Anda di halaman 1dari 13

TUGAS INDIVIDU 5 OKTOBER 2012

LAPORAN TUTORIAL MODUL 1 HEMIPARESE BLOK NEUROPSIKIATRI

DISUSUN OLEH : Nama Stambuk Kelompok Pembimbing : M. Adjis Rasyidi : 10 777 038 : 4 (empat) : dr. Isnaniah, Sp. S dr. Mohamad Zulfikar

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ALKHAIRAAT PALU 2012

BAB 1 PENDAHULUAN

MODUL 1 1.1 Skenario 4 : Hemiparese


Seorang laki-laki 38 tahun mengalami kejang yang di awali pada lengan kanan, kemudian berlanjut pada tungkai kanan lalu ke seluruh tubuh. Keadaan ini sudah di alami selama 3 bulan dan timbul kurang lebih 3 kali dalam sebulan.penderita juga mengeluh sering sakit kepala dan merasa canggung jika berjalan atau memegang sesuatu karena tangan dan kaki kanannya terasa lemah juga mengeluh penglihatannya gak kabur.

1.2 Kata kunci : 1.2.1 1.2.2 1.2.3 1.2.4 1.2.5 1.2.6 Laki-laki 38 tahun Kejang pada tungkai kanan & ke seluruh tubuh Dialami selama 3 bulan 7 timbul kurang lebih 3x dalam sebulan Sering sakit kepala dan merasa canggung jika berjalan Tangan & kaki kanannya lemah Penglihatan agak kabur

1.3 Pertanyaan : 1.3.1 Mengapa mengalami kejang yang di awali pada lengan kanan kemudian berlanjut pada tungkai kanan lalu ke seluruh tubuh ? 1.3.2 1.3.3 Mengapa penderita mengalami kelemahan pada ekstremitas ? Apakah jenis kelamin dan umur mempengaruhi penyakit tersebut ? 1.3.4 Bagaimana anatomi dan fisiologi yang berkaitan dengan skenario ? 1.3.5 1.3.6 1.3.7 Bagaimana mekanisme kejang ? Jelaskan ! Bagaimana mekanisme hemiparese ? Jelaskan! Apa yang menyebabkan penderita mengalami mata yang kabur ? 1.3.8 1.3.9 Apa diagnosis deferensial dari skenario tersebut ? Mengapa pasien sering mengalami sakit kepala dan merasa canggung ketika berjalan ?

1.4 Mind mapping TRAUMA Akut

DD - Epilepsi - Stroke - Tumor otak - Trauma - Infeksi

Kronis

INFEKSI

KLASIFIKASI

VASKULAR

HEMIPARESE

TUMOR

KEJANG
DIAGNOSA

UMUM

PARSIAL

- CT-SCAN - PA (PATOLOGI ANATOMI )

BAB 2 PEMBAHASAN

Statistik negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa trauma kapitis mencakup 26% dari jumlah segala macam kecelakaan, yang mengakibatkan seorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang. Kurang lebih 33% kecelakaan yang berakhir pada kematian menyangkut trauma kapitis. Di luar medan peperangan lebih dari 50% dari trauma kapitis terjadi karena kecelakaan lalu lintas, selebihnya dikarenakan pukulan atau jatuh. Orang-orang yang mati karena kecelakaan, 40% sampai 50% meninggal sebelum mereka tibadi rumah sakit. Dari mereka yang dimasukkan rumah sakit dalam keadaan masih hidup 40% meninggal dalam satu hari dan 35% meninggal dalam satu minggu perawatan. Jika kita meneliti sebab dari kematian dan cacat yang menetap akibat trauma kapitis, maka 50% ternyata disebabkan oleh trauma' secara langsung dan 50% yang tersisa disebabkan oleh gangguan peredaran darah sebagai komplikasi yang terkait secara tidak langsung pada trauma. Komplikasi itu berupa perubahan tonus pembuluh darah serebral, perubahan-perubahan yang menyangkut sistem kardiopulmo-nal yang bisa menimbulkan gangguan pada tekanan darah, PO2 arterial atau keseimbangan asam-basa. Trauma kapitis lebih sering terjadi daripada trauma tulang belakang. Struktur dan topografi kepala berbeda dari tulang belakang, maka dari itu mekanisme trauma kapitis dan trauma tulang belakang perlu dibahas secara tersendiri-sendiri. Trauma berarti luka atau jejas. Trauma bisa timbul akibat gaya mekanik, tetapi bisa juga karena gaya non-mekanik. Walaupun keba-

nyakan trauma bersifaP mekanik, namun adalah penting juga untuk sekaligus dibahas efek trauma non-mekanik terhadap susunan saraf, oleh karena masih belum mendapat perhatian yang semestinya. Tekanan positif dan negative

Tengkorak dapat dianggap sebagai kotak yang tertutup dengan tekanan dalamnya yang tidak boleh berubah-ubah. Tekanan intrakranial itu merupakan jumlah totai dari tekanan volume jaringan otak, volumme cairan serebrospinal dan volume darah intrakranial. Tekanan intrakranial yang merupakan suatu konstante (hukum Monroe-Kellie) itu, pada waktuwaktu tertentu mengalami lonjakan karena peningkatan volume salah satu unsur tersebut di atas itu. Misalnya, pada terjadinya edema screbri, tekanan intrakranial meninggi. Dengan mer.gurangnya volume darah intrakranial dan cairan serebrospinal, tekanan intrakranial bisa kembaii pada tekanan intrakranial yang semuia. Proses yang meninggikan tekanan intrakranial dan mekanisme korektifnya, kedua-duanya memakan waktu. Pada trauma kapitis, lonjakan tekanan intrakranial terjadi daiam milidetik, sehingga mekanisme kompensasi untuk nienurunkan tekanan intrakranial belum sempat bekerja. Maka, pada trauma kapitis bisa terdapat tekanan positif dan negatif setempat. Keadaan ini dijumpai pada trauma kapitis yang mengakibatkan indentasi, yaitu dampak yang menjadi cekung sejenak untuk menjadi rata kembaii seperti keadaan semula. Pada eksperimen, indentasi dapat diteliti dengan cermat. Pukulan yang cukup keras, namun yang belum mengakibatkan timbulnya fraktur pada tengkorak binatang percobaan, bisa menimbulkan identasi selama 5 mdetik. Kemudian, tempat yang cekung itu bergoyang naik turun (osilasi) tiga empat kali untuk selanjutnya menjadi rata kembaii seperti pada

keadaan sehat semuia dalam waktu 5 mdetik. Osilasi indentasi itu menimbulkan pada daerah di bawah tempat yang tertampar, tekanan positif yang berselingan dengan tekanan negatif. Tekanan positif mengakibatkan kompresi terhadap jaringan otak, sedangkan tekanan negatif bisa menyedot udara dari darah atau cairan serebrospinal, sehingga terjadi gelembung-gelembung udara yang mengakibatkan terjadinya lubang-lubang (kavitasi) pada jaringan otak.

Akselerasi dan de-akselerasi

Gerakan

cepat

yang

terjadi

secara

mendadak

dinamakan

akselerasi. Penghentian akselerasi secara mendadak dinamakan deakselerasi. Pada trauma kapitis, terdapat akselerasi dan de-akselerasi kepala. Kepala yang jatuh mengalami akselerasi. dan de-akselerasi terjadi pada waktu kepala terbanting pada tanah atau lantai. Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu (1) akselerasi tengkorak ke arah dampak dan (2) penggeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah dampak primer. Penggeseran otak merupakan hasil akselerasi tengkorak dan kelembaman otak. Apabila akselerasi kepala disebabkan oleh piikulan pada oksiput (gambar 112), maka pada tempat di bawah dampak terdapat (a) tekanan positif akibat indentasi ditambah dengan (b) tekanan positif yang dihasilkan oleh akselerasi tengkorak ke arah dampak dan penggeseran otak ke arah yang berlawanan. Sementara itu, di seberang tempat dampak terdapat (a) tekanan negatif akibat akselerasi kepala yang ketika itu juga akan ditiadakan oleh (b) tekanan positif yang diakibatkan oleh penggeseran seluruh otak. Maka dari itu, pada trauma kapitis, dengan dampak pada oksiput, gaya kompresi di bawah dampak adalah cukup besar untuk menimbulkan lesi. Lesi tersebut bisa berupa perdarahan pada permukaan

otak yang berben-tuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada dura mater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah dampak disebut lesi kontusio "coup" di seberang dampak tidak terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak terdapat lesi. Jika di situ terjadi lesi, maka lesi itu dinamakan lesi kontusio "corttrecoup". Apabila badan jatuh ke belakang dan oksiput terdampar pada lantai maka pada tempat dampak (seketika terjadi de-akse!erasi), didapati keadaan scbagai berikut: tekanan negatif selama kepala berakselerasi dan lekanan positif seketika terjadi deakseicrasi. Sehingga pada sisi dampak itu tidak tcrdapat gaya kompresi. Tetapi pada tempat di seberang dampak terdapat tekanan positif akibat akselerasi kepala ditambah dengan tekanan positif akibat penggeseran otak karena kelembaman.
:

Sumasi dari kedua tekanan positif itu bisa merupakan gaya kompresi yang destruktif, sehingga timbul lesi kontusio "corttrecoup".

Akselerasi linear dan rotatorik

Akselerasi kepala dan penggeseran otak yang bersangkutan, sebagaimana dibahas di atas bersifat linear. Maka dari itu lesi-lesi yang bisa terjadi dinamakannya juga lesi kontusio "coup" dan "contrecoup". Kepala yang berada di ujung leher, tentu saja tidak selalu mengalami akselerasi linear pada waktu terdampar atau jatuh. Bahkan akselerasi yang seringkali dialami oleh kepala akibat trauma kapitis iaiah akselerasi rotarik. Bagaimana caranya tekanan positif akibat akselerasi, deakselerasi dan penggeseran otak bersumasi, pada akselerasi rotatorik adalah sukar : untuk dijeiaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat, akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio "coup", "contrecoup"

dan "intermediate". Yang disebut lesi kontusio "intermediate" ialah lesi yang berada di antara lesi kontusio "coup" dan "contrecoup". Lesi kontusio sering terjadi pada tempat-tempat

sebagaimana.terlukis pada gambar 112. Di situ dapat dipelajari, bahwa gaya destruktif yang berkembang karena dampak, akselerasi kepala, serta penggeseran otak, menimbulkan lesi kontusio pada tempat-tempat yang tidak mempunyai fiksasi kuat dan pada tempat-tempat yang menggeresek seperti pada tepi ala magna sfenoid, krista gali, falks serebri dan tepi tentorium. Penggeseran otak pada akselerasi dan de-akselerasi linear serta rotatorik, bisa menarik dan memutuskan vena-vena yang menjembatani selaput araknoidea dan dura. Karena itu, perdarahan subdural akan timbul. Vena-vena tersebut dinamakan "bridging veins". Kebanyakan dari pembuluh darah tersebut berada di daerah sekitar fisura Sylvii dan 1 pada kedua belah sisi sinus sagitalis superior.

Kontusio serebri

Sebagaimana telah diuraikan di atas, lesi kontusio bisa terjadi tanpa adanya dampak yang berat. yang penting untuk terjadinya lesi kontusio iaiah adanya akselerasi kepala, yang seketika itu juga menimbulkan penggeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. "Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Karena itu otak membentang batang otak teriampau kuat, sehingga menimbulkan blokade reversibel terhadap lintasan asendens rctikularis difus. Akibat blokade itu otak tidak mendapat "input" aferen dan karena itu kesa-daran hiiang selama blokade reversibel berlangsung. Timbulnya lesi kontusio di daerah-daerah dampak ("coup"), "contrecoup" dan "intermediate", menimbulkan gejaia defisit neurologik, yang bisa berupa refleks Babinski yang positif dan kelumpuhan U.M.N. Setelali kesadaran pulih kembali, Penderita biasanya menunjukkan gambaran "organic brain syndrome". Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah serebrai terganggu, sehingga terdapat vasoparalisis. Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif ikut terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul. Kontusio serebri yang tidak teriampau berat bisa berakkir dengan kematian beberapa hari setelah mengidap kecelakaan. Pada umumnya, kematian tersebut tidak disebabkan oleh beratnya lesi kontusio tetapi karena komplikasi kardiopuimorial. Gangguan-gangguan di susunan kardiopidtncnul pada trauma kapitis bisa terjadi melalui mekanisme seperti berikut. Sistem vaskular bisa ikut terkena secara langsung karena perdarahan ataupun trauma langsung pada jantung. Sebagai reaksi

tubuh, volume sirkulasi ditambah dengan cairan yang berasal dari lingkungan ekstraselular. Keadaan ini bisa menjurus ke hemodilusi jika penderita diberi cairan melalui infus tanpa plasma atau darah. Gangguan yang akan menyusulnya ialah tekanan osmotik dan O2 (PO2) menurun. iKeadaan buruk ini akan lebih-lebih fatal, jika jantung ikut terkena trauma juga, sehingga "output" jantung menjadi kecil dan tekanan vena ,sentral meninggi. Komplikasi yang memperberat keadaan terlukis di atas disebabkan oleh berkembangnya asidosis. Penderita dengan kontusio serebri pada hari pertama masih tidak sadar, pernafasannya terganggu, refleks batuk dan menelan mungkin belum pulih juga. Karena keadaan yang tidak menguntungkan itu, mudah terjadi depresi pernafasan dengan bronkopneumonia aspirasi, sehingga P02 arterial menurun dan PC02 meningkat. Keadaan demikian mengakibatkan takikardia yang lebih memperburuk curah jantung lagi. Juga karena asidosis "blood brain barrier" mengalami kerusakan dan timbullah edema serebri, yang lebih mengurangi aliran darah ke otak. Gambaran klinis yang mencerminkan keadaan tersebut di atas ialah koma dengan tanda-tanda "shock" dan hiperpireksia. Penderita dengan kontusio bisa memperlihatkan sindrom metabolik lain, sebagai manifestasi ikut terkenanya hipotalamus. Jika otak tergeser, bisa terjadi traksi terhadap hipotalamus karena hipofise terfiksasi di dalam sela tursika, tetapi tangkainya bisa terbentang terlampau jauh. Karena itu produksi hormon antidiuretik (ADH) oleh bagian rostral dari hipotalamus, bisa menurun atau terhenti. Keadaan tersebut menurunkan ekskresi urine, menurunkan osmolalitas plasma dan menurunkan konsentrasi natrium dan klorida serum. Apabila natrium plasma menjadi kurang dari 115-118 mEKL, maka sel-se! otak sudah tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga timbul "confusion", apatia dan stupor bahkan korna. Gejala-gejala tersebut bisa disalahtafsirkan sebagai manifestasi

kerusakan otak akibat trauma kapitis, sedangkan gangguan yang sebenarnya tidak dikenai yaitu hiponatremia karena dilusi. Pada kasus yang lebih berat, dapat terjadi sindrom pasca kontusio (post contusion syndrome), yaitu gejala menetap, atau bahkan semakin menghebat sampai mencapai puncaknya 4-6 minggu kemudian dan baru kemudian menghilang setelah 2-4 bulan. Secara keseluruhan, dalam kurun waktu 1 tahun, hamper seluruh penderita telah pulih kembali seperti semula. Dalam keadaan yang berat, keadaan ini akan menyebabkan disabilitas bagi penderitanya yang melakukan aktivitas sehari-hari. Beberapa litelatur menyatakan pemberian amiriptilin 25-50 mg per hari dapat mengurangi gejala sakit kepala, depresi, dan insomnia. Dalam kenyataan presentasi klinisnya, pasien biasanya tiba di rumah sakit dalam keadaan telah sadar kembali. Walau demikian pasien dapat tampak seperti melamun dengan tatapan kosong, dan masih dalam keadaan konfusi, amnesia, dan mengeluh sakit kepala. Pasien yang mengalami pingsan sebaiknya dirawat untuk observasi selama minimal 24 jam, untuk terapi diberikan adalah terapi simtomatis sesuai keluhan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Mardjono, M. Sidharta, P. NEUROLOGI KLINIS DASAR. Jakarta : Dian Rakyat; 2010 2. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Ed 6. Jakarta: EGC; 2005. Vol 2. 3. Wahjoepramono, E.J., Cedera Kepala., Jakarta : PT. Deltacitra Grafindo., 2005. 4. Markam, Soemarmo., Penuntun Neurologi., Jakarta : Binapura Aksara.

Anda mungkin juga menyukai