Anda di halaman 1dari 13

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Kelainan septum yang paling sering ditemukan ialah deviasi septum, hematoma septum, dan abses septum. Bentuk septum normal ialah lurus ditengah rongga hidung, tetapi pada orang dewasa biasanya septum tidak lurus sempurna digaris tengah. Deviasi septum memiliki nilai yang signifikan karena cukup berpengaruh terhadap sebagian masalah rinologis. Akan tetapi, gambaran yang paling sering kita gunakan untuk mendeskripsikannya seperti; severe septal deviation to right atau left septal spur didasari pada penilaian subjektif dan tidak menunjukkan gambaran morfologi dan lokasi dari deviasi septum yang tepat.1,2 Derajat yang bervariasi dari deformitas septum nasi terjadi pada saat lahir dan diperkirakan meningkat dengan pertambahan pertumbuhan dan usia. Hal ini dapat disebabkan oleh trauma pada saat kelahiran paksa atau pengeluaran fetus pada jalan lahir yang sempit atau trauma yang tidak disengaja.2 Berdasarkan Journal of Pharmacheutical Sciences and Research di Pakistan pada tahun 2011, didapati dari 25 pasien deviasi septum nasi 58% terjadi pada laki-laki dan 12% terjadi pada perempuan. Hal ini disebabkan oleh trauma kecelakaan yang sering terjadi pada laki-laki. Dari studi ini juga didapati pada 76% kasus disebabkan oleh trauma dan 24% kasus disebabkan oleh trauma pada saat lahir.

1.2 Tujuan Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang otosklerosis sehingga dapat melakukan deteksi, diagnosis, dan penatalaksanaan yang baik. Selain itu, Referat ini bertujuan untuk melengkapi tugas di Departemen Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorokan - Kepala Leher, Rumah Sakit Umum Daerah Embung Fatimah Batam.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung yang bagian luar berbentuk piramid yang terdiri dari pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yaitu; sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior dan tepi anterior kartilago septum.1 Rongga hidung atau kavum nasi kanan atau kiri dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengah. Lubang masuk bagian depan disebut nares anterior dan bagian belakang disebut nares posterior atau koana yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Tepat dibelakang nares anterior terdapat vestibulum yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.Tiap kavum nasi mempunyai 4 dinding; dinding medial, lareral, inferior, posterior. Dinding medial terdiri dari septum nasi. Dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu; konka inferior, konka media, konka superior, dan konka suprema (konka rudimenter). Diantara konka-konka dan dinding lateral terdapat rongga sempit yang disebut meatus.1 Hidung bagian luar menerima suplai darah dari arteri fasial yang berasal dari arteri carotis eksterna dan dari arteri oftalmika yang berasal dari arteri carotis interna. Hidung bagian dalam menerima darah dari arteri carotis interna dan arteri carotis eksterna; cabang terminal dari arteri spenopalatina yang berasal dari arteri maksilaris dan arteri eitmoidalis anterior dan posterior yang berasal dari arteri oftalmika. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri eitmoidalis anterior, arteri labialis superior, dan arteri palatina mayor yang disebut pleksus kieseelbach (littles area). Vena-vena hidung memiliki nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.1,5

Gambar II: anatomi dinding lateral hidung

2.2 Definisi dan Etiologi Tidak ada definisi standar deviasi septum, tapi biasanya deviasi septum mengarah kepada konveksitas septum ke satu sisi dengan adanya deformitas dari struktur midline. Deviasi septum merupakan bengkoknya atau berlekuknya septum nasi yang diakibatkan oleh trauma atau kongenital.5,6 Pada pasien dengan deviasi septum nasi, biasanya terdapat riwayat trauma nasal atau midfasial yang merupakan sumber awal perubahan anatomi hidung. Penempatan forsep yang tidak tepat atau kelahiran melalui panggul yang sempit dapat menyebabkan deviasi septum pada tahap perkembangan awal anatomis. Trauma dapat merubah anatomi secara eksternal, seperti tulang hidung, atau secara internal kartilago bagian atas ataupun kombinasi keduanya. Deviasi internal dapat disebabkan oleh perubahan tunggal atau multipel terhadap porsi tulang keras ataupun tulang rawan dari septum, akan tetapi perubahan dari tulang keras jarang terjadi. Penyebab lain dari deviasi septum adalah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi terus tumbuh meskipun batas superior dan inferior telah menetap.1,7

2.3 Epidemiologi Deformitas septum nasi memiliki derajat yang bervariasi. Berbagai penelitian epidemiologis mengenai prevalensi deviasi septum nasi pada manusia telah dilakukan pada berbagai kelompok usia dengan klasifikasi yang bervariasi. Belum adanya sistem klasifikasi yang dapat diterima secara universal masih

menimbulkan perdebatan. Berdasarkan jenis kelamin rasio laki-laki dan perempuan adalah 1,8: 1 dengan insidensi tertinggi pada kelompok usia 20 - 40 tahun. Sekitar 89% pasien dengan fraktur nasal setelah trauma kebanyakan di diagnosis dengan deviasi septum yang telah lama.2,4

2..4 Klasifikasi Beberapa sistem klasifikasi telah diajukan cottle membagi septum nasi menjadi 5 bagian area yaitu; vestibular, valvar, turbinal, attic dan area koana posterior. Dia juga membagi deviasi septum menjadi 3 tipe berdasarkan tingkat keparahan yaitu; deviasi sederhana, obstruksi dan impaksi. Mladina

memperkenalkan metode objektif untuk mengklasifikasikan deviasi septum nasi. Mladina menyatakan terdapat 7 klasifikasi deviasi septum nasi yaitu;2 a. Tipe 1 deviasi anterior ringan yang tidak mengganggu fungsi Terdapat celah unilateral di region katup nasal yang tidak menyebar ke seluruh septum dan tidak kontak langsung dengan dinding lateral. b. Tipe 2 deviasi vertical anterior yang mengganggu fungsi Terdapat celah vertical unilateral yang kontak langsung dengan area katup nasal c. Tipe 3 deviasi vertical posterior Terdapat celah unilateral disebelah puncak turbinate bagian tengah d. Tipe 4 septum bentuk S Terdapat celah vertikal bilateral, ini merupakan kombinasi dari tipe 2 dan 3 e. Tipe 5 spur horizontal Spur ini hampir selalu menyentuh dinding nasal lateral dengan atau tanpa deviasi tinggi ke sisi lain f. Tipe 6, tipe 5 dengan potongan horizontal yang dalam di sisi lain g. Tipe 7, septum rusak (mengkerut): kombinasi lebih dari satu tipe

Gambar IV: Tipe deviasi septum menurut Mladina

Departement of

Otolaringology Asan Medical Center, South Korea

klasifikasi deviasi septum difokuskan pada deformitas dorsal yang tampak dari depan dan tidak menggabungkan deformitas caudal hidung pada sistem klasifikasi ini, mereka mengklasifikasikan kedalam 5 tipe:3 a. Tipe 1: piramida tulang yang miring dengan kubah tulang rawan miring ke arah sebaliknya b. Tipe 2: piramida tulang yang miring dengan kubah tulang rawan berbentuk cekung atau cembung c. Tipe 3: piramida tulang yang lurus paralel terhadap garis tengah wajah dan kubah tulang rawan yang miring d. Tipe 4: piramida tulang yang lurus paralel terhadap garis tengah wajah dan kubah tulang rawan yang bengkok e. Tipe 5: piramida tulang yang miring dengan pangkal tulang rawan yang miring ke arah yang sama

2.5 Gejala Klinis Keluhan yang paling sering pada deviasi septum adalah sumbatan hidung. Sumbatan hidung biasanya unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat konka hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi, sebagai mekanisme kompensasi. Keluhan lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan disekitar mata. Selain itu, penciuman dapat terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum. Deviasi septum juga dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Spur septal yang besar hingga menyebabkan kontak dengan turbinate inferior dapat menyebabkan timbulnya epistaksis.3,5,7

2.6 Diagnosis Deviasi septum biasanya sudah dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik langsung. Namun, diperlukan juga pemeriksaan radiologis untuk menegakkan diagnosis pasti. Dari anamnesa didapatkan sumbatan hidung yang biasanya unilateral, terkadang bilateral, selain itu didapati nyeri kepala, gangguan penciuman, dan epistaksis. Dari pemeriksaan fisik didapat bentuk hidung yang asimetri. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior dapat dilihat penonjolan septum ke arah deviasi, hal ini dapat dilihat pada deviasi yang berat. Pada deviasi ringan biasanya lebih terlihat normal. Temuan yang kita dapat dari pemeriksaan fisik bersifat subjektif dan rentan mengalami bias. Pengukuran yang objektif sering tidak berkorelasi dengan gejala-gejalanya.1,5,6 Selain tanda-tanda yang dijumpai pada pemeriksaan fisik, mukosa yang robek dapat juga disebut sebagai fraktur septal dimana ditemukan kebanyakan pasien memiliki deviasi septum yang sudah lama tanpa adanya robekan mukosa atau perdarahan permukaan septum dan gangguan mobilitas septum. Untuk pemeriksaan fisik yang lebih dalam dapat digunakan endoskopi, yang dapat menilai perubahan morfologi dari septum nasi. Untuk menentukan derajat sumbatan hidung yang terjadi akibat deviasi septum dapat menggunakan rinomonometri.5,6 CT-Scan dapat digunakan untuk evaluasi struktur paraseptum dan penyakit sinus yang kronis yang berhubungan dengan deviasi septum dimana terdapat peningkatan keparahan penyakit sinus bersamaan dengan peningkatan sudut dari deviasi septum. CT-Scan juga dapat menunjukkan adanya suatu asosiasi deviasi septum nasi dengan penebalan mukosa sinus maksilaris yang akan menyebabkan penyempitan region kompleks osteomeatal. CT-Scan dapat juga digunakan untuk melihat hipertrofi turbinate pada pasien dengan deviasi septum nasi yang menunjukkan pembesaran tulang dan mukosa yang signifikan di segmen anterior dan media dari turbinate inferior. Gambaran CT-Scan juga dapat digunakan untuk penatalaksanaan septum nasi dan hipertrofi turbinate.2

2.7 Penatalaksanaan Terapi inisial dari deviasi septum biasanya digunakan untuk mengatasi keluhan pasien seperti kongesti nasal dan post nasal drips. Pengobatan berpusat pada penggunaan aerosal atau nasal spray, antihistamin dapat juga diberikan jika dicurigai terdapat rhinitis alergi. Penggunaan spray dekongestan seharusnya dihindari karena obstruksi nasal anatomis merupakan suatu masalah kronis dan penggunaan obat ini dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa. Pengobatan medis mungkin tidak dapat meringankan gejala pasien akibat berbagai komplikasi yang disebabkan oleh deviasi septum pada pasien-pasien seperti ini dibutuhkan penatalaksanaan pembedahan.4,7 Penatalaksanaan pilihan untuk deviasi septum adalah pembedahan (septoplasti). Prosedur ini dilakukan dengan cara menggeser tulang rawan yang berdeviasi dan porsi tulang septum bersamaan dengan spur dan celah dan memasang kembali sesuai posisi yang tepat pada garis tengah wajah. Septoplasti diindikasikasikan pada deviasi septum yang menyebabkan gangguan fungsi pernafasan. Indikasi septoplasti harus diperhatikan pada anak-anak dan remaja yang berusia dibawah 15-17 tahun, harus dilakukan tindakan konservatif dalam memilih pasien. Perlakuan yang salah pada pasien yang lebih muda dapat merusak pertumbuhan tulang septum yang menyebabkan masalah yang berkepanjangan.5 Penatalaksanaan operatif yang tepat untuk kondisi ini memerlukan analisis memerlukan analisis pre-operatif dan intra-operatif yang lengkap terhadap komponen anatomis dari tulang-tulang nasal. Manuver pembedahan juga harus dilakukan secara tepat. Pembedahan dilakukan melalui pendekatan endonasal atau eksternal. Pendekatan endonasal dilakukan pada kasus-kasus deviasi tipe 1 dan 2 dimana deformitasnya tidak begitu parah. Jika dibutuhkan dapat juga dilakukan osteotomi medial dan lateral melalui rute endonasal. Akan tetapi, pada sebagian besar pasien pendekatan eksternal atau terbuka lebih dipilih karena pendekatan tersebut menyediakan gambaran yang jelas terhadap dorsum nasi dan memberikan menuver yang jelas pada saat pemasangan graft.3 Selain teknik septoplasti terdapat teknik klasik yang disebut dengan reseksi submukosa (SMR), akan tetapi ini jarang digunakan dikarenakan dapat terjadi

komplikasi setelah dilakukan SMR seperti perforasi, epistaksis dan adesi. SMR dilakukan jika tidak terdapat operator dan instrument untuk melakukan septoplasti.

10

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Deviasi septum merupakan bengkoknya atau berlekuknya septum nasi yang diakibatkan oleh trauma atau kongenital. Deviasi septum memiliki 7 tipe yang bergantung pada bentuk deviasi yang terjadi. Pada deviasi septum yang ringan tidak terlalu menimbulkan keluhan. Deviasi septum yang berat dapat menimbukan hambatan aliran udara yang bersifat unilateral dan terkadang didapati bilateral. Untuk menegakkan diagnosis selain anamnesa dan pemeriksaan fisik juga dibutuhkan pemeriksaan tambahan seperti endoskopi dan CT-Scan. Tindakan intervensi segera dilakukan pada pasien dengan hambatan aliran udara, dimana dilakukan septoplasti. Pada septoplasti perlu diperhatikan usia pasien, dimana pasien dibawah 15-17 tahun tidak diindikasikan untuk septoplasti. Hal ini dikarenakan dapat menghambat pertumbuhan tulang septum. Terapi inisial dibutuhkan untuk mengatasi keluhan pasien seperti kongesti dan post nasal drips.

11

DAFTAR PUSTAKA

1. Nizar, N, W. Mangunkusumo, E. Kelainan Septum dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan-Kepala dan Leher. Soepadi, E, A. Iskandar, N. Bashiruddin. Restuti, R, D. (eds). Ed. 6. Jakarta: Balai penerbit FKUI: 2007. Hal.126 2. Jin, H, R. Lee, J. Jung, W, J. New Description Method and Classification System for Septal Deviation. Original article J. Rhinoi 14 (1). 2007. Hal. 27-31 3. Chalabi, Y, E. Khadim, H. Clinical Manifestations in Different Type of Nasal Septal Deviation. The New Iraqi Journal of Medicine 6 (3): 2010. Hal. 24-29 4. Mahmood, K, T, et al. Management of Deviated Nasal Septum Journal of Pharmacheutical Sciences and Research 6 (1): 2011. Hal. 918-922 5. Grevers, G. Disease of The Nose, Paranasal Sinuses and Faces: Basic Otorhinolaryngology Probst, R. (eds). Germany: Georg Theme Verlag: 2006. Hal. 30 6. Behnoud, F. Nasab, M, S. Alizamir, A. Comparison of The Frequency of Old Septal Deviation in Patients with and without Traumatic Nasal Basic Bone Fracture Acta Medical Iranica 48 (5): 2010. Hal.304-307 7. Jafek, B, W. Dadson, B, T. Nasal Obstruction in: Head and Neck Surgery Otolaryngology 3rdEdition. Cathoun, K, M, et al. 2002

12

13

Anda mungkin juga menyukai