejalagejala premenstrual syndrome (PMS) lebih berat pada wanita yang berusia lebih tua. Seringkali para wanita dalam usia 30-an memperlihatkan kesukaran-kesukaran prahaid untuk pertama kalinya (Health Media Nutrition Series, 1996). Meskipun angka pasti kejadian premenstrual syndrome (PMS) belum diketahui, kira-kira 75 % wanita mengeluh mengalaminya. Kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis PMS baru-baru ini telah dikembangkan dan ketika kriteria tersebut digunakan 3%-8% dari wanita didiagnosa mengalami PMS. Wanita dengan PMS berat melaporkan bahwa PMS mengganggu kegiatan sehari-hari mereka, baik dari segi diri mereka sendiri, sosial dan pekerjaan mereka (Deuster et.,al., 1999) 2.2.2 Etiologi Premenstrual Syndrome (PMS)

Penyebab pasti PMS tidak diketahui, tetapi beberapa teori menunjukkan adanya kelebihan estrogen atau defisit progesteron dalam fase luteal dari siklus menstruasi. Selama bertahun-tahun teori ini mendapat dukungan yang cukup banyak dan terapi progesteron biasa dipakai untuk mengatasi PMS. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa terapi progesteron kelihatan tidak efektif bagi kebanyakan wanita, selain kadar progesteron pada penderita tidak menurun secara konsisten. Bila kadar progesteron yang menurun dapat ditemukan hampir pada semua wanita yang menderita PMS, maka dapat dipahami bahwa kekurangan hormon ini merupakan sebab utama. Sebagian wanita yang menderita PMS terjadi penurunan kadar progesteron dan dapat sembuh dengan penambahan progesteron, akan tetapi banyak juga wanita yang menderita gangguan PMS hebat tapi kadar progesteronnya normal (Shreeve, 1983 dan Brunner & Suddarth, 2001). Teori lain menyatakan bahwa penyebab PMS adalah karena meningkatnya kadar estrogen dalam darah, yang akan menyebabkan gejala depresi dan khususnya gangguan mental. Kadar estrogen yang meningkat akan mengganggu proses kimia tubuh termasuk vitamin B6 (Piridoksin) yang dikenal sebagai vitamin anti depresi karena berfungsi mengontrol produksi serotonin. Serotonin penting sekali bagi otak dan syaraf, dan kurangnya persediaan zat ini dalam jumlah yang cukup dapat mengakibatkan depresi. (Shreeve, 1983, Hacker et, al., 2001 dan Brunner & Suddarth, 2001 ). Batas tertentu estrogen menyebabkan retensi garam dan air serta berat badannya bertambah. Mereka yang mengalami akan menjadi mudah tersinggung,

tegang dan perasaan tidak enak. Gejala-gejala dapat dicegah bila pertambahan berat badan dicegah. Peranan estrogen pada PMS tidak nyata, sebab ketegangan ini timbul terlambat pada siklus tidak pada saat ovulasi waktu sekresi estrogen berada pada saat puncaknya. Kenaikan sekresi vasopresin kemungkinan berperan pada retensi cairan pada saat premenstruasi (Ganong, 1983). Hormon lain yang dikatakan sebagai penyebab gejala PMS adalah prolaktin. Prolaktin dihasilkan oleh kelenjar hipofisis dan dapat mempengaruhi jumlah estrogen dan progesteron yang dihasilkan pada setiap siklus. Jumlah prolaktin yang terlalu banyak dapat mengganggu keseimbangan mekanisme tubuh yang mengontrol produksi kedua hormon tersebut. Wanita yang mengalami PMS tersebut kadar prolaktin dapat tinggi atau normal. Wanita yang mempunyai kadar prolaktin cukup tinggi dapat disembuhkan dengan menekan produksi prolaktin (Shreeve, 1983, Hacker et, al., 2001 dan Brunner & Suddarth, 2001). Teori lainnya mengatakan bahwa hormon yang tidak teridentifikasi menyebabkan gejala pada waktu terjadi perubahan menstruasi seperti peningkatan aktivitas beta endorphin, defisiensi serotonin, retensi cairan, metabolisme

prostaglandin abnormal dan gangguan aksis hipotalamik pituitary ovarium sebagai penyebabnya (Brunner & Suddarth, 2001). Hacker et al., (2001) juga mengemukakan penyebab PMS adalah kelebihan atau defisiensi kortisol dan androgen, kelebihan hormon anti diuresis, abnormalitas sekresi opiate endogen atau melatonin, defisiensi vitamin A, B1, B6 atau mineral, seperti

magnesium, hipoglikemia reaktif, alergi hormon, toksin haid,serta faktor-faktor evolusi dan genetik. Menurut Simanjuntak dalam Prawiroharjo (2005), faktor kejiwaan, masalah dalam keluarga, masalah sosial dan lain-lain juga memegang peranan penting. Yang lebih mudah menderita PMS adalah wanita yang lebih peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid dan terhadap faktor-faktor psikologis. Berbagai faktor gaya hidup tampaknya menjadikan gejala-gejala lebih buruk, termasuk stres, kurangnya kegiatan fisik dan diet yang mengandung gula, karbohidrat yang diolah, garam, lemak, alkohol dan kafein yang tinggi (Health Media Nutrition Series, 1996). 2.2.3 Gejala Premenstrual Syndrome (PMS) Lebih dari 150 gejala telah dihubungkan dengan premenstrual syndrome (PMS), namun urutan serta kombinasi dari gejala-gejala dapat berbeda-beda diantara para wanita. Jenis dan kuatnya gejala juga dapat berbeda-beda setiap bulan dan dapat mencerminkan perubahan-perubahan gaya hidup atau stres (Health Media Nutrition Series, 1996). Gejala utama termasuk sakit kepala, keletihan, sakit pinggang, pembesaran dan nyeri pada payudara, dan perasaan begah pada abdomen. Irritabilitas umum, perubahan suasana hati, ketakutan akan kehilangan kontrol, makan sangat berlebihan dan menangis tiba-tiba dapat juga terjadi. Gejala-gejala sangat beragam dari satu wanita ke

wanita lainnya dan dari satu siklus ke siklus berikutnya pada wanita yang sama (Brunner & Suddarth, 2001). Menurut Hacker et. al. (2001), gejala-gejala yang paling banyak ditemukan pada PMS adalah perasaan bengkak, kenaikan berat badan, hilangnya efisiensi, sukar konsentrasi, kelelahan, perubahan suasana hati, depresi, termasuk gangguan tidur (insomnia). Scott et. al. (2002) membagi gejala-gejala PMS berdasarkan fungsi yang terganggu. Gangguan psikologik berupa irritabilitas, ketidakseimbangan emosional, cemas, depresi dan perasaan bermusuhan. Gangguan kognitif dapat berupa ketidakmampuan berkonsentrasi dan bingung. Gangguan somatik berupa mastalgia (nyeri tekan pada payudara), kembug, sakit kepala, kelelahan dan insomnia serta gangguan perilaku sosial berupa kecanduan karbohidrat dan membantah. Rayburn (2001), mengklasifikasikan gejala-gejala PMS berdasarkan gangguan pada fungsi fisik dan emosional. Klasifikasinya dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 2.1 Gejala-gejala premanstrual syndrome Gejala fisik Gejala emosional a. Perut kembung a. Depresi b. Nyeri payudara b. Cemas c. Sakit kepala c. Suka menangis d. Kejang atau bengkak pada d. Sifat agresif kaki pemberontakan e. Nyeri panggul e. Pelupa f. Hilang koordinasi f. Tidak bisa tidur g. Nafsu makan bertambah g. Merasa tegang h. Hidung tersumbat h. Irritabilitas i. Perubahan defekasi i. Rasa bermusuhan

atau

j. Suka marah k. Paranoid l. Perubahan dorongan seksual m. Konsentrasi berkurang n. Merasa tidak aman o. Pikiran bunuh diri p. Keinginan menyendiri q. Perasaan bersalah r. Kelemahan Sumber : dikutip dari Rayburn et.al., (2001), halaman 287 2.2.4 Penanganan Sindroma Premenstrual(PMS) Terdapat suatu persetujuan dalam penatalaksanaan premenstrual syndrome (PMS). Riwayat yang terinci dan dikaji dengan cermat serta kelompok gejala harian dan fluktuasi mood yang terdapat pada beberapa siklus dapat menjadi petunjuk dalam penyusunan rencana penatalaksanaan. Konseling, dalam bentuk kelompok pendukung atau konseling pasangan/individu dapat sangat bermanfaat. Penggunaan obat-obatan seperti inhibitor prostaglandin dan diuretik untuk meredakan edema, bromokriptin (parlodel) untuk mengatasi nyeri tekan pada payudara dan diet yang seimbang, rendah kafein dan natrium atau disertai makanan diuretik alami dapat meredakan gejala. Latihan fisik dan suplemen vitamin (B6 dan E) seringkali direkomendasikan. Para wanita yang diganggu PMS dapat mengurangi gejala-gejala dengan melakukan perubahan pada dietnya seperti mengurangi jumlah gula yang dimakan, memperbanyak mengonsumsi serat, mengurangi asupan lemak, mengurangi jumlah garam jika terdapat retensi cairan dan menghindari kafein (Health Media Nutrition Series, 1996).

j. Tumbuh jerawat k. Sakit pinggul l. Suka makan manis atau asin m. Palpitasi n. Peka suara atau cahaya o. Rasa gatal pada kulit p. Kepanasan

Menurut Rayburn (2001), terapi PMS dibagi menjadi tiga kategori, yaitu : a. Terapi simtomatik untuk menghilangkan gejala-gejala antara

lain dengan diuretika untuk mengobati kembung, anti depresan dan anti ansietas untuk menghilangkan cemas dan depresi, bromokriptin untuk menghilangkan bengkak dan nyeri pada payudara dan anti prostaglandin untuk mengatasi nyeri payudara, nyeri sendi dan nyeri muskuloskeletal. b. Terapi spesifik dibuat untuk mengobati etiologi yang

diperkirakan sebagai penyebab dari PMS antara lain dengan progesteron alamiah untuk mengatasi defisiensi progesteron dan pemberian vitamin B6. c. Terapi ablasi yang bertujuan untuk mengatasi PMS dengan cara menghentikan haid. 2.3 Karakteristik Wanita Usia Produktif Menurut Depkes RI (1993) wanita usia produktif merupakan wanita yang berusia 15-49 tahun dan wanita pada usia ini masih berpotensi untuk mempunyai keturunan. Sedangkan menurut (BKKBN, 2001), wanita usia subur (wanita usia

produktif) adalah wanita yang berumur 18-49 tahun yang berstatus belum kawin, kawin ataupun janda. Menurut Karyadi (1999), PMS biasanya lebih mudah terjadi pada wanita yang lebih peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid. Akan tetapi ada beberapa faktor yang meningkatkan resiko terjadinya PMS yang beberapa diantaranya adalah berkaitan dengan karakter wanita itu sendiri. Menurut Oakley (1998), setiap individu

mempunyai karakteristik biografi yang berbeda, karakteristik tersebut dapat mempengaruhi kondisi fisik, psikologis dan sosial seseorang. Karakteristik wanita usia produktif yang berhubungan dengan premenstrual syndrome (PMS) antara lain: umur, pendidikan, pendapatan, pekerjaan, jenis kelamin dan status perkawinan. 2.3.1 Umur Premenstrual syndrome (PMS) dapat dihubungkan dengan siklus ovulasi, karena itu gejala-gejala PMS dapat terjadi kapan saja setelah menarche dan berlanjut hingga ovulasi berhenti pada saat menopause. Sebagian besar pasien yang mencari pengobatan untuk PMS berusia antara pertengahan 20-an sampai dengan akhir 30-an, meskipun banyak wanita melaporkan mengalami gejala-gejala PMS (Freeman, 2007). Faktor resiko yang paling berhubungan dengan PMS adalah faktor peningkatan umur, penelitian menemukan bahwa sebagian besar wanita yang mencari pengobatan PMS adalah mereka yang berusia lebih dari 30 tahun (Cornforth, 2000). Walaupun ada fakta yang mengungkapkan bahwa sebagian remaja mengalami gejala-gelaja yang sama dan kekuatan PMS yang sama sebagaimana yang dialami oleh wanita yang lebih tua (Freeman, 2007). Sedangkan dalam suatu penelitian pada tahun 1994 yang melibatkan 874 wanita di Virginia menggambarkan bahwa wanita yang berusia antara 35-44 tahun lebih jarang menderita PMS jika dibandingkan dengan wanita yang lebih muda (Deuster, 1999). lebih awal

Menurut teori perkembangan psikososial Erikson, dikuitip dari Whalley & Wongs (1999), tahap perkembangan manusia menurut umur dibagi dalam delapan tahapan. Tiga diantaranya yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu : a. Adolescence/remaja (13-20 tahun) Pada masa ini hubungan sosial utama bagi anak sudah beralih pada kelompok sebaya dan kelompok luar yang se-ide dengannya. b. Early adult hood/dewasa awal (21-35 tahun) Pada masa dewasa awal ini, hubungan sosial utama seseorang sudah terfokus pada patner dalam hubungan teman dan seks. c. tahun) Pada masa dewasa pertengahan, hubungan sosial seseorang terfokus pada pembagian tugas antara bekerja dengan rumah tangga dan pada masa ini emosi sudah mulai stabil. 2.3.2. Pendidikan Pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup (Notoatmodjo, 1997). Orang dengan pendidikan formal yang lebih tinggi cenderung akan mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang mempunyai tingkat pendidikan formal yang lebih rendah, karena akan lebih mampu dan mudah memahami arti dan pentingnya kesehatan dan gangguan-gangguan kesehatan yang mungkin Young and middle adult hood/dewasa pertengahan (36-45

terjadi. Pengetahuan akan mempengaruhi pola fikir seseorang, selain itu kemampuan kognitif membentuk cara fikir seseorang, meliputi kemampuan untuk mengerti faktorfaktor yang berpengaruh dalam kondisi sakit dan untuk menerapkan pengetahuan tentang sehat dan sakit dalam praktek kesehatan personal (Muhiman, 1996). Menurut suatu penelitian terdapat perbedaan yang mencolok dimana wanita yang tidak menamatkan pendidikan menengah lebih sering melaporkan adanya gejala premenstrual syndrome (PMS) dari pada mereka yang berpendidikan menengah dan perguruan tinggi atau mereka yang telah menamatkan perguruan tinggi (Deuster, 1999). Menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, yaitu tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional terbagi atas tiga tingkat pendidikan formal yaitu pendidikan dasar (SD/Madrasah Ibtidaiyah serta

SMP/Madrasah Tsanawiyah), pendidikan menengah (SMU/Madrasah Aliyah dan sederajat) serta pendidikan tinggi (Akademi dan Perguruan tinggi) (Sekneg RI, 2003). 2.3.3 Pendapatan Kemiskinan dan kesehatan mempunyai hubungan yang berarti. Pendapatan wanita yang sedikit membuat status kesehatan rendah dan mempunyai kesulitan yang lebih besar untuk mengakses pelayanan kesehatan dibandingkan dengan wanita yang berpendapatan tinggi (Youngkin & Davis, 1998). Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa ada hubungan yang erat antara pengaruh kejiwaan dengan status ekonomi seseorang. Penghasilan keluarga merupakan suatu potensi yang sangat baik dalam memperoleh informasi kesehatan (Oakley, 1998).

Seseorang yang berasal dari keluarga dengan penghasilan tinggi cenderung lebih mudah dalam memperoleh pelayanan dan informasi tentang kesehatan dibandingkan dengan orang yang berasal dari keluarga dengan penghasilan rendah (Azwar, 1996). 2.3.4 Pekerjaan Wanita yang bekerja mengalami berbagai stres ditempat kerja, baik stres yang bersifat fisik karena beberapa kondisi lingkungan kerja fisik yang berada diatas nilai ambang batas yang diperkenankan, atau juga dapat ditambah oleh adanya stres yang bersifat non fisik (psikososial), yang dapat berpengaruh terhadap kondisi kesehatannya (Mulyono dkk, 2001). Zaman sekarang ini, semakin banyak wanita yang memilih untuk beraktivitas di luar rumah. Kondisi ini akan berhubungan erat dengan semakin banyaknya stres yang menyerang wanita. Stres ini berasal dari internal maupun eksternal diri wanita tersebut. Stres merupakan predisposisi pada timbulnya beberapa penyakit, sehingga diperlukan kondisi fisik dan mental yang baik untuk menghadapi dan mengatasi serangan stres tersebut. Stres mungkin memainkan peran penting dalam tingkat kehebatan gejala premenstrual syndrome (PMS). Sebuah penelitian pada tahun 2002 melaporkan bahwa bekerja diluar rumah dapat dihubungkan dengan meningkatnya resiko premenstrual syndrome (PMS) (Anonymous, 2007). 2.3.5 Status Perkawinan

Perkawinan adalah suatu hubungan hukum sebagai pertalian sah untuk jangka waktu selama mungkin, antara seorang pria dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990) Status perkawinan dan status kesehatan juga mempunyai keterkaitan. Wanita yang telah menikah pada umumnya mempunyai angka kesakitan dan kematian yang lebih rendah dan biasanya mempunyai kesehatan fisik dan mental yang lebih baik daripada wanita yang tidak menikah (Burman & Margolin dalam Haijiang Wang, 2005). Sebuah penelitian pada tahun 1994 yang berjudul Biological, Social and Behavioral Factors Associated with Premenstrual Syndrome yang melibatkan 874 wanita di Virginia menemukan fakta bahwa mereka yang telah menikah cenderung mempunyai resiko yang lebih kecil untuk mengalami PMS (3,7%) dari pada mereka yang tidak menikah (12,6%) (Deuster, 1999).

2.4

Kerangka Teori

Brunner & Suddarth Keadaan hormonal 1. Penurunan kadar progesterone 2. Peningkatan kadar estrogen 3. Peningkatan prolaktin 4. Peningkatan aktivitas beta endorphin 5. Defisiensi serotonin 6. Retensi cairan 7. Metabolisme prostaglandin abnormal 8. Gangguan aksis hipotalamik pituitary ovarium

Simanjuntak (2005) 1. Faktor kejiwaan 2. Masalah dalam keluarga Sindroma Premenstrual

Karyadi (1999) karakteristik biografi Wanita 1. Umur 2. Pendidikan 3. Pendapata n 4. Pekerjaan 5. Status Perkawinan

2.5 Kerangka Konsep Untuk lebih jelasnya tentang hubungan karakteristik wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) dapat dilihat dari variabel independen dan dependen yang tergambar pada skema kerangka konsep penelitian berikut ini : Skema 2.5 Kerangka Konsep Penelitian (variable independen dan dependen) Variabel Independen Umur Pendidikan Sindroma Premenstrual Pendapatan Pekerjaan Status Perkawinan Variabel Dependen

2.6 Hipotesa Penelitian 2.6.3 Hipotesa Mayor Ho : Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara karakteristik wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari. Ha : Terdapat hubungan yang bermakna antara karakteristik wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari.

2.6.4

Hipotesa Minor a. Ho : Tidak terdapat hubungan antara umur wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari . Ha : Terdapat hubungan antara umur wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari. b. Ho : Tidak terdapat hubungan antara pendidikan wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari . Ha : Terdapat hubungan antara pendidikan wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan

Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari. c. Ho : Tidak terdapat hubungan antara pendapatan wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan

Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari. Ha : Terdapat hubungan antara pendapatan wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan

Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari. d. Ho : Tidak terdapat hubungan antara pekerjaan wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari.

Ha

: Terdapat hubungan antara pekerjaan wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan

Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari. e. Ho : Tidak terdapat hubungan antara status perkawinan

wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari. Ha : Terdapat hubungan antara status perkawinan wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari. 2.7 Definisi Operasional Tabel 2.5 Defenisi operasional
Variabel Dependen Sindroma Premenstrual Definisi operasional Sekumpulan tanda-tanda dan gejala sebelum haid. Alat Ukur Kuesioner Skala Ukur Ordinal Hasil Ukur Ada Tidak ada Hasil Ukur awal Remaja

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Independen 1.Umur Usia responden ( dalam Kuesioner tahun) pada saat dilakukan penelitian.

Skala Ukur Rasio

(13-20 tahun)
Dewasa

(21-35 tahun)
Dewasa pertengahan

(36-45 tahun)
2. Pendidikan Jenjang pendidikan formal Kuesioner Ordinal Rendah

terakhir yang pernah diikuti oleh responden.

3. Pendapatan Jumlah rata-rata pendapatan Kuesioner keluarga dalam sebulan berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR) Sulawesi Tenggara 2012

Ordinal

4. Pekerjaan Kegiatan atau aktifitas Kuesioner responden sehari-hari yang menghasilkan uang. Keadaan/status pernikahan Kuesioner responden saat dilakukan penelitian. Ordinal

(SD/MI, SMP/MTsn) Menengah (SMU/MA dan sederajat) Tinggi (Akademi dan Perguruan tinggi) Rendah : <Rp. 1000.000,Sedang Rp. 1000.000,Rp. 2000.000,Tinggi >Rp.2000.000,-

Tidak Bekerja Bekerja Belum Menikah Sudah Menikah

5.Status kawin

Ordinal

BAB III METODE PENELITIAN

3.1

Jenis Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

korelatif dengan pendekatan cross sectional yaitu untuk melihat hubungan antara karakteristik wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari. Penelitian ini bertujuan untuk mencari ada tidaknya hubungan yang signifikan anta kedua variabel tersebut. Menurut Arikunto (1998), dengan teknik kolerasi peneliti dapat mengetahui hubungan variasi dalam sebuah variabel dengan variabel yang lain. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 9 Mei 2012 sampai dengan 25 Juni 2012. Pengambilan data dilaksanakan di Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari. 3.3 Populasi Penelitian Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Wanita yang telah mengalami menstruasi (wanita usia produktif) yang mengunjungi Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari, periode 9 Mei 2012-25 Juni 2012.

3.4 3.4.1

Sampel Penelitian Kriteria Sampel Adapun kriteria sampel yang akan diteliti adalah : a. b. Wanita yang telah mengalami menstruasi dan belum menopouse Berada di Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi

Sulawesi Tenggara-Kendari pada saat penelitian dilakukan c. Wanita yang bisa membaca dan menulis

d. Wanita yang bersedia menjadi responden 3.4.2 Cara Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Non Probalility Sampling, yaitu dengan metoda Accidental Sampling pada wanita yang telah mengalami menstruasi dan belum menopouse yang mengunjungi Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara-Kendari, periode 9 Mei 2012 sampai dengan 25 Juni 2012. 3.5 Alat Pengumpulan Data Instrumen atau alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner berbentuk angket yang terdiri dari dua bagian, yaitu : bagian A, merupakan data demografi berupa identitas responden yang meliputi kode responden, umur, pendidikan terakhir, pekerjaan, pendapatan dan status perkawinan. Bagian B merupakan kuesioner yang digunakan untuk mengukur tingkat premenstrual syndrome (PMS) pada wanita usia produktif yang terdiri dari 39

pernyataan dengan menggunakan skala Likert. Dimana terdapat dua kriteria pertanyaan, yaitu criteria mayor untuk gejala mayor/paling sering muncul nomor pernyataan 1 - 9, dan criteria minor untuk gejala minor/agak jarang muncul dengan nomor pernyataan 10 - 39. Dikatakan PMS jika memiliki minimal 8 kriteria mayor dan 4 kriteria minor. Pengumpulan data akan dilakukan oleh dokter muda yang sedang bertugas sedang bertugas di Poli Obstetri dan Gynekology RSUD Provinsi Sulawesi TenggaraKendari , periode 9 Mei2012, sampai dengan 25 Juni 2012. 3.6 3.6.1 Manajemen Data Coding Coding yaitu memberikan kode berupa nomor pada setiap jawaban yang diisi oleh responden. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan atau menghindari kesalahan dalam pengolahan dan analisa data. 3.6.2 Editing Editing, yaitu melakukan pengecekan terhadap hasil pengisian kuesioner yang meliputi kelengkapan identitas dan jawaban yang diberikan responden. 3.6.3 Skoring Scoring adalah langkah pemberian nilai atau bobot terhadap jawaban responden sehingga dapat menghasilkan jawaban dari variable.

3.6.4

Tabulating Tabulating, yaitu mengelompokkan data sesuai dengan katagori yang telah dibuat untuk tiap tiap sub variable yang diukur dan selanjutnya dimasukkan kedalam tabel distribusi frekuensi.

3.6.5

Cleaning Cleaning, yaitu mengevaluasi kembali data untuk menghindari kesalahan dalam data.

3.7 Analisa Data 1. Univariat Untuk menghitung nilai rata-rata (mean) digunakan rumus sbb: x =

x
n = nilai rata-rata = jumlah keseluruhan nilai responden = jumlah sampel

Ket :

x
n

Untuk menghitung standar deviasi (sd) dengan cara manual digunakan rumus:

Sd =

( x x)

Ket: Sd = Standar deviasi

n 1

x = Jumlah nilai dari data responden x = Rata-rata (mean) n = Jumlah responden Untuk mengetahui distribusi frekuensi masing-masing variabel independen digunakan rumus sebagai berikut :
P= fi x100% n

Ket : P = persentase fi = frekwensi teramati n 2. Bivariat Untuk mengetahui hubungan karakteristik wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome, akan dilakukan dengan analisa silang dengan menggunakan tabel silang yang dikenal dengan baris kali kolom dengan derajat keabsahan (df) yang sesuai dan tingkat kemaknaan () 0,05 (95%), masing-masing variabel diuji dengan uji statistik chi square test (X2) dikutip dari Chandra (2002) dengan rumus sbb:
x =
2

= jumlah responden

( O e) 2
e

Ket

O = frekwensi observasi e = Total Baris x Total Kolom Grand Total

x2 = Chi-Square Test

Bila pengolahan data menggunakan table 3x2 dijumpai 20% sel nilai e (expended frequency) < 5, maka dilakukan marger cell (grouping) maka table menjadi tabel contingency 2x2 , apabila dijumpai 20% sel nilai e < 5 koreksi dengan menggunakan uji statistic Yates Correction for Continuity dengan rumus :

x = [(O-e)-(0,5)] e
Pengujian hipotesa dilakukan dengan kriteria jika X2 hitung < X2 tabel maka hipotesa null (Ho) diterima dan sebaliknya apabila X2 hitung X2 tabel maka hipotesa alternatiif (Ha) diterima (Chandra, 2002).

4.8

Penyajian Data Data yang dikumpulkan disajikan dalam bentuk narasi dan tabel distribusi

frekuensi serta menggunakan tabulasi silang.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. (2007). Risk Factor Of PMS, http://www.healthscout.com.diperoleh tanggal 1 Desember 2007. Anonymous. (2008). Wanita Karir Jauh Lebih http://www.jawaban.com/detail.asp? Diperoleh tanggal 18 April 2012. Sehat?

Anonymous. (2008). Ibu Pekerja, Kunci Sukses Hilangkan Stres, http://www.seputarindonesia.com/edisicetak/berita-utama-sore/ibu-pekerja-kunci-sukses hilangkan.html, diperoleh tanggal 18 April 2012. Arikunto S. (1998). Manajemen Penelitian, Jakarta : PT Rineka Cipta. Azwar A. (1996). Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Jakarta: Binarupa Aksara. Baziad, A. (2005). Sindroma Prahaid,http://www.Kompas.com/kesehatan/news/, diperoleh tanggal 3 Agustus 2007. BKKBN. (1996). Pedoman Penggunaan Alat Ukur Lingkar Lengan Atas (LILA) Pada Wanita Usia Subur (WUS), Kantor Menteri Negara Kependudukan , Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan dan Tim Penggerak PKK Pusat. Bobak, M & Irene et., al. (2004). Keperawatan Maternitas, Edisi 4, Jakarta: EGC. BPS. (2006). Statistik Kesehatan, Jakarta: BPS. Brunner & Suddarth. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta: EGC. Burns, A. (2000). Pemberdayaan Wanita Dalam Bidang Kesehatan, Jakarta:Yayasan Essentia Medika. Burn. (1999). Metodelogi Penelitian, Jakarta : Rineka Cipta. Chandra, B. (2002). Pengantar Statistik Kesehatan, Jakarta: EGC. Cornforth, T. (2007) What Risk Factors are Associated with PMS?, http://www.Womens health.about.com. diperoleh tanggal 1 Desember 2007. Dalton, K. (1984). The Premenstrual Syndrome and Progesterone Therapy,2nd edition, William Heinermann Medical Books Ltd.

Depkes RI. (1996). Keluarga Berencana, Jakarta. Deuster et., al. (1999). Biological, Social and Behavioral Factors Associated with Premenstrual Syndrome, http://www.archfammed.com. diperoleh tanggal 20 Juni 2007. Ensiklopedi Nasional Indonesia. (1990), Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka. Essel, E, K. (2007). Pms Is it Real?, http://www2.gsu.edu/. Diperoleh tanggal 1 Desember 2007. Fadilah, S. (2004). Peran Ibu Untuk Pembangunan, http://www. Kesrepro.Info.co.id. Diperoleh tanggal 2 Desember 2007. Situs.

Freemen, E, W. (2007). Epidemiology and Etiology Of Premenstrual Syndromes, http://www.medscape.com. Diperoleh tanggal 1 desember 2007. Ganong, W.F. (1983). Fisiologi, Edisi 10, Jakarta: EGC. Greenspan S. F & Baxter D. J. (1998). Endroklinologi Dasar dan Klinik, Edisi IV, Jakarta: EGC. Green, L. (1990). Health Education Planning Approach, 1st Edition, California: Meryland Publishing Company. Hamilton. (1995). Dasar-dasar Keperawatan Maternitas, edisi 6, Jakarta: EGC. Hacker & Moore. (2001). Essensial Obstetri dan Ginekologi, edidi 2, Jakarta: Hipokrates. Haijiang, W. (2005). Marital Status, http://paa 2005.princeton.edu/download. Diperoleh tanggal 14 september 2007. Health Media Nutrition Series. (1996). Wanita & Nutrisi, Jakarta: PT Bumi Aksara Jacoeb T.Z., Baziad, A. (1994). Anovulasi : Patofisiologi dan Penanganannya, Edisi 2, Jakarta: Balai penerbit FKUI. Kamars, H.M.D (1998). Sistem Pendidikan, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Karyadi, E. (1999). Menangkal Rasa Sakit Menjelang Haid, http://www.indomedia.com/intisari/1999/mei/haid. diperoleh tanggal 1 Juli 2007. Llewellyn, J. D. (2005). Setiap Wanita, Jakarta: Delapratasa Publishing. Mochtar, R. (1989). Sinopsis Obstetri, Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi, edisi 2, Jakarta. Muhiman, M, dkk. (1996). Penanggulangan Nyeri Pada Persalinan, Jakarta: Universitas Indonesia. Mulyono dkk. (2001). Stres Psikososial Pada Wanita Pekerja Status Kawin Di PT Tulus Trituggal Gresik, http://www.jurnal.unair.ac.id/login.jurnal/. diperoleh tanggal 14 September 2007. Notoatmodjo. (1997). Ilmu kesehatan Masyarakat: Prinsip-prinsip Dasar, edisi pertama, Jakarta: PT Rineka Cipta. ___________ (2002), Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: PT Rineka Cipta. Nurfahmi. (2008). Pernikahan Harmonis Tingkatkan Kesehatan, http://nurfahmi.wordpress.com/2008/03/23/pernikahan-harmonis-tingkatkankesehatan/, diperoleh tanggal 18 April 2008. Oakley L.D. (1998). Social Cultural Context of Phsyciatric Nursing, sixth edition, Philadelphia: Mosby Year Book Inc. Pandji. (1992). Psikologi Kerja, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Prawirohardjo. (2005). Ilmu Kebidanan, Jakarta: EGC. Potter, P.A & Perry, A.G. (1997), Fundamental Of Nursing, Concept, Process and Practice, 1st Edition, New York : Lippincott. Rayburn, W.F & Carey, C. (2001). Obstetri dan Ginekologi, Jakarta: Widya Medika. Sekneg R.I .(2003). Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim pendidikan Nasional, Jakarta. Scott et. al. (2002). Buku Saku Obstetri dan Ginekologi, Jakarta: Widya Medika. Shreeve, C. 1983. Sindrom Pramenstruasi, Jakarta : Arcan.

Suryono (1998). Motivasi dan Pengaruhnya, Jakarta: Arcan. Syahrum M.H, Kamaludin, T. (1994). Reproduksi dan Embriologi : Dari Satu Sel Menjadi Organisme, Jakarta: FKUI. Whalley & Wongs. (1999). Nursing Care Of Infant and Children, 6th edition, Mosby Company, Philadelphia. Widayatun, T. R. (1999). Ilmu Perilaku, Jakarta : Sagung Seto. Youngkin, E.Q & Davis, M.Z. (1998). Womens Health; A Primary Care Clinical Guide, Second Edition, Stanford : Appleton & Lange.

Anda mungkin juga menyukai