Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL BLOK NEOPLASMA SKENARIO 4: PERDARAHAN PER-RECTUM

Disusun Oleh: Kelompok A2 Aisah Kusumaning A. Alvian Oscar Irawan Berlian Permata S. Daniel Satyo Nurcahyo Eva Karina Puspasari Gefaritza Rabbani Novy Wahyunengsi L. Priaji Setiadani Rindy Saputri Septian Sugiarto Widya Wira Utami S. (G0011009) (G0011015) (G0011053) (G0011061) (G0011087) (G0011099) (G0011155) (G0011159) (G0011175) (G0011195) (G0011209)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2012

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Akhir-akhir ini sering terjadi kasus seseorang menderita neoplasma. Salah satunya sering terjadi pada sistem pencernaan atau gastrointestinal terutama pada daerah kolon dan rectum seperti skenario yang akan dibahas di bawah ini: Perdarahan Per Rectum Seorang penderita laki-laki umur 43 tahun, datang ke Puskesmas dengan keluhan utama perdaraan per-rectum disertai lender sejak 3 bulan lalu. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital dan phisik tidak didapatkan kelainan. Hanya merasa berat badannya menurun, selanjutnya dirujuk oleh dokter puskesmas ke bagian bedah RSUD Dr.Moewardi. Dilakukan pemeriksaan rectal toucher: teraba massa pada jam 12, permukaan mukosa kasar berbenjol-benjol, konsistensi kenyal, tidak nyeri tekan, sarung tangan berlendir darah positif. Dilakukan biopsi cubit, didapatkan 4 keping kecil jaringan warna putih, konsistensi agak rapuh. Hasil dikirim untuk pemeriksaan histopatologis. Selain itu juga dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang yang lain. B. RUMUSAN MASALAH 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Anatomi dan fisiologi kolorektal, serta proses pencernaan manusia Interpretasi hasil pemeriksaan rectal toucher dan hasil pemeriksaan DD dan penjelasannya Diagnosis pasti, penjelasan penyakit dan epidemiologi Faktor risiko yang menjadi etiologi penyakit Hubungan jenis kelamin dan usia dengan penyakit Penyebab perdarahan per rectum dan patofisiologinya Patofisiologi perdarahan per rectum yang keluar bersama lendir dan Pemeriksaan penunjang untuk penyakit dan untuk menilai metastasis Penatalaksanaan dan prognosis

penyebab berat badan turun

C. TUJUAN PENULISAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Mengetahui anatomi dan fisiologi kolorektal, serta proses pencernaan Mengetahui interpretasi hasil pemeriksaan rectal toucher dan hasil Mengetahui DD dan penjelasannya Mengetahui diagnosis pasti, penjelasan penyakit dan epidemiologinya Mengetahui faktor risiko Mengetahui hubungan antara jenis kelamin dan usia pasien dengan penyakit Mengetahui penyebab perdarahan per rectum dan patofisiologinya Mengetahui patofisiologi perdarahan per rectum yang keluar bersama lendir Mengetahui pemeriksaan penunjang apa saja yang diperlukan untuk Mengetahui penatalaksanaan yang diperlukan sesuai kasus dan prognosis manusia pemeriksaan

yang diderita

dan penyebab berat badan turun membantu diagnosis penyakit dan untuk menilai metastasis dari penyakitnya D. MANFAAT PENULISAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Mahasiswa mampu menjelaskan anatomi dan fisiologi kolorektal, serta Mahasiswa mampu melakukan interpretasi hasil pemeriksaan rectal toucher Mahasiswa mampu menentukan dan menjelaskan DD dari kasus Mahasiswa mampu menentukan diagnosis pasti, mengetahui penjelasannya, Mahasiswa mampu menjelaskan faktor risiko Mahasiswa mampu menjelaskan hubungan antara jenis kelamin dan usia Mahasiswa mampu menjelaskan penyebab perdarahan per rectum dan proses pencernaan manusia

dan mampu menjelaskan epidemiologinya

pasien dengan penyakit yang diderita patofisiologinya

8. 9. 10.

Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi perdarahan per rectum yang Mahasiswa mampu memilih pemeriksaan penunjang apa saja yang Mahasiswa mampu memilih penatalaksanaan yang diperlukan sesuai kasus

keluar bersama lendir dan penyebab berat badan turun diperlukan untuk membantu diagnosis penyakit dan untuk menilai metastasis dan prognosis dari penyakitnya E. HIPOTESIS Pasien diindikasikan menderita karsinoma kolorektal.

BAB II PEMBAHASAN 1. Anatomi dan fisiologi kolorektal, serta proses pencernaan manusia Anatomi , fisiologi colon dan proses pencernaan normal Colon, kurang lebih mempunyai panjang 3-5 kaki (1,5m), berjalan dari ileum terminale sampai ke rektum. Ileum terminal berlanjut ke cecum di batas posteromedial pada katup ileocecal. Cecum terletak pada awal dari colon ascenden dan merupakan kantung kosong tanpa mesenterium. Diameter cecum kurang lebih 7.5 sampai 8.5 cm dan merupakan bagian terlebar dari colon. Colon berjalan semakin mengecil ke bagian distal sampai ke colon sigmoid yang merupakan bagian tersempit dengan diameter kira-kira 2.5 cm. Perbedaan ukuran ini menunjukkan bahwa tumor cecal dapat tumbuh sangat besar sebelum onset gejala muncul, sedangkan tumor sigmoid lebih kecil ukurannya dan asymptomatic. Cecum, juga karena diameternya yang relatif besar, juga merupakan tempat yang sering mengalami rupture yang disebabkan oleh obstruksi distal. Colon ascending, colon descending, dan fleksura hepaticus dan fleksura splenicus biasanya retroperitoneal, sedangkan cecum, colon transversum, dan colon sigmoid berlokasi ntraperitoneal. Meskipun volvulus sering terjadi pada colon sigmoid, cecum dan, jarang colon transversum juga dapat terlilit dengan mesenteriumnya karena lokasi bagian-bagian colon tersebut berlokasi di intraperitoneal dan tidak terfiksasi dangan baik.

a. KOLON

Gambar 1. Anatomi colon Suplai darah kecolon proximal dan distal secara berurut diperoleh dari arteri mesenteric superior (SMA) dan arteri mesenteric inferior (IMA). Pembuluh darah mesenteric inferior lewat tegak lurus dalam retroperitoneum dan bergabung dengan pembuluh darah splenikus, dalam perjalanan ke pintu gerbang sistem pembuluh darah. Saluran getah bening parallel ke distribusi IMA. Cabang - cabangnya dibagi lagi ke dalam empat kelompok: epicolic, paracolic, intermediate, dan cabang utama, dengan epicolic tepat pada dinding colon dan cabang utama pada mesenteric inferior atau mesenteric yang superior. Colon juga dikelilingi oleh saluran limfe yang berlokasi di submukosa dan muskularis mukosa. Mukosa kaya akan vascular tetapi tidak mempunyai saluran limfe. Karena alas an ini, kanker superficial yang tidak berpenetrasi ke muskularis mukosa tidak dapat bermetastase melalui jalur limfe. Pembuluh limfe mengikuti suplai arteri ke colon. Usus besar atau colon terutama bertanggung jawab untuk menmyimpan sisasisa metabolisme, menyerap air, menjaga keseimbangan air, dan mengabsorbsi beberapa vitamin, sperti vitamin K. Saat kimus (bentuk makanan yang telah diolah oleh GIT di atasnya), hampir semua nutrien dan 90% air diabsorbsi di sini untuk tubuh. Di colon beberapa elektrolit, seperti natrium (Na), magnesium (Mg), klorida (Cl) tidak dicerna seperti serat. Setelah kimus bergerak melalui colon, banyak air diabsorbsi, kemudian kimus bercampur dengan mukus dan bakteri usus, dan menjadi feses. Bakteri menghancurkan serat untuk nutrisi mereka dan membentuk

asetat, propionat, dan butirat sebagai produk sisa, yang akan berguna bagi keutuhan sel colon. Ini merupakan hubungan simbiosis dan menyediakan 100 kalori bagi tubuh setiap hari. Colon tidak menghasilkan enzim digestif karena pencernaan enzimatik telah berlangsung dengan komplit sebelum kimus sampai ke colon. pH kolon bervariasi antara 5.5-7.

Gambar 2. Vaskularisasi colon

Gambar 3. Kelenjar limfe colon. (1)lnn.iliocolica(2)lnn.colica sinistra(3)lnn.mesenterica inferior(4)lnn.superior rectum(5)lnnn.retrocecal(6)lnn.prececal(7)lnn.paracolica b. RECTAL Secara anatomi rektum terbentang dari vertebre sakrum ke-3 sampai garis anorektal. Secara fungsional dan endoskopik, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan sfingter. Bagian sfingter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fasia coli dari fasia supra-ani. Bagian ampula Anatomi dan Fisiologi Rektum

terbentang dari sakrum ke-3 ke difragma pelvis pada insersi muskulus levator ani. Panjang rrektum berkisa 10-15 cm, dengan keliling 15 cm pada recto-sigmoid junction dan 35 cm pada bagian ampula yang terluas. Pada orang dewasa dinding rektum mempunyai 4 lapisan : mukosa, submukosa, muskularis (sirkuler dan longitudinal), dan lapisan serosa.

Gambar 1. Anatomi Anus dan Rektum. Perdarahan arteri daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior, media, dan inferior. Arteri hemoroidalis superior yang merupakan kelanjutan dari a. mesenterika inferior, arteri ini bercabang 2 kiri dan kanan. Arteri hemoroidalis merupakan cabang a. iliaka interna, arteri hemoroidalis inferior cabang dari a. pudenda interna. Vena hemoroidalis superior berasal dari 2 plexus hemoroidalis internus dan berjalan ke arah kranial ke dalam v. mesenterika inferior dan seterusnya melalui v. lienalis menuju v. porta. Vena ini tidak berkatup sehingga tekanan alam rongga perut menentukan tekanan di dalamnya. Karsinoma rektum dapat menyebar sebagai embolus vena ke dalam hati. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke v. pudenda interna, v. iliaka interna dan sistem vena kava. Pembuluh limfe daerah anorektum membentuk pleksus halus yang mengalirkan isinya menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya mengalir ke kelenjar limfe iliaka. Infeksi dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat mengakibatkan limfadenopati inguinal. Pembuluh rekrum di atas garis anorektum berjalan seiring dengan v. hemoroidalis seuperior dan melanjut ke kelenjar limfe mesenterika inferior dan aorta.

Persarafan rektum terdiri atas sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut simpatik berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3, dan 4,s erabut ini mengatur fungsi emisi air mani dan ejakulasi. Serabut parasimpatis berasal dari sakral 2, 3, dan 4, serabut ini mengatur fungsi ereksi penis, klitoris dengan mengatur aliran darah ke dalam jaringan. Defekasi Sebagian besar waktu, rectum tidak berisi feses, hal ini karena adanya sfingter yang lemah 20 cm dari anus pada perbatasan antara kolon sigmoid dan rectum serta sudut tajam yang menambah resistensi pengisian rectum. Bila terjadi pergerakan massa ke rectum, kontraksi rectum dan relaksasi sfingter anus akan timbul keinginan defekasi. Pendorongan massa yang terus menerus akan dicegah oleh konstriksi tonik dari 1) sfingter ani interni; 2) sfingter ani eksternus Refleks Defekasi. Keinginan berdefekasi muncul pertama kali saat tekanan rectum mencapai 18 mmHg dan apabila mencapai 55 mmHg, maka sfingter ani internus dan eksternus melemas dan isi feses terdorong keluar. Satu dari refleks defekasi adalah refleks intrinsic (diperantarai sistem saraf enteric dalam dinding rectum. Ketika feses masuk rectum, distensi dinding rectum menimbulkan sinyal aferen menyebar melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristaltic dalam kolon descendens, sigmoid, rectum, mendorong feses ke arah anus. Ketika gelombang peristaltic mendekati anus, sfingter ani interni direlaksasi oleh sinyal penghambat dari pleksus mienterikus dan sfingter ani eksterni dalam keadaan sadar berelaksasi secara volunter sehingga terjadi defekasi. Jadi sfingter melemas sewaktu rectum teregang Sebelum tekanan yang melemaskan sfingter ani eksternus tercapai, defekasi volunter dapat dicapai dengan secara volunter melemaskan sfingter eksternus dan mengontraksikan otot-otot abdomen (mengejan). Dengan demikian defekasi merupakan suatu reflex spinal yang dengan sadar dapat dihambat dengan menjaga agar sfingter eksternus tetap berkontraksi atau melemaskan sfingter dan megontraksikan otot abdomen.

Sebenarnya stimulus dari pleksus mienterikus masih lemah sebagai relfeks defekasi, sehingga diperlukan refleks lain, yaitu refleks defekasi parasimpatis (segmen sacral medulla spinalis). Bila ujung saraf dalam rectum terangsang, sinyal akan dihantarkan ke medulla spinalis, kemudian secara refleks kembali ke kolon descendens, sigmoid, rectum, dan anus melalui serabut parasimpatis n. pelvikus. Sinyal parasimpatis ini sangat memperkuat gelombang peristaltic dan merelaksasi sfingter ani internus. Sehingga mengubah refleks defekasi intrinsic menjadi proses defekasi yang kuat Sinyal defekasi masuk ke medula spinalis menimbulkan efek lain, seperti mengambil napas dalam, penutupan glottis, kontraksi otot dinding abdomen mendorong isi feses dari kolon turun ke bawah dan saat bersamaan dasar pelvis mengalami relaksasi dan menarik keluar cincin anus mengeluarkan feses. 2. Interpretasi hasil pemeriksaan rectal toucher dan hasil pemeriksaan Dari pemeriksaan colok dubur dapat mendeteksi tumor sejauh kurang lebih 10 cm dari anal verge beberapa nilai yang dapat diketahui : a. Adanya tumor rektum b. Lokasi dan jarak dari anus c. Posisi tumor, melingkar / menyumbat lumen d. Perlengketan dgn jar.sekitar e. Dapat dilakukan biopsi cubit Pada Skenario didapatkan hasil : Pada pasien yang diduga menderita karsinoma kolorektal harus dilakukan rectal toucher. B i l a l e t a k t u m o r a d a d i r e k t u m a t a u r e k t o s i g m o i d , a k a n teraba massa maligna (keras dan berbenjol-benjol dengan striktura) di rektum atau rektosigmoid teraba keras dan kenyal. Biasanya pada sarung tangan akan terdapat lendir dan darah. Misal ditemukan benjolan di daerah atas/arah jam 12 berarti mengarah ke benjolan berasal dari kolon (biasanya karsinoma kolorektal), kalo dari arah samping berarti karena benjolan dari rektum (biasanya haemorroid). 3. DD dan penjelasannya a. Karsinoma kolorektal

Keganasan ini banyak terjadi mulai usia 40 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 60tahun. Lokasi karsinoma ini biasanya di rectum, sigmoid, kolon kanan/asenden, kolon kiri/desenden, dan jarang ditemukan pada kolon transversum. Pada kebanyakan kasus, karsinoma kolorektal berkembang perlahan-lahan selama beberapa tahun. Sebelum menjadi kanker murni, biasanya perkembangan dimulai dari polip nonkarsimatous yang selanjutnya dapat berubah menjadi kanker. Polip merupakan jaringan yang tumbuh pada kolon atau rectum. Beberapa jenis polip disebut polip adenomatous atau adenoma yang paling sering menjadi kanker. Begitu sebuah kanker terbentuk dari polip, maka akan tumbuh dari mukosa dinding kolon atau rectum, kemudian menembus dinding dan sel kanker akan tumbuh menyebar melalui aliran darah dan limfe yang akan menyebar ke seluruh tubuh. b. Amoebiasis Adalah penyakit infeksi usus besar oleh parasit Entamoeba Hystolitica. Amoebiasis dibagi menjadi beberapa,antara lain: Amoebiasis carier: tidak menunjukan gejala klinis. Amoebiasis Intestinal (colon akut): dengan menunjukan gejala Amoebiasis Ekstraintestinal Amoebiasis hati: Hepatomegali dan berat badan turun. Amoebiasis kulit

seperti disentri syndrome, tenesmus, demam, leukositosis.

Proses perdarahan yang terjadi pada amebiasis yaitu pada stadium trofozoit, E.hystolitica bersarang di submukosa dan membuat kerusakan yang lebih luas dari mukosa usus. Akibatnya terjadi luka yang disebut ulkus ameba. Proses yang utama terjadi adalah nekrosis dengan lisis jaringan/histolisis. Pemeriksaan lanjutan untuk penegakkan diagnosis penyakit ini adalah pemeriksaan tinja segar. c. Berak Darah atau Melena Keluarnya darah berwarna merah terang atau merah gelap dari anus dapat bentuk gumpalan atau bercampur dengan tinja dapat kita sebut sebagai melena. Melenamerupakan indikator adanya perdarahan di saluran cerna bagian atas/di atas ligamentum Treitz. Melena terjadi jika darah dalam usus besar dengan jangka

waktu lama maka bakteri mengurainya menjadi senyawa kimia dan adanya asam lambung darah berwarnahitam. Selain berwarna hitam, darahnya lengket dan berbau busuk. Dibutuhkan tes guaiac untuk membuktikan adanya hemoglobin, karena tidak semua feses hitam adalah melena. Sirosis Hepatis Penyakit dimana hati mengalami varises dan pembentukan jaringan parut(fibrosis) yang menghalangi makanan dan nutrisi untuk masuk ke hati, serta kehilangansel-sel hati yang uniform dan fungsi hati. Gejalanya yaitu, melena, kadang-kadanganusnya membengkak, berat badan turun, hepatomegali sehingga perut membuncit,lemah,lesu,letih, nafsu makan berkurang,pembekuan darah, perdarahan gusi,ikterus, danair kemih berwarna seperti teh pekat.Penyebabnya yaitu, virus hepatitis (B,C,D), alcohol, kelainan metabolik,sumbatan saluran vena hepatica, gangguan imunitas, toksin, malnutrisi. Pemeriksaan penunjang untuk sirosis hepatis adalah tes SGOT dan SGPT, didapati peningkatan tapi tak begitu tinggi. e. kanan Apendisitis Kanker sekum sering terdapat nyeri abdomen kanan bawah dan massa abdomen bawah, sering demam, mudah didiagnosis keliru sebagai apendisitis atau asbes apendiks, kekeliruan diagnosis mencapai 25%. Anamnesis digabung pemeriksaan sinar X barium enema sering dapat menegakkan diagnosis. Jika tidak dapat dibedakan, harus dilakukan eksplorasi operatif. f. Tukak saluran cerna, kolesistitis Kanker kolon belahan kanan khususnya fleksura hepatik, kolon transversal menimbulkan rasa tak enak atau nyeri abdomen atas, demam, uji darah samar feses positif, massa abdomen kanan atas, dll. kadang kala didiagnosis keliru sebagai tukak peptik, kolesistitis, tapi anamnesis digabung pemeriksaan sinar X barium enema tidak sulit mendiagnosisnya. g. TB kolon, disenteri Kanker kolon belahan kiri atau rectum sering mengeluarkan mucus berdarah atau nanah berdarah dalam feses, sering defekasi atau diare, sering didiagnosis

keliru sebagai colitis, melalui sigmoidoskopi dan pemeriksaan fisik cermat tidak sulit membedakannya. h. Hemoroid Gejala hemoroid interna adalah perdarahan tak nyeri, mungkin feses berdarah, juga mungkin darah menetes atau darah mengalir dari anus. Pasien kanker rektum juga mengalami berak darah tapi waktu berkonsultasi sering terdapat tanda iritasi anorektal. Pembedaan keduanya sangat mudah, colok dubur atau rektoskopi dapat memastikannya. i. Fistel anal Fistel anal umumnya didahului abses perianal dengan nyeri lokal, setelah abses pecah menjadi fistel, gejala mereda, tidak terdapat pola defekasi dan perubahan konsistensi feses seperti pada kanker rectum atau kanker kanalis analis. j. Polip Polip adalah pertumbuhan jaringan dari dinding usus yang menonjol ke dalam usus dan biasanya tidak ganas. Polip bisa tumbuh dengan atau tanpa tangkai dan ukurannya bervariasi. Polip paling sering ditemukan di rektum dan bagian bawah usus besar (kolon), dan jarang ditemukan di kolon bagian atas. Kebanyakan polip tidak menyebabkan gejala, tapi gejala paling sering terjadi adalah perdarahan dari rektum. Polip yang besar bisa menyebabkan kram, nyeri perut atau penyumbatan usus. Polip yang bertangkai panjang jarang turun ke bawah melalui anus. Polip besar dengan bentuk seperti jari (adenoma vilus) bisa mengeluarkan air dan garam, menyebabkan diare cair yang bisa menyebabkan menurunnya kadar kalium darah (hipokalemia). Jenis polip ini lebih sering berkembang menjadi keganasan (kanker). 4. Diagnosis pasti, penjelasan penyakit dan epidemiologi Berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan pasien, yaitu adanya perdarahan per rektum disertai lendir, teraba massa pada pemeriksaan rectal toucher dengan sarung tangan lendir positif, dan didapatkan jaringan pada biopsi cubit, kemungkinan pasien menderita karsinoma kolorektal.

Karsinoma kolorektal sering dijumpai pada dekade 6 dan 7, merupakan penyakit yang banyak menyebabkan kematian. Kejadian karsinoma kolorektal pada usia muda tidak banyak dijumpai. Secara epidemiologis, kanker kolorektal di dunia mencapai urutan ke-4 dalam hal kejadian, dengan jumlah pasien laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan 19,4 dan 15,3 per 100.000 penduduk. Penyakit tersebut paling banyak ditemukan di Amerika Utara, Australia, Selandia Baru dan sebagian Eropa. Kejadiannya beragam di antara populasi etnik, ras atau populasi multietnik/multi rasial. Secara umum didapatkan kejadian kanker kolorektal meningkat tajam setelah usia 50 tahun. Suatu fenomena yang dikaitkan dengan pajanan terhadap berbagai karsinogen dan gaya hidup. Kanker kolorektal adalah penyebab kematian kedua terbanyak dari seluruh pasien kanker di Amerika Serikat. Lebih dari 150.000 kasus baru terdiagnosis setiap tahunnya di AS dengan angka kematian per tahun mendekati angka 60.000. Di AS umumnya rata-rata pasien kanker kolorektal adalah berusia 67 tahun dan lebih dari 50% kematian terjadi pada mereka yang berumur di atas 55 tahun. Di Indonesia, seperti pada laporan registrasi kanker nasional oleh Direktorat Pelayanan Medik Departemen Kesehatan bekerja sama dengan Perhimpunan Patologi Anatomik Indonesia, didapatkan angka yang agak berbeda yaitu untuk usia di bawah 40 tahun didapatkan angka 35,265%. (Sudoyo, 2009) 5. Faktor risiko yang menjadi etiologi penyakit a. Diet Makan ikan memiliki efek perlindungan terhadap perkembangan Makan daging merah atau daging olahan dapat meningkatkan Makan makanan berserat dapat memengaruhi pembentukan feses kanker kolorektal. risiko kanker kolorektal. yang besar dan lembut serta dapat mengencerkan karsinogen. Serat mampu mengurangi waktu karsinogen untuk transit di kolon sehingga mengurangi wsktu untuk karsinogen memapar dinding mukosa. Asupan kalsium yang tinggi juga memiliki efek perlindungan pada mukosa kolorektal dengan mengikat asam empedu dan asam lemak.

Selenium, karoten, vitamin A, C, dan E memiliki efek protektif b. Kekerabatan

dengan membilas kolon dari free-oxygen radicals (Cagir B et al, 2012). Orang yang memiliki seorang kerabat tingkat pertama (orang tua, saudara, atau keturunan) yang memiliki kanker kolorektal memiliki risiko 2 sampai 3 kali lebih besar terkena kanker kolorektal dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki kerabat tingkat pertama yang terkena kanker kolorektal. Jika kerabat tersebut didiagnosa saat masih muda atau jumlah kerabat yang terkena kanker kolorektal lebih dari 1, maka risiko meningkat 3 sampai 6 kali dibanding populasi umum. Sekitar 20% dari semua pasien kanker kolorektal memiliki kerabat dekat yang didiagnosis dengan penyakit ini (Alteri, 2011). c. Berat Badan Kelebihan berat badan atau obesitas dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi dari kanker kolorektal (Alteri, 2011). d. Vitamin D Studi menunjukkan bahwa individu dengan kandungan vitamin D dalam darah pada tingkat yang rendah memiliki peningkatan risiko terkena kanker kolorektal. Namun, hubungan antara vitamin D dan kanker masih belum sepenuhnya dipahami (masih dalam investigasi) dan memerlukan penelitian lebih lanjut (Alteri, 2011). e. Merokok Merokok pada saat masih muda meningkatkan risiko terkena kanker kolorektal. Mekanisme perkembangan tumor disebabkan oleh produksi amina aromatik polisilik beracun dan induksi mekanisme angiogenik akibat asap tembakau pada saat merokok. Berdasarkan penelitian Phipps et al, merokok meningkatkan angka kematian setelah diagnosis kanker kolorektal (Cagir B et al, 2012). Pada November 2009, the International Agency for Research on Cancer melaporkan bahwa sekarang ada bukti yang cukup untuk menyimpulkan bahwa merokok tembakau menyebabkan kanker kolorektal. Asosiasi/hubungan ini tampaknya lebih kuat untuk kanker rektum daripada kanker usus besar (Alteri, 2011). f. Alkohol

Alkohol sebanyak 30gr per hari dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal. Dari penelitian Kabat et al, konsumsi bir 32 ounches (907gr) atau lebih per hari dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal pada pria (Cagir B et al, 2012). Kanker kolorektal telah dikaitkan dengan alkohol. Individu yang memiliki ratarata seumur hidup minum 2 sampai 4 gelas minuman beralkohol per hari memiliki risiko 23% lebih tinggi terkena kanker kolorektal dibandingkan yang mengkonsumsi kurang dari satu gelas per hari (Alteri, 2011). g. Inflammatory Bowel Disease/ IBD Penyakit inflamasi usus (IBD) adalah istilah yang luas yang menggambarkan kondisi dengan respon imun kronis dan peradangan pada saluran pencernaan. Penyakit yang paling umum adalah kolitis ulcerative dan penyakit Crohn. Kedua penyakit ini memiliki satu fitur yang sama dan kuat. Mereka ditandai oleh respon abnormal oleh sistem kekebalan tubuh. Biasanya, sel-sel kekebalan melindungi tubuh dari infeksi. Pada orang dengan IBD, sistem kekebalan tubuh mengalami kesalahan pangan dan menyerang sel-sel usus. Dalam proses ini, tubuh mengirim sel-sel darah putih ke dalam lapisan usus di mana mereka menghasilkan peradangan kronis. Ketika ini terjadi, pasien mengalami gejala IBD. Baik penyakit kolitis ulcerative atau Crohn harus dibedakan dengan irritable bowel syndrome (IBS), gangguan yang mempengaruhi motilitas (kontraksi otot) usus besar. Kadang-kadang disebut "spastic colon" atau "nervous colitis. IBS tidak ditandai oleh peradangan usus. Oleh karena itu, penyakit jauh lebih serius daripada kolitis ulcerative atau penyakit Crohn. IBS tidak berhubungan langsung baik untuk kolitis ulcerative atau penyakit Crohn (CDC, 2006). h. Kelainan genetik 6. Adenomutous Polyposis Coli/ APC Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer / HNPCC Hubungan jenis kelamin dan usia dengan penyakit Pada wanita, karsinoma rektum lebih sering daripada di distal atau proksimal usus, sedangkan pada pria insiden tertinggi terjadi di usus proksimal. Dalam kelompok pasien wanita, orang-orang dengan tumor kolon proksimal cenderung lebih tua, sedangkan wanita dengan kanker dubur cenderung lebih muda.

Beberapa

studi

menunjukkan

bahwa

wanita

cenderung

kurang

dapat

mengembangkan CRC di segala usia daripada laki-laki. Gagasan ini tampaknya tidak berlaku untuk kanker ganas karena saat usia tua pada wanita didiagnosis lebih sering dibandingkan pria. Pada beberapa sumber disebutkan pengobatan sulih hormon wanita mempunyai pengaruh terhadap kanker kolon dan rektum. Terdapat hubungan terbalik antara Esterogen Replacement Therapy (ERT) atau Terapi Sulih Hormon (TSH) dengan kejadian kanker kolon dan rektum. ERT/TSH menurunkan risiko kanker kolon dan rektum, dan kejadian fraktur pelvis, akan tetapi manfaat ini diikuti efek yang tidak baik yaitu meningkatnya penyakit jantung koroner, stroke, emboli paru dan kanker payudara invasi (Zahari, 2007). Pertanyaan mengapa wanita dilindungi terutama dari kanker yang lebih agresif pada awal kehidupan tidak dapat dengan mudah dijawab. Ada pendapat yang menyatakan bahwa ini mungkin akibat dari lama paparan estrogen sebelum menopause atau terapi hormon pengganti sesudahnya. Karena kanker usus besar sporadis berlangsung bertahap dari adenoma ke karsinoma, membutuhkan waktu yang lama dan dengan insiden tertinggi selama usia lanjut, dapat dibayangkan bahwa tumor mulai berkembang perlahan-lahan sebelum menopause, tetapi cepat perkembangannya dengan terhentinya produksi estrogen ovarium setelah menopause. Semua ini dijelaskan dengan efek antiproliferatif 17 -estradiol dimediasi melalui reseptor estrogen (ER)-, yang merupakan subtipe ER dominan dalam usus mukosa manusia. Selain itu, ada bukti yang menunjukkan bahwa efek kemopreventive dari estrogen terhadap kanker kolorektal dimediasi sebagian melalui reseptor vitamin D (VDR)-yang mengaktifkan sinyal antiproliferatif intraseluler. Estrogen memiliki potensi untuk mengintensifkan efek antiproliferatif dari hormon vitamin D. Saat ini tidak jelas mengapa estrogen tampaknya melindungi tubuh dari kanker usus tetapi tidak pada kanker rektum. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami mengapa kanker rektum pada wanita tampaknya tidak sensitif terhadap estrogen dan faktor risiko lainnya (Brozek W et al, 2009). Namun disamping pendapat di atas juga terdapat pendapat yang menyatakan bahwa kanker kolorektal adalah penyakit semua gender, terjadi di kalangan perempuan seperti

pada laki-laki (ACS, 2012). Ada juga pendapat yang menyatakan secara keseluruhan, kejadian kanker kolorektal dan angka kematian sekitar 35% sampai 40% lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita. Alasan untuk ini tidak sepenuhnya dipahami, tetapi mungkin mencerminkan interaksi yang kompleks antara gender terkait perbedaan paparan hormon dan faktor risiko. Pola interkasi paparan hormon dan faktor risiko ini juga dapat membantu menjelaskan mengapa proporsi tumor kolorektal terjadi dalam rektum lebih tinggi pada pria (31%) dibandingkan perempuan (24%) (Alteri L et al, 2011). Untuk masalah umur, lebih dari 90% dari kanker kolorektal di temukan pada usia 50 tahun atau lebih. Untuk alasan ini, American Cancer Society merekomendasikan untuk mulai periksa bagian kolorektal diusia 50 terutama yg memiliki risiko tinggi seperti memiliki keluarga yg terkena kanker kolorektal (ACS, 2012). Insiden dan angka kematian untuk kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan meningkatnya usia. Secara keseluruhan, 90% dari kasus baru dan 94% kematian terjadi pada individu dengan usia 50 tahun atau lebih tua. Tingkat kejadian kanker kolorektal lebih dari 15 kali lebih tinggi pada orang dewasa dengan usia 50 tahun dan lebih tua dari pada mereka yang berumur 20 hingga 49 tahun (Alteri L et al, 2011). 7. Penyebab perdarahan per rectum dan patofisiologinya Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan yang terjadi dan berasal pada area proksimal saluran pencernaan bagian proximal dari Ligamentum Treitz. Yang termasuk organ organ saluran cerna di proximal Ligamentum Trieitz adalah esofagus, lambung (gaster), duodenum dan sepertiga proximal dari jejunum. Kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas merupakan yang paling sering terjadi dan sering ditemukan dibandingkan dengan kejadian perdarahan saluran cerna bagian bawah. Lebih dari 50% kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas dikarenakan oleh penyakit erosif dan ulseratif dari gaster dan/atau duodenum (Shuhart, Kowdley, and Neighbor, 2002). Menurut literatur dalam Oxford Handbook of Clinical Medicine, 2010, penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas yang paling sering ditemukan adalah: a. Ulkus peptikum. Perdarahan Saluran Cerna Atas

b. Sindrome Mallory-Weiss. c. Varises esofagus. d. Erosi gastritis. e. Penggunaan obat berupa NSAID, aspirin, steroid, trombolitik, dan antikoagulan. f. Esofagitis. g. Duodenitis. h. Keganasan. i. Idiopatik. Dan penyebab timbulnya perdarahan saluran cerna bagian atas yang jarang ditemukan adalah: a. Kelainan perdarahan. b. Hipertensi portal gastropati. c. Fistula aorto-enterikus. d. Angiodisplasia. e. Hemobilia.
f. Lesi dieulafoy.

g. Divertikulum Meckel. h. Sindrome Peutz-Jegher. i. Sindrome Osler-Weber-Rendu (Longmore, 2010). Gejala dan tanda klinis perdarahan saluran cerna bagian atas yang sering ditemukan pada pasien adalah: a. Anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang telah berlangsung lama.
b. Hematemesis dan atau melena yang disertai atau tanpa anemia, dengan atau tanpa

gangguan hemodinamik, derajat hipovolemi menentukan tingkat kegawatan pasien. (Adi, 2007) Adapun manifestasi klinis yang ditemukan sebagai ciri khas dari perdarahan saluran cerna bagian atas terutama dapat dibedakan dari perdarahan saluran cerna bagian bawah, antara lain: hematemesis, melena, emesis yang berwarna seperti kopi, nyeri pada epigastrium, dan reaksi vasovagal seperti mual, muntah dan rasa enek. (Sabatine, 2011) Perdarahan Saluran Cerna Bawah

Perdarahan saluran cerna bawah atau Lower gastrointestinal bleeding (LGIB) didefinisikan sebagai perdarahan yang berasal dari organ traktus gastrointestinalis yang terletak distal dari Ligamentum Treitz yang menyebabkan ketidakseimbangan hemodinamik dan anemia simptomatis. Pada studi retrospektif rekam medis yang dilakukan oleh Gayer et al, sekitar 1100 pasien dengan LGIB akut yang mendapatkan terapi bedah, penyebab utama terjadinya LGIB diantaranya adalah diverticulosis (33.5%), hemorrhoids (22.5%), and karsinoma (12.7%). Para ahli juga menemukan bahwa sebagian besar pasien (55.5 %) mengalami hematochezia, yang kemudian diikuti dengan ditemukannya feses yang berwarna merah marun (16.7%) dan melena (11%). Dengan demikian penyebab dari perdarahan saluran cerna bawah pada orang dewasa diantaranya diverticular disease, inflammatory bowel disease, benign anorectal diasease, neoplasia, coagulopathy, dan arteriovenous malformation, yang dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel Penyebab LGIB pada orang dewasa dan persentasenya LOWER GI HEMORRHAGE IN ADULTS Diverticular disease -Diverticulosis/diverticulitis of small intestine -Diverticulosis/diverticulitis of colon IBD -Crohn's disease of small bowel, colon, or both -Ulcerative colitis -Noninfectious gastroenteritis and colitis Benign anorectal diseases -Hemorrhoids -Anal fissure -Fistula-in-an Neoplasia -Malignant neoplasia of small intestine -Malignant neoplasia of colon, rectum, and 9% 11% 13% PERCENTAGE PATIENTS 60% OF

anus Coagulopathy Arteriovenous malformations (AVM) Total

4% 3% 100 &

Sedangkan, penyebab LGIB yang sering pada anak-anak dapat dilihat pada tabel berikut Tabel Penyebab LGIB pada anak-anak dan dewasa muda LOWER GI HEMORRHAGE IN CHILDREN & ADOLESCENTS Intussusception Polyps and polyposis syndromes -Juvenile -Peutz-Jeghers -Familial adenomatous polyposis (FAP) IBD -Crohn's -Ulcerative -Indeterminate colitis Meckel diverticulum a. Divertikulitis Divertikula kolon merupakan lesi yang diperoleh secara umum dari usus besar pada perut. Meskipun 40% pasien setelah hidup selama 5 dekade memiliki divertikula, kejadian ini terus meningkat menjadi 80% pada usia kehidupan dekade ke-9. Perdarahan merupakan faktor penyulit sebanyak 3% sampai 5% dari pasien dengan diverticulosis. Dasar anatomi penyebab dari perdarahan ialah pecahnya secara asimetris cabang intramural (di vasa recta) dari arteri marginal pada kubah divertikulum atau pada margin antimesenterikus. Divertikula paling sering terletak pada kolon sigmoid dan kolon descendens. Kemungkinannya disebabkan oleh faktor traumatis lumen, termasuk fecalith yang menyebabkan abrasi dari pembuluh darah, sehingga terjadi perdarahan. Perdarahan divertikular berasal dari vasa recta yang terletak di submukosa, yang dapat pecah pada bagian puncak atau leher dari divertikulum tersebut. Sampai disease colitis polyps and syndrome polyposis

dengan 20% dari pasien dengan penyakit divertikular mengalami pendarahan. Sebanyak 5% pasien, pendarahan karena penyakit divertikular dapat terjadi secara massif. Perdarahan dari penyakit divertikular berhenti secara spontan pada 80% pasien. Meskipun diverticulosis terjadi pada kolon kiri, sekitar 50% dari perdarahan divertikular berasal dari divertikulum yang terletak proksimal dari fleksura lienalis. Divertikula yang terletak pada sisi kanan dapat mengekspos bagian yang lebih besar dari vasa recta menjadi luka, karena mereka memiliki bagian leher yang lebih luas dan bagian kubah yang lebih besar dibandingkan dengan divertikulum khas pada kolon sisi kiri. b. Arteriovenous Malformation (Angiodysplasia) Angiodisplasia bertanggung jawab atas 3% sampai 20% dari kasus perdarahan saluran cerna bagian bawah. Angiodisplasia, yang juga disebut sebagai malformasi arteriovenosa, adalah distensi atau dilatasi dari pembuluh darah kecil pada submukosa saluran pencernaan. Pada pemeriksaan histologis spesimen pembedahan atau otopsi dari angiodisplasia diketahui bahwa mukosa diatasnya sering tipis, dan terjadi erosi dangkal. Angiodisplasia diidentifikasi terjadi pada 1% sampai 2% kasus dari evaluasi otopsi dan terjadi peningkatan jumlah seiring dengan bertambahnya usia pasien. Angiodisplasia dapat terjadi sepanjang saluran pencernaan dan merupakan penyebab paling umum dari perdarahan dari usus kecil pada pasien berusia di atas 50 tahun. Angiodisplasia tampak jelas pada kolonoskopi berwarna merah, lesi rata dengan diameter sekitar 2 sampai 10 mm. Lesi tampak seperti bintang, oval, tajam, atau tidak jelas. Meskipun angiografi mampu mengidentifikasi lesi, namun kolonoskopi adalah metode yang paling sensitif untuk mengidentifikasi angiodisplasia. Penggunaan meperidin selama kolonoskopi dapat menurunkan kemampuan untuk mengidentifikasi angiodisplasia karena terjadi penurunan aliran darah mukosa. Studi lain telah mengidentifikasi bahwa penggunaan antagonis narkotika dapat meningkatkan ukuran angiodisplasia dan meningkatkan tingkat deteksi. Pada angiografi, angiodisplasia tampak sebagai suatu dilatasi atau distensi, secara perlahan mengosongkan vena atau sebagai malformasi arteri dengan cepat, mengisi vena lebih awal. Lebih dari setengah angiodisplasia terdapat pada lokasi colon

kanan, dan pendarahan dari angiodisplasia berhubungan dengan distribusi ini. Angiodisplasia dapat berhubungan dengan kondisi medis, termasuk stadium akhir dari penyakit ginjal, stenosis aorta, penyakit von Willebrand, dan lain-lain. Masih belum jelas apakah hubungan ini mencerminkan kecenderungan perdarahan yang lebih besar pada angiodisplasia dalam kondisi ini atau apakah, sebenarnya, perdarahan angiodisplasia lebih umum terjadi karena penyebab strukturalnya. Angiodisplasia usus merupakan malformasi arteri yang terletak di sekum dan kolon ascenden. Angiodisplasia usus merupakan lesi yang diperoleh dan mempengaruhi orang tua berusia lebih dari 60 tahun. Lesi ini terdiri dari kelompokkelompok pembuluh darah yang berdilatasi, terutama pembuluh darah vena, pada mukosa dan submukosa kolon. Angiodisplasia kolon yang diduga terjadi sebagai akibat dari proses yang kronis, intermiten, obstruksi bagian rendah dari submukosa vena sambil mereka menembus lapisan otot dari kolon. Temuan karakteristik angiographik meliputi adanya kelompok-kelompok kecil arteri arteri selama tahap penelitian, akumulasi media kontras dalam lempeng vaskular, opacification awal, dan opacification persisten karena keterlambatan pengosongan vena. Jika angiografi mesenterika dilakukan pada saat pendarahan aktif, ekstravasasi media kontras dapat dilihat. Tidak seperti pendarahan divertikular, angiodisplasia cenderung menyebabkan pendarahan dengan episode lambat tetapi berulang. Oleh karena itu, pasien dengan angiodisplasia muncul dengan anemia dan episode pingsan. Angiodisplasia yang menyebabkan hilangnya darah dalam jumlah besar jarang didapat. Angiodisplasia dapat dengan mudah diketahui oleh kolonoskopi dengan gambaran potongan kecil berwarna merah dengan ukuran 1.5-2-mm pada mukosa. Pendarahan lesi aktif dapat diobati dengan elektrokoagulasi kolonoskopi c. Inflammatory Bowel Disease (IBD) Macam-macam kondisi peradangan dapat menyebabkan perdarahan saluran cerna bagian bawah yang akut. Perdarahan jarang muncul menjadi tanda, melainkan berkembang dalam perjalanan penyakitnya, dan penyebabnya diduga berdasarkan riwayat pasien. Sampai dengan 20% kasus perdarahan saluran cerna bagian bawah

akut disebabkan oleh salah satu kondisi peradangan. Kebanyakan pendarahan berhenti secara spontan atau dengan terapi spesifik pada penyebabnya. Perdarahan merumitkan jalannya kolitis ulserativa hingga 15% kasus. Kolektomi darurat pada kasus pendarahan terus-menerus terjadi sebanyak 6% sampai 10% dari kolektomi darurat bedah pada pasien dengan penyakit ini. Penyakit Crohn, cenderung kurang menyebabkan perdarahan kolon dan terjadi pada sekitar 1% dari pasien dengan kondisi ini. Penyebab infeksi meliputi Escherichia coli, tifus, sitomegalovirus, dan Clostridium difficile. Cedera radiasi paling umum terjadi pada rectum setelah radioterapi panggul untuk prostat atau keganasan ginekologi. Pendarahan biasanya terjadi 1 tahun setelah pengobatan radiasi, tetapi dapat juga terjadi hingga 4 tahun kemudian. Pasien dengan imunosupresi atau mempunyah immunodeficiency syndrome (AIDS) beresiko terjadinya perdarahan saluran cerna bagian bawah karena penyebab yang unik. Sitomegalovirus adalah penyebab paling umum: sarcoma Kaposis, histoplasmosis, dan perianal fistula dan fissures juga menjadi masalah dan lebih cenderung terjadi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia akibat AIDS. Perdarahan masif karena IBD jarang terjadi. Kolitis menyebabkan diare berdarah pada banyak kasus. Pada hingga 50% pasien dengan kolitis ulserativa, perdarahan gartointestinal bagian bawah ringan-sedang muncul, dan sekitar 4% pasien dengan kolitis ulserativa terjadi perdarahan yang masif. Perdarahan saluran cerna bagian bawah pada pasien dengan penyakit Crohns jarang terjadi, tidak seperti pada pasien dengan kolitis ulserativa, hanya 1-2% pasien dengan penyakit Crohns terjadi perdarahan yang masif. Pada sumber lain mengatakan hanya kurang dari 1% pasien saja. Walaupun begitu, kejadian tersebut membutuhkan operasi darurat. Frekuensi perdarahan pada pasien dengan penyakit Crohns, lebih umum terjadi secara signifikan dengan adanya keterlibatan kolon dibandingkan dengan hanya keterlibatan usus kecil saja. Kolitis iskemik, merupakan bentuk yang paling umum dari cedera iskemik pada sistem pencernaan, sering melibatkan daerah batas air (watershed), termasuk fleksura lienalis dan rectosigmoid junction. Pada kebanyakan kasus, faktor presipitasinya tidak dapat diketahui. Iskemia kolon merupakan penyakit pada orang

tua lanjut usia dan umumnya terjadi setelah dekade keenam pasien. Iskemia menyebabkan peluruhan mukosa dan peluruhan ketebalan parsial dinding kolon, edema, dan pendarahan. Kolitis iskemik tidak berhubungan dengan kehilangan darah yang signifikan atau hematochezia, walaupun sakit perut dan diare berdarah adalah manifestasi klinis yang utama. d. Benign Anorectal Disease Penyakit anorektal jinak (misalnya, hemorrhoid, fissure ani, fistula anorektal) dapat menyebabkan perdarahan rektum intermiten. Pendarahan anus yang masif disebabkan penyakit anorektal jinak juga telah dilaporkan. Tinjauan database VA menunjukkan bahwa 11% dari pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian bawah terjadi dari penyakit anorektal. Pasien yang memiliki varises rektum dengan hipertensi portal dapat membuat pendarahan masif saluran cerna bagian bawah tanpa rasa sakit, sehingga pemeriksaan awal anorectum menjadi penting. Jika diketahui terjadi pendarahan aktif, mengobatinya harus agresif. Perhatikan bahwa penemuan penyakit anorektal jinak tidak mengenyampingkan kemungkinan pendarahan yang lebih proksimal dari saluran cerna bagian bawah. Hemorrhoid biasanya dicatat pada pemeriksaan fisik lebih dari separuh pasien dengan perdarahan saluran cerna bawah. Kurang dari 2% perdarahan disebabkan oleh lesi ini. Kecuali tanda tegas perdarahan yang jelas pada anoscopi, dan pemeriksaan pasien untuk pendarahan saluran cerna bagian bawah yang disebabkan oleh sumber lain harus dihilangkan. Pasien dengan hipertensi portal dapat membuat perdarahan yang masif dari hemorrhoid, seperti juga pada pasien trombositopenia terkait HIV dengan hemorrhoid. Skin tag anal mempunyai ciri-ciri terdiri dari lipatan kulit yang berbatasan dengan anus. Ciri-ciri tersebut menghasilkan haemorrhoid eksternal trombosis, atau jarang dikaitkan dengan penyakit radang usus. Haemorrhoid internal berada di atas linea dentata yang dilapisi oleh sel epitel transisional dan slindris. e. Neoplasma Neoplasma kolon, termasuk polip adenomatosa, polip juvenile, dan karsinoma, muncul dalam bentuk dan sifat yang bermacam-macam. Biasanya, perdarahan dari lesi ini lambat, ditandai dengan pendarahan samar dan anemia sekunder.

Neoplasma ini juga dapat berdarah dengan cepat, namun, dan pada beberapa bentuk, sampai dengan 20% dari kasus perdarahan akut pada akhirnya ditemukan muncul karena polip kolon atau kanker. Sedangkan, Polip juvenile merupakan penyebab perdarahan kedua paling umum pada pasien lebih muda dari usia 20 tahun. Adenokarsinoma kolorektal adalah kanker paling umum ketiga di Amerika Serikat. Karsinoma kolorektal menyebabkan perdarahan samar, dan pasien biasanya dating dengan anemia dan episode syncop. Insidensi terjadinya perdarahan yang masif disebabkan karsinoma kolorektal bervariasi 5-20% dalam bentuk yang berbeda. Perdarahan postpolipektomi dilaporkan terjadi hingga 1 bulan berikutnya yang diikuti reseksi kolonoskopi. Insidensi yang dilaporkan adalah antara 0,2-3%. Perdarahan postpolipektomi dapat dikelola oleh elektrokoagulasi pada letak polipektomi/pendarahan dengan menggunakan baik snare maupun forsep biopsi panas atau dengan suntikan epinefrin. f. Penyakit vascular Penyebab vaskuler dari pendarahan saluran cerna bagian bawah akut meliputi vasculitides (polyarteritis nodosa, granulomatosis Wegeners, rheumatoid arthritis, dan lain-lain), yang disebabkan oleh ulserasi punktata dari usus besar dan usus kecil. Iskemia kolon dengan ulserasi dan kerapuhan mukosa dapat juga menyebabkan perdarahan akut, yang sering kali muncul pada sakit perut akut dan sepsis. Iskemia mesenterika akut dapat didahului dengan sebuah episode hematochezia yang muncul dengan sakit perut yang parah, penyakit pembuluh darah yang sudah ada sebelumnya, risiko emboli arteri, atau hiperkoagulabilitas. Meskipun pendarahan merupakan unsur dalam pengelolaan klinis pasien ini, namun jarang kontrol perdarahan menjadi fokus utama dari terapinya. Sebaliknya pemulihan perfusi visceral adalah tujuan terapi utama. 8. Patofisiologi perdarahan per rectum yang keluar bersama lendir dan Pendarahan adalah gejala yang paling umum dari kanker dubur, terjadi pada 60% pasien. Pendarahan sering dikaitkan dengan penyebab lain (misalnya, wasir), terutama jika pasien memiliki riwayat masalah rektal lainnya. Pendarahan yang banyak dan penyebab berat badan turun

anemia jarang terjadi. Perdarahan dapat disertai dengan pengeluaran lendir, yang menjamin penyelidikan lebih lanjut (Cagir B et al, 2012). Perdarahan per rectum yang disertai lendir diakibatkan karena proliferasi berlebihan dari kelenjar epitel sehingga menghasilkan mukus yang lebih banyak. Penyebab berat badan turun adalah karena sel-sel tumor menyebabkan metabolisme tubuh menjadi cepat sehingga kalori menjadi cepat terbakar, selain itu sifat tumor adalah angiogenesis, hal ini juga menyebabkan adanya peredaran darah baru di sel-sel tumor tersebut, dan nutrisi yang dibawa oleh pembuluh darah tubuh banyak diserap oleh pembuluh darah dari tumor tersebut, akibatnya berat badan pasien menjadi berkurang. 9. Pemeriksaan penunjang untuk penyakit dan untuk menilai metastasis
a. Double Contrast Barium Enema (DCBE)

Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan dengan barium enema dapat dilakukan dengan single

contrastprocedure (barium saja) atau double contrast procedure (udara dan barium). Kombinasin udara dan barium menghasilkan visualisasi mukosa yang lebih detail. Akan tetapibarium enema hanya bisa mendeteksi lesi yang signifikan (lebih dari 1 cm). DCBEmemiliki spesifisitas untuk adenoma yang besar 96% dengan nilai prediksi negatif 98%.Metode ini kurang efektif untuk mendeteksi polip di rectosigmoid colon.
b. Double Contrast Barium Enema (DCBE)

Pemeriksaan

dengan

barium

enema

dapat

dilakukan

dengan

single

contrastprocedure (barium saja) atau double contrast procedure (udara dan barium). Kombinasin udara dan barium menghasilkan visualisasi mukosa yang lebih detail. Akan tetapibarium enema hanya bisa mendeteksi lesi yang signifikan (lebih dari 1 cm). DCBEmemiliki spesifisitas untuk adenoma yang besar 96% dengan nilai prediksi negatif 98%.Metode ini kurang efektif untuk mendeteksi polip di rectosigmoid colon. Pemeriksaan ini mempunyai keuntungan sebagai berikut : Sensitifitas untuk KKR 65-95 % Tidak memerlukan sedasi

Keberhasilan prosedur sangat tinggi Tersedia hampir diseluruh rumah sakit Cukup aman Sedangkan kelemahan pemeriksaan enema barium adalah : % c. Endoskopi Jenis endoskopi yang dapat digunakan adalah Sigmoidoskopi rigid, sigmoidoskopi fleksibel, dan kolonoskopi. Sigmoidoskopi fleksibel lebih efektif dibandingkan dengan yang rigid untuk visualisasi kolon dan rektum. Dapat mendeteksi polip yang berukuran > 9 mm. Sensitifitas dan spesifitas kolonoskopi akan semakin tinggi bila persiapan kolon, sedasi dan kompetensi operator semakin baik. Keuntungan kolonoskopi sebagai berikut : Sensitivitas untuk polip dan adenokarsinoma kolorektal 95 % Dapat lansung dilakukan sebagai biopsi untuk diagnostic Untuk lesi synchronous polyp dapat dilakukan reseksi Tidak ada paparan radiasi 5-30 % kasus pemeriksaan tidak sampai ke sekum Lokalisasi tumor dapat tidak akurat Harus selalu sedasi intravena Mortalitas 1:5000 kolonoskopi Mendapat paparan radiasi LesiT 1 sering tidak terdiagnosa Lesi direktosigmoid dengan divertikulosis dan sekum,

akurasinya rendah Akurasinya rendah untuk lesi dengan tipe datar Untuk Polip dengan ukuran < 1 cm. Sensitivitasnya hanya 70-95

Sedangkan kelemahannya adalah :

d. Pneumocolon Computed Tomography (PcT)

Dapat dilakukan pemeriksaan ini bila ada ahli radiologi yang berkompeten dengan keuntungan : Sensitivitas tinggi dalam mendiagnosa KKR Toleransi dari penderita baik Dapat memberikan informasi kondisi diluar kolon,termasuk

menentukan stadium invasi lokal, metastasis hepar, dan kelenjar getah bening. Namun kerugiannya adalah : 10. Tidak dapat mendiagnosa polip < 10 mm. Memerlukan radiasi yang lebih tinggi Jumlah dokter spesialis radiologi yang berkompeten masih terbatas Tidak dapat dilakukan biopsi dan polipektomi. Penatalaksanaan dan prognosis Terapi kolon dan rektum merupakan terapi multimodalitas dengan andalan utama adalah terapi pembedahan. Tetapi dari laporan beberapa rumah sakit pusat pendidikan di Indonesia ternyata bahwa 70% - 80% dari penderita tidak dapat dioperasi karena buruknya keadaan umum atau datang sudah dalam stadium lanjut. Modalitas terapi pada kasus kolon dan rektum terdiri dari: a. Operasi kuratif dan operasi paliatif b. Kemoterapi adjuvan dan neoadjuvan c. Kemoradioterapi pre dan paska operasi d. Immunoterapi (Zahari, 2007) Terapi pembedahan Pembedahan tetap merupakan pilihan utama pada penatalaksanaan kanker kolon dan rektum yang masih terlokalisir. Harus diusahakan agar antara saat membuat diagnosis sampai melakukan operasi kanker kolon dan rektum harus tidak boleh lebih lama dari 4 minggu. Ada 2 hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan pembedahan pada KKR yaitu terjadinya trombosis vena dan infeksi luka. Oleh karena itu persiapan pencegahan tromboemboli vena dan antibiotika profilaksis serta persiapan operasi usus.

Operasi untuk kanker kolon yang radikal dan kuratif adalah mengangkat satu blok jaringan lymphovascular. Untuk kanker kolon dapat dilakukan operasi seperti hemikolokektomi kanan dan hemikolektomi kanan diperluas untuk tumor kolon ascenden dan fleksura hepatika. Kanker kolon yang berlokasi di kolon transversum bagian tengah dilakukan reseksi kolon transversum sedangkan kanker di fleksura lienalis dan kolon descenden dilakukan hemikolektomi kiri diperluas atau hemikolektomi saja. Bila lokasi tumor di kolon sigmoid, dapat dilakukan reseksi kolon sigmoid atau hemikolektomi kiri. Pembedahan kanker rektum, ditemukan banyak bukti penelitian, TME dapat mengurangi rekurensi lokal, memperbaiki angka ketahanan hidup dan dapat meminimalisir terjadinya disfungsi seksual dan kandung kemih. TME diindikasikan terutama pada kanker rektum letak sepertiga tengah dan bawah. Untuk kanker rektum letak rendah dapat dilakukan penyambungan langsung/anastomosis antara kolon dan anal. Pembedahan pada penyakit KKR lanjut dengan metastase hati dan atau paru maka dilakukan insitu ablation; stenting; laser ablation.Kadang-kadang hanya dilakukan stoma saja karena tidak tersedianya fasilitas diatas (Zahari, 2007). Terapi Adjuvan Radioterapi Lavery mengatakan bahwa kekambuhan paska operasi kanker rektum dengan KGB positif mencapai 60%. Terjadi umumnya pada 2 tahun pertama 20-30%. Untuk memperbaii hasil ini diberkan radiasi pre dan paska operasi dan kemoterapi. Radiasi pada kanker rectum dapat diberikan sebagai radiasi eksterna paska operasi; pra operasi dan kemoradiasi (Zahari, 2007). Kemoterapi Tanpa pemberian kemoterapi pasien-pasien kanker kolon dan rectum stadium III hanya mempunyai masa bebas penyait 3 tahun sebesar 52%. Indikasi pemberian kemoterapi untuk mencegah kekambuhan dengan criteria : a. b. c. d. Derajat keganasan 3 Invasi tumor ke limfatik dan pembuluh darah Adanya obstruksi usus Kelenjar yang diperiksa kurang dari 12

e. f. g. h.

Stasium T4, N0, M0, atau T3 dengan perforasi terlokalisasi Tepi sayatan dengan positif untuk tumor Tepi sayatan dengan penentuan batas yang terlalu dekat dengan tumor/ sulit

ditentukan Standar kemoterapi sebagai terapi adjuvan saat ini adalah 5FU/LV selama 6 bulan (Zahari, 2007). Stadium dan Prognosis Prognosis dari pasien KKR berhubungan dengan dalamnya penetrasi tumor ke dinding kolon, keterlibatan KGB regional atau metastasis jauh. Semua variable ini digabung sehingga dapat ditentuan system staging yang awalnya dipeerlihatkan oleh Dukes, dan diaplikasi dalam metode klasifikasi TNM dalam hal ini, T menunjukan kedalaman penetrasi tumor, N menandakan keterlibatan kelenjar getah bening dan M ada tidaknya metastasis jauh. TNM klasifikasi untuk kanker usus besar dan rektum (AJCC) Tumor primer (T) adalah sebagai berikut: TX - tumor primer tidak dapat dinilai atau kedalaman penetrasi tidak ditentukan T0 - Tidak ada bukti tumor primer Tis - Karsinoma in situ (mukosa); intraepithelial atau invasi dari lamina propria T1 - Tumor menginvasi submucosa T2 - Tumor menginvasi propria muskularis T3 - Tumor menginvasi melalui propria muskularis ke subserosa atau ke nonperitonealized jaringan pericolic atau perirectal T4 - Tumor menginvasi organ lain secara langsung atau struktur dan / atau perforates peritoneum viseral Kelenjar getah bening regional (N) adalah sebagai berikut: NX - kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai N0 - Tidak ada metastasis simpul getah bening regional N1 - Metastasis di kelenjar getah bening 1-3 pericolic atau perirectal N2 - Metastasis di 4 atau lebih kelenjar getah bening pericolic atau perirectal

N3 - Metastasis dalam kelenjar getah bening sepanjang bernama perjalanan batang vaskular Metastasis jauh (M) adalah sebagai berikut: MX - Kehadiran metastasis tidak dapat dinilai M0 - Tidak ada metastasis jauh M1 - metastasis Jauh Stadium Dukes TNM A B1 B2 C T1N0M0 T2N0M0 T3N0M0 TXN1M0 Deskripsi Histopalogis Derajat I I II III IV Bertahan 5 tahun (%) Kanker terbatas pada mukosa/ >90 submukosa Kanker mencapai muskularis 85 Kanker cenderung masuk atau 70-80 melewati lapisan serosa Tumor melibatkan regional Metastasis KGB 35-65 5

D TXN2M1 (Sudoyo, 2009)

BAB III KESIMPULAN

Daftar Pustaka Adi, Pangestu. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Alteri L, et al. 2011. Colorectal Cancer Facts & Figures 2011-2013. Atlanta: American Cancer Society. Diunduh dari: http://www.cancer.org/acs/groups/content/@epidemiologysurveilance/documents/d ocument/acspc-028323.pdf American Cancer Society. 2012. Five Myths About Colorectal Cancer. Amerika: American Cancer Society. Inc Diunduh dari: http://www.cancer.org/Cancer/ColonandRectumCancer/MoreInformation/fivemyths-about-colorectal-cancer Brozek W, et al. 2009. Mutual Associations between Malignancy, Age, Gender, and Subsite Incidence of Colorectal Cancer. Inggris: International Institute of Anticancer Research (IIAR). Dinduh dari: http://ar.iiarjournals.org/content/29/9/3721.full Cagir B, et al. 2012. Rectal Cancer. New York: Medscape. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/281237-clinical Centers for Disease Control and Prevention. 2006. Inflammatory Bowel Disease. USA Diunduh dari: http://www.cdc.gov/ibd/ Desen, Wang. 2011. Buku Ajar Onkologi Klinis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Ganong W. F. 19.. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. Jakarta : EGC Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Ed. 11. Jakarta Penerbit Buku Kedokteran EGC Grace, Pierce A., Borley, Neil R., 2006. At a Glance Ilmu Bedah, Ed. 3. Jakarta: Penerbit Erlangga Kumar V, et al. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7. Jakarta: EGC. Longmore M, et al. 2010. Oxford Handbook of Clinical Medicine. Inggris: Oxford University Press

Sabatine, Marc S. 2011. Gastrointestinal Bleeding, Pocket Medicine: The Massachusetts General Hospital Handbook of Internal Medicine Fourth Edition. Wolters Kluwer Health and Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. Section: GIB 3 3. Shuhart, Margaret, M.D., Kris Kowdley, M.D., dan Bill Neighbor, M.D., Gastrointestinal Bleeding. Medline Article, Vol.41. Diunduh dari: http://www.uwgi.org/guidelines/ch_07/ch07txt.htm Sudoyo, Aru. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 5. Jakarta: Internal Publishing. p: 570 Zahari, A. 2007. Deteksi Dini, Diagnosa, Dan Penatalaksanaan Kanker Kolon Dan Rektum. Fakultas Kedokteran Andalas. Sumatra: Padang

Anda mungkin juga menyukai