Anda di halaman 1dari 22

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

II.1 Landasan Teori Laporan keuangan merupakan alat ukur dari kinerja oleh perusahaan dan juga merupakan alat analisis yang digunakan oleh pengguna laporan keuangan dalam pengambilan keputusan. Menurut PSAK No.1 (Revisi 2009) laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja entitas. Tujuan dari laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Laporan keuangan juga menunjukan hasil pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, hendaknya laporan keuangan menyajikan informasi mengenai entitas yang meliputi: 1. Aset 2. Liabilitas 3. Ekuitas 4. Pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian 5. Kontribusi dari dan distribusi kepada pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik
6. Arus kas

14

Informasi tersebut dan informasi yang lainnya terdapat dalam catatan atas laporan keuangan, membantu pengguna laporan dalam memprediksi arus kas masa depan dan khususnya dalam hal waktu dan kepastian diperolehnya kas dan setara kas.

II.1.1 Manajemen Laba Manajemen laba merupakan metode yang digunakan oleh manajemen untuk memanipulasi laporan keuangan. Pemanipulasian ini bertujuan agar laporan keuangan perusahaan tampak menjadi lebih baik. Manajemen laba atau earnings management didefinisikan oleh beberapa peneliti secara berbeda-beda, yaitu:
1. Merchant dan Rockness (1994) mendefinisikan manajemen laba

sebagai tindakan dari manajemen yang mempengaruhi pendapatan tidak mengandung keuntungan ekonomis yang sebenarnya dari perusahaan dan dapat menyebabkan efek negatif untuk jangka panjang.
2. Schipper

(1989)

mendefinisikan

manajemen

laba

sebagai

pengungkapan yang dilakukan oleh manajemen dengan melakukan intervensi para laporan keuangan secara sengaja dengan maksud untuk memperoleh keuntungan pribadi.
3. Rosenweig dan Fischer (1994) mendefinisikan manajemen laba

sebagai tindakan dari manajer yang berniat untuk menaikan atau menurunkan pendapatan unit usaha pada periode berjalan yang

15

menjadi

tanggung jawabnya,

tanpa membuat

kenaikan

atau

penurunan profitabilitas untuk jangka yang panjang. Meskipun terdapat beberapa definisi mengenai manajemen laba yang berbeda-beda yang didefinisikan oleh para ahli, tetapi pada dasarnya manajemen laba mempunyai pengertian yang sama yaitu tindakan dari manajer secara langsung untuk mempengaruhi laba atau pendapatan yang dilaporkan pada periode berjalan yang dapat menimbulkan efek negatif bagi perusahaan untuk jangka panjang.

II.1.2 Teknik-teknik Manajemen Laba Terdapat beberapa teknik manajemen laba yang dilakukan oleh para manajer dalam memanipulasi laporan keuangannya. Teknik-teknik ini digunakan sesuai dengan harapan yang ingin dicapai oleh manajer dalam pemanipulasian laporan keuagan ini. Disarikan dari Dechow dan Skinner 2000; Healy dan metode manajemen laba dapat

Wahlen 1999; Levitt 1998 dan Lev 2003 dikelompokan menjadi dua bagian besar yaitu:

1. Manajemen laba yang melanggar prinsip akuntansi yang berlaku.

Contoh-contoh dari pelanggaran ini antara lain: transaksi fiktif, pengakuan biaya sebagai aset, penghapusan beban, pengakuan pendapatan lebih awal, dan sebagainya.
2. Manajemen laba yang sejalan dengan prinsip akuntansi yang berlaku.

Manajemen laba ini digolongkan lagi menjadi tiga cara yaitu:


-

Pengubahan unsur estimasi, manajemen menggunakan metode ini untuk memanipulasi laba dengan mengubah estimasi dari 16

akuntansi. Contoh-contoh dari manajemen laba ini antara lain: perubahan estimasi umur ekonomis suatu aset, estimasi piutang yang tak tertagih, perubahan estimasi impairment suatu aset, dan sebagainya.
-

Pemilihan metode, manajemen laba menggunakan cara ini yaitu pengubahan metode akuntansi ke metode lain yang lebih menguntungkan. Misalnya pengubahan metode alokasi depresiasi dan pengubahan metode aliran biaya pada persediaan.

Penstrukturan transaksi, cara ini dilakukan dengan menyesuaikan unsur-unsur dari transaksi. Contoh-contoh dari manajemen laba ini antara lain: penstrukturan transaksi sewa guna (operating lease atau capital lease), penstrukturan investasi saham atau ekuitas, dan sebagainya.

Dari dua metode tersebut diatas, manajemen laba dapat dibagi lagi menjadi beberapa teknik. Menurut Scott (2003) teknik-teknik dari manajemen laba yaitu: 1. Taking a bath Teknik manajemen laba ini umumnya pada saat terjadi pergantian CEO (chief executive officer) dan umumnya terjadi pada saat perusahaan sedang mengalami tekanan yang besar. Teknik ini akan mengakui beban dimasa yang akan datang menjadi beban dimasa kini dengan harapan laba dimasa yang akan datang dapat dilaporkan lebih tinggi. Apabila manajer dipaksa untuk melaporkan laba yang lebih

17

tinggi, maka aktiva perusahaan akan dihapuskan dengan harapan dapat memperkecil beban yang dilaporkan.

2. Income minimization Teknik manajemen laba ini dilakukan apabila laba yang dilaporkan oleh perusahaan mengalami kenaikan yang cukup tinggi

dibandingkan dengan laba yang dilaporkan tahun sebelumnya. Untuk menghindari perhatian secara politis maka perusahaan mengecilkan laba yang dilaporkan pada tahun berjalan. Income minimization ini juga digunakan apabila perusahaan ingin membayar pajak yang lebih kecil daripada jumlah yang seharusnya dibayar. Metode ini dapat dilakukan dengan penghapusan aktiva tidak berwujud, penghapusan barang modal, serta pembebanan atas beban-beban yang diakui lebih cepat. 3. Income maximation Teknik manajemen laba ini merupakan salah satu teknik yang sering digunakan oleh para manajer. Motivasi dan dorongan untuk memperoleh bonus yang diharapkan membuat manajer melaporkan laba periode berjalan yang lebih tinggi daripada laba aktual yang terjadi. 4. Income smoothing Teknik manajemen laba ini dilakukan dengan cara malaporkan pendapatan dari perusahaan dengan stabil. Perusahaan akan cenderung untuk melaporkan trend pendapatannya secara stabil 18

daripada melaporkan kenaikan atau penurunan yang drastis. Sehingga laba pada periode berjalan dilaporkan tidak jauh berbeda dari laba tahun sebelumnya agar ekspektasi dan prediksi pengguna laporan keuangan untuk laba tahun selanjutnya tidak jauh meningkat.
5. Timing revenue dan expense recognition

Teknik manajemen laba ini dilakukan dengan mengakui pendapatan dan beban secara salah. Misalnya pendapatan diakui lebih cepat daripada yang seharusnya. Atau beban dimasa depan dijadikan beban masa kini atau sebaliknya. Selain dari metode-metode manajemen laba diatas Arthur Levitt (2009) ketua dari Securities exchange commissions (SEC) juga menyatakan terdapat teknik-teknik manajemen laba yang lain yang dapat dilakukan oleh para manajer diantaranya: 1. Cookie jar reserves Cookie jar reserves merupakan teknik manajemen laba yang timbul karena asusmsi periodik dalam kerangka konseptual akuntansi. Teknik ini dilakukan dengan cara mengelola akun-akun cadangan pada perusahaan. Sebagai contoh perusahaan mempunyai cadangan kerugian piutang, cadangan kerugian piutang ini akan dibebankan lebih besar pada periode berjalan sehingga beban akan dinilai lebih tinggi. Tetapi apabila perusahaan tidak mencapai laba yang diharapkan maka akun cadangan inilah yang dipakai perusahaan untuk memperbesar laba mereka. 2. Abuse of materiality 19

Teknik manajemen laba ini menggunakan celah dari tingkat materialitas yang dipakai oleh auditor. Pada umumnya auditor akan kurang memperhatikan transaksi yang nilainya dibawah dari nilai materialitas yang dipakai oleh perusahaan. Oleh karena itu manajer memanfaatkan celah ini untuk melakukan teknik manajemen laba. Memang apabila dilihat dari jumlahnya maka jumlah kecurangan ini tidak akan tampak material, akan tetapi apabila nilai-nilai yang tidak material itu banyak akan menyebabkan nilai yang cukup material. 3. Creative acquisition accounting Teknik manajemen laba yang dilakukan dengan cara menghapuskan biaya Riset dan pengembangan, biaya investasi, biaya akuisisi dan biaya lain-lain untuk mengurangi beban amortisasi pada laporan keuangan. Sedangkan Barua, Lin, dan Sbaraglia (2010) menggolongkan manajemen laba menjadi tiga garis besar yaitu:
1. Classification shifting

Teknik

manajemen

laba

ini

merupakan

teknik

untuk

mengklasifikasikan suatu akun dengan salah secara sengaja. Akibat dari salah klasifikasi ini akan dapat membuat suatu akun akan terlihat lebih besar atau lebih kecil. Contohnya manajemen

mengklasifikasikan secara salah beban-beban untuk diklasifikasikan menjadi aktiva.


2. Real activity manipulation

Metode manajemen laba ini dilakukan melalui pemanipulasian 20

kegiatan nyata yang dilakukan oleh manajemen. Misalkan saja manajemen mengubah layout dari pabrik sehingga beban akan berkurang secara signifikan, padahal beban yang berkurang dari perubahan layout itu tidaklah signifikan.
3. Accrual management

Teknik manajemen laba ini merupakan teknik yang paling sering dipakai oleh para manajer dalam memanipulasi laporan keuangannya. Secara teknis akrual merupakan selisih antara kas dan laba, dimana akrual dinilai berdasarkan estimasi-estimasi tertentu. Metode ini dilakukan dengan memanipulasi nilai akrual yang dilaporkan oleh perusahaan misalnya perubahan dari estimasi umur manfaat suatu aset akan dapat mengubah nilai dari akrual.

II.1.3 Motivasi Manajemen Laba Ada berbagai macam motivasi dari manajemen untuk melakukan manajemen laba. Motivasi dan tekanan kadang kali yang menjadikan salah satu faktor dari para manajer dalam melakukan manajemen laba. Menurut Scott (2003) motivasi dari para manajer dalam melakukan manajemen laba adalah sebagai berikut:
1. Motivasi bonus (bonus scheme)

Manajemen laba akibat dari motivasi ini terjadi jika manajemen dijanjikan untuk mendapatkan bonus apabila perusahaan mencapai laba tertentu. Tujuan dari pemberian bonus untuk manajer ini diharapkan dapat membawa dampak positif bagi para manajer, karena 21

para manajer akan termotivasi untuk terus meningkatkan dan mengembangkan perusahaan. Akan tetapi terkadang keinginan para manajer untuk memperoleh bonus yang besar untuk kepentingan pribadi inilah yang menjadikan salah satu motivasi bagi para manajer dalam melakukan manajemen laba. Para manajer akan memanipulasi laporan keuangan aktual sehingga manajer akan mencapai laba yang diinginkan oleh direksi dan manajer akan memperoleh bonus karena kinerja mereka telah mencapai target.
2. Motivasi kontrak (debt covenant)

Motivasi ini menyatakan bahwa manajemen laba akan dapat terjadi apabila manajer berkeinginan untuk memperoleh pinjaman dari kreditur. Manajer akan cenderung untuk meningkatkan laba sehingga mereka mendapatkan pinjaman dari para kreditur.
3. Motivasi politik (political motivation)

Motivasi ini umumnya terjadi pada perusahaan besar yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan umumnya dilakukan apabila tingkat kemakmuran rakyat sedang tinggi. Manajer akan cenderung melaporkan laba yang lebih kecil dari laba yang seharusnya dengan tujuan agar perusahaan memperoleh subsidi dan kemudahan dari pemerintah.
4. Motivasi perpajakan (taxation motivation)

Salah satu tujuan dari manajer dalam menurunkan laba yang dilaporkan pada periode berjalan adalah pajak. Manajer berupaya untuk melaporkan laba mereka lebih rendah daripada laba aktual 22

dengan tujuan agar perusahaan membayar pajak lebih rendah daripada yang seharusnya dia bayar.
5. Pergantian CEO (changes of chief executive officer)

Motivasi ini umumnya terjadi menjelang pergantian direksi atau CEO. Para CEO akan berusaha memaksimalkan laba perusahaan yang dilaporkan dengan tujuan agar ia mendapatkan bonus. Selain itu tujuan lain dari motivasi ini adalah agar terjadi pembatalan pemecatannya.
6. Penawaran saham perdana (initial public offering)

IPO atau penawaran saham perdana adalah suatu keadaan dimana saham dari perusahaan pertama kali ditawarkan kepada public. Motivasi manajer untuk melakukan manajemen laba pada saat menjelang initial public offering ini adalah karena manajer mengharapkan respon positif dari para investor. Manajer akan cenderung menaikan laba yang dilaporkan daripada laba aktual dari perusahaan sehingga penawaran terhadap saham akan mencapai harga tertinggi. Selain motivasi untuk melakukan manajemen laba seperti yang dikemukakan Scott(2003), Healy dan Wahlen (1999) juga menyebutkan ada tiga motivasi bagi para manajer dalam melakukan manajemen laba yaitu: capital market motivation, contracting motivation, dan regulatory motivation. Healy dan Wahlen (1999) mengatakan bahwa berdasarkan capital market motivasion (motivasi pasar modal) incentive para manajer untuk memanipulasi laba mempunyai kemungkinan yang cukup tinggi, karena manajer ingin 23

performa perusahaan mencapai atau melebihi ekpektasi dari para analis dan investor. DeAngelo (1988) menyatakan bahwa ada incentive dari para manajer untuk memanipulasi laba perusahaan dengan membuat laba menjadi lebih rendah (understated) daripada yang semestinya. Hal ini disebabkan karena ada faktor management buyout yang merupakan faktor yang dimana terjadi ketika manajemen ingin melakukan akuisisi perusahaan lain. Sementara incentive dari para manajer untuk membuat laba mereka menjadi lebih tinggi (overstated) juga banyak terjadi. Teoh, Welch, dan Wong (1998) menyimpulkan bahwa terdapat incentive bagi para manajer untuk melakukan overstated terhadap laba perusahaan mereka disebabkan karena initial public offers. Selain itu manajer juga melakukan manajemen laba karena akuisisi saham perusahaan (Erickson dan Wang 1998). Penelitian lain mengenai manajemen laba karena motivasi pasar modal ini juga menunjukan bahwa laba dimanipulasi untuk mencapai yang diharapkan analis. Burgstahler dan Eames (1998) menyimpulkan bahwa manajer akan meningkatkan laba dari perusahaan untuk menghindari laba yang lebih rendah dari laba yang diekspektasi oleh analis. Abarbanell dan Lehavy (1998) menggunakan financial analysts stock recommendation untuk memprediksi menagemen laba. Abarbanell dan Lehavy (1998) menemukan bahwa para manajer akan meningkatkan laba mereka apabila saham perusahaan mereka mendapatkan rekomendasi beli dari analis keuangan. Sedangkan manajer akan cenderung menurunkan laba mereka apabila saham perusahaan mereka mendapatkan rekomendasi jual dari analis keuangan. Dalam contracting motivation Healy dan Wahlen (1999) menyatakan ada 2 kontrak yang menjadi motivasi manajer melakukan manajemen laba yaitu 24

lending contracts dan management compensation contracts. Lending contracts menyatakan bahwa manajer akan cenderung melakukan manajemen laba terkait dengan oemberian pinjaman yang diberikan oleh kreditur. Sedangkan pada management compensation contracts menyatakan bahwa motivasi manajemen laba terkait dengan pemberian kompensasi perusahaan terhadap manajer. Guidry et al. (1998) menemukan bahwa manajer pada perusahaan multinasional yang besar cenderung untuk menangguhkan pendapatan ketika target laba tidak tercapai untuk memperoleh bonus. Selain motivasi-motivasi diatas Rahayu (2009) mengatakan ada dua alasan mengapa manajemen sering melakukan manajemen laba. Pertama karena ada beberapa metode manajemen laba merupakan cara yang murah karena metode ini tidak mempengaruhi kinerja aktual perusahaan sehingga nyaris tidak memiliki dampak apapun yang perlu dikhawatirkan terlepas dari resiko pribadi yang ditanggung manajemen apabila manajemen laba ini terdeteksi. Kedua ada beberapa metode manajemen laba ini mudah untuk dilakukan seperti pendekatan akuntansi berbasis aturan yang dipilih untuk digunakan oleh penyusun standar.

II.1.4 Model Pendeteksian Manajemen Laba Salah satu teknik manajemen laba yang sering digunakan oleh para manajer adalah accruals management. Karena begitu banyaknya manajemen laba yang menggunakan teknik ini maka timbulah beberapa model yang digunakan untuk mendeteksi manajemen laba ini. Beberapa model untuk pendeteksian manajemen laba ini antara lain: 1. Model Healy 25

Healy (1985) melakukan pengujian terhadap manajemen laba dengan menggunakan partitioning variable dan membandingkannya dengan rata-rata total akrual. Model Healy ini berbeda dari kebanyakan model untuk mendeteksi manajemen laba, Healy memprediksi bahwa manajemen laba yang sistematik terjadi setiap periode. Healy menggunakan model dibawah ini untuk pendeteksian manajemen laba: NDAt = TAt/T Dimana : NDA TA T = perkiraan akrual non-diskresioneri = total akrual = tahun indikasi dimana terjadi manajemen laba

2. Model DeAngelo DeAngelo (1986) melakukan pengujian terhadap manajemen laba dengan mengasumsikan perbedaan pertama pada total akrual diekspektasikan mempunyai nilai 0 dimana tidak terjadi manajemen laba. Model ini menggunakan total akrual untuk periode lalu untuk mengukur nilai akrual non-diskresioneri. Model DeAngelo ini dapat dikatakan sebagai model Healy yang special, karena model ini dapat digunakan apabila data estimasi untuk akrual non-diskresioneri tahun lalu tidak dapat diperoleh. DeAngelo menggunakan persamaan dibawah ini untuk melakukan pendeteksian manajemen laba: NDAt = TAt 3. Model Jones 26

Jones (1991) mengembangkan model untuk mengestimasi akrual diskresioner untuk mendeteksi manipulasi laba yang dilakukan oleh manajer. Jones (1991) melakukan firm-specific regression dimana ia membandingkan akrual tahun t saat manajemen laba terjadi dengan rata-rata akrual perusahaan itu sendiri pada tahun-tahun sebelumnya. Jones menggunakan persamaan dibawah ini untuk pengukuran non akrual diskresioneri pada tahun berjalan. NDA,t = a1 (1/At-1 ) + a2(AREVc) + a3(PPEt) Dimana: AREV PPEt At-1 = pendapatan pada tahun t dikurangi pendapatan tahun t-1 = aset tetap perusahaan pada periode t = total aset perusahaan pada tahun t-1

a1,a2,a3 = firm-specific parameter untuk mengestimasi nilai firm-specific parameter Jones (1991) menggunakan model dibawah ini: TAt = a,(l/At_ I) + a2(AREVt) + a3(PPE1) + vt 4. Model Modifikasi Jones Model ini dikembangkan oleh Dechow, Sloan dan Sweeney (1995). Model yang dikembangkan ini dibuat untuk menghilangkan kecenderungan kesalahan yang dibuat oleh model Jones. Pada model modifikasi Jonesi ini akrual non-diskresioneri ini diestimasikan pada saat periode kejadian. Persamaan yang digunakan untuk pendeteksian manajemen laba adalah sebagai berikut: NDAt = ai(1/At-1) + a2(REVt - RECt) + a3(PPEt) , 27

Dimana: REC = piutang bersih pada tahun t dikurangi dengan piutang bersih tahun t-1 II.1.5 Operasi yang Dihentikan Berkenaan dengan penelitian ini yang menggunakan classification shifting menggunakan operasi yang dihentikan, menurut PSAK No.58 komponen suatu entitas terdiri dari operasi dan arus kas yang dapat dibedakan secara jelas, untuk tujuan operasional dan pelaporan keuangan, dari komponen lain dalam entitas. Dengan kata lain, komponen entitas akan terdiri dari unit penghasil kas atau kelompok unit penghasil kas yang dimiliki untuk digunakan. Operasi yang dihentikan sebagai komponen entitas yang telah dilepaskan atau diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual dan: a. Mewakili lini usaha atau area geografis operasi utama yang terpisah b. Sebagai bagian dari rencana tunggal terkoordinasi untuk melepaskan lini usaha besar atau area geografis operasi utama yang terpisah, atau c. Entitas anak yang diperoleh secara khusus dengan tujuan dijual kembali. Didalam PSAK no. 58 ini juga disebutkan bahwa entitas harus mengungkapkan: a. Suatu jumlah tunggal dalam laporan laba rugi komprehensif yang terdiri dari jumlah: 1. Laba atau rugi setelah pajak dari operasi yang dihentikan dan
2. Laba atau rugi setelah pajak yang akan diakui dalam mengukur nilai

wajar setelah dikurangi biaya untuk menjual atau pelepasan asset atau kelompok lepasan yang terkait dengan operasi dihentikan

28

b. Analisa terhadap jumlah tunggal dalam huruf (a) terhadap: 1. Pendapatan, beban dan laba atau rugi sebelum pajak dari operasi dihentikan; 2. Beban pajak penghasilan yang terkatit, sesuai dengan PSAK 46; 3. Laba atau rugi yang diakui dalam pengukuran ke nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk menjual atau pelepasan aset atau kelompok lepasan yang terkait dengan operasi dihentikan; dan 4. Beban pajak penghasilan yang terkait sesuai dengan PSAK 46. Analisa tersebut dapat disajikan dalam catatan atas laporan keuangan atau laporan laba rugi komprehensif. Jika analisa tersebut disajikan dalam laporan laba rugi komprehensif maka harus disajikan dalam bagian yang dapat diidentifikasikan dengan operasi dihentikan, misalnya disajikan secara terpisah dari operasi yang dilanjutkan. Analisa ini tidak diharuskan kelompok lepasan yang merupakan entitas anak yang baru diperoleh yang memenuhi kriteria sebagai tersedia untuk dijual dalam akuisisi.
c. Arus kas neto yang dapat diatribusikan ke aktivitas operasi, investasi dan

pendanaan dari operasi dihentikan. Pengungkapan ini dapat disajikan dalam catatan atas laporan keuangan atau laporan keuangan untuk disajikan. Pengungkapan ini tidak diisyaratkan untuk kelompok lepasan dan merupakan entitas anak yang baru diperoleh dan memenuhi kriteria sebagai tersedia untuk dijual pada saat perolehan d. Jumlah penghasilan dari operasi yang dilanjutkan dan operasi dihentikan yang dapat diatribusikan kepada pemilik induk perusahaan. Pengungkapan ini dapat

29

disajikan dalam catatan atas laporan keuangan atau dalam laporan laba rugi komprehensif. Jika entitas menyajikan komponen laba atau rugi dalam laporan laba rugi yang terpisah sebagaimana dijelaskan dalam paragraf 79 PSAK 1 (revisi 2009), bagian yang diidentifikasi terkait dengan operasi yang dihentikan disajikan dalam laporan terpisah tersebut. Entitas harus menyajikan kembali pengungkapan yang diatur untuk periode sebelumnya yang disajikan dalam laporan keuangan sehingga pengungkapan tersebut terkait dengan seluruh operasi yang telah dihentikan pada akhir periode pelaporan untuk periode sajian yang paling akhir. Penyesuaian-penyesuaian dalam periode berjalan atas jumlah yang

sebelumnya disajikan dalam operasi yang dihentikan, yang secara langsung terkait dengan pelepasan operasi yang telah dihentikan pada periode sebelumnya, harus diklasifikasikan secara terpisah dalam operasi dihentikan. Sifat dan jumlah penyesuaian tersebut harus diungkapkan. Contoh keadaan dimana penyesuaian tersebut dapat timbul termasuk sebagai berikut: a. Keputusan penyelesaian ketidakpastian yang timbul dari persyaratan transaksi pelepasan, seperti penyelesaian penyesuaian harga beli dan masalah ganti rugi dengan pembeli. b. Keputusan penyelesaian ketidakpastian yang timbul dari dan secara langsung terkait dengan operasi dari komponen sebelum dilepaskan, seperti kewajiban jaminan produk dan kewajiban terhadap lingkungan yang ditanggung oleh penjual.

30

c. Penyelesaian kewajiban program imbalan kerja yang penyelesaiannya terkait secara langsung dengan transaksi pelepasan tersebut.

31

II.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu McVay (2006) melakukan penelitian mengenai kemungkinan

manajemen laba menggunakan classification shifting menggunakan special items. McVay meneliti apakah terdapat pengaruh antara pelaporan special items terhadap core earnings. Penelitian tersebut memperoleh kesimpulan bahwa ada peningkatan unexpected core earnings apabila perusahaan melaporkan special items pada tahun tersebut. Tetapi terjadi penurunan unexpected core earnings pada tahun t+1 apabila perusahaan tidak melaporkan special items pada tahun t+1. McVay juga memperoleh kesimpulan lain bahwa unexpected core earnings pada tahun t+1 akan meningkat apabila perusahaan tetap melaporkan special items pada tahun t+1. Barua, Lin dan Sbaraglia (2010) melakukan penelitian yang serupa dengan McVay (2006) menggunakan metodologi yang sama dengan

menggunakan core earnings sebagai metodenya. Barua, Lin dan Sbaraglia (2010) melakukan prediksi awal apakah manajer melakukan manajemen laba menggunakan classification shifting melalui operasi yang dihentikan. Penelitian tersebut memperoleh kesimpulan terjadi hubungan yang positif dan signifikan antara pelaporan akun operasi yang dihentikan dengan unexpected core earnings. Dan juga Barua, Lin dan Sbaraglia (2010) menemukan bahwa terjadi hubungan positif dan signifikan terhadap perubahan unexpected change in core earnings pada tahun t+1 terhadap pelaporan operasi yang dihentikan untuk tahun t+1. Sehingga dapat disimpulkan manajer melakukan classification shifting pada tahun t+1 apabila perusahan melaporkan operasi yang dihentikan pada tahun t+1. 32

Wulandari dan Kusuma (2011) melakukan penelitian yang serupa dengan McVay (2006) pada negara-negara di ASEAN. Penelitian ini juga memberikan hasil bahwa pelaporan special items akan meningkatkan unexpected core earnings. Tetapi penelitian ini tidak memberikan hasil bahwa pelaporan special items pada tahun t akan berdampak pada penurunan unexpected change in core earnings pada tahun t+1 melainkan sebaliknya. Penelitian mengenai manajemen laba di Indonesia ini cukup banyak akan tetapi belum ada penelitian yang melakukan analisis mengenai classification shifting dan pengaruhnya terhadap core earnings. Salah satu penelitian mengenai manajemen laba dilakukan oleh Gumanti (2001) yang meneliti adanya kemungkinan perusahaan di Indonesia melakukan manajemen laba pada saat ingin melakukan initial public offering. Gumanti (2001) tidak menemukan bukti yang cukup kuat bahwa ada indikasi manajer melakukan manajemen laba sebelum perusahaan melakukan initial public offering.

II.3 Pengembangan Hipotesis Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan penelitian manajemen laba melalui accrual management (Dechow et al. 1995; Payne and Robb 2000), real activity management (Dechow dan Sloan 1991; Bushee 1998; Roychowdhury 2006) dan classification shifting (Ronen dan Sadan 1975; Barnea et al. 1976; McVay 2006; Fan et al. 2010). Tetapi meningkatkan pendapatan masa kini menggunakan 2 metode yang pertama dapat berpotensi untuk mengurangi pendapatan dimasa yang akan datang. Menurut (Nelson et al. 2002) classification shifting ini akan membuat suatu akun kurang diperhatikan oleh 33

auditor dan regulator, sebab classification shifting hanya memindahkan pendapatan, beban, keuntungan dan kerugian pada item yang berada dalam income statement. Penelitian ini menginvestigasi apakah adanya penggunaan operasi yang dihentikan melalui classification shifting. Penelitian ini termotivasi dari penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa manajer cenderung melakukan manajemen laba ketika melaporkan item dibawah income statement. Operasi yang dihentikan merupakan item yang muncul dibawah dari income statement maka menimbulkan kemungkinan bahwa manajer akan lebih sering melakukan penggunaan classification shifting melalui operasi yang dihentikan ini. Karena ada kemungkinan pengklasifikasian beban operasi ke operasi yang dihentikan maka disusunlah hipotesis sebagai berikut (Dinyatakan dalam hipotesis alternatif): H1: Manajer menggunakan classification shifting melalui operasi yang dihentikan untuk meningkatkan core earnings Untuk menyimpulkan hipotesis 1 ini maka perlu dilakukan pengujian terhadap hipotesis 2a. Pelaporan operasi yang dihentikan diekspektasikan akan mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap core earnings. Sebab adanya indikasi bahwa manajer melaporkan operasi yang dihentikan dengan tujuan untuk meningkatkan core earnings tahun sebelumnya atau untuk menghindari core earnings yang negatif pada tahun t sehingga diajukan hipotesis sebagai berikut (Dinyatakan dalam hipotesis alternatif): H2a: Pelaporan operasi yang dihentikan berpengaruh terhadap unexpected core earnings. 34

Untuk dapat menyimpulkan hipotesis 1 juga diperlukan melakukan pengujian terhadap hipotesis 2b dibawah ini. Pelaporan operasi yang dihentikan pada tahun t akan membuat core earnings pada tahun t meningkat akan tetapi core earnings pada tahun t+1 akan diprediksi menurun sehingga nilai dari unexpected change in core earnings juga diekspektasikan akan menurun. Akan tetapi pelaporan operasi yang dihentikan pada tahun t+1 bertujuan untuk menghindari core earnings yang lebih rendah dari core earnings tahun sebelumnya sehingga pelaporan operasi yang dihentikan pada tahun t+1 diprediksi akan memiliki hubungan yang positif dengan unexpected change in core earnings maka dari itu didapat hipotesis sebagai berikut (dinyatakan dalam hipotesis alternatif): H2b: Manajer menggunakan classification shifting melalui operasi yang dihentikan pada tahun t+1 dengan tujuan mencapai atau melebihi core earnings tahun sebelumnya.

35

Anda mungkin juga menyukai