Anda di halaman 1dari 24

1.

DIAGNOSIS DIABETES MELITUS

Diagnosis diabetes melitus (DM) harus didasarkan pada pemeriksaan kadar glukosa dalam darah. Untuk diagnosis, dianjurkan untuk pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Ada perbedaan antara uji diagnostik dan pemeriksaan penyaring DM. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukan gejala/tanda DM sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala yang mempunyai resiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif untuk memastikan diagnosis definitif. Pemeriksaan penyaring dilakukan pada kelompok dengan salah satu faktor resiko: Usia > 45 tahun BMI > 23 kg/m2 Hipertensi ( 140/90 mmHg) Riwayat DM dalam garis keturunan Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi > Kolesterol HDL 35 mg/dl dan atau trigliserida 250 mg/dl

4000 gram Untuk kelompok resiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif, pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun. Sedangkan, bagi mereka yang berusia > 45 tahun maka pemeriksaan penyaring dilakukan setiap 3 tahun.
Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM

Asal darah Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dl) Kadar glukosa darah puasa (mg/dl) Plasma vena Darah kapiler Plasma vena Darah kapiler

Bukan DM < 110 < 90 <110 < 90

Belum pasti DM 110-119 90-199 110-125 90-109

DM 200 200 126 110

Langkah-langkah untuk Menegakkan Diagnosis Diabetes Melitus dan Gangguan Toleransi Glukosa Diagnosis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan poliuria, polifagi khas berupa polidipsi, dan penurunan

berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan mungkin pasien kabur pruritus wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa hasil darah sewaktu 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal belum cukup kuat untu menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dL, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dL pada hari yang lain atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan 200 mg/dL. Cara Penatalaksanaan TTGO:

lain adalah gatal, dan

yang lemah, mata

dikemukakan

kesemutan,

disfunsgsi pada

ereksi pada pria, serta vulva

pemeriksaan glukosa darah puasa 126 mg/dL juga digunakan untuk patokan diagnosis

Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup). Kegiatan jasmani seperti biasa dilakukan. Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih diperbolehkan 2

Diperiksa kadar glukosa darah puasa Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/KgBB (anak-anak), dilarutkan dalam 250 mL air dan diminum dalam waktu 5 menit. Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa. Selama proses pemeriksaan subjek yang diperiksa tetap istrahat dan tidak merokok.

2. HIPERTENSI Hipertensi merupakan suatu keadaan peningkatan tekanan darah diatas normal akibat gangguan autoregulasi pembuluh darah. Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%. Insidensi meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi hipertensi ringan sebesar 2% pada usia 25 tahun atau kurang, meningkat menjadi 25% pada usia 50 tahun dan 50% pada usia 70 tahun. Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau idioptik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat ditetakan penyebabnya (hipertensi sekunder). Tidak ada data akurat mengenai prevalens hipertensi sekunder dan sangat tergantung di mana angka itu diteliti. Diperkirakan terdapat sekitar 6% pasien hipertensi sekunder sedangkan di pusat rujukan dapat mencapai sekitar 35%. Hampir semua hipertensi sekunder didasarkan pada dua mekanisme, yaitu gangguan sekresi hormon dan gangguan fungsi ginjal. Pasien hipertensi sering meninggal dini karena komplikasi jantung (penyakit jantung hipertensi). Juga dapat menyebabkan strok, gagal ginjal, atau gangguan retina mata.

Hipertensi biasanya asimtomatik, sampai terjadi kerusakan organ target. Sebagian besar nyeri kepala pada hipertensi tidak berhubungan dengan tekanan darah. Fase hipertensi yang berbahaya bisa ditandai oleh nyeri kepala dan hilangnya penglihatan (papiledema). Diagnosis hipertensi dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran tekanan darah.

Klasifikasi Tekanan Darah, JNC VII 2003, untuk usia > 18 tahun Kategori Tekanan sistolik (mmHg) Tekanan diastolik (mmHg) Normal < 120 < 80 Prehipertensi 120-139 80-89 Hipertensi Derajat 1 140-159 90-99 Derajat 2 160 100

Algoritma penatalaksanaan hipertensi

3. AKOMODASI & PRESBIOPIA Kemampuan menyesuaikan kekuatan lensa sehingga baik sumber cahaya dekat maupun jauh dapat difokuskan di retina dikenal sebagai akomodasi. Kekuatan lensa bergantung pada bentuknya, yang diatur oleh otot siliaris.

Otot siliaris adalah bagian dari korpus siliaris, suatu spesialisasi lapisan koroid di sebelah anterior. Korpus siliaris memiliki dua komponen utama: otot siliaris dan jaringan kapiler yang manghasilkan aqueos homor. Otot siliaris adalah sebuah otot polos melingkar yang melekat ke lensa melalui ligamentum suspensorium.

Ketika otot siliaris melemas, ligamentum suspensorium tegang dan menarik lensa, sehingga lensa berbentuk gepeng dengan kekuatan refraksi minimal. Ketika berkontraksi, garis tengah otot ini berkurang dan tegangan di ligamentum suspensorium mengendur. Sewaktu lensa kurang mendapat tarikan dari ligamentum suspensorium, lensa mengambil bentuk yang lebih sferis (bulat) karena elastisitas inherennya. Semakin besar kelengkungan lensa (karena semakin bulat), semakin besar kekuatannya, sehingga berkasberkas cahaya lebih dibelokkan. Pada mata normal, otot siliaris melemas dan lensa mendatar untuk penglihatan jauh, tetapi otot tersebut berkontraksi untuk memungkinkan lensa menjadi lebih cembung dan 6

lebih kuat untuk penglihatan dekat. Otot siliaris dikontrol oleh sistem saraf otonom. Seratserat saraf simpatis menginduksi relaksasi otot siliaris untuk penglihatan jauh, sementara sistem saraf parasimpatis menyebabkan kontraksi otot untuk penglihatan dekat. Lensa adalah suatu struktur elastis yang terdiri dari serat-serat transparan. Kadangkadang serat-serat ini menjadi keruh (opak) sehingga berkas cahaya tidak dapat menembusnya, suatu yang dikenal sebagai katarak. Lensa defektif ini biasanya dapat dikeluarkan secara bedah dan penglihatan dipulihkan dengan memasang lensa buatan atau kacamata kompensasi. Seumur hidup, hanya sel-sel di tepi luar lensa yang diganti. Sel-sel di tengah lensa mengalami kesulitan ganda. Sel-sel tersebut tidak saja merupakan sel tertua, tetapi terletak palig jauh dari aqueous humor, sumber nutrisi bagi lensa. Seiring dengan pertambahan usia, sel-sel di bagian tengah yang tidak dapat diganti ini mati dan menjadi kaku. Dengan berkurangnya kelenturan, lensa tidak lagi mampu mengambil bentuk sferis yang diperlukan untuk akomodasi untuk penglihatan dekat. Penurunan kemampuan akomodasi yang berkaitan dengan usia ini, yaitu, presbiopia, mengenai sebagian besar orang pada usia pertengahan (45 sampai 50 tahun), sehingga mereka memerlukan lensa korektif untuk penglihatan dekat (membaca). Presbiopia dikoreksi dengan menggunakan lensa plus untuk mengejar daya focus lensa yang hilang. Lensa plus dapat digunakan dalam beberapa cara. Kacamata baca memiliki koreksi dekat di seluruh bukaan kacamata, sehingga kacamata tersebut baik untuk membaca tetapi melihat benda-banda jauh menjadi kabur. Untuk mengatasi gangguan ini, dapat digunakan kacamata separuh yaitu kacamata yang bagian atasnya terbuka dan tidak dikoreksi untuk penglihatan jauh. Kacamata bifocal melakukan hal serupa tetapi memungkinkan koreksi kesalahan refraksi yang lain. Kacamata trifocal memperbaiki penglihatan jauh di segmen atas, penglihatan sedang di segmen tengah, dan penglihatan dekat di segmen bawah. Pada pasien presbiopia, kacamata atau adisi diperlukan untuk membaca dekat yang berukuran tertentu, biasanya: + 1.0 D untuk usia 40 tahun + 1.5 D untuk usia 45 tahun + 2.0 D untuk usia 50 tahun + 2.5 D untuk usia 55 tahun + 3.0 D untuk usia 60 tahun

Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi + 3.0 D adalah lensa positif terkuat yang dapat diberikan pada seseorang. Pada keadaan ini mata tidak melakukan akomodasi bila membaca pada jarak 33 cm, karena benda yang dibaca terletak pada titik api lensa + 3.0 D sehingga sinar yang keluar akan sejajar. Pemeriksaan adisi untuk membaca perlu disesuaikan dengan jarak kebutuhan pasien pada waktu membaca. Pemeriksaan sangat subjektif sehingga angka-angka di atas tidak merupakan angka yang tetap. Ada banyak cara pemeriksaan presbiopia. Yang paling sederhana dan banyak dipergunakan adalah tes subjektif. Kelainan refraksi jauh dikoreksi terlebih dahulu, lalu pasien memegang bacaan surat kabar kecil atau lembaran tes baca. Tes dilakukan pada posisi jarak baca normal dengan dua mata (binokuler).
4. ANATOMI KONJUNGTIVA DAN PALPEBRA

Kojungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sclera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu: konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya. Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya-membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superficial dan lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe kelopak mata hingga membentuk pleksus limfatikus yang kaya. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan (oftalmik) pertama nervus V. Saraf ini hanya sedikit relative mempunyai serat nyeri.

5. DIAGNOSTIK PERFORASI KORNEA Untuk mengetahui letak dan adanya kebocoran/ perforasi kornea dapat dilakukan pemeriksaan dengan uji fistel, disebut juga uji Seidel. Pada konjungtiva inferior ditaruh kertas fluoresein atau diteteskan fluoresein. Kemudian dilihat adanya cairan mata yang keluar dari fistel kornea. Bila terdapat kebocoran kornea adanya fistel kornea akan terlihat pengaliran cairan mata yang berwarna hijau mulai dari lubang fistel. Cairan mata terlihat bening dengan disekitarnya terdapat larutan fluoresein yang berwarna hijau.

6. IMUNITAS

10

Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama terhadap penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi selsel, molekulmolekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respon imun. Pertahanan imun terdiri atas sistem imun alamiah atau non spesifik (innate) dan didapat (acquired). Mekanisme imunitas nonspesifik (sawar mekanis, fagosit, sel NK dan sistem komplemen) memberikan pertahanan terhadap infeksi. Imunitas spesifik ( respon limfosit ) timbul lebih lambat.

SISTEM IMUN NON SPESIFIK Mekanisme fisiologi imunitas nonspesifik berupa komponen yang selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk tubuh dan dengan capat menyingkirkannya. Disebut nonspesifik karena tidak ditujukan tehadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. 1. Pertahanan fisik/mekanik Meliputi kulit, selaput lendir, silia saluran nafas, batuk dan bersin dan lain-lain. Keratinosit dan lapisan epidermis kulit sehat dan epitel mukosa yang utuh tidak dapat ditembus oleh kebanyakan mikroba. 2. Pertahanan biokimia Beberapa mikroba dapat masuk ke dalam tubuh melalui kelenjar sebasea dan folikel rambut. pH asam keringat dan sekresi sebaseus, berbagai asam lemak yang dilepas kulit mempunyai efek denaturasi terhadap protein membran sel sehingga dapat mencegah infeksi yang terjadi melalui kulit. Lisozim dalam keringat, ludah, air mata 11

dan air susu ibu, melindungi tubuh terhadap kuman positif-gram karena dapat menghancurkan lapisan peptidoglikan dinding bakteri. Air susu ibu juga mengandung laktooksidase dan asam neuraminik yang mempunyai sifat antibakterial terhadap E.Coli dan stafilokok. Saliva mengandung enzim seperti lakto oksidase yang merusak dinding sel mikroba dan menimbulkan kebocoran sitoplasma. Asam hidroklorida dan lambung enzim proteolitik, antobodi dan empedu dalam usus halus dapat mencegah infeksi mikrobat.mukus yang kental melindung sel epitel mukosa, dapat menangkap bakteri dan lainya yang selanjunya di keluarkan oleh ferakan silia. 3. Pertahanan humoral 3.1 Komplemen Serum normal dapat memusnahkan dan menghancurkan beberapa bakteri negatif/gram. Komplemen terdiri atas sejumlah besar protein dan bila di aktifkan akan memberikan proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respon inflamasi. Komplemen dengan spektrum aktifitas yang luas diproduksi oleh hepatosit dan monosit. Komplemen dapat di aktifkan secara langsung oleh mikroba atau oleh antibodi. Komlemen berperan sebagai opsonin yang meningkatan fagositosis, sebagai faktor kemotaktik dan juga menimbulkan destruksi/lisis bakteri dan parasit. 3.2 Interferon. Interferon adalah sitokin berupa glikoprotein yang diproduksi oleh makrofag yang diaktifkan sel NK dan berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus dan dilepas sebagai respon terhadap infeksi virus. Sel NK memusnahkan sel terinfeksi virus interseluler sehingga dapat menyingkirkan sumber infeksi. Sel NK memberikan respon terhadap IL/12 yang diproduksi makrofag dan melepaskan IFN- yang kembali mengaktifkan makrofag untuk memusnahkan mikroba. IFN dapat di bagi dua tipe yaitu, tipe 1 yang terdiri atas IFN- yang disekresikan makrofag dan leukosit, IFN- disekresi vibroblas. IFN tipe 2 adalah IFN-(IFN imun) disekresi sel T setelah dirangsang oleh anmti gen spesifik IFN juga meningkat kan aktifitas sel T, makrofag, spresi MHC dan efek sitoksik sel NK. MHC berfungsi untuk mengikat peptida dalam presentasi ke sel T. 3.3 CRP( C-Reaktif protein) CRP merupakan salah satu protein fase akut yang kadarnya dalam darah dapat meningkat bila terjadi infeksi sebagain imunitas nonspesifik. CRP dapat meningkat 100 X atau lebih dan berperan pada imunitas nonspesifik dengan bantuan Ca2+ dapat mengikat berbagai molekul bakteri atau jamur.peningkatan sitensis CRP akan 12

meningkatkan viskositas plasma sehingga laju endap darah juga akan meningkat. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukan infeksi yang persisten. 4. Pertahanan seluler 4.1 Fagosit Walaupun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis, yang berperan utama dalam pertahanan nonspesifik adalah sel mononuklear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklear atau granulosit (neutrofil, eosinofil, dan basofil). Sel terseebut berperan sebagai penangkap antigen, mengolah dan selanjutnya mempresentasikan kepada sel T, yang di kenal sebgai sel penyaji atau APC. 4.2 Makrofag Monosit jumlahnya yang lebih sedikit dalam sirkulasi bermigrasi ke jaringan dan berdiferensiasi menjadi makrofag yang hidup dalam jarigan sebagai makrofag residen. Sel Kupfer adalah makrofag dalam hati, histiosit dalam jaringan ikat, sel glia di otak dan sel langerhans di kulit. 4.3 Sel NK Limfosit terdiri atas sel B, sel T, dan sel NK sel tersebut. Berfungsi dalam imunitas non spesifik terhadap virus dan sel tumor sel NK merupakan limfosit dengan granul besar. 4. 4 Sel mast. Berperan dalam reksi alergi yang dan juga pertahanan penjamu berbagai faktor non imun seperti latihan jasmani tekanan, trauma, panas dan dingin dapat mengaktifkan dan degranulasi sel mast. SISTEM IMUN SPESIFIK A. Sistem Imun Spesifik Humoral Limfosit B atau sel B berperan utama. Sel B berasal dari sel asal multipoten di sumsum tulang. Pada sumsum tulang, sel B akan berdiferensiasi menjadi sel B yang matang. Bila sel B dirangsang oleh benda asing, sel tersebut akan berproliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Sel B melepas antibodi untuk menyingkirkan mikroba ekstraselular. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan dalam serum. Fungsi utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralisasi toksinnya.

13

Pematangan sel B terjadi dalam beberapa tahap. Fase-fase pematangan sel B berhubungan dengan Ig yang diproduksi. Antibodi Molekul antibodi yang digolongkan dalam protein disebut globulin dan sekarang dikenal sebagai imunoglobulin. Dua cirinya yang penting adalah spesifitas dan aktivitas biologik. Imunoglobulin dibentuk oleh plasma yang berasal dari proliferasi sel B yang terjadi setelah kontak dengan antigen. Antibodi yang terbentuk secara spesifik akan mengikat antigen baru lainnya yang sejenis. Semua molekul imunoglobulin mempunyai 4 rantai polipeptida dasar yang terdiri atas 2 rantai berat dan 2 rantai ringan yang identik.

Kelas dan sifat imunoglobulin Ig1-4 Paling banyak ditemukan dalam cairan tubuh terutama Sifat ekstravaskular utama untuk memerangi mikroorganisme dan toksinnya IgA Ig utama dalam sekresi seromukosa untuk menjaga permukaan luar tubuh IgM Aglutinator yang sangat efektif dini pada respon imun. Pertahanan terdepan terhadap bakteri IgD Umumnya ditemukan pada permukaan limfosit IgE Pengerahan antigen anti mikrobial. Meningkat pada infeksi parasit. Berperan dalam gejala alergi atopi.

14

Opsonisasi Ditemukan ADCC imunitas dalam neonatal sekresi (asam lambung) Fungsi proteksi terhadap mukosa disekresikan dalam air susu Mononuklear, Limfosit, Ikatan limfosit, netrofil sel netrofil, trombosit Antigen

Mengikat komplemen Opsonin baik

Menimbulkan alergi, syok anafilaksis, pertahanan terhadap parasit

Limfosit, Reseptor reseptor sel sel B B

Sel mast, basofil, limfosit

Istilah antigen mengandung dua arti. Pertama untuk menggambarkan molekul yang memacu respon imun ( juga disebut imunogen ) dan kedua untuk menunjukkan molekul yang dapat bereaksi dengan antibody atau sel T yang sudah disensitisasi. Secara fungsional antigen dibagi menjadi imunogen dan hapten. Kompleks yang terdiri atas molekul kecil (disebut hapten) dan molekul besar (disebut molekul pembawa) dapat berperan sebagai imunogen. Hapten membentuk epitop pada molekul pembawa yang dikenal sistem imun dan merangsang pembentukan antibodi. Epitop adalah bagian dari antigen yang dapat membuat kontak fisik dengan reseptor antibodi, menginduksi pembentukan anibodi yang dapat diikat dengan spesifik oleh bagian dari antibodi atau oleh reseptor antibodi. Paratop adalah bagian dari antibodi yang mengikat epitop. B. Sistem Imun Spesifik Selular Limfosit T atau sel T berperan utama. Sel tersebut berasal dari sel asal yang sama seperti sel B. Pada orang dewasa, sel T dibentuk dalam sumsum tulang tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi di dalam kelenjar timus atau pengaruh berbagai faktor asal timus. 90-95% dari semua sel T dalam timus tersebut mati dan hanya 510% menjadi matang dan meninggalkan timus untuk masuk ke dalam sirkulasi. Faktor timus (timosin) dapat ditemukan dalam peredaran darah sebagai hormon asli dan dapat mempengaruhi diferensiasi sel T di perifer. Sel T terdirri atas beberapa sel subset dengan fungsi yang berlainan yaitu sel Th1, Th2, Tdth, CTL atau Tc, Ts atau 15

sel Tr atau Th3. Fungsi utama sistem imun spesifik selular adalah untuk pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraselular, virus, jamur, parasit dan keganasan. Yang berperan adalah sel CD4+ yang mengaktifkan sel Th1 yang selanjutnya mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba dan sel CD8+ yang memusnahkan sel terinfeksi. Perbedaan imunitas humoral dan spesifik

Perbedaan sel B dan sel T

Perbedaan Sel T dan Sel B

Kerja sama antara sistem imun nonspesifik dan spesifik Keduanya berinteraksi dalam menghadapi infeksi. Sistem imun nonspesifik bekerja dengan cepat dan sering diperlukan untuk merangsang sistem imun spesifik. Mikroba ekstraselular mengaktifkan komplemen melalui jalur lektin. Kompleks antigenantibodi mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik. Virus intraselular merangsang sel yang diinfeksinya untuk melepas IFN yang mengerahkan dan mengaktifkan sel

16

NK. Sel dendritik yang memakan antigen bermigrasi ke kelenjar getah bening dan mempresentasikan antigen ke sel T. Sel T bermigrasi ke tempat infeksi dan memberikan bantuan ke sel NK dan makrofag.

7. ILFILTRAT DAN SIKATRIKS KORNEA Infiltrat adalah timbunan sel-sel radang yang terdri dari sel mononuclear, sel plasma,

leukosit, sel polimorfonuklear dan fibrin pada kornea berupa bercak putih, abu-abu keruh, disertai tanda-tanda radang, terdapat edeme kornea, permukaan buram, tidak licin, pada infeksi purulen berwarna kuning, dengan batas tidak jelas. Dapat memberikan uji plasido positif. Sikatriks adalah jaringan parut pada kornea yang mengakibatkan permukaan kornea ireguler sehingga memberikan uji plasido positif. Terdapat beberapa bentuk sikatriks, yaitu: a) Nebula adalah kabut halus paa kornea yang sukar terlihat. b) Makula kekeruhan kornea yang berbatas tegas c) Leukoma adalah kekeruhan kornea yang berwarna putih padat

17

d) Leukoma adheren adalah kekeruhan kornea dengan menempelnya iris di dataran belakang.

Infiltrat

Sikatriks

8. PEWARNAAN GRAM

18

Pewarnaan Gram sangat berguna dalam disgnostik mikrobiologi. Seluruh specimen yang dicurigai adanya infeksi bakteri seharusnya diletakkan di object glass, dilakukan pewarnaan Gram, dan dilihat di bawah mikroskop. Gram positif memberikan warna ungu, sedangkan warna merah menunjukkan gram negatif. Selain itu morfologi dari bakteri juga dapat dilihat (kokus, batang, fusiform, dan lain-lain). Pewarnaan Gram tidak dapat mengidentifikasi spesies bakteri. Adanya kokus gram positif mengarahkan pada spesies Staphylococcus atau Streptococcus, tetapi tidak dapat menyeutkan spesiesnya secara definitif. Dengan pewarnaan Gram juga dapat dilihat adanya sel-sel radang monoklear dan polimorfonuklear yang dapat diidentifikasi dengan melihat jumlah inti dan jumlah lobus dalam inti dari masing-masing sel tersebut. Netrofil ( 1 inti terdiri dari 2-5 lobus), eosinofil (1 inti berlobus 2), basofil (berinti satu dengan sitoplasma berisi granul), limfosit (bulat besar menempati sebagian besar sel. sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin inti padat,Sitoplasma sedikit sekali,sedikit basofilik), monosit (inti berbentuk oval atau seperti ginjal, ada lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda).

19

9. KERATOPLASTI Transplantasi kornea (keratoplasti) diindikasikan bagi banyak kondisi kornea yang serius, misal parut, edema, penipisan, dan distorsi. Istilah keratoplasti penetrans berarti penggantian kornea seutuhnya; keratoplasti lamellar berarti penggantian sebagian dri ketebalan kornea. Donor lebih muda lebih disukai untuk keratoplasti penetrans; terdapat hubungan langsung antara umur dengan kesehatan dan jumlah sel endotel. Karena sel endotel sangat cepat mati, mata hendaknya diambil segera setelah donor meninggal dan segera dibekukan. Mata utuh harus dimanfaatkan dalam 48 jam, sebaikya dalam 24 jam. Media penyimpan modern memungkinkan penyimpanan lebih lama. Tudung korneasklera yang disimpan dalam media nutrient boleh dipakai sampai 6 hari setelah donor meninggal, dan pengawetan dalam media biakan jaringan dapat tahan sampai 6 minggu. Untuk keratoplasti lamellar, kornea itu dapat dibekukan, didehidrasi, atau disimpan dalam lemari es selama beberapa minggu; sel endotel tidak penting untuk prosedur ini. Teknik Mata penerima disiapkan dengan menghilangkan sebagian ketebalan kornea pada selingkaran kornea yang sakit dengan trephine penghisap (cooky cutter action) dan seluruh ketebalan kornea dengan gunting atau sebagian ketebalan dengan diseksi. Mata donor disiapkan dengan dua cara. Untuk keratoplasti peetrans tudung korneasklera diletakkan di atas blok Teflon dengan endotel menghadap ke atas; trephine ditekankan ke kornea, dan dikeluarkan sepotong kornea(tebal seluruhnya). Pada keratoplasti lamellar, dibuat insisi trephine sebagian tebal pada kornea bola mata utuh dan kancing lamellar dibebaskan. Mungkin diperlukan teknik penghalusan tertentu, seperti cangkokan tangan bebas. Tahun-tahun belakangan ini, benang dan peralatan yang diperhalus, dan mikroskop bedah serta sistem penerangan yang canggih, nyata-nyata memperbaiki prognosis pada semua pasien yang memerlukan transplantasi kornea. Kecocokan golongan darah tidak banyak artinya dalam bedah transplantasi kornea. Penolakan cangkokan kornea tetap merupakan masalah utama; demikian juga kesulitan mengendalikan astigmatisma pasca pencangkokan. Reaksi transplantasi kornea 20

Kenyataan bahwa penerima transplant konea umumnya dapat dapat mentoleransi tindakan tersebut dapat disebabkan oleh (1) tidak adanya pembuluh darah atau limfe di kornea normal, (2) tidak adanya prasenstisasi terhadap antigen-antigen spesifik jaringan di sebagian besar resipien, dan (3) dan deviasi imun didapat kamera okuli anterior. Ini adaah serangkaian sifat imunologik khas kamera okuli anterior, yakni yang terpenting dalah hipersensitivitas tipe lambat. Namun, reaksi terhadap transplant kornea tetap terjadi terutama pada individu yang korneanya sendiri pernah mengalami kerusakan akibat penyakit peradangan sebelumnya. Kornea tersebut mungkin telah membentuk pembuluh darah dan limfe, sehingga terdapat saluran aferan dan eferen untuk reaksi imunologik terhadap kornea yang ditransplantasi.

10. UVEITIS

21

Uveitis anterior (iritis) umumnya bersifat unilateral. Sedangkan uveitis intermediet

(siklitis) dan posterior (koroiditis) dapat bersifat bilateral.

22

DAFTAR PUSTAKA

1.

Reno Gustoviani. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Editor, Sudoyo AW, Alwi I, Setiati S, dkk. Jakarta: FKUI ; 2006. Hal 1879-81.

23

2.

Marulam M. Panggabean. Penyakit Jantung Hipertensi. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Editor, Sudoyo AW, Alwi I, Setiati S, dkk. Jakarta: FKUI ; 2006. Hal 1879-81.

3.

Braunwald,E. Harrisons Principles of Internal Medicne. Vol 2. 16th edition.USA: Mc Graw Hill; 2005. Davey Patrick. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga; 2005. hal. 138-39. Sherwood, L. Human Physiology from Cells to System. 5th Edition. USA: Thomson Brookscole: 2004. p 194-212. Bickley, LS. Bates Guide to Physical Examination and History Taking. 9th Edition. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins ; 2007. p 109-10. Baratawidjaja Karnen G. Imunologi Dasar. Edisi ke-7. Jakarta: FKUI; 2006. hal. 6-20. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Widya Medika; 2000. hal. 150-51, 359, 431. Ilyas Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta: FKUI; 2008. 2000. P. 208-14.

4. 5.

6.

7. 8. 9.

10. K. Lang Gerhard. Ophtalmology. A Short Textbook. New York : Thieme Stuttgart ;

11. Schlolte T, Rohrbach J. Pocket Atlas of Ophtalmology. New York : Thieme Stuttgart ;

2000.
12. Jawetz, Melnick, & Adelberg's Medical Microbiology, 24th Edition. The McGraw-Hill Companies: 2007.

24

Anda mungkin juga menyukai