Anda di halaman 1dari 24

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Terdapat berjuta-juta spesies hewan di dunia ini tetapi hanya sebagian kecil yang telah teridentifikasi yakni kurang lebih dari satu juta spesies hewan. Dalam kehidupan sehari-hari kita lebih banyak menjumpai vertebrata dari pada avertebrata, tetapi sebenarnya jumlah spesies vertebrata hanya 5% dan selebihnya merupakan avertebrata. Bila dipandang dari sisi lain, ada yang membagi dunia hewan menjadi kelompok Mollusca dan non-Mollusca, atau berdasarkan ruas apendik menjadi kelompok Athropoda dan non-Arthropoda. Keanekaragaman spesies hewan tersebut mendorong rasa keingintahuan dan memberi motivasi untuk mengkajinya lebih dalam. Seorang geologist dituntut memahami betul tentang ilmu paleontologi yang mengkaji makhluk hidup pada masa lampau demi memenuhi tuntutan kerja yang semakin ketat.

Tabel Perkiraan Jumlah Spesises Hidup Secara Gari Besar Pada Kingdom Animalia Dan Filum Protozoa

Kelompok besar Berbagai macam Avertebrata

Jumlah spesies 194.000

Filum/kelas/Campuran Protozoa Porifera Coelenterata Platyhelmintes Nematode Campuran Echinodermata Mollusca Annelida

50.000 10.000 10.000 10.000 12.000 8.000 5.500 80.000

8.700

Berbagai macam Arthropoda Insecta Chordata

100.600

Crustacea Arachnida Kelompok kecil Chilopoda

26.000 57.000 4.600 3.000 8.000 900.000 2.000 30.000 3.500 6.500 8.700 4.060

900.000 54.000

Doplopoda Insecta Capuran Osteichthes Amphibia Reptilia Aves Mammalia


Sumber : Storer dkk,1983

Sebagian dari Avertebrata telah hidup jutaan tahun lalu dimuka bumi ini. Dapat dikatakan hewan-hewan ini sudah tidak banyak lagi yang dapat dijumpai terkhusus dalam bentuk fosil. Sisanya hancur tidak berbekas oeh berbagai proses alam seperti proses orogenesa, metamorfisme, gempa bumi, dan lain-lain. Untuk mengkaji dan menyelidiki kehidupan masa lampau berdasarkan fosil yang dijumpai maka dibutuhkan suatu cabang ilmu dari geologi yang disebut dengan Ilmu Paleontologi. Ilmu ini mempelajari tentang kehidupan kuno (masa lampau) atau mengenai kehidupan purba, terutama hewan atau tumbuhan serta benda-benda yang menunjukan adanyan kehidupan dimasa lampau yang telah membatu dan terawetkan (fosil). Ilmu paleontologi memberikan kita gambaran yang luas tentang kehidupan mahluk hidup yang hidup pada waktu yang lampau, bahkan sebelum manusia hadir di muka bumi ini. Segala informasi tentang keadaan berbagai jenis mahluk hidup serta lingkungan tempat hidupnya pada

masa lampau dapat kita peroleh dengan mempelajari ilmu paleontologi. Melalui fosil segala informasi yang kita inginkan dapat kita peroleh. Mulai dari jenis mahluk hidup tersebut, daerah tempat hidupnya, lingkungan tempat terjadinya pengendapan atau yang disebut lingkungan pengendapan, umur dari batuan tempat fosil ditemukan, serta banyak informasi lainnya yang dapat membantu kita dalam mempelajari kehidupan masa lampau. Kesemuanya itu merupakan inti dari ilmu paleontology. Bagaimana kita dapat menginterpretasikan dan

menggambarkan kehidupan masa lampau yang bahkan telah berlangsung jutaan tahun tahun lalu lewat sisa-sisa peninggalan kehidupan yang kita sebut dengan fosil Penyelidikan mengenai fosil telah bayak ahli geologi yang melakukan, terkhusus mengenai fosil Avertebrata atau invertebrata. Fosil hewan ini memiliki keistimewaa tersendiri untuk diteliti karena dari sini ahli geologi banyak mendapat informasi tentang kedudukan batuan, untuk megetahui umur batuan, mengetahui lapisan top dan bottom dari batuan, mengungkap kondisi dari keadaan atau topografi dari daerah terdapatnya fosil (paleogeografi), mengetahui keadaan dari keadaan iklim pada masa lampau (paleoklimatologi) dan lainnya. Pada pelaksanaan praktikum ini , kami melakukan pengamatan dan

pengambilan sample secara langsung ke lapangan. Hal ini ditujukan selain dari pada untuk mendeskripsikan fosil, juga bermaksud untuk memberikan pemahaman secara langsung mengenai kondisi lapangan yang akan kami hadapi kedepannya. Inilah yang yang melatar belakangi kami untuk melakukan penelitian ini.

Kami dididik dan dibimbing bagaimana caranya agar kami dapat mendeskripsikan kandungan fosil pada daerah yang menjadi tempat penelitian kami. Hal ini kami lakukan tentunya dengan metode yang telah ditentukan oleh dosen pembimbing lapangan kami dan metode yang diajarkan tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan para ahli paleontologi dalam mendeskripsikan fosil-fosil. Dimulai dengan melakukan hal yang paling dasar yaitu pencaharian fosil-fosil yang tersebar di daerah local, selanjutanya mengidentifikasinya, sampai dengan mendesripsikan fosil-fosil tersebut

1.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian kami adalah daerah kabupaten Barru, tepatnya di daerah Bullu Botosowa. Kabupaten Barru merupakan salah satu Kabupaten di Sulawesi Selatan yang mempunyai wilayah yang terbentang dipesisir selat Makassar, membujur dari arah selatan ke utara sepanjang kurang lebih 78 Km. Kabupaten Barru secara geografis terletak pada Koordinat 40,549 sampai 44735

Lintang selatan dan 119350 sampai 1194916 Bujur Timur yang mempunyai luas wilayah kl. 1.174,72 km2 ( 117.427 Ha ), dengan batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah selatan dengan Kabupaten Pangkep. - Sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar - Sebelah utara berbatasan dengan Kota Pare-Pare, dan - Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Soppeng.

1.3. Kesampaian Daerah Secara Topografis Kabupaten Barru mempunyai wilayah yang cukup bervariasi ,terdiri dari daerah laut , dataran rendah dan daerah pegunungan dengan ketinggian antara 100 sampai 500 m diatas permukaan laut (mdpl) Wilayah tersebut berada disepanjang timur Kabupaten sedangkan bagian barat, topografi wilayah dengan ketinggian 0 - 20 m dpl berhadapan dengan selat makassar. Iklim di wilayah kabupaten Barru termasuk tropis, dalam waktu satu tahun terjadi 2 kali pergantian musim, yaitu musim hujan terjadi pada pada bulan Oktober hingga Maret, angin bertiup dari arah barat, dan usim kemarau terjadi pada bulan April hingga September, angin bertiup dari arah timur. Berdasarkan tipe iklin dengan metode zone agroklimatologi yang berdasarkan pada bulan basah ( curah hujan lebih dari 200 mm/bulan) dan bulan kering ( curah hujan kurang dari 100 mm/bulan ), di Kabupaten Barru terdapat seluas 71,79 % wilayah (84.340 Ha) dengan tipe iklim C yakni mempunyai bulan basah berturut - turut kurang dari 2 bulan ( April sampai dengan September). Total hujan selama setahun sebanyak 113 hari dengan jumlah curah hujan sebesar 5.252 mm. Curah hujan berdasarkan hari hujan terbanyak pada pada bulan Desember - Januari dengan jumlah curah hujan masing - masing 104 mm dan 17 mm. Jenis tanah di Kabupaten Barru didominasi oleh jenis regosol seluas 41.254 Ha ( 38,20) ; Mediteran seluas 32.516 Ha (27,68 %) ; Lisotol selauas 5

29.043 Ha (24,72%) ; Alluvial seluas 4.659 ha

(12,48 %). kabupaten Barru

Berdasarkan karakteristik sumber daya alam yang ada, mempunyai 4 wilayah, yaitu :

Wilayah selatan adalah Kecamatan Tanete Rilau yang merupakan pintu gerbang dari Kabupaten Pangkep dengan Potensi Perikanan yang cukup luas seperti tambak dan perikanan laut.

Wilayah utara yang terdiri dari Kecamatan Balusu, Soppeng Riaja dan Kecamatan Mallusetasi yang merupakan pintu keluar ke Kota Pare-pare, wilayah ini disamping sebagai Daerah Pertanian dan Perikanan, juga adalah Daerah Wisata khususnya Wisata laut yang terletak di Kecamatan Mallusetasi.Kondisi topografi Kabupaten Barru yang cukup bervariasi ini terdiri dari laut,dataran rendah, dan daerah pegunungan.

Wilayah pegunungan yang berada disebelah timur, pada umumnya berada di kecamatan Pujananting dan kecamatan Tanete Riaja. Wilayah ini

merupakan daerah pertanian, pertambangan dan daerah kawasan peternakan.

Wilayah tengah sebagai Ibu Kota Kabupaten Barru yang merupakan Pusat Agropolitan yang terletak di Kecamatan Barru

Di mana daerah ini dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor baik beroda dua maupun beroda empat. Karena daerah tersebut ditempuh melalui jalan yang beraspal dan tidak jauh dari pemukiman penduduk, namun kondisi jalan yang ditempuh berkelok-kelok. Daerah tersebut dapat dicapai dengan

perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 5 jam dengan menggunakan kendaraan roda empat dan kurang lebih 3,5 jam dengan menggunakan kendaraan Daerah tersebut berada sekitar +110 km dari Kampus Universitas Hasanuddin. Daerah roda dua. Di mana daerah barru dapat di tunjukkan dengan peta tunjuklokasi sebagai berikut :

Gambar 1.

Peta Tunjuk Lokasi Penelitian

1.4. Alat yang Digunakan Adapun alat yang kami gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : A. Perlengkapan kelompok 1. Peta lokasi penelitian 2. Kompas Brunton 3. Palu geologi 4. Tabel MS B. Perlengkapan individu 1. Buku lapangan 2. Larutan HCl 3. Alat tulis-menulis 4. Kantong sampel 5. Kertas A4 6. Cutter 7. Clipboard 8. Pinsil warna 9. Pita meter 10. Mistar 30 cm dan 50 cm 11. Kertas grafik 12. Spidol permanen 13. Busur derajat 14. Topi lapangan 15. Penuntun (literatur) 16. Karung 25 kg 17. Hektet 18. Kalkulator 19. Lup pembesaran 10 X 20. Pakaian ganti

BAB II METODE PENELITIAN

Pemetaan geologi dengan cara ini dilakukan dengan mengambil data-data geologi yan tersingkap dipermukaan, meliputi data keadaan singkapan, batuan secara umum, petrologi, dan paleontologinya. Untuk peta dengan sekala 1:50.000 yang digunakan maka pengambilan data tersebut dilakukan seakurat mungkin dimana jarak stasiun pengamatan geologi telah ditentukan. Jenis lintasan yang digunakan dalam pengambilan data berupa lintasan jalan, dimana lintasan jalan dilakukan dengan mengikuti semua jalan yang terdapat di daerah penelitian, utamanya pada jalan yang baru dibuka, karena kemungkinan akibat kegiatan pembukaan jalan baru tersebut akan ditemukan singkapan geologi yang masih fresh. Adapu metode yang dilakukan dalam hal pengambilan data dilapangan adalah sebagai berikut: 2.1. Sistematika Sampling Sampling adalah pengambilan sampel batuan di lapangan untuk dianalisis kandungan fosilnya. Sistematika sampling yang kami gunakan pada metode penelitian ini yaitu dengan melakukan : 1. Penentuan stasiun atau tempat yang dijadikan pusat pengambilan sampel fosil maupun batuan. Adapun sampel batuan dimaksudkan untuk mengetahui litologi atau keadaan batuan penyusun di setiap stasiun. 2. Selanjutnya sebelum melakukan pengambilan sampel fosil, terlebih dahulu

10

melakukan pengukuran strike dan dip batuan dari setiap stasiun yang akan diambil sampel fosil maupun batuannya. 3.Setelah pengukuran tersebut dilakukan langkah selanjutnya ialah melakukan sampling atau pengambilan sampel fosil yang ada pada setiap stasiunnya, mulai dari stasiun pertama sampai dengan stasiun ke tiga. Adapun cara lain yang dapat dilakukan dalam sisteatika sampling adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. menentukan titik lokasi pengamatan pada peta topografi, mengukur kedudukanbatuan dalam hal ini strike dan dipnya, deskripsi batuan dan pencacatan data lapangan, menentukan kondisi segar dan lapuknya batuan, mencari bidang lemah atau retakan pada batuan, menyamplin batuan.

Dalam pengamatan lapangan untuk contoh fosil : a. Fosil Makro Karena fosil makro mempunyai ukuran yang besar, maka dalam pengamatannya kami secara langsung melihat dari kekerasan batuan tempat fosil makro tersebut berada. Penyajian fosil makro relatif lebih mudah dibandingkan fosil mikro karena dalam penyajiannya dilakukan secara mudah dengan pengambilan fosil yang tersingkap lalu kami bersihkan, setelah itu dapat langsung mendeskripsikanya secara megaskopis beserta batuan tempat fosil tersebut berada Karena kesulitan dalam deskripsi di lapangan, maka kami lakukan dengan pendokumentasian, meliputi : sampel batuan, tempat pengambilan, no. sampel, dll. Setelah itu, dibawa ke kampus lapangan.

11

Gambar di bawah adalah contoh fosil-fosil makro yang terdapat di lapangan

Foto

b.

Fosil Mikro Karena fosil mikro mempunyai ukuran yang sangat kecil, sehingga

pengamatan kami di lapangan sulit dilakukan, sehingga pengamatan di lapangan lebih di fokuskan pengamatan terhadap fosil-fosil makro. Jenis sampel disini ada 2 macam, yaitu : Sampel permukaan, sampel yang diambil langsung dari pengamatan

singkapan di lapangan. Lokasi & posisi stratigrafinya dapat diplot pada peta. Sampel bawah permukaan, sampel yang diambil dari suatu pemboran.

Jenis sampel yang kami amati, teliti dan deskripsikan adalah jenis sampel permukaan. 2.2. Metode Pemerian Metode pemerian atau cara pendeskrisian kandungan fosil, saya lakukan dengan cara sebagai berikut : Pertama yaitu engumpulkan fosil untuk tiap stasiun, lalu memberi kode

12

atau label dengan urutan penulisan pada kantong sampel yaitu No. stasiun/no. sampel/jenis batuan/hari dan tgl/nama (di tulis singkat). Kedua mengklasifikasikan jenis fosil yang diduga memiliki kemiripan (bentuk fosil, proses pemfosilannya, dll.) atau berada pada filum yang sama. Hal ini dilakukan pada setiap stasiun tempat terdapatnya fosil. Ketiga mengidentifikasi kandungan atau komposisi kimia dari setiap fosil pada setiap stasiunnya dengan menggunakan larutan HCl. Hal ini dilakukan untuk menyelidiki tempat hidup awal dan lingkungan pngendapannya. Keempat mencari literatur yang dapat mendukung prediksi awal mengenai nama filumnya, kelas, ordo, family, genus dan nama spesies dari fosil tersebut.

13

Adapun cara pemerian atau deterinasi fosil makro, yaitu : FIELD TRIP PALEONTOLOGI
HARI/TANGGAL : LOKASI : CUACA : ..

LOITOLOGI : .

1. 2. 3. 4.

Data singkapan Data litologi Data geomorfologi Data struktur

14

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

III.1 Identifikasi Kandungan Fosil Penelitian ini dilakukan dengan dua metode penelitian yakni metode observasi terdiri dari 3 stasiun pengamatan dan metode measuring section. Dasar penamaan batuan pada daerah penelitian Bulu Bottosuwa sebagai objek penelitian , yaitu didasarkan pada cirri litologi, baik cirri fisik, kimia maupun litologi. Cirri fisik meliputi warna, tekstur, struktur, ukuran butir, dan bentuk butir. Sifat kimia meliputi komposisi kimia batuan dan cirri biologi mencakup kandungan biota atau organism dan jejak-jejak organisme yang telah membatu yang terkandung dalam batuan. Selain itu penamaan batuan juga didasarkan pada dominasi batuan yang menyusunnya di lapangan baik ketebalan maupun intensitas dari perilangannya sendiri. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka batuan yang ada pada daerah penelitian dapat dibagi dalam dua yakni Batuanpasir dan Batugamping. Penelitian ini dilakukan dengan metode observasi atau pengamatan langsung di lapangan, yang mana metode observasi ini terdiri dari tiga stasiun pengamatan. Adapun dasar penamaan pada daerah penelitian Bulu Bottosuwa sebagai objek penelitian, yaitu di dasarkan pada ciri litologi, baik ciri fisik, kimia

15

maupun litologi. Ciri fisik meliputi warna segar, warna lapuk, tekstur, dan struktur. Sifat kimia meliputi komposisi kimia batuan dan ciri biologi mencakup kandungan biota atau organisme dan jejak-jejak organisme yang telah membatu yang terkandung dalam batuan. Selainitu, penamaan batuan juga didasarkan pada domonasi batuan yang menyusunnya di lapangan baik ketebalan maupun intensitas dari persilangannya sendiri. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka batuan yang ada pada daerah penelitian (Bulu Bottosuwa)dapat dibagi dalam dua yakni batu pasir dan batu gamping. Adapun deskripsi dari setiap stasiun adalah sebagai berikut: Pada stasiun pertama dijumpai singkapan berupa batuan sedimen dengan nama batuan adalah batu gamping. Batuan ini dijumpai di pinggir sebelah utara Bulu Bottosuwa, dengan arah penyebaran dari Timur ke Barat dan merupakan batuan sedimen yang insitu. Batuan ini memiliki ciri fisik dengan warna lapuk cokelat kehitam-hitaman dan warna segar cokelat, tekstur klastik, struktur berlapis (N2510E/180), Saat ditetesi dengan larutan HCl batuan ini bereaksi yang mengindikasikan bahwa komposisi kimia dari batuan ini adalah karbonat (CaCO3). Singkapan batuan ini berada pada relief yang tidak terjal. Pada stasiun ini dijumpai adanya fosil yang bertebaran disekitarnya, dengan yang kami temukan hanyalah fosil dari filum Mollusca, ordo Mesogastropoda denmgan spesies Turritella sp.,Destilanida sp. ., Medialus sp, Turbinolia sp. Dari filum Coelenterata yaitu ordo Rugosa dengan spesies Thecosmilia sp. Fosil yang ditemukan merupakan fosil dalam bentuk tanatoconaus karena fosil tersebut sudah

16

tidak utuh lagi setelah mengalami proses transportasi. Batuan pada stasiun ini dapat diinterpretasikan lingkungan pengendapannya di laut dangkal dengan melihat komposisi mineral penyusunnya. Pada stasiun kedua dijumpai singkapan batuan sedimen dengan nama batuan adalah batu pasir. Batuan ini dijumpai di pinggir sebelah utara Bulu Bottosuwa, dengan arah penyebaran dari Timur ke Barat dan merupakan batuan sedimen yang insitu. Batuan ini memiliki ciri fisik dengan warna lapuk cokelat dan warna segar cokelat keputih-putihan, tekstur klastik, struktur berlapis (N60E/210), Saat ditetesi dengan larutan HCl batuan ini bereaksi yang mengindikasikan bahwa komposisi kimia dari batuan ini adalah karbonat (CaCO3). Singkapan batuan ini berada pada relief yang tidak terjal. Pada stasiun ini dijumpai adanya fosil yang bertebaran disekitarnya, dan yang kami temukan hanyalah fosil dari filum Mollusca, ordo Mesogastropoda denmgan spesies Fafosites sp, Destilanida sp., Viviparus sp., Turbinolia sp. Dari filum Coelenterata yaitu ordo Rugosa dengan spesies Thecosmilia sp. Fosil yang ditemukan merupakan fosil dalam bentuk tanatoconaus karena fosil tersebut sudah tidak utuh lagi setelah mengalami proses Pada stasiun ketiga dijumpai singkapan batuan sedimen dengan nama batuan adalah batugamping. Batuan ini dijumpai di pinggir sebelah utara Bulu Bottosuwa, dengan arah penyebaran dari Timur ke Barat dan merupakan batuan sedimen yang insitu. Batuan ini memiliki ciri fisik dengan memiliki warna lapuk cokelat dan warna segar cokelat keputih-putihan, tekstur klastik, struktur berlapis (N 80o E/ 24o), Saat ditetesi dengan larutan HCl batuan ini bereaksi yang

17

mengindikasikan bahwa komposisi kimia dari batuan ini adalah karbonat (CaCO3). Singkapan batuan ini berada pada relief yang tidak terjal. Pada stasiun ini dijumpai adanya fosil yang bertebaran disekitarnya, dean yang kami temukan hanyalah fosil dari filum Mollusca, ordo Mesogastropoda denmgan spesies Porpites sp., Viviparusnia sp.,Turbinolia sp. Dari filum Coelenterata yaitu ordo Rugosa dengan spesies Thecosmilia sp. Fosil yang ditemukan merupakan fosil dalam bentuk tanatoconaus karena fosil tersebut sudah tidak utuh lagi setelah mengalami proses pemfosilan.

III.2 Pemerian Fosil setiap Stasiun

DATA FOSIL YANG DITEMUKAN PADA STASIUN 1 UNTUK LITOLOGI BATU GAMPING

Phylum Mollusca

Kelas Gastropoda

Nama fosil Destila sp viviparus sp. Cheliconus sp. Turritella sp.

Jumlah 3

Pelecypoda Poropea sp

18

Trigoni sp Medialus sp.

5 6

Coelenterata

Zoontaria Anthozoa

Turbinolia sp. Porpites sp. 4

Porifera

Demospongia

Favosites sp

DATA FOSIL YANG DITEMUKAN PADA SATSIUN II UNTUK LITOLOGI BATU PASIR

Phylum Mollusca

Kelas Gastropoda

Nama fosil Destila sp viviparus sp. Cheliconus sp. Turritella sp.

Jumlah 7 2

Pelecypoda Poropea sp Trigoni sp

19

Medialus sp. 8

Coelenterata

Zoontaria Anthozoa

Turbinolia sp. Porpites sp.

12 8

Porifera

Demospongia

Favosites sp

DATA FOSIL YANG DITEMUKAN PADA SATSIUN III UNTUK LITOLOGI BATU GAMPING

Phylum Mollusca

Kelas Gastropoda

Nama fosil Destila sp viviparus sp. Cheliconus sp. Turritella sp.

Jumlah 16 5 5 6

Pelecypoda Poropea sp 13

20

Trigoni sp Medialus sp.

14 13

Coelenterata

Zoontaria Anthozoa

Turbinolia sp. Porpites sp.

21 15

Porifera

Demospongia

Favosites sp

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah penulis uraikan pada bagian sebelumnya, maka pada bagian ini akan ditarik beberapa kesimpulan yang tentunya menjadi inti dan kesimpulan secara menyeluruh mengenai hasil dari

21

penelitian dan pengamatan kami di lapangan. Adapun kesimpulan yang dimaksud dapat diuraikan sebagaimana yang tersebut di bawah ini : 1. Fosil yang ditemukan tersebut merupakan organisme yang hidup di laut dangkal karena umumnya komposisi kimianya adalah HCl, 2. Daerah penelitian tersebut dulunya beupa lautan/perairan namun karena adanya gaya endogen dan eksogen daerah tersebut berubah menjadi gunung/dataran tinggi, 3. Pada daerah penilitian, yang ditemukan hanya litologi batu gamping dan pasir yang temasuk dalam daerah terjal, 4. Fosil yang ditemukan pada daerah penilitian di dominasi oleh phylum mollusca khususnya kelas gastropoda dan pelecypoda, 5. Satuan batu gamping yang diperkirakan berumur Jura Akhir sampai Miosen Tengah dan dijumpai pada stasiun I dan stasiun III. 6. Satuan batu pasir yang diperkirakan berumur Eosen Awal dan dijumpai pada stasiun II. 7. Jenis fosil yang banyak ditemukan di loasi penilitian/daerah Bulu Bottosowa yaitu fosil Phylum Mollusca dan Coelenterata. 8. Secara keseluruhan satuan batuan daerah penilitian dapat di golongkan atas 6 lapisan yang tua yang ke termuda, yakni: Satuan batuan beku intrusive Satuan breksi vulkanik Satuan breksi batugamping Satuan napal

22

Satuan batupasir Mallawa Satuan serpih Balangbaru

4.2. Saran Adapun saran yang dapat disampaikan setelah melakukan praktikum adalah: 1. Sebelum berangkat ke lapangan, sebaiknya kesehatan tubuh dan seluruh perlengkapan dipersiapkan sebaik mungkin guna menjaga kelancaran dalam proses kegiatan penilitian di lapangan. 2. Di harapkan agar setiap kelompok praktikum lapangan di dampingi oleh para asisten pembimbing minimal satu orang, arena praktikan terkadang masih mengalami kendala dalam mendiskripsikan litologi batuan serta fosil yang mereka temukan. Hal tersebut mengingat Fiel Trip ini, merupakan implementasi dari teori dalam ruang kuliah serta merupakan hal yang paling dasar bagi seorang calon Geologist. 3. Sebelum Field Trip dilaksanakan,diharapkan agar kesiapan seluruh panitia pelaksana betul-betul siap agar pelaksanaan praktikum ini berjalan dengan lancar.

23

DAFTAR PUSTAKA

Mappa, Haruna. 2008. Makro dan Mikro Paleontologi. Makassar : Universitas Hasanuddin Rochmanto, Budi. 2008. Diktat Mata Kuliah Geologi Fisik. Makassar : Universitas Hasanuddin ________. 2008. Sap Praktikum Paleontology. Makassar : Universitas Hasanuddin

24

Anda mungkin juga menyukai