Anda di halaman 1dari 41

PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSIS

Disusun Oleh : Ayu Puspito Ningrum Erwinda Ratna Sari Indah Purnamawati Jamila Jamaludin Laetitia E A Tukan Maria De fatima C Rulya Eka Pratiwi SondyWildan A Tegaryanti Ik Fitria Ilman Hasansyah (10610003) (10610014) (10610018) (10610020) (10610023) (10610025) (10610035) (10610037) (10610038) (10609018)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI

iii

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Puji syukur kami berikan kehadirat Allah SWT, karena atas seijinNya kami berhasil menyelesaikan penyusunan laporan hasil diskusi mengenai Pemeriksaan Penunjang Diagnosis yang merupakan bagian dari pembelajaran Tutorial Blok XI Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter Gigi Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pihak pihak yang telah membantu terselesaikannya tulisan ini, antara lain :
1.

drg. Sahat Manampin Siahaan yang telah dengan sabar memberikan Pihak Institusi yang telah menyediakan segala fasilitas belajar

bimbingan selama penyusunan tulisan ini.


2.

sehingga penyusunan tulisan ini berjalan lancar.


3.

Orang tua kami yang selalu menyertai kami dengan restu dan doanya. Semua pihak yang belum tersebut di sini yang baik secara

4.

langsung maupun tidak langsung telah mendukung terselesaikannya tulisan ini. Semoga apa yang kami sajikan dalam tulisan ini dapat menjadi tambahan wacana dan semakin memperluas cakrawala keilmuan khususnya di dunia komunikasi kedokteran. Kami menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak cacat dan kekurangan di sana sini yang mana semua itu tidak terlepas dari kekurangan dan keterbatasan kami. Untuk itu kami selalu menerima dengan tangan terbuka segala kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Terima kasih, Wassalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh Hormat kami, Penyusun

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... DAFTAR ISI ...................................................................................................... BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................... 1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 1.3 TujuanPenulisan........................................................................... 1.4 Hipotesa....................................................................................... BAB II : TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 2.1 Pemeriksaan Subyektif................................................................ 2.1.1 Definisi Anamnesa............................................................ 2.2 Pemeriksaan Obyektif.................................................................. 2.3 Pemeriksaan Penunjang............................................................... 2.3.1 Pemeriksaan Radiologi....................................................... 2.3.2 Pemeriksaan Laboratorium................................................. 2.4 Diagnosa Akhir............................................................................ 2.4.1 Impaksi................................................................................ 2.5 Tindakan....................................................................................... 2.5.1 Anastesi............................................................................... 2.5.2 Odontektomi....................................................................... ............................................................................................................ BAB III : CONCEPTUAL MAPPING........................................................... BAB IV : PEMBAHASAN............................................................................... BAB V : PENUTUP......................................................................................... 5.1 Kesimpulan.................................................................................. 5.2 Saran.............................................................................................

ii iii 3 4 4 4 4 5 5 5 7 8 8 11 18 18 22 22 31 34 35 36 36 36

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 37 ...............................................................................................................................

iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Penggunaan sinar Rontgen telah lama dikenal sebagai suatu alat dalam bidang Kedokteran Umum dan Kedokteran Gigi yang sangat membantu dalam menegakkan diagnosa dan untuk menentukan rencana perawatan. Gambaran yang dihasilkan foto Rontgen panoramik seorang pasien bagi seorang dokter gigi sangat penting terutama untuk melihat adanya kelainan kelainan yang tidak tampak dapat diketahui secara jelas, sehingga akan sangat membantu seorang dokter gigi dalam hal menentukan diagnosa serta rencana perawatan. Teknik radiografi yang digunakan dalam bidang Kedokteran Gigi ada 2 yaitu teknik intraoral dan ekstraoral. Pada teknik intraoral, film Rontgen diletakkan di dalam mulut pasien, salah satunya adalah foto periapikal dan bitewing serta oklusal, sedangkan pada teknik foto Rontgen ekstraoral, film Rontgen diletakkan diluar mulut pasien, salah satunya adalah foto panoramik, macam lainnya adalah lateral foto, cephalometri dan lain-lain (Hidayat, 2007). Pada makalah ini kami lebih membahas tentang foto Panoramik. Foto Panoramik merupakan salah satu foto rontgen ekstraoral yang telah digunakan secara umum di Kedokteran Gigi untuk mendapatkan gambaran utuh dari keseluruhan maksilofasial. Foto panoramik digunkan untuk pasien yang impaksi dan juga untuk pasien yang tidak bisa membuka mulut (trismus). Foto panoramik juga disarankan kepada pasien pediatrik, pasien cacat jasmani atau pasien dengan gag refleks. Salah satu kelebihan panoramik adalah dosis radiasi yang relatif kecil dimana dosis radiasi yang diterima pasien untuk satu kali foto panoramik hampir sama dengan dosis empat kali foto intra oral (Hidayat, 2007). Selain Pemeriksaan Penunjang Foto Panoramik ada juga Pemeriksaan Laboraturium Klinik sebagai Pemeriksaan Penunjang seperti untuk melihat Hb, Leukosit, Waktu pembekuan, dan Kadar Gula darah sebagai pemeriksaan penunjang tindakan prabedah dalam Kedokteran Gigi (Sacher dkk, 2000). 3

Tes Waktu Pembekuan Darah adalah pengukuran seberapa lama waktu yang diperlukan oleh darah untuk membeku. Ada berbagai macam metode yang dapat digunakan salah satunya adalah waktu pembekuan lee dan white ini merupakan uji koagulasi paling tua tetapi paling akurat (Sacher dkk, 2000).

Pemeriksaan Kadar Hemoglobin (Hb) dalam darah. Metode pemeriksaan Hb yang paling sering digunakan di laboratorium adalah metode sahli dan metode cyanmethemoglobin (Pearce c Evelyn, 2002). Pemeriksaan gula darah merupakan Pemeriksaan penyaring dilakukan dengan

memeriksa kadar gula darah sewaktu (GDS) atau gula darah puasa (GDP), Pemeriksaan penyaring ditujukan untuk mengidentifikasi kelompok yang tidak menunjukkan gejala diabetes mellitus tetapi memiliki resiko diabetes mellitus (Sacher dkk, 2000).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja Pemeriksaan Radiologi pada Kedokteran Gigi ? 2. Apa saja Pemeriksaan Laboratorium klinik untuk pemeriksaan penunjang tindakan

prabedah dalam Kedokteran Gigi ?


3. Macam-macam Anastesi yang digunakan untuk odontektomi?

4. Apa saja Klasifikasi Impaksi ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui pemeriksaan radiologi yang digunakan pada bidang Kedoteran Gigi 2. Mengetahui macam-macam pemeriksaan laboratorium klinik untuk pemeriksaan

penunjang tindakan prabedah dalam Kedokteran Gigi


3. Mengetahui macam-macam anastesi yang di gunakan untuk odontektomi 4. Mengetahui apa saja klasifikasi impaksi

iii

1.4 Hipotesa Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk memperkuat diagnosa dan membantu perawatan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemeriksaan Subyektif

Menggambarkan pendokumentasian hanya pengumpulan data klien melalui anamnese. Tanda gejala subjektif yang diperoleh dari hasil bertanya dari pasien, suami atau keluarga. Catatan ini berhubungan dengan masalah sudut pandang pasien. Ekspresi pasien mengenai kekhawatiran dan keluhannya dicatat sebagai kutipan langsung atau ringkasan yang berhubungan dengan diagnosa. Pada orang yang bisu, dibagian data dibelakang S diberi tanda 0 atau X ini menandakan orang itu bisu. Data subjektif menguatkan diagnosa yang akan dibuat (Dongoes ME, 2000). 2.1.1 Definisi Anamnesa Anamnesa adalah cara untuk mengetahui penyakit dengan wawancara, menanyakan, mengecek, dan mendengar jawaban penderita untuk mensintesis diagnosa. Anamnesa yang baik dapat menyatakan 60% diagnosa. Cara anamnesis dapat dilakukan dengan komunikasi iii

verbal maupun non-verbal, terutama Indonesia perlu sekali mengamati komunikasi Non Verbal ( Rahmalia, 2005 ). Secara verbal ada 3 anamnesis : 1. Terbuka atau Open Ended : Apa yang dikeluhkan, coba ceritakan dengan jelas? 2. Lebih terbatas: Berapa umur anda? Obat apa saja yang sudah diminum? 3. Jawaban ya atau tidak: Apa anda punya sakit gula? Secara Non Verbal : 1. Kinetik atau bahasa tubuh : isyarat, raut muka, cara berjalan, posisi tubuh 2. Sentuhan : jabatan tangan (nervous), hipetiroid (gemetar) 3. Penggunaan aksen atau perubahan kualitas suara Anamnesa yang utama dinamakan The Fundamental Four atau 4 pokok pikiran, yaitu keluhan utama, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, serta riwayat kesehatan keluarga dan sosial ekonomi. 1. Identitas Pasien a) Nama : Dengan nama kita bisa mengetahui berasal dari daerah mana orang tersebut (misal: ucok asalnya dari batak) dan mengkaitkan dengan penyakit yang endemis di daerah tersebut. b) Alamat : Dapat dikaitkan dengan penyakit yang endemis di daerah pasien. c) Pekerjaan : Misal seorang petani dengan anemia berat, jangan dilupakan kemungkinan ankilostomiasis ( Petani bekerja pada tempat yang menjadi habitat Ancylostoma Duodenale) d) Umur : Penyakit yang berhubungan dengan umur e) Jenis kelamin 2. Keluhan utama Merupakan keluhan dari penderita yang membawa dia ke dokter, ditulis cukup hanya 1 kalimat, bila banyak keluhannya tanyakan mana yang paling mengganggu penderita. 3. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) Riwayat penyakit yang diutarakan penderita yang menyertai keluhan utama ada 7 butir mutiara anamnesis dalam menggunakan anamnesa untuk mengorek informasi tentang riwayat penyakit sekarang. Lokasi mengetahui di mana tempat yang menyebabkan keluhan. Bila pasien tidak dapat menunjukkan tempat, dokter dapat mengajukan pertanyaan yang terarah dan mendapatkan petunjuk tempat, jenis, dan berat ringannya penyakit pasien. Kualitas pertanyaan-pertanyaan yang dipakai misalnya : Seperti apa iii

nyeri atau pusingnya? Terus-menerus atau fluktuatif? Kuantitas Seberapa hebatkah keluhan keluhan itu? Seberapa sering dialami ? Kronologis Kapan timbulnya dan bagaimana perkembangan keluhan selanjutnya?. Onset adalah suatu gejala atau permulaan timbulnya suatu gejala, dapat diartikan sebagai keadaan di mana suatu keluhan mulai timbul Misal: stroke onsetnya mendadak, DM bersifat progresif faktor pencetus hal-hal yang memperingan dan memperberat keluhan. Adakah faktor-faktor yang menimbulkan rasa sakit tersebut? Jawaban terhadap pertanyaan di atas bisa menerangkan jenis penyebabnya, yaitu apa mekanis, biokimia, psikomatis, organis. Gejala yang menyertai keluhan Setiap penyakit mempunyai berbagai macam gejala. Disamping gejala yang menjadi keluhan utama, harus dicari gejala - gejala lainnya karena dengan demikian kita dapat menentukan jenis penyakit dan mudah memberikan pengobatan. 4. Riwayat Penyakit dahulu (RPD) Riwayat saat ini : a) lalu b) c) Ada hubungan antara penyakit dahulu dan sekarang misal 15 tahun yang menderita sakit kuning, sekarang datang dengan menderita muntah dan Tidak ada hubungan dengan penyakit sekarang misal dulu pernah Tidak ada hubungan dengan penyakit sekarang tetapi saling penyakit yang dikatakan penderita terhadap penyakit sebelumnya. Kegunaannya untuk mengetahui kemungkinan hubungan dengan penyakit yang diderita

berak darah. RPS adalah sirosis terkena sakit sendi, sekarang terkena HIV memberatkan misal HIV dengan Tuberkulosa 5. Riwayat Kebiasaan Misalnya merokok, minum-minuman keras, pemakaian obat bius, dll. Tujuannya adalah mencari segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit yang sedang dideritanya. Hal ini juga untuk memberi nasehat kepada pasien dalam mengatur pengobatan. 6. Riwayat gizi Misal penyakit oleh karena kurang gizi: marasmus 7. Riwayat Sosial Ekonomi Terkait dengan kondisi lingkungan (higienitas), kemakmuran, dll. Harus diperhatikan juga adanya tekanan ekonomi dan sosial dapat memacu kecemasan dan menimbulkan psikosomatis. 8. Riwayat Kesehatan keluarga iii

Banyak penyakit yang ditimbulkan karena keadaan keluarga yang tidak sehat atau juga karena penyakit yang diturunkan. Keterangan tentang keadaan keluarga akan mengungkapkan faktor-faktor etiologi yang penting. Beberapa penyakit yang herediter, misalnya DM dan asma bronkiale. Hal ini penting karena penatalaksanaannya yang didapat dari keturunan berbeda ( Rahmalia, 2005 ). 2.2 Pemeriksaan Obyektif Menggambarkan pendokumentasian hasil analisa fisik klien, hasil lab, dan test diagnostik lain yang dirumuskan dalam data fokus untuk mendukung assessment. Tanda gejala objektif yang diperoleh dari hasil pemeriksaan ( tanda KU, Fital sign, Fisik, khusus, pemeriksaan dalam, laboratorium dan pemeriksaan penunjang.) Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi . Data ini memberi bukti gejala klinis pasien dan fakta yang berhubungan dengan diagnosa. Data fisiologis, hasil observasi yang jujur, informasi kajian teknologi (hasil Laboratorium, sinar X, rekaman CTG, dan lain-lain) dan informasi dari keluarga atau orang lain dapat dapat dimasukkan dalam kategori ini (Dongoes ME, 2000). 2.3 Pemeriksaan Penunjang 2.3.1 Pemeriksaan Radiologi Radiologi Dental adalah suatu cabang ilmu kedokteran gigi yang mempelajari tentang sinar-x dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pemakaianya dibidang kedokteran gigi (Hidayat, 2007). Kegunaan foto rongent gigi : 1. Untuk mendeteksi lesi, dll. 2. Untuk membuktikan suatu diagnosa penyakit. 3. Untuk melihat lokasi lesi/benda asing yang terdapat pada rongga mulut. 4. Untuk menyediakan informasi yang menunjang prosedur perawatan. 5. Untuk mengevaluasi pertumbuhan dan perkembangan gigi geligi. 6. Untuk melihat adanya karies, penyakit periodontal dan trauma. 7. Sebagai dokumentasi data rekam medis yang dapat diperlukan sewaktu-waktu. (Hidayat, 2007). Tujuan mempelajari radiologi dental : 1. Untuk mengetahui dasar-dasar radiologi dan pembuatan sinar-x iii

2. Untuk mengetahui gambaran normal tulang rahang dan gigi geligi (jaringan keras) 3. Untuk membantu menegakkan diagnosa , rencana perawatan dan evaluasi hasil perawatan melalui pemeriksaan radiografik Macam-macam radiografi di bidang kedokteran gigi :
1. Radiografi Intraoral

Suatu teknik pembuatan radiograf dimana film diletakkan di dalam mulut pasien. Teknik radiograf intraoral merupakan dasar dari radiografi gigi pada rahang atas dan rahang bawah (Margono, 1998).. Ada tiga macam teknik radiografi intraoral yaitu :
a) Radiografi periapikal

Teknik ini digunakan untuk melihat keseluruhan mahkota serta akar gigi dan tulang pendukungnya. Ada dua teknik pemotretan yang digunakan untuk memperoleh foto periapikal yaitu teknik paralel dan bisektris (Margono, 1998). b) Teknik Bite Wing Teknik ini digunakan untuk melihat mahkota gigi rahang atas dan rahang bawah daerah anterior dan posterior sehingga dapat digunakan untuk melihat permukan gigi yang berdekatan dan puncak tulang alveolar. Teknik pemotretannya yaitu pasien dapat menggigit sayap dari film untuk stabilisasi film di dalam mulut (Margono, 1998). c) Teknik Rontgen Oklusal Teknik ini digunakan untuk melihat area yang luas baik pada rahang atas maupun rahang bawah dalam satu film. Film yang digunakan adalah film oklusal. Teknik pemotretannya yaitu pasien diinstruksikan untuk mengoklusikan atau menggigit bagian dari film tersebut (Margono, 1998).
2. Radiografi ekstra oral

Disebut radiografik ekstra oral karena pada pembuatanya film diletakkan diluar mulut penderita. Radiograf ekstra oral dapat memberikan gambaran regio Foto Rontgen ekstra oral digunakan untuk melihat area yang luas iii pada orofasial. rahang dan

tengkorak, film yang digunakan diletakkan di luar mulut. yang paling umum dan paling sering digunakan sedangkan contoh foto Rontgen ekstra oral Towne, proyeksi

Foto Rontgen ekstra oral

adalah foto Rontgen panoramik,

lainnya adalah foto lateral, foto antero

posterior, foto postero anterior, foto cephalometri, proyeksi-Waters, proyeksi reverseSubmentovertex (Hidayat, 2007).

Foto panoramik merupakan foto Rontgen ekstra oral yang menghasilkan gambaran yang memperlihatkan struktur facial termasuk mandibula dan maksila beserta struktur pendukungnya. Foto Rontgen ini dapat digunakan untuk mengevaluasi gigi impaksi, pola erupsi, pertumbuhan dan perkembangan gigi geligi, mendeteksi penyakit dan mengevaluasi trauma (Hidayat, 2007). Indikasi panoramik : Adapun seleksi kasus yang memerlukaan gambaran panoramik dalam penegakan diagnosa diantaranya seperti : 1. Adanya lesi tulang atau ukuran dari posisi gigi terpendam yang menghalangi gambaran pada intra-oral. 2. Melihat tulang alveolar dimana terjadi poket lebih dari 6 mm. 3. Untuk melihat kondisi gigi sebelum dilakukan rencana pembedahan. Foto rutin untuk melihat perkembangan erupsi gigi molar tiga tidak disarankan. 4. Rencana perawatan orthodonti yang diperlukan untuk mengetahui keadaan gigi atau benih gigi. 5. Mengetahui ada atau tidaknya fraktur pada seluruh bagian mandibula.
(Hidayat, 2007).

Teknik dan Posisi pengambilan gambar panoramik Teknik dan posisi yang tepat adalah bervariasi pada satu alat dengan alat lainnya. Tetapi, ada beberapa pedoman umum yang sama yang dimiliki semua alat dan dapat dirangkum meliputi: Persiapan Alat :

iii

1. Siapkan kaset yang telah diisi film atau sensor digital telah dimasukkan kedalam

tempatnya.
2. Collimation harus diatur sesuai ukuran yang diinginkan.

3. Besarnya tembakan sinar antara 70-100 kV dan 4-12 mA.


4. Hidupkan alat untuk melihat bahwa alat dapat bekerja, naik atau turunkan tempat

kepala dan sesuaikan posisi kepala sehingga pasien dapat diposisikan. 5. Sebelum memposisikan pasien, sebaiknya persiapan alat telah dilakukan.
(Hidayat, 2007).

Persiapan pasien : 1.Pasien diminta untuk melepaskan seluruh perhiasan seperti anting, aksesoris rambut, gigi palsu dan alat orthodonti yang dipakainya 2. Prosedur dan pergerakan alat harus dijelaskan untuk menenangkan pasien dan jika perlu lakukan percobaan untuk menunjukkan bahwa alat bergerak 3. Pakaikan pelindung apron pada pasien, pastikan pada bagian leher tidak ada yang menghalangi pergerakan alat saat mengelilingi kepala 4. Pasien harus diposisikan dalam unit dengan tegak dan diperintahkan untuk memegang handel agar tetap seimbang 5. Pasien diminta memposisikan gigi edge to edge dengan dagu mereka bersentuhan pada tempat dagu 6. Kepala tidak boleh bergerak dibantu dengan penahan kepala 7. Pasien diinstruksikan untuk menutup bibir mereka dan menekan lidah ke palatum dan jangan bergerak sampai alat berhenti berputar 8. Jelaskan pada pasien untuk bernafas normal dan tidak bernafas terlalu dalam saat penyinaran
(Hidayat, 2007)

Persiapan Operator : iii

1. Operator memakai pakaian pelindung 2. Operator berdiri di belakang dengan mengambil jarak menjauh dari sumber x-ray ketika waktu penyinaran 3. Lihat dan perhatikan pasien selama waktu penyinaran untuk memastikan tidak ada pergerakan 4. Matikan alat setelah selesai digunakan dan kembalikan letak posisi kepala pada tempatnya 5. Ambil kaset pada tempatnya dan kaset siap untuk diproses
(Hidayat, 2007)

Persiapan lingkungan terhadap proteksi radiasi : 1. Pastikan perangkat sinar x digunakan dengan teknik yang baik dan parameter secara fisika terhadap berkas radiasi ditetapkan dengan benar. 2. Hindari kemungkinan kebocoran dengan menggunakan kepala tabung harus radiopaque. 3. Filtrasi dari berkas sinar x dengan mengatur ketebalan filter. Ketebalan filter bergantung pada tegangan operasi dari peralatan sinar x. Tegangan mencapai 70 kVp ketebalan filter setara dengan ketebalan alumunium 2,5 mm untuk kekuatan tabung sinar x antara 70-100kVp.
(Hidayat, 2007).

2.3.2 Pemeriksaan Laboratorium 1. Pemeriksaan menghitung leukosit a) Prinsip Darah diencerkan lalu dihitung jumlah leukosit yang ada dalam volume tertentu.

b) Alat dan reagen

iii

Alat yang digunakan ada pipet leukosit (dengan sebutir kaca putih pada bagian bola dari pipet) dengan skala 5-11, kamar hitung (improved neubauer), mikroskop, counter tally dan menggunakan reagen larutan turk. c) Cara pemeriksaan 1. Hisap darah kapiler dengan pipet leukosit (sampai batas 0,5) 2. Hapus lebihan darah pada ujung pipet dengan tissue 3. Masukkan ujung pipet dalam larutan turk, hisap perlahan (sampai garis 11) 4. Angkat pipet dari cairan, tutup ujungnya dengan jari tengah lalu kocok selama 2-3 menit 5. Ambil kamar hitung, kemudian teteskan darah dalam pipet pada permukaan kamar hitung perlahan-lahan sampai kamar hitung terisi.
6. Biarkan kamar hitung diatas mikroskop selama 2 menit agar leukosit

mengendap 7. Hitung semua leukosit yang tampak (Depkes RI, 1998) 2. Tes Waktu Pembekuan Darah a) Waktu pembekuan lee dan white Uji koagulasi paling tua tetapi paling akurat adalah pengukuran seberapa lama waktu yang diperlukan oleh darah dalam tabung untuk membeku. Waktu pembekuan lee dan white menggunakan tiga tabung yang dikeram dalam subu 37C, masing masing berisi 1 ml darah lengkap. Tabung ini secara hati- hati dimiringkan selama 30 detik untuk meningkatkan kontak antara darah dengan permukaan kaca untuk melihat kapan pembekuan darah terjadi. Darah normal membeku secara padat dalam 4-8 menit. Uji ini sangat tidak sensitif, dulu uji ini digunakan untuk memantau terapi heparin yang memperpanjang waktu pembekuan. Apabila digunakan sebagai uji pemantau heparin waktu pembekuan harus diperpanjang sampai 2 kali dari waktu basal (Sacher dkk, 2000). b) Waktu pembekuan aktif Penambahan cellite dapat mempersingkat waktu pembekuan darah, mengurangi variabilitas tes. Darah normal membeku <100 detik bila dimasukkan dalam

iii

tabung berisi cellite. Dengan heparin sekitar 300 sampai 600 detik (Sacher dkk, 2000). c) Waktu tromboplastin parsial Pemeriksaan skrining/ penyaring yang digunakan untuk mendeteksi defisiensi faktor pembekuan kecuali VII dan VIII dan mendeteksi variasi trombosit Uji ini dilakukan pada spesimen darah yang telah diberi sitrat. Plasma dikeluarkan dan diletakkan di tabung sampel, tempat zat ini direkalsifikasi dan ditambahkan suatu reagen yang mengandung faktor aktif-permukaan seperti kaolin dan fosfolipid. Kaolin meningkatkan kecepatan pengaktifan kontak, fosfolipid membentuk permukaan pada mana reaksi substrat enzim koagulasi dapat berlangsung dan kalsium mengganti kalsium yang dikelasi oleh sitrat. Waktu yang diperlukan untuk membentuk suatu bekuan adalah waktu tromboplastin parsial (PTT). PTT yang diaktifkan dalam keadaan normal bervariasi dari 28 detik sampai 40 detik. Uji ini dapat dilakukan secara manual, tetapi lebih sering dievaluasi dengan menggunakan instrumen otomatis yang mengeluarkan reagen yang bersangkutan. Agar hasil normal diperlukan faktor VIII, IX, XI, XII dalam jumlah yang memadai (Sacher dkk, 2000). d) Waktu protrombin Waktu protrombin adalah uji koagulasi yang paling sering dilakukan. reagen untuk waktu protrombin adalah tromboplastin jaringan dan kalsium terionisasi. Apabila ditambahkan ke plasma yang mengandung sitrat, reagen-reagen ini akan menggantikan faktor jaringan untuk mengaktifkan faktor x dengan keberadaan faktor VII tanpa melibatkan trombosit dan prokoagulan jalur intrinsic (Sacher dkk, 2000). Tabel Tes fungsi hemostasis koagulasi (Taber Ben-zion, 1994) Apa yang dites Cara Nilai normal melakukan Lintasan intrinsik dan umum Mengukur lamanya darah membeku didalam tabung reaksi : observasi retraksi bekuan 5-10 menit untuk membeku 50% retraksi dalam 1 jam

Tes Masa pembekuan darah lengkap

iii

Masa tromboplastin parsial (PTT)

Lintasan intrinsik dan umum

Rekalsifikasi plasma Setelah penambahan fosfolipid (ditambah penambahan kaolin untuk aktivasi permukaan maksimumnya pada PTT aktivasi) Rekalsifikasi plasma setelah penambahan faktor jaringan (tromboplastin)

Belum diaktivasi : 60-90 detik Diaktivasi : 30-60 detik

Masa protrombin

Lintasan ekstrinsik dan umum

Bervariasi menurut sumber tromboplastin Bandingkan dengan kontrol normal (biasanya 1215 detik. Bervariasi tergantung konsentrasi trombin : Bandingkan dengan nilai normal

Masa trombin

Konsentrasi fibrinogen Struktur fibrinogen : adanya penghambat

Penambahan dari trombin ke plasma

Pengujian faktor spesifik

Konsentrasi faktor fungsional dalam plasma

Pengukuran efek plasma Tes pada masa pembekuan rekalsifiksasi dari plasma defisiansi substrat.

>50-150% Aktivitas dalam plasma normal dikumpulkan.

3. Pemeriksaan gula darah

iii

a. Pemeriksaan penyaring ditujukan untuk mengidentifikasi kelompok yang tidak menunjukkan gejala diabetes mellitus tetapi memiliki resiko diabetes mellitus, yaitu : 1. Umur > 45 tahun 2. Berat badan lebih (dengan kriteria: BBR > 110% BB idaman atau IMT >23 kg/m2) 3. Hipertensi ( 140/90 mmHg) 4. Terdapat riwayat diabetes mellitus dalam garis keturunan 5. Terdapat riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau BB lahir bayi > 4000 gram, 6. Kadar kolesterol HDL 35 mg/dl dan atau trigliserida 250 mg/dl b. Pemeriksaan penyaring dilakukan dengan memeriksa kadar : 1. gula darah sewaktu (GDS) atau gula darah puasa (GDP), yang selanjutnya dapat dilanjutkan dengan 2. tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar. Dari pemeriksaan GDS, disebut diabetes mellitus apabila didapatkan : 1) kadar GDS 200 mg/dl dari sampel plasma vena ataupun darah kapiler 2) Sedangkan pada pemeriksaan GDP, dikatakan sebagai diabetes mellitus apabila didapatkan kadar GDP 126 mg/dl dari sampel plasma vena atau 110 mg/dl dari sampel darah kapiler. c. Uji Diagnostik Uji diagnostik dikerjakan pada kelompok yang menunjukkan gejala atau tanda diabetes mellitus. Bagi yang mengalami gejala khas diabetes mellitus, 1. kadar GDS 200 mg/dl atau GDP 126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes mellitus. 2. Sedangkan pada pasien yang tidak memperlihatkan gejala khas diabetes mellitus, apabila ditemukan kadar GDS atau GDP yang abnormal maka harus dilakukan pemeriksaan ulang GDS/GDP atau bila perlu dikonfirmasi pula dengan TTGO untuk mendapatkan sekali lagi angka abnormal yang merupakan kriteria diagnosis diabetes mellitus (GDP 126 mg/dl, GDS 200 mg/dl pada hari yang lain, atau TTGO 200 mg/dl). (Whitney dkk, 2009) 4. Pemeriksaan Kadar Hemoglobin (Hb) dalam Darah

iii

Hemoglobin adalah molekul protein pada sel darah merah yang berfungsi sebagai media transport oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru. Kandungan zat besi yang terdapat dalam hemoglobin membuat darah berwarna merah. Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah (Pearce c, Evelyn. 2002). Batas kadar hemoglobin normal berdasarkan umur dan jenis kelamin menurut WHO, antara lain: Anak 6 bulan - 6 tahun Anak 6 tahun - 14 tahun Pria dewasa Ibu hamil Wanita dewasa Metode Pemeriksaan Hb Metode pemeriksaan Hb yang paling sering digunakan di laboratorium adalah metode sahli dan metode cyanmethemoglobin (Pearce c, Evelyn. 2002). 1. Metode cyanmethemoglobin Hemoglobin dioksidasi oleh kalium ferrosianida menjadi methemoglobin yang kemudian bereaksi dengan ion sianida membentuk sian-methemoglobin yang berwarna merah. Intensitas warna dibaca dengan fotometer dan dibandingkan dengan standar. Prosedur pemeriksaan : Reagnesia : 1. Larutan kalium ferrosianida (K3Fe(CN) 0.6 mmol/l 2. Larutan kalium sianida (KCN) 1.0 mmol/l Alat/sarana : 1. Pipet darah 2. Tabung cuvet 3. Kolorimeter Prosedur kerja : 1. Masukkan campuran reagen sebanyak 5 ml ke dalam cuvet 2. Ambil darah kapiler sebanyak 0,02 ml dan masukkan ke dalam cuvet, kocok dan diamkan selama 3 menit 3. Baca dengan kolorimeter pada lambda 546 2. Metode Sahli iii : 11,0 (gr/dl) : 12,0 (gr/dl) : 13,0 (gr/dl) : 11,0 (gr/dl) : 12,0 (gr/dl)

Hemoglobin dihidrolisi dengan HCl menjadi globin ferroheme. Ferroheme oleh oksigen yang ada di udara dioksidasi menjadi ferriheme yang akan segera bereaksi dengan ion Cl membentuk ferrihemechlorid yang juga disebut hematin atau hemin yang berwarna cokelat. Warna yang terbentuk ini dibandingkan dengan warna standar (hanya dengan mata telanjang). Untuk memudahkan perbandingan, warna standar dibuat konstan, yang diubah adalah warna hemin yang terbentuk. Perubahan warna hemin dibuat dengan cara pengenceran sedemikian rupa sehingga warnanya sama dengan warna standard (Pearce c Evelyn, 2002). Prosedur pemeriksaan : Reagensia : 1. HCl 0,1 N 2. Aquadest Alat/sarana : 1. Pipet hemoglobin 2. Alat sahli 3. Pipet pastur 4. Batang pengaduk Prosedur kerja : 1. Masukkan HCl 0,1 N ke dalam tabung sahli sampai angka 2 2. Bersihkan ujung jari yang akan diambil darahnya dengan larutan desinfektan (alcohol 70%, betadin dan sebagainya), kemudian tusuk dengan lancet atau alat lain 3.Isap dengan pipet hemoglobin sampai melewati batas, bersihkan ujung pipet, kemudian teteskan darah sampai ke tanda batas dengan cara menggeserkan ujung pipet ke kertas saring/kertas tisu 4. Masukkan pipet yang berisi darah ke dalam tabung hemoglobin, sampai ujung pipet menempel pada dasar tabung, kemudian tiup pelan-pelan. Usahakan agar tidak timbul gelembung udara. Bilas sisa darah yang menempel pada dinding pipet dengan cara menghisap HCl dan meniupnya lagi sebanyak 3-4 kali 5. Campur sampai rata dan diamkan selama kurang lebih 10 menit 6. Masukkan ke dalam alat pembanding, encerkan dengan aquadest tetes demi tetes sampai warna larutan (setelah diaduk sampai homogen) sama dengan warna gelas dari alat pembanding. Bila sudah sama, baca kadar hemoglobin pada skala tabung.

iii

2.4 Diagnosa Akhir 2.4.1 Impaksi Gigi impaksi adalah gigi yang sebagian atau seluruhnya tidak erupsi dan posisinya berlawanan dengan gigi lainnya, jalan erupsi normalnya terhalang oleh tulang dan jaringan lunak, terblokir oleh gigi tetangganya, atau dapat juga oleh karena adanya jaringan patologis. Impaksi dapat diperkirakan secara klinis bila gigi antagonisnya sudah erupsi dan hampir dapat dipastikan bila gigi yang terletak pada sisi yang lain sudah erupsi (Alamsyah dkk, 2005). Gigi impaksi adalah gigi yang gagal erupsi secara utuh pada posisi yang seharusnya. Hal ini dapat terjadi karena ketidaktersediaan ruangan yang cukup pada rahang untuk tumbuhnya gigi dan angulasi yang tidak benar dari gigi tersebut. Secara umum impaksi adalah keadaan jika suatu gigi terhalang erupsi untuk mencapai kedudukan yang normal. Impaksi gigi dapat berupa gigi yang tumbuhnya terhalang sebagian atau seluruhnya oleh gigi tetangga, tulang atau jaringan lunak sekitarnya (Alamsyah dkk, 2005). Etiologi dari gigi impaksi bermacam-macam diantaranya kekurangan ruang, kista, gigi supernumerer, retensi gigi sulung, infeksi, trauma, anomali dan kondisisistemik. Faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya impaksi gigi adalah ukuran gigi. Sedangkan faktor yang paling erat hubungannya dengan ukuran gigi adalah bentuk gigi. Bentuk gigi ditentukan pada saat konsepsi. Satu hal yang perlu diperhatikan dan perlu diingat bahwa gigi permanen sejak erupsi tetap tidak berubah. Pada umumnya gigi susu mempunyai besar dan bentuk yang sesuai serta letaknya terletak pada maksila dan mandibula. Tetapi pada saat gigi susu tanggal tidak terjadi celah antar gigi, maka diperkirakan akan tidak cukup ruang bagi gigi permanen penggantinya sehingga bisa terjadi gigi berjejal dan hal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya impaksi (Alamsyah dkk, 2005). Penyebab meningkatnya impaksi gigi geraham rahang bawah disebabkan oleh karena faktor kekurangan ruang untuk erupsi. Hal ini dapat dijelaskan antara lain jenis makanan yang dikonsumsi umumnya bersifat lunak, sehingga untuk mencerna tidak memerlukan kerja yang kuat dari otot-otot pengunyah, khususnya rahang bawah menjadi kurang berkembang.Istilah impaksi biasanya diartikan untuk gigi yang erupsi oleh sesuatu sebab terhalang, sehingga gigi tersebut tidak keluar dengan sempurna mencapai oklusi yang normal di dalam deretan susunan gigi geligi. Hambatan iii

halangan ini biasanya berupa hambatan dari sekitar gigi atau hambatan dari gigi itu sendiri (Alamsyah dkk, 2005). Hambatan dari sekitar gigi dapat terjadi karena : 1. Tulang yang tebal serta padat 2. Tempat untuk gigi tersebut kurang 3. Gigi tetangga menghalangi erupsi gigi tersebut 4. Adanya gigi desidui yang persistensi 5. Jaringan lunak yang menutupi gigi tersebut kenyal atau liat Hambatan dari gigi itu sendiri dapat terjadi oleh karena : 1. Letak benih abnormal, horizontal, vertikal, distal dan lain-lain. 2. Daya erupsi gigi tersebut kurang. (Alamsyah dkk, 2005) Klasifikasi Impaksi gigi Molar tiga rahang bawah : Berdasarkan sifat jaringan, impaksi gigi molar ketiga dapat diklasifikasikan menjadi : 1. Impaksi jaringan lunak Adanya jaringan fibrous tebal yang menutupi gigi terkadang mencegah erupsi gigi secara normal. Hal ini sering terlihat pada kasus insisivus sentral permanen, di mana kehilangan gigi sulung secara dini yang disertai trauma mastikasi menyebabkan fibromatosis. 2. Impaksi jaringan keras Ketika gigi gagal untuk erupsi karena obstruksi yang disebabkan oleh tulang sekitar, hal ini dikategorikan sebagai impaksi jaringan keras. Di sini, gigi impaksi secara utuh tertanam di dalam tulang, sehingga ketika flap jaringan lunak direfleksikan, gigi tidak terlihat. Jumlah tulang secara ekstensif harus diangkat dan gigi perlu dipotongpotong sebelum dicabut. (Alamsyah dkk, 2005) Klasifikasi Winter Winter mengajukan sebuah klasifikasi impaksi gigi molar ketiga mandibula berdasarkan hubungan gigi impaksi terhadap panjang aksis gigi molar kedua mandibula. Beliau juga mengklasifikasikan posisi impaksi yang berbeda seperti impaksi

iii

vertikal, protractor

horizontal, ortodontik.

inverted, Dalam

mesioangular, penelitian

distoangular, angulasi

bukoangular,

dan

linguoangular. Quek et al mengajukan sebuah sistem klasifikasi menggunakan mereka, dideterminasikan menggunakan sudut yang dibentuk antara pertemuan panjang aksis gigi molar kedua dan ketiga. Mereka mengklasifikasikan impaksi gigi molar ketiga mandibula sebagai berikut: 1. Vertikal (10o sampai dengan -10o) 2. Mesioangular (11o sampai dengan -79o) 3. Horizontal (80o sampai dengan 100o) 4. Distoangular (-11o sampai dengan -79o) 5. Lainnya (-111o sampai dengan -80o) (Alamsyah dkk, 2005) Teori didasarkan pada inklinasi impaksi gigi molar ketiga terhadap panjang axis gigi molar kedua : a) Mesioangular: Gigi impaksi mengalami tilting terhadap molar kedua dalam arah mesial b) Distoangular: Axis panjang molar ketiga mengarah ke distal atau ke posterior menjauhi molar kedua c) Horisontal: Axis panjang gigi impaksi horisontal d) Vertikal: Axis panjang gigi impaksi berada pada arah yang sama dengan axis panjang gigi molar kedua e) Bukal atau lingual: Sebagai kombinasi impaksi yang dideskripsikan di atas, gigi juga dapat mengalami impaksi secara bukal atau secara lingual f) Transversal: Gigi secara utuh mengalami impaksi pada arah bukolingual g) Signifikansi: Tiap inklinasi memiliki arah pencabutan gigi secara definitif. Sebagai contoh, impaksi mesioangular sangat mudah untuk dicabut dan impaksi distoangular merupakan posisi gigi yang paling sulit untuk dicabut. (Alamsyah dkk, 2005) Gigi maksila dengan posisi bukal lebih mudah dicabut karena tulang yang menutupi gigi lebih tipis, sedangkan gigi pada sisi palatal tertutupi jumlah tulang yang banyak, dan membuat ekstraksi sulit untuk dilakukan (Alamsyah dkk, 2005).

iii

Posisi mesioangular paling sering terjadi pada impaksi gigi bawah sedangkan posisi distoangular paling sering terjadi pada impaksi gigi atas. Untungnya kedua gigi tersebut juga paling mudah pencabutannya. Didasarkan pada hubungan ruang, impaksi juga dikelompokkan berdasarkan hubungan bukallingualnya. Kebanyakan impaksi Molar ketiga bawah mempunyai mahkota mengarah ke lingual. Pada impaksi Molar ketiga yang melintang, orientasi mahkota selalu ke lingual. Hubungan melintang juga terjadi pada impaksi gigi atas tetapi jarang (Alamsyah dkk, 2005). Evaluasi Klinis Pemeriksaan awal harus berupa sebuah riwayat medis dan dental, serta pemeriksaan klinis ektra oral dan intral oral yang menyeluruh. Hasil penemuan positif dari pemeriksaan ini seharusnya dapat mendeterminasikan apakah pencabutan diindikasikan atau disarankan dan harus mengikutsertakan pemeriksaan radiologi (Alamsyah dkk, 2005). a) Pemeriskaan Umum Pemeriksaan umum harus dilakukan dengan cara yang sama dengan prosedur pembedahan lainnya. Adanya gangguan sistemik atau penyakit sistemik harus dideteksi dan kehati-hatian harus diterapkan sebelum pembedahan. Pasien juga harus diperiksa apakah sedang menjalani terapi tertentu, seperti terapi irradiasi, terapi cytostatic dan transplantasi organ. b) Pemeriksaan Lokal 1. Status erupsi gigi impaksi. Status erupsi gigi impaksi harus diperiksa karena status pembentukan mendeterminasikan waktu pencabutan. Idealnya, gigi dicabut ketika duapertiga akar terbentuk. Jika akar telah terbentuk sempurna, maka gigi menjadi sangat kuat, dan gigi terkadang displitting untuk dapat dicabut. 2. Resorpsi molar kedua. Karena kurangnya ruang molar ketiga yang impaksi sehingga memungkinkan terjadi resorpsi akar pada molar kedua. Setelah pencabutan gigi molar ketiga yang impaksi, molar kedua harus diperiksa untuk intervensi endodontik atau periodontik tergantung pada derajat resorpsi dan keterlibatan pulpa. 3. Adanya infeksi lokal seperti periokoronitis. Infeksi ini merupakan sebuah inflamasi jaringan lunak yang menyelimuti mahkota gigi yang sedang erupsi yang hampir seluruhnya membutuhkan penggunaan antibiotik atau prosedur yang jarang

iii

dilakukan eksisi pembedahan pada kasus rekuren. Periokoronitis rekuren terkadang membutuhkan pencabutan gigi impaksi secara dini. 4. Pertimbangan ortodontik. Karena molar ketiga yang sedang erupsi, memungkinkan terjadi berjejal pada regio anterior setelah perawatan ortodonti yang berhasil. Oleh karena itu, disarankan untuk mencabut gigi molar ketiga yang belum erupsi sebelum memulai perawatan ortodontik. 5. Karies atau resorpsi molar ketiga dan gigi tetangga. Akibatnya kurangnya ruang, kemungkinan terdapat impaksi makanan pada area distal atau mesial gigi impaksi yang menyebabkan karies gigi. Untuk mencegah karies servikal gigi tetangga, disarankan untuk mencabut gigi impaksi. 6. Status periodontal. Adanya poket sekitar gigi molar ketiga yang impaksi atau molar kedua merupakan indikasi infeksi. Penggunaan antibiotik disarankan harus dilakukan sebelum pencabutan gigi molar ketiga impaksi secara bedah untuk mengurangi komplikasi post-operatif. 7. Orientasi dan hubungan gigi terhadap infeksi saluran akar gigi. hal ini akan didiskusikan secara detail pada pemeriksaan radiologi. 8. Hubungan oklusal. Hubungan oklusal molar ketiga rahang atas terhadap molar ketiga rahang bawah harus diperiksa. Ketika gigi molar ketiga rahang bawah yang impaksi berada pada sisi yang sama diindikasikan untuk ekstraksi, sisi yang satunya juga harus diperiksa. 9. Nodus limfe regional. Pembengkakan dan rasa nyeri pada nodus limfe regional mungkin terindikasi infeksi molar ketiga. 10. Fungsi temporomandibular joint. (Alamsyah dkk, 2005) 2.5 Tindakan 2.5.1 Anastesi 1) Anastesi Umum Anastesi Adalah hilangnya rasa sakit seluruh tubuh secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible (Puryanto, 1999). Perbedaan anastesi umum dengan anestesi local yaitu :
a.

pada anestesi local hilangnya rasa sakit setempat sedang pada anestesi umum seluruh tubuh.

iii

b.

Pada anestesi local yang terpengaruh syaraf perifer sedang pada anestesi umum yang terpengaruh syaraf pusat dan pada anestesi local tidak terjadi kehilangan kesadaran.

c.

Obat-obat anestesi dapat dimasukkan kedalam tubuh melalui inhalasi (dengan menghirup) atau parenteral (dengan suntikan) (Puryanto, 1999). Yang melalui inhalasi antara lain :
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

N2O Halothan Enflurane Ether Isoflurane Sevoflurane Metoxiflurane Trilene.

Yang melalui parenteral :


1. 2.

Intravena, antara lain : pentothal, ketamin, golongan benzodiazepin Intramuskuler, antara lain : ketamin dan golongan benzodiazepin Apabila obat anestesi inhalasi, dihirup bersama-sama udara inspirasi masuk kedalam

saluran pernafasan, didalam alveoli paru akan berdifusi masuk kedalam sirculasi darah. Demikian pula yang disuntikkan secara intramuskuler, obat tersebut akan diabsorbsi masuk kedalam sirkulasi darah. Setelah masuk kedalam sirkulasi darah obat tersebut akan menyebar kedalam jaringan (Puryanto, 1999). Dengan sendirinya jaringan yang kaya pembuluh darah seperti otak atau organ vital akan menerima obat lebih banyak dibandingkan jaringan yang pembuluh darahnya sedikit seperti tulang atau jaringan lemak. Kerja obat anastesi juga tergantung jenis obatnya, dimana didalam jaringan sebagian akan mengalami metabolisme, ada yang terjadi di hepar , ginjal atau jaringan lain. Eksresi bisa melalui ginjal, hepar, kulit, atau paru-paru. Eksresi bisa dalam bentuk asli atau hasil metabolismenya. N2O dieksresi dalam bentuk asli lewat paru (Puryanto, 1999).

iii

Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi, antara lain :


1. 2. 3. 4.

Faktor respirasi (untuk obat inhalasi) Faktor circulasi Faktor jaringan. Factor obat anestesi.

1) Faktor Respirasi Sesudah obat anestesi inhalasi sampai dialveoli (paru-paru), maka akan mencapai tekanan parsial tertentu, makin tinggi konsentrasi zat yang dihirup, maka tekanan parsialnya makin tinggi. Perbedaan tekanan parsial zat anestesi dalam alveoli dan didalam darah menyebabkan terjadinya difusi. Bila tekanan didalam alveoli lebih tinggi maka difusi terjadi dari alveoli kedalam sirkulasi dan sebaliknya difusi terjadi dari sirkulasi kedalam alveoli bila tekanan parsiel didalam alveoli lebih rendah ( keadaan ini terjadi bila pemberian obat anestesi dihentikan). Makin tinggi perbedaan tekanan parsiel obat anestesi antara alveoli dan sirkulasi makin cepat terjadinya difusi. Proses difusi akan terganggu bila terdapat penghalang antara alveoli dan sirkulasi darah misalnya pada udem paru dan fibrosis paru. Pada keadaan ventilasi alveoler meningkat misalnya pada nafas dalam maka obat yang berdifusi lebih banyak, sebaliknya pada keadaan ventilasi yang menurun misalnya pada depresi respirasi atau obstruksi respirasi (Wagner, 1999). 2) Faktor sirkulasi Aliran darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru kejaringan dan sebaliknya. Pada gangguan pembuluh darah paru makin sedikit obat yang dapat diangkut demikian juga pada keadaan cardiac out put (curah jantung) yang menurun. Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan keseimbangan. Bila kelarutan zat anestesi dalam darah tinggi / BG koefesien tinggi maka obat yang berdifusi cepat larut didalam darah, sebaliknya obat dengan BG koefesien rendah, maka cepat terjadi keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya penderita mudah tertidur waktu induksi dan mudah bangun waktu anestesi diakhiri (Wagner, 1992). 3) Faktor jaringan.
a. b. c.

Perbedaan terkanan parsiel obat anestesi didalam sirkulasi dan didalam jaringan Kecepatan metabolime obat Aliran darah dalam jaringan

iii

d.

Tissue / blood partition coefisien

4) Faktor zat anestesi Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk mengukur potensi obat anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal alveolar concentration), yaitu konsentrasi minimal obat anestesi didalam alveoli yang mampu mencegah terjadinya respon stimualsi rasa sakit. Makin rendah MAC makin tinggi potensi obat anestesi tersebut (Wagner, 1992). Teori terjadinya anestesi umum :
1.

Lipid solubility theory Obat anestesi adalah lipid solobel sehingga efeknya berhubungan dengan daya larutnya dalam lemak. Makin besar daya larutnya makin besar efek anestesinya.

2.

Teori colloid Efek anestesi disebabkan karena terjadinya agregasi colloid dalam sel Yang menyebabkan terjadinya gangguan fungsi pada sel.

3.

Teori adsorbsi / tegangan permukaan menghubungkan efek anestesi dengan daya adsorbsi atau menurunnya tegangan permukaan membran sel. Dengan mengumpulnya obat anestesi pada membran sel berakibat perubahan permeabilitas membran/daya absorbsi dan menyebabkan terjadinya hambatan fungsi neuron.

4.

Teori biokimiawi Menerangkan efek obat anestesi dengan peningkatan reaksi enzimatik dipermukaan atau dalam sel. Antara lain beberapa obat anestesi menyebabkan uncoupling dan oxsidative phosphorilation dan menghambat konsumsi oksigen

5.

Teori fisik menghubungkan daya anestesi dengan aktifitas thermodinamik atau bentuk dan besar molekul. Bekerjanya obat anestesi yang inert adalah dengan pengisian ruangan-ruangan non aqueous dari membran sel oleh molekul obat anestesi sehingga permeabilitas membran terganggu. Zat anestesi dapat membentuk mikro kristal dengan air dalam membra sel neuron dan ini menyebabkan stabilisasi membran sel. Teori ini disebut juga hidrat mikro kristal teori (Wagner, 1992).

iii

Stadium anastesi Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi, agar tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita tetapi cukup adekuat untuk melakukan operasi. Kedalaman anestesi dinilai berdasar tanda klinik yang didapat. Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dengan melihat pernafasan, gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot dan refleks pada penderita yang mendapat anestesi ether (Puryanto, 1999).
1.

Stadium I Stadium I disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini operasi kecil bisa dilakukan.

2.

Stadium II Stadium II disebut juga stadium delirium atau stadium exitasi. Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini penderita bisa meronta ronta, pernafasan irregular, pupil melebar, refleks cahaya positif, gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi, refleks fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-kadang kencing atau defekasi. Stadium ini diakhiri dengan hilangnnya refleks menelan dan kelopak mata dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini membahayakan penderita karena itu harus segera diakhiri Keadaan ini bisa dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat, Persiapan psikologi penderita dan induksi yang halus dan tepat. Keadaan emergency delirium juga dapat terjadi pada fase pemulihan dari anestesi. Penderita bisa meronta ronta, pernafasan irregular, pupil melebar, refleks cahaya positif, gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi, refleks fisiologi masih ada dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-kadang kencing atau defekasi. Stadium ini diakhiri dengan hilangnnya refleks menelan dan kelopak mata dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini membahayakan penderita karena itu harus segera diakhiri (Puryanto, 1999).

3.

Stadium III Disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai paralise otot nafas Dibagi menjadi 4 plane :
a)

Plane I : Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata. Ditandai dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan

iii

abdominal Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+), lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah menghilang, tonus otot menurun.
b)

Plane II: Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisa otot interkostal. Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidal menurun dan frekwensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi nafas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks cahaya menurun, refleks kornea menghilang, dan tonus otot makin menurun.

c)

Plane III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise seluruh otot Interkostal. Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dominan dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil makin melebar dan refleks cahaya menjadfi hilang, lakrimasi negatif, refleks laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun.

d)

Plane IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise diafragma Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernafasan lambat, iregular dan tidak adekwat, terjadi jerky karena terjadi paralise diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, refleks cahaya negatif, refleks spincter ani negatif.

4. a)

Stadium IV : Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut stadium over dosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya semua refleks, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan dikuti dengan circulatory failure (Puryanto, 1999). CaraMemberikanAnastesi Pemberian anestesi dimulai dengan induksi yaitu memberikan obat sehingga penderita tidur. Tergantung lama operasinya, untuk operasi yang waktunya pendek mungkin cukup dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi yang lama, kedalaman anestesi perlu dipertahankan dengan memberikan obat terus menerus dengan dosis tertentu, hal ini disebut maintenance atau pemeliharaan (Wagner, 1992).

b)

1.

Induksi

iii

Induksi dapat dilakukan dengan cara inhalasi, intravena, atau intramuskuler Induksi Inhalasi, sering disebut dengan istilah induksi lambat karena membutuhkan waktu yang lama, sedangkan induksi intravena disebut juga dengan induksi cepat karena penderita cepat tertidur. Tetapi pada saat ini telah ditemukan sevoflurane yaitu obat inhalasi yang dapat membuat tidur secepat obat intravena. 1) Induksi Inhalasi :
a)

Diberikan dengan meminta penderita menghirup campuran gas anestesi dengan udara atau oksigen, dengan memakai face mask (sungkup muka/ kap). Tergantung yang dipakai, gas anestesi bisa diambil dari tabung gas (N2O ) atau dari obat anestesi cair yang diuapkan menggunakan alat yang disebut vaporizer. Pada zaman dulu obat anestesi cair diteteskan pelan-pelan langsung kesungkup muka yang berlubang lubang kecil, cara ini disebut open drop, karena obatnya ether maka disebut juga open drop ether

b)

Induksi inhalasi menggunakan ether pada saat ini tidak populer, karena menimbulkan stadium II yang menyebabkan terjadinya risiko morbiditas dan mortalitas bagi penderita

c)

Dibandingkan dengan ether induksi inhalasi lebih baik menggunakan halothane,enflurane isoflurane atau sevoflurane. Penderita yang mendapat induksi inhalsi dengan obat ini cepat masuk kedalam stadium III, sehingga tanda stadium II yang membahayakan penderita tidak terlihat

d)

Umumnya induksi inhalasi dikerjakan pada bayi dan anak (Wagner, 1992)

2) Induksi Intravena Pada induksi intravena tidak terjadi stadium II, dikerjakan dengan menyuntikkan obat anestesi kedalam pembuluh darah vena.

3) Induksi Intramuskuler. Diberikan dengan menyuntikkan obat anestesi kedalam otot. Dikerjakan pada anak-anak (Wagner, 1992).

iii

2)

Anastesi Lokal Berhasil dalam anastesi lokal merupakan prasyarat semua bedah dibidang kedokteran gigi, dan di bedah mulut ini dibutuhkan bagi pasien dan operator. Kemampuan untuk melakukan anastesi lokal dengan baik kepada semua pasien merupakan kemampuan yang fundamental yang harus dimiliki oleh dokter bedah mulut (Puryanto, 1999). Anastesi lokal biasa digunakan dalam beberapa hal : a. Diagnostic. Dalam hal ini anastesi lokal digunakan untuk menemukan sumber sakit yang diderita pasien, contohnya rasa sakit pada penderita pulpitis, pada pasien pulpitis sulit baik bagi pasien maupun bagi ooperator karena rasa sakit yang timbul dapat dirasakan dibagian mulut atau bagian wajah yang jauh dari lokasi pulpitis b. Terapi. Anastesi lokal marupakan bagian dari perawatan pada tindakan bedah, contohnya pengguanaan teknik blok pada penderita dry socket untuk mengurangi rasa sakit, hal ini yang dimaksud sebagai anastesi lokal yang berfungsi sebagai bahant terapi c. Praoperasi. Anastesi lokal juga diberikan sebelum tindakan praoperasi, hal ini dilakukan untuk keamanan dan kenyamanan pasien pada saat melakukan tindakan pembedahan. d. Pasca operasi. Sesudah tindakan pembedahan baik dengan anestesi lokal maupun general, efek anatesi yang berkelanjutan kebanyakan menguntungkan untuk mengurangi rasa sakit yang timbul dari tindakan setelah operasi (Puryanto, 1999). Macam-macam teknik yang digunakan dalam penatalaksanaan anastesi lokal : a. Infiltrasi. Anastesi dilakukan dengan mendeponirkan cairan anastesi disekitar apeks gigi yang akan dicabut di sisi bukal pada sulkus, adanya porositas pada tulang alveolar menyebabkan cairan anastesi berdifusi menuju saraf pada apeks gigi.

iii

b. Anastesi blok. Anastesi blok merupakan anastesi dengan menginjeksikan cairan anastesi pada batang saraf yang biasa digunakan untuk tindakan bedah di rongga mulut. Anastesi blok yang biasa dilakukan yaitu inferior dental blok, mental blok, posterior superior dental blok, dan infraorbital blok. c. Teknik-teknik yang lain. Ada teknik-teknik lain yang digunakan untuk anastesi seperti periodontal ligamen injection, a. Kurangnya prasarana resusitasi b. Infeksi lokal atau iskemia pada tempat suntikan c. Pembedahan luas uang membutuhkan dosis toksis anestesi lokal d. Distorsi anatomik atau pembentukan sikatriks e. Resiko hematoma pada tempat-tempat tertentu akibat pengobatan dengan antokoagulan, cenderung perdarahan, atau hemofilia f. Jika dibutuhkan anestesi segeraatau tidak cukup waktu untuk anestesi lokal untuk bekerja secara sempurna g. Kurangnya kerjasama atau tidak adanya persetujuan dari pihak penderita (Puryanto, 1999).

Indikasi anestesi lokal Ada beberapa indikasi untuk pemakaian anestesi lokal, antara lain :

1. Jika nyawa penderita dalam bahaya karena kehilangan kesadarannya, sebagai contoh sumbatan pernapasan atau infeksi paru 2. Kedaruratan karena tidak ada waktu untuk mengurangi bahaya anestesi umum. Hal ini dapat terjadi pada beberapa kasus seperti lambung penuh, dan partus obstetrik operatif, dan pada kasus-kasus diabetes, miastenia gravis, penyakit sel bulan sabit, usia yang sangat lanjut, atau debil, serta pembedahan yang lama pada reimplantasi jari-jari yang cedera 3. Menghindari bahaya pemberian obat anestesi umum. Sebagai contoh pada porfiria intermitten akut, anestesi dengan halotan berulang, miotonia dan gagal ginjal atau hepar 4. Prosedur yang memerlukan kerja sama dengan penderita, seperti pada perbaikan

iii

tendo,

pembedahan

mata,

lesi

kulit,

serta

pemeriksaan

gerakan

faring

5. Lesi superfisialis minor dan permukaan tubuh, seperti ekstraksi gigi tanpa penyulit, lesi kulit, laserasi minor, dan revisi jaringan parut 6. Pemberian analgesik pascabedah. Contoh utama adalah sirkumsisi, toraktomi, herniorafi, tempat donor cangkok kulit serta pembedahan abdomen 7. Untuk menimbulkan hambatan simpatik, seperti pada free-flap atau pembedahan reimplantasi, atau iskemia ekstremitas 8. Jika penderita atau ahli bedah atau ahli anestesi lebih menyukai anestesi lokal serta dapat meyakinkan para pihak lainnya bahwa anestesi lokal saja sudah cukup 9. Anestesi topikal pada membran mukosa digunakan untuk meningkatkan kenyamanan pasien selam injeksi anestetik local 10. Anestesi lokal dengan memblok saraf atau anestesi infiltrasi sebaiknya diberikan lebih dahulu sebelum prosedur operatif dilakukan dimana rasa sakit akan muncul 11. Anestesi topikal pada membran mukosa dapat digunakan untuk pertolongan sementara lesi pada permukaan mulut (Puryanto, 1999).

2.5.2 Odontektomi Teknik Odontektomi Berdasarkan Tipe Impaksi Gigi a) Impaksi Vertikal Jika gigi yang terbentuk tidak erupsi sempurna menembus batas gusi. Tulang pada aspek bukal dan distal mahkota dibuang, dan gigi dipotong menjadi bagian mesial dan distal. Jika akar gigi bengkok, menyatu atau tunggal, bagian distal mahkota dipotong seperti dalam impaksi mesioangular. Aspek posterior mahkota diungkit terlebih dahulu menggunakan Cryer elevator sampai ke titik pengeluaran pada sisi distal gigi (Coulthard dkk, 2003). b) Impaksi Mesioangular Impaksi mesioangular merupakan tipe yang sering ditemukan [43% kasus]. Gigi menjorok ke depan, mengarah ke depan mulut. Dalam pencabutan impaksi mesioangular, tulang pada sisi bukal dan distal dibuang agar mahkota gigi dan batas

iii

servikalnya terlihat. Aspek distal mahkota dipotong. Terkadang, perlu dilakukan pemotongan seluruh gigi menjadi dua bagian, bukan hanya memotong bagian distal mahkota saja. Elevator digunakan untuk mengangkat aspek mesial gigi dengan gerakan putar dan ungkit. Setelah bagian distal mahkota dikeluarkan, diinsersikan elevator kecil pada titik ungkit di aspek mesial gigi molar tiga, dan gigi dikeluarkan menggunakan gerakan putar dan ungkit (Coulthard dkk, 2003). c) Impaksi horisontal Impaksi Horisontal jarang ditemukan [3%], yang terjadi jika gigi memiliki sudut 90 derajat, tumbuh ke arah gigi molar dua. Saat dilakukan pembedahan impaksi horisontal, tulang yang menutupi gigi-yaitu, tulang pada aspek distal dan bukal gigi-dibuang menggunakan bur. Mahkota dipisahkan dari akarnya dan dikeluarkan dari soket. Akar jamak dikeluarkan bersamaan atau sendiri-sendiri menggunakan Cryer elevator dengan gerakan rotasi. Terkadang, akar perlu dipotong menjadi dua bagian: pembuatan titik ungkit pada akar akan mempermudah Cryer elevator untuk mengeluarkan akar. Akar mesial diungkit dengan cara yang sama (Coulthard P dkk, 2003) . d) Impaksi Distoangular Pada tipe impaksi ini, gigi menjorok ke belakang, ke bagian belakang mulut. Dalam impaksi distoangular, tulang oklusal, bukal dan distal dibuang menggunakan bur. Harus diingat bahwa tulang distal harus dibuang lebih banyak dibandingkan dalam impaksi tipe vertikal atau mesioangular. Mahkota gigi dipotong menggunakan bur dan dikeluarkan menggunakan elevator lurus. Titik ungkit diletakkan pada bagian akar gigi, dan akar dikeluarkan menggunakan Cryer elevator dalam gerakan wheeland- axle [roda-dan-jeruji], jika akar divergen, terkadang perlu dilakukan pemotongan akar sendiri-sendiri. Setelah gigi impaksi dikeluarkan dari prosesus alveolar, dokter bedah harus melakukan debridemen luka dengan cermat dan hati-hati untuk membersihkan semua potongan tulang kecil dan debris lainnya. Metode terbaik untuk melakukannya adalah dengan melakukan debridemen mekanis pada soket dan daerah di bawah flap menggunakan kuret periapikal. Bone file digunakan untuk menghaluskan tepi-tepi tulang yang tajam dan kasar. Hemostat mosquito digunakan untuk membuang sisasisa folikel gigi dengan hati-hati. Terakhir, soket dan luka diirigasi menggunakan salin atau air steril [optimal: 30-50 ml]. Dalam kasus-kasus tertentu, dibutuhkan irigasi, yaitu pada pasien yang beresiko mengalami dry socket, gangguan penyembuhan, atau komplikasi lainnya. Flap dikembalikan ke posisi awalnya, dan dilakukan penjahitan

iii

menggunakan resorbable suture pada aspek posterior gigi molar dua. Jahitan tambahan dapat dilakukan jika perlu (Coulthard P dkk, 2003). Komplikasi Post-Operatif Setelah pencabutan gigi impaksi terdapat beberapa respon fisiologis yang normal, yaitu perdarahan ringan, pembengkakan, kekakuan dan rasa nyeri. Respon negatif tersebut menimbulkan ketidaknyamanan jangka pendek bagi pasien yang berlangsung selama 4-7 hari setelah pembedahan. Tujuan utama dalam setiap jenis pembedahan adalah mencegah infeksi postoperatif akibat prosedur pembedahan. Untuk mencapai tujuan tersebut, sebagian prosedur pembedahan membutuhkan antibiotik profilaktik. Dalam pencabutan gigi molar tiga, infeksi merupakan kasus yang jarang terjadi. Ini berarti bahwa rasa nyeri, pembengkakan, dan produksi purulen yang membutuhkan insisi dan drainase atau terapi antibiotik jarang ditemukan. Gangguan penyembuhan yang lebih menonjol setelah pencabutan impaksi gigi molar tiga adalah dry socket atau alvaolar osteitis. Gangguan penyembuhan ini cenderung disebabkan oleh kombinasi bakteri anaerob dan saliva (Coulthard P dkk, 2003) . Penggunaan antibiotik profilaktik dalam pencabutan gigi impaksi dapat mengurangi insiden dry socket. Teknik lain yang efektif mengurangi insiden dry socket adalah irigasi berlimpah, berkumur dengan klorheksidin sebelum pembedahan, dan aplikasi antibiotik pada soket ekstraksi. Komplikasi pencabutan gigi impaksi lainnya adalah perlukaan saraf, akibat penggunaan tang atau elevator, dan administrasi anestetik lokal. Kerusakan saraf sensoris biasanya terjadi jika pembedahan dilakukan di sekitar daerah foramen mentale dan gigi molar tiga. Perkiraan insiden kerusakan saraf sangat bervariasi. Hilangnya sensori pencecap lingual dan saraf alveolaris inferior mencapai 13% dan terjadi pemulihan dalam waktu 6 bulan setelah pembedahan. Fraktur akar merupakan salah satu masalah yang sering ditemukan dalam pencabutan gigi molar tiga dan terkadang sulit diatasi. Dalam situasi semacam ini, fragmen akar dapat masuk ke dalam ruang submandibula, kanalis alveolar inferior, atau sinus maksilaris. Akar yang tak-terinfeksi dalam tulang alveolar dapat ditinggalkan pada tempatnya, tanpa komplikasi post-operatif. Jaringan pulpa akan mengalami fibrosis dan akar menyatu dalam tulang alveolar. Usaha yang terlalu agresif dan destruktif untuk mengangkat bagian akar cenderung menimbulkan masalah. Dalam hal ini, dibutuhkan pemeriksaan radiografik follow up (Coulthard P dkk, 2003).

iii

BAB 3 Pemeriksaan kesehatan CONCEPTUAL MAPPING

subjektif

objektif

Diagnosa awal

Pemeriksaan penunjang

Pem. laboratorium

Pem. radiologi Diagnosa akhir iii tindakan

BAB 4 PEMBAHASAN Pemeriksaan kesehatan merupakan tahap-tahap yang dilakukan oleh tenaga kesehatan terutama dokter untuk mengetahui kondisi kesehatan pasien. Pemeriksaan dilakukan dengan banyak cara baik secara subyektif maupun obyektif. Hal ini diperlukan agar data dan informasi yang diperoleh dapat mendukunga diagnosa seakurat mungkin, bahkan dalam beberapa kasus masih diperlukannya pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa. Dalam bidang kedokteran gigi tahap pemeriksaan tidak terlalu berbeda dengan pemeriksaan kesehatan pada umumnya yaitu pemeriksaan subyektif (anamnesa), pemeriksaan objektif ( pemeriksaan klinis), dan pemeriksaan penunjang. Akan tetapi hanya beberapa saja untuk pemeriksaan penunjang yang digunakan dalam kedokteran gigi. Pemeriksaan subyektif yaitu berupa anamnesa dengan cara lisan memperoleh data dari pasien untuk mengetahui riwayat penyakit dan keluhan penyakit. Sedangkan untuk pemeriksaan objektif yaitu pemeriksaan klinis yang dilakukan pada daerah keluhan dan yang ada hubungannya dengan keluhan. Sedangkan pemeriksaan penunjang merupakan pemeriksaan tambahan untuk menegakkan diagnosa yang lebih akurat. Pemeriksaan yang digunakan akan menghasilkan diagnosa akhir dari penyakit. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dikedokteran gigi yaitu pemeriksaan radiograf, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan histopatologis. Pemeriksaan radiograf dilakukan dengan penyinaran sinar x dimana bertujuan untuk mengindetifikasi abnormalitas yang tidak terlihat secara klinis. Abnormalitas ini antara lain adalah lesi seperti granuloma dan kista odontogen, abnormalitas morfologi gigi dan juga sebagai data rekam medik. Pemeriksaan ini terdapat dua jenis yaitu secara intra oral (film diletakkan dalam rongga mulut) dan ekstra oral (film diletakan diluar rongga mulut).

iii

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendapatkan adanya penyakit atau kondisi lain yang menjadi predisposisi pada kelainan di oral maupun untuk keamanan pada proses tindakan selanjutnya. Pemeriksaan laboratorium ini antara lain pemeriksaan darah meliputi jumlah leukosit, eritrosit, kadar glukosa, kadar Hb, waktu perdarahan dan pembekuan selain itu juga teradapat pemeriksaan secara histopatologis dimana dilakukan biopsi pada jaringan di oral seperti untuk mengetahui tingkat keganasan lesi (tumor).

iii

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan 1. Pemeriksaan kesehatan terdiri dari pemeriksaan subyektif dan pemeriksaan obyektif. Dimana pemeriksaan subyektif adalah menggambarkan pendokumentasian hasil analisa fisik klien, hasil lab, dan test diagnostik lain yang dirumuskan dalam data focus untuk mendukung assessment, sedangkan pemeriksaan obyektif adalah menggambarkan pendokumentasian hanya pengumpulan data klien melalui anamnese. Tanda gejala subjektif yang diperoleh dari hasil bertanya dari pasien, suami atau keluarga. 2. Pemeriksaan penunjang merupakan pemeriksaan tambahan untuk menegakkan diagnosa yang lebih akurat. Pemeriksaan yang digunakan akan menghasilkan diagnosa akhir dari penyakit. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dikedokteran gigi yaitu pemeriksaan radiografi, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan histopatologis. 5.2 Saran Diharapkan setelah mengetahui macam-macam pemeriksaan penunjang, mahasiswa FKG IIK Bhakti Wiyata dapat menjelaskan serta memahami macam-macam pemeriksaan penunjang yang digunakan di kedokteran gigi untuk mendapatkan diagnosa akhir.

iii

iii

DAFTAR PUSTAKA Alamsyah RM, Situmarong N. 2005. Dampak gigi molar tiga mandibula impaksi terhadap kualitas hidup mahasiswa universitas sumatera barat. Dentika Dental Journal;10(2):73-4 Coulthard P, Horner K, Sloan P, et al. 2003. Master dentistry: oral and maxillofacial surgery, radiology, pathology and oral medicine. Elsevier Science Limited. Churchill Livingstone.England.. p. 84-87. Depkes RI. 1998. Petunjuk Pemeriksaan Laboratorium Dongoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Klien. Jakarta : EGC Margono Gunawan. 1998. Radiografi Intraoral. Jakarta: EGC Pearce c, Evelyn. 2002. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Puryanto. 1999. Laboratorium Bedah Mulut. Jember : Universitas Jember Rahmalia Anisa. 2005. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: PT. Erlangga Sacher. A. Ronald dan McPherson. A. Richard. 2000. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium.Jakarta: EGC Taber, Ben-zion. 1994. Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC Wagner. 1992. Pencabutan Gigi Molar Ketiga. Jakarta: EGC Hidayat Wahyu. 2007. Gambaran distribusi teknik foto rontgen gigi yang digunakan di RSGMFKG UNPAD. FKG UNPAD. Bandung Whitney, Catherine, Peter Adamo. 2009. Diabetes. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

37 iii

Anda mungkin juga menyukai