Anda di halaman 1dari 4

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Secara umum tanah dasar atau subgrade adalah lapisan tanah yang merupakan

permukaan terbawah suatu konstruksi perkerasan jalan raya atau landasan pacu pesawat terbang. Tanah dasar harus mempunyai kapasitas dukung yang baik serta mampu mempertahankan perubahan volume selama masa pelayanan. Subgrade dapat berupa tanah asli yang dapat di padatkan jika tanah aslinya tergolong baik dan tanah yang didatangkan dari tempat lain kemudian dipadatkan atau tanah yang distabilisasi dengan bahan tambah (additve). Fungsi tanah dasar (subgrade) adalah menerima tekanan akibat beban lalu lintas yang ada di atasnya sehingga harus mempunyai kapasitas dukung yang optimal dan mampu menerima gaya akibat beban lalu lintas tanpa mengalami perubahan dan kerusakan yang berarti. Salah satu jenis tanah yang dianggap kurang baik sebagai tanah dasar pada konstruksi jalan adalah tanah lempung atau tanah lunak. Masalah utama yang sering muncul pada tanah lempung adalah karena mempunyai sifat sangat dipengaruhi gayagaya permukaan serta sangat mudah mengembang oleh tambahan kadar air. Tanah lempung atau tanah lunak yang ada di Indonesia tersebar hampir diseluruh wilayah propinsi di Indonesia. Namun pada kenyataannya, bangunan yang paling sering terpaksa harus dibangun di atas tanah lempung adalah konstruksi jalan raya. Tanah dasar (subgrade) jalan mengalami kerusakan yang disebabkan oleh adanya penurunan (settlement) dan daya dukung tanah yang rendah sehingga tidak jarang bangunan jalan diatas tanah ini memiliki permukaan yang mudah bergelombang. Jalan kelas I yang dibangun diatas tanah lempung pun tidak dapat terhindarkan dari kerusakan dan kondisi ini sangat membahayakan. Salah satu cara penanganan agar tidak mengalami kerusakan adalah dengan mengganti tanah dasar (subgrade) dengan tanah yang lebih baik, memiliki daya dukung tanah yang tinggi dan sifat kembang susut yang rendah. Namun hal ini memakan biaya yang cukup besar. Pilihan lain sebagai jalan penyelesaian adalah dengan

stabilisasi tanah dengan cara dipadatkan atau mencampurkan bahan lain yang sifatnya dapat menguatkan struktur tanah. Stabilisasi dapat berupa menambahkan bahan tambah sebagai penguat pada tanah yang tidak baik tersebut. Bahan tambah yang biasa digunakan adalah semen portland, kapur, pasir, ataupun abu sekam padi. Peneliti yang dilakukan saat ini mencoba memanfaatkan abu vulkanik Gunung Merapi yang sebagai bahan tambah dalam stabilisasi tanah lempung jalan bypass Tegal - Brebes. Penelitian ini juga menggunakan kapur dari unit usaha pengolahan kapur padam di desa Gamping, Bantul, Yogyakarta sebagai bahan tambah selain menggunakan abu terbang vulkanik Gunung Merapi. Pemanfaatan material sisa letusan Merapi pada 5 November 2010 belum memiliki banyak variasi. Pasir, kerikil, dan batu besar Merapi biasa dimanfaatkan untuk bahan baku konstruksi di daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Bahkan tidak jarang material material tersebut dibawa hingga kota yang jaraknya cukup jauh dari Yogyakarta. Namun hal ini tidak berlaku untuk abu vulkanik. Abu vulkanik yang dimuntahkan oleh Gunung Merapi tidak banyak dimanfaatkan. Abu vulkanik yang jatuh, di permukaan tanah hanya dibiarkan begitu saja, karena dipercaya mengandung unsur yang dapat menyuburkan tanah sehingga baik untuk tanaman. Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) Yogyakarta (1994, dalam Usman, 2008) telah menganalisis, bahwa abu vulkanik Merapi mengandung SiO2 sebesar 54,61%. Kandungan SiO2 merupakan unsur penyusun utama dalam pembentukan semen, dengan demikian abu vulkanik memiliki sifat pozolanik. Sifat pozolanik memiliki perilaku mengikat mineral lain yang ada di lempung sehingga menjadi semakin keras dalam jangka waktu tertentu.

1.2

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. mengetahui kandungan kimia dan mineral yang terkandung dalam lempung dan abu vulkanik, 2. mengetahui dan mempelajari pengaruh penggunaan campuran abu terbang vulkanik (volcanic fly ash) dan kapur, dengan kadar yang bervariasi terhadap tanah lempung asli,

3. mengetahui apakah campuran abu terbang vulkanik dan kapur dapat digunakan sebagai bahan stabilisasi tanah lempung yang digunakan sebagai subgrade jalan Tegal-Brebes bypass, 4. mengetahui variasi campuran optimum campuran abu terbang vulkanik dan kapur yang digunakan terhadap stabilisasi sifat-sifat mekanis tanah.

1.3

Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai pedoman dalam penyelesaian

masalah tanah lempung ekspansif serta pemanfaatan campuran abu terbang vulkanik dan kapur dalam pembangunan, dalam kasus ini pemanfaatan dalam pekerjaan stabilisasi tanah dasar pada bangunan jalan raya.

1.4

Batasan Masalah

Beberapa batasan masalah dalam penelitian ini antara lain yaitu : 1. Tanah yang digunakan berupa tanah lempung yang berasal dari Proyek TegalBrebes Bypass PT Bumirejo, tanpa dilakukan perlakuan khusus atau kondisi terganggu (disturbed) dan kondisi tidak terganggu (undisturbed) untuk di-uji tekan bebas. 2. Bahan stabilisasi yang digunakan adalah abu vulkanik yang jatuh di Dusun Glagahmalang, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. 3. Abu vulkanik yang digunakan telah lolos saringan no. 270. 4. Kapur yang digunakan merupakan kapur jenis kapur padam (CaOH2) yang diolah di kecamatan Gamping, Bantul, D.I. Yogyakarta. 5. Komposisi campuran, terdiri dari : tanah, abu vulkanik, dan kapur. Penambahan persentase abu vulkanik sebesar 30%, 35%, 40%, 45%, dan 50% dari berat kering tanah, dengan kadar kapur tetap sebesar 9% dari berat kering tanah. 6. Berat kering tanah yang dimaksud adalah tanah dalam kondisi kering setelah dijemur dibawah sinar matahari selama 4 - 5 hari dan telah lolos saringan no.4.

7. Pengujian yang dilakukan terdiri dari : a. uji difraksi sinar-X (Uji XRD) di Laboratorium Geologi Terpadu JTG FT UGM (Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada) untuk mengetahui mineral tanah lempung dan abu vulkanik dalam kondisi asli belum melewati proses penyaringan terlebih dahulu, b. uji leaching dengan metode AAS (Atomic Absorption Spectroscopy) di Laboratorium Kimia Analitik FMIPA UGM (Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada) terhadap tanah lempung dan abu vulkanik dalam kondisi asli belum melewati proses penyaringan terlebih dahulu, c. uji pemadatan dengan Proctor modified yang dilakukan secara manual, d. uji kuat tekan bebas (masa perawatan selama 14 hari), e. uji daya dukung tanah, CBR (California Bearing Ratio) rendaman (soaked), dengan masa perawatan 14 hari, f. uji potensi pengembangan (swelling) dilakukan bersamaan dengan pengujian CBR rendaman, g. uji SEM (Scanning Electron Microscophy) di Laboratorium Geologi Kuarter PPGL (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan), Bandung terhadap tanah lempung, abu vulkanik dalam kondisi asli belum melewati proses penyaringan terlebih dahulu dan tanah campuran optimum. 8. Air yang digunakan diambil dari saluran air bersih di Laboratorium Mekanika Tanah Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan FT UGM.

Anda mungkin juga menyukai