Anda di halaman 1dari 23

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Hukum di negara kita sekarang ini dapat dikatakan memprihatinkan. Dalam kenyataan praktik hukum di Indonesia, baik dalam konteks perbuatan kebijakan maupun dalam konteks pelaksanaan kebijakan masih terlihat adanya gejala anomi dan anomali yang belum dapat diselesaikan dengan baik. Gejala anomi memcerminkan keadaan yang seolah-olah ketiadaan norma, sedangkan gejala anomali menegaskan adanya kekacauan struktur dan fungsional dalam hubungan antara lembaga dan badan-badan penyelenggara fungsi kekuasaan negara. Problematika paling mendasar yang terjadi di dalam dunia hukum di Indonesia adalah manipulasi fungsi hukum oleh pengemban kekuasaan hukum itu sendiri. Selain itu, problematika lain adalah terlalu dominannya proses pembentukan peraturan perundang-undangan dengan cara top down, dalam proses ini tidak jarang muncul jurang antara nilai yang dianut oleh penguasa dan nilai yang dianut oleh masyarakat. Sementara proses pembentukan peraturan perundang-undangan secara bottom up jarang digunakan. Seharusnya pembuatan peraturan perundang-undangan harus dilakukan riset yang serius.1 Ketidakadilan hukum di Indonesia terlihat dari penegakan hukum itu sendiri. Indonesia sekarang sedang mengalami krisis penegakan hukum. Masyarakat dapat menganggap lain krisis penegakan hukum itu dan memberi tekanan pada faktor-faktor yang telah menentukan isi sesungguhnya dari hukum. Namun untuk mencapai supremasi hukum yang kita harapkan bukan faktor
1

http://kebulan09.blogspot.com/2011/12/artikel-ilmiah-nuri-fijiastuti.html, diakses pada hari Rabu, 13 Juni 2012, pukul 12.00 WIB.

hukum saja, namun faktor aparat penegak hukum juga sangat berpengaruh dalam mewujudkan supremasi hukum walaupun tidak itu saja. Orang mulai tidak percaya terhadap hukum dan proses hukum ketika hukum itu sendiri masih belum dapat memberikan keadilan dan perlindungan bagi masyarakat.2 Penegakan hukum di Indonesia sudah lama menjadi persoalan serius bagi masyarakat di Indonesia, karena persoalan keadilan telah lama diabaikan. Hal ini menimbulkan akibat-akibat yang serius dalam kontes penegakan hukum. Selain itu, kebebasan yang berlebihan dalam perjalanan demokrasi Indonesia

menimbulkan hal yang berlebihan di berbagai bidang, termasuk hukum. Meski supremasi hukum di teriakan keras-keras, tetapi sejalan dengan itu pula penghormatan kepada hukum hanya sebatas prosedural. Kebebasan yang tidak terbatas menuntun masyarakat untuk cenderung berprilaku liar. Hukum di Indonesia sekarang ini semakin jauh dengan kata keadilan. Hal ini ditandai dengan makin terdesaknya keberadaan produk hukum yang substansial dengan hukum prosedural. Sekarang ini, keadilan hukum di Indonesia lebih berpihak kepada orang yang berpunya. Mereka yang memiliki uang kekuasaan jabatan akan menganggap hukum itu adil. Namun, bagi mereka yang tidak berpunya hukum akan menjadi momok yang sangat menakutkan yang sewaktu-waktu dapat menerkam mereka. Sehingga, sekarang ini banyak sekali orang yang sangat tidak menghargai hukum. Hal ini tercermin dari para aparat hukum itu sendiri. Mereka sangat mudah bahkan dimudahkan untuk melakukan perbuatan tercela dan sekaligus melawan hukum. Jadi, tidaklah heran bila para warga negaranya pun ikut-ikutan melawan hukum. Praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia hukum dan peradilan, peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan
2

Ibid.

merupakan realitas yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini. Peradilan yang diskriminatif menjadikan hukum di negeri ini persis seperti yang didiskripsikan Plato bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat (laws are spider webs, they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful). Orang biasa yang ketahuan melakukan tindak pencurian kecil, seperti Hamdani yang mencuri sandal jepit bolong milik perusahaan di mana ia bekerja di Tangerang, Nenek Minah yang mengambil tiga butir kakao di Purbalingga, Aguswandi Tanjung yang numpang ngecas handphone di sebuah rumah susun di Jakarta serta Kholil dan Basari di Kediri yang mencuri dua biji semangka langsung ditangkap dan dihukum. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik negara dapat bebas berkeliaran dengan bebasnya. Berbeda halnya dengan kasus-kasus yang hukum dengan tersangka dan terdakwa orang-orang yang memiliki kekusaan, jabatan dan nama. Proses hukum yang dijalankan begitu berbelit-belit dan terkesan menunda-nuda. Seakan-akan masyarakat selalu disuguhkan sandiwara dari tokoh-tokoh Negara tersebut. Tidak ada keputusan yang begitu nyata. Contohnya saja kasus Gayus Tambunan, pegawai Ditjen Pajak Golongan III menjadi miliyader dadakan yang diperkirakan korupsi sebesar 28 miliar, tetapi hanya dikenai 6 tahun penjara, kasus Bank Century, Kasus Nazarudin, BLBI, Artalita, Nunun Nurbaeti, Miranda Gultom dan masih banyak lagi,hamper semua kasus diatas prosesnya sampai saat ini belum mencapai keputusan yang jelas. Padahal semua kasus tersebut begitu merugikan Negara dan masyarakat kita. Kapankan ini semua akan berakhir? Kondisi yang demikian atau katakanlah kualitas dari penegakan hukum yang buruk seperti itu akan sangat berpengaruh besar terhadap kesehatan dan kekuatan demokrasi Indonesia. Mental rusak para penegak hukum yang memperjualbelikan hukum sama artinya dengan mencederai keadilan. Merusak

keadilan atau bertindak tidak adil tentu saja merupakan tindakan gegabah melawan kehendak rakyat. Pada kondisi tertentu, ketika keadilan terus menerus dihindari bukan tidak tidak mungkin pertahanan dan keamanan bangsa menjadi taruhannya. Ketidakadilan akan memicu berbagai tindakan alami berupa perlawanan-perlawanan yang dapat terwujud ke dalam berbagai aksi-aksi anarkhis atau kekerasan yang kontra produktif terhadap pembangunan bangsa.Dengan kata lain, situasi ketidakadilan atau kegagalan mewujudkan keadilan melalui hukum menjadi salah satu titik problem yang harus segera ditangani. Mental korup yang merusak serta sikap mengabaikan atau tidak hormat terhadap hukum jelas bukan karakter atau jati diri bangsa Indonesia. Pada sisi lain, nilai ketidakadilan akan meningkatkan aksi anarkhisme, kekerasan, egoisme dan individualisme yang jelas-jelas tidak sejalan dengan karakter bangsa yang penuh mufakat.

b. Rumusan Masalah 1. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya kekacauan hukum (Chaos) dalam penegakan hukum di Indonesia? 2. Bagaimanakah Akibat dari Kekacauan Hukum (Chaos) dan fungsi moralitas dan re-intepretasi hukum sebagai salah satu cara mengatasi terjadinya kekacauan hukum dalam penegakan hukum (Chaos)?

BAB II PEMBAHASAN

a. Penyebab dan faktor kekacauan Penegakan hukum (chaos) Adapun faktor yang mempengaruhi kekacauan penegakan itu sendiri, yaitu: 1. Aparatur penegak hukum ditengarai kurang banyak diisi oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Padahal sumber daya manusia yang sangat ahli serta memiliki integritas dalam jmlah yang sangat dibutuhkan; 2. Penegakkan hukum tidak berjalan secara semestinya karena sering mengalami interverensi kekuasaan dan uang; 3. Kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum semakin surut yang mengakibatkan tindakan anarki sesama masyarakat; 4. Para pembentuk peratuan perundang-undangan sering tidak

memperhatikan keterbatasan aparatur; 5. Kurang diperhatikannya kebutuhan waktu untuk mengubah paradigma dan pemahaman aparatur; 6. Mudahnya hukum di negara kita di perjual belikan demi kepentingan perseorangan.3 Hal tersebut dapat kita lihat dari beberapa kasus yang selama ini telah ramai di beritakan. Pengadialan sebagai Penguasa institusi pencari keadilan sampai saat ini belum dapat memberikan rasa puas bagi masyarakat bawah. Terbukti dari kasus para koruptor milyaran bahkan triliunan rupiah yang masih dapat berkeliaran dialam bebas, bolak-balik keluar negeri, liburan kemana saja

http://ardwiradwipuspita.blogspot.com /2012/03/ masalah penegakan -hukum- diindonesia.html, diakses pada hari Senin, 11 Juni 2012, pukul 13.45 WIB.

bisa dilakukan.4 Padahal mereka jelas-jelas adalah penjahat paling kejam yang telah memakan uang negara. Bahkan ada yang sudah di putus dengan hukuman penjara pun masih bisa melakukan aktivitas sehari-harinya. Sedangkan, pencuri, jambret, perampok kecil-kecilan yang terpaksa mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan dan mempertahankan hidupnya harus dihajar dan dianiaya dalam proses penyidikan dikepolisian. Paling tidak ada 4 sebab kebobrokan sistem hukum dan peradilan di Indonesia, diantaranya: 1. Landasan Hukum Sistem hukum dan peradilan di Indonesia sangat dipengaruhi dan dilandasi oleh sistem hukum dan peradilan Barat yang sekular, yakni bersamaan dengan kemunculan sistem demokrasi pada abad gelap pertengahan (the dark middle age) yang memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menetapkan hukum tanpa terikat oleh ajaran agama (Kristen).5 Sumber pokok Hukum Perdata di Indonesia (Burgerlijk Wetboek) berasal dari hukum perdata Perancis, yaitu Code Napoleon (1811-1838), yang karena pendudukan Perancis di Belanda berlaku di juga negeri Belanda (1838). Sementara di Indonesia, mulai berlaku sejak 1 Mei 1848 bersamaan dengan penjajahan Belanda. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP atau Wetboek van Strafrecht yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1918 setelah sebelumnya diberlakukan tahun 1873 juga merupakan copy dari KUHP untuk golongan Eropa (1867) dan KUHP untuk golongan Eropa juga merupakan copy dari Code Penal, yaitu Hukum Pidana di Perancis zaman Napoleon

http://jodisantoso.blogspot.com/2007/07/ dilema- penegakan-hukum-di-indonesia.html, diakses pada hari Rabu, 13 Juni 2012, pukul 13.00 WIB. 5 Amirin, Tatang M, 1987, Pokok-pokok Teori Sistem, CV. Rajwali, Jakarta, Hal 45.

(1811). Begitu juga dengan hukum acara perdata dan pidana yang juga berasal dari Barat, walaupun dengan penyesuaian.6 Dengan demikian menjadi jelas, bahwa sistem hukum dan peradilan di Indonesia merupakan produk Barat Sekular yang mengesampingkan AlKhaliq sebagai pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan ini. Sehingga dapat dipastikan produk hukum yang dikeluarkan pasti tidak (akan) sempurna dan memiliki banyak kelemahan.7 2. Materi dan Sanksi Hukum Penyebab kebobrokan berikutnya adalah materi hukum sebagai

konsekuensi dari sumber hukum yang sekular. Setidaknya tercermin dalam beberapa hal berikut: Materi dan Sanksi Hukum Tidak Lengkap Ketidaklengkapan mengatur semua hal, bukan hanya akan menimbulkan kekacauan, akan tetapi akan memicu tindak kejahatan yang lain dan memiliki dampak yang luas. Sebagai contoh, dalam KUHP Pasal 284, yang termasuk dalam kategori perzinahan (persetubuhan di luar nikah) yang dikenakan sanksi hanyalah pria dan atau wanita yang telah menikah, itupun jika ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan. Jika yang berzinah salah satu atau keduanya belum menikah dan dilakukan atas dasar suka-sama suka, maka tidak dikenakan sanksi. Saat ini fenomena seks bebas di kalangan remaja

http://rektivoices.wordpress.com/2008/08/05/ kebobrokan -sistem-hukum-peradilanindonesia/, diakses pada hari Selasa, 13 Juni 2012, pukul 13.30 WIB. 7 http://dwienieez.wordpress.com/2011/05/27/sosiologi-hukum-dalam-dimensi-moralitasdi-indonesia-oleh-rizal-muchtasar1-intisari/, diakses pada hari Selasa, 12 Juni 2012, pukul 22.30 WIB.

(kumpul kebo), lalu hamil di luar nikah dan berujung pengguguran kandungan (aborsi), diduga kuat karena tidak adanya sanksi atas mereka.8 Contoh lain, tidak adanya aturan tentang pergaulan laki-laki dan perempuan termasuk batasan aurat, sehingga berdampak pelecehan terhadap perempuan. Tidak adanya hukuman bagi peminum khamr yang menyebabkan rusaknya akal masyarakat dan memicu tindak kriminal, tidak ada sanksi bagi yang murtad, sehingga agama mudah dilecehkan, dan banyak lagi permasalahan masyarakat yang tidak diatur sehingga berpotensi rusaknya individu dan masyarakat. Sanksi Hukum Tidak Menimbulkan Efek Jera Salah satu tujuan diterapkannya sanksi bagi pelaku kejahatan, agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi. Untuk itu, seharusnya pelaku dihukum dengan sanksi yang membuat jera. Sebagai contoh, pembunuhan yang disengaja (Pasal 338 KUHP) hanya dikenakan sanksi paling lama penjara 15 tahun, Pencurian (Pasal 362 KUHP) hanya dikenakan sanksi penjara paling lama 5 tahun. Hubungan badan (perzinahan) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 284 KUHP, hanya dikenakan sanksi paling lama 9 bulan penjara. Sanksi yang tidak menimbulkan efek jera sebagaimana contoh diatas alih-alih menekan angka kejahatan, yang terjadi malah jumlah penjahat dan residivis terus meningkat yang berakibat pemerintah kewalahan untuk membiayai makan para napi/tahanan. Bahkan negara harus hutang sebesar 144,6 milyar kepada rekana1n LP/rutan.9

Satjipto Raharjo, 2002, Sosiologi Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta, Hal

12.

http://rapraniji.blogspot.com/2010/10/pengendalian-sosial.html, diakses pada hari Senin, 11 Juni 2012, pukul 20.30 WIB.

Hal tersebut tentunya juga diperkuat dengan sistem pemidanaan penjara yang justru memberi peluang terpidana mengulangi kejahatan yang pernah dilakukan. Di penjara, terpidana bukan hanya dapat bebas belajar trik melakukan kejahatan yang lebih besar, bahkan disinyalir saat ini penjara malah menjadi tempat yang nyaman melakukan pelecehan seksual, seperti kasus sodomi dan lesbi, kasus pemerasan, dan kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Kasus-kasus kejahatan itu tidak hanya terjadi di antara narapidana, tetapi juga bisa dengan pihak lain, seperti pegawai LP atau pengunjung. Hukum Hanya Mementingkan Kepastian Hukum dan Mengabaikan Keadilan. Sistem hukum di Indonesia mengharuskan bahwa hukum harus menjamin kepastian hukum dan harus bersendikan keadilan. Kepastian hukum artinya produk dan ketentuan hukum haruslah memiliki landasan hukum, keadilan berarti setiap produk dan ketentuan hukum haruslah memenuhi rasa keadilan masyarakat, dan tidak merugikan. Realitanya hingga kini, para ahli hukum bingung untuk menentukan mana yang harus didahulukan, kepastian hukum atau keadilan? Banyak ketentuan yang dihasilkan di negeri ini yang memiliki kepastian hukum akan tetapi mengusik rasa keadilan bahkan merugikan.10 Hal tersebut sangat wajar terjadi, karena dalam sistem hukum sekular seluruh produk hukum dibuat oleh manusia. Alih-alih menghasilkan produk hukum yang memberikan keadilan, yang ada produk hukum hanyalah dijadikan alat memuaskan kepentingan para pembuatnya. Sebagai contoh, Perda K-3 seringkali dijadikan alat aparat untuk menindas rakyat dengan cara menggusur rumah penduduk dan mengusir PKL tanpa memberikan solusi

10

Ibid. Hal 53.

memuaskan.11 UU Migas (No. 22/2001) yang memberikan peluang kepada asing melakukan kegiatan usaha hulu dan hilir mengakibatkan kebijakan yang merugikan rakyat, yakni kebijakan kenaikan harga BBM hingga penghapusan subsidi. UU Sumber Daya Air (No. 7/2004) akan berdampak komersialisasi air yang pasti bebannya akan ditanggung rakyat dan sederet UU dan Peraturan lainnya.

Tidak Mengikuti Perkembangan Zaman Sebagai konsekuensi dari ketidaksempurnaan pembuat hukum, yakni akal manusia, hukum yang diterapkan di Indonesia seringkali mengalami perubahan karena tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Banyak ketentuan dalam KUHP yang sudah usang mengharuskan adanya UU baru yang menyempurnakan, seperti UU Korupsi, UU Pers, UU KDRT, dll. Undang-undang Korupsi yang sudah mengalami 3 kali perubahan dan UU Pencucian Uang yang berubah hanya dalam kurun waktu setahun (2002-2003) adalah bukti konkret, bahwa hukum buatan manusia memang sangat rentan mengalami perubahan karena harus menyesuaikan dengan kondisi. Tidak hanya itu, perubahan atau pembuatan undang-undang baru selalu dibarengi dengan pengeluaran anggaran negara yang tidak sedikit. Sebagai contoh, menurut Agung Laksono anggaran pembahasan RUU Pemerintahan Aceh yang berasal dari pemerintah sebesar Rp 3 milyar dan dari DPR sebesar Rp 500 juta. Tidak cukup dengan itu, Depdagri pun mengucurkan uang sebesar Rp 250 juta yang diberikan masing-masing Rp 5 juta kepada 50 orang anggota pansus.

http://ayucintyavirayasti.blogspot.com/2012/03/ masalah indonesia.html, diakses pada hari Selasa, 12 Juni 2012, pikul 20.55 WIB.

11

penegakkan

-hukum-di-

10

3. Sistem Peradilan Peradilan yang Berjenjang Di Indonesia, struktur pengadilan berjenjang, yakni upaya hukum yang memungkinkan terdakwa yang tidak puas terhadap vonis hakim mengajukan banding. Dengan upaya hukum tersebut, keputusan yang telah ditetapkan sebelumnya bisa dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Dengan mekanisme tersebut diharapkan menghasilkan kepastian hukum dan keadilan. Yang terjadi sebaliknya, yakni ketidakpastian hukum karena keputusan hukum dapat berubah-ubah sesuai jenjang pengadilan, juga akan berujung pada simpang siurnya keputusan hukum; kepastian hukum yang didambakan masyarakat pun semakin lama didapatkan, karena harus melalui rantai peradilan yang sangat panjang. Fenomena ini akan dengan cepat disergap oleh pelaku mafia peradilanentah para jaksa, hakim, maupun pengacarayang menjadikannya sebagai bisnis basah. Pembuktian yang Lemah dan Tidak Meyakinkan Pembuktian haruslah bersifat pasti dan meyakinkan, agar keputusan yang dihasilkan pun pasti dan meyakinkan. Seharusnya persangkaan atau dugaan seperti dalam pembuktian kasus perdata serta keterangan ahli dalam dalam kasus pidana, dihapuskan, karena persangkaan hanya akan

menghasilkan ketidakpastian dan keterangan ahli seharusnya diposisikan hanya sekedar informasi (khabar) saja. Tidak ada persamaan di depan hukum Persamaan di depan hukum (equality before the law) tanpa memandang status dan kedudukan merupakan sebuah keharusan. Di Indonesia

11

ada ketentuan, bahwa jika ada pejabat negara setingkat bupati dan anggota DPRDtersangkut perkara pidana harus mendapatkan izin dari Presiden. Aturan ini cenderung diskriminatif dan memakan waktu serta justru menunjukkan bahwa equality before the law hanyalah isapan jempol. 4. Perilaku Aparat Penyebab kebobrokan yang cukup serius adalah bobroknya mental aparat penegak hukum, mulai dari polisi, panitera, jaksa hingga hakim. Bahkan data terakhir yang dilansir Komisi Yudisial menyebutkan bahwa 2.440 hakim atau sekitar 40% dari total 6.100 hakim dikategorikan bermasalah, yang pada akhirnya membuat praktek hukum diwarnai judicial corruption. Untuk mengantisipasi dan dan melakukan pengawasan terhadap aparat hukum di Indonesia dibentuklah berbagai macam komisi sebagai state auxilary bodies antara lain Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, KPKPN (sudah dibubarkan) dan KPK. Tidak cukup sampai disitu saja, tuntutan publik juga diarahkan untuk pembentukan lembaga pengawasan eksternal lembaga penegak hukum. Tuntutan inilah yang ada pada akhirnya direspon oleh pembentuk Undang-Undang dengan mengamanatkan pembentukan komisi, misalnya Komisi Yudisial pembentukannya dimanatkan oleh konstitusi, Komisi Kepolisian diamanatkan oleh UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI mengmanatkan pembentukan Komisi Kejaksaan meskipun sifatnya tidak wajib. Sebagai tindak lanjut dari amanat pasal 38 UU Nomor 16 tahun 2004 (meskipun tidak imperatif) Presiden mengeluarkan Peraturan

12

Presiden RI No. 18 tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia. Apakah dengan adanya mekanisme tersebut akan menghilangkan praktek mafia peradilan? Memang, adanya berbagai komisi yang diantaranya memiliki fungsi melakukan pengawasan terhadap aparat penegak hukum memang merupakan sebuah terobosan yang memiliki niat baik, akan tetapi niat baik saja nampaknya tidak cukup. Sebagai contoh, belum lagi Komisi Yudisial berjalan efektif, sudah muncul masalah baru, yakni perseteruan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung (MA). Faktor Sarana atau Fasilitas Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1983)12: 1. Yang tidak ada-diadakan yang baru betul; 2. Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan;
12

http://umum.kompasiana.com/2009/07/13/faktor-faktor-yang-mempengaruhipenegakan-hukum-di-indonesia/, diakses pada hari Rabu, 13 Juni 2012, pukul 21.10 WIB.

13

3. Yang kurang-ditambah; 4. Yang macet-dilancarkan; 5. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan. Faktor Masyarakat Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk

mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut. Faktor Kebudayaan Kebudayaan(system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasangan nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut (Purbacaraka & Soerjono soekantu)13: 1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman. 2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan. 3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme. Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
13

Ibid.

14

b. Akibat dari Kekacauan Hukum (Chaos) dan Mengatasinya dengan Cara Moralitas dan Re-Interpretasi Hukum Telah dikemukakan bahwa sosiologi hukum yang berbasis moralitas, menempatkan fungsi edukatif/pendidikan hukum sebagai bagian penting dari proses mewujudkan kedamaian masyarakat yang terbebaskan dari segala bentuk kejahatan. Dalam perkembangan zaman yang terus berubah, pendidikan hukum yang terlalu bersandar pada dogmatik hukum, akan mengakibatkan matinya motivasi untuk mengubah keadaan. Padahal keseluruhan ilmu hukum selalu mengalami pergeseran garis keilmuannya, artinya hukum dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan, baik dalam teks maupun penafsirannya. Kembali pada pandangan golongan religius, hukum dogmatik itu memang ada dan harus ditaati. Bagi muslim misalnya, ketauhidan ataupun apa yang mereka kategorikan sebagai dalil qothi, memang ada dan dipatuhi. Biasanya dalil-dalil ini termaktub dalam ayat-ayat mukamad, seperti soal warisan atau perkawinan. Diluar hal-hal itu, hukum-hukum sang pencipta terbuka untuk ditafsirkan secara kontekstual, asal tidak keluar dari bingkai ketauhidan tadi. Di sinilah, manusia dengan kelebihannya dari mahluk lain yang berupa akal, diwajibkan kreatif menemukan hukum-hukum sang pencipta melalui tafsirtafsirnya yang kontekstual itu. Al-Asmawi, mantan ketua MA Mesir, menyatakan bahwa selama sebuah diktum hukum pidana publik mengandung arti cegahan dan hukuman, maka ia dapat disamakan dengan diktum hukum pidana sang pencipta, kesimpulannya, apa yang dikemukakan itu adalah proses re-interpretasi dari hukum sang pencipta.14 Beberapa Akibat Penyelewengan Penegakan Hukum di Indonesia 1. Ketidakkepercayaan masyarakat pada hukum
14

Riza Muchtasar, 2005, Sosiologi Hukum Dalam Dimensi Moralitas Di Indonesia, Makalah,

Hal 3.

15

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum muncul karena hukum itu lebih banyak merugikannya. Dilihat dari yang diberitakan ditelvisi pasti masalah itu selalu berhubungan dengan uang uang dan uang. Masalah diselesaiakn karena ada uang. 2. Penyelesaian Konflik dengan Kekerasan Penyelesaian ini lebih dititik beratkan dari suatu kelompok terhadap bagaimana kelompok tersebut mnyelesaikkannya. Kebanyakan kelompok tersebut lebih dalam bentuk kekerasan dalam penyelesaian. Mereka tidak menganut kebenaran menurt hukum, mereka menerapkan sanksi tersebut menurut pertimbangan rasioanal, berapa banyak kerugian yang dialaminya. Tidak didengarkannya alasan mengapa tesangka melakukan hal tersebut. Tetapi dibalik itu semua masyarakat mempunyai tujuan untuk memberi pelajaran kepada si pelaku dan juga memberi peringatan ke pada masyarakat yang lain agar tidak melakukan hal yang sama.15 3. Pemanfaatan Penyelewengan Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi Dengan adanya pengacara yang lebih membela kliennya yang menawarkan dia dengan sejumlah uang yang banyak. Dan adanya hakim yang seharusnya memutuskan keadilan malah lebih condong ke orang yang memberikan dia materi yang banayk. Dan karena menyangkut uang, hanya orang kaya lah yang dapat menikmati keadaan penyelewengan penegakan hukum ini. Sementara orang miskin (atau yang relatif lebih miskin) akan putusan pengadilan yang lebih tinggi.

15

Ibid. Hal 7.

16

4. Penggunaan Tekanan Asing dalam Proses Peradilan Banyak negara luar yang membuka usaha di indonesia. Dan itu juga menguntungkan bagi pendapatan negara indonesia. Apabila negara tersebut melakukan tindakan kejahatan di indonesia, dan indonesia akan

menghukumnya, tetapi negara tersebut malah mengancam kalau dia akan mencabut usahanya di inonesia. Mau gak mau indonesia harus mengalah. Tekanan seperti itulah yang mengakibatkan penyelewengan penegakan hukum. Kesimpulan yang pasti dan harus disimak, untuk reformasi dalam menegakan hukum di Indonesia, tidak bisa diserahkan oknum penegak hukum yang ada (jaksa, polisi maupun kpk dan sejenisnya), karena ini semua warisan masa lalu yang sudah membudaya. Reformasi hukum harus dimulai dari mereformasi oknum. Oleh sebab itu kesimpulannya adalah : Dibentuk lembaga hukum yang menjalankan hukum dengan baik, tanpa melibatkan pejabat yang ada saat ini. Benar-benar independent tidak ada kaitan dengan lembaga-lembaga saat ini. Bagi mereka yang terpanggil, dan berani membongkar kasus yang bersangkutan dengan koneksi dan uang, harus dilindungi penuh. Khususnya bagi mereka yang membongkar komunitas nya sendiri, harus dilindungi penuh, karena ia dianggap pengkhianat oleh komunitas, maka harus disingkirkan, karena ia membongkar teman-teman nya sendiri. Jika memang si pembongkar terlibat dalam kasus juga, ia akan dituntut sesuai hukum setelah seluruhnya terbongkar habis. Untuk masa reformasi hukum, janganlah bicara yang tidak ada solusinya, karena solusi yang dikemukan saat ini di media hanya perlindungan diri demi kepentingan diri atau golongan. Karena ada kemungkinan yang berbicara itu, bisa terlibat dalam koneksi dan uang. Hanya saja masih memiliki kekuasan yang lebih

17

leluasa untuk berbicara, dari pada yang sudah dibungkam dalam tahanan, lebih leluasa mempermainkan hukum demi menegakan hukum.Jika penguasa saat ini ada niat kuat untuk memberantas korupsi dan markus, mereka harus berani mereformasi tanpa ragu-ragu, jangan lagi berdalih taat hukum, karena pelaksana hukum sudah tidak dipercaya lagi. Jika ini dilakukan penulis sangat yakin dukungan akan datang dari semua penjuru anak bangsa yang cinta kebenaran. Semoga ada pejabat tinggi yang berwenang bisa membaca dan merenungkan dengan baik, mau melakukan sesuai hati nurani. Karena rakyat sudah sangat mendambakan kebenaran. Penderitaan rakyat yang sudah mencapai titik terendah, satu hari akan bangkit melawan, karena sudah tidak ada jalan lain lagi. Namun, yang tak dapat dipersoalkan adalah prinsip-prinsipnya, sedangkan rinciannya adalah bagian dari proses re-interpretasi itu sendiri. Inilah sudut pandang yang sesuai dengan sosiologi hukum yang berbasis moral, dengan begitu, prinsip dogmatik hukum baru berjalan seiring dengan sosiologi hukum dalam kendaraan yang sama. Proses re-interpretasi hukum dogmatik melalui sosiologi hukum yang berbasis moralitas harus menjadi bagian dari proses pendidikan hukum itu sendiri. Walau demikian harus disadari khususnya bagi bangsa Indonesia, re-interpretasi hukum hukum tidak mudah di lakukan. Persoalannya terpulang pada dua hal, Pertama, pendidikan hukum dogmatik selama ini telah mengakar begitu kuat, baik dalam pendidikan formal maupun non formal sehingga masyarakat tidak sedikit yang telah terjebak dalam pemikiran bahwa tiada hukum kecuali apa yang telah didogmakan itu. Kedua, karena pendidikan hukum itu sendiri cenderung kepada pemantapan ajaran, dan dengan begitu upaya pencarian, pembebasan dan pencerahan sering ditabukan. 5. Upaya Menumbuhan Kesadaran Masyarakat

18

Hukum merupakan pencerminan nilai-nilai yang terdapat didalam masyarakat. Menanamkan kesadaran hukum dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Pendidikan hukum tidak terbatas hanya pada pendidikan formal dibangku sekolah saja. Namun, juga dapat dilakukan diluar bangku sekolah, sebab pembelajaran mengenai hukum sejak dini harus diajarkan pada anakanak. Sehingga diharapkan nanti akan tumbuh rasa kesadaran hukum yang baik dikalangan masyarakat.16 Pendidikan hukum juga dapat dilakukan dalam lingkup keluarga. Program pemerintah keluarga sadar hukum (Kadarkum) diharapkan mampu memberikan pendidikan hukum kepada segenap anggota keluarga. Melalui keluarga setiap individu belajar pertama kali sehingga pembiasaan terhadap aturan hukum akan menimbulkan kesadaran hukum seseorang. Sebenanya kesadaran hukum masyarakat dipengaruhi oleh

pengetahuan atau pemahaman masyarakat itu sendiri terhadap hukum. Sampai saat ini masih banyak masyarakat yang buta hukum. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya untuk mengurangi jumlah masyarakat yang buta hukum. Hal tersebut dapat dilakukan dengan sosialisasi atau penyuluhan hukum. Kesadaran hukum peraturan hukum agar setiap orang akan hak, kewajiban dan wewenangnya.17 Sesungguhnya dalam membentuk kesadaran hukum masyarakat juga menjadi tanggungjawab bersama. Tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga tanggung jawab akademisi hukum yang notabenenya lebih menguasai hukum jika dibandingkan dengan masyarakat awam. Walaupun kesadaran hukum itu ada pada setiap manusia, tetapi hukum itu tidak selalu disertai dengan perbuatan yang mencerminkan sikap sadar

http://jman-pk.blogspot.com/2012/03/makalah-sosiologi-hukum.html, diakses pada hari Selasa, 12 Juni 2012, pukul 21.00 WIB. 17 Ibid.

16

19

hukum.18 Contohnya adalah perilaku korupsi yang dilakukan oleh oknumoknum jaksa yang merupakan penegak hukum. Sangat ironis ketika selama ini oknum-oknum jaksa yang biasa bergelut di ranah hukum ternyata menjadi seorang pelanggar hukum.

18

Ibid.

20

BAB III PENUTUP

a. Kesimpulan Dari penjabaran diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu : 1. Hukum adalah pengatur terciptanya ketertiban di dalam masyarakat yang bersifat memaksa. Apabila hukum dilanggar, maka pelanggar tersebut akan mendapatkan sanksi sesuai pelanggaran yang telah diperbuat; 2. Hukum negara indonesia kini sangat memprihatinkan, sudah terdapat gejala anomi dan anomali dalam hukum di Indonesia; 3. Gejala anomi mencerminkan ketiadaan norma dalam hukum, sedangkan anomali adalah kekacauan fungsi dan struktur hukum; 4. Problematika yang paling mendasar dalam masalah penegakan hukum adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang tidak melakukan riset yang sangat penting terhadap kondisi masyarakat; 5. Sumber daya maunusia di Indonesia ini sangat tidak memadai dalam bidang hukum, banyak dari mereka yang berpengetahuan sempit tentang hukum; 6. Problematika ini menimbulkan krisis penegakan hukum yang

menyebabkan tidak tercapainya supermasi hukum; 7. Begitu banyak mausia yang menerima ketidakadilan di ranah hukum. Akibatnya banyak dari mereka yang berbuat anarki. b. Saran Apapun hambatannya, secara sosiologi proses re-interpretasi hukum itu berjalan terus. Kepatuhan dan ketaatan pada prinsip-prinsip hukum sang pencipta, seharusnya semakin menguat dari waktu ke waktu sebagai bukti keberhasilan pendidikan hukum. Bentuk kepatuhan itu secara kreatif ditunjukkan dengan

21

berbagai bentuk tafsir ulang terhadap hukum buatan manusia. Kecenderungan seperti ini harus trus didorong sehingga akan terlihat dengan jelas, adanya stabilitas dan dinamika hukum. Pada satu sisi stabilitas hukum diletakkan pada dogmatik hukum yang mengedepankan prinsip-prinsip universal dari Sang Pencipta, sementara itu dinamika hukum diletakkan pada sosiologi hukum yang berbasi pada moral, denagan adanya kreativitas re-interpretasi hukum positif. Komplementaritas antara dogmatik hukum dengan sosiologi hukum itulah yang bisa menjamin terwujudnya kedamaian hidup yang dinamis.

22

DAFTAR PUSTAKA

Amirin, Tatang M, 1987, Pokok-pokok Teori Sistem, Jakarta, CV. Rajwali. Satjipto Raharjo, 2002, Sosiologi Hukum, Surakarta, Muhammadiyah University Press. Riza Muchtasar, 2005, Sosiologi Hukum Dalam Dimensi Moralitas Di Indonesia, Makalah. http://jodisantoso.blogspot.com/2007/07/ indonesia.html. http://rektivoices.wordpress.com/2008/08/05/kebobrokan-sistem-hukumperadilan-indonesia/. http://umum.kompasiana.com/2009/07/13/faktor-faktor-yang-mempengaruhipenegakan-hukum-di-indonesia/. http://rapraniji.blogspot.com/2010/10/pengendalian-sosial.html. http://dwienieez.wordpress.com/2011/05/27/sosiologi-hukum-dalam-dimensimoralitas-di-indonesia-oleh-rizal-muchtasar1-intisari/. http://kebulan09.blogspot.com/2011/12/artikel-ilmiah-nuri-fijiastuti.html. http://ayucintyavirayasti.blogspot.com/2012/03/masalahpenegakkan-hukumdi indonesia.html. http://ardwiradwipuspita.blogspot.com/2012/03/masalahpenegakan-hukumdi-indonesia.html. http://jman-pk.blogspot.com/2012/03/makalah-sosiologi-hukum.html. dilemapenegakan-hukum-di-

23

Anda mungkin juga menyukai