Anda di halaman 1dari 11

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Terorisme pada pesawat udara atau dapat disebut sebagai terorisme udara merupakan salah satu bentuk tindak pidana atau bentuk kejahatan yang cukup serius terlebih lagi bila sampai memakan korban. Terorisme udara merupakan masalah pada aspek keamanan penerbangan. Pengertian terorisme sendiri banyak ragamnya tetapi dari pengertian kata dasarnya teror yaitu menimbulkan ketakutan kepada orang lain, atau dapat diambil kesimpulan pengertian terorisme adalah praktek-praktek tindakan teror; penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam mencapai suatu tujuan entah politik, uang, dan sebagainya. Dalam konteks ini maka pengertian terorisme udara merupakan segala usaha untuk melakukan tindakan teror pada wahana udara terutama sipil Tindakan ini dapat berupa tindakan kekerasan di dalam pesawat udara, pembajakan pesawat udara, sabotase terhadap pesawat udara, ataupun memasukan barang-barang berbahaya kedalam pesawat secara ilegal dengan tujuan membahayakan penerbangan, bahkan melakukan tindakan-tindakan terorisme yang mungkin hanya dapat terjadi pada film-film Hollywood seperti Die Hard 2 ataupun Critical Decission. Melihat definisi dan contoh diatas maka segala bentuk terorisme udara juga merupakan salah satu bentuk tindak pidana pada pesawat udara. Berbagai cara dilakukan untuk menekan sedemikian rupa untuk tindak kriminal ini. Baik oleh negara maupun dunia sangat mengutuknya, oleh karena itu dibentuklah hukum-hukum untuk memberikan hukuman yang sangat berat bagi pelaku terorisme udara, peningkatan kerjasama dengan negara lain unuk mencegah terorisme udara, dan bahkan pada negara-negara maju sudah diambil tindakan pencegahan seperti penetrasi dan penghancuran organisasi yang dicurigai sebagai pelaku dan otak terorisme udara. Oleh karena itu pihak-pihak yang berkaitan dengan masalah yang cukup meresahkan ini maka dibuatlah konvesi yang mengaturnya. Konvensi ini ada tiga yaitu Konvensi Tokyo tahun 1963, Konvensi Den Haag tahun 1970, dan Konvensi Montreal 1971. Konvensi ini diadakan untuk

mengatur tindak pidana pada pesawat udara dimana pada tiap konvensi melakukan berbagai macam perbaikan. Badan dunia seperti Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB juga membuat beberapa resolusi serta International Civil Aviation Organization (ICAO) dan International Air Transport Assosiation (IATA) mengeluarkan bentuk perjanjian serupa. Indonesia juga tidak ketinggalan membuat UU No.2 tahun 1976 dan No.4 tahun1976. Dalam makalah ini kita akan membahas mengenai salah satu dari ketiga konvensi tersebut yaitu Konvensi Den Haag tahun 1970 yaitu mengenai pemberantasan pembajakan pesawat secara ilegal.

B. Rumusan Masalah Dalam makalah ini saya akan menekankan kepada permasalahan berikut 1. Apakah isi atau batang tubuh dari Konvensi Den Haag 1970 ? 2. Bagaimanakah sejarah terbentuknya Konvensi Den Haag 1970 ?

BAB II PEMBAHASAN

A. ISI KONVENSI DEN HAAG 1970

Konvensi untuk Pemberantasan Pembajakan Pesawat secara Ilegal

Ditandatangani di Den Haag, pada 16 Desember 1970

(Konvensi Hague 1970)

Negara pihak pada konvensi ini, Mempertimbangkan bahwa pembajakan pesawat secara illegal atau perampasan kendali atas pesawat secara paksa mengancam keselamatan orang dan barang miliknya, berakibat buruk pada jasa penerbangan, dan merusak imej pernerbangan di mata dunia Menimbang bahwa terulangnya tindakan tersebut adalah masalah besar, Menimbang juga bahwa untuk mencegah tindakan tersebut terulang maka perlu dibuat pengaturan,

Telah setuju seperti di bawah ini :

Pasal 1 Setiap orang di dalam pesawat yang sedang terbang : 1. secara illegal, dengan kekuatan dan ancaman, atau bentuk-bentuk intimidasi lainnnya, menahan, atau mengambil kendali atas pesawat secara paksa atau mencoba melakukan hal tersebut; 2. sesuai dengan orang dapat dianggap melakukan kejahatan

Pasal 2 Setiap negara pihak wajib membuat agar kejahatan semacam itu dapat dihukum

Pasal 3 1. Untuk konvensi ini, sebuah pesawat dapat dikatakan berada dalam penerbangan saat semua pintunya tertutup sampai pintu itu terbuka lagi, dalam kasus pendaratan darurat penerbangan harus dihentikan sampai pihak yang berwenang datang untuk mengamankan situasi 2. Konvensi ini tidak berlaku bagi penerbangan militer dan pemerintah 3. Konvensi ini berlaku bagi penerbangan internasional 4. Konvensi ini tidak berlaku bagi negara-negara yang sesuai dengan Pasal 5 5. Pasal 6,7,8, dan 10 berlaku dimana saja

Pasal 4 1. Setiap Negara Pihak harus melakukan pengaturan untuk melindungi kedaulatannya terhadap kejahatan itu, di setiap kasus di bawah ini : 1. saat kejahatan itu dilakukan dalam maskapai yang terdaftar di negara tersebut 2. jika maskapai itu mendarat di negara yang bersangkutan 3. jika pemilik maskapai tersebut adalah warganegara negara tersebut 1. Setiap negara tidak wajib mengekstradisi pelaku kejahatan tersebut kepada negara-negara dalam pasal 8 ayat (1).. 2. Konvensi ini mencakup tindakan kriminal yang diatur juga oleh hukum nasional

Pasal 5 Setiap Negara Pihak yang menjalankan maskapai gabungan dengan negara lain wajib mendaftarkan maskapainya kepada International Civil Aviation Organization

Pasal 6 1. Setiap Negara Pihak dimana pembajak berada wajib menahan pembajak tersebut sesuai dengan hukum nasionalnya lalu mengikuti mekanisme ekstradisi sesuai dengan yang telah ditetapkan 2. Setiap Negara wajib melakukan penyelidikan terhadap fakta 3. Setiap pembajak yang ditahan wajib diberikan kesempatan berhubungan dengan negara asalnya
4

4. Setiap Negara yang menahan pembajak tersebut wajib memberitahu negara maskapai, negara pembajak, dan negara-negara lain yang berkepentingan bersama dengan laporan penyelidikan yang telah dibuat.

Pasal 7 Setiap negara yang tidak mengekstradisi pembajak wajib memproses kasus tersebut sesuai dengan hukum nasionalnya.

Pasal 8 1. Kejahatan tersebut wajib dikualifikasikan sebagai kejahatan dalam setiap perjanjian ekstradisi antara Negara Pihak. 2. Jika tidak ada perjanjian ekstradisi di antara Negara Pihak maka Konvensi ini dapat dijadikan dasar. 3. Kejahatan ini wajib dimasukkan dalam perjanjian ekstradisi

Pasal 9 1. Jika kejahatan ini diindikasikan ada atau telah ada maka Negara Pihak diwajibkan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengambil kendali atas pesawat dan mengembalikannya kepada pemiliknya atau dengan tetap menjaga kendali pemiliknya. 2. Jika ada penumpang dan barang di dalamnya maka Negara Pihak wajib mengembalikan mereka pada tempatnya.

Pasal 10 1. Dalam menjalankan Konvensi ini Negara Pihak harus melakukan kerjasama. Hukum nasional bisa diberlakukan dalam kasus ini. 2. Substansi konvensi ini tidak boleh menggangu Konvensi dan traktat lainnya.

Pasal 11 1. Setiap Negara Pihak sesuai dengan hukum nasionalnya wajib melaporkan kepada International Civil Aviation Organization setiap informasi yang berkaitan dengan :
5

1. situasi kejahatan 2. tindakan-tindakan yang diambil untuk memperlancar kejahatan sesuai dengan Pasal 9 3. setiap tindakan yang diambil atas kejahatan tersebut, baik penyelesaiannya maupun ekstradisinya.

Pasal 12 1. Setiap sengketa antara Negara Pihak menyangkut perbedaan penafsiran atas konvensi ini dan tidak bisa diselesaikan dengan negosiasi wajib membawanya kepada mekanisme arbitrase. Jika belum selesai dalam waktu 6 bulan, dapat dibawa ke Mahkamah Internasional. 2. Setiap negara Pihak dibolehkan melakukan reservasi dalam Konvensi ini 3. Setiap Negara Pihak yang telah melakukan reservasi dapat mencabut kembali reservasinya.

Pasal 13 1. Konvensi ini terbuka untuk penandatanganan di Den Haag pada tanggal 16 Desember 1970, oleh negara yang berpartisipasi dalam Konferensi Internasional mengenai Hukum Udara yang diadakan di Den Haag pada tanggal 1 sampai 16 Desember 1970 (selanjutnya disebut sebagai Konferensi Den Haag). Setelah 31 Desember 1970, Konvensi ini terbuka untuk semua negara menandatanganinya di Moskow, London dan Washington. Setiap negara yang tidak menandatangani konvensi ini sebelum berlaku efektif sesuai dengan ayat 3 pasal ini bisa menyetujuinya kapan saja. 2. Konvensi ini harus diratifikasi setelah ditandatangani. Instrumen ratifikasi dan aksesi harus dikirimkan kepada Pemerintah Uni Sovyet, Inggris Raya dan Irlandia Utara, dan Amerika Serikat, yang dalam Konvensi ini disebut Negara Penyimpan. 3. Konvensi ini akan berlaku efektif 30 hari setelah penyimpanan instrumen ratifikasi oleh negara-negara penandatangan Konvensi ini yang ikut dalam Konferensi Den Haag. 4. Untuk negara lain, Konvensi ini akan berlaku efektif sesuai dengan aturan dalam pasal 3, atau 30 hari setelah penyimpanan instrumen ratifikasi atau aksesi, tergantung mana yang duluan.

5. Negara Penyimpan wajib memberitahu semua penandatanganan dan persetujuan negaranegara pada tanggal penandatanganan, tanggal penyimpanan instrument ratifikasi atau aksesi, tanggal berlakunya efektif Konvensi ini, dan catatan lainnya. 6. Secepatnya setelah Konvensi ini berlaku efektif, itu harus didaftarkan oleh Negara Penyimpan sesuai dengan pasal 102 Piagam Persatuan Bangsa-Bangsa dan pasal 83 Konvensi Internasional tentang Penerbangan Sipil. (Chicago, 1944).

Pasal 14 1. Setiap Negara Pihak dapat menarik diri dari Konvensi ini dengan melakukan pemberitahuan lebih dahulu kepada Negara Penyimpan. 2. Penarikan akan berlaku efektif setelah 6 bulan diterimanya pemberitahuan oleh Negara Penerima.

Dengan disaksikan oleh duta Besar yang berkuasa penuh, yang dikuasakan oleh Pemerintahnya, telah menandatangani Konvensi ini.

Dilakukan di Den Haag, 16 Desember 1970, dengan 3 naskah asli, setiap naskahnya diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Perancis, Rusia dan Spanyol.

B. SEJARAH KONVENSI DEN HAAG 1970 Ditandatangani di Den Haag, pada tanggal 16 Desember 1970. Berisi 14 artikel berkaitan dengan konstitusi pembajakan dan garis pedoman untuk apa yang diduga pemerintah saat bernegosiasi dengan pembajakan. Konvensi tersebut tidak mempergunakan bea cukai, penyelenggaraan hukum atau pesawat militer. Kemudian, bidang dari konvensi tersebut muncul mencakup pesawat sipil secara eksklusif. Pentingnya, konvensi tersebut hanya berlaku apabila sebuah pesawat lepas landas atau mendarat di tempat yang berbeda dari registrasinya. Untuk pesawat dengan registrasi bersama, satu negara didesain sebagai negara registrasi untuk tujuan konvensi tersebut.

Konvensi ini diadakan karena timbulnya kelemahan pada Konvensi Tokyo terlebih lagi perkembangan tindak pidana seperti melebarnya dimensi perbuatan pembajakan terhadap pesawat udara yang dulunya sangat terbatas menjadi suatu bentuk kejahatan yang sangat mengganggu dan membahayakan penerbangan sipil pada lingkungan Internasional yang berhubungan dengan keamanan masyarakat Internasional dengan ideologi dan politik yang berbeda-beda. K. Martono mengatakan bahwa konvensi Den Haag memiliki lingkup keberlakuan lebih luas, dan juga memiliki ketentuan tentang ekstradisi yang lebih tegas dibandingkan Konvensi Tokyo. Selain itu ketentuan di dalamnya juga memperbaharui definisi tindakan pembajakan dalam pesawat udara dan mengamanatkan pula hukuman yang berat bagi pelakunya kepada negaranegara peratifikasi. Sayangnya hukuman yang berat ini tidak didefinikasikan dalam konvensi ini, hal mana yang disesalkan oleh beberapa kalangan, dan menciptakan suatu ketidakseragaman dalam penghukuman bagi pelaku di masing-masing Negara peratifikasi Perbedaan yang mencolok dari definisi ini dibandingkan yang dimiliki Konvensi Tokyo adalah adanya penambahan ketentuan bahwa seseorang yang membantu terjadinya pembajakan pesawat udara, dianggap melakukan tindak pidana yang sama dengan orang yang dibantunya. Tindakan bantuan atau ikut serta membantu pembajakan udara dapat dilakukan oleh orang atau badan hukum yang berada di darat, misalnya terjadi komunikasi antara pembajak dengan menara pengawas, kemudian orang atau badan hukum tersebut menginstruksi pengawas lalu lintas udara atau penerbangnya agar memenuhi pemintaan pembajak dengan ancaman secara fisik maupun ancaman secara non fisik. Hal ini terjadi pada pembajakan pesawat udara yang dicarter oleh Ben Bella dalam tahun 1956 dalam penerbangannya dari kairo ke tunisia, sewaktu pesawat udara terbang di laut lepas, awak pesawat udara d instruksikan oleh pemerintah perancis oleh hubungan radio agar pesawat udara didaratkan di Aljazair1 Sama halnya seperti Konvensi Tokyo, konvensi inipun menyimpan kelemahan. Satu diantaranya adalah Konvensi Deg Haag ini tidak mengkriminalisasikan kejahatan penyabotasean suatu pesawat udara. Kebutuhan pemidanaan atas kejahatan sabotase ini makin mendesak manakala pembajakan atas pesawat udara berkurang tetapi angka sabotase terhadap fasilitas Bandar udara
1

Martono K., Pembajakan Udara (aircraft hijaking):pidato ilmiah dibacakan pada Lustrum VII Universitas Islam Jakarta, 1987.halaman 13,tidak diterbitkan

dan peledakan pesawat udara dengan bom yang didesain meledak pada saat pesawat udara terbang makin meningkat. Namun hal ini akan diperbaiki lewat Konvensi Montreal. Konvensi ini juga terkenal dengan nama konvensi mengenai hijacking pesawat udara (unlawful seizure of aircraft) atau dalam bahasa Indonesia pembajakan pesawat udara. Pada Pasal 1 Konvensi Den Haag memberikan batasan mengenai pembajakan pesawat udara, yaitu apabila orang tersebut telah melakukan tindakan pidana dalam pesawat udara yang sedang dalam penerbangan sebagai berikut: Ayat a : unlawfully, by force or threat thereof, or by any other form of intimidation, seizes, or exercises control of, that aircraft, or attempts to perform any such act ,or Ayat b : is an accomplice of a person who performs or attempts to perform any such act. Terlihat jelas bahwa Konvensi Den Haag hanya mengkhususkan tindak pidana penguasaan pesawat udara secara melawan hukum dengan jalan kekerasan atau ancaman kekerasan. Sedangkan pada bidang yurisdiksinya pada Konvensi Den Haag menghendaki negara-negara anggota memiliki yurisdiksi bilamana : a) Kejahatan dilakukan didalam pesawat udara yang didaftarkan di negara yang bersangkutan. b) Pesawat udara terhadap dari mana dilakukan pembajakan, mendarat diwilayahnya dengan pembajak berada didalam pesawat tersebut. c) Kejahatan dilakukan terhadap pesawat udara yang disewakan (tanpa awak) kepada seseorang yang mempunyai domisili di negara tersebut. Yuridiksi pada konvensi ini menetapkan yurisdiksi pertama ditentukan oleh negara dimana pesawat udara mendarat dan adanya pembajak didalam pesawat udara. Menurut pasal 1 Konvensi Den Haag 1970 berlaku terhadap tindak kejahatan yang dilakukan oleh orang (natural person) di dalam pesawat udara. Berdasarkan pasal tersebut, siapa pun orang (natural person) yang ada di dalam pesawat udara baik penumpang gelap 2, maupun penumpang resmi, awak kabin (cabin crew), awak ruang kemudi (cockpit crew), awak pesawat udara

Penumpang gelap adalah penumpang pesawat udara yang tidak dilindungi oleh dokumen transportasi udara

cadangan (extra crew),3 semua berpotensi untuk menjadi pembajak. Pembajakan udara yang dilakukan oleh awak pesawat udara adalah terjadi pada tanggal 6 april 1948. 3 orang dari 17 pembajaknya adalah awak pesawat udara sebagai penerbang maupun awak kabin. Pembajakan udara jenis ini biasanya motif pengungsian yang mencari tempat tinggal baru yang dianggap sesuai dengan sistem politik dan sosialnya.

Awak pesawat udara cadangan (extra crew) adalah awak pesawat udara yang belum bertugas, mereka akan ditugaskan pada jadwal dan rute yang lain

10

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Ditandatangani di Den Haag, pada tanggal 16 Desember 1970. Berisi 14 artikel berkaitan dengan konstitusi pembajakan dan garis pedoman untuk apa yang diduga pemerintah saat bernegosiasi dengan pembajakan. Konvensi ini diadakan karena adanya kelemahan dari konvensi tokyo, dalam konvensi ini juga memperbaharui definisi tindakan pembajakan dalam pesawat udara dan mengamanatkan pula hukuman yang berat bagi pelakunya kepada negara-negara peratifikasi. Perbedaan yang mencolok dari definisi ini dibandingkan yang dimiliki Konvensi Tokyo adalah adanya penambahan ketentuan bahwa seseorang yang membantu terjadinya pembajakan pesawat udara, dianggap melakukan tindak pidana yang sama dengan orang yang dibantunya. Penafsiran Konvensi ini menggunakan penafsiran gramatikal. Konvensi ini adalah Konvensi multilateral. Tidak adanya pengaturan mengenai amandemen dalam Konvensi ini perlu dijadikan catatan. Perjanjian ekstradisi menjadi salah satu mekanisme yang diberikan dalam Konvensi ini. Mengingat banyaknya aksi terorisme di udara maka patutlah dibuat pengaturannya. Contoh kasus nyata adalah pembajakan pesawat pada peledakan gedung WTC yang menewaskan ribuan orang dan berlanjut kepada invasi Amerika Serikat ke Afganistan. Untuk mencegah hal ini berulang maka Konvensi ini harus diaati bagi negara-negara yang menandatanganinya. Bagi yang belum, ratifikasi adalah pilihan bijak.

B. Saran Walaupun Konvensi ini memiliki kekurangan dan masih butuh penyempurnaan, tetapi Konvensi Den Haag 1970 ini sudah melengkapi konvensi sebelumnya, Konvensi ini patut diratifikasi karena akan menguntungkan dalam hal kerjasama antar negara dalam memberantas aksi terorisme dalam pesawat.

11

Anda mungkin juga menyukai