Anda di halaman 1dari 20

Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk

akhir katabolisme heme yaitu bilirubin. Jaringan permukaan yang kaya elastin, seperti sklera dan permukaan bawah lidah, biasanya adalah bagian yang pertama kali mengalami kuning. Pada neonatus atau bayi baru lahir, baru tampak apabila serum bilirubin sudah > 5 mg/dL (> 86 mol/L). Pada keadaan normal, kadar bilirubin indirek bayi baru lahir adalah 1-3 mg/dl dan naik dengan kecepatan < 5 mg/dl/24 jam, dengan demikian ikterus fisiologis dapat terlihat pada hari ke-2 sampai ke-3, berpuncak pada hari ke-2 dan ke4 dengan kadar berkisar 5-6 mg/dL (86-103 mol/L), dan menurun sampai di bawah 2 mg/dl antara umur hari ke-5 dan ke-7. Ikterus pada neonatus tidaklah selamanya patologis (red: penanda adanya sebuah penyakit). Pada neonatus dapat pula terjadi ikterus fisiologis yang dapat merupakan fenomena dari keadaan berikut, yaitu: 1. 2. 3. 1. 2. 3. 4. Peningkatan penghancuran eritrosit janin karena pendeknya usia eritrosit. Rendahnya ekskresi hepar dan rendahnya kadar glukoronil transferase pada neonatus. Gerakan usus yang lambat akibat belum ada intake. Suatu ikterus pada neonatus dikatakan fisiologis jika ditemukan keadaan berikut, yaitu: Pertama kali muncul pada usia 24-72 jam setelah lahir. Terjadi selama 4-5 hari pada bayi normal dan 7 hari pada bayi prematur. Kadar bilirubin tidak melebihi 15 mg/dl Tidak terdeteksi secara klinis setelah 14 hari. Atau dengan kata lain tidak ditemukan dasar patologis. Peningkatan level bilirubin indirek yang lebih tinggi lagi dapat digolongkan sebagai keadaan patologis yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Beberapa keadaan berikut tergolong dalam ikterus patologis, antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan. Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10 mg/dL. Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam. Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD, atau sepsis) Ikterus yang disertai oleh: Berat lahir <2000 gram="gram" span="span">, Masa gestasi 36 minggu, Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonatus, Infeksi, Trauma lahir pada kepala, Hipoglikemia 7. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada aterm) atau >14 hari (pada prematur) Untuk menilai kadar bilirubin secara klinis, Kramer memperkenalkan penilaian klinis derajat ikterus neonatal. Penilaian tersebut adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Kramer I Kramer II Kramer III Kramer IV mg%) 5. Kramer V : hingga telapak tangan dan telapak kaki (Bilirubin total >17 mg%) : Daerah kepala (Bilirubin total 5 7 mg) : Daerah dada pusat (Bilirubin total 7 10 mg%) : Perut dibawah pusat - lutut (Bilirubin total 10 13 mg) : Lengan sampai pergelangan tangan, tungkai bawah sampai pergelangan kaki (Bilirubin total 13 17

Untuk mendiagnosa ikterus pada neonatus dapat dipakai bagan berikut sebagai pedoman. Bagan diagnosa disajikan sebagai berikut:

Penatalaksanaan: (diambil dari Standar Penatalaksanaan IKA FK UNSRI) 1. 2. 3. Fototerapi jika terdapat indikasi menurut grafik Cockington Fototerapi dihentikan jika kadar bilirubin tidak meningkat lagi dan kadarnya separuh dari kadar indikasi transfusi tukar bila kada bilirubin sebelumnya < 13 mg/dl. Transfusi tukar dilakukan bila Hb tali pusat < 10 ; kadar bilirubin tali pusat > 5 g/dl; bilirubin total meningkat > 5 g/dl; bayi menunjukkan tanda bilirubin ensefalopati ( hipotoni, kaki melengkung, retrocolis, panas, panas tinggi); anemia dengan early jaundice dengan Hb 10-13 dan kecepatan peningkatan 0,5 mg%/jam; anemia dengan bilirubin > umur bayi (jam) setelah usia 24 jam pertama; bilirubin total > 25 mg/dl; anemia progresif saat pengobatan hiperbilirubinemia. Taransfusi tukar ulang jika: bilirubin meningkat lagi > 1 mg%/jam setelah transfusi tukar, bilirubin meningkat lagi > 25 mg%/dl, dan persisten hemolitik anemia. Sedangkan menurut IDAI sendiri adalah sebagai berikut: The American Academy of Pediatrics (AAP) telah membuat parameter praktis untuk tata laksana hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan yang sehat dan pedoman terapi sinar pada bayi usia gestasi 35 minggu. Pedoman tersebut juga berlaku pada bayi cukup bulan yang sehat dengan BFJ dan BMJ. AAP tidak menganjurkan penghentian ASI dan telah merekomendasikan pemberian ASI terus menerus (minimal 8-10 kali dalam 24 jam). Penggantian ASI dengan pemberian air putih, air gula atau susu formula tidak akan menurunkan kadar bilirubin pada BFJ maupun BMJ yang terjadi pada bayi cukup bulan sehat. Gartner dan Auerbach mempunyai pendapat lain mengenai pemberian ASI pada bayi dengan BMJ. Pada sebagian kasus BMJ, dilakukan penghentian ASI sementara. Penghentian ASI akan memberi kesempatan hati mengkonjungasi bilirubin indirek yang berlebihan. Apabila kadar bilirubin tidak turun maka penghentian ASI dilanjutkan sampai 1824 jam dan dilakukan pengukuran kadar bilirubin setiap 6 jam. Apabila kadar bilirubin tetap meningkat setelah penghentian ASI selama 24 jam, maka jelas penyebabnya bukan karena ASI, ASI boleh diberikan kembali sambil mencari penyebab hiperbilirubinemia yang lain. Jadi penghentian ASI untuk sementara adalah untuk menegakkan diagnosis. Persamaannya dengan AAP yaitu bayi dengan BFJ tetap mendapatkan ASI selama dalam proses terapi. Tata laksana yang dilakukan pada BFJ meliputi (1) pemantauan jumlah ASI yang diberikan apakah sudah mencukupi atau belum, (2) pemberian ASI sejak lahir dan secara teratur minimal 8 kali sehari, (3) pemberian air putih, air gula dan formula pengganti tidak diperlukan, (4) pemantauan kenaikan berat badan serta frekuensi BAB dan BAK, (5) jika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, perlu melakukan penambahan volume cairan dan stimulasi produksi ASI dengan melakukan pemerasan payudara,

4.

(6) jika kadar bilirubin mencapai kadar 20 mg/dL, perlu melakukan terapi sinar jika terapi lain tidak berhasil, dan (7) pemeriksaan komponen ASI dilakukan jika hiperbilirubinemia menetap lebih dari 6 hari, kadar bilirubin meningkat melebihi 20 mg/dL, atau riwayat terjadi BFJ pada anak sebelumnya. Yang dimaksud dengan fototerapi intensif adalah radiasi dalam spektrum biru-hijau (panjang gelombang antara 430-490 nm), setidaknya 30 W/cm2 per nm (diukur pada kulit bayi secara langsung di bawah pertengahan unit fototerapi) dan diarahkan ke permukaan kulit bayi seluas-luasnya. Pengukuran harus dilakukan dengan radiometer spesifik dari manufaktur unit fototerapi tersebut. Selanjutnya pertanyaan yang sering timbul adalah kapan terapi sinar harus dihentikan. Sampai saat ini belum ada standar pasti untuk menghentikan terapi sinar, akan tetapi terapi sinar dapat dihentikan bila kadar BST sudah berada di bawah nilai cut off point dari setiap kategori. Untuk bayi yang dirawat di rumah sakit pertama kali setelah lahir (umumnya dengan kadar BST > 18 mg/dL (308 mol/L) maka terapi sinar dapat dihentikan bila BST turun sampai di bawah 13 14 mg/dL (239 mol/L). Untuk bayi dengan penyakit hemolitik atau dengan keadaan lain yang diterapi sinar di usia dini dan dipulangkan sebelum bayi berusia 34 hari, direkomendasikan untuk pemeriksaan ulang bilirubin 24 jam setelah dipulangkan. Bayi yang dirawat di rumah sakit untuk kedua kali dengan hiperbilirubinemia dan kemudian dipulangkan, jarang terjadi kekambuhan yang signifikan sehingga pemeriksaan ulang bilirubin dilakukan berdasarkan indikasi klinis. Sebagian besar unit neonatal di Indonesia masih memberikan terapi sinar pada setiap bayi baru lahir cukup bulan dengan BST 12 mg/dL atau bayi prematur dengan BST 10 mg/dL tanpa melihat usia. Diharapkan agar penggunaan terapi sinar atau transfusi tukar disesuaikan dengan anjuran AAP. Gartner dan Auerbach merekomendasikan jika kadar bilirubin > 20 mg/dL pada bayi cukup bulan, maka penting untuk menurunkan kadar bilirubin secepatnya. Terapi sinar harus segera dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan laboratorium darah untuk penegakan diagnosis BFJ dan BMJ. Pada beberapa kasus, pemberian cairan intra vena dapat dipertimbangkan misalnya ada dehidrasi atau sepsis. Terapi sinar dapat dilakukan bila ada riwayat pada saudara sebelumnya mengalami BMJ. Batas kadar bilirubin untuk melakukan terapi sinar biasanya lebih rendah pada kasus tersebut (< 12 mg/dL). Pemantauan lanjut saat bayi sudah di rumah juga penting dilakukan. Pemantauan dapat berlangsung selama kurang lebih 14 hari. Pemantauan dilakukan terutama jika kadar bilirubin mencapai > 12 mg/dL.

Lampiran: Grafik Cockington (usia gestasi > 35 minggu): a. Untuk pedoman fototerapi:

b. Untuk transfusi tukar

Tambahan: Kuning pada bayi dapat juga berhubungan dengan pemberian ASI. Breastmilk jaundice mempunyai karakteristik kadar bilirubin indirek yang masih meningkat setelah 4-7 hari pertama. Kondisi ini berlangsung lebih lama daripada hiperbilirubinemia fisiologis dan dapat berlangsung 3-12 minggu tanpa ditemukan penyebab hiperbilirubinemia lainnya. Penyebabnya berhubungan dengan pemberian ASI dari seorang ibu tertentu dan biasanya akan timbul pada setiap bayi yang disusukannya. Semua bergantung pada kemampuan bayi tersebut dalam mengkonjugasi bilirubin indirek (bayi prematur akan lebih berat ikterusnya). Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk ikterus, yaitu: 1. Early onset breastfeeding jaundice (Onset beberapa hari pertama kehidupan) Penurunan volume dan frekuensi makan dapat menyebabkan dehidrasi sedang dan pengeluaran mekonium terlambat. Dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu formula, bayi yang mendapat ASI lebih sering 3-6 kali mengalami ikterus. Pada bayi dengan early onset hiperbilirubinemia, frekuensi pemberian Asi harus ditingkatkan menjadi lebih dari 10 kali perhari. Jika BB bayi tidak naik, BAB terlambat, dan dan mengalami kekurangan intake kalori, suplemen formula perlu diberikan. Tetapi ASI harus tetap diberikan untuk meningkatkan produksi. Tetapi, suplemen seperti dekstrosa dan air harus dihindari. tidak terdapat bukti jika bentuk ini berhubungan dengan abnormalitas ASI sehingga penghentian ASI hanya dilakukan jika ikterus menetap lebih dari 6 hari, bilirubin meningkat >20 mg/dl, atau ibu memiliki riwayat bayi kuning pada bayi sebelumnya. 2. Late onset breastfeeding jaundice ( Onset 6 14 hari kehidupan) Bentuk yang kedua ini terjadi dengan peningkatan bilirubin dengan puncvak di hari ke 6-14 kehidupan. Tetapi keadaan ini tidak mengindikasikan bahwa ikterus dengan bentuk ini adalah patologis. Penyebab utama terjadinya kuning belum dimengerti dengan baik. Diperkirakian bahwa substansi ASI seperti -glucuronidases, dan nonesterified fatty acids daqpat menghambat metabolisme bilirubin normal. Bilirubin dapat turun secara perlahan setelah bayi berusia 2 minggu tetapi dapat juga bertahan sampai usia 2-3 bulan. Jika ikterus karena ASI masih diragukan atau nilai bilirubin semakin naik, maka ASI dapat dihentikan. Jika dengan penghentian kadar bilirubin turun (rata-rata 3 mg/dl/hari), maka diagnosa dapat ditegakkan yaitu ikterus karena ASI sehingga ASI dapat kembali diteruskan. "Menyusui dengan frekuensi sering walau singkat lebih baik daripada pemberian jarang dan lama".

Ikterus Neonatorum Iketerus adalah menguningnya sclera (selaput mata), kulit, dan mukosa akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh (IKA FK UI, 1985). Ikterus neronatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir hingga usia 2 bulan setelah lahir. Penyebab ikterus secara umum 1. Pembentukan bilirubin yang berlebihan (Ikterus Pra Hepatik) Produksi bilirubin yang berlebihan ini diakibatkan karena adanya abnormalitas pada hemolisis sel darah merah (sehingga disebut juga ikterus hemolitik). Kapasitas sel hepar mengadakan konjugasi terbatas, sehingga peningkatan produksi heme (dari pemecahan hemoglobin) sehingga bilirubin inderek tinggi. Terjadi akumulasi pembentukan bilirubin inderek, juga akan meningkatkan jumlah bilirubin direk secara progresif. Sehingga urobilinogen yang dihasilkan melebihi normal yang mengakibatkan peningkatan kandungan urobilinogen dalam feses tinggi. Peningkatan produksi bilirubin dapat disebabkan oleh: a. Kelainan sel darah merah (sferosit herditer, inkompabilitas Rh, HbS pada anemia sel sabit) b. Infeksi malaria, sepsis, dll c. Toksin dari luar tubuh (obat-obatan) dan dari dalam tubuh (transfuse, eritroblastosis fetalis) 2. Gangguan konjugasi bilirubin (Ikterus Hepatoseluler)

Ikterus pada kasus ini terjadi karena adanya kelainan konjugasi pada sel hati sehingga jumlah bilirubin inderek tinggi. Beberapa penyakit akibat gangguan pada konjugasi bilirubin yaitu a. Ikterus Fisiologis Neonatus Manifestasi klinis: terjadi hiperbilirubinemia ringan (&lt;12,9 mg/100ml). Onset: 2-3 hari setelah bayi lahir. - Penyebab: imaturitas enzim glukoronil transferase atau aktifitas enzim glukoronidase pada neonatus masih tinggi. Akibat: akumulasi bilirubin inderek atau peningkatan siklus enterohepatik. b. Kernikterus Manifestasi klinis: Bilirubin inderek mencapai &gt;20mg/dl Penyebab: Suatu peningkatan hemolitik sel darah merah (seperti eritroblastosis fetalis) juga terdapata defisiensi glukoronil transferase. - Akibat: Penimbunan bilirubin inderek pada ganglia basalis sehingga dapat menyebabkan defek neurologis bahkan kematian. c. Gangguan herediter Seperti pada Sindrom Gilbert Suatu penyakit familial ringan yg dicirikan dengan ikterus dan hiperbilirubinemia inderek ringan (2-5mg/dl) yang kronis Sindrom Crigler-Najjar I, Terdapat gen resesif, tidak adanya glukoronil transferase sejak lahir sehingga tidak terjadi konjugasi bilirubin. Bilirubin inderek mencapai 20mg/dl. Sindrom Crigler-Najjar II Terjadinya lebih ringan daripada Tipe I. Diwariskan sebagai gen dominan defisiensi sebagian glukoronil transferase. 3. Penurunan Ekskresi Bilirubin Terkonjugasi (Ikterus Pasca Hepatik) Penurunan ekskresi ini bisa disebabkan karena kelainan fungsional seperti pada kelainan konjugasi bilirubin dan kelainan obstruktif pada saluran ekskresi bilirubin. Kelainan obstruktif berupa adanya bendungan pada saluran empedu sehingga terjadi peningkatan akumulasi bilirubin direk. Hal tersebut mengakibatkan regurgitasi ke sel hati kemudian ke peredaran darah. Dalam peredaran darah bilirubin diekskresikan ke ginjal sehingga kadarnya dalam urin meningkat. Sedangkan dalam usus, urobilinogen berkurang sehingga feses berwarna pucat (dempul). Penyumbatan saluran empedu (kolestasis) ada 2 jenis: a. Intrahepatik : Terjadi sel hati dan duktus koledokus b. Ekstrahepatik : Terjadi dalam duktus koledokus (IKA FK UI, 1985 dan Patofisiologi Sylvia Ed 6, 2005) Penyebab Ikterus Pada Neonatus 1. 0-24 jam setelah lahir a. Inkompabilitas darah Rh, ABO, dll b. Infeksi intrauterine (karena virus TORCH, kadang bakteri) c. Kadang defisiensi G6PD 2. 24-72 jam setelah lahir a. Fisiologis b. Inkompabilitas darah Rh, ABO c. Defisiensi G6PD d. Polisitemia e. Hemolisis perdarahan tertutup f. Hipoksia, Asidosis 3. &gt;72 Jam Akhir minggu pertama a. Infeksi b. Dehidrasi asidosis c. Defisiensi enzim G6PD d. Pengaruh obat e. Sindrom Criggler-Najjar, Sindrom Gilbert 4. Akhir minggu pertama a. Obstruksi b. Hipotiroidisme c. Infeksi d. Neonatal Hepatitis e. Galaktosemia (setelah pemberian ASI) Penanganan 1. Penanganan sendiri di rumah a. Berikan ASI yang cukup (8-12 kali sehari) b. Sinar matahari dapat membantu memecah bilirubin sehingga lebih mudah diproses oleh hati. Tempatkan bayi dekat dengan jendela terbuka untuk mendapat matahari pagi antara jam 7-8 pagi agar bayi tidak kepanasan, atur posisi kepala agar wajah tidak menghadap matahari langsung. Lakukan penyinaran selama 30 menit, 15 menit terlentang dan 15 menit tengkurap. Usahakan kontak sinar dengan kulit seluas mungkin, oleh karena itu bayi tidak memakai pakaian (telanjang) tetapi hati-hati jangan sampai kedinginan 2. Terapi medis

Dokter akan memutuskan untuk melakukan terapi sinar (phototherapy) sesuai dengan peningkatan kadar bilirubin pada nilai tertentu berdasarkan usia bayi dan apakah bayi 50 Tahun Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU -5- lahir cukup bulan atau prematur. Bayi akan ditempatkan di bawah sinar khusus. Sinar ini akan mampu untuk menembus kulit bayi dan akan mengubah bilirubin menjadi lumirubin yang lebih mudah diubah oleh tubuh bayi. Selama terapi sinar penutup khusus akan dibuat untuk melindungi mata. Jika terapi sinar yang standar tidak menolong untuk menurunkan kadar bilirubin, maka bayi akan ditempatkan pada selimut fiber optic atau terapi sinar ganda/triple akan dilakukan (double/triple light therapy). Jika gagal dengan terapi sinar maka dilakukan transfuse tukar yaitu penggantian darah bayi dengan darah donor. Ini adalah prosedur yang sangat khusus dan dilakukan pada fasilitas yang mendukung untuk merawat bayi dengan sakit kritis, namun secara keseluruhan, hanya sedikit bayi yang akan membutuhkan transfusi tukar. (Ragam Pediatrik Final Bab 1 IKA FK USU, Prof. Dr. H. Guslihan Dasa Tjipta, SpA(K)) Pencegahan Pada kebanyakan kasus, kuning pada bayi tidak bisa dicegah. Cara terbaik untuk menghindari kuning yang fisiologis adalah dengan memberi bayi cukup minum, lebih baik lagi jika diberi ASI. (Ragam Pediatrik Final Bab 1 IKA FK USU, Prof. Dr. H. Guslihan Dasa Tjipta, SpA(K))

Hyperbilirubinemia is one of the most common problems encountered in term newborns. Historically, management guidelines were derived from studies on bilirubin toxicity in infants with hemolytic disease. More recent recommendations support the use of less intensive therapy in healthy term newborns with jaundice. Phototherapy should be instituted when the total serum bilirubin level is at or above 15 mg per dL (257 mol per L) in infants 25 to 48 hours old, 18 mg per dL (308 mol per L) in infants 49 to 72 hours old, and 20 mg per dL (342 mol per L) in infants older than 72 hours. Few term newborns with hyperbilirubinemia have serious underlying pathology. Jaundice is considered pathologic if it presents within the first 24 hours after birth, the total serum bilirubin level rises by more than 5 mg per dL (86 mol per L) per day or is higher than 17 mg per dL (290 mol per L), or an infant has signs and symptoms suggestive of serious illness. The management goals are to exclude pathologic causes of hyperbilirubinemia and initiate treatment to prevent bilirubin neurotoxicity. Neonatal hyperbilirubinemia, defined as a total serum bilirubin level above 5 mg per dL (86 mol per L), is a frequently encountered problem. Although up to 60 percent of term newborns have clinical jaundice in the first week of life, few have significant underlying disease.1,2 However, hyperbilirubinemia in the newborn period can be associated with severe illnesses such as hemolytic disease, metabolic and endocrine disorders, anatomic abnormalities of the liver, and infections. Jaundice typically results from the deposition of unconjugated bilirubin pigment in the skin and mucus membranes. Depending on the underlying etiology, this condition may present throughout the neonatal period. Unconjugated hyperbilirubinemia, the primary focus of this article, is the most common form of jaundice encountered by family physicians. The separate topic of conjugated hyperbilirubinemia is beyond the scope of this article. Risk Factors for Hyperbilirubinemia Infants without identified risk factors rarely have total serum bilirubin levels above 12 mg per dL (205 mol per L). As the number of risk factors increases, the potential to develop markedly elevated bilirubin levels also increases.2 Common risk factors for hyperbilirubinemia include fetal-maternal blood group incompatibility, prematurity, and a previously affected sibling (Table 1).24 Cephalohematomas, bruising, and trauma from instrumented delivery may increase the risk for serum bilirubin elevation. Delayed meconium passage also increases the risk. Infants with risk factors should be monitored closely during the first days to weeks of life. TABLE 1 Risk Factors for Hyperbilirubinemia in Newborns Maternal factorsBlood type ABO or Rh incompatibilityBreastfeedingDrugs: diazepam (Valium), oxytocin (Pitocin)Ethnicity: Asian, Native AmericanMaternal illness: gestational diabetes Neonatal factorsBirth trauma: cephalohematoma, cutaneous bruising, instrumented deliveryDrugs: sulfisoxazole acetyl with erythromycin ethylsuccinate (Pediazole), chloramphenicol (Chloromycetin)Excessive weight loss after birthInfections: TORCHInfrequent feedingsMale genderPolycythemiaPrematurityPrevious sibling with hyperbilirubinemia

TORCH = toxoplasmosis, other viruses, rubella, cytomegalovirus, herpes (simplex) viruses. Information from references2,3, and4. Bilirubin Production and Newborns

Bilirubin is the final product of heme degradation. At physiologic pH, bilirubin is insoluble in plasma and requires protein binding with albumin. After conjugation in the liver, it is excreted in bile.3,57 Newborns produce bilirubin at a rate of approximately 6 to 8 mg per kg per day. This is more than twice the production rate in adults, primarily because of relative polycythemia and increased red blood cell turnover in neonates.7 Bilirubin production typically declines to the adult level within 10 to 14 days after birth.2 Bilirubin Toxicity Kernicterus refers to the neurologic consequences of the deposition of unconjugated bilirubin in brain tissue. Subsequent damage and scarring of the basal ganglia and brainstem nuclei may occur.5 The precise role of bilirubin in the development of kernicterus is not completely understood. If the serum unconjugated bilirubin level exceeds the binding capacity of albumin, unbound lipid-soluble bilirubin crosses the blood-brain barrier. Albumin-bound bilirubin may also cross the blood-brain barrier if damage has occurred because of asphyxia, acidosis, hypoxia, hypoperfusion, hyperosmolality, or sepsis in the newborn.3,8 The exact bilirubin concentration associated with kernicterus in the healthy term infant is unpredictable.1 Toxicity levels may vary among ethnic groups, with maturation of an infant, and in the presence of hemolytic disease. Although the risk of bilirubin toxicity is probably negligible in a healthy term newborn without hemolysis,9 the physician should become concerned if the bilirubin level is above 25 mg per dL (428 mol per L).1,3,10 In the term newborn with hemolysis, a bilirubin level above 20 mg per dL (342 mol per L) is a concern.1,3 The effects of bilirubin toxicity are often devastating and irreversible (Table 2).3,9 Early signs of kernicterus are subtle and nonspecific, typically appearing three to four days after birth. However, hyperbilirubinemia may lead to kernicterus at any time during the neonatal period.2 After the first week of life, the affected newborn begins to demonstrate late effects of bilirubin toxicity. If the infant survives the initial severe neurologic insult, chronic bilirubin encephalopathy (evident by three years of age) leads to developmental and motor delays, sensorineural deafness, and mild mental retardation. TABLE 2 Effects of Bilirubin Toxicity in Newborns Early Late Chronic Lethargy Irritability Athetoid cerebral palsy Poor feeding Opisthotonos High-frequency hearing loss High-pitched crySeizures Paralysis of upward gaze Hypotonia Apnea Dental dysplasia Oculogyric crisisMild mental retardation Hypertonia Fever

Information from references3 and9. Classification of Neonatal Hyperbilirubinemia The causes of neonatal hyperbilirubinemia can be classified into three groups based on mechanism of accumulation: bilirubin overproduction, decreased bilirubin conjugation, and impaired bilirubin excretion (Table 3).11

TABLE 3 Classification of Neonatal Hyperbilirubinemia Based on Mechanism of Accumulation Increased bilirubin load Decreased bilirubin conjugation Impaired bilirubin excretion Hemolytic causes Characteristics: increased unconjugated Characteristics: increased unconjugated Characteristics: increased unconjugated bilirubin level, normal percentage of and conjugated bilirubin level, negative bilirubin level, >6 percent reticulocytes, reticulocytesPhysiologic Coombs' test, conjugated bilirubin level hemoglobin concentration of <13 g per dL jaundiceCrigler-Najjar syndrome types of >2 mg per dL (34 mol per L) or (130 g per L)Coombs' test positive: Rh 1 and 2Gilbert >20% of total serum bilirubin level, factor incompatibility, ABO incompatibility, syndromeHypothyroidismBreast milk conjugated bilirubin in urineBiliary minor antigensCoombs' test negative: red jaundice obstruction: biliary atresia, choledochal blood cell membrane defects (spherocytosis, cyst, primary sclerosing cholangitis, elliptocytosis), red blood cell enzyme gallstones, neoplasm, Dubin-Johnson defects (G6PD deficiency, pyruvate kinase syndrome, Rotor's syndromeInfection: deficiency), drugs (e.g., sulfisoxazole acetyl sepsis, urinary tract infection, syphilis, with erythromycin ethylsuccinate toxoplasmosis, tuberculosis, hepatitis, (Pediazole), streptomycin, vitamin K), rubella, herpes Metabolic disorder: abnormal red blood cells alpha1 antitrypsin deficiency, cystic (hemoglobinopathies), sepsis fibrosis, galactosemia, glycogen Nonhemolytic causes storage disease, Gaucher's disease, Characteristics: increased unconjugated hypothyroidism, Wilson's disease, bilirubin level, normal percentage of Niemann-Pick diseaseChromosomal reticulocytesExtravascular sources: abnormality: Turner's syndrome, cephalohematoma, bruising, central nervous trisomy 18 and 21 syndromes Drugs: system hemorrhage, swallowed aspirin, acetaminophen, sulfa, alcohol, bloodPolycythemia: fetal-maternal rifampin (Rifadin), erythromycin, transfusion, delayed cord clamping, twincorticosteroids, tetracycline twin transfusionExaggerated enterohepatic circulation: cystic fibrosis, ileal atresia, pyloric stenosis, Hirschsprung's disease, breast milk jaundice

G6PD = glucose-6-phosphate dehydrogenase. Information from Siberry GK, Iannone R, eds. The Harriet Lane handbook: a manual for pediatric house officers. 15th ed. St. Louis: Mosby, 2000:2578. PHYSIOLOGIC JAUNDICE Physiologic jaundice in healthy term newborns follows a typical pattern. The average total serum bilirubin level usually peaks at 5 to 6 mg per dL (86 to 103 mol per L) on the third to fourth day of life and then declines over the first week after birth.2 Bilirubin elevations of up to 12 mg per dL, with less than 2 mg per dL (34 mol per L) of the conjugated form, can sometimes occur. Infants with multiple risk factors may develop an exaggerated form of physiologic jaundice in which the total serum bilirubin level may rise as high as 17 mg per dL (291 mol per L).3 Factors that contribute to the development of physiologic hyperbilirubinemia in the neonate include an increased bilirubin load because of relative polycythemia, a shortened erythrocyte life span (80 days compared with the adult 120 days), immature hepatic uptake and conjugation processes, and increased enterohepatic circulation.7 JAUNDICE AND BREASTFEEDING Early-Onset Breastfeeding Jaundice Breast-fed newborns may be at increased risk for early-onset exaggerated physiologic jaundice because of relative caloric deprivation in the first few days of life.12 Decreased volume and frequency of feedings may result in mild dehydration and the delayed passage of meconium. Compared with formula-fed newborns, breastfed infants are three to six times more likely to experience moderate jaundice (total serum bilirubin level above 12 mg per dL) or severe jaundice (total serum bilirubin level above 15 mg per dL [257 mol per L]).12,13 In a breastfed newborn with early-onset hyperbilirubinemia, the frequency of feedings needs to be increased to more than 10 per day. If the infant has a decline in weight gain, delayed stooling, and continued poor caloric intake, formula supplementation may be necessary, but breastfeeding should be continued to maintain breast milk production. Supplemental

water or dextrose-water administration should be avoided, as it decreases breast milk production and places the newborn at risk for iatrogenic hyponatremia.3,5,11 Late-Onset Breast Milk Jaundice Breast milk jaundice occurs later in the newborn period, with the bilirubin level usually peaking in the sixth to 14th days of life. This late-onset jaundice may develop in up to one third of healthy breastfed infants.1 Total serum bilirubin levels vary from 12 to 20 mg per dL (340 mol per L) and are nonpathologic. The underlying cause of breast milk jaundice is not entirely understood. Substances in maternal milk, such as glucuronidases, and nonesterified fatty acids, may inhibit normal bilirubin metabolism.5,7,14,15 The bilirubin level usually falls continually after the infant is two weeks old, but it may remain persistently elevated for one to three months. If the diagnosis of breast milk jaundice is in doubt or the total serum bilirubin level becomes markedly elevated, breastfeeding may be temporarily interrupted, although the mother should continue to express breast milk to maintain production. With formula substitution, the total serum bilirubin level should decline rapidly over 48 hours (at a rate of 3 mg per dL [51 mol per L] per day),1 confirming the diagnosis. Breastfeeding may then be resumed. PATHOLOGIC JAUNDICE All etiologies of jaundice beyond physiologic and breastfeeding or breast milk jaundice are considered pathologic. Features of pathologic jaundice include the appearance of jaundice within 24 hours after birth, a rapidly rising total serum bilirubin concentration (increase of more than 5 mg per dL per day), and a total serum bilirubin level higher than 17 mg per dL in a full-term newborn.3,5 Other features of concern include prolonged jaundice, evidence of underlying illness, and elevation of the serum conjugated bilirubin level to greater than 2 mg per dL or more than 20 percent of the total serum bilirubin concentration. Pathologic causes include disorders such as sepsis, rubella, toxoplasmosis, occult hemorrhage, and erythroblastosis fetalis. Diagnosis PHYSICAL EXAMINATION The presence of jaundice can be determined by examining the infant in a well-lit room and blanching the skin with digital pressure to reveal the color of the skin and subcutaneous tissue. Neonatal dermal icterus is not noticeable at total serum bilirubin levels below 4 mg per dL (68 mol per L).16 Increasing total serum bilirubin levels are accompanied by the cephalocaudal progression of dermal icterus, predictably from the face to the trunk and extremities, and finally to the palms and soles.16,17 The total serum bilirubin level can be estimated clinically by the degree of caudal extension: face, 5 mg per dL; upper chest, 10 mg per dL (171 mol per L); abdomen, 12 mg per dL; palms and soles, greater than 15 mg per dL. The only consistently reliable estimation of total serum bilirubin occurs when dermal icterus is confined to above the nipple line. In this situation, the bilirubin level is invariably below 12 mg per dL. As jaundice extends below the middle of the chest, the correlation between physical signs and measured bilirubin levels becomes increasingly unreliable. Differences in skin color among races, delays in dermal deposition with rapidly rising bilirubin levels, interobserver variability, and other factors contribute to the difficulty of accurately predicting the total serum bilirubin concentration based on caudal progression alone.18 The physical examination should focus on identifying one of the known causes of pathologic jaundice. The infant should be assessed for pallor, petechiae, extravasated blood, excessive bruising, hepatosplenomegaly, weight loss, and evidence of dehydration. LABORATORY EVALUATION The initial evaluation of jaundice depends on the age of the newborn (Figure 1).2 If the serum conjugated bilirubin level is above 2 mg per dL, the infant should be evaluated for possible hepatocellular disease or biliary obstruction.

Laboratory Evaluation of Term Newborn with Jaundice

FIGURE 1. Algorithm for the suggested evaluation of a term newborn with hyperbilirubinemia. Information from jaundice and hyperbilirubinemia in the newborn. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, eds. Nelson Textbook of pediatrics. 16th ed. Philadelphia: Saunders, 2000:51128. Management Studies on the toxic effects of hyperbilirubinemia historically involved infants with hemolytic disease. An increased incidence of kernicterus was found to be associated with total serum bilirubin levels above 20 mg per dL in the presence of hemolysis.19,20 This observation was the basis for aggressive guidelines recommending the use of exchange transfusion in all infants with significant hyperbilirubinemia. More recently, term infants without hemolysis have been found to tolerate higher total serum bilirubin levels,21 and management guidelines now focus primarily on phototherapy as initial treatment.1 Recommendations for the management of hyperbilirubinemia in healthy term newborns have been outlined by the American Academy of Pediatrics (Table 4).1 Jaundice in a term newborn fewer than 24 hours old is always pathologic: it should be investigated thoroughly and treated appropriately. Depending on the rate at which the bilirubin level rises, a newborn's risk of developing significant hyperbilirubinemia can be classified as low, intermediate, or high (Figure 2).22 With the assumption that the bilirubin level will continue to rise at the same rate, the physician can predict the potential further progression of the rise and calculate the number of days that the infant may be at risk for bilirubin toxicity. TABLE 4 Management of Hyperbilirubinemia in Healthy Term Newborns The rightsholder did not grant rights to reproduce this item in electronic media. For the missing item, see the original print version of this publication.

Bilirubin Levels and Risk of Significant Hyperbilirubinemia

FIGURE 2. Risk for significant hyperbilirubinemia in healthy term and near-term well newborns. Based on age-specific total serum bilirubin levels, the risk can be classified as high (above 95th percentile), intermediate (40th to 95th percentile), or low (below 40th percentile). Adapted with permission from Bhutani VK, Johnson L, Sivieri EM. Predictive ability of a predischarge hour-specific serum bilirubin for subsequent significant hyperbilirubinemia in healthy term and near-term newborns. Pediatrics 1999;103:614. Conjugated hyperbilirubinemia is never physiologic, and it may indicate the presence of a potentially serious underlying disorder. However, elevated conjugated bilirubin levels are not directly toxic to brain cells in the neonate.2 If jaundice persists for more than two weeks in a formula-fed infant and more than three weeks in a breastfed infant, further evaluation is warranted.1,7 Laboratory studies should include a fractionated bilirubin level, thyroid studies, evaluations for metabolic disorders or hemolytic disease, and an assessment for intestinal obstruction. Treatment Before treatment is initiated, the minimum evaluation should include the infant's age and postnatal course, a maternal and gestational history, physical examination of the infant, and determination of the total serum bilirubin level and the rate at which it is rising (Figure 2).22 PHOTOTHERAPY Phototherapy employs blue wavelengths of light to alter unconjugated bilirubin in the skin. The bilirubin is converted to less toxic water-soluble photoisomers that are excreted in the bile and urine without conjugation. The decision to initiate phototherapy is based on the newborn's age and total serum bilirubin level (Table 4).1 The efficacy of phototherapy depends on several important factors. The ideal configuration is four special blue bulbs (F20T12/BB) placed centrally, with two daylight fluorescent tubes on either side. The power output of the lights (irradiance) is directly related to the distance between the lights and the newborn.23 Ideally, all lights should be 15 to 20 cm from the infant.2 To expose the greatest surface area, the newborn should be naked except for eye shields. For double phototherapy, a fiber-optic pad can be placed under the newborn. This method is twice as effective as standard phototherapy.5 The only contraindication to the use of phototherapy is conjugated hyperbilirubinemia, as occurs in patients with cholestasis and hepatic disease. In this setting, phototherapy may cause a dark grayish-brown discoloration of the skin (bronze baby syndrome).2 Potential problems that may occur with phototherapy include burns, retinal damage, thermoregulatory

instability, loose stools, dehydration, skin rash, and tanning of the skin. Because phototherapy is continuous, treatment also involves significant separation of the infant and parents. With intensive phototherapy, the total serum bilirubin level should decline by 1 to 2 mg per dL (17 to 34 mol per L) within four to six hours.1,5 The bilirubin level may decline more slowly in breastfed infants (rate of 2 to 3 mg per dL per day) than in formula-fed infants.3 Phototherapy usually can be discontinued when the total serum bilirubin level is below 15 mg per dL.1 The average rebound bilirubin level after phototherapy is below 1 mg per dL. Therefore, hospital discharge of most infants does not have to be delayed to monitor for rebound elevation.24,25 If the total serum bilirubin level remains elevated after intensive phototherapy or if the initial bilirubin level is meets defined critical levels based on the infant's age (Table 4),1 preparations should be made for exchange transfusion. EXCHANGE TRANSFUSION Exchange transfusion is the most rapid method for lowering serum bilirubin concentrations. This treatment is rarely needed when intensive phototherapy is effective.1,26,27 The procedure removes partially hemolyzed and antibody-coated erythrocytes and replaces them with uncoated donor red blood cells that lack the sensitizing antigen. In the presence of hemolytic disease, severe anemia, or a rapid rise in the total serum bilirubin level (greater than 1 mg per dL per hour in less than six hours), exchange transfusion is the recommended treatment. Exchange transfusion should be considered in a newborn with nonhemolytic jaundice if intensive phototherapy fails to lower the bilirubin level.1 Complications of exchange transfusion can include air embolism, vasospasm, infarction, infection, and even death. Because of the potential seriousness of these complications, intensive phototherapy efforts should be exhausted before exchange transfusion is initiated.26

The Authors MEREDITH L. PORTER, CPT, MC, USA, is a staff family physician at Vicencza Army Health Clinic, Italy. Dr. Porter received her medical degree from Virginia Commonwealth University School of Medicine, Richmond, and completed a family practice residency at Dewitt Army Community Hospital, Fort Belvoir, Va. BETH L. DENNIS, MAJ, MC, USA, is a staff family physician and clinic director at Dewitt Army Community Hospital. She also serves as assistant professor of medicine at the Uniformed Services University of Health Sciences F. Edward Hbert School of Medicine, Bethesda, Md. Dr. Dennis received her medical degree from the University of Virginia School of Medicine, Charlottesville, and completed a family practice residency at Tripler Army Medical Center, Honolulu. Address correspondence to Meredith L. Porter, CMR 427, Box 3389, APO, AE 09630 (e-mail: meredith.porter@vcz.amedd.army.mil). Reprints are not available from the authors.

A. Definisi Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL. Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis, kecuali:

Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan. Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10 mg/dL. Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam. Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL. Ikterus menetap pada usia >2 minggu. Terdapat faktor risiko.

Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin dapat masuk ke jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya tanda-tanda klinis akibat deposit bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronik. Bentuk akut terdiri atas 3 tahap; tahap 1 (1-2 hari pertama): refleks isap lemah, hipotonia, kejang; tahap 2 (pertengahan minggu pertama): tangis melengking, hipertonia, epistotonus; tahap 3 (setelah minggu pertama): hipertoni. Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni, motorik terlambat. Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan, kehilangan pendengaran sensorial. B. Epidemiologi Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama. Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia. Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%. Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual. C. Etiologi dan Faktor Risiko 1. Etiologi Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:

Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek. Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) -> penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi. Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim -> glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.

Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:

Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat. Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin. Polisitemia. Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir. Ibu diabetes. Asidosis. Hipoksia/asfiksia. Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

2. Faktor Risiko Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum: a. Faktor Maternal

Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani) Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh) Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik. ASI

b.

Faktor Perinatal

Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis) Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

c.

Faktor Neonatus

Prematuritas Faktor genetik Polisitemia Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol) Rendahnya asupan ASI Hipoglikemia Hipoalbuminemia

D. Patofisiologi Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu. 1. Ikterus fisiologis Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL. Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

Gambar berikut menunjukan metabolisme pemecahan hemoglobin dan pembentukan bilirubin.

2. Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk jaundice) Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah. Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus meskipun ada peningkatan kadar bilirubin. E. Penegakan Diagnosis 1. Visual Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut. WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:

Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang. Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan. Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning. (tabel 1)

2. Bilirubin Serum Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil) Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.

3. Bilirubinometer Transkutan Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa. Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin

transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis. Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB. Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin. 4. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah. Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya dengan metode oksidaseperoksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah. Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin. Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus Usia Kuning terlihat pada Tingkat keparahan ikterus Berat Hari 1 Bagian tubuh manapun Hari 2 Tengan dan tungkai * Hari 3 Tangan dan kaki * Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar.

F. Tata laksana 1. Ikterus Fisiologis Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:

Minum ASI dini dan sering Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol lebih cepat (terutama bila tampak kuning).

Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar. Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)

Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat. Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis

Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:

Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi sinar. Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar, lakukan terapi sinar Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila memungkinkan.

Tentukan diagnosis banding

2. Tata laksana Hiperbilirubinemia Hemolitik Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus atau golongan darah ABO antara bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada bayi. Tata laksana untuk keadaan ini berlaku untuk semua ikterus hemolitik, apapun penyebabnya.

Bila nilai bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan terapi sinar. Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar memungkinkan:

Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi tukar, kadar hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%) dan tes Coombs positif, segera rujuk bayi. Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak memungkinkan untuk dilakukan tes Coombs, segera rujuk bayi bila ikterus telah terlihat sejak hari 1 dan hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%). Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:

Persiapkan transfer. Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter dengan fasilitas transfusi tukar. Kirim contoh darah ibu dan bayi. Jelaskan kepada ibu tentang penyebab bayi menjadi kuning, mengapa perlu dirujuk dan terapi apa yang akan diterima bayi.

Nasihati ibu:

Bila penyebab ikterus adalah inkompatibilitas Rhesus, pastikan ibu mendapatkan informasi yang cukup mengenai hal ini karena berhubungan dengan kehamilan berikutnya. Bila bayi memiliki defisiensi G6PD, informasikan kepada ibu untuk menghindari zat-zat tertentu untuk mencegah terjadinya hemolisis pada bayi (contoh: obat antimalaria, obat-obatan golongan sulfa, aspirin, kamfer/mothballs, favabeans). Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit < 30%), berikan transfusi darah. Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi cukup bulan atau 3 minggu lebih lama pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum kehamilan 37 minggu), terapi sebagai ikterus berkepanjangan (prolonged jaundice). Follow up setelah kepulangan, periksa kadar hemoglobin setiap minggu selama 4 minggu. Bila hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit < 24%), berikan transfusi darah.

Ikterus Berkepanjangan (Prolonged Jaundice)

Diagnosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2 minggu pada neonatus cukup bulan, dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan. Terapi sinar dihentikan, dan lakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab. Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap, persiapkan kepindahan bayi dan rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus untuk evaluasi lebih lanjut, bila memungkinkan. Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis kongenital.

Mengenai penatalaksanaan dengan terapi sinar dan transfusi tukar selengkapnya dimuat terpisah.

G. Efek Hiperbilirubinemia Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan kerusakan sel-sel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat menghambat enzim-enzim mitokondria serta mengganggu sintesis DNA. Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli saraf. Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap jaringan. Ensefalopati bilirubin Ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditata laksana dengan benar dapat menimbulkan komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya asam bilirubin bebas dengan lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak dan serebelum yang menyebabkan kematian sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan kerusakan pada sawar darah otak. Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa masuk ke dalam cairan ekstraselular. Sejauh ini hubungan antara peningkatan kadar bilirubin serum dengan ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada studi yang mendapatkan nilai spesifik bilirubin total serum pada bayi cukup bulan dengan hiperbilirubinemia non hemolitik yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada kecerdasan atau kerusakan neurologik yang disebabkannya. Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain: konsentrasi albumin serum, ikatan albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke dalam otak, dan kerawanan sel otak menghadapi efek toksik bilirubin. Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah peristiwa yang tidak biasa ditemukan sekalipun pada bayi prematur dan kadar albumin serum yang sebelumnya diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena ensefalopati bilirubin. Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan mengalami kerusakan otak permanen dengan manifestasi berupa serebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan mental atau hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan perceptual motor disorder. H. Pencegahan Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat inkompatibilitas ABO sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan beberapa langkah pencegahan hiperbilirubinemia sebagai berikut: 1. Primer AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama. Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui dan dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang baik. AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum. 2. Sekunder Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko tinggi ikterus neonatorum. Pemeriksaan Golongan Darah Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan golongan darah dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.

Penilaian Klinis Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala untuk mengawasi terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tata laksana ikterus. Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital lain. Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi sehingga memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam ruangan yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari. Penilaian ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku pada bayi kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di bagian wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas.

Referensi: 1. Health Technology Assessment Unit Medical Development Division Ministry of Health Malaysia, 2002. Management of neonatal hyperbilirubinemia. 2. Masukan berdasarkan hasil rapat tim ahli HTA Indonesia. 3. Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. N Engl J Med 2001;344:581-90. 4. Suradi R, Situmeang EH, Tambunan T. The association of neonatal jaundice and breast-feeding. Paedatr Indones 2001;41:69-75. 5. Laporan RS Dr. Sardjito Yogyakarta. 6. Laporan RS Dr. Kariadi Semarang. 7. Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and midwives. Departement of Reproductive Health and Research, World Health Organization, Geneva 2003. 8. Briscoe L, Clark S. Yoxall CW. Can transcutaneous bilirubinometry reduce the need for blood tests in jaundiced full term babies? Arch Dis Child Fetal Neonatal 2002;86:F190-2. 9. Suresh GK, Clark RE. Cost-effectiveness of strategies that are intended to prevent kernicterus in newborn infants. Pediatrics 2004;114:917-24. 10. Surjono A. Hiperbilirubinemia pada neonatus:pendekatan kadar bilirubin bebas. Berkala Ilmu Kedokteran 1995;27:43-6. 11. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care, 5th edition. Philadelphia, Lippincott Williams and Wilkins;2004,185-222. 12. Masukan Dr. Ali Usman, SpA(K) 13. American Academy of Pediatrics. Clinical Practice Guideline. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004;114:297-316. Metabolisme bilirubin pada neonatus Sel darah merah pada neonatus berumur sekitar 70-90 hari, lebih pendek dari pada sel darah merah orang dewasa, yaitu 120 hari. Secara normal pemecahan sel darah merah akan menghasilkan heme dan globin. Heme akan dioksidasi oleh enzim heme oksigenase menjadi bentuk biliverdin (pigmen hijau). Biliverdin bersifat larut dalam air. Biliverdin akan mengalami proses degradasi menjadi bentuk bilirubin. Satu gram hemoglobin dapat memproduksi 34 mg bilirubin. Produk akhir dari metabolisme ini adalah bilirubin indirek yang tidak larut dalam air dan akan diikat oleh albumin dalam sirkulasi darah yang akan mengangkutnya ke hati . Bilirubin indirek diambil dan dimetabolisme di hati menjadi bilirubin direk. Bilirubin direk akan diekskresikan ke dalam sistem bilier oleh transporter spesifik. Setelah diekskresikan oleh hati akan disimpan di kantong empedu berupa empedu. Proses minum akan merangsang pengeluaran empedu ke dalam duodenum. Bilirubin direk tidak diserap oleh epitel usus tetapi akan dipecah menjadi sterkobilin dan urobilinogen yang akan dikeluarkan melalui tinja dan urin. Sebagian kecil bilirubin direk akan didekonjugasi oleh -glukoronidase yang ada pada epitel usus menjadi bilirubin indirek. Bilirubin indirek akan diabsorpsi kembali oleh darah dan diangkut kembali ke hati terikat oleh albumin ke hati, yang dikenal dengan sirkulasi enterohepatik. Bayi baru lahir dapat mengalami hiperbilirubinemia pada minggu pertama kehidupannya berkaitan dengan: (1) meningkatnya produksi bilirubin (hemolisis) (2), kurangnya albumin sebagai alat pengangkut (3) penurunan uptake oleh hati, (4) penurunan konjugasi bilirubin oleh hati, (5) penurunan ekskresi bilirubin, dan (6) peningkatan sirkulasi enterohepatik. Hiperbilirubinemia yang berhubungan dengan pemberian ASI Keberhasilan proses menyusui ditentukan oleh faktor ibu dan bayi. Hambatan pada proses menyusui dapat terjadi karena produksi ASI yang tidak cukup, atau ibu kurang sering memberikan kesempatan pada bayinya untuk menyusu. Pada beberapa bayi dapat terjadi gangguan menghisap. Hal ini mengakibatkan proses pengosongan ASI menjadi tidak efektif. ASI yang tertinggal di dalam payudara ibu akan menimbulkan umpan balik negatif sehingga produksi ASI menurun. Gangguan menyusui pada ibu dapat terjadi preglandular (defisiensi serum prolaktin, retensi plasenta), glandular (jaringan kelenjar mammae yang kurang baik, riwayat keluarga, post mamoplasti reduksi), dan yang paling sering gangguan postglandular (pengosongan ASI yang tidak efektif).

Hiperbilirubinemia yang berhubungan dengan pemberian ASI dapat berupa breastfeeding jaundice (BFJ) dan breastmilk jaundice (BMJ). Perbedaannya dapat dilihat pada Tabel 1. Bayi yang mendapat ASI eksklusif dapat mengalami hiperbilirubinemia yang dikenal dengan BFJ. Penyebab BFJ adalah kekurangan asupan ASI. Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu ASI belum banyak. Breastfeeding jaundice tidak memerlukan pengobatan dan tidak perlu diberikan air putih atau air gula. Bayi sehat cukup bulan mempunyai cadangan cairan dan energi yang dapat mempertahankan metabolismenya selama 72 jam. Pemberian ASI yang cukup dapat mengatasi BFJ. Ibu harus memberikan kesempatan lebih pada bayinya untuk menyusu. Kolostrum akan cepat keluar dengan hisapan bayi yang terus menerus. ASI akan lebih cepat keluar dengan inisiasi menyusu dini dan rawat gabung. Breastmilk jaundice mempunyai karakteristik kadar bilirubin indirek yang masih meningkat setelah 4-7 hari pertama. Kondisi ini berlangsung lebih lama daripada hiperbilirubinemia fisiologis dan dapat berlangsung 3-12 minggu tanpa ditemukan penyebab hiperbilirubinemia lainnya. Penyebab BMJ berhubungan dengan pemberian ASI dari seorang ibu tertentu dan biasanya akan timbul pada setiap bayi yang disusukannya. Semua bergantung pada kemampuan bayi tersebut dalam mengkonjugasi bilirubin indirek (bayi prematur akan lebih berat ikterusnya). Penyebab BMJ belum jelas, beberapa faktor diduga telah berperan sebagai penyebab terjadinya BMJ. Breastmilk jaundise diperkirakan timbul akibat terhambatnya uridine diphosphoglucoronic acid glucoronyl transferase (UDPGA) oleh hasil metabolisme progesteron yaitu pregnane-3-alpha 20 beta-diol yang ada dalam ASI ibuibu tertentu. Pendapat lain menyatakan hambatan terhadap fungsi glukoronid transferase di hati oleh peningkatan konsentrasi asam lemak bebas yang tidak di esterifikasi dapat juga menimbulkan BMJ. Faktor terakhir yang diduga sebagai penyebab BMJ adalah peningkatan sirkulasi enterohepatik. Kondisi ini terjadi akibat (1) peningkatan aktifitas beta-glukoronidase dalam ASI dan juga pada usus bayi yang mendapat ASI, (2) terlambatnya pembentukan flora usus pada bayi yang mendapat ASI serta (3) defek aktivitas uridine diphosphateglucoronyl transferase (UGT1A1) pada bayi yang homozigot atau heterozigot untuk varian sindrom Gilbert.

Anda mungkin juga menyukai