Latar Belakang Vitamin merupakan senyawa organik yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah kecil untuk mempertahankan kesehatan dan seringkali bekerja sebagai kofaktor bagi enzim metabolisme. Pemberian vitamin meningkat terutama pada saat hamil, menyusui, setelah menjalani operasi besar, terjadi infeksi, pada bayi dan usia lanjut, pemakaian antibiotik spektrum luas dalam jangka waktu panjang, penggunaan isoniazid, dan penggunaan kontrasepsi oral (Dewoto dan Wardhini, 2007). Berdasarkan kelarutannya, vitamin dibedakan menjadi vitamin larut dalam lemak, yaitu vitamin A, D, E ,K, dan vitamin yang larut dalam air, yaitu vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin larut air berperan sebagai kofaktor untuk enzim tertentu, sedangkan vitamin A dan D mempunyai sifat yang lebih menyerupai hormon dan mengadakan interaksi dengan reseptor spesifik intraseluler pada jaringan target. Vitamin larut air hanya disimpan dalam jumlah terbatas dalam tubuh dan sisanya dibuang, sehingga untuk mempertahankan saturasi jaringan maka vitamin larut air perlu dikonsumsi dengan lebih sering. Meskipun demikian, pemberian vitamin larut air dalam jumlah berlebihan selain merupakan suatu tindakan pemborosan, juga mungkin menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Sebaliknya, vitamin yang larut lemak dapat disimpan dalam jumlah banyak dalam tubuh, sehingga kemungkinan terjadinya toksisitas jauh lebih besar daripada vitamin larut air (Dewoto dan Wardhini, 2007). Untuk menjamin ketepatan penggunaan vitamin sesuai dengan kebutuhan dan kondisi klinik pasien, maka diperlukan suatu upaya pemberian informasi dan edukasi kepada pasien, yang salah satunya dapat melalui swamedikasi. Vitamin dapat dibeli tanpa menggunakan resep dokter, sehingga memenuhi syarat untuk dapat dilakukannya swamedikasi di apotek oleh apoteker. Dalam pelayanan ini Apoteker dituntut untuk dapat melakukan pelayanan kefarmasian dengan baik terkait dengan kebutuhan vitamin bagi pasien serta memberikan edukasi dan informasi kepada pasien mengenai pentingnya konsumsi vitamin guna menghindari terjadi defisiensi vitamin. Vitamin memang dibutuhkan dalam jumlah sedikit bagi tubuh, namun vitamin sangat diperlukan agar proses metabolisme tubuh dapat berjalan dengan baik, sehingga defisiensi vitamin yang awalnya tergolong ringan, lama kelamaan dapat memicu terjadinya penyakit yang lebih serius, seperti diabetes melitus, penyakit empedu, penyakit hati, dan lain-lain.
Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, termasuk keluhan yang terkait dengan defisiensi vitamin. Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan keterjangkauan pengobatan. Pada pelaksanaannya, swamedikasi dapat menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) karena keterbatasan pengetahuan masyarakat akan obat dan penggunaannya. Dalam hal ini Apoteker dituntut untuk dapat memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat terhindar dari penyalahgunaan obat (drug abuse) dan penggunaan obat yang salah (drug misuse). Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai pemberi informasi (drug informer), khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam swamedikasi. Obat-obat yang digunakan untuk swamedikasi adalah obat-obat yang dapat digunakan tanpa resep dokter, yang meliputi obat wajib apotek (OWA), obat bebas terbatas (OBT) dan obat bebas (OB). Sebagian besar vitamin tersedia sebagai obat bebas dan bebas terbatas, sehingga relatif aman digunakan untuk swamedikasi (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006). 1.2. Rumusan Masalah 1.2.1. Bagaimanakah kebutuhan harian masing-masing vitamin? 1.2.2. Bagaimanakah KIE yang harus diberikan kepada pasien terkait dengan penggunaan vitamin dalam swamedikasi? 1.3. Tujuan 1.3.1. Mengetahui kebutuhan harian masing-masing vitamin. 1.3.2. Mengetahui KIE yang harus diberikan kepada pasien terkait dengan penggunaan vitamin dalam swamedikasi. 1.4. Manfaat Makalah ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat pada umumnya dan apoteker pada khususnya mengenai pentingnya memenuhi kebutuhan vitamin harian agar terhindar dari gejala defisiensi vitamin. Walaupun vitamin dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah sedikit, namun vitamin sangat diperlukan agar metabolisme tubuh dapat berjalan dengan baik. Apoteker diharapkan dapat melakukan proses swamedikasi dengan baik, sehingga masyarakat atau pasien dapat memperoleh vitamin sesuai dengan kebutuhan hariannya dan kondisi kliniknya.
BAB II PEMBAHASAN 2.1. Definisi Vitamin Vitamin adalah zat organik yang tidak disintesis dalam tubuh, dalam jumlah kecil sangat penting untuk pemeliharaan metabolisme yang normal. Vitamin tidak menghasilkan energi dan bukan merupakan bahan pembentuk struktur sel. Kekurangan vitamin tertentu dapat menyebabkan penyakit seperti beri-beri, ricket, scurvy, xeropthalmia, atau suatu kondisi tanpa gejala yang jelas. Istilah vitamin timbul tahun 1911, dimana pada waktu itu senyawa amin yang diisolasi dari kulit padi mendapat perhatian karena dapat mencegah beri-beri, senyawa esensial ini atau vital amin disebut vitamin. Istilah vitamin tetap dipakai sampai sekarang walaupun tidak semua vitamin merupakan senyawa amin misal vitamin A, C, D, E, K dan inositol. Struktur kimia dari vitamin bervariasi dari molekul sederhana seperti niasin sampai yang kompleks seperti sianokobalamin. Fungsi biologis dari vitamin juga beraneka ragam. Vitamin B2, niasin, dan asam pantotenat berfungsi sebagai koenzim. Vitamin B12 dan asam folat berperan dalam biosintesis pemindahan atom C. Vitamin C berperan dalam biosintesis hidroksiprolin, suatu komponen yang penting dalam kolagen. Vitamin B1 dan B6 berperan dalam metabolisme karbohidrat dan asam amino. Biotin berperan dalam metabolisme karboksilasi. Vitamin D dan E berperan selektif dalam membran transport. Vitamin A, B1, B12, C, E, dan niasin berperan secara langsung dan tidak langsung dalam reaksi oksidasireduksi. Pemberian vitamin meningkat terutama pada kondisi saat hamil, menyusui, setelah menjalani operasi besar, terjadi infeksi, pada bayi dan usia lanjut, pemakaian antibiotik spektrum luas dalam jangka waktu panjang, penggunaan isoniazid dan kontrasepsi oral. FDA mengharuskan produk vitamin mencantumkan presentase komposisi produk sesuai dengan yang dianjurkan U.S.A. RDA (US Recommended Daily Allowance) yaitu dosis yang dianjurkan untuk penggunaan sehari. Presentase tergantung dari umur, jenis kelamin, jenis penyakit, stress dan berat badan. Berdasarkan kelarutannya vitamin dibagi menjadi vitamin larut dalam lemak yaitu vitamin A, D, E , K, dan yang larut dalam air, vitamin B kompleks, vitamin C, biotin, beberapa zat yang mempengaruhi kegiatan fisologik seperti asam amino benzoat, bioflavonoid, kolin dan inositol.
2.2. Vitamin yang Larut dalam Lemak Kekurangan kelompok vitamin ini kemungkinan disebabkan karena terganggunya absorbsi lemak, seperti pada penyakit billiary cirrhosis, cholecysitis, dan sprue, dapat juga terjadi pada saat terapi penggunaan kolesteramin dan penggunaan laksatif yang berlebihan. 2.2.1 Vitamin A Vitamin A merupakan salah satu jenis vitamin larut dalam lemak yang berperan penting dalam pembentukan sistem penglihatan yang baik. Vitamin A atau retinal merupakan senyawa poliisoprenoid yang mengandung cincin sikloheksenil. Vitamin A merupakan istilah generik untuk semua senyawa dari sumber hewani yang memperlihatkan aktivitas biologik vitamin A. Senyawa-senyawa tersebut adalah retinal, asam retinoat dan retinol. Hanya retinol yang memiliki aktivitas penuh vitamin A, yang lainnya hanya mempunyai sebagian fungsi vitamin A. Vitamin A mempunyai provitamin yaitu karoten. Pada sayuran vitamin A terdapat sebagai provitamin dalam bentuk pigmen berwarna kuning karoten, yang terdiri atas dua molekul retinal yang dihubungkan pada ujung aldehid rantai karbonnya. Tetapi karena karoten tidak mengalami metabolisme yang efisien, maka karoten mempunyai efektifitas sebagai sumber vitamin A hanya sepersepuluh retinal (Triana, 2006).
Gambar struktur Retinol Sumber Vitamin A Vitamin A dapat ditemukan pada sereal, roti, pasta, dan nasi. Vitamin A juga terdapat pada sayuran seperti wortel, paprika merah dan hijau, kangkung, kentang, selada, tomat,dan brokoli, dan juga terdapat pada buah seperti mangga, papaya, apricot dan jeruk. Vitamin A juga terdapat pada daging, ikan, telur, susu, yogurt, keju, kacang-kacangan, buncis kering (Mosure, 2005). Berikut ini merupakan beberapa jenis makanan dengan kandungan vitamin A di dalamnya:
(Jensen et al., 2009) Fungsi Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang berperan penting pada pengelihatan, pertumbuhan, dan perkembangan, perkembangan dan perbaikan kesehatan kulit, rambut, dan membran mukus, fungsi imun, dan reproduksi (Mosure, 2005). Retinal merupakan komponen pigmen visual rodopsin,yang mana rodopsin terdapat dalam sel-sel batang retina yang bertanggung jawab atas penglihatan pada saat cahaya kurang terang. Ketika terkena cahaya, rodopsin akan terurai serta membentuk all-trans retinal dan opsin. Reaksi ini disertai dengan perubahan bentuk yang menimbulkan saluran ion kalsium dalam membran sel batang. Aliran masuk ion-ion kalsium yang cepat akan memicu impuls saraf sehingga memungkin cahaya masuk ke otak (Triana, 2006). Asam retinoat turut serta dalam sintesis glikoprotein. Hal ini dapat dijelaskan bahwa asam retinoat bekerja dalam memicu pertumbuhan dan diferensiasi jaringan (Triana, 2006). Retinoid dan karotenoid memiliki aktivitas antikanker. Banyak penyakit kanker pada manusia timbul dalam jaringan epitel yang tergantung pada retinoid untuk berdiferensiasi seluler yang normal. karoten merupakan zat antioksidan dan mungkin mempunyai peranan dalam menangkap radikal bebas peroksi di dalam jaringan dengan tekanan parsial oksigen yang rendah (Triana, 2006). Vitamin A juga dapat melindungi tubuh dari infeksi organisme asing, seperti bakteri patogen. Mekanisme pertahanan ini termasuk ke dalam sistem imun eksternal, karena sistem imun ini berasal dari luar tubuh. Vitamin ini akan meningkatkan aktivitas kerja dari sel darah putih dan antibodi di dalam tubuh sehingga tubuh menjadi lebih resisten terhadap
senyawa toksin maupun terhadap serangan mikroorganisme parasit, seperti bakteri patogen dan virus. Defisiensi Vitamin A Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan rabun senja, kulit kering, meningkatnya resiko infeksi, dan terhambatnya pertumbuhan (Jensen et al., 2009). Kekurangan atau defisiensi vitamin A disebabkan oleh malfungsi berbagai mekanisme seluler yang di dalamnya turut berperan senyawa-senyawa retinoid. Defisiensi vitamin A terjadi gangguan kemampuan penglihatan pada senja hari (buta senja). Ini terjadi karena ketika simpanan vitamin A dalam hati hampir habis. Deplesi selanjutnya menimbulkan keratinisasi jaringan epitel mata, paru-paru, traktus gastrointestinal dan genitourinarius, yang ditambah lagi dengan pengurangan sekresi mukus. Kerusakan jaringan mata, yaitu seroftalmia akan menimbulkan kebutaan. Defisiensi vitamin A terjadi terutama dengan dasar diet yang jelek dengan kekurangan komsumsi sayuran, buah yang menjadi sumber provitamin A (Triana, 2006). Kelebihan Vitamin A Kelebihan vitamin A dapat menyebabkan mual, pandangan kabur, kelainan pertumbuhan, rambut rontok, liver dan limfa bengkak, cacat bawaan pada bayi, serta tulang rapuh hingga mudah patah. Gejala pada anak antara lain pseudotumor serebri, tinitus, pelebaran sutura dan ubun-ubun menonjol, meningkatnya tekanan intrakranial, nyeri tulang, letargi, dermatitis eksfoliativa, pruritus, stomatitis angular,hiperostosis dan paronikia. Dapat terjadi diplopia dan papiludem dan selanjutnya atrofi optikus dan kebutaan. Gejala yang umum pada orang dewasa ialah muntah, perubahan kulit, iritabilitas, sakit kepala, hipermenorea dan kelemahan. Gejala psikiatrik mungkin terlihat seperti depresi berat atau skizofrenia. Dapat terjadi gangguan fungsi hati yang mungkin disertai hepatosplenomegali. Selain itu hiperkalsemia berat dan asites juga dilaporkan terjadi. Hipervitaminosis A pada anak dan dewasa dapat menyebabkan kekeringan kulit dan membran mukosa, alopesia, anoreksia, brittle nails, mialgia, ostealgia, artralgia, nyeri perut, splenomegali, anemia hipoplastik dengan leukopenia. Kebanyakan gejala hilang bila obat dihentikan. Terhambatnya pertumbuhan karena penutupan epifisis yang terlalu cepat dapat terjadi pada anak. Dosis berlebihan vitamin A pada binatang menimbulkan malformasi pada SSP,mata, palatum dan saluran kemih. Oleh karena itu, dosis melebihi AKG tidak dianjurkan selama kehamilan normal. Dilaporkan terjadinya deformitas pada
bayi yang ibunya mendapat 25000 IU vitamin A segera sebelum dan beberapa bulan pertama kehamilan. Dosis berlebihan vitamin A pada binatang menimbulkan malformasi pada SSP, mata, palatum dan saluran kemih. Oleh karena itu, dosis melebihi AKG tidak dianjurkan selama kehamilan normal. Dilaporkan terjadinya deformitas pada bayi yang ibunya mendapat 25000 IU vitamin A segera sebelum dan beberapa bulan pertama kehamilan (DAmbrosio et al., 2011). Dosis Pemberian vitamin A direkomendasikan berdasarkan RAE (Retinol Activity Equivalents). Dengan RAE maka dapat membantu menghitung perbedaan aktivitas antara retinol dan karotenoid (Jensen et al., 2009).
(Jensen et al., 2009) Menurut Lacy et al., (2010) dosis vitamin A adalah sebagai berikut: RDA (Recommended Daily Allowance)
0-6 bulan 7-12 bulan 1-3 tahun
: 400 mcg : 500 mcg : 300 mcg : 400 mcg : 600 mcg
Pria > 13 tahun : 900 mcg Wanita > 13 tahun Retinol mcg equivalent : 700 mcg : 0,3 mcg retinol = 1 unit Vitamin A
Untuk pasien yang memiliki resiko tinggi untuk defisiensi vitamin A diberikan dalam dosis tunggal dan diulang setiap 4-6 bulan. <6 bulan : 50000 unit 6-12 bulan : 100000 unit
> 1 tahun : 200000 unit Wanita hamil harus menerima10000 unit perhari atau 25000 unit dalam seminggu. Untuk pasien dengan defisiensi vitamin A diberikan secara intramuskular dosisnya adalah sebagai berikut: Infant 1-8 tahun : 7500-15000 unit/hari selama 10 hari : 17000-35000 unit/hari selama 10 hari
> 8 tahun dan dewasa : 100000 unit/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis 50000 unit/hari selama 2 minggu. Kemudian dilanjutkan dengan follow up dengan terapi oral dengan dosis sebagai berikut:
< 8 tahun
2.2.2 Vitamin D Vitamin D merupakan istilah yang dipakai untuk golongan steroid dan metabolitnya yang penting untuk absorpsi dan penyediaan kalsium. Kolekalsiferol (Vitamin D3) adalah bentuk pertama yang dijumpai dalam spesies binatang dan disimpan dalam beberapa jaringan termasuk hati dan kulit. Minyak hati ikan adalah suatu bahan alami yang kaya akan vitamin D3. Vitamin D2 berasal dari ergosterol suatu steroid dari tanaman. Vitamin D disebut juga Sun Shine vitamin sejak sinar UV terlibat dalam perubahan provitamin D menjadi vitamin D3 dan D2. Tanpa penyinaran yang terkontrol ergosterol dapat berubah menjadi lumisterol, ke bentuk takisterol, ergokalsiferol, toksisterol, dan suprasterol (Tim Penyusun, 2008; Dewi et al., 2012).
Fungsi dan kegunaan vitamin D Bagian tubuh yang paling banyak dipengaruhi oleh vitamin ini adalah tulang. Vitamin D ini dapat membantu metabolisme kalsium dan mineralisasi tulang. Sel kulit akan segera memproduksi vitamin D saat terkena cahaya matahari (sinar ultraviolet). Bila kadar vitamin D rendah maka tubuh akan mengalami pertumbuhan kaki yang tidak normal, dimana betis kaki akan membentuk huruf O dan X. Di samping itu, gigi akan mudah mengalami kerusakan dan otot pun akan mengalami kekejangan. Penyakit lainnya adalah osteomalasia, yaitu hilangnya unsur kalsium dan fosfor secara berlebihan di dalam tulang.
Penyakit ini biasanya ditemukan pada remaja, sedangkan pada manula, penyakit yang dapat ditimbulkan adalah osteoporosis, yaitu kerapuhan tulang akibatnya berkurangnya kepadatan tulang. Maka dari itu vitamin D sangat penting dalam membantu penggunaan kalsium dan fosfat yang sangat penting untuk pertumbuhan, pertumbuhan gigi dan tulang, pencegahan dan pengobatan ricket (kekurangan kalsium pada anak-anak) dan osteomalasia pada dewasa (Tim Penyusun, 2008; Dewi et al., 2012). Kebutuhan vitamin D Kebutuhan sehari-hari vitamin D pada dewasa sebenarnya dapat dicukupi dari paparan sinar matahari atau diperoleh dari makanan atau minuman. Asupan sehari-hari yang dibutuhkan sekitar 200-400 unit (5-10 mikrogram kolekalsiferol atau ergokalsiferol) vitamin D yang secara umum untuk orang dewasa sehat. Kebutuhan per kg berat badan akan meningkat pada infant, anak-anak, dewasa muda, ibu hamil dan menyusui. Vitamin D terdapat pada beberapa makanan seperti minyak hati ikan, khususnya minyak hati ikan cod. Sumber lain yang mengandung vitamin D dengan jumlah yang lebih sedikit seperti mentega, telur, dan hati. Susu dan margarin juga cukup mengandung vitamin D (Sweetman, 2009). Defisiensi vitamin D Defisiensi vitamin D terjadi ketika paparan cahaya matahari yang tidak cukup dan kurangnya asupan. Secara umum proses berkembangnya defisiensi terjadi dalam waktu yang panjang karena pelepasan vitamin yang lambat dari cadangan tubuh.
~ manula yang mengalami mobilitas dan gangguan terhadap penyerapan paparan cahaya matahari ~ seseorang dengan sindrom malabsorpsi lemak ~ penyakit tertentu seperti gagal ginjal yang mengakibatkan gangguan metabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya, sehingga mengakibatkan defisiensi (Sweetman, 2009). ~
Kelebihan vitamin D Kelebihan vitamin D dapat mengakibatkan hiperfosfataemia atau hiperkalsemia pada dosis 60.000 unit (1,5 mg) per hari. Selain itu dapat mengakibatkan kelemahan otot, mual, muntah, sakit kepala, dan nyeri tulang. Gejala overdosis vitamin D adalah anoreksia, poliuria, vertigo, keringat berlebih, rasa haus, diare atau konstipasi (Sweetman, 2009). Dosis Untuk pengobatan defisiensi nutrisi ringan vitamin D umumnya diberikan secara oral atau injeksi intramuskular.
~ dosis 10 mikrogram (400 unit) per hari yang umumnya untuk pencegahan defisiensi ringan
pada dewasa. ~ dosis 20 mikrogram (200 unit) per hari direkomendasikan pada pasien akibat keterbatasan memperoleh paparan sinar matahari, kekurangan asupan, dan pada pasien manula. ~ dosis yang lebih tinggi hingga 1 miligram (40.000 unit) per hari untuk defisiensi akibat malabsorpsi atau gangguan fungsi hati.
~ dosis hingga 5 miligram (200.000 unit) per hari digunakan untuk pengobatan hipokalsemia
akibat hipoparatiroid (Sweetman, 2009). 2.2.3 Vitamin E Vitamin E atau yang disebut juga sebagai d--tocoferol tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut lemak. Vitamin E pertama kali diisolasi dari minyak tepung gandum. Bentuk vitamin E merupakan kombinasi dari delapan molekul yang sangat rumit disebut tocopherol. Karena tidak larut dalam air, vitamin E di dalam tubuh hanya dapat dicerna dengan bantuan empedu hati sebagai pengemulsi minyak saat melalui duodenum. Vitamin E stabil pada pemanasan namun akan rusak bila pemanasan terlalu tinggi. Berikut gambar struktur vitamin E.
Vitamin E mudah didapat dari bagian bahan makanan yang berminyak atau sayuran. Vitamin E banyak terdapat pada buah-buahan, susu, mentega, telur, sayur-sayuran, terutama kecambah. Contoh sayuran yang paling banyak mengandung vitamin E adalah minyak biji gandum, minyak kedelei, minyak jagung, selada, biji bunga matahari dan berwarna hijau. Vitamin E lebih banyak terdapat pada makanan segar yang belum diolah. Satu unit setara dengan 1 mg alfatokoferol asetat atau dapat dianggap setara dengan 1 mg. Selain itu ASI juga banyak mengandung vitamin E untuk memenuhi kebutuhan bayi. Fungsi dan Kegunaan Vitamin E Fungsi biologisnya belum diketahui dengan jelas tetapi mekanismenya diduga sebagai antioksidan yang melindungi asam lemak tak jenuh dari oksidasi oleh radikal bebas. Vitamin E memiliki kemampuan untuk menangkap dan mengikat radikal bebas di dalam membran sel. Untuk menjalankan tugasnya tersebut, vitamin E dibantu dengan vitamin A, vitamin C, betakaroten, dan juga antioksidan lainnya. Pembuluh darah pada mata yang sangat lembut sangat mudah sekali rusak akibat radikal bebas. Asupan vitamin E yang cukup membantu mencegah kerusakan pembuluh darah. Selain itu, vitamin E juga membantu melindungi lensa mata dari kerusakan oleh radikal bebas. Orang dengan asupan vitamin E yang rendah memiliki resiko lebih tinggi terkena penyakit katarak pada masa lansianya (Tjay dan Rahardja, 2007). Asupan vitamin E sebanyak 400 IU per harinya pada masa muda akan menurunkan resiko katarak pada masa lansianya sampai sekitar 50%. Selain itu, para lansia juga sangat membutuhkan banyak asupan vitamin E untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan juga memperlambat resiko terkena penyakit Alzheimer. Vitamin E dapat pula membantu mempertahankan kelembaban kulit sehingga dapat terhindar dari kulit kering. Vitamin E juga dapat melindungi trombosit dari oksidasi dengan demikian mencegah timbulnya trombi dan trombus sehingga memperlancar sirkulasi darah (Suheny, 2009). Defisiensi Vitamin E Defisiensi vitamin E dapat mengakibatkan anemia, trombolis, udema dan kelainan kulit. (Tjay dan Rahardja, 2007). Menurut buku The Complete Guide to Vitamin and Mineral, kekurangan vitamin E dalam jangka panjang bisa mendatangkan kerusakan saraf, khususnya saraf di tulang belakang. Kadang juga terjadi kerusakan di retina mata. Kekurangan vitamin E harusnya jarang terjadi karena dari makanan sehari-hari hampir
semua orang mendapatkan asupan 7-11 mg vitamin E. Penyebab kekurangan vitamin E dapat dari kurangnya asupan makanan sehari-hari. Selain itu kekurangan vitamin E juga bisa disebabkan kondisi medis seperti: 1. Menderita cystic fibrosis Penyebabnya, penderita penyakit ini tidak bisa mencerna lemak dengan baik, sehingga tidak bisa menyerap cukup vitamin E. 2. Menderita chron's disease Penderita penyakit ini tidak bisa menyerap cukup vitamin E lewat usus. 3. Menderita penyakit lever Penderita penyakit lever tidak bisa menggunakan vitamin E dengan benar. 4. Sedang menjalani diet rendah lemak dan rendah kalori Kurangnya lemak di dalam tubuh menyebabkan terganggunya pasokan vitamin E. Ini karena vitamin E termasuk vitamin yang larut dalam lemak. Kita butuh sedikit lemak untuk bisa menyerap vitamin E. 5. Minum obat-obatan tertentu Minum obat penurun kolesterol bisa menurunkan penyerapan vitamin E dan vitamin yang larut dalam lemak lainnya (Ursell, 2001). Menurut buku Vitamins and Mineral's Handbook, ada tanda-tanda tubuh seseorang memerlukan tambahan vitamin E, yakni tubuh mudah memar, luka lama sembuh, varises, kurang gairah seks, infertilitas, dan hilangnya kekuatan otot (Tjay dan Rahardja, 2007).
Kelebihan Vitamin E Kelebihan Vitamin E biasanya terjadi bukan karena asupan makanan secara alami. Akan tetapi lebih sering disebabkan oleh berlebihan atau overdosis dalam mengkonsumsi suplemen vitamin E. Tentu saja kelebihan vitamin E ini memiliki efek samping dan dapat menimbulkan banyak penyakit pada organ-organ dalam tubuh jika tidak segera dihentikan konsumsinya dan diterapi akibat kelebihan vitamin E ini. Konsumsi vitamin E berlebih biasanya dengan takaran lebih dari 800 mg per hari. Kelebihan vitamin E dapat memicu penyakit pada tulang atau yang sering disebut osteoporosis. Karena semakin populernya suplemen vitamin E, maka sejumlah ilmuwan asal Inggris meneliti dampak buruk akibat konsumsi suplemen vitamin E yang tidak terkontrol. Diketahui dengan terjadinya konsumsi berlebihan akan memicu efek alfa-tokoferol berlebihan sehingga menyebabkan kekuatan tulang menjadi menurun. Selain itu dapat terjadi pembengkakan seperti
pembengkakan pada bibir, lidah, dan wajah serta dapat menimbulkan sakit kepala dan mual, perut kembung dan diare (Rahmadi, 2011). Dosis Kebutuhan vitamin E per hari menurut U.S RDA yaitu pada pria sebanyak 10 mg/hari; 15 IU, wanita sebanyak 8 mg/hari; 12 IU, pada kehamilan dibutuhkan sebanyak 10-12 mg/hari. Kebutuhan vitamin A pada orang Indonesia belum diketahui akan tetapi diperkirakan sama dengan rekomendasi U.S RDA (Kamiensky, Keogh 2006; Dewoto 2007). Berdasarkan Keputusan BPOM tahun 2003 Angka Kecukupan Gizi (AKG) vitamin E adalah sebagai berikut: Kategori Umum Bayi 4-12 bulan Bayi 2-6 bulan Sediaan yang Beredar Jenis sediaan yang beredar :
a. ERPHA VIT E 400 kapsul yang mengandung tokoferol 400 IU
Vitamin E 10 mg 5 mg 5 mg
b. Xtra E 100 IU tablet yang mengandung Vitamin E 100 IU c. Nature E mengandung vitamin E alamiah 100 IU (MIMS, 2008) 2.2.4 Vitamin K Vitamin K adalah zat larut lemak yang banyak ditemukan terutama dalam sayuran hijau. Vitamin ini memberikan aktivitas biologi pada protrombin dan faktor-faktor VII, IX, dan X dengan cara ikut serta dalam modifikasi pascaribosomal (Katzung, 2011). Adanya aktivitas pada protrombin menyebabkan vitamin K memiliki kaitan yang erat sebagai agen antikoagulan (Tjay dan Rahardja, 2008). Terdapat dua bentuk alamiah dari vitamin K, yaitu vitamin K1 dan vitamin K2. Vitamin K1 (phytonadione) lebih banyak ditemukan dalam makanan yakni sayur-sayuran hijau, tomat, dan minyak nabati dimana vitamin ini terikat kuat pada sel kloroplas yang mengandung klorofil. Sedangkan vitamin K2 (menaquinone) ditemukan dalam jaringan manusia dan disintesis oleh bakteri usus. Selain itu, vitamin K2 dapat ditemukan dalam produk olahan fermentasi seperti pada yogurt (Tjay dan Rahardja, 2008; Katzung, 2011). Sebenarnya, terdapat satu bentuk lagi vitamin K
yakni vitamin K3 (menadion). Namun, vitamin ini tidak dihasilkan secara alamiah melainkan berasal dari hasil sintetis. Vitamin K3 bersifat larut dalam air dan biasanya digunakan untuk penderita yang mengalami gangguan penyerapan vitamin K dari makanan (Tjay dan Rahardja, 2008).
Gambar struktur vitamin K Fungsi utama vitamin K di dalam tubuh adalah sebagai koenzim yang mensintesa faktor pembekuan darah yakni faktor II (protrombin), faktor VII (prokonvertin), faktor IX (christmast factor), dan faktor X (S.P Factor). Selain berperan dalam pembekuan darah, vitamin ini juga penting untuk pembentukan tulang, terutama vitamin K1. Vitamin K1 diperlukan agar penyerapan kalsium bagi tulang menjadi maksimal (Tjay dan Rahardja, 2008). Asupan vitamin K setiap orang berbeda-beda tergantung dari kondisi klinisnya. Berdasarkan data dari Food Science and Human Nutrition Department, kebutuhan vitamin K setiap harinya dapat dilihat dari tabel berikut: Tabel kebutuhan harian vitamin K Kelompok Usia Kebutuhan (g/hari) Pria usia > 19 tahun 120 Wanita usia > 19 tahun 90 Kehamilan 90 Breastfeeding 90 g = micrograms of vitamin K
Gejala defisiensi vitamin K dapat disebabkan oleh kurangnya asupan makanan yang mengandung vitamin K, malabsorpsi lemak di usus, penggunaan obat-obatan seperi fenobarbital, fenitoin, fenilbutazon, dan salisilat (Tambayong, 2000; Tjay dan Rahardja, 2008). Bayi yang baru lahir sangat rentan mengalami defisiensi vitamin K karena masih rendahnya cadangan lemak di dalam tubuh, mendapatkan ASI yang kurang mengandung vitamin K, rendahnya jumlah bakteri di saluran usus, belum berkembangnya organ hati, dan transportasi plasenta yang buruk. Perdarahan intrakranial serta perdarahan gastrointestinal dan kulit dapat menyebabkan defisiensi vitamin K pada bayi yang baru berumur 1-7 hari. Oleh karena itu, pemberian vitamin K sebanyak 1 mg secara intramuskular dapat diberikan sebagai langkah profilaksis (Fauci et al., 2006). Defisiensi vitamin K pada orang dewasa dapat terjadi pada pasien yang menderita penyakit celiac, penyakit Crohn, pada seseorang dengan penyumbatan saluran empedu atau pada pasien yang telah melakukan reseksi usus kecil sehingga penyerapan vitamin K akan menjadi terhambat. Pengobatan antibiotik spektrum luas juga dapat memicu defisiensi vitamin K karena penggunaan antibiotik dapat mengurangi jumlah bakteri usus yang mensintesis menakuinon dan menghambat metabolisme vitamin K. Diagnosis untuk menilai seseorang menderita defisiensi vitamin K dapat dilihat dari tingginya waktu protrombin atau berkurangnya faktor pembekuan darah. Defisiensi vitamin K dapat diatasi dengan pemberian dosis parenteral sebanyak 10 mg. Untuk pasien yang menderita malabsorpsi kronis, vitamin K dapat diberikan sebanyak 1-2 mg/hari secara oral atau 1-2 mg/minggu secara parenteral. Pasien dengan penyakit hati akan mungkin memiliki peningkatan waktu protrombin karena keusakan sel hati serta kekurangan vitamin K. Apabila seseorang telah diberikan terapi vitamin K namun waktu protrombinnya tidak juga mengalami perbaikan, maka dapat disimpulkan bahwa orang tersebut tidak mengalami defisiensi vitamin K melainkan penyakit hati (Fauci et al., 2006). 2.3 Vitamin yang Larut Air
2.3.1 Vitamin B1
Vitamin B1 memiliki sinonim yaitu thiamin, thiamine, faktor antiberiberi, aneurine, faktor antineuritik dan vitamin saraf (Spitzer and Schweigert, 2007). Vitamin B1, juga disebut thiamin, merupakan salah satu dari delapan vitamin B yang larut air. Dinamai B1 karena vitamin ini merupakan vitamin B pertama yang ditemukan. Manusia bergantung pada asupan makanan mereka untuk memenuhi kebutuhan vitamin B1 mereka (Spitzer and Schweigert, 2007).
Fungsi Fungsi utama vitamin B1 (thiamin pirofosfat) adalah sebagai molekul pembantu yang disebut koenzim yang mengaktifkan enzim dan mengaktifkan protein yang mengontrol proses biokimia yang terjadi dalam tubuh. Kecukupan asupan vitamin B1 (thiamin) adalah penting karena memainkan peran penting dalam: a. produksi energi dari makanan b. sintesis asam nukleat (misalnya, DNA) c. konduksi impuls saraf. The European Food Safety Authority (EFSA), telah mengkonfirmasi bahwa manfaat yang asupan vitamin B1 bagi kesehatan adalah berkontribusi dalam: a. fungsi normal jantung b. metabolisme penghasilan energi c. fungsi normal dari sistem saraf (Spitzer and Schweigert, 2007) Beberapa studi telah menyarankan bahwa vitamin B1 bersama dengan mikronutrien lain seperti vitamin A dan vitamin B kompleks (B2, B9, B12) dapat melindungi lensa mata 'dari kehilangan visi akibat katarak. Beberapa fungsi lainnya, antara lain: Gangguan otak Gangguan otak tertentu, umumnya pada pecandu alkohol, bisa diobati dengan suplemen vitamin B1 (tiamin). Penyakit Alzheimer Telah diusulkan bahwa suplemen thiamin dapat membantu mengurangi keparahan penyakit Alzheimer. Namun, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan sebelum thiamin dapat diusulkan sebagai pengobatan yang efektif. (Spitzer and Schweigert, 2007) Sumber Vitamin B1 Vitamin B1 (thiamin) hampir dapat ditemukan dalam semua makanan, tapi kebanyakan dalam jumlah kecil. Sumber terbaik dari thiamin adalah ragi yang dikeringkan. Sumber lainnya adalah termasuk daging (terutama daging babi dan produk ham), beberapa jenis ikan (belut, tuna), sereal gandum dan roti, kacang, kacang-kacangan, kacang-kacangan kering dan kentang (Spitzer and Schweigert, 2007). Defisiensi Vitamin B1
Kekurangan vitamin B1 (thiamin) jarang terjadi, tetapi bisa terjadi pada orang yang mendapatkan sebagian besar kalorinya dari gula atau alkohol. Orang dengan defisiensi thiamin mengalami kesulitan mencerna karbohidrat, menyebabkan hilangnya kewaspadaan mental, kesulitan bernapas, dan kerusakan jantung. Penyakit klasik karena kurangnya Vitamin B1 adalah beriberi dan sindrom Wernicke-Korsakoff. Beriberi, manifestasinya terjadi terutama pada gangguan sistem saraf dan kardiovaskular. Sayangnya, penyakit ini masih umum di beberapa bagian Asia Tenggara, yang mana beras halus/putih merupakan makanan pokoknya dan kebutuhan akan thiamin belum sepenuhnya terpenuhi dengan konsumsi nasi tersebut. Banyak negara lain mengkonsumsi beras bersamaan sereal dari biji-bijian untuk menggantikan nutrisi yang hilang. Penyakit beriberi dapat dibedakan menjadi: a. Beriberi kering, suatu polineuropati dengan pengecilan otot yang parah b. Beriberi basah, dengan gejala neurologis tambahan yang ditandai dengan manifestasi kardiovaskular, edema dan akhirnya gagal jantung.
c. infantil beriberi, yang terjadi pada bayi menyusui pada ibu yang kekurangan
thiamin. Gejala berupa muntah, kejang-kejang, distensi perut dan anoreksia muncul tiba-tiba dan dapat diikuti oleh kematian akibat gagal jantung. (Spitzer and Schweigert, 2007) Sindrom "Wernicke-Korsakoff" (beriberi otak) adalah penyakit kekurangan thiamin yang paling sering terjadi di dunia Barat. Hal ini sering dikaitkan dengan alkoholisme kronis dalam hubungannya dengan konsumsi makanan yang terbatas. Gejalanya termasuk kebingungan, kelumpuhan saraf motorik mata, osilasi abnormal dari mata, psikosis, bicara, dan gangguan penyimpananan memori dan fungsi kognitif. Sindrom ini juga terlihat sesekali pada orang yang berpuasa, memiliki muntah kronis atau malnutrisi berat misalnya dikarenakan AIDS atau kanker lambung. Jika pengobatan gejala amnesik tertunda, memori dapat terganggu secara permanen. Bukti terbaru menunjukkan bahwa stres oksidatif memainkan peran penting dalam patologi neurologis dari defisiensi thiamin (Spitzer and Schweigert, 2007). Dosis 1. Keadaan normal Karena vitamin B1 memfasilitasi pemanfaatan energi, persyaratan yang terkait dengan asupan energi sangat tergantung pada tingkat aktivitas seseorang. Untuk orang dewasa,
asupan rata-rata 0,9-1,1 mg thiamin per hari untuk wanita dan 1,1-1,2 mg untuk pria telah direkomendasikan, didasarkan pada asupan kalori rata-rata. Berikut ini beberapa pembagian dosis secara khusus : - Dewasa (lebih dari 19 tahun): 700 mcg - 1,1 mg per hari - Kehamilan: 1 mg sehari - Menyusui: 1,2 mg sehari - Anak di atas 7 tahun: 800 mcg - 1,2 mg per hari - Anak di bawah 7 tahun: 150-700 mcg setiap hari Tabel Rekomendasi yang diperbolehkan di USA Kategori Infant Infant Anak-anak Anak-anak Anak-anak Laki-laki Perempuan Perempuan Kehamilan Menyusui 2. Keadaan defisiensi - Katarak: asupan makanan hingga 10 mg per hari - Defisiensi ringan pada orang dewasa: 30 mg setiap hari selama sampai satu bulan - Defisiensi pada orang dewasa: 300 mg sehari
2.3.2 Vitamin B2
Umur < 6 bulan 7 12 bulan 1 3 tahun 4 8 tahun 9 13 tahun > 14 tahun 14 18 tahun > 19 tahun
Dosis 0,2 mg (adequate intake, AI) 0,3 mg (AI) 0,5 mg 0,6 mg 0,9 mg 1,2 mg 1,0 mg 1,1 mg 1,4 mg 1,4 mg (Spitzer and Schweigert, 2007)
Vitamin B2 atau vitamin G, di Amerika dikenal dengan nama riboflavin dan di Eropa dikenal dengan nama laktoflavin, adalah senyawa heterosiklik yang mempunyai inti atau lingkar isoaloksazin yang mengikat ribitol. Nama kimia dari vitamin B2 yang lengkap adalah 6,7-dimetil-9-(D-1-ribitil)-isoaloksazin (Sumardjo, 2009). Vitamin ini dinamakan riboflavin karena terjadi persenyawaan ribosa (suatu gula lima karbon) dengan suatu zat berwarna kuning oranye yang memberikan fluoresensi kuning kehijauan pada larutan. Riboflavin berupa kristal berwarna kuning oranye dengan sifat larut dalam air dan tahan panas di dalam larutan netral atau asam, namun dapat rusak bila dipanaskan dalam larutan basa atau bila terkena sinar tampak dan sinar matahari (Suhardjo dan Kusharto, 2010).
Gambar Struktur vitamin B2 Riboflavin yang berperan penting dalam reaksi-reaksi oksidasi-reduksi di dalam jaringan umumnya terdapat dalam enzim yang bertugas mengambil hidrogen dan menyampaikannya kepada zat lain dalam rantai oksidasi-reduksi yang panjang, dimana akhirnya hidrogen diikat oleh oksigen menjadi air. Dengan demikian, enzim yang mengandung riboflavin membantu dalam metabolisme karbohidrat, asam amino dan lemak. Karena riboflavin sangat diperlukan pada proses perubahan kimia dalam jaringan, maka kekurangan riboflavin dapat mengganggu fungsi jaringan yang bersangkutan (Suhardjo dan Kusharto, 2010). Sumber Vitamin B2 Vitamin B2 atau riboflavin ditemukan pada hampir semua makanan. Sumber yang kaya vitamin B2 adalah produk susu, hati dan sereal (Rubenstein et al., 2010). Riboflavin dalam bentuk bebas maupun kombinasi terdapat pada jaringan tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pada bagian tanaman yang muda lebih banyak terdapat riboflavin dibandingkan dengan bagian yang tua (Suhardjo dan Kusharto, 2010). Bahan-bahan makanan yang kaya akan riboflavin adalah pangan hewani seperti daging dan hati ayam atau sapi serta pangan nabati seperti keju, sayur-sayuran hijau, kacang-kacangan dan susu (Suhardjo dan Kusharto, 2010; Vitahealth, 2010). Kegunaan Vitamin B2 Vitamin B2 atau riboflavin merupakan komponen penting dari enzim yang berperan dalam produksi energi pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Riboflavin berperan dalam berbagai enzim dan koenzim yang esensial dalam proses oksidasi jaringan, terutama di bagian luar tubuh seperti kulit, mata dan urat saraf perifer (Suhardjo dan Kusharto, 2010; Vitahealth, 2010). Fungsi riboflavin adalah membantu pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme, membantu produksi sel darah merah, menjaga kesehatan kulit, kuku, rambut, bibir dan
tenggorokan serta mencegah kerusakan pada mata seperti katarak (Vitahealth, 2010). Selain itu, riboflavin dapat melindungi tubuh dari kanker dan keganasan radikal bebas. Peran utama riboflavin adalah mencegah kerusakan yang dapat terjadi selama berolahraga dan saat kebutuhan tubuh terhadap oksigen meningkat (Bangun, 2009). Riboflavin dalam dosis tinggi telah diidentifikasi sebagai vitamin yang dapat membantu pengobatan migrain. Karena tingkat keberhasilan yang tinggi, toleransi yang baik serta biaya yang rendah, maka riboflavin dapat dijadikan sebagai pilihan utama untuk terapi profilaksis pada penderita migrain (Schoenen et al., 1998). Kebutuhan Harian Vitamin B2 Dosis minimum vitamin B2 atau riboflavin yang dibutuhkan per hari berdasarkan Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk mencegah defisiensi riboflavin adalah 1,7 mg/hari untuk pria dewasa dan 1,3 mg/hari untuk wanita dewasa (Meyer, 2012). Sementara itu, untuk terapi defisiensi riboflavin, dosis yang disarankan adalah 30 mg/hari dalam dosis terbagi untuk dewasa dan 3-10 mg/hari untuk anak-anak (Sweetman, 2009). Kebutuhan riboflavin akan meningkat pada wanita hamil sehingga memerlukan tambahan riboflavin sebanyak 0,3 mg/hari, pada wanita menyusui memerlukan asupan riboflavin tambahan sebanyak 0,5 mg/hari dan pasien yang menjalani terapi hemodialisis atau dialisis peritoneal (Isselbacher et al., 1999; Meyer, 2012). Defisiensi Vitamin B2 Defisiensi vitamin B2 (riboflavin) atau ariboflavinosis dapat menghambat pertumbuhan pada anak, keilosis (radang pada sudut bibir yang ditandai dengan kulit mengelupas), perles (inflamasi pada sudut bibir), glositis (peradangan pada lidah yang ditandai dengan pembengkakan), iritasi dan pecah-pecah pada sudut hidung, rasa terbakar, gatal, berair, fotofobia (sensitivitas mata yang abnormal pada cahaya), vaskularisasi kornea dan katarak pada mata serta dermatitis seboreik, perlambatan pada penyembuhan luka dan perbaikan jaringan pada kulit (Wong et al., 2009; Suhardjo dan Kusharto, 2010). Kekurangan riboflavin juga dapat menyebabkan berkurangnya sel-sel T yang merupakan komponen penting dari sistem kekebalan tubuh sehingga dapat memicu berkembangnya penyakit-penyakit lain (Bangun, 2009). Defisiensi riboflavin biasanya terjadi bersamaan dengan defisiensi vitamin B lain (Rubenstein et al., 2010). Kelebihan Vitamin B2
Peristiwa kelebihan vitamin B2 atau ribloflavin jarang ditemui karena riboflavin merupakan salah satu vitamin yang larut air sehingga kelebihan kadar riboflavin dalam tubuh akan diekskresi melalui urin yang berwarna kuning-hijau menyala, dimana peristiwa ini merupakan hal yang normal dan tidak berbahaya (Vitahealth, 2010; Meyer, 2012). Akan tetapi, konsumsi riboflavin yang sangat berlebihan dapat menyebabkan terjadinya parestesia (sensasi kulit yang abnormal seperti terbakar atau tertusuk-tusuk, yang timbul tanpa stimulus dari luar) dan pruritus (rasa gatal) (Wong et al., 2009). Farmakokinetika Vitamin B2 Vitamin B2 atau riboflavin mudah diserap dari saluran pencernaan dan didistribusikan secara luas ke jaringan-jaringan tubuh, namun hanya sedikit yang tersimpan di dalam tubuh. Setelah dikonsumsi, riboflavin akan terkonversi menjadi koenzim flavin mononukleorida (FMN atau riboflavin 5-fosfat) di dalam tubuh, kemudian menjadi koenzim flavin adenin dinukleotida (FAD) dimana sekitar 60% FMN dan FAD akan terikat pada protein plasma. Riboflavin diekskresi melalui urin dan sebagian besar terekskresi sebagai metabolit. Riboflavin dapat melewati plasenta dan terdistribusi dalam ASI (Sweetman, 2009). Sediaan Vitamin B2
Bentuk tablet tersedia dalam dosis 5 dan 10 mg (obat bebas).
Bentuk injeksi tersedia dalam dosis 5 mg/mL (obat keras). (BPOM R.I., 2008)
2.3.3 Vitamin B3
Vitamin B3 merupakan vitamin yang larut air dan dikenal dengan nama niasin atau asam nikotinat. Nama niasin khusus mengacu pada asam nikotinat, tetapi juga digunakan secara kolektif untuk menjelaskan dua struktur kimia dari vitamin B3, yaitu asam nikotinat dan nikotinamida (niasinamida). Berikut ini adalah 2 struktur kimia vitamin B3.
Asam nikotinat atau niasin juga dikenal sebagai faktor PP (pellagra preventive) karena dapat mencegah penyakit pelagra pada manusia atau penyakit lidah hitam pada hewan (Dewoto dan Wardhini, 2007; Tim Penyusun, 2008). Nama lain/sinonim dari vitamin B 3 adalah 3-Piridin karboksamida, asam 3-piridinkarboksilat, Anti-Blacktongue Factor, Antipellagra Factor, vitamin B kompleks, Facteur Anti-Pellagre, Niasin-Niasinamida, Niasinamida, Niasin, Nikamid, Nikosedin, Nikotinamida, Amida Asam Nikotinat, Nikotilamidum, Pellagra (The Natural Standard Research Collaboration, 2006). Sumber Vitamin B3 Ragi, daging, ikan, susu, telur, sayuran hijau, biji-bijian, sereal, almond, tuna dan jamur. Diet triptofan juga dikonversi ke niacin dalam tubuh. Vitamin B3 juga sering ditemukan dalam vitamin B kompleks yang mengandung vitamin B lainnya, seperti tiamin, riboflavin, asam pantotenat, piridoksin, sianokobalamin, dan asam folat (The Natural Standard Research Collaboration, 2006). Kegunaan Berdasarkan Evidence Based a. Mengatasi kolesterol tinggi Niasin diterima dengan baik untuk mengatasi kolesterol yang tinggi. Beberapa studi menunjukkan bahwa niasin (bukan niasinamida) memiliki manfaat yang signifikan pada peningkatan kadar high-density lipoprotein (HDL atau "kolesterol baik"), dengan hasil yang lebih baik dibandingkan preparat statin, seperti atorvastatin. Niasin juga memberikan efek pada penurunan kadar low-density lipoprotein (LDL atau "kolesterol jahat"), meskipun efek yang ditimbulkan kurang signifikan dibandingkan efeknya terhadap HDL. Penambahan niasin ke obat lain seperti statin dapat meningkatkan efek pada LDL. Penggunaan niasin untuk pengobatan dislipidemia yang berhubungan dengan diabetes tipe 2 masih bersifat kontroversi karena mungkin dapat memburuk kontrol glikemik, sehingga pasien harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter dan apoteker sebelum memulai terapi dengan niasin. b. Pelagra Niasin (vitamin B3) dan niasinamida disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan defisiensi niasin. Pelagra adalah penyakit gizi yang berkembang karena defisiensi niasin yang ditandai dengan adanya kelainan pada kulit, saluran cerna, dan susunan saraf pusat. Gejala kelainan kulit berupa erupsi eritematosa, bengkak dan merah pada kulit. Gejala kelainan pada saluran cerna meliputi lidah membengkak dan
merah, stomatitis, mual, muntah, dan enteritis. Gejala kelainan pada SSP meliputi sakit kepala, insomnia, bingung, serta kelainan psikis seperti halusinasi, delusi, dan demensia pada keadaan lanjut. c. Aterosklerosis Niasin menurunkan kadar kolesterol dan lipoprotein, sehingga dapat mengurangi risiko aterosklerosis (pengerasan pada arteri). Namun, niasin juga dapat meningkatkan kadar homosistein, yang mungkin memiliki efek sebaliknya yaitu meningkatkan risiko aterosklerosis. Secara keseluruhan, bukti-bukti ilmiah mendukung penggunaan niasin dalam kombinasi dengan obat lain (tidak secara tunggal) untuk mengurangi kolesterol dan memperlambat proses aterosklerosis. d. Pencegahan serangan jantung sekunder Niasin menurunkan kadar kolesterol, lipoprotein, dan fibrinogen, sehingga dapat mengurangi risiko penyakit jantung. Namun, niasin juga meningkatkan kadar homosistein, yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung. Sejumlah penelitian telah membuktikan efek niasin, baik secara tunggal maupun kombinasi dengan obat lain, untuk pencegahan penyakit hati dan serangan jantung yang fatal. Secara keseluruhan, diketahui manfaat niasin terutama bila dikombinasikan dengan obat lainnya sebagai obat penurun kolesterol. e. Penyakit Alzheimer atau penurunan kognitif Demensia dapat disebabkan oleh defisiensi niasin yang parah, tetapi tidak ada pernyataan yang jelas mengenai hubungan variasi asupan niasin dalam makanan dengan penurunan neurodegeneratif atau penyakit Alzheimer. f. Osteoartritis Studi awal pada manusia menunjukkan bahwa niasinamida mungkin berguna dalam pengobatan osteoartritis. Niasinamida telah ditemukan dapat meningkatkan fleksibilitas sendi dan mengurangi peradangan. (The Natural Standard Research Collaboration, 2006) Kebutuhan Harian Dewasa (di atas 19 tahun): 11-19 mg per hari Wanita hamil: 15 mg per hari Ibu menyusui: 18 mg per hari Anak di atas 7 tahun: 15-21 mg per hari
Anak di bawah 7 tahun: 4-12 mg per hari
Kebutuhan minimal niasin atau asam nikotinat untuk mencegah pelagra adalah ratarata 4,4 mg/1000 kkal dan pada orang dewasa asupan minimal asam nikotinat (vitamin B3) adalah 13 mg per hari (Dewoto dan Wardhini, 2007). Defisiensi Vitamin B3 Defisiensi niasin antara lain disebabkan oleh kekurangan asupan, malabsorbsi intestinal, atau kerusakan metabolisme genetik. Beberapa kerusakan genetik yang berhubungan dengan niasin antara lain penyakit hartnup (penyakit keturunan yang menyebabkan ruam kulit), malabsorbsi triptofan, dan kegagalan sintesis niasin secara in vivo. Niasin menyebabkan vasodilatasi perifer secara langsung, sehingga menyebabkan kemerahan pada lapisan subkutan kulit dan rasa panas terutama di daerah leher, muka, dan telinga. Defisiensi niasin sering dihubungkan dengan pelagra. Manifestasi klinik dari defisiensi niasin pada tahap awal tidak jelas dan tidak spesifik, seperti kehilangan nafsu makan, mual, sakit kepala, kelelahan, luka pada mulut, kulit kering, kesulitan tidur, penurunan ingatan (demensia), dan mudah tersinggung. Defisiensi niasin yang parah (pelagra parah) ditandai dengan 3D (Dementia, Dermatitis dan Diare). Dermatitis terkait dengan defisiensi niasin pada kulit dan terutama terjadi di daerah kulit yang terkena sinar matahari; demensia terkait dengan defisiensi niasin pada sistem saraf yang ditandai dengan kebingungan, disorientasi, kejang, dan halusinasi; serta diare terkait dengan defisiensi niasin pada sistem pencernaan (Dewoto dan Wardhini, 2007; Tim Penyusun, 2008). Kelebihan Vitamin B3/Efek Samping Kelebihan asam nikotinat dan nikotinamida dapat menyebabkan efek samping yang berbeda. Nikotinamida dengan dosis yang: lebih besar dari 3 gram per hari selama lebih dari tiga bulan dapat menyebabkan mual, sakit kepala, mulas, rambut dan kulit kering, serta penglihatan kabur. Asam nikotinat dengan dosis yang lebih besar dari 100 mg per hari dapat menyebabkan pembilasan akut (flushing) atau sensasi terbakar. Gejala lain yang muncul dapat berupa sakit kepala, pusing, mual, muntah, kulit gatal, peningkatan denyut nadi dan laju respirasi, peningkatan kadar asam urat, gangguan toleransi glukosa hingga hiperglikemia, penurunan fungsi hati, dan hipotensi. Reaksi anafilaksis diduga terjadi pada pemberian secara intravena (Anonim, 2012; Dewoto dan Wardhini, 2007). Dosis Vitamin B3
Penyakit Alzheimer: 17-45 mg per hari Kolesterol tinggi: 1200-1500 mg per hari untuk meningkatkan HDL dan 2000-3000 mg per hari untuk menurunkan LDL.
Defisiensi vitamin B3 ringan: 50-100 mg per hari
Pelagra pada orang dewasa: 300-500 mg per hari dalam dosis terbagi (50 mg sampai 10 kali sehari)
Pelagra pada anak-anak: 100-300 mg per hari dalam dosis terbagi (30 mg sampai 10
kali sehari) Osteoartritis: 3 gram per hari (Anonim, 2012; Dewoto dan Wardhini, 2007) Terapi dengan asam nikotinat harus dimulai secara bertahap dalam peningkatan dosis untuk mengurangi insiden dan beratnya efek samping yang mungkin terjadi selama awal terapi. Dosis yang dianjurkan adalah:
375 mg sehari sekali sebelum tidur untuk satu minggu pertama. Jika dapat ditoleransi dengan baik, maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 500 mg sehari sekali sebelum tidur untuk minggu kedua. Jika dapat ditoleransi dengan baik, maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 750 mg sehari sekali sebelum tidur untuk minggu ketiga. Jika dapat ditoleransi dengan baik, maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 500 mg dua tablet sebelum tidur untuk minggu ke 4-7. Jika dapat ditoleransi dengan baik, maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 1000 mg dua tablet sebelum tidur.
Setelah minggu ke-7, titrasi dosis tergantung pada respon pasien dan toleransinya. Jika respon dengan dosis 1000 mg sehari sekali mencukupi, maka pemberian dapat ditingkatkan hingga dosis 1500 mg sehari sekali, kemudian dosis dapat ditingkatkan menjadi 2000 mg sehari sekali.
Dosis penunjang: Dosis yang dianjurkan untuk penunjang adalah 1000-2000 mg sehari sekali sebelum tidur. Dosis per hari tidak boleh ditingkatkan lebih dari 500 mg dalam waktu 4 minggu (BPOM RI, 2008). Farmakokinetika Niasin dan niasinamida mudah diabsorpsi melalui semua bagian saluran cerna dan dapat didistribusikan ke seluruh tubuh. Kadar serum puncak (15-30 g/L (120-240 nmol/L)
tercapai dalam 30-60 menit setelah pemberian 1 g formulasi standar. Niasin sebagian besar dimetabolisme dalam hati menjadi niasinamida (nikotinamida) dan turunannya (misalnya, asam nikotinurat) yang dapat berkontribusi terhadap penurunan kadar lemak terutama setelah penggunaan jangka panjang. Sebagian besar obat ini diekskresikan melalui urin dalam bentuk tidak berubah atau dalam bentuk metabolitnya, yaitu asam nikotinurat danbentuk glisin peptida dari asam nikotinat. Obat ini memiliki waktu paruh 20-48 menit (Anderson, 2002; Dewoto dan Wardhini, 2007).
Farmakodinamik Di dalam tubuh, asam nikotinat dan bentuk amida dari asam nikotinat (niasinamida) diubah menjadi bentuk aktif NAD (Nikotinamida Adenin Dinukleotida) dan NADF (Nikotinamida Adenin Dinukleotida Fosfat). Keduanya berperan sebagai koenzim untuk metabolisme berbagai protein yang penting dalam respirasi jaringan. Asam nikotinat merupakan suatu vasodilator yang bekerja terutama pada blushing area, yaitu di daerah muka dan leher. Kemerahan di tempat tersebut dapat berlangsung sampai 2 jam disertai rasa panas dan gatal. Pada dosis besar, asam nikotinat dapat menurunkan kadar kolesterol dan asam lemak bebas dalam darah. Kedua efek ini tidak diperlihatkan oleh niasinamida (Dewoto dan Wardhini, 2007). Kontraindikasi Perdarahan arteri, hipotensi berat, disfungsi hati; peningkatan transaminase, dan penyakit ulkus peptikum aktif (Anderson, 2002). Peringatan Kehamilan; laktasi. Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat penyakit kandung empedu atau sejarah penyakit hati, angina tidak stabil, gout, artritis gout, glaukoma, atau diabetes. Jika bentuk SR digantikan dengan bentuk pelepasan cepat, maka dosis harus dikurangi menjadi sekitar satu-setengah kali dari dosis awal. Jika pengunaan dengan HMG-CoA reduktase inhibitor tidak dapat dihindari, maka gunakan dengan perhatian yang ketat. Beberapa formulasi obat ini mengandung pewarna tartrazin yang dapat menyebabkan reaksi alergi pada pasien yang sensitif (Anderson, 2002).
Interaksi Obat Penggunaan bersamaan dengan HMG-CoA reduktase inhibitor dapat meningkatkan risiko rabdomiolisis. Penggunaan bersama dengan antihipertensi penghambat adrenergik dapat menyebabkan hipotensi. Penggunaan obat hipoglikemik oral atau insulin mungkin memerlukan penyesuaian dosis jika digunakan bersamaan dengan niasin. Niasin dan obat hepatotoksik dapat memiliki efek aditif (Anderson, 2002).
Sediaan
Bentuk tablet tersedia dalam dosis 50, 100, 250, dan 500 mg
(Anderson, 2002) Contoh sediaan: Asam Nikotinat (Generik) Tablet 50 mg (Obat Bebas Terbatas) Dialac Tablet 1 g (Obat Bebas) Nikotinamida (Generik) Tablet 50 mg, 100 mg Armovit mengandung 100 mg niasinamida (Obat Bebas) (BPOM RI, 2008)
2.3.4 Vitamin B5
Vitamin B5 merupakan vitamin yang larut air dan dikenal dengan nama asam pantotenat. Biosintesis membuktikan bahwa asam pantotenat merupakan turunan dari alanin dan asam -ketoisovalerat (Tim Penyusun, 2008). Asam pantotenat mudah diserap pada saluran cerna setelah pemberian oral, terdistribusi secara luas dalam jaringan tubuh dan ditemukan dalam ASI. Sekitar 70% asam pantotenat diekskresikan tidak berubah dalam urin dan sekitar 30% dalam feses (Sweetman, 2009).
Gambar struktur vitamin B5 Asam pantotenat berperan sebagai prekursor dari koenzim A, yaitu kofaktor yang esensisal dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Koenzim A berhubungan dengan sintesis asam lemak dan sterol, oksidasi asam lemak, asam piruvat, dan asam ketoglutarat (Tim Penyusun, 2008). Makanan yang banyak mengandung vitamin B5 diantaranya selai kacang, organ hewan (hati, ginjal, jantung), kacang, almond, gandum, keju, dan lobster. Telur, susu, sayur-sayuran serta buah-buahan juga diketahui mengandung vitamin B5. Sebagian besar vitamin B5 dalam makanan biasanya ditemukan telah tergabung dengan koenzim A dan fosfopantetein. Defisiensi vitamin B5 jarang terjadi karena vitamin B5 ini ditemukan secara luas dalam berbagai macam makanan. Jika defisiensi sampai terjadi, biasanya disertai dengan defisit nutrisi lainnya. Toksisitas tidak menjadi masalah dalam penggunaan vitamin B5, karena tidak ada efek samping yang teramati (Sweetman, 2009; Kelly, 2011). Dosis rekomendasi harian vitamin B5 disajikan dalam tabel sebagai berikut: Kelompok Usia Infant dan anak-anak 0-6 bulan 7-12 bulan 1-3 tahun 4-6 tahun 7-9 tahun Remaja 10-18 tahun Dewasa Laki-laki, 19+ tahun Perempuan, 19+ tahun Wanita hamil Wanita menyusui
2.3.5 Vitamin B6
Rekomendasi intake nutrisi (mg/hari) 1,7 1,8 2,0 3,0 4,0 5,0 5,0 5,0 6,0 7,0
Vitamin B6 adalah vitamin yang larut dalam air dan merupakan bagian dari kelompok vitamin B komplek. Vitamin B6 adalah istilah kolektif untuk piridoksal (bentuk aldehid), piridoksin (bentuk alkohol piridoksol), piridoksamin (bentuk amin) dan bentuk terfosforilasinya. Bentuk aktif dari piridoksal dan piridoksamin merupakan koenzim aktif dan interkonversi diantara keduanya terlibat dalam berbagai fungsi biologis dari vitamin. Vitamin B6 mempunyai keterlibatan yang luas pada metabolisme asam amino dan senyawa
yang mengandung nitrogen, lipid, serta produksi beberapa hormon tertentu. Piridoksin, sebagai piridoksal fosfat, memegang peranan penting dalam perubahan triptopan menjadi asam nikotinat (Hathcock, 2004; Bolkent et al., 2008).
Gambar interkonversi metabolik dari piridoksin, piridoksal, piridoksamin dan masing-masing fosfat esternya (Spinneker et al., 2007) Absorpsi dan Transpor Dalam jaringan bentuk utama dari vitamin B6 adalah piridoksal 5-fosfat (PLP), berikutnya adalah piridoksamin 5-fosfat (PMP). Penyerapan dalam usus melibatkan fosfatase-dimediasi hidrolisis diikuti oleh transportasi dari bentuk nonfosforilasi ke dalam sel mukosa. Transportasi dengan mekanisme difusi pasif nonsaturable. Piridoksin (PN) glukosida diserap kurang efektif daripada PLP serta PMP dan dikonjugasi oleh glukosidase mukosa. Beberapa PN glukosida diserap utuh dan dapat dihidrolisis dalam berbagai jaringan (A Report of the Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes and its Panel on Folate, Other B Vitamins, and Choline and Subcommittee on Upper Reference Levels of Nutrients, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine, 1998). Metabolisme
Sebagian besar vitamin B6 nonfosforilasi diserap masuk ke hati. Piridoksin (PN), piridoksal (PL), dan piridoksamin (PM) dikonversi menjadi piridoksin 5-fosfat (PNP), piridoksal 5-fosfat (PLP), dan piridoksamin 5-fosfa (PMP) oleh piridoksal kinase. PNP biasanya hanya ditemukan pada konsentrasi yang sangat rendah, dan PMP teroksidasi menjadi PLP oleh PNP oksidase. PMP ini juga dihasilkan dari PLP melalui reaksi aminotransferase. PLP terikat pada berbagai protein dalam jaringan, ini melindunginya dari aksi fosfatase. Kapasitas protein yang mengikat membatasi akumulasi PLP oleh jaringan akibat intake vitamin B6 yang sangat tinggi. Ketika kapasitas ini terlampaui, PLP bentuk bebas dihidrolisis secara cepat dan nonfosforilasi dari B6 dilepaskan oleh hati dan jaringan lainnya ke dalam sirkulasi (A Report of the Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes and its Panel on Folate, Other B Vitamins, and Choline and Subcommittee on Upper Reference Levels of Nutrients, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine, 1998). PLP dalam hati dapat teroksidasi menjadi 4-PA (piridoxic acid), yang kemudian dilepas dan dikeluarkan. Protein utama pengikat PLP dalam plasma adalah albumin. PLP adalah bentuk utama vitamin B6 dari dalam plasma dan seluruhnya berasal dari hati sebagai kompleks PLP-albumin. Jaringan dan eritrosit dapat mengangkut bentuk nonfosforilasi vitamin dari plasma. Beberapa diantaranya berasal dari PLP plasma setelah aksi fosfatase. Dalam jaringan, konversi vitamin yang ditransportasikan menjadi PLP, digabung dengan protein pengikat, memungkinkan akumulasi dan retensi vitamin. B6 dalam jaringan ditemukan dalam berbagai kompartemen subselular tetapi terutama pada mitokondria dan sitosol (A Report of the Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes and its Panel on Folate, Other B Vitamins, and Choline and Subcommittee on Upper Reference Levels of Nutrients, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine, 1998). Ekskresi Biasanya, produk ekskresi utama adalah 4-PA, yang menyumbang sekitar setengah senyawa B6 dalam urin. Bentuk lain dari vitamin juga ditemukan dalam air seni. Dengan B6 dosis besar, proporsi bentuk-bentuk lain dari vitamin meningkat. Pada dosis yang sangat tinggi dari PN, banyak dari dosis diekskresikan tidak berubah dalam urin. B6 juga diekskresikan dalam tinja tetapi mungkin hanya dalam batas tertentu (A Report of the Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes and its
Panel on Folate, Other B Vitamins, and Choline and Subcommittee on Upper Reference Levels of Nutrients, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine, 1998).
Sumber Vitamin B6 Sumber utama vitamin B6 adalah daging (terutama daging babi, hati sapi), unggas, ikan (tuna, salmon), kacang-kacangan, produk kedelai, produk gandum, ubi jalar, kentang, buah-buahan (alpukat, durian, pisang), biji-bijian (biji bunga matahari), dan susu (Anonim a, 2012). Kegunaan Vitamin B6 a) Premenstrual Syndrome (PMS) Vitamin B6 secara klinis terbukti bermanfaat bagi pasien dengan gejala pramenstruasi khususnya gejala kecemasan dan depresi (Anonim b, 2012). b) Asma Vitamin B6 dalam jumlah yang rendah ditemukan pada orang dewasa yang menderita asma. Hal ini mungkin disebabkan karena penggunaan teofilin, obat yang mengurangi spasme bronkial. Oleh karena itu, pemberian vitamin B6 dapat mengurangi kegelisahan dan efek samping teofilin serta keparahan dan frekuensi serangan asma (Anonim b, 2012). c) Diabetes Pada studi dengan pasien yang memiliki kadar vitamin B6 yang rendah, gejala diabetes neuropati perifer dapat dihilangkan ketika kadar vitamin B6 tercukupi (Anonim b, 2012). d) Alzheimer, Atherosclerosis, dan Penyakit Kardiovaskular Gangguan pengentalan homosistein dengan serin menyebabkan peningkatan ringan, sedang, atau berat terhadap konsentrasi plasma homosistein yang merupakan salah satu gejala defisiensi vitamin B6. Pemberian Vitamin B6 terbukti dapat mengurangi konsentrasi homosistein yaitu zat yang terbukti dapat meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular (EFSA Panel on Dietetic Products, Nutrition and Allergies, 2010; Anonim b, 2012). e) Morning Sickness Vitamin B6 telah terbukti dapat mengurangi terjadinya mual dan muntah akibat morning sickness (Anonim b, 2012).
f) Batu Ginjal Vitamin B6 mampu menurunkan kadar oksalat pada pasien yang memiliki kadar oksalat urin yang tinggi (Anonim b, 2012). g) Energi, Vitalitas, dan Metabolisme Otot Vitamin B6, sebagai piridoksal fosfat, memiliki peran dalam penyediaan glukosa sehingga terdapat hubungan antara asupan vitamin B6 dan kontribusi energi normal untuk menghasilkan metabolisme (EFSA Panel on Dietetic Products, Nutrition and Allergies, 2010). h) Peran Dalam Kinerja Mental (Konsentrasi, Pembelajaran, Memori, dan Penalaran) Salah satu gejala dari kekurangan vitamin B6 adalah kebingungan, yang menyiratkan penurunan fungsi psikologis yang normal. Oleh karena itu, asupan vitamin B6 memiliki kontribusi terhadap fungsi psikologis yang normal (EFSA Panel on Dietetic Products, Nutrition and Allergies, 2010). i) Kelelahan dan Keletihan Kekurangan vitamin B6 bisa menyebabkan mikrositik, anemia hipokromik dimana konsentrasi hemoglobin eritrosit berkurang, yang dapat menyebabkan gejala kelemahan, kelelahan atau kelelahan. Oleh karena itu, asupan vitamin B6 yang cukup memiliki kontribusi dalam mengurangi kelelahan dan kelelahan (EFSA Panel on Dietetic Products, Nutrition and Allergies, 2010). Kebutuhan Harian Adapun kebutuhan harian terhadap vitamin B6 dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Kebutuhan harian vitamin B6
Keterangan: RDA = Recommended Dietary Allowances; AI = Adequate Intake (Kebutuhan yang cukup); UL = Ultimate Level (jumlah maksimum yang dapat diberikan tanpa menimbulkan efek samping); ND = Not Determined (belum ditentukan karena keterbatasan data klinis) (Anonim c, 2001)
Defisiensi Vitamin B6 Kekurangan vitamin B tunggal mungkin menyebabkan masalah dalam metabolisme kelompok vitamin B lainnya. Dermatitis, bengkak (terutama pada sudut bibir), bibir merah dan pecah, serta inflamasi pada lidah umum terjadi kekurangan vitamin B. sebagai tambahan, gejala defisiensi vitamin B6 termasuk kelemahan, keresahan, kegugupan, depresi, pusing, dermatitis seboroik, anemia mikrositik, otot bergetar, neuropati perifer dan kejang epileptiform (A Report of the Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes and its Panel on Folate, Other B Vitamins, and Choline and Subcommittee on Upper Reference Levels of Nutrients, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine, 1998; Anonim b, 2012). Anemia mikrositik mencerminkan sintesis hemoglobin menurun. Langkah pertama dalam biosintesis heme, sintase aminolevulinat, menggunakan piridoksal 5-fosfat (PLP) sebagai koenzim. Karena PLP juga merupakan koenzim kekarboksilase yang terlibat dalam sintesis neurotransmitter, kerusakan pada beberapa enzim dapat menjelaskan terjadinya kejang akibat defisiensi vitamin B6. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa tingkat neurotransmiter seperti dopamin, serotonin, dan -aminobutyrate berkurang terutama pada kondisi deplesi vitamin B6 yang ekstrim (A Report of the Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes and its Panel on Folate, Other B Vitamins, and Choline and Subcommittee on Upper Reference Levels of Nutrients, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine, 1998). Guilarte (1993) mengusulkan bahwa kejang terjadi karena akumulasi metabolit triptofan abnormal di otak pada kondisi defisiensi vitamin B6. Kelainan electroencephalogram (EEG) juga dilaporkan pada kondisi deplesi vitamin B6. Konsumsi yang tidak memadai dari vitamin B6 juga telah dilaporkan merusak fungsi platelet dan mekanisme pembekuan (Brattstrom et al, 1990;. Subbarao and Kakkar, 1979), tetapi efek ini juga mungkin disebabkan oleh hyperhomocysteinemia pada pasien tersebut (Brattstrom et al,. 1990). Kelebihan Vitamin B6
Konsumsi harian sesuai dengan yang direkomendasikan tidak akan memberikan masalah. Namun banyak kondisi memerlukan dosis yang lebih tinggi untuk mendapatkan respon. Pada orang dewasa yang mengkonsumsi lebih dari 100 mg hari harus dipantau. Meskipun penelitian masih bertentangan dimana satu percobaan menunjukkan bahwa dosis 100 - 150 mg setiap hari selama lebih dari lima sampai sepuluh tahun itu tidak menimbulkan masalah sementara yang lain menunjukkan bahwa 117 mg per hari selama tiga tahun dikaitkan dengan kerusakan saraf seperti mati rasa dan kesemutan. Dosis sangat besar dari 500 - 5000 mg per hari dapat menyebabkan neuropati perifer dalam 1 - 3 tahun. Gejala akibat penggunaan berlebihan dari vitamin B6 meliputi: neuropati perifer, goyah saat berjalan, mati rasa dan kesemutan di kaki dan tangan, kehilangan refleks anggota tubuh, koordinasi yang buruk, gangguan tendon atau tidak ada refleks, kepekaan terhadap cahaya, pusing, mual, nyeri payudara ketika ditekan dan memburuknya jerawat (Anonim b, 2012). Dosis Vitamin B6 PMS Asma Morning sickness Kardiovascular : 50 100 mg sehari : 15 50 mg : 25 mg setiap 8 jam selama 72 jam : 50 100 mg dan sering dikombinasikan dengan asam folat 500 mcg dan vitamin B12 sampai 1 mg Anemia idiopatik sideroblastik : 100 400 mg tiap hari dalam dosis terbagi Neuropati isoniazid sehari (BPOM RI, 2008; Anonim b, 2012) Kontraindikasi Pasien dengan sejarah sensitivitas pada vitamin, hipersensitivitas terhadap piridoksin atau komponen lain dalam formulasi (Lacy et al., 2011) Interaksi Obat-obatan yang dapat bereaksi dengan gugus karbonil memiliki potensi untuk berinteraksi dengan PLP. Isoniazid, yang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis, dan L-dopa, yang dimetabolisme untuk dopamin, telah dilaporkan untuk mengurangi : profilaksis 10 mg tiap hari; terapeutik 50 mg tiga x
konsentrasi plasma PLP (Bhagawan, 1985;. Weir et al, 1991). Kontrasepsi oral dosis tinggi dan alkohol dapat menurunkan konsentrasi PLP (A Report of the Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes and its Panel on Folate, Other B Vitamins, and Choline and Subcommittee on Upper Reference Levels of Nutrients, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine, 1998). Sediaan Bentuk sediaan:
Bentuk tablet tersedia dalam dosis 10, 25, dan 50 mg Bentuk kaptab tersedia dalam dosis 10 mg
Contoh sediaan: Piridoksin (Generik) Tablet 10 mg, 25 mg, 50 mg; Kaptab 10 mg (Obat Bebas) Binam (Global Multi) Kaptab 10 mg (Obat Bebas) Liconam (Berlico Mulia) Tablet 10 mg, 25 mg (Obat Bebas) (BPOM RI, 2008).
2.3.6 Vitamin B12
Vitamin B12 yang merupakan salah satu unsur dari vitamin B adalah vitamin yang larut dalam air dan dikenal juga dengan nama kobalamin atau sianokobalamin. Secara struktur, vitamin B12 adalah vitamin yang paling kompleks karena tersusun atas cincin seperti porfirin dengan pusat berupa atom kobalt yang melekat pada suatu nukleotida. Atom kobalt ini merupakan elemen yang jarang tersedia secara biokimia di alam. Biosintesis dari struktur dasar vitamin ini hanya dapat dilakukan oleh bakteri, namun konversi menjadi bentuk aktifnya yaitu deoksiadenosilkobalamin dan metilkobalamin dapat terjadi dalam tubuh manusia (Katzung, 2010). Berikut ini adalah struktur dari vitamin B12:
Gambar struktur vitamin B12 Sumber Vitamin B12 Vitamin B12 secara alami dapat ditemukan dalam produk hewani seperti ikan, unggas (ayam, bebek), daging (sapi, domba, kelinci), telur, susu, dan produk susu seperti keju. Bagi vegetarian, sumber vitamin B12 dapat diperoleh dari sereal atau ragi. Selain dari makanan, vitamin B12 juga dapat ditemukan dalam suplemen makanan baik dalam bentuk tunggal ataupun dalam bentuk sediaan vitamin B kompleks (Office of Dietary Supplement, 2011). Fungsi Vitamin B12 Vitamin B12 diperlukan dalam proses pembentukan sel darah merah, fungsi neurologis, dan sintesis DNA. Vitamin B12 bertindak sebagai kofaktor dalam sintesis metionin dan Lmetilmalonil yang berperan dalam reaksi metabolisme lemak dan protein. Selain itu vitamin B12 juga berfungsi untuk mengobati atau mencegah defisiensi (Office of Dietary Supplement, 2011; Katzung, 2010). Kebutuhan Harian Vitamin B12 Rekomendasi asupan rata-rata harian dari vitamin B12 untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pada individu yang sehat adalah: Anak-anak: 0 6 bulan 7 12 bulan 1 3 tahun : 0,4 mcg/hari : 0,5 mcg/hari : 0,9 mcg/hari
: 1,2 mcg/hari : 1,8 mcg/hari : 2,6 mcg/hari : 2,8 mcg/hari (Lacy et al., 2011)
Defisiensi vitamin B12 ditandai dengan munculnya gejala anemia megaloblastik, kelelahan, sembelit, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, perubahan neurologis seperti mati rasa dan kesemutan di tangan serta kaki. Gejala tambahan dari defisiensi vitamin B12 adalah seperti kesulitan menjaga keseimbangan, depresi, kebingungan, demensia, sakit pada mulut dan lidah serta gangguan pada memori (kognitif) (Office of Dietary Supplement, 2011). Salah satu penyebab terjadinya defisiensi vitamin B12 adalah anemia pernisiosa yang terjadi akibat penurunan fungsi pada sekresi faktor intrinsik oleh sel mukosa lambung. Pasien anemia pernisiosa menderita atrofi lambung dan gagal menyekresi faktor intrinsik begitu juga dengan asam klorida. Defisiensi vitamin B12 juga terjadi ketika daerah di ileum distal yang mengabsorpsi kompleks faktor intrinsik-vitamin B12 mengalami cedera seperti ketika ileum terkena radang usus. Penyebab defisiensi vitamin B12 lainnya yang jarang meliputi pertumbuhan bakteri yang berlebihan di usus halus, pankreatitis kronik, dan penyakit tiroid (Katzung, 2010). Efek Samping Kelebihan Vitamin B12 Vitamin B12 memiliki potensi toksisitas yang kecil apabila kelebihan asupan vitamin B12 tersebut diperoleh dari makanan dan suplemen. Namun dalam terapi menggunakan vitamin B12 apabila dosis yang digunakan berlebih dapat menimbulkan efek samping sebagai berikut: 1. Heart Failure Kelebihan vitamin B12 dapat menyebabkan gangguan pada pompa jantung yang dapat menyebabkan gejala heart failure. Vitamin B12 yang diberikan melalui injeksi memiliki resiko yang lebih besar untuk menyebabkan masalah di jantung dibandingkan vitamin B12 oral karena vitamin yang diberikan melalui injeksi akan langsung masuk ke dalam aliran darah. Pasien dengan masalah jantung harus menghindari penggunaan
vitamin B12 OTC (Over The Counter) apabila tidak ada rekomendasi dari dokter (Office of Dietary Supplement, 2011). 2. Gangguan pada Hati dan Ginjal Kelebihan vitamin B12 dapat merusak sel hati dan ginjal yang memicu terjadinya gejala gangguan hati dan gagal ginjal. Akibat dari paparan vitamin B12 dalam konsentrasi tinggi terhadap hati adalah kerusakan dari sel-sel hati tersebut yang menyebabkan peradangan dan pembentukan jaringan parut. Pada ginjal, paparan dari vitamin B12 tersebut dapat merusak sel-sel dari tubulus ginjal. Pasien dengan masalah gangguan hati dan ginjal harus berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu sebelum menggunakan vitamin OTC yang mengandung B12 (Office of Dietary Supplement, 2011). 3. Penggumpalan Darah Kelebihan vitamin B12 dapat menyebabkan pembentukan gumpalan darah di pembuluh darah utama. Gumpalan darah ini berbahaya karena dapat menghambat aliran darah ke organ-organ tubuh yang dapat menyebabkan kegagalan organ. Pasien dengan riwayat gangguan dalam pembekuan darah, stroke, dan serangan jantung harus berhatihati dalam mengkonsumsi vitamin B12 (Office of Dietary Supplement, 2011). Dosis Vitamin B12 1. Pengobatan defisiensi vitamin B12: a. Intramuscular (i.m) Anak-anak Dosis terapi sebesar 0,2 mcg/kg selama 2 hari yang kemudian diikuti dengan dosis sebesar 1000 mcg/hari selama 2 7 hari lalu dosis sebesar 100 mcg/minggu selama sebulan. Dewasa Dosis terapi sebesar 30 mcg/hari selama 5 10 hari diikuti dengan dosis pemeliharaan sebesar 100 200 mcg/bulan. b. Intranasal Dewasa Dosis terapi sebesar 100 mcg/hari (dalam dua dosis terbagi) dengan dosis pemeliharaan sebesar 50 mcg/hari. c. Oral Dewasa : 250 mcg/hari
2. Pengobatan anemia pernisiosa: Intramuscular (i.m) Anak-anak Dosis terapi sebesar 30 50 mcg/hari selama 2 minggu atau lebih (total dosis 1000 5000 mcg) yang kemudian diikuti dengan dosis pemeliharaan sebesar 100 mcg/bulan. Dewasa Dosis terapi sebesar 100 mcg/hari selama 6 7 hari, apabila menunjukkan adanya perbaikan maka dosis yang sama diberikan setiap 3 4 hari selama 2 3 minggu, kemudian diikuti dengan dosis pemeliharaan sebesar 100 mcg/bulan bila jumlah darah telah kembali ke angka normal. (Lacy et al., 2011) Interaksi Obat Vitamin B12 memiliki potensi untuk berinteraksi dengan beberapa obat tertentu yang akibatnya dapat menurunkan keefektifan kerja dari vitamin B12 sendiri. Obat-obat tersebut antara lain: 1. Kloramfenikol Pada beberapa laporan kasus menunjukkan bahwa kloramfenikol yang merupakan antibiotik bakteriostatik dapat mengganggu beberapa respon sel darah merah yang diperlukan oleh vitamin B12 untuk bekerja (Office of Dietary Supplement, 2011). 2. Proton Pump Inhibitors Obat-obatan yang termasuk ke dalam golongan Proton Pump Inhibitors (PPI) seperti omeprazole dan lansoprazole, yang biasanya digunakan untuk terapi Gastroesophageal Reflux Disease (GRD) dan ulkus peptikum dapat mengganggu penyerapan vitamin B12 dari makanan dengan cara memperlambat pelepasan asam klorida ke dalam saluran pencernaan (Office of Dietary Supplement, 2011). 3. Reseptor H2-antagonis Obat-obatan yang tergolong sebagai antagonis reseptor histamin H2 yang digunakan dalam pengobatan ulkus peptikum, seperti cimetidin, famotidine, dan ranitidine memiliki potensi untuk mengganggu penyerapan vitamin B12 dari makanan dengan cara memperlambat pelepasan asam klorida ke dalam saluran pencernaan. Interaksi obat ini dapat terjadi pada pasien yang menggunakan antagonis reseptor histamin H2 terus menerus lebih dari 2 tahun (Office of Dietary Supplement, 2011). 4. Metformin
Metformin yang merupakan agen hipoglikemik untuk mengobat diabetes, memiliki potensi untuk mengurangi penyerapan vitamin B12 melalui perubahan dalam mobilitas usus, meningkatkan pertumbuhan bakteri yang berlebihan atau perubahan dalam penyerapan kalsium oleh sel-sel ileum. Berdasarkan laporan dari studi kasus yang dilakukan terhadap pasien dibetes tipe 2 yang diberikan metformin selama 4 tahun, kadar vitamin B12 dalam tubuhnya menurun secara signifikan sebesar 19 % dan meningkatkan resiko kekurangan vitamin B12 sebesar 7,2 %. Pada beberapa studi yang lain menunjukkan bahwa suplemen kalsium dapat membantu memperbaiki malabsorpsi vitamin B12 yang diakibatkan oleh metformin, namun tidak semua peneliti setuju terhadap tindakan tersebut (Office of Dietary Supplement, 2011). Sediaan Bentuk sediaan: Larutan injeksi tersedia dalam dosis 1000 mcg/mL (1, 10, dan 30 mL) Lozenge oral tersedia dalam dosis 50, 100, 250, dan 500 mcg Lozenge sublingual tersedia dalam dosis 500 mcg Larutan intranasal (spray) tersedia dalam dosis 25 mcg/spray (10,7 mL) dan 500 mcg/spray (2,3 mL) Tablet bukal/sublingual tersedia dalam dosis 1000, 2500, dan 5000 mcg Tablet oral tersedia dalam dosis 50, 100, 250, 500, dan 1000 mcg Tablet time released oral tersedia dalam dosis 1000 dan 1500 mcg (Lacy et al., 2011) Contoh sediaan yang beredar: Vitamin B12 IPI (Generik) tablet 50 mcg (Obat Bebas) Vitamin B12 (Kimia Farma) tablet 50 mcg (Obat Bebas), injeksi 500 mcg/5 mL (Obat Keras) Vitaneuron mengandung vitamin B12 200 mcg (Obat Bebas Terbatas) Stavit tablet salut selaput mengandung vitamin B12 200 mcg (Obat Bebas) Nevramin tablet salut gula mengandung vitamin B12 500 mcg (Obat Bebas) (MIMS, 2009) 2.3.7 Vitamin C
Vitamin C atau asam askorbat merupakan kelompok vitamin yang larut dalam air. Vitamin C bekerja sebagai suatu koenzim dan pada keadaan tertentu merupakan reduktor dan antioksidan. Vitamin ini dapat secara langsung atau tidak langsung memberikan elektron ke enzim yang membutuhkan ion-ion logam tereduksi dan bekerja sebagai kofaktor untuk prolil dan lisil hidroksilase dalam biosintesis kolagen. Zat ini berbentuk kristal dan bubuk putih kekuningan, stabil pada keadaan kering dan tidak stabil pada cahaya (Dewoto dan Wardhini, 2007).
Gambar struktur vitamin C Disintesa dari D-glucose-o-galactase atau gula yang lain. Dapat diisolasi dari citrus dan daun mahkota bunga mawar. Terdapat dalam keadaan seimbang dengan dehidro-lascorbic acid, suatu bentuk teroksidasi dari vitamin C, berfungsi sebagai antiskorbut (pendarahan pada gusi) (Tim Penyusun, 2008). Kegunaan Vitamin C Vitamin ini digunakan dalam metabolisme karbohidrat dan sintesis protein, lipid, dan kolagen. Vitamin C juga dibutuhkan oleh endotel kapiler dan untuk perbaikan jaringan. Vitamin C bermanfaat dalam absorpsi zat besi dan metabolisme asam folat (Kamiensky, 2006). Vitamin C berperan sebagai kofaktor dalam sejumlah reaksi hidroksilasi dan amidasi dengan memindahkan elektron ke enzim yang ion logamnya harus berada dalam keadaan tereduksi; dan dalam keadaan tertentu bersifat sebagai antioksidan. Vitamin C dibutuhkan untuk mempercepat perubahan residu prolin dan lisin pada prokolagen menjadi hidroksiprolin dan hidroksilisin pada sintesis kolagen. Perubahan asam folat menjadi asam folinat, metabolisme obat oleh mikrosom dan hidroksilasi dopamine menjadi norepinefrin juga membutuhkan vitamin C. Asam askorbat meningkatkkan aktivitas enzim amidase
yang berperan dalam pembentukan hormon oksitosin dan hormon diuretik. Vitamin C juga meningkatkan absorpsi besi dengan mereduksi ion feri menjadi fero di lambung. Peran vitamin C juga didapatkan dalam pembentukan steroid adrenal (Kamiensky, 2006; Dewoto dan Wardhini, 2007). Fungsi utama vitamin C pada jaringan adalah dalam sintesis kolagen, proteoglikan zat organik matriks antarsel lain misalnya pada tulang, gigi, dan endotel kapiler. Peran vitamin C dalam sintesis kolagen selain pada hidroksilasi prolin juga berperan pada stimulasi langsung sintesis peptide kolagen. Gangguan sintesis kolagen terjadi pada pasien skorbut. Hal ini tampak pada kesulitan dalam penyembuhan luka, gangguan pembentukan gigi, dan pecahnya kapiler yang mengakibatkan petechiae dan echimosis. Perdarahan tersebut disebabkan oleh kebocoran kapiler akibat adhesi sel-sel endotel yang kurang baik dan mungkin juga karena gangguan pada jaringan ikat perikapiler sehingga kapiler mudah pecah oleh penekanan (Kamiensky, 2006; Dewoto dan Wardhini, 2007). Defisiensi Tanda dari defisiensi vitamin C adalah pembesaran atau keratosis dari folikel-folikel rambut, melemahnya proses penyembuhan luka, anemia, latergi, letih, sakit pada otot, daya tahan terhadap infeksi menurun, stress, luka, lecet pada kulit, pendaran pada gusi dan degenerasi kollagen. Pengujian laroratorium yang dapat dilakukan untuk memastikan terjadinya defisiensi vitamin C adalah dengan mengukur kadar plasma vitamin C (Dipiro et al., 2008; Tim Penyusun 2008). Defisiensi atau kekurangan asam askorbat menyebabkan penyakit skorbut, penyakit ini berhubungan dengan gangguan sintesis kolagen yang diperlihatkan dalam bentuk perdarahan subkutan serta perdarahan lainnya, kelemahan otot, gusi yang bengkak dan menjadi lunak dan tanggalnya gigi (Triana, 2006). Sumber vitamin C Sumber alami vitamin C dapat diperoleh dari mengkonsumsi buah-buah dan sayuran hijau segar seperti jeruk, citrus, tomat, strawberi, paprika, kembang kol, brokoli, dan peterseli. Vitamin C 50% akan hilang atau rusak dalam proses pemasakan (Dewanto, 2007; Tim Penyusun 2008). Kelebihan vitamin C
Adapun tanda-tanda dari toksisitas vitamin C adalah usus mudah kram, perut kembung dan diare, meningkatkan ekskresi oksalat pada urin, disertai dengan nyeri pinggang dan pembentukan batu ginjal, kemungkinan terjadi peningkatan penyerapan aluminium, penghentian tiba-tiba suplemen vitamin C dapat menyebabkan Rebound. Indikasi Pemberian vitamin C pada keadaan normal tidak menunjukkan efek farmakodinamik yang jelas. Namun pada keadaan defisiensi, pemberian vitamin C akan menghilangkan gejala penyakit dengan cepat. Vitamin C diindikasikan untuk pencegahan dan pengobatan skorbut. Selain itu, vitamin C juga digunakan untuk berbagai penyakit yang tidak ada hubungannya dengan defisiensi vitamin C dan seringkali digunakan dengan dosis besar. Namun, efektivitasnya dari pengobatan ini belum terbukti. Vitamin C tidak mengurangi insidens common cold tetapi dapat mengurangi keparahan sakit dan lama masa sakit (Dewoto dan Wardhini, 2007). Efek samping, kontra indikasi, interaksi obat Nyeri kepala, fatigue, drowsiness, mual, dada terbakar, muntah, diare. Vitamin C dengan aspirin atau sulfonamide dapat menyebabkan pembentukan kristal di urin (crystalluria); dapat memberikan hasil negatif palsu karena adanya darah pada uji feses dan positif palsu pada pemeriksaan klinik glikosuria. Dosis besar dapat menurunkan efek antikoagulasi oral, kontrasepsi oral dapat menurunkan kadar vitamin C dalam tubuh; merokok menurunkan kadar serum vitamin C, digunakan dengan perhatian pada pasien batu ginjal, gout, anemia, sel sickle, seideroblastik, thalassemia. Vitamin C juga dapat menurunkan asupan asam askorbat jika digunakan dengan salisilat; dapat menurunkan efek antikoagulan oral; dapat menurunkan eliminasi aspirin. Beberapa obat diduga dapat mempercepat ekskresi vitamin C misalnya tetrasiklin dan fenobarbital (Kamiensky, 2006) Kebutuhan Kebutuhan vitamin C berdasarkan U.S. RDA antara lain untuk pria dan wanita sebanyak 60 mg/hari, anak > 4 tahun sebanyak 60 mg/hari, anak < 4 tahun sebanyak 40 mg/hari, bayi sebanyak 35 mg/hari, ibu hamil sebanyak 70 mg/hari, dan ibu menyusui sebanyak 95 mg/hari. Kebutuhan vitamin C meningkat 300-500% pada penyakit infeksi, tuberculosis, tukak peptik, penyakit neoplasma, pasca bedah atau trauma, hipertiroid, kehamilan, dan laktasi. Kebutuhan vitamin C juga bertambah dalam keadaan pemakaian
obatobatan seperti barbiturat, salisilat dan tetrasiklin, perokok, penderita penyakit seperti gastrointestinal disease, kanker, peptic ulcer, hipertiroidism, stress, dan luka bakar (Kamiensky, 2006; Tim Penyusun, 2008). Dosis Dosis Profilaksis, 25-75 mg sehari (Joint Formulary Committee, 2011). Dosis per hari yang direkomendasikan:
Untuk dewasa (usia 19 tahun), pemberian enteral 75-90 mg, parenteral 100 mg. Untuk pediatrik, pemberian parenteral: 80 mg. Pemberian enteral untuk usia 0-12
bulan adalah 40-50 mg, usia 1-8 tahun adalah 15-25 mg, dan usia 9 -18 tahun adalah 45-75 mg (Dipiro et al., 2008). Perokok membutuhkan asupan vitamin C 35 mg/hari atau lebih dibandingkan bukan perokok (Dipiro et al., 2008). 2.4. KIE
1. Vitamin dibutuhkan secara esensial oleh tubuh dalam jumlah yang kecil, namun
harus dipenuhi setiap hari. Sumber makanan yang bergizi dan berimbang sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan vitamin sehari-hari. 2. 3. Penggunaan vitamin hendaknya disesuaikan dengan gejala atau keluhan yang dialami oleh pasien (indikasi yang sesuai). Perhatikan dosis dan durasi saat mengonsumsi vitamin yang dibutuhkan. Jangan mengonsumsi vitamin secara berlebihan.
4. Swamedikasi vitamin dapat dilakukan sebagai terapi pencegahan dan diindikasikan
untuk mengatasi defisiensi ringan. Jika pasien sudah menunjukkan gejala defisiensi parah, maka pasien dianjurkan untuk segera berkonsultasi dengan dokter. 5. Menganjurkan kepada pasien untuk banyak minum air untuk memaksimalkan penyerapan vitamin larut air, yaitu vitamin B dan vitamin C.
6. Vitamin larut lemak hendaknya jangan dikonsumsi lebih dari dosis yang dianjurkan
karena dapat disimpan dalam jumlah banyak dalam tubuh, sehingga kemungkinan terjadinya toksisitas jauh lebih besar daripada vitamin larut air. 7. Pasien diharapkan untuk memiliki istirahat yang cukup
mcg/hari (kehamilan).
Vitamin D dibutuhkan 200-400 unit (5-10 mikrogram kolekalsiferol atau
ergokalsiferol).
Vitamin E dibutuhkan pada pria sebanyak 10 mg/hari atau 15 IU (laki-laki),
kehamilan).
Vitamin B1 dibutuhkan 0,9-1,1 mg/hari (wanita) dan 1,1-1,2 mg/hari (laki-laki) Vitamin B2 dibutuhkan 1,7 mg/hari (laki-laki) dan 1,3 mg/hari (wanita) Vitamin B3 dibutuhkan 14,4 mg/1000 kkal dan pada orang dewasa asupan
(kehamilan)
Vitamin B6 dibutuhkan 60-100 mg/hari (laki-laki dan wanita) dan 80-100
mg/hari (kehamilan)
Vitamin B12 dibutuhkan 2,4 mcg/hari (dewasa) dan 2,6 mcg/hari (kehamilan) Vitamin C dibutuhkan 60 mg/hari (dewasa) dan 70 mg/hari (kehamilan)
2. KIE yang harus diberikan kepada pasien terkait dengan penggunaan vitamin dalam swamedikasi antara lain:
Vitamin dibutuhkan secara esensial oleh tubuh dalam jumlah yang kecil, namun harus dipenuhi setiap hari. Sumber makanan yang bergizi dan berimbang sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan vitamin sehari-hari.
Penggunaan vitamin hendaknya disesuaikan dengan gejala atau keluhan yang dialami oleh pasien (indikasi yang sesuai). Perhatikan dosis dan durasi saat mengonsumsi vitamin yang dibutuhkan. Jangan mengonsumsi vitamin secara berlebihan.
untuk mengatasi defisiensi ringan. Jika pasien sudah menunjukkan gejala defisiensi parah, maka pasien dianjurkan untuk segera berkonsultasi dengan dokter. Menganjurkan kepada pasien untuk banyak minum air untuk memaksimalkan penyerapan vitamin larut air, yaitu vitamin B dan vitamin C.
Vitamin larut lemak (A,D,E,K) hendaknya jangan dikonsumsi lebih dari dosis yang
dianjurkan karena dapat disimpan dalam jumlah banyak dalam tubuh, sehingga kemungkinan terjadinya toksisitas jauh lebih besar daripada vitamin larut air. Pasien dianjurkan untuk istirahat yang cukup
DAFTAR PUSTAKA A Report of the Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes and its Panel on Folate, Other B Vitamins, and Choline and Subcommittee on Upper Reference Levels of Nutrients, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine. 1998. Dietary Reference Intakes for Thiamin, Riboflavin, Niacin, Vitamin B6, Folate, Vitamin B12, Pantothenic Acid, Biotin, and Choline. Washington: The National Academies Press. p. 150 195. Anderson, P.O. 2002. Handbook of Clinical Drug Data. 10th Edition. New York: McGrawHill Companies. Anonim. 2012. Vitamin B3. (cited: 2012, November www.govita.com.au/library/Vitamins/VitaminB3.pdf 17th) Available at:
Anonim a. 2012. Food Sources of Vitamin B6. Kanada: Dietitians of Canada. Anonim b. 2012. Vitamin B6. (cited: 2012, November www.govita.com.au/library/Vitamins/VitaminB6.pdf 17th). Available at:
Anonim c. 2001. Dietary Reference Intakes: Vitamins. (cited: 2012, November 17th). Available at: www.iom.edu/~/media/Files/Activity %20Files/Nutrition/DRIs/DRI_Vitamins.ashx Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta: CV Sagung Seto. Bangun, A.P. 2009. Sehat dengan Ramuan Tradisional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bhagavan HN. 1985. Interaction Between Vitamin B6 and Drugs. In: Reynolds RD, Leklem JE, eds. Vitamin B6: Its Role in Health and Disease. New York: Liss. Pp. 401415. Bolkent, Sehnaz., O. Sacan, A. Karatug, R. Yanardag. 2008. The Effects of Vitamin B6 on the Liver of Diabetic Rats: A Morphological and Biochemical Study. IUFS J Biol Vol 67(1): p.1-7. Brattstrom LE, Israelsson B, Norrving B, Bergkvist D, Thorne J, Hultberg B, Hamfelt A. 1990. Impaired Homocysteine Metabolism In Early-Onset Cerebral and Peripheral Occlusive Arterial Disease. Effects of Pyridoxine and Folic Acid Treatment. Atherosclerosis Vol 81: p. 5160. Dewi, A.B.F.K., N. Pujiastuti., I. Fajar. 2012. Ilmu Gizi untuk Praktisi Kesehatan. Yogyakarta : Graha Ilmu. Dewoto dan Wardhini, 2007 dan Wardhini, 2007 HR 2007. Vitamin dan Mineral. dalam Farmakologi dan Terapi edisi kelima.Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Percetakan Gaya Baru, Jakarta.p.76992.
Dipiro, J.T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, and L.M. Posey. 2008. Pharmacotherapi A Pathophysiologic Approach. 7th edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. EFSA Panel on Dietetic Products, Nutrition and Allergies. 2010. Scientific Opinion on the substantiation of health claims related to vitamin B6 and contribution to normal homocysteine metabolism (ID 73, 76, 199), maintenance of normal bone (ID 74), maintenance of normal teeth (ID 74), maintenance of normal hair (ID 74), maintenance of normal skin (ID 74), maintenance of normal nails (ID 74), contribution to normal energy-yielding metabolism (ID 75, 214), contribution to normal psychological functions (ID 77), reduction of tiredness and fatigue (ID 78), and contribution to normal cysteine synthesis (ID 4283) pursuant to Article 13(1) of Regulation (EC) No 1924/2006. EFSA Journal Vol 8(10): p.1759. Hathcock, John. 2004. Vitamin and Mineral Safety 2nd Edition. Washington: Council for Responsible Nutrition. Guilarte TR. 1993. Vitamin B6 and cognitive development: Recent research findings from human and animal studies. Nutr Rev Vol 51: p. 193198. Fauci, A. S. D. L. Kasper, A. L. Longo, E. Braunwald, S. L. Hauser, J. L. Jameson, J. Loscalzo. 2006. Harrisons Principles of Internal Medicine. USA: McGraw-Hill Companies Isselbacher, K.J., E. Braunwald, J.D. Wilson, J.B. Martin, A.S. Fauci and D.L. Kasper. 1999. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Joint Formulary Committee. 2011. British National Formulary 61. London: British Medical Association and Royal Pharmaceutical Society of Great Britain. Kamiensky M, Keogh J 2006. Vitamins and Minerals. In: Pharmacology Demystified. Mc.GrawHill Companies Inc.,USA.p.137-54. Katzung, B. G. 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika. 177-178, 193, 704-712. Lacy, C.F., L.L. Amstrong, M.P. Goldman and L. L. Lance. 2011. Drug Information Handbook. Twentieth Edition. United States: Lexi-Comp Inc. Meyer, M. 2012. Vitamin B2 (Riboflavin) Dosage, Intake, Recommended Daily Allowance (RDA). Vitamin and Health Supplements Guide. MIMS, 2009. MIMS Edisi Bahasa Indonesia. Volume 10. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer (Kelompok Gramedia). Office of Dietary Supplement, 2011. Dietary Supplement Fact Sheet: Vitamin B12.USA: National Institutes of Health.
Rubenstein, D., D. Wayne and J. Bradley. 2010. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga Medical Series. Schoenen, J., J. Jacquy and M. Lenaerts. 1998. Effectiveness of High-Dose Riboflavin in Migraine Prophylaxis: A Randomized Controlled Trial. American Academy of Neurology 50 (2): 466-470. Spinneker, A., R. Sola, V. Lemmen, M. J. Castillo, K. Pietrzik, M. Gonzlez-Gross. Vitamin B6 Status, Deficiency and Its Consequences - An Overview. Nutr Hosp Vol 22(1): p.7-24. Subbarao K, Kakkar W. 1979. Thrombin Induced Surface Changes of Human Platelets. Biochem Biophys Res Commun Vol 88: p. 470476. Suhardjo dan C.M. Kusharto. 2010. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Sumardjo, D. 2009. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran dan Program Strata I Fakultas Bioeksakta. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Sweetman, S.C. 2009. Martindale: The Complete Drug Reference. 36th Ed. London: Pharmaceutical Press. Tambayong, J. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC The Natural Standard Research Collaboration. 2006. Niacin (Vitamin B3, Nicotinic Acid), Niacinamide. (cited: 2012, November 17th). Available at: http://www.mayoclinic.com/health/niacin/NS_patient-niacin Tim Penyusun. 2008. Bahan Ajar Farmakognosi. Jimbaran: Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA, Universitas Udayana. Tjay, T. H. dan K. Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting. Jakarta: Elex Media Komputindo. Triana, Vivi. 2006. Macam-Macam Vitamin dan Fungsinya Dalam Tubuh Manusia. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol: I (1). Hal: 40-47. Vitahealth. 2010. Food Suplement. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Weir MR, Keniston RC, Enriquez JI Sr, McNamee GA. 1991. Depression of vitamin B6 levels due to dopamine. Vet Hum Toxicol Vol 33: p. 118121. Wong, D.L., M. Hockenberry-Eaton, D. Wilson, M.L. Winkelstein and P. Schwartz. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Volume Satu. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Oleh : Komang Ayu Mariyani Syarifudin Ni Putu Parwatininghati Enny Laksmi Artiwi Ni Putu Martiari I Gede Dwija Bawa Temaja Anggy Anggraeni Wahyudhie Ni Made Ayu Suartini Ni Made Wiryatini Ni Komang Enny Wahyuni Ni Putu Dian Priyatna Sari (1208515006) (1208515008) (1208515009) (1208515010) (1208515016) (1208515017) (1208515019) (1208515020) (1208515021) (1208515023) (1208515025)
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2012