Anda di halaman 1dari 4

Nama : Septira Murtiningsih NIM : I 211 10 044 Kelompok : B-2 7.

Bagaimana penentuan dosis yang baik untuk tikus ? jelaskan dan cantumkan jurnal terkait? Jawaban : Perhitungan menggunakan faktor konversi 0.0018 yang merupakan konversi dosis manusia ke tikus. Ukuran berat badan dan tinggi badan manusia yang digunakan dalam asumsi ini merupakan ukuran normal rata-rata orang Indonesia. Dosis yang diberikan adalah dosis lazim konsumsi suplemen per hari pada manusia yang dikonversi dari manusia ke tikus. Perhitungan pemberian dosis berdasarkan pada body surface area (BSA). Berikut merupakan tabel konversi Dosis Manusia dan Hewan, yaitu (Suhardjono, 1995)

Contoh berdasarkan jurnal : Dosis yang akan digunakanadalah 4 mg pada manusia. Untuk dosis tikus/200g = dosis manusia x faktor konversi x faktor farmakokinetik = 4 mg x 0.018 x 6 = 0.432 mg/200 g tikus

8. Apa tujuan pmlhan dosis dlm farmkokinetik dan bagaimana caranya jelaskan ! Jawaban : Pemberian dosis harus diperhatikan karena berkaitan dengan salah satu syarat metode yaitu sensitifitas metode.Hal ini disebabkan karena besarnya dosis yang digunakan harus memungkinkan obat dapat terdeteksi. Di samping itu ada juga beberapa obat yang kinetikanya tergantung dari dosis sehingga harus ditetapkan jumlah dosis yang akan diberikan agar memperoleh efek terapeutik ( Donatus, 2001).

Pemilihan takaran dosis yang akan diberikan pada hewan uji pada tahap uji praklinik, dapat didasarkan pada data harga LD 5o senyawa yang akan diuji. Namun perlu diingat dan disadari dalam mempergunakan data harga LD5o tersebut, yakni cara pemberian senyawa selama penelitian toksisitas akutnya ( Kaplan, 1973). Perbandingan harga LD 5o oral lawan intravena dapat dikerjakan untuk memperoleh wawawan terhadap masalah absorpbabilitas sebagai fungsi cara pemberian oral. Hal ini tentunya akan berguna dalam meramalkan efek toksik sebagai fungsi kenaikan takaran dosis. Jika informasi ini tidak tersedia, makadapat dipergunakan harga LD intravena sebagai dosis awal penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan, yakni sebesar 5 10% LD 5o intravena ( Kaplan, 1973). Selain parameter -parameter famakologik dan toksikologik tersebut di atas, pemilihan takaran dosis juga harus dikaitkan dengan sensitivitas metode penetapan kadar obat tak berubah atau metabolitnya. Maksudnya takaran dosis yang diberikan harus menjamin dapat diukurnya kadar obat atau metabolit pada jarak waktu tertentu, sehingga diperoleh data yang cukup untuk evaluasi farmakokinetika. Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan takaran dosis ini adalah adanya fenomena "kinetika tergantung dosis". Yakni suatu fenomena yang menunjukkan adanya perubahan parameter farmakokinetika obat bila takaran dosisnya diubah.Keadaan ini berkaitan dengan asumsi ordo kinetika obat tersebut ( Kaplan, 1973). Kinetika obat diasumsikan mengikuti ordo nol bila menunjukkan fenomena kinetika tergantung dosis. Hal ini perlu diperhatikan, karena akan menentukan rumus matematik yang dipergunakan untuk menghitung parameter farmakokinetikaanya. Jika mengikuti ordo nol, perhitungannya mengikuti rumus pada farmakokinetika non-liniair. Hal ini berbeda jika asumsinya mengikuti ordo pertama, yakni parameter farmakokinetika obat tidak dipengaruhi oleh perubahan dosis (farmakokinetika liniair). Fenomena kinetika tergantung dosis dapat disebabkan oleh beberapa hal, misalnya: (1) obat diberikan dalam dosis besar, sehingga kapasitas proses metaboliknya dilampaui, (2) bila terjadi kompetisi antara dua obat yang berbeda atas satu macam proses metabolisme, (3) jika zat pembawa bagi transport aktif suatu obat mengalami kejenuhan. Keadaan ini dapat diketahui dengan menghitung waktu paruh (t) eliminasi obat, setelah pemberian beberapa takaran dosis yang berbeda. Jika harga tlh obat berbeda-beda, berarti kinetika obat mengikuti ordo nol atau tergantung dosis (Shargel dan Yu, 1980). Lethal Dose 50 adalah suatu besaran yang diturunkan secara statistik, guna menyatakan dosis tunggal sesuatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik yang berarti pada 50% hewan coba setelah perlakuan. LD50 merupakan tolak ukur kuantitatif yang sering digunakan untuk menyatakan kisaran dosis letal. Ada beberapa pendapat yang menyatakan tidak setuju, bahwa LD dapat digunakan untuk uji toksisitas akut. Pada dasarnya, nilai tes LD50 yang harus dilaporkan selain jumlah hewan yang mati, juga harus disebutkan durasi pengamatan. Bila pengamatan dilakukan dalam 24 jam setelah perlakuan, maka hasilnya tertulis LD50 24 jam. Namun seiring perkembangan, hal ini sudah tidak diperhatikan lagi, karena pada umumnya tes LD50 dilakukan dalam 24 jam pertama sehingga penulisan hasil tes saja sudah cukup untuk mewakili tes LD50 yang diamati dalam 24 jam. Bila

dibutuhkan, tes ini dapat dilakukan lebih dari 14 hari. Contohnya, pada senyawa tricresyl phosphat, akan memberikan pengaruh secara neurogik pada hari 10 14, sehingga bila diamati pada 24 jam pertama tidak akan menemukan hasil yang berarti. Dan jika begitu tentu saja penulisan hasil harus deisertai dengan durasi pengamatan (Loomis, 1987). Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi nilai LD50 antara lain spesies, strain, jenis kelamin, umur, berat badan, gender, kesehatan nutrisi, dan isi perut hewan coba. Teknis pemberian juga mempengaruhi hasil, antara lain waktu pemberian, suhu lingkungan, kelembaban, sirkulasi udara. Tidak luput kesalahan manusia juga dapat mempengaruhi hasil ini. Sehingga sebelum melakukan penelitian, ada baiknya kita memeperhatikan faktor faktor yang mempengaruhi hasil ini (Hodgson, 2000). Secara umum, semakin kecil nilai LD50, semakin toksik senyawa tersebut. Begitu pula sebaliknya, semakin besar nilai LD50, semakin rendah toksisitasnya. Hasil yang diperoleh (dalam mg/kgBB) dapat digolongkan menurut potensi ketoksikan akut senyawa uji menjadi beberapa kelas, seperti yang terlihat pada tabel berikut (Loomis, 1987).

Donatus IA. 2001. Toksikologi Dasar. Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Hodgson, Ernest. 2000. A Textbook of Modern Toxicology. McGraw hill Book. Singapore.

Kaplan SA. 1973. Biopharmaceutics in the preformulation stages of drug development. In: James Swarbrick (ed) Current concepts in the pharmaceutical sciences-dosage form design and bioavailability. Lea & Febiger . Philadelphia. Loomis TA. 1987. Essential of toxicology. Lea & Febiger. Philadelpia. Shargel L & Yu ABC. 1980. Applied biopharmaceutics and pharmacokinetics. Appleton Century Crofts. New York. Suhardjono D. 1995. Percobaan Hewan Laboratorium. Yogyakarta: Gajah MadaUniversity Press

Anda mungkin juga menyukai