Anda di halaman 1dari 16

1

DAMPAK KOMODITAS PANGAN TERHADAP PEREKONOMIAN NTB

(ANALISIS INPUT-OUTPUT 2004)1

OLEH:

M. FIRMANSYAH2

Abstract

The aims of this study are to measure and analyze the linkages between
primer sectors (food sectors) with another sectors economy in West Nusa
Tenggara. We are use Input-Output (I-O) model Leontief with using data
from BPS (Badan Pusat Statistik) Input-Output table. The result of this
research, we found the best five commodities which have sensitively to
West Nusa Tenggara economy (direct and indirect linkages), there are
shallot, garlic, chili, paddy and maize as output to another sector input.
And then, we found the best five sensitively sectors as input to another
sector output (direct and indirect linkages), there are Tobacco, Coconut,
Paddy, mete and Chili. Finally, we found the best five commodities which
higher multiplier. Firstly, to increase region output, there are Shallot,
Garlic, Chili, Paddy and Maize. Secondly, to increase region income, there
are Paddy, Maize, Another Vegetable, Shallot and Corm Crop.

Key word: Input-Output, direct linkages and indirect linkages, and


multiplier

Pendahuluan

Hipotesis Alan Fisher dan Collin Clark perihal sector theory of


growth menjadi kenyataan. Fisher dan Clark berpendapat bahwa

ORYZA Vol. VII/No.2 Juni 2008: 223-233


1

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Mataram


2
2

kenaikan pendapatan per kapita akan dibarengi dengan penurunan


dalam proporsi sumber daya yang digunakan dalam sektor pertanian
(primer) dan kenaikan industri manufaktur dan jasa-jasa (Adisasmita,
2005: 31). Padahal ILO (International Labor Organization) tahun 1976
telah membangun wacana penekanan pembangunan pada the basic
need di dunia ke-3 menggantikan growth strategy (Hudiyanto, 2005: 42)
berbasis industri manufaktur.

Di Indonesia indikasi perubahan ini jelas terlihat, menurut data


Bank Dunia (1991, 1994), pada tahun 1965 sektor pertanian Indonesia
menyumbang 56 persen terhadap total Produk Domestik Bruto, di tahun
1992 merosot menjadi 3,1 persen (Kuncoro, 2004: 201). Kondisi tersebut
mendukung temuan Rintuh dan Miar (2003) yang menjelaskan bahwa di
banyak lahan subur telah disulap menjadi tempat kebutuhan bisnis. Pulau
Jawa misalnya, setiap tahun lahan pertaniannya berkurang sampai
dengan 10 persen (Rintuh dan Miar, 2003: 129).

Ketidakpedulian system pembangunan pada sektor pertanian


secara structural membawa masalah, khusunya bagi Indonesia. Di tahun
2002 harga beras yang baru US $ 165 per ton, melonjak naik menjadi
US$ 330 per ton di tahun 2007, kemudian naik lagi menjadi US$ 700 per
ton per Maret 2008. Instabilitas harga pangan (beras) ini memicu
instabilitas social bahkan politik, karena pangan khususnya beras
mendorong inflasi, inflasi membuat suku bunga naik dan menghancurkan
sektor riil (Khudori, 2008).

Lebih jauh lagi, open market system yang dianut Indonesia menjadi
pemicu utama krisis pangan dalam negeri, kebiasaan impor telah
merubah kebiasaan bangsa yang memproduksi berpindah menjadi
pengkonsumsi semata. Oleh karena itu pemerintah pusat maupun daerah
harus merubah haluan kebijakan yang peduli akan pangan. Perhatian
pada pangan bukan saja akan mengangkat derajat mayoritas masyarakat
3

kita, namun melahirkan daya kompetitif baru bagi perekonomian bangsa


ini di mata dunia.

Ke depan, kecendrungan krisis pangan, krisis energi dan SDA masih


terjadi di berbagai Negara. Harga pangan, energy dan SDA meningkat
secara dramatis (tertinggi) sepanjang sejarah , oleh sebab itu hanya
Negara-negara yang memiliki kekayaan SDA bakal menjadi bangsa yang
kompetitif, maju dan makmur.

Liberalisasi perdagangan dan persaingan antar bangsa yang


semakin tajam hanya bangsa yang mimiliki daya saing akan maju dan
unggul, yang oleh Porter (1998) dianggap sebagai keunggulan kompetitif
(Dahuri, 2008).

Menentukan nilai kompetitif masing-masing produk pertanian perlu


identifikasi, setidaknya dalam lingkup yang lebih kecil yaitu sektor
pertanian itu sendiri. Dimana, sebagai daerah Bumi Gora, yang melimpah
akan produk pangannya, Nusa Tenggara Barat diyakini memiliki nilai
kompetitif tersebut. Metode identifikasi inilah yang coba diterapkan
dalam penelitian ini, dalam upaya menentukan produk pangan unggulan
Nusa Tenggara Barat, yang memicu (mempengaruhi) terjadinya
peningkatan pendapaan maupun output di daerah ini dalam satu metode
komprehensif yaitu Analisis Input-Output (I-O) Model.

MEODE PENELITIAN
Jenis dan sumber data
Penelitian akan Dampak Komoditas Pangan Terhadap Perekonomian
Nusa Tenggara Barat ini, dilakukan dengan pendekatan kepustakaan dan
analisis data sekunder. Pendekatan kepustakaan dilakukan dengan cara
mengambil teori-teori umum dari berbagai literatur maupun penelitian
yang sama sebelumnya, untuk mendapatkan landasan teori yang
mendukung penelitian ini.
4

Data sekunder sepenuhnya diperoleh dari Badan Pusat Statistik


(BPS) Propinsi Nusa Tenggara Barat yaitu berupa data Input-Output (I-O)
Nusa Tenggara Barat 2004 berdasarkan klasifikasi 60x60 sektor, yang
termasuk komoditas pangan adalah semua sektor yang terdapat dalam
pertanian atau yang biasa disebut dengan sektor primer, berdasarkan
klasifikasi 60x60 sektor tersebut adalah padi (1), jagung (2), tanaman
umbi-umbian (3), bawang merah (4), bawang putih (5), cabe (6), sayuran
lainnya (7), buah-buahan (8), kacang tanah (9), kedelai (10), tanaman
bahan makanan lain (11), kelapa (12), tembakau (13), jambu mete (14),
tanaman perkebunan lain (15).

ALAT ANALISIS

Penelitian ini menggunakan alat analisis Input-Output (I-O)


Model Liontief , di mana pengolahan datanya dibantu dengan
menggunakan Program Aplikasi Komputer Input-Output yang
dikembangkan oleh Pusat Antar Studi Ekonomi UGM (2000).

Model Input-Output pertama kali diperkenalkan oleh Liontief


(Wassily W. Leontief) dari Harvard University pada tahun 1963. Model ini
merupakan model matematis untuk menelaah struktur perekonomian
yang saling kait mengkait antar sektor atau kegiatan ekonomi. Analisis
Input-Outputbertolak dari anggapan bahwa suatu sistem perekonomian
terdiri atas sektor-sektor yang berkaitan, keterkaitan tersebut terdiri dari
keterkaitan bersifat horizontal, vertikal dan komplementer (Hoover, 1971:
215-21). Keterkaitan horisontal merupakan persaingan antar pelaku
ekonomi, baik dalam merebut pasar maupun bahan baku, keterkaitan
vertikal keitan kebelakang (daya tarik terhadap sumber bahan baku)dan
keterkaitan komplementer adalah keterkaitan saling melengkapi bahan
baku yang sejenis (Kuncoro, 2002:150-51).
5

Baumol menyatakan analisis Input-Output sebagai usaha untuk


memasukkan fenomena keseimbangan umum dalam analisis empiris sisi
produksi (Nazara, 1997 :2). Keseimbangan dalam analisis Input-Output
didasarkan arus transaksi antar pelaku perekonomian. Penekanan
utamanya adalah pada sisi produksi. Teknologi produksi yang digunakan
oleh perekonomian tersebut memegang peranan penting dalam analisis.
Lebih spesifik lagi, teknologi yang memegang peranan besar adalah
teknologi dalam kaitannya dengan penggunaan input antara.

Analisis dengan menggunakan metode ini didasarkan atas suatu


tabel yang disebut tabel Input Output. Tabel Input-Output adalah suatu
sistem informasi statistik yang disusun dalam bentuk matrik yang
mengambarkan transaksi barang dan jasa-jasa antar sektor-sektor
ekonomi. Untuk memberikan gambaran tabel Input-Output,berikut
diberikan suatu ilustrasi tabel dengan menyederhanakan suatu sistem
ekonomi menjadi tiga sektor produksi (Boediono, 1999 : 52)

Tabel 1.

Ilustrasi Tabel Input Output 3 X 3 Sektor

Permintaan antara
Permintaan Jumlah
1 2 3 output
Akhir
Sektor 1 X11 X12 X13 F1 X1
2 X21 X22 X23 F2 X2
Produksi 3 X31 X32 X33 F3 X3
Nilai Tambah V1 V2 V3 V -

Jumlah input X1 X2 X3 - X

Selanjutnya dengan mengunakan tabel Input-Output tiga sektor


seperti contoh di atas, dapat dibuat persamaan dari masing-masing
sektor yaitu :
6

X11 + X12 + X13+ F1 = X1

X21 + X22 + X23+ F2 = X2

X31 + X32 + X33+ F3 = X3

Kemudian, untuk mendapatkan model koefisien input langsung


yang dikenal dengan sebutan koefisien teknologi, digunakan rumus

aij =zij xj
Matrik (I – A)-1 dikenal dengan nama matrik kebalikan Leontief.
Elemen matrik ini dinotasikan dengan ij dan mencerminkan efek
langsung dan tidak langsung dari perubahan permintaan akhir terhadap
output sektor-sektor di dalam perekonomian. Permintaan akhir tersebut
adalah variabel yang eksogen sifatnya.

HASIL ANALISIS

Hasil penelitian Dampak Pengembangan Sektor Pertanian (Primer)


Terhadap Perekonomian Nusa Tenggara Barat dengan menggunakan
data berupa tabel Input-Output (I-O) tahun 2004, denganklasifikasi 60 x
60 sektor, masing-masing dibahas pada subbab berikut ini.

A. Keterkaitan Kebelakang (Bacward Linkages)

Keterkaitan kebelakang (daya kepekaan) adalah pola hubungan


yang berkaitan dengan penyediaan input atau bahan mentah
(kebelakang) suatu sektor, yang dalam hal ini sektor pangan. Kenaikan
output sektor usaha (pangan), merupakan indikasi, atau sebagai jalan
peningkatan produksi penyedia input bagi sektor usaha tersebut. Dengan
demikian, sektor ini dikatakan memiliki kepekaan atau tingkat
7

ketergantungan yang tinggi dari sektor lain. Tabel di bawah menyajikan


pola keterkaitan kebelakan sektor pangan, direct maupun indirect.

Tabel 2.
Koefisien Keterkaitan ke Belakang Sektor Primer (Bahan
Pangan)

terhadap Sektor Perekonomian lainnya

Backward Linkages
Sektor
Direct Indirect Total
0.2081060 1.06110846
Padi 98 3 1.269214561
0.2067830 1.06046919
Jagung 4 3 1.267252234
0.0598910
Tanaman Umbi-umbian 89 1.01919023 1.079081318
0.4801869 1.32209016
Bawang Merah 59 7 1.802277127
0.4720036 1.29620017
Bawang Putih 21 7 1.768203797
0.2351305 1.06906976
Cabe 63 5 1.304200328
0.1858743 1.05787688
Sayuran Lainnya 33 8 1.243751221
0.1248856 1.02846187
Buah-buahan 22 6 1.153347498
0.1073188 1.02280941
Kacang Tanah 88 6 1.130128305
0.1188507 1.02385877
Kedelai 6 6 1.142709536
0.1481490 1.04043173
Tanaman Bahan Makanan Lain 17 4 1.18858075
0.0357691 1.00636340
Kelapa 3 9 1.042132539
0.1494048 1.04152321
Tembakau 67 4 1.190928081
0.0954585 1.02473577
Jambu Mete 8 6 1.120194356
0.0819749 1.02263590
Tanaman Perkebunan lainnya 39 1 1.104610841
8

Sumber: Data I-O diolah, lihat Lampiran

A.1. Keterkaitan Langsung (Direct linkages)

Keterkaitan langsung kebelakang (direct lingkages) adalah pola


hubungan langsung antara sektor industri penyedia bahan baku
(penunjang) produksi dengan sektor pemakai bahan baku tersebut.
Dimana kapasitas sektor dalam hal ini sebagai output, yang memakai
bahan baku (penunjang) dari sektor lain. Lima sektor yang memiliki
keterkaitan (kepekaan) langsung terdapat pada masing-masing sektor,
Bawang Merah, Bawang Putih, Cabe, Padi dan Jagung. Artinya, sebagai
output jika ingin meningkatkan kapasitas produksi sektor Bawang Merah,
Bawang Putih, Cabe, Padi dan Jagung sebesar nilai koefisiennya (nilai
tabel di atas), maka harus meningkatkan permintaan akhir semua sektor
sebesar satu satuan.

A.2. Keterkaitan Tidak Langsung (Indirect linkages)

Keterkaitan ke belakang tidak langsung (indirect linkages) adalah


pola hubungan yang secara tidak langsung, melalui sektor lain antara
sektor penyedia (penunjang) bahan baku (barang atau jasa) dengan
sektor pemakai barang atau jasa tersebut. Lima sektor yang memiliki
keterkaitan (kepekaan) tidak langsung tetap terdapat pada masing-
masing sektor, Bawang Merah, Bawang Putih, Cabe, Padi dan Jagung.
Artinya, sebagai output secara tidak langsung kenaikan satu satuan
permintaan akhir semua sektor akan meningkatkan kapasitas produksi
sektor Bawang Merah, Bawang Putih, Cabe, Padi dan Jagung sebesar nilai
koefisiennya (nilai tabel di atas).

Demikian pula keterkaitan kebelakang secara total, yang memiliki


sensitifitas terbesar tetap pada lima komoditi tersebut, walaupun bila kita
lihat semua komoditi, maka dikategorikan sektor berkepekaan tinggi,
9

dengan nilai koefisien di atas satu (Zulfiarahman, 2002). Untuk lebih


jelasnya, sesitifitas komoditas pangan terhadap sektor lain
(pendukungnya) ditunjukan dalam bagan. 1 di bawah ini.

Bagan 1.

Koefisien Keterkaitan ke Belakang Sektor Primer (Komoditas


Pangan)

terhadap Sektor Perekonomian lainnya

Sumber: Data I-O NTB diolah

Dengan temuan di atas, dapat jelaskan bahwa komoditas pangan


bila sebagai output yang memiliki kepekaan (sensitif) terhadap
permintaan sektor lain (pendukung produksi pangan) di wilayah Nusa
Tenggara Barat adalah Bawang Merah, Bawang Putih, Cabe dan Jagung.

B. Keterkaitan Ke depan (Foreward Linkages)

Keterkaitan kedepan (daya penyebaran) adalah pola hubungan


sektor usaha penunjang (bahan baku) dengan hasil penjualan barang jadi
sektor pengguna bahan baku (barang atau jasa penunjang) tersebut.
Dengan kata lain, sektor yang memiliki penyebaran tinggi apabila sektor
tersebut memiliki daya dorong pertumbuhan sektor usaha lain, artinya
peningkatan kapasitas produksi sektor tersebut menyebkan tumbuhnya
kapasitas produksi sektor lainnya. di bawah ini menyajikan pola
keterkaitan ke depan sektor usaha di Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun
2004.

Tabel 3.
10

Nilai Koefisien Keterkaitan Ke Depan Sektor Usaha Primer

(Komoditas Pangan)Di Provinsi Nusa Tenggara Barat 2004

Forward
Sektor
Direct Indirect Total
3.4752576
Padi 6.73654344 84 10.21180112
0.24936861 1.1674953
Jagung 5 54 1.416863969
0.11583724 1.1386354
Tanaman Umbi-Umbian 6 58 1.254472704
0.43755444 1.3384853
Bawang Merah 4 92 1.776039836
0.61332582 1.6804296
Bawang Putih 9 68 2.293755498
0.68780811 2.3726804
Cabe 2 37 3.060488549
0.11854679 1.0415527
Sayuran Lainnya 7 82 1.160099578
0.15772735 1.0758635
Buah-Buahan 3 68 1.233590921
0.13937572 1.0753996
Kacang Tanah 2 07 1.214775329
0.30162771 1.1929841
Kedelai 7 08 1.494611825
0.21958072 1.5043256
Tanaman Bahan Makanan Lain 1 54 1.723906375
1.47229404 3.6101646
Kelapa 9 04 5.082458653
8.33453657 3.6411361
Tembakau 8 14 11.97567269
2.01789486 3.0294690
Jambu Mete 9 97 5.047363966
0.14487637 1.0351914
Tanaman Perkebunan Lainnya 4 33 1.180067806
Sumber: Data I-O NTB diolah

Keterangan: Angka dalam kurung adalah nilai koefisien

B.1 Keterkaitan Ke depan Langsung (direct linkages)

Keterkaitan langsung ke depan (direct lingkages) adalah pola


hubungan langsung antara sektor industri penyedia bahan baku
11

(penunjang) produksi dengan sektor pemakai bahan baku tersebut, di


mana kapasitas sektor usaha dalam hal ini bersifat sebagai input. Lima
sektor usaha yang memiliki daya sebar tinggi yaitu Tembakau, Padi,
Jambu Mete, Kelapa, dan Cabe.

B.2 Keterkaitan Ke depan Tidak Langsung (indirect linkages)

Keterkaitan tidak langsung ke depan (direct lingkages) adalah pola


hubungan tidak langsung antara sektor penyedia bahan baku
(penunjang) produksi dengan sektor pemakai bahan baku atau
penunjang tersebut, dimana kapasitas sektor usaha dalam hal ini juga
sebagai input sektor lain. Tidak langsung dalam arti, kenaikan sektor
input ini secara tidak langsung meningkatkan permintaan akhir namun
lewat sektor lain.

Lima sektor (komoditi) terindikasi mempunyai daya penyebaran


(dorong) tinggi secara tidak langsung, yaitu Tembakau, Kelapa, Padi,
Jambu Mete dan Cabe. Artinya, untuk menaikan permintaan akhir (sektor
lain secara keseluruhan) sebesar koefisien komoditi di atas (nilai dalam
table), maka perlu ditingkatkan kapasitas produksi Sektor (komoditi)
tersebut sebesar satu-satuan.
Bagan 2.

Keterkaitan Ke Depan Sektor Usaha Primer (Komoditas Pangan)

Di Provinsi Nusa Tenggara Barat 2004

Sumber: Data Input-Output (I-O) NTB 2004 diolah

C. Multiplier (Angka Pengganda)Tabel Input-Output


12

Salah satu keunggulan analisis I-O adalah dapat mengetahui


tingkat multiplier (angka pengganda) suatu sektor usaha. Efek multiplier
(pengganda) menggambarkan peningkatan suatu sektor akan
menyebabkan peningkatan sektor atau usaha lainnya, dengan demikian
sektor usaha yang memiliki pengganda tinggi dianggap sebagai sektor
andalan suatu daerah.

Secara umum angka penggandadigunakan untuk menganalisis


dampak dari perubahan pada permintaan akhir terhadap perekonomian.
Secara spesifik angka pengganda dalam input output terdiri dari angka
pengganda output sektor-sektor produksi (output multiplier), angka
pendapatan rumah tangga (household income), dan angka pengganda
lapangan pekerjaan (employment). Karena keterbatasan data, maka
dalam analisis ini hanya menghitung angka pengganda output sektor-
sektor produksi (output multiplier) dan pendapatan (multiplier income)
saja. Nilai multiplier tersebut, baik terkait dengan output maupun income
dijelaskan dalam bentuk table dan bagan di bawah ini.

Tabel 4.

Nilai Multiplier Output Dan Income Bahan Pangan Provinsi NTB

Multiplier
Sektor
Output Income
Padi 1.269215 0.416209
Jagung 1.267252 0.357838
Tanaman Umbi-umbian 1.079081 0.258274
Bawang Merah 1.802277 0.260891
Bawang Putih 1.768204 0.159728
Cabe 1.3042 0.199162
Sayuran Lainnya 1.243751 0.277401
Buah-buahan 1.153347 0.250385
Kacang Tanah 1.130128 0.143106
Kedelai 1.14271 0.25807
Tanaman Bahan Makan Lain 1.188581 0.215337
Kelapa 1.042133 0.160894
Tembakau 1.190928 0.251327
Jambu Mete 1.120194 0.068662
13

Tanaman Perkebunan Lainnya 1.104611 0.222831


Sumber: diolah dari data I-O NTB tahun 2004

Bagan 3.

Nilai Multiplier Output Dan Indome Bahan Pangan Provinsi NTB

Sumber: diolah dari data I-O NTB tahun 2004

Tabel 4 dan bagan 3 di atas menyajikan multiplier atau pengganda yang


ditimbulkan oleh masing-masing sektor, khususnya terhadap
pembentukan output dan pembentukan income (pendapatan). Berikut
dijelaskan lima sektor yang paling berpeluang meningkatkan multiplier di
Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Tabel 5.

Multiplier Kota Mataram tahun 2005

No MULTIPLIER
Output Income
1 Bawang Merah (1, 802) Padi (0,416)

2 Bawang Putih (1,768) Jagung (0,3578)

3 Cabe ( 1,304) Sayuran Lainnya (0,2774)

4. Padi (1,269) Bawang Merah (0,2608)

5 Jagung (1,267) Tanaman Umbi-Umbian (0,2582)


Sumber: diolah dari data I-O NTB tahun 2004

Keterangan: Nilai dalam kurung adalah nilai koefisien.


14

Pembentuk multiplier (angka pengganda) yang memberi dampak


terhadap peningkatan output Provinsi Nusa Tenggara Barat tertinggi
adalah Bawang Merah (1,802), Bawang Putih (1,768), Cabe (1,304), Padi
(1,269) dan Jagung (1,267). Artinya adanya peningkatan permintaan
akhir sebesar satu unit uang secara rata-rata akan mendorong
peningkatan produksi yang menghasilkan output baru dalam
perekonomian daerah Nusa Tenggara Barat sebesar nilai koefisien (nilai
dalam kurung di atas) unit uang.

Angka pengganda terindikasi memberi efek pada peningkatan


pendapatan (income) Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah masing
masing tertuju pada sektor Padi (0,416), Jagung (0,3578), Sayuran
Lainnya (0,2774), Bawang Merah (0,2608) dan Tanaman Umbi-umbian
(0,2582). Artinya adanya peningkatan permintaan akhir sebesar satu unit
uang secara rata-rata akan mendorong peningkatan produksi yang
menghasilkan income baru dalam perekonomian daerah Nusa Tenggara
Barat sebesar nilai koefisien (nilai dalam kurung di atas) unit uang.

KESIMPULAN

Penelitian ini bertujuan mengamati pengaruh sektor pangan


terhadap perekonomian provinsi Nusa Tenggara Barat dengan
menggunakan pendekatan Input-Output Model. Setidaknya ada dua
bagian analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu melihat
keterkaitan antar sektor (direct dan indirect linkages) dan menentukan
multipier pembentuk output dan pendapatan (income). Dalam hal ini
dipilih lima sektor pangan terbaik.

Komoditi Bawang Merah, Bawang Putih, Cabe, Padi dan Jagung


menjadi bahan pangan yang cukup sensitive di Provinsi Nusa Tenggara
Barat sebagai output. Artinya, fluktuasi persoalan dalam sektor
pendukung (input) sangat berpengaruh terhadap peningkatan produksi
15

ke lima sektor di atas, yang efek terakhirnya akan kembali pada


rendahnya pertumbuhan ekonomi khususnya nilai tambah sektor
pertanian.

Lima sektor (komoditi) yang terindikasi mempunyai daya


penyebaran (dorong) tinggi baik secara langsung maupun tidak langsung
terhadap perekonomian Nusa Tenggara Barat, adalah Tembakau, Kelapa,
Padi, Jambu Mete dan Cabe. Lima komoditas ini bersifat sebagai input
terhadap sektor lain (sekunder).

Dari perspektif multiplier effect, sektor pangan yang memiliki


pengganda terhadap peningkatan perekonomian di provinsi Nusa
Tenggara Barat adalah, yang meningkatkan output daerah terdiri dari
Bawang Merah, Bawang Putih, Cabe, Padi dan Jagung. Sedangkan yang
meningkatkan pendapatan (income) adalah Padi, Jagung, Sayuran Lain,
Bawang Merah dan Tanaman Umbi-umbian. Sektor-sektor inilah menjadi
komoditas andalah Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang seharusnya
mendapat perhatian dari pemerintah provinsi.

Kelemahan dari penelitian ini adalah terkendala tahun data table


Input-Output, table Input-Output yang tersedia di BPS (Badan Pusat
Statistik) terbit lima tahun sekali (terbit tahun 2004 kemudian akan terbit
lagi tahun 2009), sehingga fluktuasi (gejolak) bahan pangan beberapa
tahun terakhir sebagai dampak krisis pangan dunia dan BBM tidak bisa
kita amati. Namun table Input-Output telah memberi penekanan akan
sektor-sektor yang perlu diperhatikan, sehingga fluktuas krisis pangan
kapan-pun waktunya akan memukul entitas dari sektor atau komoditas-
komoditas tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
16

Adisasmita, H. Raharjo, 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Yogyakarta:


Graha Ilmu.

Boediono, 1999. Mengenal Beberapa Metode Kuantitatif Dalam Ilmu


Ekonomi. Yogyakarta: BPFE
Dahuri, Rochmin, 2008. Ekonomi Berbasis SDA, Opini Media Indonesia,
Selasa 22 April 2008.

Kuncoro, Mudrajad, 2002. Analisis Spasial dan Regional: Studi Aglomerasi


dan Kluster Industri di Indonesia. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Kuncoro, Mudrajad, 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah:


Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta: Erlangga).

Khudori, 2008, Rancang Ulang Politik Perberasan. Opini Media Indonesia,


Selasa 22 April 2008

Hudiyanto, 2005. Ekonomi Politik, Jakarta: Bumi Aksara.

Hoover, E.M, 1971. An Introduction to Regional Economics (1st ed). New


York: Alfred A. Knopf, Inc.

Nazara, Suahasil, 1997. Analisis Input Output, Lembaga Penerbit Fakultas


Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Rintuh, Cornelis dan Miar, 2003. Kelembagaan dan Ekonomi Rakyat.
Yogyakarta: BPFE)

Zulfiarahman, 2002. Dampak Pengembangan Sektor (Lapangan Usaha)


Sekunder Terhadap Perekonomian Sumatera Barat: Analisis Input
Output 1999, Thesis Pascasarjana UGM, Tidak Dipublikasikan.

Anda mungkin juga menyukai