Anda di halaman 1dari 17

Bagian Anestesi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

Journal Reading

FARMAKOLOGI KLINIK ANESTETIK LOKAL

Oleh:

Nur Azizah Lahdjie Lawani Meri Venessa Erlina Ratmayanti


Pembimbing:

dr. Satria Sewu, Sp. An.

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada Bagian Anestesi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman 2012

FARMAKOLOGI KLINIK ANESTETIK LOKAL

Anestetik lokal mencegah atau menghilangkan rasa nyeri dengan cara menginterupsi konduksi sel-sel saraf. Zat anestetik lokal berikatan dengan reseptor spesifik pada kanal natrium sel-sel saraf dan menghalangi perpindahan ion melalui kanal tersebut. Efek anestetik lokal hanya terbatas pada daerah aplikasi, yang kemudian akan berdifusi dengan cepat ke daerah sekelilingnya. Sifat kimia dan farmakologi masing-masing anestetik lokal akan mempengaruhi fungsi klinisnya. Bab ini akan membahas mengenai mekanisme kerja anestetik lokal beserta sediaannya, kegunaan klinisnya, toksisitas dan pencegahannya serta penatalaksanaannya. Konduksi Sel Saraf Konduksi sel saraf meliputi propagasi impuls listrik yang dihasilkan oleh perpindahan sejumlah kecil ion-ion (natrium dan kalium) yang sangat cepat menyeberangi membran sel saraf. Gradien ion natrium (tinggi ekstraseluler, rendah intraseluler) dan kalium (tinggi intraseluler, rendah ekstraseluler) diatur oleh mekanisme pompa natrium-kalium pada sel saraf. Pada keadaan istirahat (resting state), membran sel saraf lebih permeabel terhadap ion kalium daripada ion natrium, sehingga ion kalium keluar dari dalam sel. Keluarnya kation ini menyebabkan muatan negatif pada intrasel relatif terhadap ekstrasel, sehingga menghasilkan potensial listrik sebesar -60 hingga -70 mV pada membran sel saraf. Reseptor pada ujung distal sel saraf sensorik berperan sebagai penerima dan penyalur berbagai stimuli, mulai dari stimulus mekanik, kimia, maupun suhu. Stimuli akan dikonversi menjadi miniscule electric currents. Sebagai contoh, mediator kimia yang dilepaskan pada saat insisi bedah akan bereaksi dengan reseptor tersebut dan menghasilkan arus listrik lemah. Oleh sebab itu, potensial listrik di sepanjang membran sel reseptor menjadi terganggu, menjadi sedikit lebih negatif. Bila potensial ambang telah tercapai akan terbentuk aksi potensial, dengan peningkatan mendadak permeabilitas membran sel saraf terhadap ion natrium sehingga ion natrium yang bermuatan positif masuk dengan sangat cepat ke dalam sel. Hal ini menyebabkan perubahan muatan sementara, atau disebut dengan depolarisasi. Repolarisasi terjadi ketika permeabilitas terhadap ion natrium menurun dan permeabilitas terhadap ion kalium meningkat, sehingga ion kalium keluar dari intrasel dan restorasi keseimbangan listrik. Kedua jenis ion dikembalikan pada konsentrasi semula melalui mekanisme pompa natrium-kalium yang memerlukan ATP. Depolarisasi menghasilkan arus yang mendepolarisasi seluruh segmen sel saraf yang berdekatan, sehingga mengaktifkan sel saraf tersebut. Pergerakan ion natrium 2

masuk secara cepat ke dalam sel menyebabkan peningkatan aksi potensial terjadi pada kanal natrium spesifik pada membran sel. Kanal natrium adalah sebuah struktur protein yang menembus dua lapis membran, sehingga menghubungkan antara permukaan ekstraseluler dengan aksoplasma sel saraf. Kanal natrium dapat mengubah sel saraf dari nonkonduktif menjadi konduktif terhadap aksi potensial dan biasanya disebut gated channels. Bila perubahan konduktivitas disebabkan oleh perubahan listrik, maka kanal disebut voltage-gated. Kanal natrium voltage-gated secara umum dianggap sebagai tempat dimana anestetik lokal bekerja. Anestetik lokal mencegah pembentukan dan penghantaran impuls saraf. Anestetik lokal menghambat penghantaran dengan cara mengurangi atau mencegah peningkatan permeabilitas sementara yang besar terhadap ion natrium. Namun karena interaksi anestetik lokal dengan kanal kalium membutuhkan dosis yang lebih tinggi, blokade penghantaran tidak disertai dengan perubahan potensial istirahat membran oleh hambatan kanal kalium. Struktur dan Aktifitas Anestetik Lokal Umumnya struktur anestetik lokal terdiri atas daerah hidrofilik dan hidrofobik yang saling dihubungkan oleh jembatan intermediate ester atau amida. Bagian hidrofilik biasanya adalah amin tersier dan bagian hidrofobik adalah turunan ester aromatik. Sifat dari dua golongan tersebut akan menentukan kegunaan farmakologis anestetik lokal. Sifat fisis maupun kimia dari kedua golongan tersebut akan sangat mempengaruhi potensi dan durasi aksi obat anestetik. Sebagai contoh, hidrofobisitas akan meningkatkan baik potensi maupun durasi aksi obat anestetik. Peningkatan ini terjadi ketika obat berikatan dengan reseptor hidrofobik yang akan memicu partisi obat menuju ke target organ dan juga menurunkan derajat metabolisme obat oleh plasma esterase dan enzim-enzim yang dihasilkan oleh hepar. Selain itu, sifat hidrofobisitas pada anestetik lokal juga meningkatkan afinitas reseptor pada kanal natrium. Sayangnya, hidrofobisitas juga meningkatkan toksisitas, sehingga indeks terapeutiknya rendah. Adanya gugus amino di bagian yang berlawanan dengan cincin benzena menentukan aktifitas hidrofilik dan derajat ionisasi obat. Gugus amino ini biasanya memiliki tiga gugus tambahan, yaitu amin tersier, yang akan diionisasi menjadi kation dengan penambahan ion H+. Rasio ionisasi (kation) dan basa ditentukan oleh pKa obat anestetik lokal. Definisi pKa adalah pH dalam keadaan 50% zat terionisasi dan sisa 50% dalam bentuk basa. Hubungan antara pKa, pH, dan konsentrasi dapat dirumuskan dalam perasamaan Henderson-Hasselbach: pH = pKa + log
asa ation

Secara umum, pKa berhubungan dengan cepatnya onset kerja anestetik lokal; bila pKa mendekati angka pH, maka onset akan semakin cepat. Keberadaan bentuk kation dan basa ini penting, karena dalam bentuk basa obat anestetik lokal bisa menembus membran lipid sel saraf; setelah berada dalam aksoplasma, basa akan berikatan dengan ion hidrogen dan berubah wujud menjadi kation. Kation inilah yang akan menghasilkan efek blokade kanal natrium. Jumlah basa yang terdapat dalam sebuah larutan tergantung pada kelarutannya dalam air. Sebuah jembatan ester atau amida akan menghubungkan bagian lipofilik (cincin benzena) dengan bagian hidrofilik (gugus amino). Jenis jembatan inilah yang akan menentukan dimana obat akan didegradasi. Jembatan ester akan dimetabolisme di plasma, sedangkan jembatan amida akan dimetabolisme di hepar. Perubahan sesedikit apapun dalam struktur molekul anestetik lokal akan memberikan perubahan yang signifikan dalam aktifitas obat, yaitu potensi, onset, dan durasi kerja anestetik lokal. Aksi Kerja Anestetik Lokal yang Tergantung pada Voltase dan Frekuensi Saraf yang sedang istirahat bersifat kurang peka terhadap anestetik lokal bila dibandingkan dengan saraf yang sering distimulasi. Semakin besar frekuensi stimulasi dan semakin positif potensial membran akan menghasilkan blokade anestetik yang lebih besar. Ketergantungan terhadap frekuensi dan voltase ini terjadi karena ketika molekul zat anestetik lokal berada dalam keadaan terionisasi, molekul ini hanya dapat berikatan dengan reseptornya yang terletak di dalam kanal natrium apabila kanal natrium sedang dalam keadaan teraktivasi; dan karena molekul anestetik lokal terikat lebih kuat dan stabil ketika kanal natrium sudah dalam keadaan terinaktivasi. Efek anestetik lokal seperti ini tergantung pada pKa, kelarutannya dalam lemak, dan ukuran molekulnya. Secara umum, ketergantungan-terhadap-frekuensi sangat tergantung pada derajat disosiasi obat ketika sudah berikatan dengan reseptornya di dalam kanal natrium. Kepekaan Serabut Saraf terhadap Anestetik Lokal Secara umum, patokannya adalah semakin kecil ukuran serabut saraf maka akan semakin mudah dipengaruhi oleh anestetik lokal, dan sebaliknya. Serabut yang kecil lebih mudah diblokade karena luas permukaan yang dapat dilalui impuls juga kecil; hal ini disebabkan penyebaran impuls ketika melalui sel saraf demielinasi dan jalur internodal hanya bisa terjadi di ruang kosong-dimana luasnya ruang kosong ini berbanding lurus terhadap ukuran serabut saraf. Semakin kecil ukuran serabut saraf, dengan ruang kritis yang sedikit, akan diblokade lebih cepat. Dengan logika seperti ini bisa dijelaskan mengapa reverse post 4

anestesi pada serabut saraf yang besar berlangsung lebih lambat bila dibandingkan dengan serabut saraf kecil. Jenis saraf, sensorik atau motorik tidak selalu menentukan sensitifitas terhadap anestetik lokal. Saraf aferen proprioseptik dan saraf eferen motorik memiliki tingkat sensitivitas yang sama. Kedua jenis serabut saraf ini memiliki diameter yang sama, yang lebih besar bila dibandingkan dengan serabut saraf alfa motor neuron yang mempersarafi gelendong otot. Blokade terjadi lebih cepat pada serabut saraf motor yang lebih kecil dan lebih lambat pada serabut saraf sensorik yang lebih besar sehingga refleks motorik akan hilang lebih dulu. Perbedaan sensitifitas ini tergantung pada ukuran serabut saraf dan kecepatan konduksi impulsnya. Untungnya, biasanya rasa nyeri akan hilang paling pertama dan kemudian disusul oleh hilangnya sensasi suhu, tekanan, sentuhan, dan kemudian hilangnya kemampuan gerak otot; namun hal ini dapat bervariasi pada pasien. Anestetik Lokal dan pH Anestetik lokal adalah amin yang tidak terprotonisasi sehingga sulit larut. Oleh karena itu di pasaran biasanya tersedia sebagai garam yang larut dalam air, biasanya hidroklorida. Meskipun anestetik lokal bersifat basa lemah (pKa antara 8 hingga 9), garam hidrokloridanya bersifat sedikit asam. Sifat inilah yang meningkatkan stabilitas ester dalam anestetik lokal dan juga zat vasokonstriktor yang mungkin terkandung di dalamnya. Anestetik lokal melewati membran lipid sel saraf dalam bentuk basa yang larut dalam lemak dan kemudian berikatan dengan hidrogen menjadi bentuk ion yang aktif dalam kanal natrium. Kelemahannya adalah sebagian besar obat-obatan anestetik lokal yang tersedia di pasaran mengandung sangat sedikit bentuk non ionisasi ini, sehingga sedikit pula obat yang berhasil menembus membran sel saraf. Fraksi bentuk non ion dan bentuk kation anestetik lokal ditentukan oleh pKa larutan dan pH larutan obat anestetik. Sebagian besar obat yang tersedia di pasaran berada dalam bentuk larutan yang bersifat asam dan isinya dominan bentuk kation daripada non ion. Oleh karena bentuk kation tidak bisa menembus membran, diberikan tambahan berupa natrium bikarbonat (NaHCO3). Pencampuran ini meningkatkan konsentrasi obat dalam bentuk basa, yang menurukan waktu onset. Namun semakin banyak basa menjadikan obat semakin sulit larut, sehingga penambahan natrium bikarbonat untuk mengubah pH obat tidak dapat dilakukan dalam jumlah banyak, dengan demikian onset yang diharapkan tidak tercapai. Sebagai contohnya, setelah proses alkalinisasi bupivakain jumlah basa dalam larutan obat dibatasi oleh kelarutan minimal basa bebas dalam larutan. Untuk setiap anestetik lokal, terdapat kontrol pH yang mengatur seberapa banyak jumlah basa yang dapat larut. Peningkatan pH walau sedikit saja akan mengakibatkan terbentuknya presipitat (endapan) obat.

Ikatan Protein Anastetik lokal sebagian besar terikat oleh protein plasma dan protein jaringan. Bagaimanapun, secara farmakologi mereka baru dapat aktif dalam keadaan bebas (tidak terikat protein). Protein pengikat terpenting untuk anstetik lokal pada plasma adalah albumin dan acid glycoprotein (AAG). Pengikatan dengan AAG memiliki karakteristik berupa kemampuan pengikat yang tinggi namun daya tampung yang rendah oleh sebab itu sebagian besar anastetik lokal terikat pada AAG disbanding albumin. Pengikatan pada AAG cepat mencapai titik jenuhnya sebanding kadar anastetik lokal pada darah. Setelah titik jenuh AAG tercapai, maka selanjutnya terjadi pengikatan pada albumin. Oleh karena kapasitas pengikatan anastetik lokal pada albumin sangat besar, albumin dapat mengikat anastetik lokal pada plasma dalam konsentrasi yang lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi yang ingin dicapai untuk efek klinis yang diharapkan. Perlu diketahui, bahwa banyaknya bagian obat yang terikat dengan protein plasma berhubungan dengan durasi dari aktivitas anastetik lokal : bupivakain > etidokain > ropivakain> mepivakain > lidokain > prokain dan 2-kloroprokain. Ini memberi kesan bahwa ikatan antara molekul anastetik lokal dengan protein reseptor pada sel memiliki kesamaan potensi dengan ikatan anastetik lokal tersebut pada protein plasma. Kadar pengikatan protein terhadap molekul anastetik lokal dipengaruhi oleh konsentrasi dari obat dan pH plasma. Persentasi pengikatan obat menurun sebanding dengan penurunan pH. Hal ini menjadi penting karena pada asidosis yang dapat disebabkan oleh kejang terinduksi anastetik lokal maupun henti jantung, banyaknya obat bebas dalam plasma meningkat. Derajat keparahan dari fenomena tersebut berbeda pada tiap-tiap obat anestesi lokal dan kebanyakan dicetuskan oleh bupivakain dibandingkan dengan lidokain. Secara singkat apabila terjadi asidosis dimana pengikatan akan turun dari 95% manjadi 70% maka banyaknya bupivakain bebas pada plasma akan meningkat dari 5% menjadi 30% (6 kali lipat) walaupun total konsentrasi obat pada tubuh tidak berubah. Karena peningkatan obat bebas ini, asidosis menyebabkan bupivakain menjadi lebih toksik . Toksisitas Sistemik dari Obat Anestesi Lokal Untuk memblok konduksi axon saraf pada system saraf perifer, obat anestesi lokal juga mempengaruhi fungsi semua organ dimana transmisi impuls saraf terjadi. Sebagai contoh, obat anestesi lokal memiliki efek yang penting pada system saraf pusat (SSP), ganglion autonom, neuromuscular junction, dan sistem otot. Resiko adanya efek samping sebanding dengan konsentrasi obat anestesi lokal pada sirkulasi. Efek toksik obat anestesi lokal pada beberapa organ penting akan dijelaskan lebih lanjut pada bab ini.

Konsentrasi obat anestesi lokal pada plasma Faktor-faktor berikut menentukan konsentrasi obat anestesi lokal pada plasma : Dosis obat yang dikonsumsi, Kecepatan absorbsi obat (dipengaruhi tempat injeksi, aktifitas obat pada darah, dan penggunaan vasokonstriktor), Biotransformasi dan eliminasi obat dari sirkulasi. Perlu digarisbawahi, walaupun kadar puncak obat anestesi lokal secara langsung dipengaruhi oleh banyaknya jumlah obat yang masuk, pemberian dengan dosis yang sama pada tempat masuk yang berbeda mengahasilkan kadar puncak yang berbeda. Hal ini menjelaskan mengapa anestesi lokal jumlah besar dapat meblok saraf perifer tanpa adanya toksisitas pada pemberian melalui intramuscular maupun intravena. Pada pemberian 2-kloroprokain, tercapainya kadar puncak obat pada plasma juga dipengaruhi oleh kecepatan biotransformasi obat dan kadar eliminasinya (waktu paruhnya pada plasma sekitar 45 detik hingga 1 menit). Pada keadaan lain, kadar puncak pada plasma dari obat anestesi lokal terikat amida sebagian besar dipengaruhi oleh absorbsinya. Toksisitas pada sistem saraf pusat Gejala toksisitas sisem saraf pusat akibat obat anestesi lokal dipengaruhi kadarnya dalam plasma. Toksisitas pada tahap awal secara khas terlihat dari adanya stimulasi sistem saraf pusat, menimbulkan kegelisahan, disorientasi dan tremor. Sejalan dengan peningkatan obat anestesi lokal dalam plasma, timbul kejang tonik-klonik, semakin poten zat anestesi lokal maka semakin cepat kejang terjadi. Dengan peningkatan yang lebih tinggi dari obat anestesi lokal, stimulasi saraf pusat akan berubah menjadi depresi dan kegagalan nafas. Adanya stimulasi dan depresi yang dihasilkan obat anestesi lokal pada sistem saraf pusat dimungkinkan akibat depresi dari aktivitas neuron. Depresi selektif pada neuron inhibitorik dipercaya mengakibatkan suatu fase eksitasi. Bagaimanapun masuknya obat anestesi lokal secara cepat di sistemik dapat mengakibatkan kematian dengan ataupun tanpa stimulasi sistem saraf pusat sebelumnya. Pada kondisi tersebut, konsentrasi obat kemungkinan naik secara cepat yang menyebabkan semua neuron mengalami depresi secara bersamaan. Kontrol jalan nafas dan bantuan respirasi merupakan terapi yang penting. Benzodiazepin, barbiturat, maupun propofol secara intravena pada dosis kecil merupakan obat pilihan untuk menghilangkan kejang. Penggunaan benzodiazepin sebagai obat premedikasi sering direkomendasikan, bagaimanapun penggunaannya perlu diperhatikan karena sedative

berlebihan

dapat

menyebabkan

depresi

pernafasan

yang

berakibat

asidosis

yang

mengakibatkan tingginya kadar obat bebas dalam plasma. Toksisitas kardiovaskular Tempat kerja utama obat anestesi lokal adalah miokardium, dimana obat tersebut menurunkan eksitabilitas elektrik, kecepatan konduksi dan kekuatan kontraksi miokardial. Kebanyakan anestesi lokal juga dapat menyebabkan dilatasi arteriol yang dapat menyebabkan hipotensi. Efek kardiovaskular secara khas terjadi pada keadaan konsentrasi obat plasma yang lebih tinggi dari konsentrasi untuk menghasilkan efek pada sistem saraf pusat. Bagaimanapun, perlu digarisbawahi bahwa mungkin saja terjadi kegagalan jantung dan kematian tanpa didahului adanya gejala toksisitas sistem saraf pusat. Dipercaya bahwa hal tersebut sebagai hasil mekanisme yang terjadi pada sel pacemaker ataupun adanya ventricular fibrilasi mendadak. Pada percobaan menggunakan hewan tentang kardiotoksisitas anestesi lokal, terbukti bahwa depresi dari kontaktilitas otot jantung dipengaruhi oleh banyaknya dosis obat. Efek depresif juga tergantung pada kekuatan/potensi obat anestesi lokal yang diberikan. Oleh karena itu, bupivakain yang 4 kali lebih poten dibandingkan lidokain dalam memblok saraf, juga 4 kali lebih poten dalam mendepresi otot jantung. Kematian yang disebabkan overdosis bupivakain dihubungkan dengan adanya perpanjangan konduksi ventrikuar dan pelebaran kompleks QRS, diikuti dengan aritmia mendadak seperti fibrilasi ventrikel. Kehamilan dan Toksisitas Obat Anestesi Lokal Konsentrasi plasma dari AAG juga menurun pada wanita hamil dan pada bayi baru lahir. Penurunan konsentrasi ini secara efektif meningkatkan kadar bupivakain bebas dalam plasma dan menjadi salah satu factor terjadinya toksisitas bupivakain pada wanita hamil dan jumlah kejadian gagal jantung akibat pemakaian bupivakain yang kurang hati-hati sehingga menyebabkan overdosis. Dengan menggunakan obat anestesi lokal berdurasi sedang ( seperti lidokain dan mepivakain) perubahan pada pengikatan oleh protein plasma sedikit terjadi dan penggunaan anastes lokal ini tidak berhubungan dengan peningkatan resiko kardiotoksisitas selama kehamilan. Farmakodinamik dan terapi toksisitas akibat anestesi lokal Kadar plasma lidokain yang dihubungkan dengan terjadinya kejang adalah pada batas 10 12 g/mL. pada konsentrasi ini, jalur inhibisi pada otak secara selektif dihambat, dan neuron eksitasi dapat berfungsi tanpa tertandingi. Gejala prodromal timbul sebelum kejang dan biasanya mencakup gejala berbicara lambat, gerakan tersentak-sentak, gemetar, dan halusinasi. Perlu diingat bahwa gejala prodromal tidak sama untuk setiap pasien dan berbeda untuk setiap 8

obat anestesi lokal. Pada peningkatan yang lebih tinggi dari kadar lidokain dalam plasma, dapat timbul depresi pernafasan dan pada kadar yang lebih tinggi lagi (20-25 g/mL) akan timbul kardiotoksisitas. Berbeda dengan bupivakain, kadar dalam darah sebesar 4 g/mL sudah menghasilkan kejang dan kadar dalam darah sebesar 46 g/mL sudah dapat menghasilkan kardiotoksisitas. Ini menunjukan kadar bupivacain yang lebih rendah dibandingkan lidokain untuk menghasilkan kardiotoksisitas. Ketika toksisitas jantung tidak terjadi, zat anestesi lokal dalam jumlahnya yang besar menghilang dalam otak dan terdistribusi ke kompartemen organ yang lain. Dan ketika terjadi toksisitas pada jantung, akan ada penurunan kardiak output yang menghasilkan kegagalan distribusi darah. Kardiotoksisitas yang dihasilkan oleh abat anestesi lokal jangka panjang seperti bupivakain dan etidokain, memiliki resiko henti jantung dan resusuitasi yang lebih sulit. Komplikasi dapat terjadi setelah maupun saat injeksi anestesi lokal. Kebanyakan efek toksis ini terjadi pada wanita hamil, yang rata-rata memiliki konsentrasi plasma yang besar dari anestesi lokal sebagai akibat dari injeksi intravascular dalam jumlah besar yang kurang hati-hati (Albright, 1978). Kebanyakan hal ini terjadi saat anestesi epidural sedang dilakukan atau sebagai hasil dari kegagalan torniket saat melakukan anestesi regional melalui intravena. Pada pasien yang mengalami toksisitas, terapi mencakup pemberian benzodiazepine ( midazolam 0,05 sampai 0,1 mg) atau dosis sedang dari propofol ( 1 sampai 1,5 mg/kg) dan mencegah efek gangguan mental akibat hipoksia dan hyperkarbia dengan menggunakan hiperventilasi 100% oksigen. Hal tersebut dapat dicapai dengan menggunakan masker ventilasi atau hiperventilasi melalui laryngeal mask. Dengan toksisitas yang lebih berat, intubasi trakea harus cepat dilakukan setelah pemberian masker ventilasi dengan 100% oksigen dan pemberian pelumpuh otot. Selain bermanfaat untuk intubasi endotrakea, kegunaan obat pelumpuh otot adalah untuk meredakan kejang tonik klonik dan pencegahan asidosis yang lebih parah. Kegagalan untuk menghentikan kejang dapat menyebabkan asidosis yang dapat memperparah toksisitas di sistem sirkulasi dan intraselular dengan meningkatkan bagian obat yang bebas. Terapi tambahan dapat mencakup resusitasi cairan, terapi vasopresor, terapi antiaritmia (seperti bretylium atau magnesium) dan inotropik. Pada kasus toksisitas berat akibat anastetik lokal berdurasu panjang, resusitasi agresif dengan kompresi dada dan bypass kardiopulmoner dapat meningkatkan harapan hidup. Jenis Anestetik Lokal Seperti yang disebutkan sebelumnya, obat anestesi lokal diklasifikasikan sebagai ester atau amida. Penjelasan singkat dari berbagai anestesik lokal disertai keterangan mengenai penerapan klinisnya di dalam blokade saraf perifer disediakan pada bagian ini.

Obat Anestesi Lokal Terkait Ester Anestetik lokal terkait ester dihidrolisis di jembatan ester di dalam plasma oleh pseudokolinesterase plasma. Plasma enzim ini juga menghidrolisis kolin ester alami dan suksinilkolin. Kecepatan hidrolisis dari anestetik lokal turunan ester tergantung pada jenis dan lokasi dari subtitusi pada cincin aromatik. Contohnya, 2-kloroprokain dihidrolisis sekitar empat kali lebih cepat dari prokain, dimana prokain sendiri dihidrolisis lebih cepat empat kali dari tetracaine. Pada 2-kloroprokain, hidrolisisnya sangat cepat, menghasilkan paruh waktu kurang dari satu menit, membuat determinasi plasma dari 2-kloroprokain sukar ditentukan. Akan tetapi, kecepatan hidrolisis semua anestetik turunan ester menurun secara nyata pada pasien dengan pseudokolinesterase yang atipik, dan perpanjangan waktu paruh obat-obat ini mungkin timbul. Tanda lain dari metabolisme lokal anestetik turunan ester yaitu hidrolisisnya mengarah pada pembentukan PABA. PABA dan derivatnya membawa resiko kecil untuk rekasi alergi. Riwayat reaksi alergi terhadap lokal anestesi sebaiknya segera disimpulkan bahwa reaksi saat ini dikarenakan kehadiran derivat PABA dari lokal anestetik turunan ester. Meskipun begitu, walau jarang terjadi, reaksi alergi juga dapat berkembang dari penggunaan dosis multipel dari lokal anestetik turunan amida yang mengandung PABA sebagai pengawet. Kokain Kokain terjadi secara alami pada daun koka dan merupakan sebuah ester asam benzoic. Penggunaan klinis yang diinginkan dari kokain adalah blokade impuls saraf vasokonstriksi lokal kedua untuk inhibisi lokal norepinefrin reuptake. Akan tetapi, tingkat toksisitasnya terutama dikarenakan blokade katekolamin reuptake pada sistem saraf pusat dan perifer. Efek euforia dikarenakan inhibisi pengambilan katekolamin, khususnya dopamin pada sinaps CNS. Obat lokal anestesi lain tidak menghalangi uptake norepinefrin dan tidak menghasilkan sensitisasi terhadap katekolamin, vasokonstriksi, atau midriasis karakteristik dari kokain. Saat ini, kokain digunakan terutama untuk anestesi topikal dari saluran napas atas, yang merupakan kombinasi vasokonstriksi dan lokal anestetik memberikan efek anestesi dan menyusutnya mukosa dengan agen tunggal. Prokain Prokain, sebuah amino ester, merupakan anestetik lokal sintetik pertama. Karakteristik prokain yaitu potensi rendah, onset lambat, dan durasi kerja yang singkat. Oleh karena itu, walaupun telah digunakan secara luas, penggunaaanya saat ini sebagian besar dibatasi untuk anestesi infiltrasi dan mungkin untuk diagnostik blok saraf.

10

2-Kloroprokain 2-kloroprokain, sebuah lokal anestetik ester diperkenalkan pada tahun 1952, merupakan derivat terklorinasi dari prokain. Kloroprokain merupakan lokal anestetik yang paling cepat digunakan saat ini. Dikarenakan keruksakan plasma yang sangat cepat (kurang dari satu menit), memiliki potensi yang rendah untuk trjadi toksisitas sistemik. Antusisme untuk penggunaan anestesi regional telah disesuaikan oleh laporan perpanjangan sensoris dan motorik blokade setelah pemberian epidural atau subarachnoid dosis besar. Toksisitas ini timbul sebagai akibat dari pH rendah dan penggunaan natrium metabisulfit sebagai pengawet dalam formula sebelumnya. Namun tidak ada laporan neurotoksisitas yang mengandung kalsium EDTA sebagai pengawet, walaupun pengolahan ini juga juga tidak direkomendasikan untuk penggunaan intratekal. Nyeri otot punggung setelah epidural anestesi dengan 2kloroprokain telah dilaporkan dan diperkirakan karena tetanus pada otot paraspinal, yang merupakan akibat dari ikatan Ca2+ oleh EDTA sebagai pengawet. Insiden nyeri punggung yang muncul berhubungan dengan banyak obat yang diinjeksikan dan penggunaanya untuk infiltrasi di kulit. Sudah terdapat pengolahan 2-kloroprokain yang lebih baru dimana semua pengawet telah dihilangkan dan diteliti memberikan hasil yang menjanjikan. Meskipun begitu, sementara 2-kloroprokain tidak dianjurkan untuk spinal atau regional anestesi IV, kami biasa menggunakan untuk blokade saraf perifer. 3% 2-kloroprokain merupakan anestetik pilihan kami untuk pembedahan dengan durasi yang pendek yang mengakibatkan trauma jaringan relatif kecil dan nyeri post-operative (contohnya carpal tunnel syndrome, knee arthroscopy, muscle biopsy). Karakteristik dari blokade saraf perifer yaitu onset cepat dan durasi kerja yang pendek (1,5-2 jam). Durasi dari blokade ini dapat diperpanjang (hingga 2 jam) oleh penambahn epinefrin (1:300.000). Tetrakain Tetrakain adalah butilamino derivat dari prokain. Tetrakain diperkenalkan pada tahun 1932, dan merupakan amino ester yang masa kerjanya lama. Tetrakain secara signifikan lebih ampuh dan memiliki durasi yang lebih lama dari prokain atau 2-kloroprokain. Tetrakain dimetabolisme lebih lambat dari lokal anestetik lain yang biasa digunakan, dan dianggap lebih toksik. Saat ini, anestetik ini digunakan pada spinal anestesi apabila obat dengan durasi yang panjang diperlukan, juga pada bebagai pengolahan anestesi topikal. Lokal Anestetik Turunan Amida Berlawanan dengan obat turunan ester, lokal anestetik terkait amida di metabolisme di hati. Aliran darah hepar dan fungsi hati menentukan clearence obat-obat anestesi di hati. 11

Akibatnya faktor-faktor yang mengurangi aliran darah hepatik atau ekstraksi obat di hepar menghasilkan penambahan eliminasi waktu paruh. Harus diingat, renal clearance anestetik lokal yang tidah berubah merupakan rute eliminasi minor, hanya 3% sampai 5% dari total pemasukan obat. Langkah biotransformasi utama untuk anestesi lokal tipe amida adalah reaksi dealkilasi dimana etil grup di pecah dari amin tersier. Lidokain Lidokain diperkenalkan tahun 1948 dan masih merupakan salah satu anestetik lokal yang digunakan secara luas. Anestetik ini merupakan aminoetilamida dan merupakan prototip dari anestetik lokal kelas amida. Lidokain diabsorpsi cepat setelah penggunaan parenteral dan dari traktus gastrointestinal dan respiratori. Obat ini didealkilasi di liver oleh oksida monoetilglicin xylidide dan glycine xylidide. Lidokain dapat digunakan pada hampir semua blok saraf perifer dimana anestetik lokal dengan durasi menengah diperlukan. Konsentrasi 1,5-2% dengan atau tanpa penambahan epinefrin paling banyak digunakan untuk anestesi pembedahan. Konsentrasi yang lebih kecil sesuai untuk manajemen nyeri, terutama untuk blok diagnostik. Mepivakain Mepivakain diperkenalkan pada tahun 1957, merupakan lokal anestetik amida lokal dengan durasi mengengah. Farmakologi dari obat ini mirip dengan lidokain. Walaupun mepivakain telah dikatakan toksik untuk neonatus (karena itu, tidak digunakan untuk anestetsi obstetric), ternyata anestetik ini sedikit memiliki indeks terapi yang lebih tinggi pada orang dewasa dibanding lidokain. Onsetnya mirip dengan lidokain, akan tetapi durasinya sedikit lebih panjang dari lidokain. Menariknya, 1,5% mepivakain paling banyak dan umum digunakan orang-orang yang ahli dalam bidang ini. Obat ini merupakan pilihan pertama kami pada berbagai blok saraf perifer ketika blokade dengan durasi menengah diperlukan (3 hingga 6 jam, tergantung jenis safat yang diblok dan penambahan vasokontriktor). Prilokain Prilokain merupakan anestetik lokal amino amida yang durasinya menengah dengan profil farmakologi yang mirip dengan lidokain. Perbedaan utama terdapat pada kurangnya vasodilatasi dan penambahan volume distribusi, menyebabkan berkurangnya toksisitas CNS. Meskipun begitu, ini sangat khas diantara anestetik lokal dengan kecenderungan untuk menyebabkan methemoglobinemia, yang merupakan efek metebolisme dari cincin aromatik.

12

Etidokain Etidokain adalah amino amida yang bersifat long acting. Sifat blokade neuronalnya menyerupai lidokain dan durasi kerjanya menyerupai bupivakain. Bila dibandingkan dengan bupivakain, etidokain memblok saraf motorik terlebih dahulu. Secara struktural etidokain mirip dengan lidokain, hanya saja terdapat substitusi alkil pada penghubung alifatik yang menghubungkan antara amin hidrofilik dengan jembatan amida. Stuktur seperti ini meningkatkan kelarutan obat dalam lemak dan menghasilkan potensi yang lebih tinggi, onset yang sangat cepat, dan durasi kerja anestesi yang lebih panjang bila dibandingkan dengan lidokain. Kerugian utama etidokain adalah blokade saraf motorik yang dalam yang seringkali berlangsung lebih lama daripada blokade saraf sensorik. Oleh karena itu etidokain tidak digunakan untuk blokade saraf perifer. Bupivakain Sejak diperkenalkan pada tahun 1963, bupivakain telah menjadi salah satu obat anestetik lokal yang paling sering digunakan untuk anestesia regional dan infiltrasi. Struktur kimianya mirip lidokain, hanya saja gugus aminnya terdiri dari butilpiperidin. Bupivakain adalah agen long acting yang mampu menghasilkan efek anestesia dan analgesia yang lebih lama (prolonged) dan bahkan dapat diperlama lagi dengan penambahan epinefrin. Secara substansial, bupivakain lebih kardiotoksik bila dibandingkan dengan lidokain. Gejala kardiotoksik oleh bupivakain dapat berupa aritmia ventrikular yang parah dan depresi miokardial setelah pemberian dosis besar secara IV tanpa pemberian dosis inisiasi terlebih dulu. Efek kardiotoksik bupivakain bersifat kumulatif dan secara substansial efek kardiotoksiknya lebih besar bila dibandingkan dengan potensi anestetik lokal yang dihasilkannya. Bila bupivakain secara tidak sengaja masuk ke dalam medula spinalis, maka akan terjadi malignant ventricular arrhythmias. Efek kardiotoksik oleh bupivakain sulit diterapi. Keadaan asidosis, hiperkarbia, dan hipoksemia semakin memperburuk toksisitasnya. Bupivakain secara luas digunakan untuk blok saraf perifer dan neuraksial. Onsetnya lambat dengan durasi yang tidak dapat diprediksi. Oleh karena efek toksiknya, maka penggunaan bupivakain dalam dosis besar harus dihindari. Ropivakain Efek kardiotoksik bupivakain mendorong para peneliti untuk mengembangkan zat anestetik lain yang memiliki efek jangka panjang dan toksisitas yang rendah. Penemuan ropivakain, enansiomer 1-propil-2,6-pipekolosilidida, merupakan hasil pencarian tersebut. Enansiomer, seperti kebanyakan anestetik lokal dengan inti chiral, terpilih karena enansiomer 13

toksisitasnya lebih rendah dari isomer R. Ini hanya dugaan karena uptakenya lebih lambat, bekerja di darah pada level yang lebih rendah pada dosis yang diberikan (5-7 jam). Ropivakain dimetabolisme secara besar-besaran di hepar setelah pemberian IV. Dengan hanya 1% obat yang dieliminasi tanpa berubah dalam urin. Ropivakain kurang poten untuk anestesi dibandingkan bupivakain jika digunakan dalam dosis rendah. Bagaimanapun, pada konsentrasi 0,5% dan yang lebih tinggi, ropivakain menyebabkan penghambatan yang kuat dengan durasi yang lebih pendek daripada bupivakain. Pada konsentrasi 0,75%, onset penghambatan hampir sama cepat dengan 1,5% mepivakain atau 3% 2-chloroprakain, dengan penurunan toksisitas di CNS dan potensi kardiotoksik dan kecenderungan lebih rendah untuk penghambatan saraf motorik daripada bupivakain. Karena alasan ini, ropivakain menjadi salah satu anestetik lokal jangka panjang yang paling sering digunakan pada blok saraf perifer. Levobupivakain Levobupivakain terdiri dari enansiomer tunggal bupivakain hidroklorida dan berhubungan secara kimiawi dan farmakologis dengan anestetik lokal golongan amino amida. Kardiotoksisitas levobupivakain lebih rendah daripada bupivakain. Obat ini dimetabolisme seluruhnya dan tidak ditemukan levobupivakain yang tidak berubah dalam urin maupun feses. Kekuatan penghambatan levobupivakain pada blok saraf perifer kurang diteliti bila dibandingkan dengan ropivakain. Bagaimanapun, hasil penelitian menunjukkan bahwa obatobat ini sama saja dengan bupivakain. Oleh karena itu, levobupivakain adalah alternatif yang baik dan toksisitasnya lebih rendah daripada bupivakain. Pencampuran Anestetik Lokal Mencampur anestetik lokal (seperti lidokain dan bupivakain) sering dilakukan di praktik klinik dengan tujuan memperoleh onset yang lebih cepat dan toksisitas yang lebih rendah dengan anestetik lokal jangka pendek dan durasi penghambatan lebih lama dengan anestetik lokal jangka panjang. Sayangnya, ketika anestetik lokal dicampur, onset, durasi, dan potensi obat menjadi kurang terprediksi dan hasil akhir jauh dari yang diduga. Contohnya, mencampur 3% 2-kloroprokain dengan 0,5% bupivakain menghasilkan onset yang lebih lambat dalam menghambat dan durasinya sedikit lebih panjang. Sebagai tambahan, mencampur anestetik lokal juga menyebabkan resiko drug error. Untuk alasan ini, kita jarang mencampur anestetik lokal; malahan, kami memilih satu obat saja dan konsentrasinya untuk mencapai efek yang diingnkan.

14

Bahan Tambahan dalam Anestetik Lokal Vasokonstriktor Penambahan vasokonstriktor pada anestesi lokal menunda absorpsi vaskular obat anestesi lokal, meningkatkan durasi kontak obat dengan jaringan saraf. Efek jaringan memperpanjang penghambatan sebanyak 50% dan mengurangi absorpsi sistemik anestetik lokal. Efek ini bervariasi di antara tipe anestetik lokal yang berbeda dan blok saraf masingmasing individu. Epinefrin adalah vasokonstriktor yang paling sering digunakan di blok saraf perifer. Karena injeksi anestetik lokal dalam jumlah besar ke dalam selubung saraf, penggunaan torniket dan epinefrin dapat digabungkan agar mengakibatkan penurunan suplai darah ke saraf, dan lebih baik membatasi konsentrasi epinefrin hingga 1:300.000. Opioid Injeksi opioid ke dalam ruang epidural atau subarachnoid untuk pengelolaan nyeri akut atau kronis berdasarkan pengetahuan tentang reseptor opioid di substansia gelatinosa medula spinalis. Karena itu, kombinasi anestetik lokal dan opioid sering sukses digunakan pada penghambatan neuro aksial untuk memperkuat penghambatan maupun analgesik jangka panjang. Bagaimanapun, pada saraf perifer terdapat reseptor yang sama atau efek opioid menjadi lemah. Untuk alasan ini, menurut kami opioid tidak mempunyai peranan klinis yang signifikan dalam blok saraf perifer. Klonidin Klonidin bekerja secara sentral sebagai agonis 2-adrenergik selektif parsial. Karena kemampuannya mengurangi output sistem saraf simpatis dari CNS, klondin bekerja sebagai antihipertensi. Klonidin bebas pengawet ditambahkan ke dalam ruang epidural atau subarachnoid (150-450 g), menghasilkan analgsik dosis-terikat dan tidak seperti opioid, tidak menyebabkan depresi ventilasi, pruritus, nausea dan muntah. Klonidin menyebabkan analgesik dengan mengaktivasi reseptor post-sinaptik 2 pada substansia gelatinosa pada medula spinalis. Beberapa penelitian telah diakukan terhadap efek klonidin pada blok saraf perifer. Bagaimanapun, sangat jelas bahwa obat ini dapat memperpanjang analgesik secara signifikan ketka dikombinasi pada dosis 50-100 g dengan anestetik lokal jangka pendek dan jangka sedang. Keuntungannya, bagaimanapun, efek obat ini diperkecil sebagai analgesik tercapai dengan anestetik lokal jangka panjang. Hal ini harus dicatat bahwa klonidin tidak bisa berefek anestesi pada pembedahan dan tidak dtabahkan sendirian. Efek klondin yang sangat berguna ini seharusnya dipertimbangkan bersamaan dengan efek sampingnya, termasuk dosis-terikat sedasi dan hipotensi. Walaupun keadaan hipotensi yang membahayakan atau bradikardi tidak 15

dilaporkan ketka klonidin digunakan bersama blok saraf perifer, efek sirkulasinya dapat menyulitkan resusitasi pada keadaan toksisitas anestetik lokal. Difusi anestetik lokal Saraf perifer gabungan atau cabang saraf gabungan terdiri dari saraf-saraf individual yang dikelilingi oleh epineurium. Ketika anestetik lokal dimasukkan ke dekat saraf perifer, obat ini berdifusi dari permukaan luar menuju inti selama gradien konsentrasi. Akibatnya, saraf yang terletak di selubung luar saraf gabungan terhambat pertama kali. Serat ini biasanya didistribusi ke struktur anatomis proximal lainnya daripada yang terletak dekat inti saraf gabungan dan seringya ke serat motorik. Ketika volum dan konsentrasi anestetik lokal yang dimasukkan ke saraf diperkirakan sudah adekuat, anestetik lokal pada akhirnya berdifusi di dalam untukmenghambat lebih banyak serat saraf di sentral. Jumlah dan konsentrasi obat yang lebih kecil hanya menghambat saraf di bagian selubung an serat saraf sentral yang lebih kecil dan sensitif. Onset penghambatan Umumnya, anestetik lokal dimasukkan sedekat mungkin dengan saraf, dan lebih baik dalam selubung jaringan (sepert pleksus brakhialis, pleksus lumbalis) atau selubung epineural saraf (seperti, femoralis, sciatic). Anestetik lokal harus berdifusi dari tempat injeksi ke dalam saraf, dimana dia bekeja. Tingkat difusi ditentukan oleh konsentrasi obat, derajat ionisasinya (ionisasi anestetik lokal berdifusi lebih lambat), hidrofobisitasnya, dan karakteristik fisik jaringan di sekitar saraf. Konsentrasi anestetik lokal yang lebih tinggi menghasilkan onset yang lebih cepat pada penghambatan saraf perifer. Anestetik lokal dengan nilai pKa lebih rendah menandakan onset aksi yang lebih cepat untuk konsentrasi pemberian, karena lebih banyak obat terionisasi pada pH netral. Durasi penghambatan Durasi anestesi blok saraf tergantung pada karakter fisik anestetik lokal dan ada atau tidak adanya vasokonstriktor. Khususnya karakteristik fisik yang penting adalah kelarutan dalam leak dan pengikatan dengan protein. Umumnya anestetik lokal dapat diibagi menjadi 3 kategori : jangka pendek (2-kloroprokain, 45-90 menit), jangka menengah (lidokain, mepivakain, 90-180 menit), jangka panjang (bupivakain, levobupivakain, ropivakain, 4-18 jam). Derajat perpanjangan blok dengan penambahan vasokonstriktor berhubungan dengan faktor intrinsik vasodilator anestetik lokal, semakin banyak aksi intrinsik vasodilator, semakin panjang penghambatannya (seperti lidokain dan bupivakain).

16

Walaupun diskusi ni sesuai dengan pengajaran klinis masa sekarang, dalam praktek klinis berbeda dari teori. Contohnya, penghambatan yang kuat pleksus brakhialis dengan 2kloroprokain akan menjadi lemah, penghambatan yang lemah seperti bupivakain. Sebagai tambahan, pengajaran klasik tidak memasukkan tipe-tipe blok. Sebagai contoh, blok saraf seratik dengan bupivakain berakhir hampir dua kali sama panjang dengan blok plexus lumbar atau interskalene dengan dosis obat dan konsentrasi yang sama. Perbedaan ini harus diingat dan memprediksi resolusi penghambatan. Perkiraan durasi penghambatan dengan anestetik lokal dijelaskan dengan teknik blok masing-masing individu.

17

Anda mungkin juga menyukai