Anda di halaman 1dari 23

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di unit gawat darurat suatu rumah sakit. No head injury is so serious that it should be despaired of, nor so trivial as to be lightly ignored, menurut Hippocrates bahwa tidak ada cedera kepala yang perlu dikhawatirkan serius yang bisa kita putus harapan dan tidak ada juga keluhan yang dapat kita abaikan. Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan kematian (CDC, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh National Trauma Project di Islamic Republic of Iran bahwa diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7% trauma kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh trauma kepala (Karbakhsh, Zandi, Rouzrokh, Zarei, 2009). Rata-rata rawat inap pada lelaki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa trauma kepala sebanyak 146,3 per100.000 dan 158,3 per100.000 (Thomas, 2006). Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu sebanyak 26,9 per100.000 dan 1,8 per100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun ke atas, kematian akibat trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di Amerika yang mangalami trauma kepala akibat terjatuh (CDC, 2005). Menurut Kraus (1993), dalam penelitiannya ditemukan bahwa anak remaja hingga dewasa muda mengalami cedera kepala akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat kekerasan sedangkan

orang yang lebih tua cenderung mengalami trauma kepala disebabkan oleh terjatuh. Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan dan terjatuh (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Pejalan kaki yang mengalami tabrakan kendaraan bermotor merupakan penyebab trauma kepala terhadap pasien anak-anak bila dibandingkan dengan pasien dewasa (Adeolu, Malomo, Shokunbi, Komolafe dan Abio, 2005). Estimasi sebanyak 1,9 juta hingga 2,3 juta orang menerima perawatan kecederaan yang tidak fatal akibat kekerasan (Rosenberg, Fenley, 1991). Menurut Akbar (2000), insiden trauma kepala pada tahun 1995 sampai 1998 terdiri dari tiga tingkat keparahan trauma kepala yaitu trauma kepala ringan sebanyak 60,3% (2463 kasus), trauma kepala sedang sebanyak 27,3% (1114 kasus) dan trauma kepala berat sebanyak 12,4% (505 kasus). Kematian akibat trauma kepala mencatatkan sebanyak 11% berjumlah 448 kasus. Angka kejadian trauma kepala pada tahun 2004 dan 2005 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), FKUI mencatat sebanyak 1426 kasus (Akbar, 2000). Pada kesempatan ini , kami akan membahas asuhan keperawatan khususnya di instalasi gawat darurat yaitu trauma capitis. 1.2. TUJUAN 1.1.1. Tujuan Umum Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada masalah keperawatan gawat darurat dengan trauma capitis yang holistik dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan sesuai dengan kondisi klien. 1.1.2. Tujuan khusus

1. Mahasiswa mampu menerapkan pengkajian pada klien dengan

Trauma capitis sesuai dengan kondisi klien.


2. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada

klien dengan Trauma capitis sesuai dengan kondisi klien.


3. Mahasiswa mampu melakukan intervensi keperawatan pada

klien dengan Trauma capitis sesuai dengan kondisi klien.


4. Mahasiswa mampu melakukan implementasi keperawatan pada

klien dengan Trauma capitis sesuai dengan kondisi klien. 5. Mahasiswa mampu mengevaluasi dari proses keperawatan yang dilakukan sesuia dengan kondisinya. 1.2. MANFAAT 1. Bagi Mahasiswa Dari askep ini akan menyediakan informasi yang sangat berguna untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa mengenai proses kegawat daruratan yaitu Trauma capitis. 2. Bagi STIK Bina Husada Palembang Untuk pendidikan keperawatan, informasi yang didapat dari askep ini akan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi pengembangan pembelajaran asuhan keperawatan gawat darurat dengan Trauma capitis.

BAB II TINJAUAN TEORITIS


2.1. DEFINISI Trauma kepala (capitis) adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001) 2.2. KLASIFIKASI Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG): 2.2.1. Minor (Biasa) SKG 13 15 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.

2.2.2. Sedang SKG 9 12 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak. 2.2.3. Berat SKG 3 8 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
4

Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

2.3. ETIOLOGI
Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan

mobil.
Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.

Cedera akibat kekerasan. 2.4. MANISFESTASI KLINIS 1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih 2. Kebungungan 3. Iritabel 4. Pucat 5. Mual dan muntah 6. Pusing kepala 7. Terdapat hematoma 8. Kecemasan 9. Sukar untuk dibangunkan
10.

Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar

dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal. 2.5. ANATOMI FISIOLOGI

Otak merupakan satu alat tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat komputer dari semua alat tubuh. Otak terdapat dalam rongga tengkorak yang melindungi otak dari cedera. Berdasarkan daerah atau lobusnya otak terbagi menjadi 4 lobus yaitu : frontalis (untuk berpikir) temporalis (menerima sensasi yang datang dari telinga), parietalis (sensasi perabaan, perubahan temperatur) oksipitalis (menerima sensasi dari mata). Otak selain dilindungi oleh tengkorak juga dilindungi selaput yang disebut munigen berupa jaringan serabut penghubung yang melindungi, mendukung dan memelihara otak. Munigen terdiri dari 3 lapisan yaitu: 1. Durameter Membran luar yang liat, tebal, tidak elastis.Dura melekat erat dengan permukaan dalam tengkorak oleh karena bila dura robek dan tidak segera diperbaiki dengan sempurna maka akan timbul berbagai masalah. Dura mempunyai aliran darah yang kaya. Bagian tengah dan posterior di suplay oleh arteri munigen yang bercabang dari arteria karotis interna dan menyuplay fasa arterior arteria munigen yaitu cabang dari arteria oksipitalis menyuplay darah ke fasa posterior.
6

2.

Araknoid Merupakan bagian membran tengah bersifat tipis, halus, elastis dan menyerupai sarang laba-laba. Membran ini berwarna putih karena tidak dialiri darah. Pada dinding araknoid terdapat pleksus khoroid yng bertanggung jawab memproduksi cairan serebrospinal (CSS). Terdapat juga membran araknoid villi yang mengabsorbsi CSS. Pada orang dewasa normal CSS yang diproduksi 500 ml perhari, tetapi 150 ml diabsorbsi oleh villi.

3. 4.

Piamater Membran yang paling dalam, berupa dinding yang tipis, transparan yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah otak dan sangat kaya dengan pembuluh darah. Otak merupakan organ kompleks yang dominasi cerebrum. Otak

merupakan struktur kembar yaitu lateral simetris dan terdiri dari 2 bagian yang disebut hemisferium. Belahan kiri dari cerebrum berkaitan dengan sisi kanan tubuh dan belahan kanan cerebrum berkaitan dengan sisi kiri tubuh. Otak terbagi menjadi 3 bagian besar :

1.

Cerebrum (otak besar) Serebrum terdiri dari dua hemisfer dan empat lobus. Substansia grisea terdapat pada bagian luar dinding serebrum dan substansia alba menutupi dinding serebrum bagian dalam. Pada prinsipnya komposisi substansia grisea yang terbentuk dari badan-badan sel saraf memenuhi kortex serebri, nukleus dan basal gangglia. Substansia alba terdiri dari sel-sel syaraf yang menghubungkan bagianbagian otak yang lain. Sebagian besar hemisfer serebri (telesefalon) tensi jaringan SSP. Area inilah yang

mengontrol fungsi motorik tertinggi yaitu terhadap fungsi individu dan intelegensia. 2. Batang otak (trunkus serebri), terdiri dari :

Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat di antara (mengecilkan pembuluh darah), respiratory

serebelum dan mesensepalon. Diensepalon berfungsi untuk vasokontruktor (membantu proses pernapasan), mengontrol kegiatan reflek dan membantu pekerjaan jantung.

Mesensefalon, berfungsi sebagai membantu pergerakan mata

dan mengangkat kelopak mata, memutar mata dan pusat pergerakan mata.

Pons varoli, sebagai penghubung antara kedua bagian

serebellum dan juga medula oblongata dengan serebellum pusat saraf nervus trigeminus.

Medula oblongata, bagian batang otak yang paling bawah yang

berfungsi untuk mengontrol pekerjaan jantung, mengecilkan pembuluh darah, pusat pernapasan dan mengontrol kegiatan refleks.

Serebelum

Terletak dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh duramater yang menyerupai atap tenda yaitu tentoreum yang memisahkan dari bagian posterior serebrum. Semua aktivitas serebrum berada dibawah kesadaran fungsi utamanya adalah sebagai pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot, serta mengubah tenus-tenus kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh.

Diensefalon

Istilah yang digunakan untuk menyatakan struktur-struktur disekitar vertikel dan membentuk inti bagian dalam serebrum. Diensefalon

memproses rangsang sensorik dan membantu memulai atau memodifikasi reaksi tubuh terhadap rangsang-rangsang tersebut. Diensefalon dibagi menjadi 4 wilayah yaitu : 1. Talamus

Berfungsi sebagai pusat sensorik primitif (dapat

merasakan nyeri, tekanan, rabaan getar dan suhu yang ekstrim secara samar-samar).

Berperan penting dalam integrasi ekspresi motorik oleh

karena hubungan fungsinya terhadap pusat motorik utama dalam korteks motorik serebri, serebelum dan gangglia basalis. Hipotalamus Letak dibawah talamus
1. Hipotalamus berkaitan dengan pengaturan rangsangan

dari sistem susunan saraf otonom perifer yang menyertai ekspresi tingkah laku dan emosi.
2. Berperan penting dalam pengaturan hormon (hormon

anti diuretik dan okstoksin disintesis dalam nukleus yang terletak dalam hipotalamus).
3. Pengaturan cairan tubuh dan susunan elektrolit, suhu

tubuh, fungsi endokrin dari tingkah laku seksual dn reproduksi normal dan ekspresi ketenangan atau kemarahan, lapar dan haus.
4. Subtalamus

Merupakan nukleus ekstrapiramidal diensefalon yang penting fungsinya belum dapat dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi pada subtalamus dapat menimbulkan diskinesia dramatis yang disebut hemibalismus.

5. Epitalamus Berupa pita sempit jaringan saraf yang membentuk atap diensefalon. Epitalamus berhubungan dengan sistem limbik dan agaknya berperan pada beberapa dorongan olfaktorius. 2.6. PATOFISIOLOGI Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. emosi dasar dan ingarasi informasi

10

Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala fokal dan menyebar sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya 2.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. CT Scan (dengan atau tanpa kontras) Mengidentifikasi adanya perdarahan, menentukan ukuran vertikel, pergeseran jaringan otak.
2. MRI (Magnetik Resonance Imaging)

Sama dengan CT Scan dengan atau tanpa kontral


3. PET (Positron Emission Tomography) menunjukkan perubahan

aktivitas metabolisme otak.


4. Echoencephalograpi

: melihat keberadaan dan berkembangnya

gelombang patologis.
5. Fungsi lumbal/listernograpi : dapat menduga kemungkinan adanya

perdarahan subarachnoid.
6. X-ray : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang, pergeseran

struktur dari garis tengah, adanya frakmen tulang.


7. Cek elektrolit darah : untuk mengetahui ketidakseimbangan yang

berperan dalam peningkatan TIK.


8. Analisa Gas Darah : untuk mendeteksi jumlah ventilasi dan

oksigenisasi.
11

9. EEG : untuk melihat aktifitas dan hantaran listrik di otak. 10.

Pneumoenchephalografi dengan memasukkan udara ke dalam

ruangan otak apakah ada penyempitan. 11.Darah lengkap untuk mengetahui kekuatan hemoglobin dalam mengikat O2. 2.8. PENATALAKSANAAN Pengobatan yang diberikan pada pasien trauma kapitis : 1. Pengobatan konservatif Bedrest total di RS Antikonvulsan kejang) Diuretik (anti
Corticosteroid

(mengurangi edema) Barbiturat (penenang) Antibiotik (mencegah infeksi)


Analgetik

(mengurangi

rasa

takut). 2. Tindakan observatif Observasi pernapasan Monitor tekanan intrakranial Monitor cairan elektrolit Monitor tanda-tanda vital
3. Tindakan operatif bila ada indikasi.

2.9. KOMPLIKASI Komplikasi yang dapat timbul pada pasien yang mengalami trauma kapitis yaitu:
1. Shock disebabkan karena banyaknya darah yang hilang atau rasa sakit

hebat. Bila kehilangan lebih dari 50% darah dapat mengakibatkan kematian.
2. Peningkatan tekanan intrakranial, terjadi pada edema cerebri dan hematoma

dalam tulang tengkorak.

12

3. Meningitis, terjadi bila ada luka di daerah otak yang ada hubungannya

dengan luar.
4. Infeksi/kejang, terjadi bila disertai luka pada anggota badan atau adanya

luka pada fraktur tulang tengkorak. 5. Edema pulmonal akibat dari cedera pada otak yang menyebabkan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sebagai respon dari sistem saraf simpatis pada peningkatan TIK. Peningkatan vasokontriksi tubuh ini menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah paru berperan dalam proses memungkinkan cairan berpindah ke dalam alveolus. 2.10. ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian. Pemeriksaan fisik Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik) Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK Sistem saraf : Kesadaran GCS. Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.

13

Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang. Sistem pencernaan Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar tanyakan pola makan? Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan. Retensi urine, konstipasi, inkontinensia. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis. Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.

B. Diagnosa Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah: 1. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.

14

2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial. 3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran. 4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah. 5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial. 6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala. 7. Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala. 8. Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala. 9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.

C. Intervensi Keperawatan Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial. Tujuan : Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal. Intervensi :
15

Kaji Airway, Breathing, Circulasi. Kaji anak, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra. Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan pengisapan lendir. Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas. Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 30 derajat. Pemberian oksigen sesuai program. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial. Tujuan : Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Intervensi : Tinggikan posisi kepala 15 30 derajat dengan posisi midline untuk menurunkan tekanan vena jugularis. Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi kepala, valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau suction, perkusi).
16

tekanan pada vena leher. pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan kompresi pada vena leher). Bila akan memiringkan anak, harus menghindari adanya tekukan pada anggota badan, fleksi (harus bersamaan). Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver. Hindari tangisan pada anak, ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan therapeutic, hindari percakapan yang emosional. Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial sesuai program. Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat meningkatkan edema serebral. Monitor intake dan out put. Lakukan kateterisasi bila ada indikasi. Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan pemenuhan nutrisi. Libatkan orang tua dalam perawatan anak dan jelaskan hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran. Tujuan : Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur
17

bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu. Intervensi : Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan minum, mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan kebersihan perseorangan. Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi. Perawatan kateter bila terpasang. Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan BAB. Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah. Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal. Intervensi : Kaji intake dan out put. Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine. Berikan cairan intra vena sesuai program.

18

Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial. Tujuan : Anak terbebas dari injuri. Intervensi : Kaji status neurologis anak: perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan kejang. Kaji tingkat kesadaran dengan GCS Monitor tanda-tanda vital anak setiap jam atau sesuai dengan protokol. Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan. Berikan analgetik sesuai program. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala. Tujuan : Anak akan merasa nyaman yang ditandai dengan anak tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal. Intervensi : Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin. Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri. Kurangi rangsangan. Pemberian obat analgetik sesuai dengan program. Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
19

Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri. Tujuan : Anak akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam batas normal, tidak ada pus dari luka, leukosit dalam batas normal. Intervensi : Kaji adanya drainage pada area luka. Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh. Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati. Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit kepala, demam, muntah dan kenjang. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala. Tujuan : Anak dan orang tua akan menunjukkan rasa cemas berkurang yang ditandai dengan tidak gelisah dan orang tua dapat mengekspresikan perasaan tentang kondisi dan aktif dalam perawatan anak. Intervensi : Jelaskan pada anak dan orang tua tentang prosedur yang akan dilakukan, dan tujuannya. Anjurkan orang tua untuk selalu berada di samping anak. Ajarkan anak dan orang tua untuk mengekspresikan perasaan. Gunakan komunikasi terapeutik.
20

Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi. Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda gangguan integritas kulit yang ditandai dengan kulit tetap utuh. Intervensi : Lakukan latihan pergerakan (ROM). Pertahankan posisi postur tubuh yang sesuai. Rubah posisi setiap 2 jam sekali atau sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak. Kaji area kulit: adanya lecet. Lakukan back rub setelah mandi di area yang potensial menimbulkan lecet dan pelan-pelan agar tidak menimbulkan nyeri.

21

BAB III PENUTUP


3.1. KESIMPULAN Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak. Klasifikasi cedera kepala meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala terbuka yang diakibatkan oleh mekanisme cedera yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi). Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral, laserasi atau hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma kepala menyebabkan berkurangnya kemampuan autoregulasi pang pada akhirnya menyebabkan terjadinya hiperemia (peningkatan volume darah dan PTIK). Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya cedera fokal serta cedera otak menyebar yang berkaitan dengan kerusakan otak menyeluruh. Komplikasi dari trauma kepala adalah hemorragi, infeksi, odema dan herniasi. Penatalaksanaan pada pasien dengan trauma kepala adalah dilakukan observasi dalam 24 jam, tirah baring, jika pasien muntah harus dipuasakan terlebih dahulu dan kolaborasi untuk pemberian program terapi serta tindakan pembedahan.

22

DAFTAR PUSTAKA Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2000. Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC; 1996. Kadek Wahyu Adi Putra. 2012. Di akses pada tanggal 05 september 2012, di situs : http://sixxmee.blogspot.com/2012/03/askep-gadar-dengan-cidera-kepala.html. K Veni . 2011. Di akses pada tanggal 05 september 2012, di situs : http:// repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25734/4/Chapter%20I.pdf Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I. Jakarta: CV Sagung Seto; 2001. Sulanty. 2011. Diakses tanggal 05 sepetember 2012, di situs : http://sulantyballaskepns.blogspot.com/2011/10/askep-trauma-capitis.html Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.

23

Anda mungkin juga menyukai