Anda di halaman 1dari 14

This is the authors version published as:

Pangeran, M.H. (2012). Public Sector Comparator dalam Tender Proyek Infrastruktur Kerjasama Pemerintah dan Swasta: Perbandingan Praktek Di Indonesia dengan Beberapa Negara, Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, E.81-92.

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW) Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752

PUBLIC SECTOR COMPARATOR DALAM TENDER PROYEK INFRASTRUKTUR KERJASAMA PEMERINTAH DAN SWASTA: PERBANDINGAN PRAKTEK DI INDONESIA DENGAN BEBERAPA NEGARA
MOCH HUSNULLAH PANGERAN1
1

Program Studi Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Ternate, email: husnullah_pangeran@yahoo.com

AbstrakKerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) dapat menjadi cara yang efektif untuk value for money (VFM) yang lebih baik dalam investasi proyek infrastruktur. Di negaranegara dengan implementasi KPS yang lebih mapan seperti Australia, Inggris, Kanada, dan Afrika Selatan, model PSC (public sector comparator) digunakkan untuk menguji hasil VFM yang ditawarkan oleh pihak swasta dalam tender pengadaan skema KPS untuk penyediaan infrastruktur. Melalui telaah literatur, makalah ini membahas model PSC di beberapa negara untuk dibandingkan dengan praktek terkait di Indonesia. Hasil telaah menunjukkan pendekatan PSC di negara Australia, Inggris, Kanada, dan Afrika Selatan umumnya telah terdefinisi dengan baik, yang didukung pengaturan PSC dalam tahapan pengadaan proyek. Sementara di Indonesia, konsep PSC tidak dikenal, terutama tidak adanya pertimbangan yang spesifik untuk mengkuantifikasi biaya dari risiko-risiko yang ditransfer kepada pihak swasta (transferable risks), juga untuk risiko-risiko yang ditahan oleh Pemerintah (retained risks). Namun studi mengindikasikan bahwa aspek-aspek prinsipil dalam PSC telah eksplisit di dalam kebijakan dan praktek pengadaan KPS untuk penyediaan infrastruktur saat ini. Diasumsikan bahwa untuk menerapkan model PSC tidak memerlukan penyesuaian pengaturan yang lebih kompleks dari yang ada saat ini. Dalam hal ini yang diperlukan untuk mengakomodasi model PSC adalah cukup dengan mengubah cara pandang tentang evaluasi finansial di dalam tahapan pengadaan. Kata kuncipublic sector comparator, tender, proyek infrastruktur, KPS 1. PENDAHULUAN Kerjasama pemerintah dan swasta (KPS) yang merupakan salah satu mekanisme partisipasi pihak swasta (private sector partcipation) dalam pembangunan dan pengelolaan infrastruktur telah menjadi kecenderungan global. Dengan alasan semakin terbatasnya sumber pendanaan Pemerintah untuk proyek infrastruktur serta isu efisiensi penyedia publik dalam pelayanan infrastruktur, telah menjadi dasar yang kuat bagi keterlibatan pihak swasta dalam penyelenggaraan layanan infrastruktur. Keterlibatan pihak swasta tersebut tidak lagi bersifat konvensional seperti pada disain dan konstruksi, tapi termasuk
Manajemen Proyek Konstruksi

pendanaan dan pengoperasian infrastruktur dan layanan yang bersinggungan langsung dengan pengguna akhir [1]. Secara umum, pertimbangan utama yang mendorong Pemerintah di banyak negara dalam mengadopsi pendekatan KPS, adalah untuk value for money (VFM) yang lebih baik dalam investasi proyek infrastruktur [2 dan 3]. Hal ini karena adanya pertimbangan alokasi risiko di antara para pihak demi peningkatan kualitas infrastruktur dan pelayanan yang dapat dicapai melalui skema KPS. Skema KPS juga menyediakan kerangka kerja dan kesempatan akses ke tingkat yang lebih luas dari investasi sektor swasta. Selain itu, skema KPS juga dimaksudkan untuk mengalokasikan risikoE-81

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW) Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752

risiko kepada pihak yang paling mampu mengelola dengan biaya termurah. Ini berarti bahwa risiko-risiko tertentu ditransfer/dialihkan dari sektor publik kepada sektor swasta. Secara garis besar transfer risiko akan berguna sebagai jaminan jika aspek-aspek tertentu dari proyek ada yang salah, yang mana sektor swasta akan menanggung biayanya, sehingga mendorong terjadinya efisiensi yang lebih besar pada sektor swasta. Dengan demikian skema KPS diharapkan dapat menghasilkan peningkatan dalam penyediaan layanan infrastruktur dalam hal waktu, biaya dan kualitas, peningkatan umur layan inrastruktur, serta pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat pengguna. Walaupun konsep VFM kadang dimaknai secara abstrak, di sejumlah negara dengan praktek KPS yang relatif mapan seperti Australia, Inggris, Kanada, dan Afrika Selatan, terdapat metodologi untuk mengestimasinya, yaitu menggunakan model Public Sector Comparator (PSC). PSC merupakan perkiraan biaya (hipotetis) yang disesuaikan dengan risiko (risk adjusted), yang diperlukan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan proyek yang diusulkan (dengan output yang sama dengan yang diminta dari pihak swasta) menggunakan skema pengadaan non KPS yang paling efisien [4]. Secara ringkas, model PSC terdiri dari tiga elemen utama, yaitu raw PSC (PSC Basis), risiko-risiko yang dapat dialihkan kepada sektor swasta (transferable risks), dan risiko-risiko yang ditahan oleh Pemerintah (retained risks). Secara umum penggunaan PSC didasarkan pertimbangan tidak terlalu subyektif dan kompleks, sehingga dapat menjadi alat yang netral untuk membandingkan penawaran pihak swasta [2]. PSC dapat menjadi instrumen yang berguna untuk digunakan dalam pasar yang kurang memungkinkan terjadinya persaingan [5]. Penggunaan PSC sangat penting dalam pengadaan KPS, terutama untuk proyek-proyek infrastruktur berskala besar yang memerlukan landasan untuk pengujian VFM [6]. Berbeda dari penggunaan model konvensional untuk evaluasi penawaran finansial KPS dari pihak
Manajemen Proyek Konstruksi

swasta dalam tender infrastruktur skema KPS, penggunaan PSC memungkinkan perbandingan biaya/keuntungan dan risiko. Dengan demikian model PSC dapat berfungsi sebagai metode evaluasi yang meliputi aspek transfer risiko untuk memfasilitasi negosiasi risiko di antara para pihak dengan lebih baik. Adapun di Indonesia, pengadaan infrastruktur melaui skema KPS didasarkan pada Perpres No. 13/2010 tentang KPS dalam Penyediaan Infrastruktur (merevisi Perpres No. 67/2005) [7]. Dalam praktek (sebagai contoh untuk KPS di sektor infrastruktur air minum), tim pengadaan biasanya menerapkan pedoman tender sebagaimana diatur Kepmenkimpraswil No. 409/2002 tentang Pedoman KPS dalam Pembangunan dan Pengelolaan Air Minum dan Sanitasi [8]. Untuk mengevaluasi penawaran finansial dari penawar, tim pengadaan mengevaluasi tarif rata-rata selama periode konsesi berdasarkan analisis nilai sekarang (present value). Risiko-risiko investasi dikompensasi dengan menggunakan biaya modal (cost of capital) yang akan mendiskon proyeksi aliran kas tahunan. Asumsi-asumsi mengenai ketidakpastian (uncertainty) dipertimbangkan sebagai faktor kontinyensi dan inflasi yang mengeskalasi biaya-biaya modal dan operasional proyek. Dalam hal ini tidak ada metodologi yang spesifik untuk menilai risiko-risiko secara individual, misalnya untuk risiko perencanaan dan konstruksi, risiko politik, risiko pasar dan pendapatan, dan sebagainya. Melalui telaah literatur yang ekstensif, studi ini dimaksudkan untuk mempelajari konsep dan praktek PSC di beberapa negara yang telah menerapkannya termasuk tantangan-tantangan dalam praktek di lapangan, serta tinjauannya dari sisi praktek terkait di Indonesia. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa model PSC belum dikenal dalam pengadaan infrastruktur skema KPS di Indonesia. Dalam studi ini diasumsikan bahwa pendekatan PSC dapat menjadi basis yang lebih komprehensif dalam mengevaluasi proposal finansial pihak swasta dalam tender proyek infrastruktur melalui
E-82

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW) Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752

skema KPS. Pembahasan dimulai dengan pemahaman mengenai konsep PSC dan cara kerjanya, dilanjutkan dengan perbandingan model PSC di negara-negara yang telah menerapkannya yang dibandingkan dengan praktek terkait di Indonesia, serta usulan gagasan praktek PSC dalam konteks pengadaan infrastruktur skema KPS di Indonesia. 2. KONSEP PSC DALAM PENGADAAN PROYEK INFRASTRUKTUR MELALUI SKEMA KPS Secara umum PSC menjelaskan biaya-biaya yang diperlukan oleh sektor publik untuk menyediakan output yang sama yang diminta dari sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur melalui skema KPS. Sebagaimana ilustrasi yang diberikan pada Gambar 1 yang berlaku di negara-negara yang telah menerapkannya, seperti Afrika Selatan [9]; Australia [10]; Inggris [11]; Kanada [12] PSC dikategorikan ke dalam tiga elemen utama, yaitu PSC Basis (Raw PSC), risiko-risiko yang dapat dialihkan kepada pihak swasta (transferable risks), dan risiko-risiko yang ditahan oleh Pemerintah (retained risks). PSC Basis merupakan biaya dasar yang termasuk di dalamnya adalah biaya modal (capital cost) dan biaya operasional (operational cost), dan merupakan perkiraan keseluruhan biaya aset (whole-of-life cost). PSC Basis harus fair, dalam arti merefleksikan semua biaya yang diperlukan oleh sektor publik untuk menghasilkan output yang sama dengan yang diminta dari pihak swasta menggunakan skema KPS, seperti standar kinerja, pelayanan dan nilai aset sisa (residual asset value). Aspek-aspek kontrak yang tidak akan feasible jika disediakan secara in-house oleh sektor publik, harus dihargai sesuai commercial terms yang berlaku [2]. Termasuk dalam PSC Basis adalah: (i) biaya-biaya untuk set-up pendahuluan dan pekerjaan perencanaan, persetujuan dan perizinan; (ii) biaya-biaya untuk mencapai efisiensi dan/atau inovasi; (iii) biaya-biaya untuk disain dan pengadaan modal, termasuk pengantian (replacement); (iv) biaya
Manajemen Proyek Konstruksi

kesempatan (opportunity cost) untuk penggunaan aset existing; (v) overhead manajemen dan fasilitas; (vi) biaya-biaya operasional termasuk pemeliharaan, bahan habis pakai (consumables) layanan-layanan yang dikontrakkan (contracted services), staf, utilitas, dll; dan (vii) semua biaya decommissioning pada akhir proyek. Khusus untuk biaya-biaya sosial-ekonomi yang lebih luas dapat dikecualikan dalam pengembangan model PSC. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa biaya-biaya tersebut tidak akan berbeda jauh antara penyediaan layanan publik dan swasta [2]. Transferable risks mengacu pada alokasi risiko yang optimal adalah tujuan utama dari semua skema KPS, dalam hal ini nilai risiko yang dialihkan perlu dimasukkan ke dalam PSC. Seperti halnya dalam pengadaan yang kompleks, tim pengadaan perlu mendaftar risiko-risiko secara rinci, serta menganalisis kemungkinan kejadian dan dampaknya. Setelah proses pendaftaran risiko selesai, alokasi risiko antara sektor publik dan pihak swasta perlu segera dipastikan. Untuk PSC, disarankan untuk menyertakan penyesuaian penuh risiko karena hal ini membantu memberikan gambaran yang lebih akurat dari biaya proyek [2]. Sedangkan untuk perbandingan KPS, hal itu diperlukan untuk mengurangi risiko-risiko yang dialihkan ke swasta, di mana hanya risiko-risiko yang ditahan akan ditambahkan ke biaya KPS. Dengan kata lain, nilai dari risikorisiko yang alihkan akan dihitung sendiri oleh sektor swasta untuk dimasukkan dalam penawaran biaya KPS. Secara umum berdasarkan praktek di lapangan, risiko-risiko yang ditransfer seringkali merupakan penentu utama hasil VFM dalam tender skema KPS, dan ada kemungkinan daftar risiko diperbarui dalam proses negosiasi sehingga kerangka alokasi risiko bisa bervariasi. Retained risks meliputi semua risiko yang tidak dialihkan kepada sektor swasta dalam kontrak KPS, dalam hal ini adalah risiko-risiko yang tetap ditahan oleh Pemerintah. Nilai dari risiko yang ditahan harus dimasukkan dalam
E-83

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW) Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752

PSC menggunakan metodologi yang sama dengan yang diterapkan untuk risiko yang dialihkan. Semua nilai sisa aset harus dikreditkan ke proyek pada akhir masa konsesi terutama jika risiko nilai sisa dialihkan ke swasta. Namun, jika nilai sisa akan sama dengan KPS (biasanya terjadi jika risiko nilai sisa ditahan), maka angka tersebut bisa dihilangkan dari perbandingan VFM karena mempengaruhi PSC [2]. Pada umumnya PSC dibuat dan disempurnakan selama fase studi kelayakan dan pengembangan kasus bisnis (business case), atau sebelum dirilisnya dokumen tender (sebelum penawaran diterima). Terdapat dua alasan untuk itu [2]. Pertama, penting untuk memastikan bahwa PSC adalah murni pilihan sektor publik (dalam hal ini pemerintah), dalam arti tidak dipengaruhi atau berpotensi dipengaruhi oleh ide-ide yang datang kemudian dari penawar swasta. Kedua, perbaikan bisa dilakukan jika PSC disiapkan lebih awal karena akan membantu merinci definisi proyek dan mengantisipasi hal-hal dalam penawaran sektor swasta yang perlu diakomodasi dalam rangka meningkatkan VFM. Berdasarkan metode discounting cash flow (DCF), VFM didemonstrasikan jika PV (present value) biaya total dari penawaran sektor swasta adalah kurang dari PV dari PSC, yang telah disesuaikan biaya dari risiko-risiko yang ditahan oleh Pemerintah dan risiko-risiko yang dialihkan kepada swasta. Diadaptasi dari DTF SV [10], Gambar 2 menyediakan ilustrasi pembiayaan terhadap komponen-komponen PSC dan proses evaluasi untuk perbandingan VFM. Dengan mengasumsikan bahwa faktorfaktor penilaian kualitatif telah terpenuhi, maka berdasar perbandingan, Penawaran 1 dipilih karena menghasilkan VFM terbaik. Adapun Penawaran 2 tidak dipilih karena lebih besar dari PSC. Dalam kasus tidak ada penawaran yang lebih rendah dari Penawaran 2 maka opsi pengadaan sektor publik (PSC) adalah lebih baik dari KPS.

3. TINJAUAN PRAKTEK TERKAIT PSC DI INDONESIA: PERBANDINGAN DENGAN BEBERAPA NEGARA Di masa lalu, pengadaan kontrak-kontrak KPS berskala besar untuk pembangunan dan/atau pengelolaan infrastruktur biasanya dimulai dengan keputusan Pemerintah untuk melibatkan sektor swasta (tanpa melibatkan konsultasi publik). Pemerintah lalu membentuk tim yang terdiri dari konsultan-konsultan hukum, keuangan dan teknis (biasanya dibantu oleh institusi-institusi keuangan internasional seperti World Bank, Asian Development Bank, Inter-American Development Bank, dan sebagainya) untuk mengembangkan kerangka hukum dan regulasi yang sesuai, dokumendokumen penawaran, menentukan bagaimana para penawar harus menyajikan penawarannya, untuk selanjutnya melakukan negosiasi dengan pihak swasta secara langsung. Saat ini, keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur, harus dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat (fair competition) melalui prosedur pelelangan sesuai dengan hukum dan peraturan-peraturan yang berlaku. Berdasarkan Perpres No 13/2010 [7], proses pengadaan KPS terdiri dari dua tahapan utama, yaitu persiapan pengadaan dan pelaksanaan pengadaan. Persiapan Pengadaan terdiri dari kajian atas kondisi existing, pernyataan Pemda, identifikasi proyek, konsultasi publik, capacity building, serta aspek kelembagaan dan hukum. Termasuk dalam pelaksanaan pengadaan adalah penjelasan awal, lingkup proyek, penyusunan dokumen tender, proses pra-kualifikasi, dan proses penawaran. Untuk proses seleksi pemenang tender dibagi menjadi dua tahap, yaitu proses pra-kualifikasi atau Expression of Interest (EoI) untuk para penawar potensial, dan proses penawaran, yang termasuk di dalamnya Requst for Proposal (RFP) dari penawar yang masuk dalam daftar pendek. Secara skematik, proses pelelangan umum untuk pengadaan proyek KPS di Indonesia seperti ditampilkan pada Gambar 3.
E-84

Manajemen Proyek Konstruksi

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW) Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752

Perpres No 13/2010 [7] tidak secara khusus mengarahkan kepada metode tertentu untuk mengevaluasi proposal penawaran pihak swasta. Perpres hanya menetapkan beberapa pedoman yang sifatnya umum, bahwa tim pengadaan harus memberikan penjelasan kepada para peserta lelang mengenai hal-hal seperti: (i) metode pelelangan yang digunakan; (ii) cara penyampaian penawaran; (iii) dokumen yang harus dilampirkan dalam dokumen penawaran; (iv) acara pembukaan dokumen penawaran; (v) metode evaluasi yang digunakan; (vi) hal-hal yang menggugurkan penawaran; (vii) bentuk perjanjian kerjasama; (viii) ketentuan dan cara evaluasi berkenaan dengan preferensi harga atas penggunaan produksi dalam negeri; serta (ix) besaran, masa berlaku dan pihak yang dapat mengeluarkan jaminan penawaran. Pada kebanyakan kasus, dokumen tender termasuk pengembangan kasus bisnis (business case) dibuat oleh konsultan profesional eksternal. Dalam Penjelasan Lelang (Aanwijzing), Tim Tender harus menjelaskan metode evaluasi yang digunakan kepada peserta lelang. Dikarenakan sifatnya yang saling melengkapi (sebagai contoh untuk sektor infrastruktur air minum), tim pengadaan biasanya juga menerapkan prosedur tender sebagaimana diatur di dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kepmenkimpraswil) No. 409/KPTS/Tahun 2002 perihal Pedoman Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Penyelenggaraan dan/atau Pengelolaan Air Minum dan Sanitasi [8]. Namun, metode evaluasi penawaran juga tidak dijelaskan secara spesifik di dalam peraturan menteri ini. Salah satu dokumen resmi yang teridentifikasi adalah Seri Modul Panduan Kerjasama Pemerintah, Swasta dan Masyarakat (KPSM) dalam Pembangunan dan atau Pengelolaan Prasarana dan Sarana Bidang Pekerjaan Umum yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum [13]. Khususnya Modul 7 yang berisikan tata cara dalam pelelangan,
Manajemen Proyek Konstruksi

disebutkan bahwa evaluasi penawaran dalam tender KPS dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah Evaluasi Awal dan Teknis Dokumen Penawaran, sedangkan tahap kedua adalah Evaluasi Penawaran Biaya bagi para Penawar Teknis yang lulus pada tahap evaluasi yang pertama (lihat Gambar 4). Khususnya dalam evaluasi finansial, meliputi: (1) penggunaan prinsip discounted present value, di mana discount rate yang diterapkan adalah tarif Sertifikat Bank Indonesia untuk 3 (tiga) bulan pada tanggal yang telah disepakati atau tarif diskonto lain yang disetujui; (2) penggunaan arus keuangan dalam penyusunan penawaran yang sudah harus sesuai dengan ketentuan basic design dan ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan dalam dokumen pelelangan; (3) pengevaluasian arus keuangan dari semua penawaran terhadap periode masa konsesi yang sama sebagaimana yang tertulis pada Dokumen Pelelangan, di mana penawaran yang menunjukkan arus keuangan yang tidak sesuai dengan periode yang ditetapkan dalam Dokumen Pelelangan, akan ditolak; dan (4) penggunaan mata uang dalam evaluasi penawaran, dalam hal ini Rupiah, dan apabila terdapat komponen yang menggunakan mata uang asing, maka nilai tukar yang dipakai untuk membandingkan adalah nilai kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada saat 1 (satu) bulan sebelum tanggal pemasukan Dokumen Penawaran atau tanggal lain yang ditetapkan dalam dokumen pelelangan. Secara komparatif, Tabel 1 merangkum pendekatan PSC di negara-negara yang telah menggunakannya, dibandingkan dengan praktek terkait di Indonesia. Perbandingan mencakup pengaturan proses PSC dalam tahapan pengadaan, sistem untuk mengestimasi model KPS, komponen-komponen utama PSC, dan aplikasi manajemen risiko. Khusus untuk komponen PSC competitive neutrality yang diterapkan di Australia dan Kanada, dimaksudkan untuk menghapus semua keunggulan (advantage) kompetitif bersih yang melekat pada bisnis pemerintah berdasarkan
E-85

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW) Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752

kepemilikan publiknya. Pertimbangan competitive neutrality karena suatu kekhasan jika Pemerintah bisa meminjam dengan biaya lebih rendah dibanding perusahaan swasta. Tetapi pandangan umum menyatakan bahwa keunggulan tersebut harus diabaikan dari konstruksi PSC karena biaya pendanaan seharusnya mencerminkan risiko proyek, bukan sebaliknya, kekuatan kredit Pemerintah. Di beberapa negara, penyesuaian pajak (tax adjustment) dilakukan untuk mencerminkan fakta bahwa beberapa biaya KPS merupakan penerimaan pajak, yang kembali ke pemerintah. Tentu saja, sejauh bahwa PSC memasukkan komponen-komponen pembelian dari sektor swasta, maka akan menghasilkan aliran pajak yang kembali ke pemerintah juga. Alih-alih mengkreditkan, baik KPS maupun PSC dengan penyesuaian pajak penuh, yang dalam hal apapun sangat sulit untuk memperkirakannya, lebih berguna mengambil satu pendekatan yang telah mengidentifikasi aliran pajak tambahan yang timbul karena struktur KPS. Di Australia, misalnya [14], faktor-faktor competitive neutrality ini telah diidentifikasi sebagai tanah, pemerintah daerah, gaji dan pajak transaksi modal. Di Inggris, pajak perusahaan yang dibayar oleh perusahaan konsorsium KPS telah diidentifikasi sebagai suatu add-back untuk KPS (atau biaya PSC). Namun demikian, semua competitive disadvantage yang timbul juga perlu diperhitungkan dalam penyesuaian PSC untuk competitive neutrality. Ini misalnya, isu keamanan tingkat tinggi dan persyaratanpersyaratan pelaporan yang umumnya tidak dihadapi oleh perusahaan swasta [2]. Sebagai perbandingan, konsep PSC tidak dikenal di Indonesia. Namun demikian, sebelum pelaksanaan tender, Tim Pengadaan harus menetapkan Harga Perhitungan Sendiri (HPS) sebagai benchmark bagi penawaran swasta. Di Indonesia juga tidak dikenal sistem untuk mengestimasi model (acuan) KPS sebagai penawaran bayangan (shadow bid) sebelum proses tender dilaksanakan. Pada dasarnya dalam tahapan Pra Studi Kelayakan untuk suatu usulan proyek skema KPS, semua
Manajemen Proyek Konstruksi

biaya harus diestimasi yang meliputi biaya modal (capital cost) dan biaya operasional (operational cost). Namun tidak diketahui apakah biaya-biaya yang diestimasi adalah dari sisi pengadaan sektor publik atau asumsi estimator untuk harga paling efisien saat estimasi dibuat. Dalam konteks ini pengembangan kasus bisnis biasanya dilakukan oleh konsultan yang dikontrak untuk membantu tim pengadaan proyek. Selain tidak ada pertimbangan untuk mengkuantifikasi biaya dari risiko-risiko yang ditransfer kepada pihak swasta (transferable risks), juga tidak ada pertimbangan untuk mengkuantifikasi risikorisiko yang ditahan oleh Pemerintah (retained risks). 4. ANALISIS: KONTEKS PSC DALAM PENGADAAN INFRASTRUKTUR SKEMA KPS DI INDONESIA Hasil telaah praktek PSC di negara-negara yang telah menerapkannya, mengindikasikan bahwa efektifitas dalam menerapkan pendekatan dan teknik-teknik manajemen risiko dapat mempengaruhi proses dan hasil PSC. Ditinjau dari konteks pengadaan KPS untuk penyediaan infrastruktur di Indonesia, studi ini mengidentifikasi bahwa pada dasarnya beberapa peraturan terkait telah secara eksplisit menekankan pentingnya manajemen risiko dalam setiap investasi infrastruktur. Sebagaimana diamanatkan di dalam PP No 8/2007 tentang Investasi Pemerintah [15], bahwa manajemen risiko dalam investasi (infrastruktur) harus berdasarkan kepada prinsip kehati-hatian dan pembagian pengelolaan risiko harus dalam rangka menjamin efisiensi dan efektivitas pelaksanaan investasi pemerintah. Peraturan ini telah mengakomodasi semua langkah-langkah kunci dalam manajemen risiko yang paling tidak meliputi identifikasi, analisa, dan respon. Aspek manajemen risiko juga menjadi salah satu perhatian utama dalam Perpres No. 13/2010 [7] yang merupakan payung hukum dalam pengadaan skema KPS untuk pembangunan dan/atau pengelolaan
E-86

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW) Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752

infrastruktur di Indonesia. Berdasarkan peraturan ini semua kontrak KPS harus mencakup alokasi risiko, berlandaskan prinsip bahwa risiko harus dialokasikan kepada pihakpihak yang paling mampu mengendalikan dan mengelola risiko untuk efisiensi dan efektifitas. Peraturan ini juga mengatur tentang pengelolaan terhadap risiko-risiko tertentu seperti risiko politik (political risk), risiko kinerja (performance risk), dan risiko permintaan (demand risk). Pemerintah mengidentifikasi bahwa risiko-risiko tersebut adalah penting dan harus dimasukkan dalam setiap perjanjian KPS. Sebagai tindak lanjut untuk implementasi manajemen risiko dalam pembangunan dan/atau pengelolaan infrastruktur melalui skema-skema KPS, Menteri Keuangan (Menkeu) mengeluarkan Peraturan Menkeu No. 38/PMK.01/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Risiko Atas Penyediaan Infrastruktur [16]. Peraturan ini secara khusus ditujukan untuk pengelolaan risiko-risiko: Risiko Politik (risiko yang ditimbulkan oleh kebijakan/tindakan keputusan sepihak dari Pemerintah atau Negara yang secara langsung dan signifikan berdampak pada kerugian finansial pihak swasta, yang meliputi risiko pengambilalihan kepemilikan aset, risiko perubahan peraturan perundang-undangan, dan risiko pembatasan konversi mata uang dan larangan repatriasi dana); Risiko Kinerja Proyek (risiko yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek, yang antara lain meliputi risiko lokasi dan risiko operasional); dan Risiko Permintaan (risiko yang timbul akibat lebih rendahnya permintaan atas barang/ jasa yang dihasilkan oleh proyek kerjasama dibandingkan dengan yang diperjanjikan). Untuk mendukung pelaksanaannya oleh institusi yang kuat dan stabil, Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menkeu No. 518/KMK.01/2005 tentang Pembentukan Unit Manajemen Risiko untuk mendukung proses-proses KPS [17]. Meskipun gugus tugas ini dibentuk untuk mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengendalikan risiko yang berpotensi
Manajemen Proyek Konstruksi

membebani keuangan negara; pada dasarnya tidak ada sesuatu kendala yang berarti untuk menerapkan segala aspek manajemen risiko dalam pengadaan skema-skema KPS. Berdasarkan uraian di atas, metode evaluasi penawaran dalam tender proyek infrastruktur skema KPS di Indonesia seyogyanya juga memperhitungkan risiko-risiko potensial utama yang diidentifikasi secara spesifik. Dalam hal ini penerapan model PSC diasumsikan tidak memerlukan penyesuaian-penyesuaian drastis pada prosedur pengadaan yang telah ada. Studi ini mengasumsikan penerapan PSC cukup dengan menambahkan biaya dari risiko-risiko di dalam model finansial (lihat ilustrasi pada Gambar 5). Sehingga nilai proyek seluruhnya adalah biaya yang belum dipengaruhi oleh risiko ditambah biaya risiko. 5. KESIMPULAN Di negara-negara seperti Afrika Selatan, Australia, Inggris, dan Kanada, terdapat pendekatan yang sistimatis menggunakan model PSC untuk mengestimasi hasil kuantitatif dari VFM yang ditawarkan oleh pihak swasta dalam tender pengadaan skema KPS untuk pembangunan dan/atau pengelolaan infrastruktur. Di negara-negara tersebut prosedur untuk mengembangkan model PSC terdefinisi dengan baik (bahkan di negara tertentu juga secara periodik melakukan perbaikan dan peningkatan), didukung tersedianya manual dan kebijakan yang mengatur PSC dalam tahapan-tahapan pengadaan proyek. Tergantung pada tahapan pengadaan, PSC harus menjadi bagian integral yang fair, dengan proses yang terbuka dan transparan. Dalam konteks ini versi terakhir dari PSC biasanya sudah termasuk dalam dokumen persetujuan proyek untuk dimajukan ke tahap pengadaan. Dengan demikian PSC merupakan komponen yang tidak terpisahkan dari dokumen kasus bisnis (business case) dan pada tahap ini harus dianggap sebagai perkiraan terbaik untuk benchmark sampai penawaran dari pasar
E-87

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW) Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752

diperoleh. Dalam banyak kasus, model PSC harus dibangun sejak awal pada tahapan perencanaan dan diperbarui serta diperinci sebelum memulai proses pengadaan. Berdasarkan pembelajaran yang diperoleh, studi ini mengindikasikan bahwa aspek-aspek yang prinsipil dalam pendekatan PSC sesungguhnya telah eksplisit di dalam kebijakan dan praktek pengadaan KPS untuk penyediaan infrastruktur saat ini di Indonesia. Dalam hal ini, dari sisi kebijakan dan regulasi terkait sesungguhnya tidak ada kendala yang berarti untuk menerapkan model PSC dalam tender pengadaan infrastruktur melalui skema KPS di Indonesia. Dalam konteks ini penerapan PSC diasumsikan tidak memerlukan penyesuaian pengaturan yang lebih kompleks dari yang ada saat ini, karena cukup mengubah cara pandang tentang evaluasi finansial dalam tahapan pengadaan. DAFTAR PUSTAKA

[5]

[6]

[7]

[8]

[9] [1] Pribadi, K.S., dan Pangeran, M.H. (2009). Kecenderungan Global Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Pengelolaan Infrastruktur: Beberapa Pembelajaran, Prosiding Seminar Nasional Kerjasama Tiga Universitas UIITB-UGM, Bandung, Kelompok Keahlian Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota ITB, 71-80. [2] Grimsey, D. dan M.K. Lewis (2005). Are Public Private Partnerships Value for Money? Evaluating Alternative Approaches and Comparing Academic and Practitioner Views, Accounting Forum, 29, 345-348. [3] Li, B, Akintoye, A, Edwards, P.J dan Hardcastle, C. (2005). The Allocation of Risk in PPP/PFI Construction Projects in the UK, International Journal of Project Management, 23 (1), 25-35. [4] Akintoye, A., Hardcastle, C., Beck, M., Chinyio, E., dan Asenova, D. (2003). Achieving Best Value in Private Finance Initiative Project Procurement,
Manajemen Proyek Konstruksi

[10]

[11] [12]

[13]

[14]

Construction Management and Economics, 21, 461-470. Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD). (2008). Public-Private Partnerships. In Pursuit of Risk Sharing and Value for Money, OECD Publishing, Paris. Industry Canada (2002). The Public Sector Comparator: A Canadian Best Practices Guide, Services Industries Branch, Ottawa. Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Perpres No. 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Swasta Dalam Penyediaan Infrastruktur Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 409/KPTS/2002 tentang Pedoman Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Penyelenggaraan dan/atau Pengelolaan Air Minum dan Sanitasi. National Treasury (2004). National Treasury PPP Practice Note Number 05: PPP Feasibility Study, South Africa. Department of Treasury Finance State of Victoria (DTF SV). (2001a). Partnership Victoria: Public Sector Comparator Technical Note, The Secretary Department of Treasury and Finance, Melbourne. HM Treasury (2003a). PFI: Meeting the Investment Challenge, HMSO, London. Infrastructure Ontario (2007). Assessing Value for Money: A Guide to Infrastructure Ontarios Methodology, Ontario. Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK) (1999). Panduan Kerjasama Pemerintah, Swasta dan Masyarakat Dalam Pembangunan dan atau Pengelolaan Prasarana dan Sarana Bidang Pekerjaan Umum, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta. English, M.L, dan Guthrie J. (2003). Driving Privately Financed Projects in Australia: What Makes Them Tick?

E-88

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW) Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752

Accounting, Auditing & Accountability Journal, 16 (3), 493511. [15] Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2007 tentang Investasi Pemerintah [16] Peraturan Menteri Keuangan No. 38 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Risiko Atas Penyediaan Infrastruktur [17] Keputusan Menteri Keuangan No. 518/KMK.01/2005 tentang Pembentukan Komite Pengelolaan Risiko Atas Penyediaan Infrastruktur

PENGUMUMAN DAN PENDAFTARAN PESERTA

PROSES PRAKUALIFIKASI

YA PENETAPAN DAFTAR CALON PESERTA YANG LULUS PRAKUALIFIKASI SEMUA TIDAK MEMENUHI SYRAT

PENYAMPAIAN UNDANGAN PENAWARAN

PENDAFTARAN DAN PENGAMBILAN DOKUMEN PENAWARAN

PEMBUATAN BERITA ACARA HASIL PELELANGAN

PENETAPAN PEMENANG LELANG

PENJELASAN (AANWITJING) PENGUMUMAN PEMENANG LELANG PENYUSUNAN BERITA ACARA PENJELASAN SANGGAHAN? PEMASUKAN DOKUMEN PENAWARAN PELELANGAN UMUM DINYATAKAN GAGAL DAN HARUS DIULANG TIDAK PEMBUATAN BERITA ACARA HASIL PELELANGAN ADA

PEMBUKAAN DOKUMEN PENAWARAN

Net Present Cost (NPC)


Construction risks (cost overrun, delay, site condition) Operational risks (cost overrun, shortfall in service quality) Financial risks (interest rate, inflation) Etc.

DUA KALI PENGUMUMAN LELANG? YA

TIDAK PENAWARAN 3 EVALUASI PENAWARAN (ADMINISTRASI, TEKNIS DAN HARGA) SANGGAHAN TERBUKTI BENAR

Transferable Risk
Direct Costs, e.g. Capital Operating Maintenance Etc. Indirect Costs, e.g. Admin & overheads Revenues: Third party, land sale

Raw PSC (Baseline Costs)

Gambar 3. Proses Pelelangan Umum Proyek KPS sesuai Perpres No. 13/2010
EVALUASI

Retained Risk

Changes in policy or regulation Political interference Etc.


Administrasi dan Teknis

Finansial

Gambar 1. Model Public Sector Comparator (diolah dari berbagai sumber)

Pengaturan organisasi proyek, struktur kepemilikan, jaminan penawaran, dll

Rencana investasi dan proyeksi keuangan

Hubungan pelanggan dan masyaakat

Financial Analysis Model

Net Present Cost (NPC)

Rencana teknis (basic design, jadwal, dll)

Standar kinerja (performance standard)

Pengembangan sumber daya manusia

Ausmsi-asumsi yang digunakan

VFM

Transferable Risk Baseline Cost plus Transferable Risk

Baseline Cost plus Transferable Risk Raw PSC

Gambar 4. Kerangka evaluasi penawaran KPS (kasus sektor air minum)

Retained Risk PSC

Retained Risk Bid 1

Retained Risk
Procurement Option

Bid 2

Gambar 2. Perbandingan VFM dan evaluasi penawaran

Manajemen Proyek Konstruksi

E-89

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW) Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752

PENGUMUMAN DAN PENDAFTARAN PESERTA

PROSES PRAKUALIFIKASI

YA PENETAPAN DAFTAR CALON PESERTA YANG LULUS PRAKUALIFIKASI SEMUA TIDAK MEMENUHI SYRAT

PENYAMPAIAN UNDANGAN PENAWARAN

PENDAFTARAN DAN PENGAMBILAN DOKUMEN PENAWARAN

PEMBUATAN BERITA ACARA HASIL PELELANGAN

PENETAPAN PEMENANG LELANG

PENJELASAN (AANWITJING) PENGUMUMAN PEMENANG LELANG PENYUSUNAN BERITA ACARA PENJELASAN SANGGAHAN? PEMASUKAN DOKUMEN PENAWARAN PELELANGAN UMUM DINYATAKAN GAGAL DAN HARUS DIULANG TIDAK DUA KALI PENGUMUMAN LELANG? YA TIDAK PENAWARAN 3 EVALUASI PENAWARAN (ADMINISTRASI, TEKNIS DAN HARGA) SANGGAHAN TERBUKTI BENAR PEMBUATAN BERITA ACARA HASIL PELELANGAN ADA

PEMBUKAAN DOKUMEN PENAWARAN

Pendekatan dalam Evaluasi Harga/Biaya Risiko (Rp) PSC Basis (Base Cost) (Rp)

?
Biaya (Rp)

Model finansial konvensional

Model PSC

Gambar 5. Gagasan model PSC dalam tahapan pengadaan infrastruktur skema KPS sesuai Perpres No. 13/2010

Manajemen Proyek Konstruksi

E-90

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW) Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752

Tabel 1. Perbandingan pendekatan PSC di beberapa negara dan dari sudut pandang Indonesia
Negara PSC dalam tahapan pengadaan & pengaturannya Afrika Selatan [9] PSC digunakan pada saat pelelangan setelah penawaran masuk (sebagai pembanding untuk memilih penawaranpenawaran dari pihak swasta). Penggunaan PSC diregulasi di tingkat nasional oleh National Treasury Australia [10] Proses PSC sejak tahapan konsep/pengembangan, dan akan mengalami penyempurnaan di sepanjang proses pengadaan. PSC digunakan pada saat lelang untuk membandingkan penawaran-penawaran KPS yang masuk. Tersedia manual penggunaan PSC yang resmi diterbitkan sebagai bagian dari kebijakan Pemerintah tentang KPS Inggris [11] Proses VFM dalam tiga tahapan pengadaan, yaitu (1) penilaian program secara keseluruhan; (2) pengembangan kasus bisnis sebelum mengundang penawaran; (3) setelah penawaran masuk. Proses PSC berlangsung pada tahapan kedua. Tersedia manual untuk metodologi PSC yang resmi dikeluarkan oleh Pemerintah Kanada [12] PSC harus dibangun sejak awal dalam proses perencanaan di tingkat tertinggi dan diperbarui dan diperinci sebelum memulai proses pengadaan. Versi terakhir dari PSC biasanya sudah termasuk dalam dokumen persetujuan proyek untuk dimajukan ke tahap pengadaan. PSC merupakan komponen yang tidak terpisahkan dari dokumen business case dan pada tahap ini harus dianggap sebagai perkiraan terbaik sebagai benchmark sampai penawaran dari pasar diperoleh. Adjusted Shadow Bid (ASB), adalah biaya yang diestimasi untuk sektor publik dalam melaksanakan proyek dengan spesifikasi yang sama menggunakan AFP (Alternative Financing and Procurement), sebelum menuju pada penawaran yang sebenarnya. Perbedaan antara PSC dan ASB adalah VFM (perkiraan). Jika ASB lebih rendah dari PSC, maka VFM positif untuk pengadaan proyek Indonesia (Analisis Peneliti) Konsep PSC tidak dikenal. Namun, sebelum pelaksanaan tender, Tim Pengadaan harus menetapkan Harga Perhitungan Sendiri (HPS) sebagai benchmark bagi penawaran swasta.

Usaha untuk mengestimasi model KPS

PPP reference model atau model hipotetis KPS. Semua biaya harus identik dengan spesifikasi output dari proyek yang diadakan. Assessment risiko harus dilakukan secara independen. Digunakan untuk tes awal VFM dan menentukan level affordability

N/A

N/A

Tidak dikenal sistem untuk mengestimasi model KPS yang berfungsi sebagai penawaran bayangan (shadow bid) sebelum tender dilaksanakan. Meskipun demikian, dokumen-dokumen pra-studi kelayakan yang dibuat oleh pemerintah sebelum pengadaan pada dasarnya merupakan upaya untuk menjustifikasi model KPS yang dipilih.

Manajemen Proyek Konstruksi

E-91

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW) Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752
Negara Afrika Selatan [9] Australia [10] Inggris [11] Kanada [12] menggunakan AFP/KPS. Raw PSC (PSC Basis) Transfered Risks Komponen utama PSC Retained Risks Meskipun semua biaya harus diestimasi, meliputi biaya modal dan biaya operasional, namun tidak diketahui apakah biaya-biaya yang diestmasi adalah dari sisi pengadaan sektor publik atau asumsi estimator untuk harga paling efisien saat estimasi dibuat. Dalam praktek, pengembangan kasus bisnis biasanya dilakukan oleh konsultan yang dikontrak untuk membantu tim pengadaan KPS. Selain tidak ada pertimbangan untuk mengkuantifikasi biaya dari risiko-risiko yang ditransfer kepada pihak swasta, juga tidak ada pertimbangan untuk mengkuantifikasi risiko-risiko yang ditahan oleh Pemerintah. Terkait dengan penerapan peraturan-peraturan pemerintah yang relevan tentang pajak pendapatan, pajak properti, dll, hal ini belum dapat diklarifikasi sepenuhnya apakah yang dimaksud adalah menghilangkan semua keuntungan kompetitif bersih dari bisnis pemerintah karena kepemilikan publiknya. Identifikasi dan alokasi. Analisis risiko (secara spesifik) belum dipertimbangkan. Analisis sensitivitas telah digunakan untuk beberapa variabel kunci dalam model finansial Indonesia (Analisis Peneliti)

Competitive Neutrality

N/A

N/A

Aplikasi manajemen risiko

Identifikasi dan analisis risiko. Risiko-risiko divaluasi dengan mengalikan biaya yang diperlukan untuk menangani setiap risiko dengan probabilitas terjadinya risiko tersebut. Analisa sensitivitas digunakan untuk menentukan sensitivitas base case PSC terhadap perubahan-perubahan asumsi dalam model.

Identifikasi, analisis dan alokasi risiko. Risiko-risiko divaluasi pada komponenkomponen biaya dalam model finansial (spreadsheet). Alokasi risiko tidak terkait (independen) dengan valuasi risiko. Nilai risiko juga diperhitungkan dengan suatu faktor kontinyensi. Penggunaan teknik simulasi Monte Carlo juga dipertimbangkan

Nilai dari risiko-risiko yang diidentifikasi difaktorkan ke dalam biaya-biaya proyek. Analisis sensitivitas harus digunakan untuk menguji asumsi tentang biaya operasi dan manfaat yang diharapkan. Analisis Monte Carlo juga dipertimbangkan karena memungkinkan penilaian secara simultan terhadap konsekuensi ketidakpastian dari berbagai variabel utama dalam model finansial, dengan mengganti entri-entri tunggal dengan distribusi probabilitas dari nilai-nilai yang mungkin dari variabel input.

Identifikasi, analisis dan alokasi risiko. Risiko-risiko divaluasi pada komponenkomponen biaya dalam model finansial (spreadsheet). Penggunaan teknik simulasi Monte Carlo juga dipertimbangkan

Manajemen Proyek Konstruksi

E-92

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW) Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN 2301-6752

Manajemen Proyek Konstruksi

E-93

Anda mungkin juga menyukai