Anda di halaman 1dari 9

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Makanan jajanan yang beraneka warna merupakan daya tarik yang paling utama di kalangan anak-anak. Pemilihan suatu makanan seringkali terlihat hanya pada bentuk warna makanan tanpa melihat dari segi rasanya. Aroma yang harum, rasa yang lezat dan tekstur yang halus bukanlah suatu jaminan untuk menentukan pilihan terhadap makanan tertentu jika dilihat dari bentuk warnanya kurang menarik. Bentuk suatu produk makanan dengan menampilkan warna yang cerah dan bervariasi sangat berpengaruh dalam menimbulkan selera seseorang untuk membeli dan mengkonsumsi makanan tersebut (Nollet, 2004 ; Azizahwati, dkk., 2007). Penambahan zat pewarna terhadap suatu produk makanan atau minuman bertujuan agar terlihat lebih menarik (Syah, 2005), namun penggunaan zat pewarna haruslah yang aman dikonsumsi dan sesuai dengan batas yang diizinkan oleh lembaga yang berwenang. Sekarang ini beberapa produsen makanan dan minuman banyak menggunakan zat pewarna yang dilarang atau yang tidak boleh digunakan untuk makanan dan minuman karena dapat menimbulkan gangguan terhadap organ tubuh tertentu yang dapat

membahayakan kesehatan, diantaranya adalah rhodamin B.

Universitas Sumatera Utara

Peraturan ini tercantum di keputusan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/ Per/IX/1988 dan Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM) No.00366/ C/II/1990 tentang zat warna berbahaya (Menkes RI, 1985; Ditjend POM Depkes RI, 1990). Banyaknya penggunaan zat pewarna rhodamin B dalam masyarakat terhadap berbagai produk makanan dan minuman adalah disebabkan zat pewarna rhodamin B memberikan warna yang lebih cerah, lebih praktis, harga relatif murah dan tersedia dalam bentuk kemasan kecil sehingga memungkinkan masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah dapat membelinya, dapat dimanfaatkan untuk menutupi kualitas produk makanan yang bermutu rendah yang sebenarnya sudah tidak layak dikonsumsi (Djalil dkk, 2005; Syah, 2005) serta rendahnya pemahaman pedagang atau konsumen tentang bahaya yang ditimbulkan zat pewarna tersebut (Utami dan Suhendra, 2009). Winarno (2004) menyatakan, pangan yang mengandung pewarna rhodamin B memberikan warna merah menyala (mencolok), jika digunakan dalam bentuk larutan (minuman) cenderung berpendar atau berflueresensi, warna tidak pudar terhadap pemanasan (digoreng/rebus) serta banyak memberikan titik-titik warna karena tidak homogen. Beberapa hasil penelitian menunjukkan masih banyak ditemukan makanan dan minuman yang menggunakan rhodamin B sebagai zat pewarna. Trestiati (2003) menemukan rhodamin B pada produk kerupuk, jelly/agar-agar

Universitas Sumatera Utara

dan aromanis dalam kadar yang cukup tinggi sebesar 7,841-3226,55ppm. Utami dan Suhendra (2009) menemukan 15 dari 41 sampel di tempat jajanan tradisional Kotamadya Surakarta mengandung zat warna rhodamin B, Dalimunte (2010) menemukan pada jajanan anak Sekolah Dasar seperti es doger, kerupuk dan saos di Kabupaten Labuhan Batu, dan Djarismawati et al., (2004) menemukan pada cabe merah giling dipasar DKI Jakarta. Mudjajanto (2007) juga menemukan pada produk makanan industri rumah tangga seperti terasi, makanan ringan, kembang gula, sirup, cendol, sosis dan manisan. Rhodamin B merupakan zat pewarna sintetis yang banyak digunakan sebagai pewarna tekstil, kertas, kapas, serat kulit kayu, nilon dan sabun (Merck Index, 2006), serta bahan reagensia dan uji pencemaran air (CTFA, 1991). Pada konsentrasi tinggi berwarna merah keunguan dan merah terang pada konsentrasi rendah (Trestiati, 2003), termasuk golongan xanthene basa, serta terbuat dari meta-dietilaminofenol dan ftalik anhidrid bahan yang tidak bisa dimakan (Nainggolan dan Sihombing, 1984). Dampak mengkonsumsi rhodamin B dalam jumlah besar dan berulang akan terjadi penumpukan dalam tubuh yang dapat menimbulkan iritasi pada mukosa saluran pencernaan, dan bila terhirup mengiritasi saluran pernafasan, iritasi pada kulit, mata tampak kemerahan dan udem (Yulianti, 2007), serta menimbulkan kerusakan pada organ hepar, ginjal maupun limpa (Trestiati, 2003; Lee et al., 2005).

Universitas Sumatera Utara

Uji toksisitas rhodamin B terhadap hewan mencit dan tikus secara subkutan menimbulkan sarkoma (Merck Index, 2006), secara intravena pada dosis 89,5mg/kg menyebabkan pembesaran organ hati, ginjal dan limfa yang diikuti perubahan anatomi berupa pembesaran organ (Merck Index, 2006). Rhodamin B bersifat karsinogenik dan genotoksik serta menunjukkan aktivitas mutagenik yang dapat menyebabkan kerusakan DNA (Brantom, 2005) serta pada hewan coba tikus dan mencit menunjukkan perubahan gizi yang buruk dan terjadi perubahan pada ginjal dibagian pielum dan korteks yang menipis (Nainggolan dan Sihombing, 1984). Pemberian rhodamin B secara peroral dalam konsentrasi 2,0% mengakibatkan semua tikus mati dalam 6 minggu akibat kerusakan multiorgan (IARC, 1978). Rhodamin B sebagai bahan toksik yang masuk ke dalam tubuh akan mengikuti sirkulasi darah dan mengalami proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Ginjal merupakan organ ekskresi utama yang penting untuk mengeluarkan zat-zat toksik yang masuk kedalam tubuh (Guyton dan Hall, 2007). Aliran darah ke ginjal yang tinggi dan peningkatan konsentrasi produk yang diekskresi diikuti reabsorbsi air dari cairan tubulus merupakan faktor utama yang terlibat dalam mempengaruhi kepekaan ginjal terhadap zat-zat toksik (Hudgson dan Levi, 2004) dan paparan zat toksik yang berulang akan menyebabkan terjadinya Nekrotik Tubular Akut (NTA) (Underwood, 2000 ; Alpers dan Fogo, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Nekrotik Tubular Akut (NTA) merupakan penyebab terjadinya gagal ginjal akut (GGA) dengan gejala klinis ginjal tampak membengkak, vakuolisasi sitoplasma sel epitel tubulus, oliguri yang berlanjut diuresis. Kerusakan sering terjadi pada sel epitel tubulus proksimal karena merupakan tempat absorbsi dan mengkonsentrasikan racun (Rubin, 2009) serta sangat peka terhadap anoksia dan rentan terhadap zat toksik (Cotran et al., 2003). Kerusakan tubulus menyebabkan retensi cairan, sehingga terjadi uremia, hiperkalemia, peningkatan ureum (BUN, Blood Urea Nitrogen) sekitar 2530mg/dl/hari dan kreatinin sekitar 2,5mg/dl/hari (Price dan Wilson, 2005). Rhodamin B merupakan zat toksik yang menginduksi stres retikulum endoplasma pada glomerulus ginjal yang menyebabkan stres oksidatif dan inflamasi pada sel-sel podosit serta mesangial glomerulus (Inagi, 2009). Senyawa radikal yang dihasilkan rhodamin (ROS, Reactive Oxygen Spesies) yang merupakan hasil metabolisme zat toksik juga dapat menyebabkan kerusakan glomerulus (Singh et al., (2006) serta menurunkan ketersediaan cadangan antioksidan tubuh (Ercal et al., 2001). Antioksidan merupakan senyawa yang mampu mengubah prooksidan menjadi molekul yang tidak berbahaya dengan cara memberikan elektronnya (Bagiada, 1995), mencegah pembentukan radikal bebas serta memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan seperti masalah pencernaan, penyakit kanker dan degeneratif (Greenvald et al., 1995; Madhavi et al., 1996; Widjaja, 1997 ;

Universitas Sumatera Utara

Wollgast dan Anklam, 2000). Tubuh manusia mampu menghasilkan senyawa antioksidan, tapi tidak cukup kuat untuk berkompetisi dengan radikal bebas, sehingga diperlukan antioksidan dari luar yang dapat melindungi tubuh dari berbagai serangan radikal bebas seperti madu. Madu merupakan salah satu yang kaya antioksidan (Al-Mamary et al., 2002 ; Estevinho et al., 2008) dan telah digunakan sebagai sumber makanan alami sejak zaman dahulu karena mengandung karbohidrat, vitamin, enzim, protein, mineral dan asam amino (Suranto, 2007; Bogdanov et al., 2007). Mengandung flavonoid, betakaroten, albumin dan bilirubin (Gheldof et al., 2002), dan terdapat senyawa biologis aktif asam kafeat, asam ester phenethyl kafeat dan glukon flavonoid yang dapat menghambat proliferasi sel tumor (Chinthalapally et al., 1993). Madu mampu menginduksi apoptosis sel kanker kandung kemih dan menghambat pertumbuhan tumor (Swellam et al., 2003) serta proliferasi sel adenokarsinoma ginjal (Samarghandian et al., 2011). Madu memiliki efek proteksi yang dapat mengurangi kerusakan sel ginjal dan hati mencit pada dosis 0,08ml/20g BB (Ratnasari, 2009 ; Dewi, 2010). Besarnya potensi antioksidan yang terkandung dalam madu serta efek proteksinya terhadap tubuh, maka peneliti ingin mengetahui manfaat madu terhadap perubahan kadar ureum dan kreatinin serta makroskopik ginjal dan histopatologi tubulus proksimal ginjal mencit jantan yang diberi rhodamin B.

Universitas Sumatera Utara

1.2.

Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka peneliti merumuskan masalah penelitian berikut ini : Adakah manfaat pemberian madu terhadap perubahan kadar ureum dan kreatinin serta makroskopik ginjal dan histopatologi tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) jantan yang diberi rhodamin B ?

1.3.

Kerangka Konsep
ORAL Aktivasi Gluthation Peroxidase (GSH) Aktivasi SOD (Superoksida Dismutase) Rhodamin B Bioaktivasi sitokrom P450

Radikal bebas (Radical Oxygen Species (ROS)

Stress oksidasi
Meningkatkan Total Antioxidant Status (TAS) Aktivasi NO (Nitrit Oxide)

Peroksidasi Lipid

Kerusakan Sel epitel tubulus Proksimal ginjal

VIT E, VIT C, VIT D

VIT B1,B2,B3,B5,B6

Mineral : Fe, S ,Mg, Ca,Kalium, Na, Khlor, Fosfor, selenium

-Makroskopik (BB,Warna) -Histopatologi Ginjal : *Degenerasi Hidrofik *Nekrosis (karyopiknosis, karyolisis, karyoreksis)

-Test Fungsi Ginjal : *Ureum *Kreatinin

Enzim:Diastase, lipase invertase , peroksidase Kandungan Madu VIT D

Beta karoten, Flavanoid, Asam fenolik, asam urat Asam nikotinat

Keterangan :

Pemberian MADU

: MENGHAMBAT : MEMACU

Gambar 1.1. Kerangka Konsep Manfaat Pemberian Madu terhadap Ginjal


: menghambat

Universitas Sumatera Utara

1.4.

Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan umum :

Untuk mengetahui manfaat pemberian madu terhadap perubahan kadar ureum dan kreatinin serta makroskopik ginjal dan histopatologi tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) jantan yang diberi rhodamin B.

1.4.2. Tujuan khusus :

1. Untuk mengetahui perubahan kadar ureum dan kreatinin serta makroskopik ginjal dan histopatologi tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) jantan yang diberi rhodamin B selama 21 hari. 2. Untuk mengetahui perubahan kadar ureum dan kreatinin serta makroskopik ginjal dan histopatologi tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) jantan setelah tidak diberi rhodamin B selama 7 hari (masa pemulihan). 3. Untuk mengetahui perubahan kadar ureum dan kreatinin serta gambaran makroskopik ginjal dan histopatologi tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) jantan yang diberi madu selama 21 hari. 4. Untuk mengetahui perubahan kadar ureum dan kreatinin serta

makroskopik ginjal dan histopatologi tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) jantan setelah tidak diberi madu selama 7 hari (masa pemulihan).

Universitas Sumatera Utara

5. Untuk

mengetahui

perubahan

kadar

ureum

dan

kreatinin

serta

makroskopik ginjal dan histopatologi tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) jantan yang diberi rhodamin B dan madu selama 21 hari. 6. Untuk mengetahui perubahan kadar ureum dan kreatinin serta makroskopik ginjal dan histopatologi tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) jantan setelah tidak diberi rhodamin B dan madu selama 7 hari (masa pemulihan).

1.5.

Hipotesis Ada manfaat madu terhadap perubahan kadar ureum dan kreatinin serta makroskopik ginjal dan histopatologi tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) jantan setelah diberi rhodamin B.

1.6.

Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang manfaat madu dan dijadikan bahan pertimbangan bagi masyarakat untuk menggunakan madu sebagai antioksidan alamiah dalam mencegah kerusakan ginjal akibat radikal bebas dari pewarna rhodamin B dan juga dapat berguna untuk penelitian selanjutnya dalam pengembangan obat-obat tradisional, khususnya pengembangan senyawa bioaktif bahan nabati yang lain yang berpotensi sebagai antioksidan.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai