Anda di halaman 1dari 28

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TANGERANG SELATAN

RENCANA SKRIPSI PENGARUH KONFLIK PEKERJAAN-KELUARGA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA BPK RI PERWAKILAN PROVINSI JAWA BARAT DENGAN STRES KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING

Diajukan oleh: AHMAD DWI ARIANTO NPM: 104060005353

Juli 2012

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TANGERANG SELATAN TANDA PERSETUJUAN RENCANA SKRIPSI

Nama Nomor Pokok Mahasiswa Bidang Skripsi Judul Skripsi

: : : :

Ahmad Dwi Arianto 104060005353 Manajemen Strategi Sektor Pemerintah Pengaruh Konflik Pekerjaan-Keluarga Terhadap Kinerja Pegawai Pada BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat Dengan Stres Kerja Sebagai Variabel Intervening

Mengetahui, Kepala Bidang Akademis Pendidikan Akuntan,

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Dra. Lies Sunarmintyastuti, M.M. NIP 195705201982022001 NIP

DAFTAR ISI Metode Penelitian 2

I.

PROPOSAL PENELITIAN A. Latar Belakang Penelitian B. Gambaran Objek Penelitian dan Ruang Lingkup C. Pertanyaan Riset D. Tujuan Penelitian E. Reviu Literatur dan Landasan Teoritis F. Variabel dan Hipothesis (Model Penelitian) G. Metode Prosedur 1. Instrumentasi 2. Populasi, sampel, atau responden yang dituju 3. Pengumpulan data 4. Analisis Data 5. Mekanisme validitas dan reliabilitas H. Keterbatasan Riset I. Kontribusi Riset

II.

RENCANA DAFTAR PUSTAKA

III. PENUTUP A. Rencana Pelaksanaan Penelitian B. Kontijensi

I.

PROPOSAL PENELITIAN A. Latar Belakang Penelitian Metode Penelitian 3

Man behind the gun, Manusia (Sumber daya manusia/SDM) adalah sumber daya yang paling utama bagi suatu organisasi. Keterampilan mengelola SDM akan memberikan kontribusi yang besar dalam pencapaian tujuan organisasi, demikian pula sebaliknya. Kita dapat belajar dari sejarah munculnya pengendalian internal versi COSO, yang menorehkan catatan berharga bahwa sebaik apapun sistem (hard control) jika faktor manusianya (soft control) tidak selaras dengan sistem tersebut maka sistem tersebut tidak akan efektif. Manusia adalah dalang yang mengatur jalan cerita dan menggerakkan sistem suatu organisasi, maka sukses tidaknya pertunjukan wayang tersebut sangat tergantung kepada faktor manusianya. Sisi kemanusiaan menjadi pembeda antara manusia dengan sumber daya manajemen lainnya (money, machine, methods, material). Sisi kemanusiaan tersebut mengejawantah dalam berbagai bentuk: menyayangi pekerjaan dan semua orang di lingkungan kerjanya, ketidakpuasan dalam bekerja dan perasaan ingin mencari pekerjaan lain, perasaan ingin dihargai dan berbagai gejala lainnya. Keterampilan mengelola sisi kemanusiaan adalah fokus dari manajemen sumber daya manusia. Manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Individu berasal dari kata bahasa latin individum (in= tidak, dividum= terbagi), sebagai makhluk individu, manusia adalah satu kesatuan rohani dan jasmani yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sosial berasal dari bahasa latin socius yang berarti teman, sebagai makhluk sosial manusia pasti membutuhkan pertemanan/interaksi dengan orang lain. Konflik Pekerjaan-Keluarga Secara alamiah manusia sebagai makhluk sosial akan mengalami banyak peran (multiple role), akibat interaksi sosial yang dijalaninya. Misalkan interaksi dengan keluarga, seorang manusia dapat secara sekaligus berperan sebagai: anak, orang tua, kakek/nenek, ayah/istri, kakak/adik, paman/bibi, keponakan, sepupu dsb. Interaksi yang lain, misalnya dalam tempat kerja akan memunculkan peran sebagai: atasan, bawahan, dan rekan kerja. Kondisi ini secara otomatis akan menimbulkan konflik (berasal dari bahasa latin configere, yang bermakna saling memukul) manakala tuntutan satu peran saling mengganggu tuntutan peran yang lain. Konflik pekerjaan-keluarga adalah salah satu contoh dari inter-role conflict (Kahn et al, 1964 dalam Hartini, 2009), yang timbul akibat tuntutan peran dalam keluarga saling mengintervensi dengan tuntutan peran dalam pekerjaan.

Stres Kerja Monodualisme manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial sering menimbulkan fakta lain yang dikenal dengan stres. Menurut Robbins (2002) dalam Jimad Metode Penelitian 4

(2010) Stress adalah suatu kondisi dinamik yang di dalamnya seorang individu dikonfrontasikan dengan suatu peluang, kendala, atau tuntutan yang dikaitkan dengan apa yang sangat diinginkannya dan hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting. Definisi tersebut memberikan gambaran bahwa stres dapat timbul akibat keinginan (manusia sebagai makhluk individu), yang dikonfrontasikan dengan peluang, kendala, dan hasil yang timbul dari interaksi sosial (manusia sebagai makhluk sosial). Lebih lanjut menurut Robbins (2002) dalam Jimad (2010) mengungkapkan tiga sumber potensial dari stres, yaitu lingkungan, organisasi dan individual. Konflik pekerjaankeluarga merupakan salah satu pemicu stres yang berasal dari faktor organisasi (tuntutan tugas kerja) dan faktor individu (tuntutan keluarga). Kinerja Pegawai Manusia secara kodrati memiliki rasa ingin tahu, salah satu bentuk pemuasan rasa ingin tahu tersebut adalah dengan belajar. Membandingkan adalah salah satu metode belajar yang dikenal manusia. Manusia membandingkan suatu hal dengan hal lainnya untuk memperoleh persamaan dan perbedaan karakteristik akan hal-hal tersebut, kemudian menarik kesimpulan dari proses perbandingan yang telah dilakukannya. Salah satu perbandingan yang sering dilakukan manusia di lingkungan pekerjaan adalah perbandingan kinerja pegawai. Pengukuran kinerja pegawai biasanya membandingkan antara hasil aktual yang dicapai oleh pegawai dengan hasil yang diharapkan organisasi (sesuai standar). Alasan Penelitian BPK adalah salah satu organisasi tempat berkumpulnya para pegawai untuk bekerja. Faktor-faktor dalam paparan penulis di atas adalah faktor yang terkait dengan manusia. Idealnya secara teoritis suatu kondisi dengan faktor yang sama (manusia/SDM) tentunya memiliki persamaan dan perbedaan karakteristik di manapun manusia tersebut bekerja. Selaku auditor eksternal pemerintah, kadang pegawai dituntut untuk tinggal di luar kota selama kurun waktu tertentu (saat melakukan audit), kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik pekerjaan-keluarga, stres kerja bahkan mungkin dapat mempengaruhi kinerja auditor ybs. Demikian pula tuntutan pekerjaan sebagai penunjang pendukung (jangkung), yang kadangkala menyita waktu untuk keluarga, misal: bagian keuangan saat akhir tahun; bagian umum saat pengadaan dan serah terima pengadaan tentunya juga berpeluang menciptakan konflik pekerjaan-keluarga. Karena itulah penulis tertarik untuk menggali masalah ini dalam skripsi. Beberapa penelitian mengenai masalah ini antara lain:

No
1

Periset
Habibullah Konflik

Judul riset
Pekerjaan-

Keterangan
Merupakan systematic review Metode Penelitian 5

No

Periset
Jimad (2010)

Judul riset
Keluarga, Stress Dan Kinerja (dimuat dalam jurnal bisnis dan manajemen FE Universitas Lampung)

Keterangan
yang menghasilkan kesimpulan ada keterkaitan antara konflik dengan stres, antara stres dengan kinerja, antara konflik dengan kinerja (ada pengaruh positif dan negatif)

Ifah Lathifah (2008)

Pengaruh Konflik Pekerjaan-Keluarga Terhadap Turnover Intentions Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening (Studi Empiris pada Auditor Kantor Akuntan Publik di Indonesia ), Tesis.

AZAZAH INDRIYANI, SE (2009)

Rio Radityo (2009)

Pratama Juli Hartini (2009)

Menghasilkan simpulan bahwa konstruk Kepuasan Kerja (Job Satisfaction) memediasi hubungan antara konflik pekerjaan-keluarga (work family conflict) terhadap Keinginan Berpindah (Turnover Intentions-TI). Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Pasewark dan Viator (2006). Pengaruh Konflik Peran Menghasilkan simpulan: Ganda Dan Stress Kerja 1. Konflik peran ganda yang Terhadap Kinerja Perawat dialami oleh perawat akan Wanita Rumah Sakit (Studi menyebabkan timbulnya Pada Rumah Sakit Roemani stress kerja; Muhammadiyah Semarang), 2. Stress kerja berpengaruh Tesis. signifikan positif terhadap kinerja perawat rumah sakit. Hubungan Sumber Stres Menghasilkan simpulan Kerja dengan Kinerja adanya hubungan negatif Karyawan Perusahaan antara stres kerja dengan Teknologi Informasi pada kinerja karyawan PT X Hubungan work-family Menghasilkan simpulan: conflict dan Kepuasan 1. terdapat hubungan yang Kerja pada Karyawati di signifikan antara konflik Perusahaan Ritel kerja-keluarga dengan kepuasan kerja pada karyawati perusahaan ritel di Jakarta. 2. Arah hubungan antara kedua variabel tersebut adalah negatif. Dengan kata lain, semakin tinggi konflik kerja-keluarga, Metode Penelitian 6

No

Periset

Judul riset

Keterangan
semakin rendah kepuasan kerja atau sebaliknya, semakin rendah konflik kerja-keluarga diikuti dengan kenaikan pada kepuasan kerja. Semakin tinggi tingkat konflik kerja-keluarga, semakin rendah kepuasan kerja yang dirasakan.

Berdasarkan paparan mengenai konflik pekerjaan-keluarga, stres kerja dan kinerja pegawai di atas, Penulis berniat untuk meneliti bagaimana hubungan antara ketiga variabel di atas. Judul penelitian yang penulis ajukan adalah Pengaruh Konflik PekerjaanKeluarga Terhadap Kinerja Pegawai Pada BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat Dengan Stres Kerja Sebagai Variabel Intervening. Penelitian ini merupakan replikasi dari systematic review yang diteliti oleh Jimad (2010) dan tesis Indriyani (2009). Perbedaan utama dengan Jimad (2010) adalah penggunaan statistik sebagai alat bantu untuk merumuskan pengaruh antar variabel (Jimad hanya melakukan systematic review bukan meta-analysis), sedangkan perbedaan dengan Indriyani (2009) adalah pada objek penelitian (pegawai pada BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat dan penggantian variabel intervening kepuasan kerja menjadi stres kerja. B. Gambaran Objek Penelitian dan Ruang Lingkup 1. Gambaran Umum BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23E, yang menyatakan bahwa BPK berkedudukan di ibukota negara dan mempunyai perwakilan di setiap provinsi, maka BPK RI melakukan pembukaan Perwakilan di Provinsi Jawa Barat, yang berkedudukan di Bandung. Dengan semakin meningkatnya luas lingkup pemeriksaan, pembukaan perwakilan dimaksud untuk meningkatkan mutu hasil pemeriksaan, serta untuk memperkuat peran dan kinerja BPK RI sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa di Indonesia. BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat didirikan pada 27 Januari 2006. Pembukaan dilakukan oleh Ketua BPK Anwar Nasution. Peresmian dilakukan di gedung eks KASIPA II Bandung di Jalan Surapati 12 Bandung. Status gedung adalah pinjam pakai. Pada saat didirikan Kepala Perwakilan dijabat oleh Ir. Saiful Anwar Nasution (2006 sampai dengan Oktober 2007). Estafet kepemimpinan di Perwakilan Provinsi Jawa Barat diberikan kepada Kepala Perwakilan kedua, yaitu Gunawan Sidauruk, S.H., M.M., M.H Metode Penelitian 7

(Oktober 2007 sampai dengan Juli 2010). Selanjutnya sejak Juli 2010 sampai dengan sekarang Slamet Kurniawan, M.Sc., Ak. diangkat sebagai Kepala Perwakilan menggantikan Gunawan Sidauruk. BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu unsur pelaksana BPK yang berada di bawah Auditorat Keuangan Negara (AKN) V dan bertanggung jawab kepada anggota V BPK melalui Auditor Utama Keuangan Negara V (Tortama KN V). BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat dipimpin oleh seorang kepala perwakilan. Tugas BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat adalah memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah pada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kota/Kabupaten di Provinsi Jawa Barat, serta BUMD dan lembaga terkait di lingkungan entitas tersebut di atas, termasuk melaksanakan pemeriksaan yang dilimpahkan oleh AKN. Lingkup wilayah kerja BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat 27 entitas audit Pemerintah daerah, yang terdiri dari 18 Pemerintah Kabupaten, 1 Pemerintah Propinsi dan 8 Pemerintah Kota. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat didukung oleh para pegawai yang dikelompokkan menjadi pegawai fungsional pemeriksa (auditor), bagian administrasi umum (penunjang dan pendukung), dan pegawai tidak tetap (PTT) yang jumlahnya mencapai 164 orang, dengan rincian: 71 orang auditor;72 orang jangkung; 21 orang PTT. Penulis memilih BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat sebagai objek penelitian karena beberapa alasan sebagai berikut: a. Perwakilan BPK RI merupakan miniatur dari BPK RI Pusat, unit kerja yang ada dalam suatu perwakilan dapat mewakili berbagai tuntutan kerja yang ada pada BPK RI dan jumlah pegawai (populasi) yang relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan BPK RI Pusat. b. Jumlah auditor yang hanya sekitar 71 orang dibandingkan dengan objek pemeriksaan sebanyak 27 entitas, dengan asumsi tiap entitas membutuhkan 4 orang auditor, seharusnya BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat memiliki auditor sebanyak 108 orang (27 x 4 orang). Kondisi ini dapat mengakibatkan dipakainya tenaga jangkung untuk menunjang tugas pemeriksaan, sehingga berpotensi menimbulkan kelebihan beban kerja. Terkait dengan penelitian ini Penulis akan menggunakan data primer yang berasal dari kuesioner mengenai konflik pekerjaan-keluarga dan stres kerja yang akan diberikan kepada para pegawai, juga kuesioner tentang kinerja pegawai yang akan diberikan kepada atasan langsung pegawai tersebut. Metode Penelitian 8

Dalam penelitian ini, populasi pegawai adalah seluruh pegawai BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat, baik auditor, jangkung ataupun PTT sejumlah 164 pegawai (tidak termasuk pejabat struktural). Sedangkan, data sampel yang akan diambil adalah sebanyak 117 peserta diklat dengan menggunakan rumus Slovin untuk menentukan jumlah sampel. C. Pertanyaan Riset 1. Apakah konflik pekerjaan-keluarga berpengaruh terhadap kinerja? 2. Apakah konflik pekerjaan-keluarga berpengaruh terhadap stres kerja? 3. Apakah stres kerja berpengaruh terhadap kinerja? D. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah (pertanyaan riset) di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Menguji pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap kinerja, 2. Menguji pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stres kerja, 3. Menguji pengaruh stres kerja berpengaruh terhadap kinerja.

E. Reviu Literatur dan Landasan Teoritis 1. Konflik Pekerjaan-Keluarga a) Definisi Konflik Pekerjaan-Keluarga Teori yang melandasi timbulnya konflik ini adalah teori peran (role theory). Peran (role) menurut Siegel dan Marconi (1989) dalam Lathifah (2008) adalah parts that people play in their interactions with others. Konflik peran (role conflict) terjadi ketika a person occupies several position that are incompatible or when a single position has mutually incompatible behavioral expectation (Siegel dan Marconi, 1989). Senada dengan hal itu Kahn, Wolf, Quinn, Snoek, dan Rosenthal (1964) dalam Hartini (2009) mendefinisikan peran sebagai sekumpulan aktivitas yang dianggap sebagai tingkah laku potensial. Konflik peran didefinisikan sebagai dua tekanan atau lebih yang terjadi secara bersamaan yang mana pemenuhan salah satunya akan menyulitkan pemenuhan yang lainnya. Lebih jauh lagi, Kahn, et.al (1964) memaparkan konflik peran yang terbagi menjadi empat tipe, yaitu: 1) Intra sender, yakni apabila konflik bersumber satu pihak saja. Misalnya, seorang atasan memberikan tugas yang tidak bisa diselesaikan oleh pekerja dengan semestinya. Metode Penelitian 9

2) Inter-sender, yakni apabila konflik bersumber dari dua pihak yang berbeda. Misalnya, dua orang atasan yang memberikan instruksi yang bertentangan pada seorang pekerja akan membingungkan pekerja dan menimbulkan konflik dalam melakukan tanggung jawab perannya. 3) Inter-role conflict, yakni apabila tekanan peran diasosiasikan dengan keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi dan keanggotaannya di kelompok lain. Konflik kerjakeluarga termasuk dalam tipe konflik peran ini dimana pekerja memiliki tanggung jawab di dua kelompok yang berbeda, yaitu di tempat kerja dan keluarga. 4) Person-role conflict, yakni tuntutan yang dialami oleh seseorang bertentangan dengan etika moral yang ia pegang. Manusia dalam kehidupannya memerankan berbagai peran yang secara alamiah melekat padanya, misalkan peran sebagai orang tua sekaligus peran sebagai anak, kakak/adik, paman/bibi, sepupu dsb. Selain peran alamiah tersebut, manusia juga memiliki peran akibat interaksinya dengan lingkungan, peran dalam pekerjaan misalnya. Tuntutan dari berbagai peran ini dapat menimbulkan suatu konflik yang para ahli menyebutnya dengan konflik peran. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Kahn et al. Salah satu bentuk konflik peran yang terkenal adalah konflik pekerjaan-keluarga (work-family conflict), Spector (1997) dalam Hartini (2009) menyatakan bahwa konflik antarperan (interrole conflict) dalam bekerja dan berkeluarga disebut juga dengan konflik kerja-keluarga (work-family conflict), yakni apabila tuntutan keluarga dan tuntutan pekerjaan bertentangan satu sama lain. Hal senada juga diungkapkan oleh Greenhaus dan Beutell (1985) dalam Lathifah (2008) yang menyatakan konflik pekerjaan-keluarga dihasilkan oleh adanya tekanan secara bersamaan antara peran pekerjaan dan keluarga yang bertentangan satu sama lainnya. Lebih lanjut, Lathifah (2008) mengutip Greenhaus dan Beutell (1985) mengungkapkan bahwa konflik antara pekerjaan dan keluarga terjadi ketika seseorang harus melaksanakan multi peran, yaitu sebagai karyawan, pasangan (suami/istri) dan orang tua. Tekanan dalam lingkungan kerja yang dapat menimbulkan konflik pekerjaan-keluarga, antara lain tidak teraturnya atau tidak fleksibelnya jam kerja, overload pekerjaan, perjalanan dinas yang banyak, konflik antar individu karyawan dan tidak adanya dukungan dari supervisor atau perusahaan. Tekanan dalam lingkungan keluarga yang dapat menghasilkan konflik pekerjaan-keluarga, antara lain kehadiran anak yang paling kecil, tanggung jawab utama terhadap anak, tanggung jawab sebagai anak yang tertua, konflik antar anggota keluarga dan tidak adanya dukungan dari anggota keluarga. Gutek et al. (1991) mengemukakan bahwa masing-masing peran di atas membutuhkan waktu dan tenaga jika akan dilaksanakan secara memadai. Konsekuensinya adalah seseorang akan mengalami Metode Penelitian 10

gangguan dengan adanya campur tangan antara pekerjaan terhadap keluarga atau sebaliknya. Hartini (2009) mengutip Herman dan Gyllstrom (1977) dalam Greenhaus & Beutell, 1985) menemukan bahwa seseorang yang sudah menikah mengalami konflik kerja-keluarga yang lebih besar daripada orang yang tidak menikah. Selain itu, orang tua akan mengalami konflik kerja-keluarga yang lebih dibandingkan dengan bukan orang tua. Orang tua dengan anak kecil (yang cenderung menuntut waktu orang tuanya) mengalami konflik yang lebih besar daripada orang tua dengan anak yang lebih besar (Beutell & Greenhaus; Greenhaus & Kopelman; Pleck et al dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Lebih lanjut Hartini (2009) mengutip penelitian Greenhaus dan Beutell (1985) mengemukakan bahwa konflik kerja keluarga memiliki tiga bentuk besar konflik peran, yakni: 1) Time-Based Conflict, yakni tuntutan waktu pada satu peran mempengaruhi keterlibatan di peran yang lainnya. Tuntutan waktu ini dapat terjadi tergantung dari alokasi waktu kerja dan kegiatan keluarga yang dipilih berdasarkan preferensi dan nilai yang dimiliki individu (Greenhaus, www.brandeis.edu). 2) Strain-Based Conflict. Stres yang ditimbulkan dari salah satu peran yang mempengaruhi peran yang lain sehingga mempengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan. Persepsi stres peran ini dapat muncul dari predisposisi seseorang dalam mengalami stres. Selain itu, kemampuan individu berbeda-beda dalam mengalami stres (Greenhaus, www.brandeis.edu). 3) Behavior-Based Conflict. yakni tingkah laku yang efektif untuk satu peran tapi tidak efektif untuk digunakan untuk peran yang lain. Ketidakefektifan tingkah laku ini dapat disebabkan oleh kurangnya kesadaran individu akan akibat dari tingkah lakunya kepada orang lain (Greenhaus, www.brandeis.edu). Dari berbagai paparan di atas mengenai konflik pekerjaan-keluarga, penulis menyimpulkan bahwa konflik pekerjaan-keluarga adalah konflik yang timbul akibat tuntutan pekerjaan dan tuntutan keluarga yang saling mengintervensi satu sama lain. b) Dimensi Konflik Pekerjaan-Keluarga Netemeyer et al. (1996) dalam Lathifah (2008) membagi dimensi keluarga menjadi dua yaitu: 1) Work Interfering with Family (WIF), sebentuk konflik antarperan dimana tuntutan waktu dan ketegangan secara keseluruhan yang dihasilkan dari pekerjaan mempengaruhi pekerja untuk memenuhi tanggung jawab berkaitan dengan keluarga. Penelitian Grandey et al (2005) menunjukkan bahwa bagi wanita, WIF merupakan prediktor yang unik dan signifikan pada kepuasan kerja. Hal tersebut terjadi karena individu menganggap peran di keluarga sebagai bagian dari identitas dirinya (self-identity). Metode Penelitian 11

2) Family Interfering with Work (FIW), sebentuk konflik antarperan dimana tuntutan waktu dan ketegangan secara keseluruhan yang dihasilkan dari keluarga mempengaruhi pekerja untuk memenuhi tanggung jawab berkaitan dengan pekerjaan. c) Pengukuran Konflik Pekerjaan-Keluarga Pengukuran konflik pekerjaan-keluarga sesuai dengan dimensi konflik pekerjaankeluarga menurut penelitian Netemeyer et al. (1996), yang juga digunakan Lathifah (2008) adalah sebagai berikut: 1) Pengukuran dimensi pekerjaan mengintervensi keluarga (Work Interfering with Family/WIF) menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Netemeyer et al. (1996) yang terdiri dari 6 pertanyaan. Masing-masing responden diminta menjawab setiap pertanyaan dengan skala Likert 5 poin yaitu mulai dari angka 1 (sangat tidak setuju) sampai dengan angka 5 (sangat setuju). Skor yang rendah menunjukkan rendahnya konflik pekerjaan mengintervensi keluarga sedangkan skor yang tinggi menunjukkan tingginya konflik pekerjaan mengintervensi keluarga. 2) Pengukuran dimensi keluarga mengintervensi pekerjaan (Family Interfering with Work/FIW) menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Netemeyer et al. (1996) yang terdiri dari 6 pertanyaan. Masing-masing responden diminta menjawab setiap pertanyaan dengan skala Likert 5 poin yaitu mulai dari angka 1 (sangat tidak setuju) sampai dengan angka 5 (sangat setuju). Skor yang rendah menunjukkan rendahnya konflik keluarga mengintervensi pekerjaan dan begitu pula sebaliknya. 2. Stres Kerja a) Definisi stres kerja Menurut Selye (1956) dalam Wikaningtyas (2007), terdapat dua jenis stres, yaitu eustress, stres yang mempunyai dampak positif bagi kehidupan seseorang, dan distress, stres yang dapat membawa dampak negatif bagi seseorang. Salah satu dampak positif dari stres adalah meningkatnya motivasi seseorang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Di lain pihak, terdapat juga banyak dampak negatif dari stres, diantaranya adalah berbagai penyakit seperti hipertensi dan pendarahan ulkus, serta gejala psikopatologis seperti depresi dan anxiety. Jimad (2010) mengutip penjelasan Dunham (1992) dalam Wang, Lin, Cao (2009:460) mendefinisikan stres sebagai proses perilaku, emosional, mental dan reaksi psikis yang berkepanjangan, meningkat atau tekanan baru yang lebih besar dari kemampuan seorang individu. Dalam skripsi ini penulis membatasi stres hanyalah pada stres kerja (occupational stress). Definisi stres kerja adalah interaksi antara kondisi kerja dan karakteristik pekerja, Metode Penelitian 12

yang mana tuntutan pekerjaan melebihi kemampuan yang dimiliki seseorang dalam menghadapinya (Ross & Altmaier, 1994 dalam Wikaningtyas, 2007). Definisi stres kerja lainnya adalah suatu respon adaptif, dihubungkan oleh karakteristik dan atau proses psikologi individu yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan eksternal, situasi atau peristiwa yang menempatkan tuntutan psikologis dan atau fisik khusus pada seseorang (Ivancevich dan Matteson, 1980 dalam Indriyani, 2009). Wikaningtyas (2007) mendefinisikan stres kerja sebagai suatu keadaan yang melibatkan interaksi antara pekerja dan lingkungan pekerjaannya, dimana terdapat ketidaksesuaian antara tuntutan pekerjaan dan kemampuan pekerja. Penulis sependapat dengan Wikaningtyas (2007) mengenai definisi stres kerja. Dalam penulisan skripsi ini stres kerja merujuk pada definisi yang diberikan oleh Wikaningtyas (2007) tersebut. b) Dimensi stres kerja Radityo (2009) mengutip penjelasan Selye dalam Beehr, et al. (1992: 623) mendefinisikan stres kerja sebagai berikut: Work stress is an individuals response to work related environmental stressors. Stress as the reaction of organism, which can be physiological, psychological, or behavioural reaction. Kurang lebih artinya adalah respon yang diberikan seorang individu baik berupa reaksi fisiologis, psikologis maupun perilaku terhadap stressor (pemicu stres) yang berasal dari lingkungan kerjanya. Jadi dimensi stres kerja ada dua yaitu stressor (pemicu stres) dan reaksi individu atas stressor tersebut, baik reaksi fisiologis (fisik), psikologis maupun perilaku. Dimensi stres kerja yang pertama yaitu pemicu stres (stressor), Wikaningtyas (2007) mengutip penjelasan dari Ross & Altmaier (1994) dalam Rice (1999) membagi stressor menjadi dua faktor utama yaitu faktor individu dan faktor lingkungan (organisasi atau pekerjaan). (1) Faktor individu, diuraikan menjadi: (a) karakteristik pribadi Misalnya adalah kepribadian/perilaku. Apakah seorang individu tersebut masuk kategori Tipe A (berkepribadian suka terburu-buru, tidak sabaran agresif, suka kompetisi) ataukah masuk kategori Tipe B (tidak terburu-buru, sabar, tidak agresif, tidak suka kompetisi), individu dengan Tipe A cenderung lebih mudah terken stres. Contoh lain adalah kontrol diri, individu yang memiliki kontrol diri cenderung lebih susah terkena stres dibandingkan individu yang tidak mempunyai kontrol diri. Berbagai penelitian juga menyatakan bahwa gender juga berpengaruh terhadap Metode Penelitian 13

stres kerja, wanita lebih rentan terkena stres dibanding pria karena berbagai hal antara lain peran ganda dan pelecehan di tampat kerja. (b) respon/coping Keberadaan dukungan sosial adalah contoh untuk kategori ini, dukungan sosial dapat berupa dukungan kuantitatif, yaitu jumlah orang yang dapat membantu ketika individu mengalami kesulitan; dan dukungan kualitatif, yaitu persepsi individu tentang seberapa jauh hubungan antara individu dengan orang lain dapat memenuhi kebutuhannya. (2) Faktor Organisasi/Pekerjaan, diuraikan menjadi: (a)Kondisi Kerja. Yang termasuk dalam kondisi kerja adalah: a.1. Beban kerja yang berlebihan (work overload) Beban kerja yang berlebihan dapat bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif, beban dapat muncul ketika tuntutan fisik dari pekerjaan melebihi kemampuan yang dimiliki oleh pekerja. Secara kualitatif, beban muncul ketika pekerjaan terlalu kompleks atau sulit dan kemampuan teknis atau keterampilan yang dimiliki oleh pekerja tidak dapat memenuhi tuntutan tersebut. a.2. Work underload Work underload adalah suatu kondisi dimana pekerjaan dinilai tidak menantang dan tidak menarik minat ataupun perhatian pekerja. Hal ini dapat terjadi karena pekerjaan tidak menuntut digunakannya seluruh kemampuan yang dimiliki oleh individu. Pengulangan atau repetisi pekerjaan, dimana pekerja harus melakukan pekerjaan yang sama berulang-ulang kali, dapat menimbulkan kebosanan dan lama-kelamaan menyebabkan stres kerja. Keadaan ini sering disebut dengan assembly-line hysteria, dan sering kali terjadi pada orang yang bekerja di bidang perakitan atau di suatu organisasi dengan birokrasi yang rumit. a.3. Kondisi lingkungan kerja yang tidak mendukung. Kondisi kerja yang berbahaya juga dapat memicu stres kerja. Tempat kerja yang bising adalah salah satu contoh keadaan yang dapat memicu stres kerja. Selain itu, penggunaan teknologi yang terbatas juga dapat memicu stres kerja (Ross & Altmaier, 1994). (b)Ambiguitas Peran. Menurut Rice (1999), ambiguitas peran merupakan suatu hal yang sering dikatakan berkaitan dengan stres kerja. Rice mengatakan bahwa ambiguitas peran terjadi ketika individu tidak tahu apa yang diharapkan oleh perusahaan dari dirinya. Metode Penelitian 14

Selain itu, ambiguitas peran dapat dialami ketika terdapat ketidakjelasan tujuan dari suatu pekerjaan, atau batas-batas tanggung jawab yang dimiliki oleh pekerja. (c) Hubungan Interpersonal Di Tempat Kerja. Menurut Rice (1999), hubungan interpersonal di tempat kerja merupakan suatu bagian yang penting dari kepuasan kerja. hubungan interpersonal dapat membantu individu dalam menghadapi stres. Terdapat tiga jenis hubungan interpersonal dalam tempat kerja (Ross & Altmaier, 1994), yaitu: c.1. Hubungan dengan rekan kerja Hubungan yang buruk dengan rekan kerja diasosiasikan dengan rasa terancam pada individu. Selain itu hubungan yang buruk dengan rekan kerja juga diasosiasikan dengan rendahnya tingkat kepercayaan, saling mendukung, dan keinginan untuk mendengarkan atau bersifat empatik. Dikatakan juga bahwa hubungan yang baik dengan rekan kerja dapat membantu individu dalam melakukan coping stres kerja. c.2. Hubungan dengan atasan Selain hubungan dengan rekan kerja, hubungan individu dengan atasan juga memiliki pengaruh dalam dialaminya stres kerja. Sikap atasan yang melibatkan individu dalam pengambilan keputusan dan memberikan kesempatan bagi komunikasi dua arah dapat mengurangi kemungkinan dialaminya stres kerja. Namun, dilain pihak, perilaku individu juga dapat mempengaruhi dialaminya stres oleh atasan. c.3. Hubungan dengan pelanggan atau klien Kesulitan dalam komunikasi dengan klien atau pelanggan biasanya dialami oleh orang yang pekerjaannya melibatkan pemberian jasa kepada klien, seperti praktisi kesehatan dan pekerja sosial. (d)Pengembangan Karir Pada umumnya, pekerja memiliki suatu harapan dari pekerjaannya, seperti dapat mempelajari berbagai hal baru, mengalami kemajuan yang tetap, serta harapan akan pendapatan yang meningkat (Rice, 1999). Namun, terkadang hal tersebut tidak dapat dicapai oleh sebagian pekerja, sehingga dapat menyebabkan stres kerja. Rice juga menambahkan, ketika harapan seseorang tidak dapat dicapai, terkadang orang tersebut kehilangan sense of accomplishment dan kepercayaan diri. Sehubungan dengan pengembangan karir, umpan balik tentang hasil kerja karyawan dikatakan dapat meningkatkan kinerja dan motivasi, sebaliknya, jika tidak mendapat umpan balik, potensi dialaminya stres kerja lebih tinggi bagi karyawan (Ross & Altmaier, 1994). Metode Penelitian 15

(e)Struktur Organisasi. Sering kali, pekerja mengeluh tentang adanya struktur yang kaku, politik yang berlaku di tempat kerja, ataupun pengawasan yang kurang memadai dari manajemen (Rice, 1999). Rice juga mengatakan bahwa kurangnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan serta kurangnya dukungan atasan bagi kreatifitas pekerja dapat juga menimbulkan stres kerja. Ross dan Altmaier (1994) mengatakan bahwa posisi atau tingkat yang diemban seseorang dalam organisasi juga berperan dalam proses timbulnya stres kerja. Dalam hal ini, karyawan yang memiliki posisi rendah dalam hierarki organisasi, lebih tinggi kemungkinannya untuk mengalami stres kerja. . Beehr & Newman (1978) dalam Wikaningtyas (2007) menjelaskan dimensi jenis reaksi individu dengan menggunakan istilah gejala. Lebih lanjut Wikaningtyas menukil penjelasan mereka sebagai berikut: 1) Gejala Psikologis, yang dimaksud dengan gejala psikologis adalah masalah emosi dan kognitif yang muncul dalam kondisi stres kerja. Yang termasuk dalam gejala psikologis antara lain: (a) (b) (c) (d) (e) (f) kecemasan, ketegangan, rasa bingung merasa frustrasi dan marah penurunan efektifitas komunikasi kebosanan dan ketidakpuasan kerja kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kurang konsentrasi menurunnya self-esteem

2) Gejala Fisik, sedangkan yang dimaksud dengan gejala fisik adalah penurunan kesehatan fisik secara gradual. Yang termasuk gejala fisik antara lain: (a) peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan potensi terkena penyakit jantung (b) peningkatan sekresi hormon stres, seperti adrenalin dan noradrenalin (c) kelainan pencernaan, seperti kolitis dan ulkus. (d) kelelahan fisik (e) masalah pernafasan (f) kelainan kulit (g) sakit kepala, sakit punggung, dan ketegangan otot Menurut Ross dan Altmaier (1994), telah banyak penelitian yang menemukan hubungan antara stres kerja dengan penyakit jantung dan masalah pencernaan.

Metode Penelitian

16

3) Gejala Perilaku, Beberapa gejala perilaku yang timbul akibat adanya stres kerja juga dikemukakan oleh Beehr dan Newman sebagai berikut: (a) menunda dan menghindari pekerjaan serta perilaku absen (b) kinerja dan produktifitas rendah (c) peningkatan konsumsi alkohol serta obat-obatan terlarang. (d) agresi, pencurian atau perbuatan merusak. Beehr dan Newman menambahkan bahwa terdapat gejala perilaku yang memiliki dampak bagi organisasi. Stres kerja sering dikaitkan dengan penurunan kinerja, perilaku membolos, dan kecenderungan kecelakaan. Karena stres, para pekerja menjadi lebih sedikit terlibat dalam pekerjaan dan kehilangan rasa tanggung jawab atas pekerjaannya. Lebih lanjut pekerja menjadi kurang perhatian terhadap organisasi serta rekan kerjanya. Salah satu dampak akhir yang dapat terjadi adalah individu meninggalkan pekerjaannya. Menurut Ivancevich dan Matteson (1980) dalam Indriyani (2009) menentukan dimensi/indikator stres kerja adalah: 1) Beban kerja 2) Tuntutan/tekanan dari atasan 3) Ketegangan dan kesalahan 4) Menurunnya tingkat hubungan interpersonal Selanjutnya dimensi menurut Ivancevich dan Matteson ini yang akan dipakai dalam pengukuran stres kerja. c) Pengukuran stres kerja (1) Pengukuran stres kerja menggunakan kuesioner yang terdiri dari 4 item pertanyaan untuk mengukur dimensi stres kerja menurut Ivancevich dan Matteson yang akan dibagikan kepada responden (pegawai). (terlampir) Pengukuran akan menggunakan skala likert (1 sampai 5). Dengan keterangan: 1 = sangat tidak setuju 2 = tidak setuju 3 = netral 4 = setuju 5 = sangat setuju (2) Wawancara (jika memungkinkan) untuk mendukung kuesioner. (terlampir) 3. Kinerja Pegawai a) Definisi Kinerja Jimad (2010) menyatakan bahwa kinerja merupakan hasil atas pekerjaan yang dilakukan seseorang sesuai dengan ketentuan atau standar yang telah Metode Penelitian 17

ditetapkan oleh perusahaan. Menurut Cherrington (1994) dalam Indriyani (2009), kinerja kerja menunjukkan pencapaian target kerja yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu. Pencapaian kinerja kerja tersebut dipergunakan oleh kecakapan dan motivasi. Kinerja kerja yang optimum akan tercapai jika organisasi dapat memilih karyawan yang memungkinkan mereka dapat bekerja secara maksimal. Lebih lanjut Jimad (2010) menerangkan istilah kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance merupakan prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2000 dalam vivi dan Rorlen, 2007:53), penulis sepakat dengan Mangkunegara mengenai definisi kinerja ini. Sukses tidaknya manajemen SDM seringkali dikaitkan dengan tingkat kinerja pegawai. Tingkat kinerja pegawai menjadi tolok ukur keberhasilan proses perekrutan, pengembangan (diklat), penempatan, promosi/mutasi, kompensasi, hingga job retirement SDM. Semakin tinggi kinerja pegawai (semakin mendekati standar yang ditetapkan organisasi), maka semakin baik manajemen tersebut, demikian pula sebaliknya. b) Dimensi Kinerja Kinerja karyawan menurut Prawirosentono (1999) mempunyai dimensi sebagai berikut: 1) Tingkat absensi 2) Terlambat masuk kerja 3) Prestasi dan produktivitas menurun 4) Kualitas 5) Kuantitas 6) Ketepatan waktu 7) Sikap 8) Efektivitas 9) Komitmen Selanjutnya dimensi yang akan diukur dalam skripsi ini adalah poin 1,2,4,5 dan 6, dengan alasan poin tersebut menurut penulis paling relevan untuk pengukuran kinerja pegawai di objek penelitian. c) Pengukuran Kinerja Metode Penelitian 18

(1)Menggunakan kuesioner (terlampir) yang menggunakan skala 1 sampai 5, dengan keterangan: 1 = sangat kurang 2 = kurang 3 = cukup 4 = baik 5 = sangat baik (2)jika memungkinkan akan dilakukan observasi untuk mendukung kuesioner. Keterkaitan Konflik Pekerjaan-Keluarga dan Stres Kerja Penelitian yang dilakukan oleh Murtiningrum (2005) menemukan bahwa konflik pekerjaan-keluarga memiliki pengaruh terhadap timbulnya stres kerja, Murtiningrum (2005) menambahkan bahwa hasil penelitian ini mendukung temuan-temuan peneliti terdahulu seperti: Kahn, et al dalam Thomas & Ganster (1995) dan Judge et al (1994). Keterkaitan Stres Kerja dan Kinerja Penelitian yang dilakukan oleh Indriyani (2009:108) menyatakan bahwa stres kerja secara signifikan berpengaruh terhadap kinerja perawat wanita di rumah sakit. Hal senada juga diungkapkan oleh Selviana (2009) dalam Jimad (2010) yang menyatakan bahwa stres kerja yang terdiri dari stres kerja fisik, stres kerja emosional, stres kerja intelektual dan stres kerja interpersonal berpengaruh terhadap kinerja perawat di rumah sakit. Mirzatriana (2008) dalam Jimad (2010) menyatakan bahwa stres kerja berpengaruh terhadap kinerja karyawan bidang keuangan PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat. Keterkaitan Konflik dan Kinerja Jimad (2010) menyatakan Konflik peran yang dihadapi seorang karyawan memiliki dampak terhadap kinerja karyawan tersebut. Meski dalam beberapa kasus konflik dapat meningkatkan kinerja karyawan, namun pada umumnya karyawan yang memiliki konflik umumnya tidak fokus dalam mengerjakan pekerjaannya, hal ini akan mempengaruhi kinerja mereka. Lebih lanjut Jimad (2010) menambahkan bahwa meskipun telah banyak dilakukan penelitian tentang konflik dan kinerja, namun berbagai penelitian tentang pengaruh konflik peran terhadap kinerja menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Beberapa peneliti yaitu Bhuian et al (2005); Lusch dan Jawaorski (1991); Singh (1998) dalam Knight, Kim, dan Crutsinger (2007:382) menemukan bahwa konflik peran memiliki pengaruh yang negatif pada prestasi kerja dan lain-lain. Sedangkan Babin dan Boles (1996); Dubinsky et al (1992) dalam Knight, Kim, dan Crutsinger, (2007:382) menemukan bahwa konflik menghasilkan Metode Penelitian 19

efek positif pada prestasi kerja. Bahkan Singh (1998) menyatakan bahwa tingkat konflik peran moderat bisa merangsang beberapa orang untuk melakukan penjualan dan meningkatkan kinerja mereka. Namun para peneliti sebagian besar setuju bahwa konflik peran yang ekstrim akan mengurangi kinerja (Singh et al, 1994 dalam Knight, Kim, dan Crutsinger, 2007:382). F. Variabel dan Hipotesis Dalam penelitian ini, Penulis akan menggunakan tiga jenis variabel, yaitu variabel terikat, variabel bebas dan variabel intervening.Penjelasan variabel-variabel tersebut antara lain: 1. Variabel independen (bebas) . Variabel bebas, yaitu variabel yang mempengaruhi variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konflik pekerjaan-keluarga. 2. Variabel dependen (terikat). Variabel terikat yaitu variabel yang dipengaruhi variabel bebas dan menjadi perhatian utama Penulis. Variabel terikat pada penelitian ini adalah kinerja pegawai. 3. Variabel intervening (antara/mediasi) Variabel mediasi atau intervening merupakan variabel antara atau mediating, yang berfungsi memediasi hubungan antara variabel independent (predictor) dengan variabel dependen (predictand)

Model penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Metode Penelitian

20

Keterangan: X = variabel bebas; konflik kinerja-pegawai Y = variabel terikat; kinerja pegawai M = variabel intervening; stres kerja

Hipotesis yang penulis ajukan adalah: H1: X berpengaruh positif terhadap M. H2: M berpengaruh positif terhadap Y. H3: X berpengaruh positif terhadap Y. H4: M memediasi hubungan antara X terhadap M.

Hipotesis tersebut dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:

Hipotesis awal tersebut akan diuji secara statistik dengan bantuan program aplikasi statistik.

G. Metode dan Prosedur 1. Instrumentasi Sebagaimana telah disebutkan di atas, penelitian ini akan menggunakan 3 variabel, yaitu konflik pekerjaan-keluarga (variabel bebas), kinerja pegawai (variabel terikat) dan stres kerja (variabel intervening). Penjelasan dari definisi operasional yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Variabel
Konflik Pekerjaan-Keluarga Spector (2009) (1997) dalam Hartini

Definisi
konflik antarperan (interrole conflict) dalam bekerja dan berkeluarga disebut juga dengan konflik kerja-keluarga

Indikator
1. Work Interfering with Family (WIF) 2. Family Interfering with Work (FIW)

Metode Penelitian

21

Variabel

Definisi
(work-family conflict), yakni apabila tuntutan keluarga dan tuntutan pekerjaan bertentangan satu sama lain suatu keadaan yang melibatkan interaksi antara pekerja dan lingkungan pekerjaannya, dimana terdapat ketidaksesuaian antara tuntutan pekerjaan dan kemampuan pekerja

Indikator
Netemeyer et al. (1996) 1) 2) 3) 4) Beban kerja Tuntutan/tekanan Ketegangan Menurunnya dari dan tingkat

Stres kerja Wikaningtyas (2007)

atasan kesalahan hubungan interpersonal Ivancevich dan Matteson (1980) dalam Indriyani (2009)

Kinerja karyawan Mangkunegara (2000) dalam Vivi dan Rorlen (2007) dalam Jimad (2010)

prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya

1) 2) 3) 4) 5)

Tingkat absensi Terlambat masuk kerja Kualitas Kuantitas Ketepatan waktu

Prawirosentono (1999) dalam Indriyani (2009)

Dalam penelitian ini, untuk mengukur variabel, penulis menggunakan Skala Likert yang dapat digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi tentang fenomena sosial. Penelitian ini akan menggunakan instrumen data berupa kuesioner, wawancara dan observasi. Model penelitian yang digunakan adalah melakukan pengujian analisis regresi variabel intervening dengan metode kausal step untuk menjawab pertanyaan riset. 2. Populasi, sampel atau responden yang dituju Populasi pegawai adalah seluruh pegawai BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat, baik auditor, jangkung ataupun PTT sejumlah 164 pegawai (tidak termasuk pejabat struktural). Sedangkan, data sampel yang akan diambil untuk pembagian kuesioner adalah sebanyak 117 peserta diklat dengan menggunakan rumus Slovin untuk menentukan jumlah sampel. Rumus Slovin : n = N/{1+(N x e2} n = sampel N = populasi Metode Penelitian 22

E = error level (diambil 5%) Sementara itu, untuk responden wawancara, Penulis merencanakan untuk mewawancarai sebanyak tujuh orang responden dengan asumsi wawancara akan dilakukan pada dua minggu pertama waktu penelitian. 3. Pengumpulan data Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer yang dikumpulkan dengan metode pengumpulan data berupa: a. Kuesioner, yaitu dengan cara menyebarkan daftar pertanyaan yang bersifat tertutup untuk memudahkan responden dalam memberikan penilaian. Kuesioner terdiri dari dua bagian: 1. kuesioner untuk pegawai (konflik pekerjaan-keluarga: 12 item pertanyaan dan stres kerja: 4 item pertanyaan) 2. kuesioner untuk atasan langsung (penilaian kinerja: 5 item pertanyaan) (kuesioner terlampir) b. Wawancara, dilakukan untuk menggali informasi atau keterangan yang berkaitan dengan variabel penelitian, tetapi tidak tergali dalam kuesioner. Wawancara bersifat semi terstruktur dan akan dilakukan terhadap beberapa orang responden dari pegawai/pejabat struktural. c. Observasi, untuk memperkuat data dari penilaian kinerja dengan cara observasi absensi/keterlambatan kerja dan kuantitas pekerjaan yang diselesaikan pegawai. 4. Analisis Data Data akan dianalisis dengan uji statistik deskriptif untuk menggambarkan data dalam bentuk kuantitatif untuk mengetahui informasi tentang data dalam kuesioner. Uji analisis regresi untuk variabel intervening menggunakan kausal step dilakukan dalam penelitian ini untuk melihat apakah terdapat pengaruh antar dimensi. Untuk pengujian analisis regresi linier ini disertai dengan uji asumsi klasik, seperti uji normalitas atau menggunakan MSI, uji heteroskedastisitas, dan uji multikolineraritas. 5. Mekanisme untuk memastikan kualitas riset (validitas dan reliabilitas) Untuk mengukur ketepatan data kuesioner, Penulis akan melakukan uji validitas dan reliabilitas. Pengujian ini akan dilakukan dengan bantuan aplikasi program statistik SPSS 20. H. Keterbatasan Riset Metode Penelitian 23

Terdapat beberapa kondisi yang mungkin timbul dalam penelitian ini yang berada di luar kendali Penulis, seperti: 1. Jangka waktu penelitian yang sempit; 2. Prosedur dan tata cara melakukan riset di objek penelitian kurang mendukung; 3. Jumlah pegawai kurang dari jumlah minimum sampel yang akan diambil karena sedang melakukan pemeriksaan dsb. I. Kontribusi Riset Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan manajemen BPK RI Perwakilan Jawa Barat (SDM/Subauditorat dsb) dalam hal manajemen SDM.

II.

RENCANA DAFTAR PUSTAKA

Indriyani, Azazah. 2009. Pengaruh Konflik Peran Ganda dan Stress Kerja Terhadap Kinerja Perawat Wanita Rumah Sakit : Studi Pada Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro. Jimad, Habibullah. 2010. Konflik Pekerjaan-Keluarga, Stress dan Kinerja. Jurnal. Lampung: Universitas Lampung. Lathifah, Ifah. 2008. Pengaruh Konflik Pekerjaan-Keluarga Terhadap Turnover Intentions Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening (Studi Empiris pada Auditor Kantor Akuntan Publik di Indonesia ). Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro. Murtiningrum, Afina. 2005. Analisis Pengaruh Konflik Pekerjaan-Keluarga Terhadap Stress Kerja Dengan Dukungan Sosial Sebagai Variabel Moderasi: Studi Kasus Pada Guru Kelas 3 SMP Negeri di Kabupaten Kendal. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro. III. PENUTUP A. Rencana Pelaksanaan Penelitian Rencana mengenai kegiatan dan periode pelaksanaan penyusunan skripsi yang diperkirakan oleh Penulis adalah sebagai berikut: Rencana Kegiatan Penyusunan Outline Januari Februari 2013 2013 Maret 2013 April 2013 Mei 2013

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Metode Penelitian

24

Penyusunan BAB I Penyusunan BAB II Penyusunan BAB III Penyusunan BAB IV Penyusunan BAB V Tahap Penyelesaian

B. Kontinjensi Apabila dalam penyusunan skripsi ini Penulis menemui hambatan baik dalam hal pengumpulan data maupun dalam pembahasannya, Penulis akan melakukan perubahan terhadap rencana skripsi yang telah disusun ini. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan objek penelitian, perubahan metodologi penelitian, ataupun perubahan bagianbagian dalam rencana skripsi ini. Perubahan tersebut sebelumnya akan dikonsultasikan dulu dengan dosen pembimbing dan dengan sepengetahuan lembaga.

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Kuesioner konflik pekerjaan-keluarga


Petunjuk Pengisian: Mohon Bpk/Ibu memberikan tanda silang (X) pada salah satu skala 1 sampai 5 yang tersedia pada kolom di samping pertanyaan untuk menentukan seberapa setuju Bpk/Ibu mengenai kondisi-kondisi berikut: 1 Sangat tidak setuju 2 Tidak setuju 3 netral 4 setuju 5 Sangat setuju

Pekerjaan Mengintervensi Keluarga (Work Interfering with Family-WIF)

STS

TS

SS

Metode Penelitian

25

1) Pekerjaan kantor mengintervensi kehidupan keluarga dan rumah tangga saya. 2) Tuntutan waktu pekerjaan kantor saya membawa kesulitan untuk mengurus rumah, keluarga atau tanggung jawab pribadi. 3) Sesuatu yang ingin saya lakukan di rumah tidak dapat dilakukan karena tuntutan dari pekerjaan kantor saya. 4) Pekerjaan saya menimbulkan stress yang membawa kesulitan untuk memenuhi kewajiban aktivitas keluarga. 5) Berkaitan dengan kewajiban terhadap perkerjaan kantor, saya ingin mengubah rencana untuk waktu beraktivitas bersama keluarga. 6) Tuntutan pekerjaan kantor saya membawa kesulitan untuk bersantai dengan keluarga di rumah.

Keluarga Mengintervensi Pekerjaan (Family Interfering with Work- F I W) 1) Tuntutan keluarga saya atau suami (istri) saya mencampuri dan mengganggu kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan kantor saya. 2) Saya menunda melakukan sesuatu pekerjaan kantor karena tuntutan keluarga saya atau suami (istri) saya. 3) Saya kesulitan untuk menyelesaikan pekerjaan kantor karena tuntutan keluarga saya atau suami (istri) saya. 4) Kehidupan keluarga mengintervensi tanggung jawab saya dalam pekerjaan kantor seperti hadir tepat waktu, menyelesaikan tugas-tugas harian dan kerja lembur. 5) Tekanan/Stres keluarga mengganggu saya untuk melakukan kewajiban pekerjaan kantor. 6) Keluarga saya dan teman-teman saya mengurangi waktu yang akan saya pergunakan untuk menyelesaikan pekerjaan kantor

STS

TS

SS

2. Kuesioner Stres Kerja


Stres Kerja 1) Saya merasa tidak cocok dengan beban kerja saya saat ini STS 1 1 TS 2 2 N 3 3 S 4 4 SS 5 5

2) Atasan saya terlalu penuntut, sehingga saya merasa tidak nyaman

Metode Penelitian

26

3) Saya merasa tegang saat bekerja, sehingga sering melakukan kesalahan

1 1

2 2

3 3

4 4

5 5

4) Kondisi pergaulan di kantor kurang mendukung saya untuk bekerja

3. Kuesioner Kinerja (untuk atasan langsung)


Petunjuk Pengisian: Mohon Bpk/Ibu memberikan tanda silang (X) pada salah satu skala 1 sampai 5 yang tersedia pada kolom di samping kriteria untuk menilai kinerja karyawan, semakin baik kinerja karyawan nilainya akan semakin tinggi: Keterangan: 1 Sangat Kurang 2 Kurang 3 Cukup 4 Baik 5 Sangat Baik

Misal :
KRITERIA PENILAIAN KINERJA PEGAWAI Tingkat absensi/ bolos kerja (jika pegawai sering bolos = kinerjanya buruk, maka nilainya makin kecil; misal 1 (sangat kurang) Namun jika karyawan tidak pernah bolos = kinerjanya bagus, maka nilainya makin besar, misal 5 (sangat baik) dst SK K C B SB

Nama Pegawai : ..................................................


KRITERIA PENILAIAN KINERJA PEGAWAI 1) 2) 3) Tingkat absensi Terlambat masuk kerja Kesesuaian kualitas pekerjaan dengan standar organisasi SK 1 1 1 1 K 2 2 2 2 C 3 3 3 3 B 4 4 4 4 SB 5 5 5 5

4) Kesesuaian kuantitas pekerjaan yang diselesaikan dengan target

Metode Penelitian

27

5)

Ketepatan waktu penyelesaian pekerjaan

4.

DAFTAR PERTANYAAN UNTUK WAWANCARA (STRES KERJA) a) Apakah Bpk/Ibu merasa nyaman dengan kondisi kantor saat ini?

b) Apakah Bpk/Ibu merasa bahwa beban kerja Bpk/Ibu saat ini, terlalu berat/terlalu membosankan? c) Apakah rekan kerja/atasan/bawahan Bpk/Ibu mendukung/men-support kerja Bpk/ibu?

Metode Penelitian

28

Anda mungkin juga menyukai