Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Resusitasi merupakan sebuah upaya menyediakan oksigen ke otak, jantung

dan organ-organ vital lainnya melalui sebuah tindakan yang meliputi pemijatan jantung dan menjamin ventilasi yang adekuat. Tindakan ini merupakan tindakan kritis yang dilakukan pada saat terjadi kegawatdaruratan terutama pada sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler. Kegawatdaruratan pada kedua sistem tubuh ini dapat menimbulkan kematian dalam waktu yang singkat yakni sekitar 4-6 menit.1 Henti jantung dan henti nafas merupakan kejadian yang sering terjadi di kegawatdaruratan. Angka mortalitas henti napas dan henti jantung tergolong tinggi. Pada banyak kasus sebenarnya kematian mendadak sebagai akibat stroke, infark miokard, kelebihan dosis obat dan trauma hebat dapat dicegah bila tindakan resusitasi dilakukan secara tepat.2 Henti jantung adalah bila jantung berhenti berkontraksi dan memompa darah. Henti jantung merupakan kegawatan medik yang paling akut yang dihadapi oleh staf medik yang sering tidak menunjukkan tanda-tanda awal sebelumnya. Henti nafas terjadi bila nafas berhenti (apnea). Kedua keadaan ini saling terkait.3 Chain of Survival dari resusitasi terdiri dari empat mata rantai yakni segera menjangkau pelayanan gawat darurat, segera bantuan hidup dasar, segera defibrilasi dan segera bantuan hidup lanjut. Bantuan hidup dasar yang diberikan dini terbukti bermanfaat meningkatkan kualitas dan kuantitas survival. Jika henti jantung disebabkan fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel, kunci keberhasilan utama adalah defibrilasi dini. Bantuan hidup lanjut sangat penting jika defibrilasi gagal mengembalikan sirkulasi. Hasil penelitian Bresus menunjukkan fibrilasi ventrikel merupakan irama yang ditemui pada hampir 50% pasien henti jantung. Survival dini sesudah henti jantung di dalam rumah sakit adalah 40%. Penelitian dari Gwinott atas 1500 henti jantung tahun 1997, menunjukkan kejadian fibrilasi ventrikel sebagai irama awal telah menurun hingga 37% dimana 40% diantaranya pulang hidup. Survival keseluruhan adalah 17,6%.3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Resusitasi Jantung Paru Resusitasi jantung paru otak dibagi dalam tiga fase :2 1. Bantuan hidup dasar 2. Bantuan hidup lanjut 3. Bantuan hidup jangka lama

2.1.1

Bantuan Hidup Dasar Bantuan hidup dasar merupakan dasar dalam penyelamatan hidup setelah

terjadinya henti jantung. Aspek penting dari BHD pada usia dewasa meliputi identifikasi secara sepat henti jantung mendadak, tindakan awal RJP yang berkualitas (kuat dan cepat), dan defibrilasi secepatnya.4 Bantuan hidup dasar bertujuan untuk oksigenasi darurat secara efektif pada organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara normal. Resusitasi mencegah agar sel-sel tidak rusak akibat kekurangan oksigen. Sirkulasi yang berhenti 3-4 menit akan mengakibatkan kerusakan otak yang permanen. Jika pasien mengalami hipoksemia sebelumnya, batas waktu menjadi lebih pendek.5 Indikasi bantuan hidup dasar yakni : 1. Henti nafas (apnoe) Bila terjadi henti nafas primer, jantung dapat terus memompa darah selama beberapa menit, dan sisa O2 yang ada di dalam paru dan darah akan terus beredar ke otak dan organ vital lain. Penanganan dini pada korban dengan henti nafas atau sumbatan jalan nafas dapat mencegah henti jantung.2 2. Henti jantung (cardiac arrest) Bila terjadi henti jantung primer, Oksigen tidak beredar dan oksigen uang tersisa dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik.2

Bantuan hidup dasar untuk oksigenasi darurat terdiri dari : 1. Airway Control ( penguasaan jalan nafas) Sumbatan jalan nafas oleh lidah yang menutupi dinding posterior faring merupakan persoalan yang sering timbul pada pasien tidak sadar yang terlentang.2 Terdapat tiga cara yang dianjurkan untuk menjaga agar jalan nafas tetap terbuka, yaitu: a. Metode ekstensi kepala dan angkat leher Penolong mengekstensikan kepala korban dan dengan satu tangan sementara tangan yang lain menyangga bagian atas leher korban.2 b. Metode ekstensi kepala angkat dagu Kepala diekstensikan dan dagu diangkat ke atas. Metode ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan penolong mendorong dahi ke bawah supaya kepala tengadah, tangan lain mendorong dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap ke atas dan epiglotis terbuka.2

Gambar 2.1 Metode Chin Lift

c.

Metode ekstensi kepala dan dorong mandibula Kepala diekstensikan dan mandibula didorong maju dengan memegang

sudut mandibula korban pada kedua sisi dan mendorongnya ke depan.2 Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat didorong ke depan pada sendinya tanpa menggerakkan kepala-leher.5 Pendorongan mandibula saja tanpa ekstensi kepala juga merupakan metode paling aman untuk memelihara jalan nafas atas tetap terbuka, pada pasien dengan dugaan patah tulang leher. 5

Gambar 2.2 Metode Jaw Thrust

Bila korban yang tidak sadar bernafas spontan dan adekuat (tidak ada sianosis), korban sebaiknya diletakkan dalam posisi sisi mantap untuk mencegah aspirasi. Ekstensikan kepalanya dan pertahankan mukanya lebih rendah. Letakkan tangan pasien sebelah atas di bawah pipi sebelah bawah untuk mempertahankan ekstensi kepala dan mencegah pasien berguling ke depan. Lengan sebelah bawah yang berada di punggungnya, mencegah pasien terguling ke belakang.2

2.

Breathing support (ventilasi buatan dan oksigenasi paru darurat) Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang

terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh.6 Setelah jalan nafas terbuka, penolong hendaknya segera menilai apakah pasien dapat bernafas spontan. Ini dapat dilakukan dengan mendengarkan bunyi nafas dari hidung dan mulut korban dengan memperhatikan gerak nafas pada dada korban.2 Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi.6

Gambar 2.3 Mouth to mouth

Bila pernafasan spontan tidak timbul, diperlukan ventilasi buatan.2 Nafas buatan tanpa alat dapat dilakukan dengan cara mulut ke mulut (mouth-to-mouth), mulut ke hidung (mouth-to-nose), mulut ke stoma trakeostomi atau mulut ke mulut via sungkup muka.5 Untuk melakukan ventilasi mulut-kemulut penolong hendaknya mempertahankan kepala dan leher korban dalam salah satu sikap yang telah disebutkan di atas dan memencet hidung korban dengan satu tangan atau menutup lubang hidung pasien dengan pipi penolong. Selanjutnya diberikan 2 kali ventilasi dalam dalam (1 kali ventilasi = 1-1 detik). Kemudian segera raba denyut nadi karotis atau femoralis. Bila ia tetap henti nafas tetapi masih mempunyai denyut nadi diberikan ventilasi dalam (800-1200 ml) setiap 5 detik.2 Bila denyut nadi karotis tak teraba, 2 kali ventilasi dalam harus diberikan sesudah tiap 30 kompresi dada.2,4

Gambar 2.4. Pijat jantung

Bila ventilasi mulut ke mulut atau mulut ke hidung tidak berhasil baik, walaupun jalan nafas telah dicoba dibuka, faring korban harus diperiksa untuk melihat apakah ada sekresi atau benda asing. Pada tindakan jari menyapu hendaknya korban digulingkan pada salah satu sisinya. Sesudah dengan paksa membuka mulut korban dengan satu tangan memegang lidah dan rahangnya, penolong memasukkan jari telunjuk dan jari tengah tangan yang lain ke dalam satu sisi mulut korban, melalui bagian belakang faring, keluar lagi melalui sisi lain mulut korban dalam satu gerakan menyapu. Bila tindakan ini gagal untuk mengeluarkan benda asing, hendaknya dikerjakan hentakan abdomen

(abdominal thrust, gerak heimlich) atau hentakan dada (chest thrust). Hentakan

dada dilakukan pada korban yang terlentang, tekhnik ini sama dengan kompresi dada luar. Urutan yang dianjurkan adalah berikan 6-10 x hentakan abdomen, buka mulut dan lakukan sapuan jari, reposisi pasien, buka jalan nafas dan beri ventilasi buatan. Urutan ini hendaknya diulang sampai benda asing keluar dan ventilasi buatan dapat dilakukan dengan sukses.2 Bila sesudah dilakukan gerakan triple (ekstensi kepala, buka mulut dan dorong mandibula) dan pembersihan mulut dan faring, ternyata masih ada sumbatan jalan nafas, dapat dicoba pemasangan orofaringeal airway atau nasofaringeal airway. Bila dengan ini belum berhasil, perlu dilakukan intubasi trakheal. Bila tidak mungkin atau tidak dapat dilakukan intubasi trakheal sebagai alternatifnya, krikotirotomi atau punksi membran krikotiroid dengan jarum berlumen besar ( misal dengan kanula intra vena 14 G).2

3.

Circulation support Circulation support merupakan langkah untuk pengenalan tidak adanya

denyut nadi dan pengadaan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung, penghentian perdarahan dan posisi untuk shock. Circulation support digambarkan melalui : a. Volume darah dan cardiac output Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah. Suatu keadaan hipotensi pada penderita trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemi sampai terbukti sebaliknya. Ada tiga penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik yakni tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi.6 b. Tingkat kesadaran Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang dapat mengakibatkan penurunan kesadaran.6 c. Warna kulit Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Penderita trauma yang kulitnya kemerahan terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemia.6

d.

Nadi Pemeriksaan nadi besar seperti a.femoralis atau a.karotis (kiri-kanan),

untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normo-volemia (bila penderita tidak minum obat beta-blocker). Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan bahwa normovolemia. Nadi yang tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi segera.6 e. Perdarahan Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Spalk udara (pneumatic splinting device) juga dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan. Sumber perdarahan internal (tidak terlihat) adalah perdarahan dalam rongga toraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang, retro-peritoneal akibat fraktur pelvis atau sebagai akibat daari luka tembus dada/perut.6 Penilaian lain dapat dilihat juga pada tanda-tanda henti jantung, yakni kesadaran hilang (dalam waktu 15 detik setelah henti jantung), tak teraba denyut arteri besar (femoralis dan karotis pada orang dewasa atau brakialis pada bayi), henti nafas atau mengap-mengap (gasping), terlihat seperti mati (death like appearance), warna kulit pucat sampai kelabu, pupil dilatasi (45 detik setelah henti jantung). Diagnosis henti jantung dapat ditegakkan bila pasien tidak sadar dan tidak teraba denyut arteri besar. Pemberian ventilasi buatan dan kompresi dada luar diperlukan pada keadaan sangat gawat ini.2 Langkah dalam melakukan kompresi dada luar yakni korban hendaknya terlentang pada permukaan yang keras bila kompresi dada luar dilakukan. Penolong berlutut di samping korban dan meletakkan pangkal sebelah tangannya di atas tengah pertengahan bawah sternum korban sepanjang sumbu panjangnya dengan jarak 2 jari seafalad dari persambungan sifisternum. Tangan penolong yang lain diletakkan di atas tangan pertama. Dengan jari-jari terkunci, lengan lurus dan kedua bahu tepat di atas sternum korban, penolong memberikan tekanan vertikal ke bawah yang cukup untuk menekan sternum 4-5 cm. Setelah kompresi harus ada relaksasi.2 Bila ada satu penolong, 30 kompresi dada luar

(laju : 80-100 kali/menit = 9-12 detik) harus diikuti dengan pemberian 2 kali ventilasi dalam (2-3 detik).2,4 Perkembangan terbaru pada Guideline AHA untuk RJP dan perawatan kegawatan kardiovaskular tahun 2010 adalah perubahan urutan langkah Bantuan Hidup Dasar dari ABC menjadi CAB baik untuk pasien dewasa maupun anakanak (anak dan balita kecuali bayi baru lahir). Guideline AHA untuk RJP dan perawatan kegawatan kardiovaskular tahun 2010 merekomendasikan perubahan ini karena: 1. Sebagian besar henti jantung terjadi pada dewasa dan angka keberhasilan tertinggi adalah henti jantung yang terjadi pada pasien henti jantung dengan irama VF ( ventricular fibrillation) atau VT (ventricular tachycardia) tanpa nadi. Pada pasien-pasien ini elemen awal yang paling penting dari RJP adalah kompresi dada dan defibrilasi secepatnya. 2. Pada urutan kompresi dada ABC seringkali terlambat ketika penolong membuka jalan nafas untuk memberikan bantuan nafas dari mulut ke mulut atau memasukkan perlengkapan ventilasi. Dengan merubah ke urutan CAB, kompresi dada dapat dimulai lebih cepat dan ventilasi hanya akan sedikit memperlambat kompresi dada hingga selesai satu siklus (kompresi 30 kali diselesaikan dalam waktu 18 detik).

2.1.2. Bantuan Hidup Lanjut Bantuan hidup lanjut berhubungan dengan teknik untuk memperbaiki ventilasi dan oksigenasi korban dan pada diagnosis serta terapi gangguan irama utama selama henti jantung.2 Bantuan hidup kardiovaskular lanjut meliputi intervensi untuk mencegah henti jantung, menangani henti jantung, dan meningkatkan luaran pasien yang mencapai kembalinya sirkulasi yang spontan setelah henti jantung.4 Setelah dilakukan CAB RJP dan belum timbul denyut jantung spontan, maka resusitasi diteruskan seperti langkah berikut :2 1. Disability Menjelang akhir primary survey, dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat, yang dinilai adalah tingkat kesadaran serta ukuran dan

reaksi pupil. Satu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah metode AVPU.6 A : Alert (sadar) V : Respon terhadap rangsangan vokal (suara) P : Respon terhadap rangsangan nyeri (pain) U : Unresponsive (tidak ada respon) Cara lain yang digunakan sebagai pengganti AVPU yaitu GCS (Glasgow Coma Scale) yang merupakan sistem scoring yang sederhana yang dapat meramal kesudahan atau outcome penderita.6 Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi dan atau penurunan perfusi ke otak atau disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi ventilasi dan perfusi.6 Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita. Walaupun demikian, bila sudah disingkirkan kemungkinan hipoksia atau hipovolemia sebagai sebab penurunan kesadaran, maka trauma capitis dianggap sebagai penyebab penurunan kesadaran dan bukan alkoholisme sampai terbukti sebaliknya.6 2. Exposure (kontrol lingkungan) Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya dengan cara menggunting guna memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka, penting agar penderita tidak kedinginan (mencegah hipotermi), harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah dihangatkan.6

2.1.3. Bantuan Hidup Jangka Lama Bantuan hidup jangka lama merupakan pengelolaan pasca resusitasi yang terdiri dari: 1. Gauging Gauging merupakan cara untuk menentukan dan memberi terapi penyebab kematian dan menilai sampai sejauh mana pasien dapat diselamatkan.2

10

2.

Human Mentation Sistem saraf pusat diharapkan pulih dengan tindakan resusitasi otak yang
2

baru. 3.

Intensive care Intensive care merupakan resusitasi jangka panjang. Jenis pengelolaan yang

diperlukan pasien yang telah mendapat resusitasi bergantung kepada hasil resusitasi. Pasien yang tidak mempunyai defisit neurologis dan tekanan darah terpelihara normal tanpa aritmia hanya memerlukan pantauan intensif dan observasi terus-menerus terhadap sirkulasi, pernafasan, fungsi otak, ginjal dan hati. Pasien yang mempunyai kegagalan satu atau lebih dari satu sistem, memerlukan bantuan ventilasi atau sirkulasi, terapi aritmia, dialisis dan resusitasi otak.2 Organ yang paling terpengaruh oleh kerusakan hipoksemia dan iskemik selama henti jantung adalah otak. Bila pasien tetap tidak sadar hendaknya dilakukan upaya untuk memelihara perfusi dan oksigenasi otak. Tindakantindakan ini meliputi penggunaan agen vasoaktif untuk memelihara tekanan darah sistemik yang normal, penggunaan steroid untuk mengurangi sebab otak dan penggunaan diuretik untuk menurunkan tekanan intra kranial. Oksigen tambahan hendaknya diberikan dan hiperventilasi derajat sedang juga membantu (Pa CO2 = 25-30 mmHg).2

2.2.

Teknik RJP dan Peralatannya Telah dikembangkan teknik baru manual RJP sebagai usaha untuk

memperbaiki perfusi selama resusitasi pada pasien dengan henti jantung, untuk memperbaiki kurva harapan hidup. Dibandingkan dengan teknik RJP sebelumnya, teknik-teknik dan peralatan lebih membutuhkan banyak orang, pelatihan dan alatalat, atau teknik spesifik lainnya. Beberapa teknik dari RJP dan peralatannya memperbaiki hemodinamik dan angka keselamatan jangka pendek jika digunakan oleh penolong yang terlatih.4 Penggunaan beberapa peralatan telah menjadi fokus utama dari penelitian klinis baru. Penggunaan dari Impedance Threshold Device (ITD) meningkatkan terjadinya ROSC (kembalinya sirkulasi secara spontan) dan survival jangka

11

pendek jika digunakan pada pasien henti jantung di luar rumah sakit, namun tidak ada kemajuan berarti pada pasien yang berhasil selamat dan keluar dari rumah sakit atau secara neurologi klinisnya membaik.4 Teknik RJP dimulai dengan mengkompresi dada sebelum memberikan bantuan nafas (C-A-B daripada A-B-C). Kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin, sedangkan tindakan mengatur posisi kepala, mendapatkan lapisan penutup untuk bantuan nafas dari mulut ke mulut atau memasang masker akan memakan waktu. Dengan memulai kompresi dada 30 kali dibandingkan ventilasi 2 kali akan mempersingkat perlambatan kompresi pertama.4 Kompresi dada yang adekuat memerlukan kompresi dengan kedalaman dan kecepatan yang sesuai, dengan pengembangan dada yang komplit setelah setiap kompresi dan penekanan dalam meminimalkan penghentian kompresi dan menghindari ventilasi yang berlebihan. Penolong harus memastikan bahwa kompresi dada dilakukan dengan benar. Kedalaman kompresi yang

direkomendasikan pada korban dewasa meningkat dari kedalaman 1,5-2 inci menjadi setidaknya 2 inci.4

2.3

Keputusan Untuk Mengakhiri Resusitasi Keadaan penderita yang tidak sadar, tidak ada pernafasan spontan, reflek

muntah dan dilatasi pupil yang menetap selama 15-30 menit atau lebih merupakan petunjuk kematian otak kecuali pasien hipotermik atau dibwah efek barbiturat atau dalam anestesi umum. Akan tetapi, tidak adanya tanggapan jantung terhadap tindakan resusitasi dibanding dengan tanda-tanda klinis kematian otak, adalah titik akhir yang lebih baik untuk membuat keputusan mengakhiri upaya resusitasi. Tidak ada aktifitas listrik jantung (asistole) selama paling sedikit 30 menit walaupun dilakukan upaya RJP dan terapi obat yang optimal, ini menandakan mati jantung. Seseorang dinyatakan mati jantung bila :2 1. Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversibel. 2. Telah terbukti terjadi kematian batang otak

12

Dalam keadaan darurat tidak mungkin untuk menegakkan diagnosis mati batang otak. Dalam resusitasi darurat, seseorang dapat dinyatakan mati jika :2 1. 2. Terdapat tanda-tanda mati jantung Sesudah dimulai resusitasi pasien tetap tidak sadar, tidak timbul ventilasi spontan dan refleks muntah (gag reflex), serta pupil tetap dilatasi selama 15-30 menit atau lebih, kecuali kalau pasien hipotermik atau dibawah pengaruh barbiturat atau anestesi umum.

13

BAB III PENUTUP

Kesimpulan Resusitasi merupakan sebuah upaya menyediakan oksigen ke otak, jantung dan organ-organ vital lainnya melalui sebuah tindakan yang meliputi pemijatan jantung dan menjamin ventilasi yang adekuatyang terdiri atas tiga fase yakni. Bantuan hidup dasar, bantuan hidup lanjut, bantuan hidup jangka lama. Bantuan hidup dasar adalah usaha untuk mengontrol jalan nafas, breathing support dan circulation support. Bantuan hidup lanjut berhubungan dengan teknik untuk memperbaiki ventilasi dan oksigenasi korban dan pada diagnosis serta terapi gangguan irama utama selama henti jantung dengan mengantisipasi keadaan diability dan exposure. Bantuan hidup jangka lama merupakan pengelolaan pasca resusitasi yang terdiri dari Gauging, Human Mentation, Intensive care.

14

DAFTAR PUSTAKA

Sanif E. Metode baru resusitasi jantung paru. www. Scribd.com.akses 8 Maret 2011.

Muhiman M, dkk. Anestesiologi. Jakarta: Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2004.

Basket P, dkk. Buku panduan resusitasi jantung, paru, otak. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1998.

Hazinski M, et all. 2010 Hand book of emergency cardiovaskular care for healthcare provider. Chicago: American Heart Association. 2010.

Latief S, Suryadi K, Dachlan R. Petunjuk praktis anestesiologi edisi 2. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2002. Comittee on Trauma Advanced Trauma Life Supportfor doctors 7th edition. Chicago. American College of Surgeon Committee on Trauma.

Anda mungkin juga menyukai