Anda di halaman 1dari 37

REFERAT GAGAL JANTUNG

Disusun oleh: Made Diah Ayu Mahareni, S. Ked NIM. 077000203


Dokter Pembimbing: dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A dr. Gebyar Tri Baskara, Sp.A dr. Ramzy Syamlan, Sp.A
Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak Di RSD dr. Soebandi Jember

SMF/LAB ILMU KESEHATAN ANAK RSD DR. SOEBANDI JEMBER 2012


1

HALAMAN JUDUL...................................................................................i DAFTAR ISI................................................................................................ii PENDAHULUAN........................................................................................1 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................2 Definisi ..............................................................................................3 Etiologi ..............................................................................................5 Patofisiologi .......................................................................................7 Klasifikasi ..........................................................................................13 Manifestasi klinis ...............................................................................15 Anamnesis .........................................................................................19 Pemeriksaan Fisik ..............................................................................20 Pemeriksaan Penunjang .....................................................................21 Penatalaksanaan .................................................................................23 DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................38

PENDAHULUAN Peristiwa gagal jantung pada bayi dan anak merupakan keadaan patologis dimana jantung tidak mampu memompa darah cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Dalam hubungan yang luas ada dua sebab gagal jantung: (1) gangguan dari beban kerja yang berlebihan, biasanya kelebihan beban volume atau tekanan akibat penyakit jantung congenital atau yang didapat, pada awalnya miokardium normal, atau (2) beban kerja normal dihadapi oleh miokardium yang telah tercedera oleh misalnya penyakit radang (Freed, 1996). Pada stadium awal gagal jantung, berbagai mekanisme kompensatoir dibangkitkan untuk mempertahankan fungsi metabolik normal (cadangan jantung). Ketika mekanisme ini menjadi tidak efektif, akibatnya manifestasi klinisnya makin bertambah berat (Behrman, 1996). Sampai saat ini belum ada data yang valid mengenai insidens gagal jantung akut pada anak. Gagal jantung memberi kontribusi terhadap estimasi 15 juta kematian anak tiap tahun di dunia, penyebab tersering adalah PJB. Menurut dr.Sukman Tulus Putra, SpA, Ketua Divisi Kardiologi Anak RSCM, penderita PJB 90% meninggal karena gagal jantung dalam usia kurang dari satu tahun, sedangkan sisanya terjadi pada umur 1-5 tahun. Penyebab gagal jantung pada umur 5-15 tahun umumnya kelainan jantung di dapat (diantaranya demam reumatik) (Supriyatno, 2009). Saat ini penentuan derajat gagal jantung masih menggunakan kriteria klinis gagal jantung yaitu kriteria Ross (kemampuan minum, laju jantung, laju nafas, dan keringat yang berlebihan). Definisi Gagal jantung merupakan suatu sindroma klinis yang disebabkan oleh gagalnya mekanisme kompensasi otot jantung dalam mengantisipasi peningkatan beban volume ataupun beban tekanan yang berlebihan yang sedang dihadapinya, sehingga tidak mampu memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh ditentukan oleh curah jantung yang dipengaruhi oleh empat factor, (Sofyani S, 2002) 1) Preload (volume work) yang setara dengan isi diasolik akhir
3

2) After load (pressure work) yaitu jumlah resistensi total yang harus dilawan saat ventrikel berkontraksi 3) Kontraktilitas miokardium, yaitu kemampuan intrinsik otot jantung untuk menghasilkan tenaga dan berkontraksi tanpa tergantung kepada preload maupun after load serta
4)

Frekuensi denyut jantung

Curah jantung

Frekuensi jantung

Isi sekuncup

preload

afterload

Kontraktilitas miokardium

Gambar.1. Skema factor-faktor yang mempengaruhi curah jantung Etiologi 1. Etiologi Gagal Jantung pada Janin Tabel 1. Etiologi Gagal Jantung dalam Kandungan (Bernstein, 2003) Anemia Hemolitik akibat sensitisasi RH Transfusi ibu janin Anemia hipoplastik Anemia akibat parvovirus B-19 Aritmia

Takikardi supraventrikular Flutter atrium Fibrilasi atrium Takikardi ventrikel Blokade jantung total Beban volume berlebih (volume overload) Regurgitasi katup atrioventrikular pada kanal AV Regurgitasi trikuspidal pada penyakit Ebstein Fistula arteriovenosa Miokarditis 2. Etiologi Gagal Jantung Masa Neonatal Tabel 2. Etiologi Gagal Jantung pada Neonatus Disfungsi Miokardium Asfiksia Sepsis Hipoglikemia Miokarditis Beban tekanan berlebih (pressure overload) Stenosis aorta Koarktasio aorta Sindrom hipoplastik Jantung kiri Beban volume berlebih (volume overload) Pirau setinggi pembuluh darah besar Duktus arteriosus paten Trunkus arteriosus Jendela aorta pulmonal Pirau setinggi ventrikel Defek sekat ventrikel Ventrikel tunggal tanpa sianosis pulmonal

Kanal atrioventrikular Fistula arteriovenosus

Takiaritmia Takikardia supraventrikular Flutter atrium Fibrilasi atrium Bradiaritmia Blokade jantung total congenital 3. Etiologi Gagal Jantung Masa Bayi Tabel 3. Etiologi Gagal Jantung Pada Bayi
Beban volume berlebih Pirau setinggi pembuluh darah besar Duktus arteriosus paten Trunkus arteriosus Jendela aorta pulmonal Pirau setinggi ventrikel VSD VSD dengan transposisi VSD dengan atresia trikuspidal Ventrikel tunggal Pirau setinggi atrium Anomali total muara vena pulmonalis Kelainan otot jantung Gagal jantung sekunder

Penyakit ginjal Hipertensi Hipotirodisme Sepsis

4. Etiologi Gagal Jantung Masa Anak-anak Tabel 4. Etiologi Gagal Jantung Pada Masa Anak-anak Penyakit jantung congenital yang diperingan (palliated) Regurgitasi katup atrioventrikular Demam reumatik Miokarditis virus Endokarditis bacterial Sebab-sebab Sekunder Hipertensi akibat glomerulonefritis Tirotoksikosis Kardiomiopati doksosrubisin (adriamycin) Anemia sel sabit Kormulmonale akibat kistik fibrosis Patofisiologi Jantung dapat dipandang sebagai pompa dengan curah yang sebanding dengan volum pengisiannya dan berbanding terbalik dengan tahanan yang melawan pompanya. Ketika volume akhir diastolic ventrikel naik, jantung sehat akan menaikkan curah jantung sampai suatu maksimum dicapai dan curah jantung sampai suatu maksimum dicapai dan curah jantung tidak dapat diperbesar lagi (prinsip Frank starling). Kenaikan volume sekuncup yang dicapai dengan cara ini disebabkan oleh regangan serabutserabut miokardium, tetapi menaikkan tegangan dinding juga, dan menaikkan konsumsi oksigen miokardium. Jantung yang bekerja dibawah pengaruh berbagai jenis stess akan berfungsi sepanjang kurva Frank-Starling yang berbeda. Otot jantung dengan kontraktilitas intrinsic yang terganggu akan memerlukan derajat dilatasi yang

lebih besar untuk menghasilkan kenaikan volume sekuncup dan tidak akan mencapai curah jantung yang maksimal sama seperti miokard normal. Jika rongga jantung dilatasi karena lesi yang menyebabkan kenaikan prabeban (preload) (misal, shunt dari kiri ke kanan atau insufisiensi katup), hanya akan ada sedikit ruangan untuk dilatasi dan memperbesar curah jantung selanjutnya. Adanya lesi yang mengakibatkan kenaikan beban pasca (afterload) terhadap ventrikel (stenosis aorta atau pulmonal, koartasio aorta) akan mengurangi kinerja jantung, sehingga menyebabkan hubungan FrankSterling tertekan. Kemampuan jantung imatur untuk menaikkan curah jantung dalam responsnya terhadap kenaikan prabeban agak kurang daripada kemampuan jantung dewasa (matur). Dengan demikian, bayi premature akan lebih terganggu oleh shunt setinggi duktus dari kiri ke kanan daripada bayi yang cukup bulan. (Behrman, 1996)

Gambar 1. Kurva Frank-Starling Transport oksigen sistemik (TOS) dihitung sebagai hasil kali curah jantung (CJ) dan kadar oksigen sistemik (KO2). Curah jantung dapat dihitung sebagai hasil kali frekuensi jantung dan volume sekuncup (FJxVS). Penentu utama volume sekuncup

adalah beban pasca (beban tekanan), prabeban (beban volume), dan kontraktilitas (fungsi miokard intrinsik), kelainan frekuensi jantung dapat juga mengganggu curah jantung, termasuk bradiartmia maupun takiaritmia, yang memperpendek interval waktu diastole selama pengisian ventrikel. Perubahan dalam kemampuan darah membawa oksigen (missal anemia atau hipoksemia) akan juga menyebabkan penurunan dala TOS, dan jika mekanisme kompensatoir tidak cukup, dapat juga berakibat penurunan penghantaran substrat ke jaringan, suatu bentuk gagal jantung. Pada beberapa kasus gagal jantung, CJ normal atau naik, tetapi karena kadar oksigen sistemik menurun (akibat anemia) atau bertambahnya kebutuhan oksigen (akibat hipoventilasi, hipertiroidism atau hipermetabolisme) jumlah oksigen yang dihantarkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Keadaan ini, disebut gagal-curah tinggi, berakibat timbulnya tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung kongestif bila tidak ada kelaianan dasar pada fungsi miokardium dan curah jantung lebih besar daripada normal. Keadaan ini juga tampak pada fistulaarteriovenosa sistemik besar. Penyakit ini mengurangi tahanan vaskuler perifer dan beban pasca jantung, dan menambahkan kontraktilitas miokardium. Menghasilkan gagal jantung bila kebutuhan untuk curah jantung melebihi kemampuan jantung untuk berespons. Gagal curah-tinggi berat kronis akhirnya dapat menyebabkan penurunan kinerja miokardium karena kebutuhan metabolic miokardium sendiri tidak terpenuhi. Satu mekanisme kompensatoir utama untuk menaikkan curah jantung adalah naiknya tonus simpatis, akibatnya bertambahnya sekresi epinefrin adrenal dalam sirkulasi dan bertambahnya pelepasan norepinefrin saraf. Pengaruh manfaat awal rangsangan simpatis adalah kenaikan frekuensi jantung dan kontraktilitas miokardium, yang keduanya berperan menaikkan curah jantung. Karena vasokontriksi yang terlokalisasi, aliran darah dapat didistribusikan lagi dari kulit, visceral, dan bantalan kapiler ginjal ke jantung dan otak. Namun, kenaikan rangsangan simpatis yang lama dapat mempunyai pengaruh yang merugikan juga., termasuk hipermetabolisme, kenaikan beban pasca, aritmogenesis, kenaikan kebutuhan oksigen miokardium, dan

toksisitas miokard langsung. Vasokontriksi perifer dapat berakibat penurunan fungsi ginjal, hati, dan saluran gastrointestinal. (Behrman, 1996) Gagal Jantung Kanan Jantung kanan yang telah lemah, tidak kuat lagi memindahkan darah yang cukup banyak dari susunan pembuluh darah venosa (vena kava, atrium, dan ventrikel kanan) ke susunan pembuluh darah arteriosa (arteri pulmonalis). Oleh karena itu, darah akan tertimbun di dalam ventrikel kanan, atrium kanan, dan di dalam vena kava sehingga desakan darah dalam atrium kanan dan vena tersebut meninggi. Makin tinggi desakan darah dalam vena, vena makin mengembang (dilatasi) (Wahab, 2003). Dalam praktik, desakan venosa yang meninggi ini dapat dilihat pada peningkatan vena jugularis eksterna. Penimbunan darah venosa sistemik akan menyebabkan pembengkakan hepar atau hepatomegali. Pada gagal jantung yang sangat, pinggir bawah hati dapat mencapai umbilikus. Hati yang membengkak ini konsistensinya keras, permukaannya licin, dan sering sakit tekan terutama pada linea mediana. Hepatomegali merupakan suatu gejala yang penting sekali pada gagal jantung kanan. Timbunan darah venosa pada vena-vena di bagian bawah badan akan menyebabkan terjadinya udem. Mula-mula udem timbul pada tempat mata kaki (pada anak yang sudah berdiri), jadi pada tempat terendah, karena meningginya tekanan hidrostatis merupakan suatu faktor bagi timbulnya udem. Mula-mula, udem timbul hanya pada malam hari, waktu tidur, dan paginya udem menghilang. Pada stadium yang lebih lanjut, udem tetap ada pada waktu siang hari, dan udem tidak timbul pada mata kaki saja, tetapi dapat juga terjadi pada punggung kaki, paha, kulit perut, dan akhirnya pada lengan dan muka. Akibat selanjutnya dari timbunan darah ini adalah asites, dan asites ini sangat sering dijumpai pada anak yang menderita gagal jantung. Dapat juga terjadi hidrotoraks, meskipun pada anak agak jarang dijumpai. Bila hidrotoraks, terlalu banyak akan memperberat keadaan dispnea penderita.

10

Adanya kelemahan jantung kanan mula-mula dikompensasi dengan dilatasi dinding jantung kanan, terutama dinding ventrikel kanan. Adanya dilatasi dinding ventrikel akan menambah keregangan miokardium sehingga akan memperkuat sistole yang berakibat penambahan curah jantung. Adanya dilatasi dan juga sedikit hipertrofi jantung akan menyebabkan pembesaran jantung atau disebut kardiomegali. Upaya penambahan curah jantung karena kelemahan juga dilakukan dengan menaikkan frekuensi jantung (takikardi). Pada akhirnya kelemahan jantung kanan ini tidak dapat dikompensasi lagi, sehingga darah yang masuk kedalam paru akan berkurang dan ini tentunya akan merangsang paru untuk bernapas lebih cepat guna mengimbangi kebutuhan oksigen, akibatnya terjadi takipnea.

Gagal Jantung Kiri Jika darah dari atrium kiri untuk masuk ke ventrikel kiri pada waktu diastole mengalami hambatan akan menyebabkan tekanan pada atrium meninggi sehingga atrium kiri mengalami sedikit dilatasi. Makin lama dilatasi ini semakin berat sehingga atrium kiri, disamping dilatasi juga mengalami hipertrofi karena otot atrium ini terus menerus harus mendorong darah yang lebih banyak dengan hambatan yang makin besar. Oleh karena dinding atrium tipis, dalam waktu yang relatif singkat otot atrium kiri tidak lagi dapat memenuhi kewajibannya untuk mengosongkan atrium kiri. Menurut pengukuran, tekanan ini mencapai 24-34 mmHg, padahal tekanan normal hanya 6 mmHg atau ketika ventrikel kiri tidak mampu memompa darah ke aorta (karena kelemahan ventrikel kiri), darah tertumpuk di ventrikel kiri, akibatnya darah dari atrium kiri tidak tertampung di ventrikel kiri, kemudian makin lama makin memenuhi vena pulmonalis dan akhirnya terjadi udem pulmonum (Wahab, 2003). Pengosongan atrium kiri yang tidak sempurna ini ditambah meningginya tekanan didalamnya, menyebabkan aliran di dalamnya, menyebabkan aliran darah dari paru ke dalam atrium kiri terganggu atau terbendung. Akibatnya tekanan dalam vv.pulmonales
11

meninggi, dan ini juga akan menjalar ke dalam kapiler di dalam paru, ke dalam arteri pulmonalis dan akhirnya ke dalam ventrikel kanan. Akhirnya atrium kiri makin tidak mampu mengosongkan darah, bendungan dalam paru semakin berat, terjadilah kongesti paru. Akibatnya, ruangan di dalam paru yang disediakan untuk udara, berkurang dan terjadilah suatu gejala sesak napas pada waktu bekerja (dyspnoe deffort). Disini, ventrikel kanan masih kuat sehingga dorongan darah dari ventrikel kanan tetap besar, sedangkan atrium kiri tetap tidak mampu menyalurkan darah, akibatnya bendungan paru semakin berat sehingga akan terjadi sesak napas meskipun dalam keadaan istirahat (orthopnea). Pada anak, adanya kongesti paru ini akan memudahkan terjadinya bronkitis sehingga anak sering batukbatuk. Darah yang banyak tertimbun dalam ventrikel kanan menyebabkan ventrikel kanan dilatasi, kemudian diikuti dengan hipertrofi, yang akibatnya akan terjadi kardiomegali. Dalam rangka memperbesar curah jantung, selain jantung memperkuat sistol karena adanya keregangan otot berlebihan, jantung juga bekerja lebih cepat, artinya frekuensi naik. Dengan demikian, terjadi takikardi. Oleh karena yang lemah adalah atrium kiri dan atau ventrikel kiri maka disebut gagal jantung kiri.

12

Klasifikasi Tabel 5. Klasifikasi Ross untuk gagal jantung pada bayi sesuai NYHA Kelas I Asimptomatik Kelas II Takipneu ringan atau bayi saat minum tampak berkeringat. Pada anak yang lebih besar tampak sesak bila beraktivitas. Kelas III Takipneu tampak jelas atau bayi tampak berkeringat saat minum. Sesak yang nyata saat berkativitas. Pemanjangan waktu pemberikan makan dengan kegagalan pertumbuhan Kelas IV Tampak gejala seperti takipneu, retraksi, merintih atau berkeringat saat istirahat

13

Ross dkk tahun 1922 mempublikasikan sistem skor untuk mengklasifikasikan gagal jantung secara klinis pada bayi (Tabel 6). Skor Ross ini disejajarkan dengan klasifikasi New York Heart Association (NYHA) (Tabel 5) dapat memberikan gambaran yang lebih rinci oleh karena peningkatan derajat beratnya gagal jantung sesuai dengan peningkatan kadar norepinefrin plasma dan kadar ini akan menurun setelah dilakukan koreksi ataupun setelah pemberian obat anti gagal jantung (Guyton, 2006). Tabel 6. Sistem skor Ross untuk gagal jantung pada bayi Volume sekali minum (cc) Waktu persekali minum (menit) Laju Nafas Pola Nafas Perfusi perifer S3 atau diastolic rumble Jarak tepi hepar dari batas kostae TOTAL: Tanpa gagal jantung : 0-2 poin Gagal jantung ringan : 3-6 poin Gagal jantung sedang : 7-9 poin Gagal jantung berat : 10-12 poin 0 poin >115 <40 menit <50/menit Normal Normal Tidak ada <2 cm 50-60x/menit Abnormal Menurun Ada 2-3 cm >60x/menit 1 poin 75-115 2 poin <25

>3cm

14

Untuk anak lebih dari 1 tahun sampai remaja, Reittmann dkk menganjurkan menggunakan klasifikasi lain (Tabel 7). Dengan menggunakan skor ini bila skor lebih dari 6 mempunyai korelasi yang bermakna terhadap menurunnya aktivitas adenilat siklase. Tabel 7. Sistem klinis gagal jantung pada anak Kriteria Riwayat diaphoresis (berkeringat) Takipneau Pemeriksaan Fisik Pernafasan Laju Nafas/menit 1-6 th 7-10 th 11-14 th Laju jantung/menit 1-6 th 7-10 th 11-14 th Hepatomegali (tepi hepar dari tepi kostae kanan) Jarang Normal <35 <25 <18 <105 <90 <80 <2 cm 0 Hanya di kepala Skor 1 Kepala dan badan saat beraktivitas Kadang-kadang Retraksi 35-45 25-35 18-28 105-115 90-100 80-90 2-3 cm 2 Kepala dan badan saat istirahat Sering Dispneua >45 >35 >28 >115 >100 >90 >3 cm

Manifestasi Klinik Manifestasi klinis ini tergantung pada tingkat cadangan jantung pada berbagai keadaan. Bayi yang sakit berat atau anak yang mekanisme kompensatornya telah sangat lelah pada saat dimana ia tidak mungkin lagi memperoleh curah jantung yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme basal tubuh akan bergejala pada saat istirahat. ( Nelson,2007)

1.

Manifestasi Klinis Gagal Jantung pada Masa Bayi Pada bayi, gagal jantung mungkin lebih sukar ditentukan. Manifestasi klinis yang menonjol adalah takipnea, kesukaran makan, pertambahan berat jelek, keringat berlebihan, iritabilitas, menangis lemah, dan pernapasan berisik, berat dengan retraksi interkostal dan subkostal serta cuping hidung mengembang. Tanda-tanda kongesti kardiopulmonal mungkin tidak dapat dibedakan dengan tanda-tanda bronkiolitis , termasuk mengi sebagai tanda yang paling mencolok. Pneumonitis dengan atau tanpa atelektase sering ada, terutama lobus medius dan bawah kanan, karena kompresi bronkus oleh jantung yang membesar. Hepatomegali hampir selalu terjadi, dan selalu ada kardiomegali. Walaupun takikardia mencolok, irama gallop seringkali dapat dikenali. Tanda-tanda auskultasi lain adalah tanda-tanda yang dihasilkan oleh lesi jantung yang mendasari. Penilaian klinis tekanan vena jugularis pada bayi mungkn sukar karena leher pendek dan sukar diamati pada keadaan relaks. Edema dapat menyeluruh, biasanya melibatkan kelopak mata serta sacrum, dan jarang, kaki maupun telapak kaki. Diagnosis bandingnya tergantung umur (Berstein, 2003) Kesukaran makan adalah gejala yang paling mencolok pada bayi dengan gagal jantung. Sementara bayi normal makan dengan penuh semangat, sering menyelesaikan makan dalam 15 atau 20 menit, bayi dengan gagal jantung makan lebih sukar. Perawatan diperpanjang dan dihubungkan dengan takipnea yang nyata dan keringat bertambah. Beberapa bayi berjuang selama 5-10 menit dan tertidur, hanya bangun satu jam atau lebih lama dengan tidak puas-puasnya lapar lagi. Yang lain agaknya lelah dan tertidur sesudah makan hanya 1 atau 2 oz. Agaknya kesukaran makan akibat dari gabungan antara upaya mengisap dan mempertahankan frekuensi pernapasan cepat, juga akibat dari cadangan jantung yang terbatas. Masukan kalori total pada keadaan ini dapat turun sampai dibawah 75 kkal/ kg/ hari, ini tidak cukup untuk mempertahankan pertumbuhan (Freed, 1996) Orangtua sering melihat keringat berlebihan (terutama ketika makan) yang tidak sebanding dengan suhu sekeliling atau pakaian. Ini disebabkan oleh bertambahnya aktivitas sistem saraf autonom dalam upaya memperbaiki kinerja (performance) miokardium. Pada pemeriksaan fisik anak hampir selalu takikardi dengan frekuensi jantung anak istirahat lebih dari 160 denyut permenit pada neonatus dan lebih dari 120 pada bayi yang lebih tua.

Takikardi juga merupakan akibat bertambahnya katekolamin yang bersirkulasi yang memperbesar curah jantung dengan menambah kontraktilitas miokardium dan frekuensi jantung. Takipnea (frekuensi pernapasan istirahat lebih dari 60 pada neonatus atau lebih dari 40 pada bayi lebih tua) biasanya ada dan dikaitkan dengan bertambah kakunya paru-paru akibat bertambahnya cairan interstitial dari tekanan venosa paru-paru yang naik (udem pulmonal) atau aliran pirau besar dari kiri ke kanan. Ketika gagal jantung menjadi lebih berat, fungsi ventilasi dapat menjadi lebih terganggu dan dapat ditemukan kembang kempis cuping hidung (alae nasi), retraksi interkostal, dan dengkur. distensi vena leher tidak sering ditemukan pada neonatus, tetapi mungkin ditemukan pada bayi yang lebih besar. Tekanan vena sistemik naik akibat pembesaran hati, tetapi udem perifer tidak sering pada bayi dan hanya bersama dengan gagal jantung yang amat berat. Ekstrimitas dingin, nadi teraba lemah, dan tekanan darah arterial rendah dengan tekanan nadi sempit dapat ditemukan sebagai manifestasi dari curah jantung rendah. Ekstrimitas berbintik-bintik dan pengisian kembali kapiler lambat merupakan tanda-tanda gangguan vaskular yang lebih berat (Freed, 1996) Kadang-kadang, pemeriksaan dada menunjukkan mengi (wheezing) ringan yang dapat dirancukan dengan bronkiolitis atau pneumonia dan dapat diperburuk dari penekanan jalan nafas oleh pembuluh darah paru yang mengembang. Ronki tidak sering kecuali bersama pneumonia, suatu hubungan yang tidak jarang. 2. Manifestasi Klinis Gagal Jantung pada Masa Anak-anak Tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung pada anak yang lebih tua sangat serupa dengan tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung pada orang dewasa. Tanda-tanda ini meliputi kelelahan, tidak tahan kerja fisik, batuk, anoreksia, dan nyeri abdomen (Berstein, 2003). Kesukaran bernafas merupakan tanda yang biasa dari dekompensasi ventrikel kiri pada anak akibat kongesti paru. Ini biasanya tampak sebagai dispneu pada waktu pengerahan tenaga dan respon kesukaran bernafas yang bertambah berat pada pengerahan tenaga yang berat. Mula-mula penurunan kemampuan mungkin masih dalam kisaran variasi normal, tetapi akhirnya, ketika gagal jantung bertambah berat, anak mungkin mendapat kesukaran dengan tuntutan hidup sehari-hari, termasuk naik tangga di sekolah. Batuk pendek kronik, akibat kongesti mukosa bronkus dan ronki basal, dapat juga ada pada beberapa anak. Ketika tekanan atrium kiri bertambah, anak dapat menderita ortopnea, memerlukan

peninggian kepala diatas beberapa bantal pada malam hari. Kelelahan dan kelemahan merupakan manifestasi yang relative lambat (Freed, 1996) Pada pemeriksaan fisik, anak dengan gagal jantung ringan atau sedang tampak tidak dalam keadaan distres, tetapi mereka yang menderita gagal jantung berat mungkin dispneu pada waktu istirahat. Jika mulainya gagal jantung relative mendadak, anak mungkin tampak cemas tetapi perkembangan baik dan gizi baik; mereka yang mengalami proses lebih kronik biasanya tidak tampak cemas tetapi mungkin kurang gizi dan kurang energi. Seperti bayi, anak dengan gagal jantung biasanya takikardi karena naiknya aktifitas simpatis dan takipneu karena bertambahnya air dalam paru-paru . Curah jantung yang rendah dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer, berakibat dingin, pucat dan sianosis jari, dengan pengisian kapiler jelek. Kenaikan tekanan venosa sistemik dapat diukur dengan penilaian klinis tekanan vena jugularis dan pembesaran hati. Tekanan vena sistemik yang naik mungkin dideteksi oleh pelebaran (dilatasi) vena-vena leher dengan pulsasi vena dapat tampak di atas klavikula sementara penderita duduk. Hati mungkin membesar pada palpasi atau perkusi, dan jika pembesaran relative akut, mungkin tepinya lunak karena meregangnya kapsul hati. Anak-anak dapat juga menderita udem perifer. Mula-mula tanda-tandanya mungkin tidak kentara, tetapi bila telah ada kenaikan berat badan 10%, muka terutama kelopak mata, mulai tampak bengkak dan udem terjadi pada bagian tubuh yang tergantung atau dapat anasarka. Udem yang sudah berjalan lama dapat menimbulkan kemerahan dan indurasi kulit., biasanya diatas betis dan pergelangan kaki. Eksudasi cairan ke dalam rongga-rongga tubuh dapat ditemukan sebagai asites dan kadang-kadang hidrothoraks. Pada pemeriksaan jantung hampir selalu ada kardiomegali. Sering ada irama gallop, tandatanda auskultasi lain khas untuk lesi jantung spesifik. Impuls jantung mungkin tenang bila ada penyakit otot jantung primer (misal, miokarditis atau kardiomiopati), tetapi biasanya hiperaktif bila gagal kongestif disebabkan oleh beban volume berlebih dari pirau kiri ke kanan atau regurgitasi katup atrioventrikula. Suara jantung ketiga yang terjadi dalam mid diastol mungkin merupakan tanda normal pada anak tetapi sering bersama dengan bertambahnya kekakuan ventrikel pada mereka yang dengan penyakit jantung. Pulsus alternans ditandai irama teratur dengan pulsasi kuat dan lemah berselang-seling, kadangkadang dapat dirasakan, tetapi lebih mudah dinilai sementara mengukur tekanan darah sistemik atau pemantauan tekanan darah. Pulsus alternans diduga

disebabkan oleh perubahan pada volume ventrikel kiri, akibat pemulihan miokardiumnya tidak sempurna pada denyut yang berselang-seling. Pulsus paradoksus (turunnya tekanan darah pada inspirasi dan naik pada ekspirasi), akibat irama tekanan intrapulmoner yang mencolok yang mempengaruhi pengisian ventrikel (seperti pada tamponade pericardium), kadang-kadang ditemukan pada anak yang lebih tua. Anamnesis Dari anamnesis dapat ditanyakan mengenai adanya: 1. Kelahiran bayi sianotik? keadaan bayi hari pertama kehidupan? perlukah oksigen? jika menggunakan oksigen, menolongkah? 2. Pertumbuhan Apakah tinggi dan beratnya tidak seimbang? Berapa persentil yang sebenarnya? 3. Toleransi terhadap pengerahan tenaga Dapatkah bayi makan makanan pada waktu yang sesuai? Apakah ia lelah, menjadi bernapas pendek (sesak napas) atau perlu istirahat disela-sela makan? Apakah kegiatan menyebabkan napas pendek? Bagaimana keterlibatan anak dan kemampuan daam olahraga? Berapa jauh ia dapat berjalan pada langkahnya sendiri? 4. Berdebar-debar (palpitasi) Beberapa waktu sesudah berumur 2 tahun anak mulai mengatakan kejadian takikardia dan kadang-kadang denyut tidak teratur. 5. Sianosis Pada penderita yang sianosis adanya kecenderungan jongkok memberikan kesan saturasi oksigen darah labil.
6.

Sinkop (pingsan) Apa kejadian yang tepat mendahului episode? Berapa lama berlangsung? Adakah suatu jejas? Adakah suatu gerakan-gerakan konvulsi? Serangan pusing? (hampir sinkop)

Pemeriksaan Fisik Dari pemeriksaan fisik, antara lain: 1. Respirasi - frekuensi pernapasan

- retraksi subcostal - cuping hidung 2. Pertumbuhan Biasanya penyakit jantung yang dimulai sejka lahir mempengaruhi berat badan sebelum mempengaruhi tingginya, menghasilkan bayi yang kurus. Pada mereka yang menderita lesi bersama gagal jantung kongestif, seperti shunt dari kiri ke kanan (defek sekat), berat badan lebih dipengaruhi daripada tinggi badan. Penghentian pertumbuhan sempurna, bahkan kehilangan berat badan, terjadi pada penderita dengan gagal jantung kongestif berat. 3. Oedema Bengkak pada palpebra dan muka bulat sering merupakan manifestasi gagal jantung kongestif sebelah kanan pada anak kecil, sedangkan pitting oedema pada ekstremitas jarang. 4. Tekanan Venosa Pada anak yang kooperatif, terutama anak yang lebih tua, inspeksi vena jugularis penderita ketika ia duduk tegak. Pada anak setinggi anak umur 6 tahun biasa, distensi vena atau pulsasi seharusnya tidak dapat dilihat di atas klavikula kecuali kalau tekanan venosa naik. Pulsasi jugularis interna biasanya dapat dilihat pada penderita telentang datar, jika tetap ada ketika penderita berada pada posisi duduk atau tegak, pulsus ini abnormal. 5. Auskultasi Suara jantung ketiga, dalam hubungannya dengan gallop, terdengar pada penderita gagal jantung kongestif, terutama mereka dengan penyakit miokardium. Suara ini terdengar selama diastole pada periode pertama aliran masuk cepat ke dalam ventrikel. Banyak anak normal kurus mempunyai yang dengan mudah dapat didengar. Suara jantung keempat, bunyi jantung lemah dan pendek, jauh sebelum suara jantung pertama biasanya suara jantung keempat dan jarang merupakan tanda normal pada umur berapa pun. Suara ini terkait dengan kontraksi atrium, dengan aliran yang berlebihan meleati katup atrioventrikular, dan dengan hipertensi atrial (misalnya gagal jantung kongestif) Bising sistolik, bising ini berkaitan dengan lewatnya darah melalui lubang yang terbatas misalnya (stenosis katup semilunaris, katup atrioventrikular regurgitan, defek sekat ventrikel, atau obstruksi ringan dalam arteri pulmonalis atau aorta, seperti pada koarktasio

aorta). Bising yang sangat keras dapat menimbulkan getaran (thrill) (vibrasi yang dapat diraba pada dinding dada). Bising diastolic, bising diastolic awal regurgitasi aorta bernada tinggi, dan berkualitas meniup. Bising ini terbaik didengar sepanjang linea parasternal kiri, dengan penderita dalam posisi duduk, dalam ekspirasi dan condong ke depan, diafragma digunakan untuk mengesampingkan suara nada rendah. Bising regurgtasi pulmonal pada penderita dengan tekanan arteri pulmonalis normal bernada rendah dan didengar terbaik pada daerah pulmonal atau linae parasternalis kiri bawah. Bising kontinu, bising yang meluas dari sistol ke diastole, melalui suara jantung kedua (tanpa sela) dan kadang-kadang bahkan seluruh siklus jantung, disebut sebagai kontinu. Contoh klasik adalah, duktus arteriousus paten, paling baik didengar pada sela iga kedua kiri. 6. Paru-paru Dispnea atau takipnea sering merupakan petunjuk adanya aliran darah paru-paru berlebihan atau tekanan bantalan kapiler paru-paru naik. Auskultasi tidak hanya menunjukan wheezing atau rhonki yang khas untuk infeksi atau bendungan (kongesti), tetapi juga memberikan informasi dasar apakah udara yang ditukar terlalu sedikit, cukup atau terlalu banyak. 7. Hati (hepar) Salah satu bukti naiknya tekanan vena sentral adalah hepatomegali. Tepi hati yang lebih rendah daripada 3 cm di bawah tepi kosta kanan adalah abnormal.

Pemeriksaan Penunjang Dari pemeriksaan penunjang, meliputi: 1. Roentgenogram dada Roentgenogram menampakkan pembesaran jantung. Vaskularisasi paru bervariasi tergantung dari penyebab gagal jantung. Bayi dan anak yang mempunyai shunt dari kiri ke kanan akan mengalai pembesaran pembuluh darah arteri pulmonalis sampai tepi lapangan paru, sedangkan penderita yang menderita kardiomiopati dapat mempunyai bantalan vaskuler pulmonal relative normal pada awal perjalanan penyakit. Corak perihiler pulmonal

alus member kesan kongesti vena dan edema paru akut yang biasanya tampak hanya pada gagal jantung akut yang lebih berat.

Gambar 3. Foto thoraks gagal jantung pada bayi 2. Elektrokardiografi Hipertrofi ruangan jantung dapat membantu dalam penilaian penyebab gagal jantung kongestif tetapi tidak menegakkan diagnosis. Pada kadiomiopati, perubahan iskemia ventrikel kiri atau kanan dapat berkorelasi baik dengan parameter klinis dan parameter noninvasif lain fungsi ventrikel. Morfologi QRS voltase rendah dengan kelainan gelombang ST-T dapat juga member kesan penyakit radang miokardium tetapi ditemukan juga pada perikarditis. 3. Ekokardiografi Sangat berguna dalam menilai fungsi ventrikel. Parameter yang paling sering digunakan adalah pemendekan fraksional, yang ditentukan sebagai perbedaan antara diameter akhirsistol dan akhir-diastol. Pemendekan fraksional awal normal adalah 28% dan 40%,

dibandingkan dengan fraksi ejeksi normal (yang mengukur volume) 55-65 % yang diukur dengan angiografi: rasio periode pre-ejeksi/ejeksi (PEP/EP), diukur dengan echo M-mode harus kurang daripada 40%. Waktu pre-ejeksi yang lama dengan waktu ejeksi yang amat pendek biasanya menunjukkan kegagalan miokardium. Pemeriksaan Doppler dapat digunakan untuk menghitung curah jantung. 4. Gas Darah Kadar oksigen arteri dapat menurun bila ketidaksamaan ventilasi/perfusi terjadi akibat edema paru. Bila gagal jantung berat, dapat ada asidosis respiratorik dan/atau metabolic. 5. Penghitungan sel darah lengkap Leukositosis sedang mungkin ada pada gagal jantung, endokarditis bacterial dan demam rematik akut, dengan atau tanpa gagal jantung. TATALAKSANA Keberhasilan pengobatan gagal jantung pada anak didasarkan pada pengertian mengenai sifat dan akibat fisiologis cacat jantung spesifik yang menyebabkan kegagalan jantung, dan tersedianya cara-cara pengobatan.. Jika ada lesi anatomik spesifik yang dapat dipertanggungjawabkan untuk tindakan pembedahan paliatif atau pembedahan koreksi, upaya farmakologik atau upaya lain yang memperbaiki tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung mungkin berlebih, masalah mekanik sering memerlukan penyelesaian mekanik. Namun jika pembedahan tidak tersedia atau tidak memadai, tersedia bermacam-macam cara umum dan farmakologis untuk memperbaiki keadaan klinik penderita (Freed, 1996) Penatalaksanaan Umum: 1. Tirah baring, posisi setengah duduk Saat masa tirah baring seharian, sebaiknya menyibukkan mereka dengan kegiatan ringan yang mereka sukai yang dapat dikerjakan diatas tempat tidur (menghindari anak berteriak-teriak tidak terkendali) (Freed, 1996) Sedasi kadang diperlukan: luminal 2-3 mg/kgBB/dosis tiap 8 jam selama 1-2 hari (Pusponegoro, 2004) 2. Penggunaan oksigen. Penggunaan oksigen mungkin sangat membantu untuk penderita gagal jantung dengan udem paru-paru, terutama jika terdapat pirau dari kanan ke kiri yang mendasari dengan hipoksemia

kronik. Diberikan oksigen 30-50% dengan kelembaban tinggi supaya jalan nafas tidak kering dan memudahkan sekresi saluran nafas keluar (Pusponegoro, 2004). 3. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit. 4. Pembatasan cairan dan garam. Dianjurkan pemberian cairan sekitar 70-80% (2/3) dari kebutuhan. Sebelum ada agen diuretik kuat, pembatasan diet natrium memainkan peran penting dalam penatalaksanaan gagal jantung. Makanan rendah garam hampir selalu tidak sedap, lebih baik untuk mempertahankan diet adekuat dengan menambah dosis diuretik jika diperlukan. Sebaiknya tidak menyarankan untuk membatasi konsumsi air kecuali pada gagal jantung yang parah (Freed, 1996) 5. Diet makanan berkalori tinggi Bayi yang sedang menderita gagal jantung kongestif banyak kekurangan kalori karena kebutuhan metabolisme bertambah dan pemasukan kalori berkurang. Oleh karena itu, perlu menambah kalori harian. (Wahab, 2003). 6. Pemantauan hemodinamik yang ketat. Pengamatan dan pencatatan secara teratur terhadap denyut jantung, napas, nadi, tekanan darah, berat badan, hepar, desakan vena sentralis, kelainan paru, derajat edema, sianosis, kesadaran dan keseimbangan asam basa (Pusponegoro, 2004). 7. Hilangkan faktor yang memperberat (misalnya demam, anemia, infeksi) jika ada Peningkatan temperatur, seperti yang terjadi saat seorang menderita demam, akan sangat meningkatkan frekuensi denyut jantung, kadang-kadang dua kali dari frekuensi denyut normal. Penyebab pengaruh ini kemungkinan karena panas meningkatkan permeabilitas membran otot ion yang menghasilkan peningkatan perangsangan sendiri. Anemia dapat memperburuk gagal jantung, jika Hb < 7 gr % berikan transfusi PRC. Antibiotika sering diberikan sebagai upaya pencegahan terhadap miokarditis/endokarditis, mengingat tingginya frekuensi ISPA (Bronkopneumoni) akibat udem paru pada bayi/anak yg mengalami gagal jantung kiri.(Berstein, 2003). Pemberian antibiotika tersebut boleh dihentikan jika udem paru sudah teratasi. Selain itu, antibiotika profilaksis tersebut juga diberikan jika akan dilakukan tindakan-tindakan khusus misalnya mencabut gigi dan operasi. Jika seorang anak dengan gagal jantung atau kelainan jantung akan dilakukan operasi, maka tiga hari sebelumnya diberikan antibiotika profilaksis dan boleh dihentikan tiga hari setelah operasi.

8. Penatalaksanaan diet pada penderita yang disertai malnutrisi, memberikan gambaran perbaikan pertumbuhan tanpa memperburuk gagal jantung bila diberikan makanan pipa yang terusmenerus. Pendekatan pertama adalah memperbaiki kinerja pompa dengan menggunakan digitalis, jika gagal jantung tetap tidak terkendali maka digunakan diuretik (pengurangan prabeban) untuk mengendalikan retensi garam dan air yang berlebihan. Jika kedua cara tersebut tidak efektif, biasanya dicoba pengurangan beban kerja jantung dengan vasodilator sistemik (pengurangan beban pasca). Jika pendekatan ini tidak efektif, upaya lebih lanjut memperbaiki kinerja pompa jantung dapat dicoba dengan agen simpatomimetik atau agen inotropik positif lain. Jika tidak ada dari caracara tersebut yang efektif, mungkin diperlukan transplantasi jantung. (Freed, 1996). Untuk menilai hasilnya harus ada pencatatan yang teliti dan berulangkali terhadap denyut jantung, napas, nadi, tekanan darah, berat badan, hepar, desakan vena sentralis, kelainan paru, derajat edema, sianosis, dan kesadaran (Pusponegoro, 2004) Tabel 8. Dosis Obat-Obat Yang Biasa Digunakan Untuk Pengobatan Obat Digoksin Digitalisasi (PO) (dosis dibagi 3) Dosis Prematur/Neonatus 0,030,04 mg/kg Umur 2 minggu-2 tahun 0,04-0,08 mg/kg Lebih dari 2 tahun 0,04Digitalisasi (IV) (waktu pada indikasi klinis 0,06 mg/kg Prematur/Neonatus 0,02Umur 2 minggu-2 tahun 0,04-0,06 mg/kg Lebih dari 2 tahun 0,02Rumatan Furosemid IV 0,04 mg/kg dari dosis digitalisasi dibagi setiap 12 jam 1-2 mg/dosis Ampul (2 ml) 10 mg/ml Ampul (2ml) 0,25 mg/ ml Sediaan Tablet 0,25 Mg

dosis bervariasi, tergantung 0,03 mg/kg

PO Klorotiazid (PO) Spironolakton (PO) Agen penurun beban Nitroprusid (IV) Hidralazin IV PO Kaptopril(PO) Agonis- (IV) Isoproterenol Dopamin Dobutamin Amniron (IV)

4 mg/kg/24 qd, bid, atau Qid 20-25 mg/kg/24 jam dua Kali 2-3mg/kg/24 jam,bid, atau Qid 0,5-8 g/kg/menit 0,1-0,5 mg/kg 0,5-7,5 mg/kg/24 jam tid 0,5-6 mg/kg/24 jam qid 0,01-0,5 Kg/kg/menit 2-20 g/kg/menit 2-20 g/kg/menit ,75 mg/kg/bolus selama 2-3 menit 5-10 /kg/menit

Tablet 40 mg

Tablet 25 mg dan 100 mg

Digitalis merupakan obat anti gagal jantung yang paling banyak dipakai pada bayi dan anak. Prinsip efek farmakologik digitalis ialah meningkatkan kontraksi otot jantung (inotropik positif) dan memperlambat frekuensi denyut jantung (kronotopik negatif). Efek ini menyebabkan curah jantung meningkat, desakan vena sentralis menurun dan ruangan jantung mengecil (Berstein, 2003). Dengan membaiknya sirkulasi terjadi diuresis (pra beban menurun) sehingga curah sekuncup meningkat. Dianjurkan supaya selalu memakai satu macam preparat saja yang dapat diberikan peroral maupun parenteral supaya memperoleh pengalaman dan mudah mengenal tandatanda intoksikasinya. Preparat yang dianjurkan untuk bayi dan anak ialah digoksin, karena preparat ini dapat digunakan secara oral maupun parenteral. Secara oral, digoksin dapat diserap antara 6085%. Juga dapat digunakan pada keadaan gawat darurat maupun dalam keadaan kronis. Efek maksimal terjadi pada sekitar 2-6 jam sesudah pemberian per oral, efek awal dapat dilihat sesudah 30 menit pemberian. Bila obat diberikan secara intravena, efek awal terlihat pada sekitar 15-30 menit, dan efek puncak terjadi pada sekitar 1-4 jam. Sebagian terbanyak dari dosis inisial

dieksresikan melalui ginjal dalam waktu 24 jam dan menghilang dari tubuh dalam waktu 48-72 jam (Pusponegoro, 2004). Pemakaian digitalis harus hati-hati karena respons dan toksisitas bersifat individu dan juga sempitnya batas antara dosis terapi dan dosis toksis. Dosis disesuaikan dengan respons penderita. Pada inflamasi miokardium, pasca operasi jantung dan bayi prematur, umumnya sensitivitas miokardium meningkat terhadap digitalis. Untuk menghindari efek buruk digitalis maka perlu diperhatikan beberapa hal berikut: 1. Instruksi harus jelas tentang macam preparat dan cara pemberian, harus ditulis. 2. Lakukan EKG sebelum pemberian digoksin untuk membedakan apakah perubahan EKG yang mungkin terjadi akibat digitalis atau akibat penyakitnya. 3. Jika mungkin periksa kadar K dan Ca++ karena pada hipokalemi dan hiperkalsemi, mempercepat keracunan digitalis. Karena hipokalemi relative sering pada penderita yang mendapat diuretik, maka diuretik harus dipantau dengan ketat pada penderita yang mendapat diuretik yang memboroskan kalium (furosemid). 4. Untuk penderita gagal jantung dengan udem, gunakan cara suntikan intravena. 5. Gunakan dosis efektif paling rendah. 6. Perhitungan dosis harus juga cermat. Dikenal 2 cara pemberian: dosis digitalisasi (dosis inisial) dan rumatan. a. Pada digitalisasi (dosis inisial), setengah dosis digitalisasi total diberikan segera pada permulaan, 6-8 jam kemudian seperempat dosis digitalisasi total dan sisanya 6-8 jam kemudian.10 Kadang-kadang untuk memperoleh efek digitalisasi yang maksimal diperlukan dosis keempat yang sama dengan dosis ketiga. EKG harus dipantau dengan ketat dan irama ekg diambil sebelum setiap pemberian masing-masing pemberian digitalisasi tersebut. Digoksin harus dihentikan jika ditemukan gangguan irama baru (Berstein, 2003). b. Rumatan Terapi digitalis rumat dimulai sekitar 12 jam sesudah digitalisasi penuh.1 Dosis harian dibagi dalam dua bagian dan diberikan pada interval 12 jam agar kadar darah kurang lebih tetap dan fleksibilitasnya lebih besar pada kasus keracunan. Dosis rumat adalah 1/5-1/3 dari dosis digitalisasi total. Dosis maksimum untuk rumatan adalah 2 x 0,125 mg atau 2 x tablet digoksin.(Wahab, 2003).

Untuk penderita yang yang pada mulanya didigitalisasi secara intravena, digoksin rumat dapat diberikan secara oral jika makanan oral dapat diterima. Karena penyerapan dari saluran pencernaan kurangpasti, dosis rumat oral biasanya 20-25% lebih tinggi daripada jika digoksin digunakan secara parenteral. Dosis digoksin harian normal untuk anak yang yang lebih tua (umur lebih dari 5 tahun) yang dihitung dengan berat badan harus tidak melebihi dosis dewasa biasa 0,2-0,5 mg/24 jam (Beirstein, 2003). 7. Pada kasus yang tidak begitu berat,pemberian digitalis dapat langsung dengan dosis rumatan. Tanda bahwa digitalis berefek antara lain: 1. Frekuensi jantung dan respirasi berkurang 2. Hepar mengecil 3. Perasaan lebih enak 4. Volume urin 24 jam bertambah Keracunan digitalis yang mudah terjadi karena sempitnya batas dosis optimum dan dosis toksik, dapat menyebabkan kematian. Faktor predisposisi keracunan digitalis adalah hipokalemia. Hipokalemia sering terjadi pada pemberian diuretik yang kuat, pada anak dengan muntah-muntah, pada terapi steroid. Oleh karena itu, bila pada anak diberi digitalis kombinasi dengan diuretik, jangan lupa memberi preparat kalium (Wahab, 2003). Kadar kalsium yang tinggi juga dianggap menambah sensitivitas miokardium terhadap digitalis. Oleh karena itu, pada waktu pemberian digitalis jangan sekali-kali diberi kalsium secara intravena, pemberian ini dapat menyebabkan henti jantung mendadak. Gejala klinik keracunan digitalis antara lain: - Mual muntah - Takiaritmia, blokade atrioventrikular Penanganan intoksikasi digitalis antara lain: 1. Hentikan pemberian digitalis 2. Hentikan pemberian diuretik 3. Lakukan pemantauan EKG terus menerus 4. Obati segala aritmia yang timbul, bradikardia bila ada dapat diatasi denganatropin 0,01 mg/kg/dosis im. Jika tidak ada perbaikan, dapat diberikan dilantin 1 mg/kg iv perlahan-lahan dalam 12 menit yang dapat diulangi tiap 5 menit sampai ada perbaikan atau telah mencapai 10 dosis.

5. Periksa kadar elektrolit dan beri kalium seperlunya sampai kadar kalium mencapai harga normal, kalium diberikan per os 12 gr/hari. Pada keracunan berat dapat diberikan infus yang mengandung kalium, jangan melebihi 80 mEq/kg/jam. 6. Pikirkan untuk melakukan transfusi tukar Sampai kapan digitalis harus diberikan, belum ada persesuaian pendapat. Pada bayi setelah gagal jantung teratasi, digitalis dilanjutkan kadang -kadang sampai 2 tahun. Keadaan klinik dan penyakit primer sangat penting sebagai patokan pemberhentian pengobatan. Penderita yang tidak sakit berat dapat didigitalisasi pada mulanya dengan secara oral, dan pada kebanyakan digitalisasi diselesaikan dalam 24 jam. Bila diinginkan digitalisasi lambat, misalnya pada masa segera pasca bedah, skema memulai rumat digoksin tanpa dosis inisial sebelumnya, akan mencapai digitalisasi dalam 7-10 hari. Hal ini sering dapat dilakukan pada penderita rawat jalan (Beirstein, 2003). Jika bayi membaik dengan memuaskan dengan digitalis selama beberapa bulan dan kebutuhan obat tampak mengurang (misal, VSD yang menjadi semakin kecil), dosis tidak ditambah meskipun berat anak bertambah. Jika keadaan klinis menguatkan, obat akhirnya dihentikan. Pengukuran kadar digoksin serum berguna pada beberapa keadaan: 1. Bila dosis baku digoksin tidak mempunyai pengaruh terapeutik yang bermanfaat 2. Bila jumlah digoksin yang diberikan tidak diketahui atau tertelan secara tidak sengaja 3. Bla fungsi ginjal terganggu atau jika ada kemungkinan interaksi obat (misal quinidin) 4. Bila ada masalah berkenaan dengan kepatuhan 5. Bila dicurigai ada keracunan. Darah biasanya diambil segera sebelum satu dosis tetapi minimum 4 jam sesudah dosis terakhir sehingga telah terjadi keseimbangan jaringan/ plasma. Kadar darah normal pada bayi sekitar 2-4 ng/ml dan pada anak yang lebih tua 1-2 ng/ml melebihi kadar ini biasanya tidak aka nada tambahan yang berarti pada manjemen gagal jantung dan hanya akan menambah risiko keracunan. Pada kecurigaan adanya keracunan, kadar digoksin serum yang tinggi tidak dengan sendirinya didiagnosis keracunan tetapi harus diartikan sebagai pelengkap terhadap tanda-tanda klinis dan EKG lain (gambaran irama dan hantaran). Nausea dan muntah agak kurang sering pada penderita pediatri. Hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia, radang jantung karena miokarditis, dan prematuritas semuanya dapat memperkuat keracunan digitalis. Aritmia jantung yang terjadi pada anak yang minum digitalis juga dapat akibat penyakit primernya bukannya

akibat obat. Namun setiap bentuk aritmia pasca pemberian terapi digitalis harus dianggap obat sampai terbukti lain. Dosis berikutnya harus dihentikan sampai masalahnya teratasi (Beirtein, 2003). Mengurangi Beban Kerja Jantung Istirahat setengah duduk (45) bertujuan untuk menurunkan prabeban sehingga bendungan yang terjadi akan berkurang. Vasodilator bekerja dengan cara mengurangi prabeban (golongan venodilator) karena dapat menurunkan tonus vena sistemik,dan/ atau beban pasca (golongan arteriodilator) dengan cara mengurangi tahanan vaskuler perifer, sehingga dapat memperbaiki kinerja miokardium. Pemberian vasodilator memerlukan pengamatan yang ketat terhadap pengisian jantung dan tekanan darah arteri. Pengurang beban pasca terutama berguna pada anak dengan gagal jantung akibat kardiomiopati dan pada beberapa penderita dengan insufisiensi mitral dan aorta berat. Mereka dapat juga efektif pada penderita dengan gagal jantung akibat pirau dari kiri ke kanan. Obat inibiasanya tidak digunakan bila ada lesi stenosis saluran aliran keluar ventrikel kiri. Obat pengurang beban pasca paling sering digunakan bersama dengan obat-obat anti kongestif lainnya, seperti digoksin dan diuretic (Beirstein, 2003) Vasodilator terdiri dari: - vasodilator arterioral (hidralazin), - vasodilator venodilator (nitrogliserin, isosorbid dinitrat), dan - gabungan (ACE inhibitor). 1. Nitroprusid Nitroprusid hanya diberikan pada pelayanan di ruangan intensif dan sependek mungkin. Waktu paruh intravenanya yang pendek membuatnya ideal untuk memberikan dosis sedikit demi sedikit pada penderita yang sakit berat. Vasodilatasi arteri perifer dan pengurangan beban pasca merupakan pengaruh utamanya, tetapi dilatasi vena menyebabkan pengurangan aliran vena balik pada jantung yang mungkin menguntungkan. Tekanan darah harus terus menerus dipantau dengan cara-cara intra arterial, karena hipotensi mendadak dapat terjadi pada kelebihan dosis. Nitroprusid terkontraindikasi bila sebelumnya telah ada hipotensi. Ketika obat dimetabolisasi, dihasilkan sejumlah kecil sianida dalam sirkulasi, yang didetoksifikasi dalam hati menjadi tiosianat yang dieksresikan dalam urin. Namun, bila diberikan dosis tinggi nitroprusid selama beberapa hari, gejala-gejala keracunan akibat racun tiosianat dapat terjadi, seperti kelelahan, nausea, kehilangan orientasi, dan spasme otot. Dosis untuk anak 0,5-8 g/kg/menit. Jika

peggunaan nitroprusid lama, kadar tiosianat darah harus dipantau: nilai > 10Kg/dL sesuai dengan gejala klinis keracunan (Beirstein, 2003). 2. Hidralazin Hidralazin merupakan relaksan otot polos arterioler langsung dan sebenarnya tidak berpengaruh pada prabeban. Kadang-kadang diberikan bersama dengan obat venodilatasi, seperti salah satunya adalah derivate nitrat. Dosis hidralazin oral yang biasa adalah 0,5-7,5 mg/Kg/24 jam dalam tiga dosis terbagi. Banyak penderita yang semakin lama memerlukan dosis yang semakin lama semakin besar agar pengaruh dilatasi perifernya bertahan (takifilaksis). Reaksi yang merugikan pada hidralazin adalah nyeri kepala, palpitasi, nausea, dan muntah. Lagipula lupus eritematous sistemik kadang-kadang terjadi sesudah pemberian dosis besar hidralazin selama masa yang lama, manifestasi ini refersibel bila obat dihentikan. 3. Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor Penghambat ACE harus selalu dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi sampai dosis target. Untuk memulai pengobatan gagal jantung dengan penghambat ACE, dianjurkan prosedur berikut: 1. Jika pasien telah menggunakan diuretik, turunkan dosisnya atau hentikan selama 24 jam 2. Pengobatan dimulai di petang hari, sewaktu berbaring, untuk menghindari terjadinya hipotensi 3. Pengobatan dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi sampai dosis target, biasanya dengan peningkatan 2 kali lipat setiap kalinya 4. Jika fungsi ginjal memperburuk bermakna hentikan pengobatan 5. Diuretik hemat kalium harus dihindari selama awal terapi 6. Tekanan darah, fungsi ginjal dan kadar K harus diperiksa 1-2 minggu setelah pengobatan dimulai dan tiap peningkatan dosis. Pada 3 bulan dan selanjutnya tiap 6 bulan. Efek samping yang penting adalah batuk, hipotensi, gangguan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan angioedema. Yang termasuk golongan penghambat ACE antara lain, kaptopril dengan dosis pada anak 0,5-6 mg/kg/24 jam, enalapril 0,08mg/kgBB 1 kali sehari, lisinopril untuk 6 tahun-12 tahun 70 /kgBB 1 kali sehari. Kaptopril merupakan penghambat enzim pengubah angiotensin yang aktif secara oral (angiotensin-converting-enzyme= ACE) yang menyebabkan dilatasi arteria yang mencolok. Dengan memblokade angiotensin II, berakibat pengurangan beban pasca yang bermakna.

Venodilatasi dan akibatnya pengurangan prabeban telah dilaporkan juga. Obat ini juga mengganggu produksi aldosteron dan karenanya juga membantu mengendalikan retensi garam dan air. Dosis oral adalah 0,5-6 mg/kg/ 24 jam dierikan pada dosis terbagi 2-3 kali.1 Obat ini biasanya diberikan pada gagal jantung akibat beban volume, kardiomiopati, insufisiensi mitral atau aorta berat, pirau dari kiri ke kanan yang besar. Obat ini menyebabkan retensi kalium sehingga dianjurkan untuk tidak diberikan bersamaan dengan diuretik yang bersifat penahan kalium (spironolakton) .2 Reaksi kaptopril yang merugikan adalah hipotensi dan sekuelenya (misalnya sinkop, lemah dan pusing). Ruam pruritis makulopapuler ditemukan pada 5-8% penderita, tetapi obat dapat dilanjutkan karena ruam seringkali menghilang secara spontan dikemudian. Neutropenia dan keracunan ginjal juga terjadi (Beirstein, 2003). Mengurangi Beban Volume Diuretik dipergunakan untuk mengurangi prabeban. Obat ini mengganggupenyerapan kembali air dan natrium oleh ginjal, yang berakibat penurunan volume darah yang bersirkulasi dan karenanya mengurangi kelebihan cairan dalam paru-paru dan tekanan pengisian ventrikel. Obat ini sering harus digunakan bersama dengan terapi digitalis pada penderita dengan gagal jantung berat. Obat yang dapat digunakan diantaranya: 1. Furosemid Furosemid adalah diuretik yang paling sering digunakan pada penderita gagal jantung. Obat ini menghambat penyerapan kembali natrium dan klorida pada tubulus distal dan lengkung henle. Penderita yang memerlukan dieresis akut harus diberikan furosemid intravena atau intramuskuler pada dosis awal 1-2 mg/kg. Hal ini biasanya menyebabkan dieresis cepat dan perbaikan segera status klinis, terutama jika ada gejala kongestif paru. Terapi furosemid lama diresepkan pada dosis 1-4 mg/kg/ 24 jam diberikan antara 1 dan 4 kali sehari. Pemantauan elektrolit yang teliti perlu pada terapi furosemid jangka lama karena mungkin ada kehilangan kalium yang berarti. Penambahan kalium klorida biasanya diperlukan, kecuali kalau diuretik penghemat kalium spironolakton diberikan bersama-sama. Bila furosemid diberikan setiap selang sehari, penambahan kalium dalam diet mungkin cukup untuk mempertahankan kadar kalium serum normal. Pemberian furosemid lama dapat menyebabkan kontraksi ruangan cairan ekstraseluler, menimbulkan alkalosis kontraksi. Pada keadaan ini asetazolamid, inhibitor karbonik anhidrase mungkin berguna (Beristein, 2003)

2. Spironolakton Spironolakton merupakan inhibitor aldosteron dan memperbesar retensi kalium. Biasanya diberikan secara oral 2-3 mg/kgBB/24 jam dalam 2-3 dosis terbagi, merupakan diuretik hemat kalium. Kombinasi spirnolakton dan klorotiazid biasanya digunakan untuk kenyamanan karena mereka menghilangkan kebutuhan penambahan kalium yang sering kurang ditoleransi. 3. Klorotiazid Klorotiazid kadang-kadang digunakan untuk dieresis pada anak dengan gagal jantung kurang berat. Kerjanya obat ini kurang cepat dan kurang poten dibanding dengan furosemid dan obat ini mempengaruhi penyerapan kembali elektrolit hanya dalam tubulus ginjal. Dosis biasanya adalah 20-50 mg/ kg/ 24 jam dalam dosis terbagi. Penambahan kalium sering diperlukan jika obat ini digunakan sendirian. Agen Inotropik Lain Amin simpatomimetik, katekolamin, dan simpatomimetik lain dapat memperbaiki curah jantung yang rendah dengan berinteraksi dengan reseptor beta, menyebabkan kenaikan kontraktilitas dan frekuensi jantung. 1. Agonis Adrenergik- Isoproterenol, suatu preparat intravena yang digunakan untuk mengobati curah jantung rendah, mempunyai pengaruh adrenergik- sentral maupun perifer, juga mengurangi beban pasca jantung, memperbesar kontraktilitas, menaikkan frekuensi jantung, dan menyebabkan vasodilatasi. Obat diberikan di dalam ruang perawatan intensif, padanya dosis dititrasikan antara 0,01 dan 0,5 Kg/kg/menit. Penentuan tekanan darah arterial dan frekuensi jantung terus menerus merupakan keharusan, dan pengukuran curah jantung dengan kateter termodilusi pulmonal dapat juga membantu penilaian kemanjuran obat. Kerugian utama isoproterenol adalah mempunyai pengaruh kronotropik yang kuat sehingga menyebabkan takikardi yang bermakna, yang dapat mengganggu perfusi koroner, oleh karena itu, ia tidak boleh digunakan pada penderita yang telah menderita takikardia bermakna. Kerugian inilah yang membatasi penggunaan kliniknya (Fred, 1996). Anak-anak yang mendapat isoproterenol harus dipantau secara teliti untuk depolarisasi prematur atrium atau ventrikel. Seringkali, saat pengobatan isoproterenol atau agonis adrenergik- dihentikan, terapi digoksin ditambahkan untuk pengaruh inotropik selanjutnya.

Dopamin mempunyai pengaruh kronotropik dan aritmogenik lebih kecil daripada isoproterenol. Obat ini menimbulkan vasodilatasi ginjal selektif, terutama berguna pada penderita dengan fungsi ginjal terganggu yang sering dijumpai dengan curah jantung rendah. Pada dosis 2-10 Kg/kg/menit, dopamine menyebabkan kenaikan kontraktilitas dengan sedikit vasokonstriksi perifer. Namun jika dosis ditambah diatas 15 Kg/kg/menit, pengaruh adrenergik- perifernya dapat menyebabkan vasokonstriksi. Pada dopamin dosis tinggi dapat juga menyebabkan kenaikan tahanan vaskuler pulmonal.1 Pemberian dopamine tersebut biasanya dilakukan di ruang intensif dengan menggunakan infusion pump. Dobutamin, derivat dopamin, juga digunakan untuk mengobati curah jantung rendah. Obat ini menimbulkan pengaruh inotropik langsung dengan pengurangan sedang pada tahanan vaskuler perifer. Dobutamin dapat diberikan sebagai tambahan pada terapi dopamin agar menghindari vasokonstriksi dopamine dosis tinggi. Dobutamin juga agaknya kurang menyebabkan gangguan irama jantung. Dosis biasanya 2-20 Kg/kg/menit. Epinefrin mempunyai aktivitas alfa perifer maupun beta-1 jantung. Kadang-kadang obat ini digunakan pasca bedah jantung, dimana rangsangan inotropiknya yang sangat kuat membuat ia berguna pada keadaan curah jantung rendah dengan vasokonstriksi yang kadang-kadang menyertai pembedahan. Kekurangan utama berupa seringnya terjadi kenaikan frekuensi jantung yang mencolok, membatasi penggunaanya. 2. Penghambat Fosfodiesterase Amrinon adalah obat kelas baru pertama, tidak sama dengan katekolamin maupun digitalis, berguna dalam mengobati penderita dengan curah jantung rendah yang refrakter terhadap terapi standar. Obat ini bekerja dengan menghambat fosfodiesterase, mencegah penghancuran cAMP intraseluler. Amrinon mempunyai pengaruh inotropik positif pada jantung maupun pengaruh vasodilator perifer yang berarti dan biasanya digunakan sebagai tambahan terapi dopamin dan dobutamin dalam unit perawatan intensif. Obat ini diberikan dengan dosis pembebanan awal (loading dose) 0,75 mg/kg/menit. Efek samping utama adalah hipotensi akibat vasodilatasi perifer. Hipotensi biasanya dapat ditatalaksana dengan pemberian cairan intravena untuk mencukupi volume intravaskuler. Efek samping kedua adalah trombositopenia, keparahannya tampak terkait dengan kecepatan infus dan lama terapi. Efek samping ini reversibel bila obat dihentikan atau kecepatan infus dikurangi (Beirstein, 2003). Terapi Bedah

Terapi bedah pada gagal jantung oleh karena defek intrakardiak dapat bersifat paliatif atau koreksi (penutupan defek). Terapi paliatif berupa penjeratan (banding) arteri pulmonalis ditujukan pada bayi kecil dengan keadaan kritis yang tidak memungkinkan menggunakan mesin pintas jantung paru. Kerugian banding arteri pulmonalis ini meliputi mortalitas dini post operasi, gagal jantung kongestif persisten, tehnik debanding yang sulit pada saat operasi koreksi, dan kemungkinan terjadi stenosis subaortik. Terapi koreksi pada bayi dilakukan dengan tujuan untuk menanggulangi gagal jantung yang tidak dapat diatasi dengan medikamentosa, termasuk didalamnya saluran nafas bagian bawah berulang dan gagal tumbuh (supriyatno, 2009). Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita gagal jantung antara lain: 1. Gangguan pertumbuhan,; pada bayi dan anak yang menderita gagal jantung yang lama biasanya mengalami gangguan pertumbuhan. Berat badan lebih terhambat daripada tinggi badan. 2. Dispneu; pada gagal jantung kiri dengan gangguan pemompaan pada ventrikel kiri dapat mengakibatkan bendungan paru dan selanjutnya dapat menyebabkan ventrikel kanan berkompensasi dengan mengalami hipertrofi dan menimbulkan dispnea dan gangguan pada sistem pernapasan lainnya. 3. Gagal ginjal; gagal jantung dapat mengurangi aliran darah pada ginjal, sehingga akan dapat menyebabkan gagal ginjal jika tidak ditangani. 4. Hepatomegali, ascites, bendungan pada vena perifer dan gangguan gastrointestinal pada gagal jantung kanan. 5. Serangan jantung dan stroke; disebabkan karea aliran darah pada jantung rendah, sehingga menimbulkan terjadinya jendalan darah yang dapat meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke. 6. Syok kardiogenik; akibat ketidak mampuan jantung mengalirkan cukup darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolism. Biasanya terjadi pada gagal jantung refrakter 7. Infeksi Saluran pernafasan. Prognosis Prognosis gagal jantung tergantung: 1. Umur

Pada sebagian kecil pasien, gagal jantung yang berat terjadi pada hari/ minggu-minggu pertama pasca lahir, misalnya sindrom hipoplasia jantung kiri, atresia aorta, koarktasio aorta atau anomali total drainase vena pulmonalis dengan obstruksi. Terhadap mereka, terapi medikamentosa saja sulit memberikan hasil, tindakan invasif diperlukan segera setelah pasien stabil. Kegagalan untuk melakukan operasi pada golongan pasien ini hampir selalu akan berakhir dengan kematian. 2. Berat ringannya penyakit primer Pada gagal jantung akibat PJB yang kurang berat, pendekatan awal adalah dengan terapi medis adekuat, bila ini terlihat menolong maka dapat diteruskan sambil menunggu saat yang bik untuk koreksi bedah. Pada pasien penyakit jantung rematik yang berat yang disertai gagal jantung, obat-obat gagal jantung terus diberikan sementara pasien memperoleh profilaksis sekunder, pengobatan dengan profilaksis sekunder mungkin dapat memperbaiki keadaan jantung. 3. Cepatnya pertolongan pertama 4. Hasil terapi digitalis 5. Seringnya kambuh akibat etiologi yang tidak dikoreksi.

Daftar Pustaka 1. Bernstein, Daniel. 2003. Heart Failure dalam Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. USA: Elsevier Science (USA). 2. Pusponegoro, H. D dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak edisi I. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 3. Fred, M, D. 1996. Gagal Jantung Kongestif dalam Kardiologi Anak Nadas.Yogyakarta: Gajah Mada University press. 4. Supriyatno, Bambang. 2009. Management of Pediatric Heart Disease for practitioner: From Early Detection to Intervention. Jakarta: Departemen IKA FKUI-RSCM. 5. SMF Ilmu Anak. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Kesehatan Anak. Jember: RSUD. Dr. Soebandi. 6. Wahab, Samik. 2003. Penyakit Jantung Anak Edisi 3. Jakarta: EGC. 12. Arthur C. Guyton. 2006. Textbook of Medical Physiology. Philadelphia: Elsevier Inc. 14. Syarif, Amir dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 16. Sitompul, Barita dan Irawan Sugeng. 2004. Gagal Jantung dalam Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai