Anda di halaman 1dari 40

1

JUDUL : PENGARUH KOMPETENSI, INDEPENDENSI DAN MOTIVASI KEUANGAN AUDITOR TERHADAP BADAN PEMERIKSA AUDIT

KUALITAS

LAPORAN KEUANGAN SEKTOR PUBLIK

A. Latar Belakang Tuntutan pelaksanaan akuntabilitas sektor publik terhadap terwujudnya good governance di Indonesia semakin meningkat.Tuntutan ini memang wajar, karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadinya krisis ekonomi di Indonesia ternyata disebabkan oleh buruknya pengelolaan (bad governance) dan buruknya birokrasi (Sunarsip, 2001). Akuntabilitas sektor publik berhubungan dengan praktik transparansi dan pemberian informasi kepada publik dalam rangka pemenuhan hak publik. Sedangkan good governance menurut World Bank didefinisikan sebagai suatu penyelenggaraan manajeman pembangunan yang solid dan bertanggung jawab dan sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, pencegahan korupsi baik secara politis maupun administratif, menciptakan disiplin anggaran, serta menciptakan kerangka hukum dan politik bagi tumbuhnya aktivitas usaha (Mardiasmo, 2005). Menurut Mardiasmo (2005), terdapat tiga aspek utama yang mendukung terciptanya kepemerintahan yang baik (good governance), yaitu pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan. Pengawasan merupakan kegiatan yang dilakukan

oleh pihak di luar eksekutif, yaitu masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mengawasi kinerja pemerintahan.Pengendalian (control) adalah mekanisme yang dilakukan oleh eksekutif untuk menjamin bahwa sistem dan kebijakan manajemen dilaksanakan dengan baik sehingga tujuan organisasi dapat tercapai.Sedangkan pemeriksaan (audit) merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki independensi dan memiliki kompetensi professional untuk memeriksa apakah hasil kinerja pemerintah telah sesuai dengan standar yang ditetapkan. Salah satu unit yang melakukan audit atau pemeriksaan terhadap lembaga pemerintah adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan pihak eksternal auditor pemerintah yang melaksanakan fungsi pemeriksaan organisasi sektor publik di Indonesia sebagai perwujudan pasal 23E UUD 1945. Dalam suatu negara demokratis, sektor pemerintah dipisahkan secara tegas dari sektor negara maupun dari perekonomian secara keseluruhan.Kebijakan maupun fungsi manajemen dalam sektor negara harus dibuat transparan dan terbuka luas secara umum. Dalam konteks kehidupan bernegara di Indonesia dewasa ini UUD 1945 menciptakan BPK sebagai lembaga tinggi negara dengan tugas pokok melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, baik berupa stok asetnya maupun transaksi dalam membelanjai kegiatannya. BPK memeriksa keuangan negara di semua lapisan tingkat pemerintah di Indonesia.

Perubahan ketiga UUD 1945 menempatkan BPK dalam suatu bab tersendiri yang tadinya hanya disebut dalam ayat (5) pasal 23 UUD 1945 versi semula. Kedudukan, tugas, organisasi, cara pemilihan anggota BPK juga lebih jelas diatur dalam perubahan ketiga UUD 1945 tersebut. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut, pasal 23G, ayat 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa, BPK berkedudukan di ibu kota negara, dan memiki perwakilan di setiap provinsi. Dengan demikian, kedudukan maupun peran BPK dalam mewujudkan transparansi fiskal dan menyiptakan clean government dan good governance di Indonesia menjadi lebih jelas dan kokoh dalam perubahan ketiga UUD 1945 tersebut. Perubahan tersebut juga menetapkan BPK sebagai suatu lembaga independen yang bebas dan mandiri (pasal 23F ayat 1).Dalam ayat (2) pasal 23F juga mengatur bahwa anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden.Sementara pimpinan BPK dipilih dari dan oleh anggotanya sendiri. Dewasa ini, tujuan pemeriksaan BPK adalah untuk memperbaiki tata kelola keuangan negara yang kurang baik selama masa pemerintahan Orde Baru.Perbaikan tata kelola keuangan negara tercemin pada paket tiga UndangUndang Keuangan Negara tahun 2003-2004.Buruknya tata kelola keuangan negara dalam masa Orde Baru merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya krisis ekonomi Indonesiapada tahun 1997-1998.Belum baiknya transparansi dan akuntabilitas fiskal sekaligus merupakan salah satu faktor penyebab akan lambannya pemulihan kegiatan ekonomi Indonesia dalam sepulu tahun terakhir dan balum baiknya governance BUMN dan BUMD.

Audit yang dilakukan pada sektor publik pemerintah berbeda dengan sektor swasta.Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan latar belakang institusional dan hukum, dimana audit sektor publik pemerintah mempunyai prosedur dan tanggung jawab yang berbeda serta peran yang lebih luas dibanding audit sektor swasta (Wilopo, 2001). Secara umum ada tiga jenis audit dalam sektor publik, yaitu audit keuangan (financial audit), audit kepatuhan (compliance audit), dan audit kinerja (performance audit). Audit pemerintahan merupakan salah satu elemen penting dalam penegakan good government.Namun demikian, praktiknya sering jauh dari yang diharapkan. Mardiasmo (2000) menjelaskan bahwa terdapat beberapa kelemahan dalam audit pemerintahan di Indonesia, di antaranya tidak tersedianya indikator kinerja yang memadai sebagai dasar pengukur kinerja pemerintahan baik pemerintah pusat maupun daerah dan hal tersebut umum dialami oleh organisasi publik karena output yang dihasilkan yang berupa pelayanan publik tidak mudah diukur. Dengan kata lain, ukuran kualitas audit masih menjadi perdebatan. Kualitas audit menurut De Angelo yang dikutip Alim dkk. (2007) adalah sebagai probabilitas bahwa auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran pada sistem akuntansi klien. Probabilitas untuk menemukan pelanggaran tergantung pada kemampuan teknis auditor dan probabilitas melaporkan pelanggaran tergantung pada independensi auditor. Dengan kata lain, kompetensi dan independensi dapat mempengaruhi kualitas audit. Dalam sektor publik, Government Accountability Office (GAO), mendefinisikan kualitas audit sebagai ketaatan terhadap standar pofesi dan ikatan

kontrak selama melaksanakan audit (Lowenshon, et al, 2005). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), yaitu bahwa audit yang dilakukan auditor dikatakan berkualitas jika memenuhi standar auditing dan standar pengendalian mutu (Elfarini, 2005). Pentingnya standar bagi pelaksanaan audit juga dikemukakan oleh Pramono(2003). Dikatakan bahwa produk audit yang berkualitas hanya dapat dihasilkan oleh suatu proses audit yang sudah ditetapkan standarnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses audit dapat dikatakan telah memenuhi syarat quality assurance apabila proses yang dijalani tersebut telah sesuai dengan standar, antara lain: standar for the professional practice, internal audit charter, kode etik internal audit, kebijakan, tujuan, dan prosedur audit, serta rencana kerja audit. Menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor PER/05/M.PAN/03/2008, pengukuran kualitas audit atas laporan keuangan, khususnya yang dilakukan oleh APIP, wajib menggunakan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang tertuang dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2007. Pernyataan standar umum pertama SPKN adalah: Pemeriksa secara kolektif harus memiliki kecakapan profesional yang memadai untuk melaksanakan tugas pemeriksaan. Dengan Pernyataan Standar Pemeriksaan ini semua organisasi pemeriksa bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap pemeriksaan dilaksanakan oleh para pemeriksa yang secara kolektif memiliki pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas tersebut.Oleh karena itu, organisasi pemeriksa harus memiliki prosedur rekrutmen, pengangkatan,

pengembangan berkelanjutan, dan evaluasi atas pemeriksa untuk membantu organisasi pemeriksa dalam mempertahankan pemeriksa yang memiliki kompetensi yang memadai. Sebagai auditor eksternal auditor pemerintah, BPK harus bias memberi jaminan bahwa audit yang dihasilkannya berkualitas. Jaminan kualitas merupakan suatu proses untuk memastikan bahwa kegiatan audit telah berjalan sebagaimana mestinya. Dengan adanya jaminan kualitas terhadap audit yang dilakukan oleh BPK, maka akan memberikan gambaran bahwa fungsi pengawasan dan pemeriksaan organisasi sektor publik telah berjalan dengan efektif. Kualitas audit mempunyai peranan penting dan signifikan terhadap kinerja BPK, untuk kemajuan dan keberhasilan organisasi sektor publik, serta mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Untuk itu perlu dperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi kualitas audit. Audit yang berkulitas merupakan sebuah tujuan akhir dari proses pengauditan. Audit yang berkualitas dapat dilihat dari tingkat kepatuhan auditor terhadap prosedur dan ketentuan yang seharusnya dilakukan pada saat melakukan audit.Selain itu, kualitas audit dapat juga dilihat dari kepatuhan auditor dalam menerapakan standar auditing pada saat melakukan audit. Menurut Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP, 2001) dengan menerapkan standar auditing dalam melakukan audit, auditor dapat memberikan jaminan terhadap kualitas audit yang dihasilkan dengan mutu tinggi. Kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu kompetensi dan independensi (Christiawan, 2002). De Angelo (1981) mendefinisikan kualitas audit sebagai

probabilitas bahwa auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran pada sistem akuntansi klien. Deis dan Groux (1992) menjelaskan bahwa probabilitas untuk menemukan pelanggaran tergantung pada kemampuan teknis (kompetensi) auditor dan probabilitas melaporkan pelanggaran tergantung pada independensi auditor. Audit harus dilaksanakan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian danpelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.Auditor harus memiliki danmeningkatkan pengetahuan mengenai metode dan teknik audit serta segala hal yangmenyangkut pemerintahan seperti organisasi, fungsi, program, dan kegiatanpemerintahan (BPKP, 1998).Keahlian auditor menurut Tampubolon (2005) dapatdiperoleh melalui pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan serta pengalamanyang memadai dalam melaksanakan audit. Dari artikel pada majalah IAI edisi no.20/tahun III/Oktober 2009, penulis menemukan bahwa berdasarkan temuan peer review yang dilakukan oleh Algemene Rekenkamer (BPK dari Belanda) terhadap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa seharusnya BPK memperkaya pemahaman, pandangan dan keterampilan dalam mengungkapan permasalahan dan menyusun laporan audit. Menurut tim tersebut, hal ini perlu mendapat perhatian terutama kemampuan auditor untuk memonitor pemahaman lingkungan dan penggunaan pengetahuan dalam mengatasi risiko dan merancang serta melaksanakan pemeriksaan. Kualitas audit laporan keuangan sektor publik sangat ditentukan oleh SDM BPK, dalam hal ini kompetensinya. Kualitas staf audit di BPK membentuk

kekuatan kinerja BPK. Untuk itu dibutuhkan kepemimpinan yang kuat agar SDM di BPK menjadi dasar profesionalisme staf BPK yang optimal. Selain keahlian audit (kompetensi), seorang auditor juga harus memiliki independensi dalam melakukan audit agar dapat memberikan pendapat atau kesimpulan yang apa adanyatanpa ada pengaruh dari pihak yang berkepentingan (BPKP, 1998). Pernyataanstandar umum kedua SPKN adalah: Dalam semua hal yang berkaitan denganpekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa, harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya. Dengan pernyataan standar umum kedua ini,organisasi pemeriksa dan para pemeriksanya bertanggung jawab untuk dapatmempertahankan independensinya sedemikian rupa, sehingga pendapat, simpulan,pertimbangan atau rekomendasi dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tidakmemihak dan dipandang tidak memihak oleh pihak manapun. Kompetensi dan independensi merupakan standar yang harus dipenuhi oleh seorang auditor untuk dapat melakukan audit dengan baik. Namun, belum tentu auditor yang memiliki kedua hal di atas akan memiliki komitmen untuk melakukan audit dengan baik. Sebagaimana dikatakan oleh Goleman (2001), hanya dengan adanya motivasi maka seseorang akan mempunyai semangat juang yang tinggi untuk meraih tujuan dan memenuhi standar yang ada. Dengan kata lain, motivasi akan mendorong seseorang, termasuk auditor, untuk berprestasi, komitmen terhadap kelompok serta memiliki inisiatif dan optimisme yang tinggi.

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Kompetensi, Independensi dan Motivasi Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Terhadap Kualitas Audit Laporan Keuangan Sektor Publik.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan dari latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut :apakah kompetensi, independensi dan motivasi auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berpengaruh terhadap kualitas audit laporan keuangan sektor publik ?. Untuk memudahkan pemecahan masalah penelitian, maka dibentuk beberapa pertanyaan penelitian yaitu sebagai berikut : a. Apakah independensi auditorn BPK mempengaruhi kualitas audit laporan keuangan sektor publik? b. Apakah kompetensi auditor BPK mempengaruhi kualitas audit laporan keuangan sektor publik? c. Apakah motivasi auditor BPK mempengaruhi kualitas audit laporan keuangan sektor publik?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Dari rumusan masalah, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut : a. Untuk mengetahui pengaruh independensi auditor BPK terhadap kualitas audit laporan keuangan sektor publik.

10

b. Untuk mengetahui pengaruh kompetensi auditor BPK terhadap kualitas audit laporan keuangan sektor publik. c. Untuk mengetahui pengaruh motivasi auditor BPK terhadap kualitas audit laporan keuangan sektor publik.

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Auditor Pemerintahan, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai kebijakan bagi Auditor Pemerintahan mengenai pengaruh kompetensi, independensi dan motivasi auditor BPK terhadap kualitas laporan keuangan sektor publik. 2. Bagi Penulis, hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dalam praktik yang terjadi, serta mengenai kompetensi, independensi dan motivasi auditor BPK terhadap kualitas laporan keuangan sektor publik. 3. Bagi Peneliti Lain, dapat digunakan sebagai referensi atau acuan dalam melakukan penelitian yang sejenis.

E. Sistematika Penulisan Penulisan ini natinya akan dikembangkan menjadi beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Berisi latar belakang penilitian, rumusan masalah,tujuan

penilitian,manfaat penilitian,dan sistematika penulisan. BAB II LANDASAN TEORI

11

Bab ini membahas tentang pengertian-pengertian dan teori-teori yang digunakan untu mendukung penilitian. Dalam bab ini akan diuraikan tentang kompetensi, independensi dan motivasi,

pengaruh kompetensi, independensi dan motivasi auditor BPK terhadap kualitas laporan keuangan sektor publik. BAB III METODOLOGI PENILITIAN Bab ini berisi metodologi penelitian yang digunakan termasuk penentuan populasi,sampel,metode pengumpulan data,definisi

operasional,instrument penilitian,teknik pengolahan data serta pengujian hipotesis. BAB IV HASIL PENELITIAN Bab ini berisi tentang semua hasil dari penelitian yang telah dilakukan. BAB V PENUTUP

E. Landasan Teori 1. Pengertian Audit dan Auditor a. Pengertian Audit Menurut Mulyadi (2002;9) secara umum audit adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian amtara pernyataan-pernyataan tersebut

12

dengan kriteria yang telah ditetapkan serta penyapaian hasil-hasilnya kepada pihak yang berkepentingan. Menurut Malan (1984) audit adalah suatu proses yang sistematis untuk memperoleh dam mengevaluasi bukti secara objektif mengenai asersi atas tindakan dan kebijakan ekonomi, kesesuaian dengan standar yang telah ditetapkan dan kemudian mengkomunikasikannya kepada pihak pemakai.

b.Pengertian Auditor Auditor adalah orang atau kelompok yang melakukan audit. Menurut Mulyadi (2002) dalam Mardisar (2007) auditor dapat dikelompokan menjadi tiga golongan, yaitu : 1. Auditor Independen Auditor independen adalah auditor profesional yang menyediakan jasanya kepada masyarakat umum terutama dalam bidang audit atas laporan keuangan yang dibuat kliennya. Audit tersebut terutama ditujukan untuk memnuhi kebutuhan para pemakai informasi keuangan seperti kreditur, investor, calon kreditur, calon investor dan instansi pemerintah.

2. Auditor Pemerintah Auditor pemerintah adalah auditor profesional yang bekerja di instansi pemerintah yang tugas pokoknya melakukan audit atas pertanggungjawaban keungan yang disajikan oleh unit-unit organisasi pemerintah atau entitas pemerintah atau pertanggungjawaban keungan yang ditujukan kepada pemerintah.

13

3. Auditor Internal Auditor internal adalah auditor yang bekerja dalam perusahaan (publik maupun swasta) yang tugas pokoknya adalah menentukan apakah kebijakan atau prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, memntukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, memenuhi efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi serta menentukan keandalan informasi yang disajikan oleh bebagai organisasi. GAO standar (Malan, 1984) menyatakan bahwa Governmental audit dibagi dalam 3 elemen dasar yaitu : 1. Financial and compliance yang bertujuan untuk menentukan apakah operasi keuangan dijalankan dengan baik, apakah laporan keuangan dari suatu audit entity disajikan secara wajar dan apakah entity tersebut telah mentaati hukum dan peraturan yang ada. 2. Economy and efficiency, untuk menentukan apakah entity tersebut telah mengelola sumber-sumber (personnel, property, space and so forth) secara ekonomis, efisien dan efektif termasuk sistem informasi manajemen, prosedur administrasi atau struktur organisasi yang cukup. 3. Program results, menentukan apakah hasil yang diinginkan atau keuntungan telah dicapai pada biaya yang rendah.

2. Kualitas Audit

Sampai saat ini belum ada definisi yang pasti mengenai apa dan bagaimanakualitas audit yang baik itu. Tidak mudah untuk menggambarkan dan

14

mengukurkualitas audit secara obyektif dengan beberapa indikator. Hal ini dikarenakankualitas audit merupakan sebuah konsep yang kompleks dan sulit dipahami, sehingga sering kali terdapat kesalahan dalam menentukan sifat dan kualitasnya. Hal initerbukti dari banyaknya penelitian yang menggunakan dimensi kualitas audit yangberbeda-beda. De Angelo (1981) mendefinisikan kualitas audit sebagai probabilitas dimana seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa KAP yang besar akan berusaha untuk menyajikan kualitas audit yang lebih besar dibandingkan dengan KAP yang kecil. Deis dan Giroux (1992) melakukan penelitian tentang empat hal dianggap mempunyai hubungan dengan kualitas audit yaitu (1) lama waktu auditor telah melakukan pemeriksaan terhadap suatu perusahaan (tenure), semakin lama seorang auditor telah melakukan audit pada klien yang sama maka kualitas audit yang dihasilkan akan semakin rendah, (2) jumlah klien, semakin banyak jumlah klien maka kualitas audit akan semakin baik karena auditor dengan jumlah klien yang banyak akan berusaha menjaga reputasinya, (3) kesehatan keuangan klien, semakin sehat kondisi keuangan klien maka akan ada kecenderungan klien tersebut untuk menekan auditor agar tidak mengikuti standar, dan (4) review oleh pihak ketiga, kualitas sudit akan meningkat jika auditor tersebut mengetahui bahwa hasil pekerjaannya akan direview oleh pihak ketiga. Penelitian yang dilakukan oleh Mayangsari (2003) menguji pengaruh independensi dan kualitas audit terhadap integritas laporan keuangan. Hasil

15

penelitian ini mendukung hipotesa bahwa spesialisasi auditor berpengaruh positif terhadap integritas laporan keuangan, serta independensi berpengaruh negatif terhadap integritas laporan keuangan.Selain itu, mekanisme corporate governance berpengaruh secara statistis signifikan terhadap integritas laporan keuangan meskipun tidak sesuai dengan tanda yang diajukan dalam hipotesa. Widagdo et al. (2002) melakukan penelitian tentang atribut-atribut kualitas audit oleh kantor akuntan publik yang mempunyai pengaruh terhadap kepuasan klien. Terdapat 12 atribut yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu (1) pengalaman melakukan audit, (2) memahami industri klien, (3) responsif atas kebutuhan klien, (4) taat pada standar umum, (5) independensi, (6) sikap hati-hati, (7) komitmen terhadap kualitas audit, (8) keterlibatan pimpinan KAP, (9) melakukan pekerjaan lapangan dengan tepat, (10) keterlibatan komite audit, (11) standar etika yang tinggi, dan (12) tidak mudah percaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 7 atribut kualitas audit yang berpengaruh terhadap kepuasan klien, antara lain pengalaman melakukan audit, memahami industri klien, responsif atas kebutuhan klien, taat pada standar umum, komitmen terhadap kualitas audit dan keterlibatan komite audit. Sedangkan 5 atribut lainnya yaitu independensi, sikap hati-hati, melakukan pekerjaan lapangan dengan tepat, standar etika yang tinggi dan tidak mudah percaya, tidak berpengaruh terhadap kepuasan klien. Dalam sektor publik, Government Accountability Office (GAO) mendefinisikankualitas audit sebagai ketaatan terhadap standar profesi dan ikatan kontrak selamamelakdisanakan audit (Lowenshon et al, 2005). Standar audit

16

menjadi bimbingandan ukuran kualitas kinerja aditor (Messier et al, 2005). Menurut PeraturanMenteriNegara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor PER/05/M.PAN/03/2008,pengukuran kualitas audit atas laporan keuangan, khususnya yang dilakukan olehAPIP, wajib menggunakan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Audit yang berkualitas adalah audit yang dapat ditindaklanjuti oleh auditee.Kualitas ini harus dibangun sejak awal pelaksanaan audit hingga pelaporan danpemberian rekomendasi. Dengan demikian, indikator yang digunakan untukmengukur kualitas audit antara lain kualitas proses, apakah audit dilakukan dengancermat, sesuai prosedur, sambil terus mempertahankan sikap skeptis. Menurut Simamora (2002:47) ada 8 prinsip yang harus dipatuhi oleh seorang auditor yaitu : 1. Tanggung Jawab Profesi Setiap anggota harus menggunakan pertimbangan moral dan professional semua kegiatan yang dilakukannya. 2. Kepentingan Publik Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada public, menghormati kepercayaan publik dan menunjukkan komitmen atas professionalisme. 3. Integritas Setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.

17

4.

Objektivitas Setiap anggota harus menjaga objektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.

5.

Kompetensidan Kehati-hatian Professional Setiap anggota harus melaksanakanjasa profesionalnya dengan hati-hati, kompetensi dan ketekunan serta mempunyai kewajiban untuk

mempertahankan pengetahuan dan keterempilan professional. 6. Kerahasian Setiap anggota harus menghormati kerahasian informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapakan tersebut tanpa persetujuan. 7. Perilaku Profesional Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan mendiskreditkanprofesi. 8. Standar Teknis Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan standar teknis dan standar pofesional yang relevan.

3. Kompetensi Pernyataan standar umum pertama dalam SPKN adalah: Pemeriksa secarakolektif harus memiliki kecakapan profesional yang memadai untuk melaksanakantugas pemeriksaan. Dengan Pernyataan Standar Pemeriksaan ini semua organisasipemeriksa bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap

18

pemeriksaandilaksanakan oleh para pemeriksa yang secara kolektif memiliki pengetahuan,keahlian, dan pengalaman yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas tersebut.Olehkarena itu, organisasi pemeriksa harus memiliki prosedur rekrutmen, pengangkatan,pengembangan berkelanjutan, dan evaluasi atas pemeriksa untuk membantuorganisasi pemeriksa dalam mempertahankan

pemeriksa yang memiliki kompetensiyang memadai. Websters Ninth New Collegiate Dictionary (1983) dalam Sri Lastanti (2005)mendefinisikan kompetensi sebagai ketrampilan dari seorang ahli.Dimana ahlididefinisikan sebagai seseorang yang memiliki tingkat ketrampilan tertentu ataupengetahuan yang tinggi dalam subyek tertentu yang diperoleh dari pelatihan danpengalaman.Sedangkan Trotter (1986) dalam Saifuddin (2004)

mendefinisikanbahwa seorang yang berkompeten adalah orang yang dengan ketrampilannyamengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif dan sangat jarang atau tidakpernah membuat kesalahan. Lee dan Stone (1995), mendefinisikan kompetensi sebagai keahlian yang cukupyang secara eksplisit dapat digunakan untuk melakukan audit secara objektif.Adapun Bedard (1986) dalam Sri lastanti (2005) mengartikan keahlian ataukompetensi sebagai seseorang luas yang yang memiliki pengetahuan dalam dan

ketrampilanprosedural

yang

ditunjukkan

pengalaman

audit.Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi auditoradalah pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang dibutuhkan auditor untuk dapatmelakukan audit secara objektif, cermat dan seksama.Hayes-Roth mendefinisikankeahlian sebagai pengetahuan tentang suatu lingkungan tertentu,

19

pemahamanterhadap masalah yang timbul dari lingkungan tersebut, dan keterampilan untukmemecahkan permasalahan tersebut (Mayangsari, 2003). Dalam standar audit APIP disebutkan bahwa audit harus dilaksanakan olehorang yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor. Dengandemikian, auditor belum memenuhi persyaratan jika ia tidak memiliki pendidikandan pengalaman yang memadai dalam bidang audit. Dalam audit pemerintahan,auditor dituntut untuk memiliki dan meningkatkan kemampuan atau keahlian bukanhanya dalam metode dan teknik audit, akan tetapi segala hal yang menyangkutpemerintahan seperti organisasi, fungsi, program, dan kegiatan pemerintah. Dalam lampiran 2 SPKN disebutkan bahwa:Pemeriksa yang ditugasi untuk melaksanakan pemeriksaan menurutStandar Pemeriksaan harus secara kolektif memiliki: Pengetahuan tentang StandarPemeriksaan yang dapat diterapkan terhadap jenis pemeriksaan yang ditugaskanserta memiliki latar belakang pendidikan, keahlian dan pengalaman untukmenerapkan pengetahuan tersebut dalam pemeriksaan yang dilaksanakan;Pengetahuan umum tentang lingkungan entitas, program, dan kegiatan yangdiperiksa (obyek pemeriksaan) (paragraf 10) danPemeriksa yang melaksanakan pemeriksaan keuangan harus memilikikeahlian di bidang akuntansi dan auditing, serta memahami prinsip akuntansiyang berlaku umum yang berkaitan dengan entitas yang diperiksa (paragraf 11). Kompetensi yang diperlukan dalam proses audit tidak hanya berupa penguasaan terhadap standar akuntansi dan auditing, namun juga

20

penguasaanterhadap objek audit. Selain dua hal di atas, ada tidaknya program atau prosespeningkatan keahlian dapat dijadikan indikator untuk mengukur

tingkatkompetensi auditor. Menurut Kamus Kompetensi LOMA (1998) dalam Lasmahadi (2002) kompetensi didefinisikan sebagai aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yangmemungkinkan dia untuk mencapai kinerja superior. Aspek-aspek pribadi ini mencakup sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap, pengetahuan dan ketrampilan dimana kompetensi akan mengarahkan tingkah laku, sedangkan tingkah laku akan menghasilkan kinerja. Susanto (2000) definisi tentang kompetensi yang sering dipakai adalah karakteristik-karakteristk yang mendasari individu untuk mencapai kinerja superior.Kompetensi juga merupakan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan yang berhubungan dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan non-rutin.Definisi kompetensi

dalambidang auditing pun sering diukur dengan pengalaman (Mayangsari, 2003). 4. Independensi Definisi independensi dalam The CPA Handbook menurut E.B. Wilcox adalahmerupakan suatu standar auditing yang penting karena opini akuntan independenbertujuan untuk menambah kredibilitas laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen. Jika akuntan tersebut tidak independen terhadap kliennya, maka opininya tidak akan memberikan tambahan apapun (Mautz dan Sharaf, 1993:246). Kode Etik Akuntan tahun 1994 menyebutkan bahwa independensi adalah sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk

21

tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam pelaksanaan tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip integritas dan obyektivitas. Pernyataan standar umum kedua dalam SPKN adalah: Dalam semua hal yangberkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa harusbebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, danorganisasi yang dapat mempengaruhi independensinya. Dengan pernyataan standarumum kedua ini, organisasi pemeriksa dan para pemeriksanya bertanggung jawabuntuk dapat mempertahankan independensinya sedemikian rupa, sehingga pendapat,simpulan, pertimbangan atau rekomendasi dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakantidak memihak dan dipandang tidak memihak oleh pihak manapun. Arens, et.al.(2000) mendefinisikan independensi dalam pengauditan sebagai"Penggunaan cara pandang yang tidak bias dalam pelaksanaan pengujian audit,evaluasi hasil pengujian tersebut, dan pelaporan hasil temuan audit". SedangkanMulyadi (1992) mendefinisikan independensi sebagai "keadaan bebas dari pengaruh,tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain" dan akuntanpublik yang independen haruslah akuntan publik yang tidak terpengaruh dan tidakdipengaruhi oleh berbagai kekuatan yang berasal dari luar diri akuntan dalammempertimbangkan fakta yang dijumpainya dalam

pemeriksaan. Menurut Messier et al (2005), independensi merupakan suatu istilah yangsering digunakan oleh profesi auditor. Independensi menghindarkan hubungan yangmungkin mengganggu obyektivitas auditor. BPKP (1998)

22

mengartikan obyektivitassebagai bebasnya seseorang dari pengaruh pandangan subyektif pihak-pihak lainyang berkepentingan sehingga dapat mengemukakan pendapat apa adanya. Dalam lampiran 2 SPKN disebutkan bahwa: Gangguan pribadi yang disebabkan oleh suatu hubungan dan pandanganpribadi mungkin mengakibatkan atau pemeriksa membatasi temuan lingkup dalam pertanyaan segala

danpengungkapan

melemahkan

bentuknya.Pemeriksabertanggung jawab untuk memberitahukan kepada pejabat yang berwenang dalamorganisasi pemeriksanya apabila memiliki gangguan pribadi terhadapindependensi. Gangguan pribadi dari pemeriksa secara individu meliputi antaralain: a. Memiliki hubungan pertalian darah ke atas, ke bawah, atau semenda sampaidengan derajat kedua dengan jajaran manajemen entitas atau program yangdiperiksa atau sebagai pegawai dari entitas yang diperiksa, dalam posisi yangdapat memberikan pengaruh langsung dan signifikan terhadap entitas atauprogram yang diperiksa. b. Memiliki kepentingan keuangan baik secara langsung maupun tidak langsungpada entitas atau program yang diperiksa. c. Pernah bekerja atau memberikan jasa kepada entitas atau program yangdiperiksa dalam kurun waktu dua tahun terakhir. d. Mempunyai hubungan kerjasama dengan entitas atau program yang diperiksa. e. Terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan obyekpemeriksaan, seperti memberikan asistensi, jasa konsultasi,

23

pengembangansistem, menyusun dan/atau mereviu laporan keuangan entitas atau programyang diperiksa. f. Adanya prasangka terhadap perorangan, kelompok, organisasi atau tujuansuatu program, yang dapat membuat pelaksanaan pemeriksaan menjadi beratsebelah

5. Motivasi Terry (dalam Moekijat, 2002) mendefinisikan motivasi sebagai keinginan didalam seorang individu yang mendorong ia untuk bertindak. Sedangkan menurut Panitia Istilah Manajemen Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen, motivasi adalah proses atau faktor yang mendorong orang untuk bertindak atau berperilaku dengan cara tertentu; yang prosesnya mencakup: pengenalan dan penilaian kebutuhan yang belum dipuaskan, penentuan tujuan yang akan memuaskan kebutuhan, dan penentuan tindakan yang diperlukan untuk memuaskan kebutuhan. Dari berbagai jenis teori motivasi, teori yang sekarang banyak dianut adalah teori kebutuhan. Teori ini beranggapan bahwa tindakan manusia pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhannya. Ahli yang mencoba merumuskan kebutuhankebutuhan manusia, di antaranya adalah Abraham Maslow. Maslow telah menyusun tingkatan kebutuhan manusia, yang pada pokoknya didasarkan pada prinsip, bahwa (Wahjosumidjo, 1987): 1) Manusia adalah binatang yang berkeinginan; 2) Segera setelah salah satu kebutuhannya terpenuhi, kebutuhan lainnya akan muncul;

24

3) Kebutuhan-kebutuhan manusia nampak diorganisir ke dalam kebutuhan yang bertingkat-tingkat; 4) Segera setelah kebutuhan itu terpenuhi, maka mereka tidak mempunyai pengaruh yang dominan, dan kebutuhan lain yang lebih meningkat mulai mendominasi. Maslow merumuskan lima jenjang kebutuhan manusia, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut (Wahjosumidjo, 1987): 1) Kebutuhan mempertahankan hidup (Physiological Needs). Manifestasi kebutuhan ini tampak pada tiga hal yaitu sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan primer untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan biologis. 2) Kebutuhan rasa aman (Safety Needs). Manifestasi kebutuhan ini antara lain adalah kebutuhan akan keamanan jiwa, di mana manusia berada, kebutuhan keamanan harta, perlakuan yang adil, pensiun, dan jaminan hari tua. 3) Kebutuhan social (Social Needs). Manifestasi kebutuhan ini antara lain tampak pada kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain (sense of belonging), kebutuhan untuk maju dan tidak gagal (sense of achievement), kekuatan ikut serta (sense of participation). 4) Kebutuhan akan penghargaan/prestise (esteem needs), semakin tinggi status, semakin tinggi pula prestisenya. Prestise dan status ini dimanifestasikan dalam banyak hal, misalnya mobil mercy, kamar kerja yang full AC, dan lain-lain. 5) Kebutuhan mempertinggi kapasitas kerja (self actualization), kebutuhan ini bermanifestasi pada keinginan mengembangkan kapasitas mental dan kerja

25

melalui seminar, konferensi, pendidikan akademis, dan lain-lain. Menurut Suwandi (2005), dalam konteks organisasi, motivasi adalah pemaduan antara kebutuhan organisasi dengan kebutuhan personil. Hal ini akan mencegah terjadinya ketegangan / konflik sehingga akan membawa pada pencapaian tujuan organisasi secara efektif. Dalam konteks studi psikologi, Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya: (1) durasi kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan.

6. Pengembangan Hipotesis Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauhmana hubungan antara kompetensi dan independensi terhadap kualitas audit auditor BPK. Untuk memudahkan dalam pencapaian tujuan tersebut, maka penulis menyusun dua hipotesis untuk mengetahui hubungan antara kompetensi dan independensi terhadap kualitas audit auditor BPK. Alim dkk (2007) melakukan penelitian kualitas audit yang dilakukan oleh auditor pada kantor Akuntan Publik se-Jawa Timur. Variabel penelitian yang digunakan yaitu kompetensi dan independensi sebagai variabel independen,

26

kualitas audit sebagai variabel dependen, dan etika auditor sebagai variabel moderasi. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa independensi dan kompetensi auditor berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Murtanto (1998) dalam Mayangsari (2003) menunjukkan bahwa komponen kompetensi untuk auditor di Indonesia terdiri atas: 1) Komponen pengetahuan, yang merupakan komponen penting dalam suatu kompetensi. Komponen ini meliputi pengetahuan terhadap fakta-fakta,

prosedurprosedur dan pengalaman. 2) Ciri-ciri psikologi, seperti kemampuan berkomunikasi, kreativitas, kemampuan bekerjasama dengan orang lain. Gibbins dan Larocques (1990) juga menunjukkan bahwa kepercayaan, komunikasi, dan kemampuan untuk

bekerjasama adalah unsure penting bagi kompetensi audit. Mayangsari (2003) yang melakukan penelitian tentang hubungan antara independensi auditor dengan pendapat audit menyimpulkan bahwa auditor yang independen memberikan pendapat lebih tepat dibandingkan auditor yang tidak independen. Sedangkan Samelson et al (2006) menyatakan bahwa independensi auditor tidak signifikan terhadap kualitas audit. Terdapat 5 KAP yang tidak memenuhi permintaan auditee untuk menyesuaikan hasil audit dengan keinginan auditee meski auditee membayar dengan biaya lebih tinggi. Supriyono (1988) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi independensi penampilan akuntan publik. Diketahui bahwa ikatan kepentingan keuangan dan

27

hubungan usaha dengan klien, jasa-jasa lainnya selain jasa audit, lamanya hubungan audit antara akuntan publik dengan klien, persaingan antar KAP, ukuran KAP dan audit fee secara signifikan mempengaruhi independensi penampilan akuntan publik. Untuk memenuhi tuntutan akuntabilitas publik dan good governance, diperlukan adanya pemeriksaan. Mardiasmo (2005) mengemukakan bahwa pemeriksaan (audit) merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kompetensi dan independensi untuk memeriksa apakah hasil kinerja pemerintah telah sesuai dengan standar yang ditetapkan. Beberapa penelitian tentang kualitas audit yang pernah dilakukan menyimpulkan temuan yang berbeda mengenai faktor yang mempengaruhi kualitas audit. Hasil penelitian Lawenson et al. (2006) menyimpulkan bahwa spesialisasi auditor dan besarnya fee yang diterima auditor berpengaruh terhadap kualitas audit. Sementara itu dalam penelitian Alim dkk. (2007) dan Elfarini (2007), diperoleh kesimpulan bahwa keahlian dan independensi auditor berpengaruh positif terhadap kualitas audit. Sebagaimana dikatakan oleh Goleman (2001), hanya motivasi yang akan membuat seseorang mempunyai semangat juang yang tinggi untuk meraih tujuan dan memenuhi standar yang ada. Dengan kata lain, motivasi akan mendorong seseorang, termasuk auditor, untuk berprestasi, komitmen terhadap kelompok serta memiliki inisiatif dan optimisme yang tinggi.

28

7. Kompetensi dan Kualitas Audit Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Berdasarkan telaah teoritis, hasil-hasil penelitian terdahulu, serta kerangka pemikiran teoritis tentang faktor-faktor yng berpengaruh terhadap kualitas audit yang dilaksanakan oleh auditor internal, maka dikembangkan hipotesis dengan penjelasan sebagai berikut : 1) Pengaruh kompetensi terhadap kualitas audit Kualitas audit merupakan kemungkinan auditor menemukan serta melaporkan pelanggaran pada sistem akuntansi pemerintah dengan berpedoman pada standar akuntansi dan standar audit yang telah ditetapkan. Definisi kualitas audit menurut De Angelo (1981) adalah sebagai probabilitas bahwa auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran pada sistem akuntansi klien. Kompetensi auditor adalah kemampuan auditor untuk mengaplikasikan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya dalam melakukan audit sehingga auditor dapat melakukan audit dengan teliti, cermat, intuitif, dan obyektif. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa audit harus dilaksanakan oleh orang yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor. Dengan demikian, auditor belum memenuhi persyaratan jika ia tidak memiliki pendidikan dan pengalaman yang memadai dalam bidang audit. Dalam audit pemerintahan, auditor dituntut untuk memiliki dan meningkatkan kemampuan atau keahlian bukan hanya dalam metode dan teknik audit, akan tetapi segala hal yang menyangkut pemerintahan seperti organisasi, fungsi, program, dan kegiatan pemerintah.

29

Harhinto (2004) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh keahlian dan independensi terhadap kualitas audit, dimana keahlian diproksikan dengan pengalaman dan pengetahuan, sedangkan independensi diproksikan dalam lamanya ikatan dengan klien, tekanan dari klien dan telaah dari rekan auditor. Adapun untuk mengukur kualitas audit digunakan indikator antara lain : (a) Melaporkan semua kesalahan klien (b) Pemahaman terhadap sistem informasi akuntansi klien (c) Komitmen yang kuat dalam menyelesaikan audit (d) Berpedoman pada prinsip auditing dan prinsip akuntansi dalam melakukan pekerjaan lapangan (e) Tidak percaya begitu saja terhadap pernyataan klien (f)Sikap hati-hati dalam pengambilan keputusan Penelitian tersebut menggunakan responden 120 auditor dari 19 KAP di Surabaya, Malang dan Jember. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keahlian auditor berpengaruh terhadap kualitas audit. Dengan demikian, dapat

dikemukakan hipotesis sebagai berikut: H1: kompetensi berpengaruh positif terhadap kualitas audit auditor BPK

8. Independensi dan Kualitas Audit Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Independensi merupakan sikap auditor yang tidak memihak, tidak mempunyai kepentingan pribadi, dan tidak mudah dipengaruhi oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam memberikan pendapat atau simpulan, sehingga

30

dengan demikian pendapat atau simpulan yang diberikan tersebut berdasarkan integritas dan objektivitas yang tinggi. Menurut Holmes sebagaimana dikutip Supriyono (1988), independensi merupakan sikap bebas dari bujukan, pengaruh, atau pengendalian pihak yang diperiksa. Independensi auditor merupakan salah satu faktor yang penting untuk menghasilkan audit yang berkualitas. Karena jika auditor kehilangan independensinya, maka laporan audit yang dihasilkan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan (Supriyono, 1988). Dari penelitian yang dilakukan Harhinto (2004) diketahui bahwa besarnya tekanan dari klien dan lamanya hubungan dengan klien (audit tenure) berhubungan negatif dengan kualitas audit. Dengan demikian, dapat dikemukakan hpotesis sebagai berikut: H2: independensi berpengaruh positif terhadap kualitas audit auditor BPK

9. Motivasi dan Kualitas Audit Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Sebagaimana dikatakan oleh Goleman (2001), hanya motivasi yang akan membuat seseorang mempunyai semangat juang yang tinggi untuk meraih tujuan dan memenuhi standar yang ada. Dengan kata lain, motivasi akan mendorong seseorang, termasuk auditor, untuk berprestasi, komitmen terhadap kelompok serta memiliki inisiatif dan optimisme yang tinggi. Respon atau tindak lanjut yang tidak tepat terhadap laporan audit dan rekomendasi yang dihasilkan akan dapat menurunkan motivasi aparat untuk menjaga kualitas audit. Dengan demikian, dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut: H3: motivasi berpengaruh positif terhadap kualitas audit auditor BPK

31

10.

Model Penelitian Berdasarkan pembahasan pada bagian pengembangan hipotesis, maka

model penelitian dapat disajikan sebagai berikut: X1 KOMPETENSI 1. Pengetahuan tentang akuntansi dan auditing 2. Wawasan tentang pemerintahan 3. Program peningkatan keahlian 4. Lamanya masa kerja auditor X2 INDEPENDENSI 1. Lama hubungan dengan klien 2. Tekanan dari klien 3. Telaah dari rekan auditor 4. Efek dari pemberian hadiah X3 MOTIVASI 1. Tingkat Aspirasi: urgensi audit yang berkualitas 2. Ketangguhan 3. Keuletan 4. Konsistensi Y KUALITAS AUDIT

F. METODOLOGI PENELITIAN a. Populasi dan Sampel Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian asosiatif kausal.

Menurut Sugiyono (2006:11) penelitian asosiatif kausal adalah penelitian yang

32

bertujuan untuk menganalisa hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya atau bagaimana suatu variable mempengaruhi variable lain. Populasi adalah keseluruhan objek yang karakteristiknya hendak diteliti (Djarwanto, 1996:107). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh auditor atau tenaga pemeriksa pada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Riau. Besarnya jumlah sampel dalam penelitian ini adalah ditentukan dengan metode cencus. Metode cencus adalah suatu metode yang jumlah sampelnya sama dengan jumlah populasi (Wiratha, 2006:95).

b. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh langsung dari sumber atau tempat dimana penelitian dilakukan secara langsung (Indrianto, 1999:147). Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui kuesioner yang disebarkan kepada responden. Auditor yang menjadi sampel akan dikirimi kuesioner yang berisi kumpulan pertanyaan. Penyebaran kuisioner dilakukan dengan dua cara yaitu mengantar langsung ke BPK dan mengirimkan lewat pos.

c. Defenisi Operasional dan Pengukuran Variabel Dalam penelitian ini, variabel dependen (Y) yang digunakan adalah kualitas audit sedangkan variable independennya terdiri dari kompetensi auditor (X1), independensi auditor (X2), dan motivasi auditor (X3). Definisi operasional dan pengukuran untuk variabel-variabel tersebut adalah:

33

1. Kualitas audit Kualitas audit merupakan probabilitas bahwa auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran pada sistem akuntansi pemerintah dengan berpedoman pada standar akuntansi dan standar audit yang telah ditetapkan. Instrumen yang digunakan untuk mengukur kualitas audit ini diadopsi dari penelitian Harhinto (2004) dengan beberapa modifikasi berdasarkan SPKN. Responden diminta menjawab tentang bagaimana persepsi mereka, memilih di antara lima jawaban mulai dari sangat setuju sampai ke jawaban sangat tidak setuju. Masing-masing item pernyataan tersebut kemudian diukur dengan menggunakan Skala Likert 5 poin, di mana poin 1 diberikan untuk jawaban yang berarti kualitas audit paling rendah, dan seterusnya poin 5 diberikan untuk jawaban yang berarti kualitas audit paling tinggi.

2. Kompetensi auditor Kompetensi dalam pengauditan merupakan pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang dibutuhkan auditor untuk dapat melakukan audit secara objektif, cermat dan seksama. Kompetensi auditor diukur dengan menggunakan enam item pernyataan yang menggambarkan tingkat persepsi auditor terhadap bagaimana kompetensi yang dimilikinya terkait standar akuntansi dan audit yang berlaku, penguasaannya terhadap seluk beluk organisasi pemerintahan, serta program peningkatan keahlian. Instrumen yang digunakan untuk mengukur kompetensi ini diadopsi dari penelitian Harhinto (2004) dengan beberapa modifikasi berdasarkan SPKN. Responden diminta menjawab tentang bagaimana persepsi mereka,

34

memilih di antara lima jawaban mulai dari sangat setuju sampai ke jawaban sangat tidak setuju. Masing-masing item pernyataan tersebut kemudian diukur dengan menggunakan Skala Likert 5 poin, di mana poin 1 diberikan untuk jawaban yang berarti kompetensi paling rendah, dan seterusnya poin 5 diberikan untuk jawaban yang berarti kompetensi paling tinggi.

3. Independensi auditor Independensi dalam pengauditan merupakan penggunaan cara pandang yang tidak bisa dalam pelaksanaan pengujian audit, evaluasi hasil pengujian tersebut, dan pelaporan hasil temuan audit. Independensi auditor diukur dengan menggunakan delapan item pernyataan yang menggambarkan tingkat persepsi auditor terhadap bagaimana keleluasaan yang dimilikinya untuk melakukan audit, bebas baik dari gangguan pribadi maupun gangguan ekstern. Instrumen yang digunakan untuk mengukur independensi ini diadopsi dari penelitian Harhinto (2004) dengan beberapa modifikasi berdasarkan SPKN. Responden diminta menjawab tentang bagaimana persepsi mereka, memilih di antara lima jawaban mulai dari sangat setuju sampai ke jawaban sangat tidak setuju. Masing-masing item pernyataan tersebut kemudian diukur dengan menggunakan Skala Likert 5 poin, di mana poin 1 diberikan untuk jawaban yang berarti independensi paling rendah, dan seterusnya poin 5 diberikan untuk jawaban yang berarti independensi paling tinggi.

4. Motivasi auditor

35

Motivasi dalam pengauditan merupakan derajat seberapa besar dorongan yang dimiliki auditor untuk melaksanakan audit secara berkualitas. Motivasi auditor diukur dengan menggunakan delapan item pernyataan yang

menggambarkan tingkat persepsi auditor terhadap seberapa besar motivasi yang dimilikinya untuk menjalankan proses audit dengan baik, yaitu tingkat aspirasi yang ingin diwujudkan melalui audit yang berkualitas, ketangguhan, keuletan, dan konsistensi. Instrumen yang digunakan untuk mengukur motivasi ini diadopsi dari penelitian Suwandi (2005) dengan beberapa modifikasi. Responden diminta menjawab tentang bagaimana persepsi mereka, memilih di antara lima jawaban mulai dari sangat setuju sampai ke jawaban sangat tidak setuju. Masing-masing item pernyataan tersebut kemudian diukur dengan menggunakan Skala Likert 5 poin, di mana poin 1 diberikan untuk jawaban yang berarti motivasi paling rendah, dan seterusnya poin 5 diberikan untuk jawaban yang berarti motivasi paling
tinggi.

d. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian merupakan media dalam pengumpulan data. Kuesioner dikatakan reliabel jika jawaban responden konsisten saat diajukan pertanyaan yang sama pada waktu yang berbeda. Untuk menguji kualitas data yang diperoleh dari penerapan instrumen, maka diperlukan uji validitas, dan uji reliabilitas dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Uji Validitas

36

Uji validitas adalah untuk mengetahui sah tidaknya instrumen kuisioner yang digunakan dalam pengumpulan data. Uji validitas ini dilakukan untuk mengetahui apakah item-item yang tersaji dalam kuesioner benar-benar mampu mengungkapkan dengan pasti apa yang akan diteliti (Ghozali, 2006). Sebagaimana dikutip oleh Sugiyono (2008), Masrun menjelaskan bahwa dalam memberikan interpretasi terhadap koefisien korelasi, item yang mempunyai korelasi positif dengan skor total menunjukkan bahwa item tersebut mempunyai validitas yang tinggi. Uji validitas dilakukan dengan uji korelasi Pearson Moment antara masing-masing skor indikator dengan total skor konstruk. Suatu butir pertanyaan dikatakan valid jika nilai korelasi item butir dengan skor total signifikan pada tingkat signifikansi 0,01 dan 0,02.

2. Uji Reliabilitas Suatu kuesioner dikatakan handal atau reliabel jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Uji Reliabilitas dimaksudkan untuk menguji konsistensi kuesioner dalam mengukur suatu konstruk yang sama atau stabilitas kuesioner jika digunakan dari waktu ke waktu (Ghozali, 2006). Uji reliabilitas dilakukan dengan metode internal consistency. Kriteria yang digunakan dalam uji ini adalah One Shot, artinya satu kali pengukuran saja dan kemudian hasilnya dibandingkan dengan pertanyaan lainnya atau dengan kata lain mengukur korelasi antar jawaban pertanyaan. Statistical Product and Service Solution (SPSS) memberikan fasilitas untuk mengukur reliabilitas dengan uji statistik Cronbach Alpha (). Jika nilai koefisien

37

alpha lebih besar dari 0,60 maka disimpulkan bahwa intrumen penelitian tersebut handal atau reliabel (Nunnaly dalam Ghozali, 2006).

e. Teknik Analisis 1. Analisis Data Uji Asumsi Klasik Metode analisis data yang digunakan adalah model analisis regresi berganda dengan bantuan software SPSS. Penggunaan metode analisis regresi dalam pengujian hipotesis, terebih dahulu diuji apakah model tersebut memenuhi asumsi klasik atau tidak. Pengujian ini meliputi uji normalitas, uji

multikolinearitas, uji heterokedastisitas dan uji autokorelasi.

1. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel dependen dan independen keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak (Ghozali, 2006). Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Uji normalitas data tersebut dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu menggunakan Uji Kolmogorof-Smirnov (Uji K-S), grafik histogram dan kurva penyebaran P-Plot. Untuk Uji K-S yakni jika nilai hasil Uji K-S > dibandingkan taraf signifikansi 0,05 maka sebaran data tidak menyimpang dari kurva normalnya itu uji normalitas. Sedangkan melalui pola penyebaran P Plot dan grafik histogram, yakni jika pola penyebaran memiliki garis normal maka dapat dikatakan data berdistribusi normal.

38

2. Uji Multikolinieritas Uji ini dimaksudkan untuk mendeteksi gejala korelasi antara variable independen yang satu dengan variabel independen yang lain. Pada model regresi yang baik seharusnya tidak terdapat korelasi di antara variabel independen. Uji Multikolinieritas dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan melihat VIF (Variance Inflation Factors) dan nilai tolerance. Jika VIF > 10 dan nilai tolerance < 0,10 maka terjadi gejala Multikolinieritas (Ghozali, 2006).

3. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamataan ke pengamatan yang lain tetap, atau disebut homoskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas, tidak heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas ditandai dengan adanya pola tertentu pada grafik scatterplot. Jika titik-titik yang ada membentuk suatu pola tertentu yang teratur (bergelombang), maka terjadi heteroskedastisitas. Jika tidak ada pola yang jelas, titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas. Selain itu, heteroskedastisitas dapat diketahui melalui uji Glesjer. Jika probabilitas signifikansi masing-masing variabel independen > 0,05, maka dapat disimpulkan tidak terjadi heteroskedastisitas dalam model regresi (Ghozali, 2006).

4. Uji Autokorelasi

39

Uji ini bertujuan untuk melihat apakah dalam suatu model linear ada korelasi antar kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan t-1 (sebelumnya). Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi, digunakan uji Durbin-Watson (DW Test). Persamaan regresi yang baik adalah persamaan yang tidak memiliki maalah autokorelasi.

2. Uji Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan model analisis regresi berganda bertujuan untuk memprediksi berapa besar kekuatan pengaruh variable independen terhadap variabel dependen. Persamaan regresinya adalah : Y = 0 + 1X1 + 2X2 + 3X3 Y = kualitas audit Inspektorat dalam pengawasan keuangan daerah 0 = intersep 1, 2, 3 = koefisien regresi X1 = kompetensi X2 = independensi X3 = motivasi Sementara itu, langkah-langkah untuk menguji pengaruh variabel independen, yaitu kompetensi, independensi, dan motivasi auditor dilakukan dengan uji simultan dan uji parsial. - Uji Simultan (Uji F) Uji F digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh simultan variabel-variabel independen terhadap variabel dependen. Kriteria pengujian yang

40

digunakan adalah jika probability value (p value) < 0,05, maka Ha diterima dan jika p value > 0,05, maka Ha ditolak. Uji F dapat pula dilakukan dengan membandingkan nilai Fhitung dan Ftabel. Jika Fhitung > F tabel (n-k-1), maka Ha diterima. Artinya, secara statistik data yang ada dapat membuktikan bahwa semua variabel independen (X1, X2, X3) berpengaruh terhadap variabel dependen (Y). Jika Fhitung < F tabel (n-k-1), maka Ha ditolak. Artinya, secara statistik data yang ada dapat membuktikan bahwa semua variabel independen (X1, X2, X3) tidak berpengaruh terhadap variable dependen (Y).

- Uji Parsial (Uji t) Uji t digunakan untuk mengetahui pengaruh masing-masing variable independen terhadap variabel dependen. Kriteria pengujian yang digunakan adalah jika p value < 0,05, maka Ha diterima dan jika p value > 0,05, maka Ha ditolak.

Anda mungkin juga menyukai