Anda di halaman 1dari 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Bahan 2.1.

1 Asam Stearat Asam stearat adalah campuran asam organik padat yang diperoleh dari lemak sebagian besar terdiri dari asam oktadekanoat, C18H36O2 dan asam heksadekanoat, C16H32O2 (Ditjen POM, 1979). Asam lemak ini merupakan asam lemak jenuh, wujudnya padat pada suhu ruang. Asam stearat diproses dengan memperlakukan lemak hewan dengan air pada suhu dan tekanan tinggi. Asam ini dapat pula diperoleh dari hidrogenasi minyak nabati. Dalam bidang industri asam stearat dipakai sebagai bahan pembuatan lilin, sabun, plastik, kosmetika, dan untuk melunakkan karet (Anonim a, 2010). Pemerian : zat padat keras mengkilat menunjukkan susunan hablur; putih atau kuning pucat; mirip lemak lilin Titik lebur Titik didih Kelarutan : 540 : 3840 : sangat sedikit larut dalam air; larut dalam alkohol; benzena kloroform; aseton; karbon tetraklorida; karbon disulfida; amil asetat dan toluen (Merck, 1976 ). 2.1.2 Asam Oleat Asam oleat adalah asam lemak cair yang terutama terdiri dari C18H34O2, dapat dibuat dengan menghidrolisa lemak atau minyak lemak, dipisahkan dengan cara pemerasan (Ditjen POM, 1979).

Universitas Sumatera Utara

Asam oleat (C17H33COOH, C18:1) merupakan asam lemak tidak jenuh yang mempunyai satu ikatan rangkap dan mempunyai jumlah atom karbon 18 dengan satu ikatan rangkap diantara atom C ke-9 dan ke-10 Pada temperatur kamar asam oleat berupa cairan seperti minyak yang tidak berwarna yang secara perlahan-lahan menjadi coklat oleh udara dan berbau tengik. Asam oleat tidak dapat bercampur dengan air, tapi dapat bercampur dengan eter dan alkohol dalam semua perbandingan (Holleman, 1970). Pemerian Titik lebur Titik didih Kelarutan : cairan kental; kekuningan sampai coklat muda, bau dan rasa khas : 140 : 2860 : praktis tidak larut dalam air; mudah larut dalam etanol, kloroform, eter, eter minyak tanah (Ditjen POM, 1979). 2.2 Lemak dan Minyak Lemak dan minyak adalah salah satu kelompok yang termasuk pada golongan lipid , yaitu senyawa organik yang terdapat di alam serta tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik non-polar, misalnya dietil eter (C2H5OC2H5), kloroform (CHCl3), benzena dan hidrokarbon lainnya, lemak dan minyak dapat larut dalam pelarut yang disebutkan di atas karena lemak dan minyak mempunyai polaritas yang sama dengan pelarut tersebut (McMurry, 1992; Salomons, 1988). Lemak dan minyak merupakan senyawa trigliserida atau triasilgliserol, yang berarti triester dari gliserol. Jadi lemak dan minyak juga merupakan senyawa ester. Hasil hidrolisis lemak dan minyak adalah asam karboksilat dan

Universitas Sumatera Utara

gliserol. Asam karboksilat ini juga disebut asam lemak yang mempunyai rantai hidrokarbon yang panjang dan tidak bercabang (Hart, 1983). Perbedaan antara minyak dan lemak disebabkan karena terdapat jenis asam lemak yang berbeda. Lemak yang mengandung sebagian besar asam lemak jenuh sedangkan minyak mengandung sebagian besar asam lemak tidak jenuh yang terdistribusi antara molekul trigliserida. Pada umumnya lemak diperoleh dari bahan hewani sedangkan minyak dari bahan nabati (Gaman, 1992). 2.3 Asam Lemak Asam lemak jarang terdapat bebas di alam tetapi terdapat sebagai ester dalam gabungan dengan fungsi alkohol. Asam lemak pada umumnya adalah asam lemak monokarboksilat berantai lurus yang mempunyai jumlah atom karbon genap yang dapat dijenuhkan atau dapat mempunyai satu atau lebih ikatan rangkap. Asam-asam ini banyak dijumpai dalam minyak goreng, margarin atau lemak hewan. Bersama-sama dengan gliserol asam lemak merupakan penyusun utama minyak nabati atau hewani dan salah satu bahan baku untuk semua lipida pada makhluh hidup. Secara alami, asam lemak bisa berbentuk bebas maupun terikat dengan gliserida. Asam karboksilat yang diperoleh dari hidrolisa suatu lemak atau minyak disebut asam lemak. Asam lemak merupakan bahan dasar pada industri oleokimia. Dari asam lemak ini dapat diturunkan berbagai turunan asam lemak seperti: amida asam lemak, alkohol asam lemak dan metil ester asam lemak yang kemudian dapat diubah kedalam berbagai turunan asam lemak melalui amidasi, klorinasi, hidrogenasi, sulfasi, sulfonasi dan reaksi lainnya (Fessenden dan Fessenden, 1982; Page, 1997).

Universitas Sumatera Utara

Asam lemak yang ditemukan di alam dapat dibagi dalam dua golongan yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh yang memiliki perbedaan pada jumlah dan posisi ikatan rangkapnya serta bentuk molekul keseluruhannya. Tabel 2.3.1 Komposisi asam lemak minyak kelapa Asam lemak Asam lemak jenuh : Asam Kaproat Asam Kaprilat Asam Kaprat Asam Laurat Asam Palmitat Asam Stearat Asam Arachidat Asam lemak tak jenuh : Asam Palmitoleat Asam Oleat Asam Linoleat C15H29COOH C17H33COOH C17H31COOH 0 1,3 58 1,5 2,5 Sumber: Ketaren (1986) Biasanya asam lemak tidak jenuh terdapat dalam bentuk cis dan trans karena molekulnya akan bengkok pada ikatan rangkap. 1. Asam lemak jenuh Asam lemak jenuh merupakan asam lemak yang mengandung ikatan tunggal pada rantai hidrokarbonnya. Asam lemak jenuh bersifat lebih stabil, misalnya asam laurat, asam palmitat, asam stearat dan asam-asam lemak lainnya. C5H11COOH C7H15 COOH C9H19COOH C11H23COOH C13H27COOH C17H35COOH C19H39COOH 0 0,8 5,5 9,5 4,5 9,5 44 52 7,5 10,5 13 0 0,4 Rumus kimia Jumlah (%)

Universitas Sumatera Utara

2. Asam lemak tak jenuh Asam lemak tak jenuh merupakan asam lemak yang mengandung ikatan rangkap pada rantai karbonnya. Misalnya asam oleat, asam linoleat, asam linolenat dan asam-asam lemak lainnya. Asam lemak dapat diperoleh dengan menghidrolisis lemak atau minyak dengan suatu basa (saponifikasi) menghasilkan sabun garam alkali kemudian dilanjutkan dengan penambahan suatu asam (David, 1989). 2.4 Ester Ester adalah suatu senyawa yang mengandung gugus COOR, R dapat berupa alkil maupun aril. Ester dapat dibentuk dengan reaksi langsung antara suatu asam karboksilat dengan suatu alkohol yang disebut reaksi esterifikasi. (Fessenden dan Fessenden, 1984). Interesterifikasi adalah suatu reaksi pertukaran gugus asil yang terdapat dalam molekul trigliserida sehingga menghasilkan bentuk trigliserida yang baru (Solomons, 1988). Transesterifikasi adalah suatu reaksi antara ester dengan alkohol asam atau ester yang lain (Solomons, 1988). 2.5 Metil Ester Asam Lemak Metil ester asam lemak dapat diperoleh dengan melakukan reaksi secara esterifikasi dan interesterifikasi. Pada reaksi esterifikasi, asam lemak bebas yang terbentuk dari proses penyabunan dan hidrolisa minyak/lemak yang direaksikan secara esterifikasi dengan metanol dan membentuk metil ester asam lemak.

Universitas Sumatera Utara

Proses terjadinya reaksi esterifikasi dengan katalis asam sangat lambat dimana asam dan alkohol selama beberapa jam dan kedalamnya telah ditambahkan sedikit asam sulfat yang berfungsi sebagai katalis sehingga terjadi reaksi kesetimbangan membentuk senyawa ester. Untuk lebih meningkatkan hasil reaksi esterifikasi maka digunakan asam karboksilat atau alkohol yang berlebihan (Solomons, 1988). 2.6 Metil Ester Sulfonat Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan yang dibuat melalui sulfonasi menggunakan bahan baku dari minyak nabati. MES memiliki beberapa kelebihan dibandingkan surfaktan lainnya, yaitu antara lain kemampuan penyabunan yang baik; terutama yang berasal dari C16 dan C18 (dari minyak kelapa), toleransi yang baik terhadap kesadahan air, bersinergi baik dengan sabun (sebagai zat aditif sabun), daya larut dalam air yang baik, lembut dan tidak iritasi pada kulit, dan memiliki karakteristik biodegradasi yang baik (Hui, 1996). Salah satu proses untuk menghasilkan surfaktan adalah proses sulfonasi terhadap metil ester menghasilkan metil ester sulfonat (MES). Proses Sulfonasi terjadi dengan mereaksikan pereaksi pensulfonasi gas SO3, H2SO4 berasap, NaHSO3 dengan metil ester asam lemak. Disebut sulfonasi karena proses ini melibatkan penambahan gugus sulfon pada senyawa organik (Nightingale, 1987; Schwuger dan Lewandowski, 1995). MES yang dihasilkan pada proses sulfonasi masih mengandung produkproduk samping yang dapat mengurangi kinerja surfaktan sehingga memerlukan

Universitas Sumatera Utara

proses pemurnian. Proses produksi MES dilakukan dengan mereaksikan metil ester dan gas SO3 dalam failing film reactor pada suhu 80-90oC (Hidayati, 2008). Proses sulfonasi ini akan menghasilkan produk berwarna gelap, sehingga dibutuhkan proses pemurnian meliputi pemucatan dan netralisasi. Untuk mengurangi warna gelap tersebut, pada tahap pemucatan ditambahkan larutan H2O2 dan metanol, yang dilanjutkan dengan proses netralisasi dengan menambahkan larutan alkali (KOH atau NaOH), setelah melewati tahap netralisasi, produk yang berbentuk cairan dikeringkan sehingga produk akhir yang dihasilkan berbentuk pasta, serpihan, atau granula (Schwuger dan Lewandowski, 1995).

Gambar 2.6.1 Reaksi pembentukan MES

2.7 Sabun dan Detergen 2.7.1 Sabun Sabun adalah garam logam alkali (biasanya garam natrium) dari asamasam lemak. Suatu molekul sabun mengandung suatu rantai hidrokarbon yang bersifat hidrofobik dan mengandung suatu ujung ion yang bersifat hidrofilik. Karena adanya rantai hidrokarbon, sebuah molekul sabun tidak benar-benar larut dalam air. Namun sabun mudah tersuspensi dalam air karena membentuk misel (misselles) dimana molekul sabun yang rantai hidrokarbonnya mengelompok

Universitas Sumatera Utara

dengan ujung-ujung ionnya menghadap ke air. Sabun adalah surfaktan yang mampu mengemulsi kotoran berminyak jadi sabun dapat berfungsi sebagai

emulgator. Kekurangan sabun adalah mengendap dalam air sadah yaitu air yang mengandung Ca+2, Mg+2, Fe+3 dan meninggalkan suatu residu (Fessenden dan Fessenden, 1984). 2.7.2 Detergen Detergen merupakan garam sulfat atau sulfonat dari asam lemak berantai panjang. Sama seperti sabun, detergen adalah surfaktan dengan rantai hidrokarbon yang bersifat hidrofobik dan ujung ion sulfat atau sulfonat yang bersifat hidrofilik. Adanya gugus sulfat dan sulfonat menyebabkan detergen dapat digunakan dalam air sadah karena detergen membentuk garam yang dapat larut dalam air sadah (Fessenden dan Fessenden, 1984; Poedjiadi, 1994). R- (non polar dan hidrofob) akan membelah molekul minyak dan kotoran menjadi partikel yang lebih kecil sehingga air mudah membentuk emulsi dengan kotoran dan mudah dipisahkan. Sedangkan -C-O- (polar dan hidrofil) akan larut dalam air membentuk buih dan mengikat partikel-partikel kotoran sehingga terbentuk emulsi. Dengan adanya minyak, lemak, dan bahan organik tidak larut dalam air lainnya, kecenderungan untuk ekor dan anion melarut dalam bahan organik, sedangkan bagian kepala tetap tinggal dalam larutan air. Oleh karena itu sabun mengemulsi atau mensuspensi bahan organik dalam air. Dalam proses ini, anionanion membentuk partikel-partikel koloid micelle.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.7.1 Struktur surfaktan (a. Gugus hidrofilik dan lipofilik surfaktan b. Agregat atau misel surfaktan) Keuntungan yang utama sebagai bahan pencuci karena terjadi reaksi dengan kation-kation membentuk garam-garam dari asam lemak yang tidak larut. Padatan-padatan tidak larut ini, biasanya garam-garam dari magnesium dan kalsium (Poedjiadi, 1994). 2.8 Surfaktan Surfaktan adalah zat aktif permukaan berupa molekul/ion yang diadsorbsi pada antarmuka yang memiliki gugus polar atau non-polar (amfifil) yang dapat menurunkan tegangan permukaan air. Dimana gugus polar memperlihatkan afinitas (daya ikat) yang kuat dengan pelarut polar contohnya air, sehingga sering disebut gugus hidrofilik. Gugus non-polar biasanya disebut hidrofobik atau lipofilik yang tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut non-polar. Gugus hidrofil antara lain adalah gugus hidroksil (-OH), gugus karboksilat (-COOH), gugus sulfat (-SO4Na), gugus sulfonat (-SO3Na), gugus amino (-NH2) sedangkan gugus lipofil merupakan gugus senyawa hidrokarbon baik jenuh maupun tidak jenuh (Martin, 1993). Penggunaan surfaktan sangat bervariasi, seperti bahan detergen, kosmetik, farmasi, makanan dan lain-lain. Syarat agar surfaktan dapat digunakan untuk

Universitas Sumatera Utara

produk pangan yaitu bahwa surfaktan tersebut mempunyai nilai Hydrophyle Lypophyle Balance (HLB) antara 2-16, tidak beracun, serta tidak menimbulkan iritasi. Penggunaan surfaktan terbagi atas tiga golongan, yaitu sebagai bahan pembasah (wetting agent), bahan pengemulsi (emulsifying agent) dan bahan pelarut (solubilizing agent). Penggunaan surfaktan ini bertujuan untuk meningkatkan kestabilan emulsi dengan cara menurunkan tegangan antarmuka, antar fase minyak dan fase air. Surfaktan dipergunakan baik berbentuk emulsi minyak dalam air maupun berbentuk emulsi air dalam minyak. Berdasarkan muatan gugus hidrofilnya, surfaktan dibagi atas surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amfoterik. Surfaktan anionik memiliki gugus hidrofil yang bermuatan negatif seperti gugus karboksilat (RCOO-M+), sulfonat (RSO3-M+) atau posfat (ROPO3-M+). Surfaktan kationik, gugus hidrofil bermuatan positif. Contoh ammonium halida kwarterner (R4N+X-). Surfaktan nonionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Surfaktan amfoterik adalah surfaktan yang mengandung gugus anionik dan kationik, dimana muatannya bergantung kepada pH, pada pH tinggi dapat menunjukkan sifat anionik dan pada pH rendah dapat menunjukkan sifat kationik (Rieger, 1985). Emulsi didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari dua fasa cairan yang tidak saling melarut, dimana salah satu cairan terdispersi dalam bentuk globula-globula cairan lainnya. Cairan yang terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi, sedangkan cairan yang mengelilingi globula-globula dinamakan fase kontinu atau medium dispersi.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan jenisnya emulsi dibedakan menjadi dua yaitu: 1) Emulsi minyak dalam air (m/a), adalah emulsi dimana minyak terdispersi di dalam air sehingga air dikatakan sebagai fase eksternal. 2) Emulsi air dalam minyak (a/m), adalah emulsi dimana air terdispersi di dalam minyak sehingga minyak dikatakan sebagai fase eksternal. Gugus hidrofilik pada surfaktan bersifat polar dan mudah bersenyawa dengan air, sedangkan gugus lipofilik bersifat non polar dan mudah bersenyawa dengan minyak. Di dalam molekul surfaktan, salah satu gugus harus lebih dominan jumlahnya. Bila gugus polarnya yang lebih dominan, maka molekulmolekul surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan minyak. Akibatnya tegangan permukaan air menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinu. Demikian pula sebaliknya, bila gugus non polarnya lebih dominan, maka molekul-molekul surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh minyak dibandingkan dengan air. Akibatnya tegangan permukaan minyak menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinu. Penambahan surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya tegangan permukaan larutan. Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan permukaan akan konstan walaupun konsentrasi surfaktan ditingkatkan. Bila surfaktan ditambahkan melebihi konsentrasi ini maka surfaktan

mengagregasi membentuk misel. Konsentrasi terbentuknya misel ini disebut Critical Micelle Concentration (cmc). Tegangan permukaan akan menurun hingga cmc tercapai. Setelah cmc tercapai, tegangan permukaan akan konstan yang menunjukkan bahwa antarmuka menjadi jenuh dan terbentuk misel yang berada dalam keseimbangan dengan monomernya (Genaro, 1990).

Universitas Sumatera Utara

2.8.1 Tegangan Permukaan Tegangan permukaan adalah gaya per satuan panjang yang harus diberikan sejajar pada permukaan untuk mengimbangi tarikan ke dalam, dengan satuan dyne/cm dalam system cgs atau energi yang diperlukan untuk memperbesar permukaan atau antarmuka sebesar 1 cm2 dan dinyatakan dalam erg/cm2 (Martin, 1993). Ada beberapa cara untuk menetapkan tegangan permukaan cairan yaitu cara kenaikan kapiler dan cara Du Nouy. Metode yang sering digunakan adalah metode cincin Du Nuoy yang menggunakan alat tensiometer Du Nouy. Prinsip dari tensiometer Du Nouy bahwa gaya yang diperlukan untuk melepaskan suatu cincin platina-iridium yang dicelupkan pada permukaan atau antarmuka adalah sebanding dengan tegangan permukaan atau tegangan antarmuka. Selain daripada jenis cairan suhu juga sangat berpengaruh terhadap nilai tegangan permukaan. Bila temperatur makin tinggi maka, tegangan permukaan makin turun (Martin, 1993). 2.8.2 Penentuan Nilai HLB Menurut Adamson (1990), harga HLB suatu bahan dapat dihitung berdasarkan harga gugus fungsi hidrofil, lipofil dan derivatnya.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.8.2.1 Harga HLB Beberapa Gugus Fungsi

Berdasarkan harga yang terdapat pada tabel di atas dapat ditentukan harga HLB secara teori dengan menggunakan rumus sebagai berikut : HLB = (gugus hidrofil) + (gugus lipofil) + 7 Hasil yang diperoleh dari rumus di atas, kemudian ditentukan dengan menggunakan skala penentuan fungsi surfaktan berdasarkan nilai-nilai HLB, Semakin tinggi HLB suatu zat, makin hidrofilik zat tersebut.

Adamson, (1990) Gambar 2.8.2.2 Skala yang menunjukkan fungsi surfaktan berdasarkan nilai-nilai HLB Berdasarkan skala fungsi surfaktan di atas maka dapat ditentukan apakah suatu bahan tersebut dapat sebagai surfaktan atau tidak. Terbentuknya sistem

Universitas Sumatera Utara

emulsi m/a atau a/m tergantung pada keseimbangan hidrofilik-lipofilik balance (HLB). HLB dapat menunjukkan bila suatu surfaktan sebagai bahan stabilisator, wetting agent, detergen ataupun bahan pelarut. Secara umum, HLB dari bahan penstabil adalah 9-12 pada sistem emulsi m/a dan sistem emulsi a/m memiliki HLB sebesar 3-6 (Martin, 1993). 2.9 Spektrofotometer Inframerah Radiasi inframerah mengandung beberapa range frekuensi tetapi tidak dapat dilihat oleh mata. Pengukuran spektrum inframerah dilakukan pada daerah bilangan gelombang 4000-650 cm-1. Energi yang dihasilkan akan menyebabkan vibrasi pada molekul. Pita absorbsi inframerah sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia dan gugus fungsi. Metode ini sangat berguna untuk mengidentifikasi senyawa organik (George, 1987). Bila sinar inframerah dilewatkan melalui cuplikan senyawa organik, maka sejumlah frekuensi diserap sedang frekuensi yang lain diteruskan atau ditransmisikan tanpa diserap. Penggunaan spektrofotometri inframerah untuk maksud analisis lebih banyak ditujukan untuk identifikasi suatu senyawa. Hal ini dimungkinkan, disebabkan spektrum inframerah senyawa organik bersifat khas artinya senyawa yang berbeda akan mempunyai spektrum yang berbeda pula (Noerdin, 1985). Menurut Silverstein (1981), berbagai tehnik untuk persiapan sampel, bergantung pada bentuk fisik sampel yang akan dianalisis. a. Padat Jika zat yang akan dianalisis berbentuk padat, maka ada dua metode untuk persiapan sampel ini, yaitu melibatkan penggunaan Nujol Mull atau pelet KBr.

Universitas Sumatera Utara

1) Nujol Mull Cara persiapan sampel dengan menggunakan Nujol Mull yaitu: sampel digerus dengan morter dan stamfer agar diperoleh bubuk yang halus. Dalam jumlah yang sedikit bubuk tersebut dicampur dengan Nujol agar terbentuk pasta, kemudian beberapa tetes pasta ini ditempatkan antara dua plat natrium klorida (plat ini tidak mengabsorbsi inframerah pada wilayah tersebut). Kemudian plat ditempatkan dalam tempat sampel pada alat spektroskopi inframerah untuk dianalisis. 2) Pelet KBr Sedikit sampel padat (kira-kira 1-2 mg), kemudian ditambahkan bubuk KBr murni (kira-kira 200 mg) dan diaduk hingga rata. Campuran ini kemudian ditempatkan dalam cetakan dan ditekan dengan menggunakan alat tekanan mekanik. Tekanan ini dipertahankan beberapa menit, kemudian sampel (pelet KBr yang terbentuk) diambil dan kemudian ditempatkan dalam tempat sampel pada alat spektroskopi inframerah untuk dianalisis. b. Cairan Bentuk ini adalah paling sederhana dan metode yang paling umum pada persiapan sampel. Setetes sampel ditempatkan antara dua plat KBr atau plat NaCl untuk membuat film tipis. Kemudian plat ditempatkan dalam tempat sampel alat spektroskopi inframerah untuk dianalisis. c. Gas Untuk menghasilkan sebuah spektrum inframerah pada gas, dibutuhkan sebuah sel silinder/tabung gas dengan jendela pada setiap akhir pada sebuah material yang tidak aktif inframerah seperti KBr, NaCl atau CaF2. Sel biasanya

Universitas Sumatera Utara

mempunyai inlet dan outlet dengan keran untuk mengaktifkan sel agar memudahkan pengisian dengan gas yang akan dianalisis. Perbedaan antara FT-IR (Fourier Transform Infra-Red) dan

spektrofotometer inframerah terletak pada pengembangan sistem optik sebelum berkas sinar inframerah melewati contoh. FT-IR memiliki sistem optik interferometer yang pemakaiannya lebih mudah dibandingkan sistem optik monokromator dari spektrofotometri inframerah. FT-IR lebih sering digunakan karena mempunyai sensitifitas yang lebih baik akibat radiasi yang masuk ke sistem detektor lebih banyak tanpa harus melalui celah. Keunggulan lain dari FTIR adalah dapat dipakai pada semua frekuensi dari sumber cahaya secara simultan sehingga analisis berlangsung lebih cepat (Anonim b , 2010). FT-IR pada umumnya digunakan untuk mengetahui gugus fungsi dan mengetahui informasi struktur senyawa dengan membandingkan daerah sidik jarinya. Pengukuran spektrum infra merah dilakukan pada daerah cahaya infra merah tengah (mid infra-red) yaitu pada panjang gelombang 2,5-50 mikrometer atau bilangan gelombang 4000-200 cm-1. Energi radiasi yang dihasilkan inframerah menyebabkan getaran pada molekul. Pita absorbsi inframerah spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi (Dachriyanus, 2004). Spektrum inframerah suatu senyawa dapat dengan mudah diperoleh dalam beberapa menit. Sedikit sampel diletakkan dalam instrumen dengan sumber radiasi inframerah. Spektrofotometer secara otomatis membaca sejumlah radiasi yang menembus sampel dengan kisaran frekuensi tertentu dan merekam pada kertas berapa persen radiasi yang ditransmisikan. Radiasi yang diserap oleh molekul muncul sebagai pita pada spektrum (Hart, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai