Anda di halaman 1dari 18

BAB I PENDAHULUAN

PPOK atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit yang dapat dicegah dan dirawat dengan beberapa gejala ekstrapulmonari yang signifikan, yang dapat mengakibatkan tingkat keparahan yang berbeda pada tiap individual (Slamet H, 2006). Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Faktor resiko genetik yang paling sering dijumpai adalah defisiensi alfa-1 antitripsin, yang merupakan inhibitor sirkulasi utama dari protease serin. Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat, yaitu : derajat 1 (PPOK ringan), derajat 2 (PPOK sedang), derajat 3 (PPOK berat), derajat 4 (PPOK sangat berat). Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, faktor resiko (+). Sedangkan PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala. Dan baku emas untuk menegakkan PPOK adalah uji spirometri. Penatalaksanaan bisa dibedakan berdasarkan derajat tingkat keparahan PPOK. PPOK eksaserbasi didefinisikan sebagai peningkatan keluhan/gejala pada penderita PPOK berupa 3P yaitu: 1. Peningkatan batuk/memburuknya batuk 2. Peningkatan produksi dahak/phlegm 3. Peningkatan sesak napas.. Komplikasi bisa terjadi gagal nafas, infeksi berulang dan cor pulmonal. Prognosa PPOK tergantung dari stage / derajat, penyakit paru komorbid, penyakit komorbid lain (Riyanto dan Hisyam, 2006).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Penyakit Paru Obstrutif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial., bersifat progresif, biasanya disebabkan oleh proses inflamasi paru yang disebabkan oleh pajanan gas berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan sistemik. Gangguan ini dapat dicegah dan dapat diobati. Penyebab utama PPOK adalah rokok, asap polusi dari pembakaran, dan partikel gas berbahaya (PDPI, 2003).

B. Etiologi 1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan : a) Riwayat merokok Perokok aktif Perokok pasif Bekas perokok

b) Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun : Ringan : 0-200

Sedang : 200-600 Berat : >600


2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan rumah dan

lingkungan kerja. 3. Hipereaktiviti bronkus 4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di

Indonesia (PDPI, 2003) C. Patofisiologi Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa faktor resiko utama dari PPOK ini adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok ini merangsang perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia (PDPI, 2003). Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema dan pembengkakan jaringan. Ventilasi, terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.(Antonio et all, 2007) Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas seperti pada gambar 1.

Gambar 1. PPOK Terkait Partikel Inhalasi

(Sumber :Antonio et all, 2007) Ada beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK, yakni : peningkatan jumlah neutrofil (didalam lumen saluran nafas), makrofag (lumen saluran nafas, dinding saluran nafas, dan parenkim), limfosit CD 8+ (dinding saluran nafas dan parenkim). Yang mana hal ini dapat dibedakan dengan inflamasi yang terjadi pada penderita asma.(Corwin EJ, 2001) Tabel 1. Patogenesis PPOK

(Sumber : PDPI,2010). Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam usia yang lebih lanjut, kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat berkurang sehingga sulit bernapas. Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni jumlah oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan tubuh. Konsumsi oksigen sangat erat hubungannya dengan arus darah ke paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru. Faktor-faktor risiko tersebut diatas akan mendatangkan proses inflamasi bronkus dan juga menimbulkan kerusakan pada dinding bronkiolus terminalis. Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronkus kecil (bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air trapping) (Silbernagl, 2007). Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan segala akibatnya. Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami gangguan (Silbernagl, 2007).

D. Penegakan Diagnosis a. Anamnesa 1) Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan 2) Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja 3) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

4) Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi
5) Saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi

udara 6) Batuk berulang dengan atau tanpa dahak 7) Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi b. Pemeriksaan Fisik PPOK dini umumnya tidak ada kelainan 1) Inspeksi
a) Pursed

- lips breathing (mulut setengah terkatup

mencucu)
b) Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal

sebanding) c) e)
f)

Penggunaan otot bantu napas Pelebaran sela iga Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher dan edema tungkai

d) Hipertropi otot bantu napas

g) Penampilan pink puffer atau blue bloater

2) Palpasi Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar 3) Perkusi Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah 4) Auskultasi a) suara napas vesikuler normal, atau melemah atau pada ekspirasi paksa c) ekspirasi memanjang d) bunyi jantung terdengar jauh 5) Temuan Tambahan : b) terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa

a) Pink puffer Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed lips breathing b) Blue bloater Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer c) Pursed - lips breathing Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik. c. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan rutin 1. Faal Paru
a) 1)

Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau < 75 % VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP)

2)

VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

3)

Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%

b) 1)

Uji bronkodilator Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter. Setelah pemberian

bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
2)

Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

2. Darah Rutin Hb, Ht, leukosit 3. Radiologi Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain Pada emfisema terlihat gambaran : a. Hiperinflasi b. Hiperlusen c. Ruang retrosternal melebar d. Diafragma mendatar
e. Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye

drop appearance) f. Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

4. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)

1. Faal Paru a) Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat b) DLCO menurun pada emfisema c) Raw meningkat pada bronkitis kronik d) Sgaw meningkat e) Variabiliti Harian APE kurang dari 20 % 2. Uji latih kardiopulmoner
a) Sepeda statis (ergocycle)

b) Jentera (treadmill)
c) Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

3. Uji provokasi bronkus Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan. 4. Uji coba kortikosteroid Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid. 5. Analisis gas darah Terutama untuk menilai : a) b) Gagal napas kronik stabil Gagal napas akut pada gagal napas kronik

6. Radiologi a) CT - Scan resolusi tinggi Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos b) Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru 7. Elektrokardiografi Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan. 8. Ekokardiografi Menilai funfsi jantung kanan 9. Bakteriologi Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

10. Kadar alfa-1 antitripsin Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia. E. Penatalaksaan a. Medikamentosa 1) Bronkodilator Pemberian bronkodilator disesuaikan dengan jenis dan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebulizer tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat dengan efek kerja panjang (long acting) (PDPI, 2010). a. Golongan antikolinergik Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lender. Contoh obatnya adalah ipatropium bromide, dan oksitropium bromide. b. Golongan agonis beta 2 Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat. c. Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2 Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.

d. Golongan xantin Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
2) Anti inflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg. 3) Antibiotic Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan : a. Lini I : amoksisilin, makrolid b. Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid baru Perawatan di Rumah Sakit : dapat dipilih a. Amoksilin dan klavulanat b. Sefalosporin generasi II & III injeksi c. Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas a. Aminoglikosida per injeksi b. Kuinolon per injeksi c. Sefalosporin generasi IV per injeksi 4) Antioksidan Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.

5) Mukolitik Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin. 6) Antitisif Diberikan dengan hati-hati. 7) Terapi oksigen Pemberikan terapi oksigen dilakukan untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun di organ lainnya. Indikasi pemberian oksigen :
a. PaO2< 60 mmHg atau saturasi O2< 90% b. PaO2 diantara 55-59 mmHg atau saturasi O2> 89% disertai kor

pulmonal, perubahan pulmonal, Ht> 55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep anpneu, penyakit paru lain (PDPI, 2003). b. Non Medikamentosa 1) Edukasi Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Karena PPOK adalah penyakit yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalaha menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru (PDPI, 2003). Tujauan edukasi pada pasien PPOK a) Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan b) Melaksanakan pengobatan yang maksimal c) Mencapai aktivitas optimal d) Meningkatkan kualitas hidup Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi

penderita

sendiri

maupun

keluarganya.

Edukasi

dapat

diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktivitas. Penyesuaian aktvitas dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK (PDPI, 2003). Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah a) Pengetahuan dasar tentang PPOK b) Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya c) Cara pencegahan perburukan penyakit d) Menghindari pencetus (berhenti merokok) e) Penyesuaian aktivitas 2) Rehabilitasi PPOK Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal disertai a) Gejala pernafasan berat b) Beberapa kali masuk ruang gawat darurat c) Kualitas hidup menurun Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen, yaitu : a) Latihan fisik

Latihan fisik bertujuan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasitas sistem transportasi oksigen. Latihan fisik yang baik akan menghasilkan peningkatan VO2 max, perbaikan kapasitas kerja aerobic maupun anaerobic, peningkatan cardiac output dan stroke volume, peningkatan efisiensi distribusi darah, dan pemendekan waktu yang diperlukan untuk recovery (PDPI, 2003). b) Psikososial Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan dapat diberikan pengobatan (PDPI, 2010). c) Latihan pernafasan Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak nafas. Teknik latihan meliputi pernafasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki vantilasi dan mensinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Serta berguna untuk melatih ekspektorasi dan memperkuat otot ekstrimitas (PDPI, 2003). 3) Nutrisi Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energy akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksia kronik dan hiperkapneu metabolisme. menyebabkan Untuk terjadinya peningkatan laju mengatasi malnutris dibutuhkan

keseimbangan antara kalori yang masuk dengan kalori yang dibutuhkan. Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa makanan yang tinggi lemak dan rendah karbohidrat, karena salah satu hasil metabolisme karbohidrat adalah CO2. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit oxygen consumption dan respon ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapneu. Tetapi

pada PPOK dengan ggagal nafas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan (PDPI, 2010). Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan ini dapat mengurami fungsi diafragma, dianjurkan pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yaitu porsi kecil dengan waktu pemberian lebih sering (PDPI, 2010). 4) Ventilasi mekanik Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal nafas akut, gagal nafas akut pada gagal nafas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan gagal nafas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit, ruang ICU, atau di rumah. Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara ventilasi mekanik dengan intubasi, dan ventilasi mekanik tanpa intubasi (PDPI, 2010). F. Prognosis Prognosis PPOK dapat ditentukan berdasarkan : a. b. buruk c. Pada keadaan PPOK dengan dyspnea, obstruksi saluran nafas, FEV1< 0,75L (20%), angka kematian meningkat, 50% pasien berisiko meninggal dalam waktu 5 tahun. G. Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah a. Gagal nafas 1) Gagal nafas kronik Hasil analisa gas darah PO2< 60 mmHg dan PCO2> 60 mmHg, dan pH normal. Umur dan keparahan Jika terdapat hipoksia dan cor pulmonal prognosisnya

2) Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik Sesak nafas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. b. Infeksi berulang Pada pasien PPOK produksi sputum yang bewrlebihan menyebabkan bentuk terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan kadar limfosit darah yang menurun. c. Kor pulmonal kronik Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit >50 %, dapat disertai gagal jantung kanan (PDPI, 2010).

BAB III KESIMPULAN

1. Penyakit Paru Obstrutif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial., bersifat progresif. 2. Etiloginya adalah proses inflamasi paru yang disebabkan oleh pajanan gas berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan sistemik. Gangguan ini dapat dicegah dan dapat diobati. Penyebab utama PPOK adalah rokok, asap polusi dari pembakaran, dan partikel gas berbahaya. 3. Untuk penatalaksanaan penderita PPOK perlu dilakukan penilaian awal yang teliti mengenai tingkat perjalanan penyakit, lamanya gejala, adanya gangguan faal obstruksi jalan nafas dan derajat obstruksi. Penatalaksanaan selalu mencakup suatu pengobatan yang terarah dan rasional, bukan

semata-mata pengobatan medika mentosa. Mengusahakan penghentian merokok harus diusahakan semaksimal mungkin dan secara terusmenerus. 4. Prinsip pengobatan terdiri dari usaha pencegahan, mobilisasi dahak yang lancar, memberantas infeksi yang ada, mengatasi obstruksi jalan nafas, mengatasi hipoksemia pada keadaan dengan gangguan faal yang berat, fisioterapi dan rehabilitasi dengan tujuan memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang lama hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Antonio et all 2007. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA: p. 16-19 Available at : http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp Diakses tanggal 14 Desember 2012. Corwin, E,J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC ;437-8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2010. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Riyanto BS, Hisyam B 2006. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI, p. 984-5.

Silbernagl, S. Lang, F. 2007. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC. Slamet H 2006. PPOK Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:. p. 1-18.

Anda mungkin juga menyukai