Anda di halaman 1dari 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Persuteraan Alam Budi daya ulat sutera jenis Bombyx mori (Lepidoptera, Bombycidae) sudah dikembangkan di negara China sejak 2500 tahun SM, yakni pada era Dinasti Han. Benang dan kain sutera yang berasal dari ulat jenis ini telah menjadi produk unggulan yang dibanggakan oleh negara China, sekaligus bagian dari kegiatan atau budaya masyarakat di negara tersebut. Selain di China, budi daya ulat sutera B. mori juga sudah berkembang pesat di Jepang (abad ke-2), di India dan Korea (abad ke-3), di Italia dan Prancis (abad ke-16), serta Inggris (abad ke-17) (Solihin 2010). Di Indonesia, perkembangan sutera juga sudah lama berlangsung, yakni dimulai pada abad ke-10. Awalnya, kegiatan perdagangan sutera di Indonesia dilakukan secara langsung oleh negara China dan India. Hal ini membuat pemanfaatan sutera mengalami perkembangan di wilayah Nusantara, terutama di daerah Sulawesi dan berlanjut hingga masa pendudukan Belanda. Sejak tahun 1922 hingga periode pendudukan Jepang, ulat sutera B. mori berkembang baik di beberapa daerah, terutama pada ketinggian 1000-5000 kaki dpl, misalnya di Garut (Jawa Barat), Solo (Jawa Tengah), Curup (Bengkulu), dan Pematang Siantar (Sumatera Utara).

2.2

Usaha Persuteraan Alam Pada dasarnya kegiatan persuteraan alam adalah kegiatan agroindustri yang

merupakan bagian dari kegiatan perhutanan sosial, terdiri dari beberapa kegiatan antara lain: budidaya tanaman murbei, pembibitan ulat sutera, pemeliharaan ulat sutera, pengendalian hama dan penyakit tanaman murbei dan ulat sutera, pemanenan kokon, pemintalan benang sutera dan pertenunan kain sutera (BPA 2007). Menurut Saifullah (2004), kegiatan persuteraan alam di Kebun Wanatani Sutera Cibidin, Sukabumi meliputi tiga tahap yaitu budidaya murbei, pemeliharaan ulat sutera, dan pemintalan benang. Kegiatan budidaya murbei

meliputi tahapan mulai dari pengolahan lahan, penanaman bibit yang dapat berupa stek, pemeliharaan tanaman, hingga pemanenan daun. Kegiatan budidaya murbei bertujuan sebagai sumber bahan pakan bagi kegiatan pemeliharaan ulat sutera. Kegiatan pemeliharaan ulat sutera sendiri dimulai dari persiapan pemeliharaan, penetasan telur, pemeliharaan ulat kecil, pemeliharaan ulat besar, pengokonan, hingga pemanenan kokon. Kokon yang sudah dipanen diseleksi terlebih dahulu baru kemudian direbus sebelum dilakukan pemintalan I (reeling) dan Pemintalan II (re-reeling).

2.2.1 Budidaya Murbei Tanaman murbei (Morus sp.) termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, subdivisio Angiospermae, classis Dicotyledonae, ordo Urticalis, familia Moraceae, genus Morus, species Morus sp. (Samsijah 1974). Tanaman murbei merupakan perdu atau semak, tetapi ada pula yang merupakan pohon tinggi bila dibiarkan. Umumnya bercabang banyak, percabangan tegak atau mendatar. Cabang dan ranting umumnya berbentuk bulat, warna hijau abu-abu, putih agak coklat ataupun ungu. Bentuk daun oval, ovulus atau sub orbiculair. Tepi daun bergerigi, bergigi, beringgit, bercangap berlekuk atau tidak. Ujung daun meruncing. Permukaan atas licin sedikit atau tidak berbulu, berwarna hijau tua atau suram, sedang permukaan bawah hijau suram, dan kasar. Tangkai daun umumnya bulat berwarna hijau putih atau ungu. Mempunyai daun penumpu, lekas gugur dengan meninggalkan bekas. Tumbuhan berumah satu atau dua dan buah majemuk. Menurut Katsumata (1972, dalam Samsijah 1974) dikenal beberapa jenis tanaman murbei, yaitu: 1. Morus nigra Linn. 2. M. alba Linn. 3. M. alba L.var. tartarica 4. M. alba L.var. macrophylla 5. M. multicaulis. 6. M. cathayana. 7. M. australis.

Disamping itu juga dijumpai jenis M. bombycis koidz, Morus sp. (sering disebut jenis x), Morus sp. (berasal dari tengger) dan M. macroura. Berdasarkan kebutuhan ulat sutera perlu diketahui bahwa untuk memelihara ulat kecil (stadia 1 3) dibutuhkan daun murbei yang masih muda tetapi yang tidak terlalu lembek, jadi daun daun pucuk apalagi di musim hujan sebaiknya tidak dipakai. Untuk memelihara ulat besar (stadia 4 mengokon) dibutuhkan daun murbei yang cukup tua asal tidak terlalu keras atau kering. Hamamura (2001) menyatakan bahwa pada daun murbei terdapat attracting factor, biting factor, dan swallowing factor yang mempengaruhi perilaku makan ulat sutera. Komposisi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku makan ulat sutera disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Komposisi faktor yang menyebabkan perilaku makan ulat sutera
Feeding Behaviour Attracting Biting Swallowing Supplementary Citral -sitosterol Morin or isoquercitrin Cellulose powder Potassium diposphate Sucrose Inositol Silicasol Stimulate Substance

Sumber: Hamamura (2001)

2.2.2 Pemeliharaan Ulat sutera Ulat sutera (Bombyx mori L.) merupakan serangga yang biasa dipelihara dalam ruangan dan penghasil sutera utama, meliputi 95% produksi sutera dunia. Sebutan lain adalah ulat sutera murbei karena secara alami hanya makan daun murbei (Morus spp.) dan sutera yang dihasilkan dikenal sutera alam murbei (Sunanto 1997 dalam Nurhaedah 2009). Ulat sutera merupakan serangga dengan metamorfosis sempurna, yaitu serangga dengan perkembangan sayap terjadi di dalam tubuh dan fase pra dewasa berbeda dengan fase dewasa baik morfologi ataupun perilaku makan. Secara keseluruhan siklus hidup yang dilalui ulat sutera meliputi telur, larva (instar), pupa dan dewasa (imago). Pada masing-masing akhir instar ditandai dengan pergantian kulit (moulting). Pada fase instar ada lima tahap, yaitu: instar I, instar

II, instar III, instar IV, dan instar V. Katsumata (1964 dalam Ekastuti 1994) memberikan batasan waktu tahapan instar ini sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. Instar I lamanya 2 hari 13 jam, dihitung dari saat telur menetas sampai istirahat I. Instar II lamanya 2 hari 2 jam, dihitung setelah istirahat 20 jam pada istirahat I. Instar III lamanya 2 hari 14 jam, dihitung setelah istirahat II selama 20 jam. Instar IV lamanya 3 hari 16 jam, dihitung setelah istirahat III yang lamanya 24 jam. Instar V lamanya 8 hari 5 jam, dihitung setelah istirahat IV yang lamanya 1 hari 13 jam. Tahap terakhir ini ditandai dengan ulat mulai tidak mau makan.

Gambar 1 Siklus hidup ulat sutera (Bombyx mori) berdasarkan dari www.cdfd.org.in. Lamanya periode hidup ulat sutera mulai saat menetaskan telur sampai masa membuat kokon sekitar satu bulan dan sangat tergantung pada iklim serta keadaan lingkungan (Atmosoedarjo et al. 2000 dalam Nurhaedah 2009). Menurut Tazima (1964), lamanya siklus hidup ulat sutera secara keseluruhan sekitar 55 60 hari

pada suhu 23 25 oC. Siklus hidup ulat sutera (B. mori) secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 1. Menurut Sangaku (1975 dalam Ekastuti 1994), ulat sutera dapat dibagi berdasarkan atas sifat fisiologis dan ekologisnya, yaitu : 1. Berdasarkan atas voltinismenya (jumlah generasi per tahun), maka akan didapatkan ulat sutera yang monovoltine, yaitu yang hanya mengalami satu generasi dalam setahun, atau secara alam telurnya hanya menetas sekali setahun. Ulat sutera bivoltine yaitu ulat sutera yang mengalami dua generasi setahun. Dan ulat sutera polivoltine yaitu ulat yang mengalami tiga generasi atau lebih dalam setahun. Dalam hal ini telurnya dapat menetas setiap saat. Berdasarkan atas moltinismenya (pergantian kulit), terdapat jenis three molter, yaitu ulat sutera yang mengalami tiga kali pergantian kulit. Jenis four molter mengalami empat kali pergantian kulit. Dan jenis five molter mengalami lima kali pergantian kulit. Berdasarkan asalnya, terdapat jenis Jepang yang kupu-kupunya bertelur banyak, kokon berwarna putih dan bentuknya seperti kacang tanah. Jenis China kokonnya agak bulat, ada yang berwarna putih, dan kuning kehijauan. Jenis Eropa kokonnya besar dan berwarna putih. Ulatnya tidak tahan terhadap iklim panas dan lembab, ukuran telur dan ulatnya panjang dan periodenya juga panjang. Dan ulat sutera jenis Tropika kokonnya kecil. Kokon adalah rajutan filamen sutera yang dihasilkan kelenjar sutera

2.

3.

melalui proses insolubisasi yang disebabkan oleh aksi mekanik pengeluaran cairan sutera dan berfungsi sebagai pelindung saat berlangsungya proses metamorfosis (Rukaesih et al. 1991 dalam Nurhaedah 2009). Bagian luar kokon berupa serat sutera yang membungkus kokon secara rapi dengan warna dan kehalusannya sangat ditentukan oleh jenis serangga penghasil sutera dan bahan pakannya (Lee 2000; Sunanto 1997 dalam Nurhaedah 2009). Produk dari kokon yang sangat penting adalah serat atau filamen sutera. Serat sutera dihasilkan oleh sepasang kelenjar sutera (silk gland) dengan bagianbagian seperti : 1. Bagian depan merupakan saluran pengeluaran kelenjar yang terbuka pada ujungnya tepat di bawah mulut larva; 2. bagian tengah, bagian ini sebagai penghasil zat warna yang dibentuk bersama serisin yang berfungsi sebagai perekat dua serat paralel dengan proporsi 25 % dari bobot serat dan bersifat mudah larut dalam air panas; 3. bagian belakang kelenjar, sebagai penghasil serat sutera yang disebut fibroin merupakan bagian utama serat filamen dengan proporsi 75 % dari bobot total serat dan tidak larut dalam air panas (Tazima 1978 dalam Nurhaedah 2009).

2.2.3 Pemintalan Pemintalan merupakan suatu proses untuk melepas serat sutera dari kokon dan menyayatkannya untuk menghasilkan benang sutera dengan menggunakan alat pintal. Alat pintal yang digunakan dalam industri pemintalan benang sutera alam terdiri dari alat pintal tradisional, alat pintal semi mekanis, dan alat pintal otomatis (Bachtiar 1991 dalam Saifullah 2004). Tahapan pengolahan kokon menjadi benang sutera mentah (rawsilk) yaitu: 1. pengeringan, 2. pemilahan, 3. pemasakan, 4. pemintalan, 5. pemintalan ulang, 6. penjahitan, 7. pengujian, 8. penumpukan dan pengemasan (Jaya 2003). Menurut Jaya (2003), mesin pintal (mesin reeling) ada 3 macam yaitu mesin pintal otomatis untuk kokon normal, mesin pintal duppion untuk kokon rangkap, dan mesin pintal multi untuk kokon cacat ringan. Mesin pintal multi dan mesin pintal otomatis dalam memintal kokon memiliki langkah yang sama yaitu sebagai berikut: 1. pemasakan, 2. pemilihan, 3. penyikatan, 4. jetbort, 5. button, 6. pulley, 7. beam, 8. guide, 9. reeling. Perbedaan kedua mesin ini hanya terletak pada penyikatan kokon untuk mencari ujung benang. Pada mesin multi pekerjaan tersebut dilakukan secara manual, sedangkan pada mesin otomatis dilakukan dengan menggunakan mesin (secara otomatis).

2.3

Biaya Produksi Saifullah (2004) menyatakan bahwa, struktur biaya usaha persuteraan alam

terdiri dari biaya produksi kokon dan biaya produksi benang. Biaya produksi kokon meliputi biaya pemeliharaan kebun murbei dan biaya pemeliharaan ulat. Sedangkan biaya produksi benang meliputi biaya pemintalan dan biaya pembelian kokon. Biaya produksi kokon di Kabupaten Garut sebesar Rp. 43.840/kg sedangkan di Kabupaten Sukabumi Rp 32.550/kg. Untuk biaya produksi benang di Kabupaten Garut sebesar Rp. 193.880/kg sedangkan di Kabupaten Sukabumi Rp. 362.989/kg. Berdasarkan data dari Balai Persuteraan Alam pada tahun 2010, Harga telur ulat sutera F1 produksi KPSA Perum Perhutani Soppeng saat ini adalah Rp. 80.000 per boks, sementara produksi PSA Candiroto Rp. 40.000 dengan jumlah 25.000 butir per boks. Harga kokon sebagai bahan baku proses pemintalan

benang, saat ini berkisar antara Rp. 20.000 Rp. 27.000 per kilogram. Sedangkan untuk harga benang sutera saat ini berkisar antara Rp. 225.000 Rp. 250.000 per kilogram.

2.4

Ekonomi Persuteraan Alam Perkembangan persuteraan alam di Indonesia mulai tahun 2005-2010 dapat

dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Perkembangan persuteraan alam di Indonesia tahun 2005-2010
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tanaman Murbei (Ha) 4.573,00 3.660,55 3.544,07 4.658,05 3.766,10 2.063,82 Produksi Kokon (Kg) 418.276,00 338.593,55 469.819,27 272.827,16 132.792,26 161.409,58 Produksi Benang (Kg) 58.949,00 46.573,68 65.194,50 36.864,52 19.212,23 20.337,50 Petani Sutera (KK) 2.911 3.951 3.339 5.714 8.867 3.508

Sumber : Statistik Kehutanan Ditjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (2010) dan Statistik Pengembangan Persuteraan Alam (2011)

Volume impor sutera alam dari berbagai negara produsen sutera seperti China, India, Jepang, Korea dan Brazil lebih banyak pada hasil budidaya ulat sutera (produksi kokon) dan benang sutera. Kenyataan ini sangat bertolak belakang dengan potensi sumber daya alam yang menunjang bagi pengembangan budidaya murbei dan pemeliharaan kokon di Indonesia. Dengan demikian pasar bagi pemenuhan kebutuhan kokon dan benang dalam negeri masih terbuka. Sedangkan untuk volume ekspor banyak pada produksi kain dan barang jadi. Hal tersebut menunjukkan masih besarnya respon pasar luar negeri untuk produkproduk hilir persuteraan alam (Yusup 2009). Peningkatan permintaan produk sutera alam dunia merupakan peluang bagi Indonesia untuk memproduksi sutera alam yang lebih optimal. Ekspor sutera alam Indonesia saat ini telah mencakup berbagai negara, antara lain : Malaysia, Jepang, Turki, Yunani, Jerman, Amerika dan Spanyol. Nilai dan perkembangan ekspor sutera alam di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.

10

Tabel 3 Nilai dan perkembangan ekspor produk sutera alam Indonesia tahun 2001-2006
Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Nilai Ekspor (US $) 44.274 241.009 275.993 365.844 1.866.493 1.972.568 Perkembangan (%) 444,36 14,52 32,56 410,19 5,68

Sumber : Badan Pusat Statistik (2007)

Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai ekspor produk sutera alam di Indonesia dari tahun 2001 sampai tahun 2006 mengalami peningkatan. Nilai ekspor dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 berkembang positif. Persentase perkembangan nilai ekspor terbesar terjadi pada periode tahun 2002 dan 2005. Walaupun demikian, secara keseluruhan nilai ekspor produk sutera alam di Indonesia meningkat, hal ini berarti peluang bisnis pesuteraan alam di Indonesia masih menjanjikan.

2,31% 4,12% 7,44%

3,31%

Sulawesi Selatan Jawa Tengah Jawa Barat 82,83% Sulawesi Utara others

Gambar 2 Produksi benang sutera di Indonesia tahun 2005-2010. Berdasarkan data produksi benang sutera dari Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial pada tahun 2005-2010. Penghasil benang sutera di indonesia dari yang terbesar adalah berturut-turut provinsi Sulawesi Selatan dengan total jumlah produksi 130,3 ton, Jawa Tengah 11,7 ton, Jawa Barat 6,5 ton, dan Sulawesi Utara 3,6 ton, Berdasarkan data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2, bahwa provinsi Sulawesi Selatan menyumbang hampir 83% produksi benang sutera dari total produksi nasional

11

pada tahun 2005-2010. Tingginya produksi benang sutera di Sulawesi Selatan karena sejak tahun 1970 telah diadakan proyek pembinaan persuteraan alam. Produksi benang sutera dari setiap provinsi di Indonesia secara rinci dapat dilihat pada Tabel Lampiran 9. Wilayah pengembangan persuteraan alam di Indonesia yang dilakukan oleh Balai Persuteraan Alam Kementerian Kehutanan telah mencakup 16 provinsi, seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Saat ini provinsi yang mengelola persuteraan alam mulai dari hulu (penanaman murbei dan pemeliharaan ulat sutera) hingga hilir (industri pemintalan dan industri pertenunan) hanya terdapat di lima provinsi yaitu, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Bali, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Hal ini merupakan peluang dan potensi dari setiap provinsi untuk mengembangkan persuteraan alam mulai dari sektor hulu hingga hilir, mengingat kebutuhan benang sutera secara nasional cenderung meningkat dan masih banyak bergantung dari produk benang sutera impor.

Gambar 3 Wilayah pengembangan persuteraan alam di Indonesia.

12

Anda mungkin juga menyukai