Disusun oleh :
Windi Pertiwi (20070310128)
HALAMAN PENGESAHAN
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter Di bagian Ilmu Bedah di RSUD Panembahan Senopati Bantul Disusun oleh:
06 januari 2012
BAB I PENDAHULUAN
Diabetes Mellitus (DM) adalah kelainan metabolisme karbohidrat, di mana glukosa darah tidak dapat digunakan dengan baik, sehingga menyebabkan keadaan hiperglikemia. DM merupakan kelainan endokrin yang terbanyak dijumpai. Diabetes Melitus dengan kehamilan (Diabetes Mellitus Gestational DMG) adalah kehamilan normal yang disertai dengan peningkatan insulin resistance. Pada golongan ini, kondisi diabetes dialami sementara selama masa kehamilan. Artinya kondisi diabetes atau intoleransi glukosa pertama kali didapati selama masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua atau ketiga. Diabetes melitus gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal, dan ibu memiliki risiko untuk dapat menderita penyakit diabetes melitus yang lebih besar dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan. Diabetes Mellitus Gestasional ini meningkatkan morbiditas neonatus, misalnya hipoglikemia, ikterus, polisitemia, dan makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi dari ibu GDM mensekresi insulin lebih besar sehingga merangsang pertumbuhan bayi dan makrosomia. Frekuensi DMG kira-kira 35% dan para ibu tersebut meningkat risikonya untuk menjadi DM di masa mendatang. Sementara itu, kelainan tiroid merupakan kelainan endokrin tersering kedua yang ditemukan selama kehamilan. Berbagai perubahan hormonal dan metabolik terjadi selama kehamilan, menyebabkan perubahan kompleks pada fungsi tiroid maternal. Hipertiroid adalah kelainan yang terjadi ketika kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid yang berlebihan dari kebutuhan tubuh. Wanita hamil dengan eutoroid memunculkan beberapa tanda tidak spesifik yang mirip dengan disfungsi tiroid sehingga diagnosis klinis sulit ditegakkan. Wanita hamil dengan eutiroid dapat
menunjukan keadaan hiperdinamik seperti peningkatan curah jantung, takikardia ringan, dan tekanan nadi yang melebar. Disfungsi tiroid autoimun umumnya menyebabkan hipertiroidisme dan hipotiroidisme pada wanita hamil. Penyakit graves terjadi sekitar lebih dari 85% dari semua kasus hipertiroid, dimana tiroiditis hashimoto adalah yang paling sering untuk kasus hipotiroidisme. Hipertiroidisme lebih sering ditemukan pada wanita daripada laki-laki dengan ratio 5:1. Hipertiroidisme jarang ditemukan pada wanita hamil. Kekerapannya diperkirakan 2 : 1000 dari semua kehamilan,namun bila tidak terkontrol dapat menimbulkan krisis tiroid, persalinan prematur, abortus dan kematian janin. Diagnosis hipertiroidisme dalam kehamilan sulit ditegakkan karena kehamilan itu sendiri menyebabkan perubahan-perubahan fisiologik yang menyerupai keadaan hipertiroidisme. Namun deteksi dini untuk mengetahui adanya hipertiroidisme pada wanita hamil sangatlah penting, karena kehamilan itu sendiri merupakan suatu stres bagi ibu apalagi bila disertai dengan keadaan hipertiroidisme. Pengelolaan penderita hipertiroidisme dalam kehamilan memerlukan perhatian khusus, oleh karena baik keadaan hipertiroidismenya maupun pengobatan yang diberikan dapat memberi pengaruh buruk terhadap ibu dan janin.
A. I.
Diabetes Mellitus Gestational Definisi Menurut Brunner and Suddarth, 2001, Diabetes Mellitus merupakan sekelompok kelainan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Pada Diabetes Mellitus, kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun, atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin. Diabetes mellitus gestational adalah suatu gangguan toleransi
karbohidrat yang terjadi atau diketahui pertama kali saat hamil tanpa membedakan apakah perlu mendapat insulin atau tidak. Dan diabetes mellitus pregestational adalah dimana Diabetes mellitus sudah ada sebelum hamil dan berlanjut sesudah kehamilan. II. Insidensi Diabetes mellitus gestational terjadi pada 7% dari semua kehamilan, atau lebih dari 200.000 kasus per tahun. Di Amerika terdapat peningkatan kasus dari 14,5 kasus per 1000 kehamilan pada 1991 sampai dengan 47,9 kasus per 1000 kehamilan pada 2003. . Penelitian Prof. John M.F Adam di Ujung Pandang dalam dua periode yang berbeda, memperoleh insidens Diabetes Mellitus Gestational yang jauh lebih tinggi pada mereka dengan resiko tinggi (4,35%) dan 1,67% dari seluruh populasi wanita hamil. Sedangkan, pada penelitian kedua Beliau ditemukan 3% pada kelompok resiko tinggi dan 1,2% dari seluruh wanita hamil. Rumah Sakit DR. Kariadi Semarang oleh
Praptohardjo U dan Suparto P, tahun 1975, meneliti diabetes meliitus dalam kehamilan didapatkan angka kejadian berkisar 2-3%. III. Klasifikasi Klasifikasi Pyke untuk diabetes mellitus gestasional adalah:
1. Diabetes gestasional, dimana diabetes mellitus terjadi hanya pada waktu hamil 2. Diabetes pregestasional, dimana diabetes mellitus sudah ada sebelum hamil
dan berlanjut sesudah kehamilan 3. Diabetes pregestasional yang disertai dengan komplikasi misalnya angiopati, retinopati dan nefropati. Klasifikasi lain dari diabetes mellitus pada kehamilan adalah sebagai berikut :
1. DM yang memang sudah diketahui sebelumnya dan kemudian menjadi
hamil (DM hamil = DM pregestasional). Sebagian besar termasuk golongan IDDM (Insulin Dependent DM)
2. DM yang baru saja ditemukan pada saat kehamilan (DM Gestasional =
DMG). Umumnya termasuk golongan NIDDM (Non Insulin Dependent DM). Dan diabetes mellitus gestasional sendiri dibagi dua sub kelompok, yaitu sebagai berikut :
1. Sebenarnya sudah mengidap DM sebelumnya, tetapi baru diketahui pada saat
hamil.
2. Sebelumnya belum mengidap DM dan baru mengidap DM pada masa
kehamilan (Pregnancy-Induced Diabetes Mellitus). Merupakan DMG sesungguhnya, sesuai dengan definisi lama WHO 1980(1,5,6,7).
Ke dua sub kelompok ini baru dapat dibedakan setelah dilakukan tes toleransi glukosa oral (TTGO) ulangan pasca persalinan. Untuk sub kelompok DMH, hasil TTGO pasca persalinan masih tetap abnormal, sedangkan untuk DMG hasil akan kembali normal. Klasifikasi baru yang akhir-akhir ini banyak dipakai adalah Javanovic (1986), yaitu sebagai berikut :
1. Regulasi baik ( good diabetic Control)
Glukosa darah puasa 55-65 mg/dL, rata-rata 84 mg/dL, 1 jam sesudah makan <140 mg/dL. HbA1c normal dalam 30 minggu untuk diabetes gestasional dan dalam 12 minggu untuk diabetes pregestasional.
2. Regulasi tak baik ( Less than optimal Diabetic Control)
Pasien tidak kontrol selama hamil,kadar glukosa berada diatas normal dan tidak terkontrol baik selama 26 minggu unruk diabetes gestasional dan 12 minggu untuk diabetes pregestational. IV. Patofisiologi diabetes mellitus gestasional Dalam kehamilan normal, metabolisme ibu melakukan penyesuaian untuk menyediakan nutrisi yang adekuat untuk ibu dan bagian fetoplasenta yang sedang brekembang. Pada masa awal kehamilan, kadar glukosa dipengaruhi oleh peningkatan estrogen yang berlanjut pada hiperplasia sel pankreas dan meningkatnya sekresi insulin. Glukosa dapat berdifusi secara tetap melalui plasenta ke janin sehingga kadarnya dalam janin hampir menyerupai kadar dalam darah ibu. Insulin ibu tidak dapat masuk ke janin, sehingga kadar pada ibu yang mempengaruhi kadar pada janin.
Pada kehamilan normal, kadar glukosa plasma ibu menjadi lebih rendah secara bermakna, karena: 1) Ambilan glukosa sirkulasi plasenta meningkat 2) Produksi glukosa dari hati menurun 3) Produksi alanin (salah satu prekursor glukoneogenesis menurun) 4) Efektifitas ekskresi ginjal meningkat 5) Efek hormon-hormon gestasional (human plasental lactogen, hormon-hormon plasenta lainnya, hormon-hormon ovarium, hormon pankreas dan adrenal, growth factor, dan sebagainya) Menjelang aterm kebutuhan insulin meningkat sampai 3 kali lipat dari keadaan normal. Hal ini disebut tekanan diabetojenik dalam kehamilan yang secara fisiologik telah terjadi resistensi insulin. Bila seorang ibu tidak mampu meningkatkan produksi insulin yang mengakibatkan hiperglikemia atau diabetes kehamilan. Resistensi insulin disebabkan oleh adanya hormone estrogen, progesterone, kortisol, prolaktin, dan plasentallaktogen. Hormon tersebut mempengaruhi reseptor insulin pada sel sehingga mempengaruhi afinitas insulin. Ada dua fase metabolisme karbohidrat selama kehamilan yaitu yang bersifat anabolik dan katabolik. Proses anabolik terjadi pada kehamilan 0-20 minggu karena peningkatan hormon estrogen dan progesteron yang mengakibatkan hyperplasia selsel beta pancreas. Hipepalsia sel-sel beta pankreas ini akan menyebabkan meningkatnya produksi insulin sehingga produksi glukosa oleh hepar menurun, penggunaan glukosa oleh jaringan perifer meningkat, penyimpanan glukosa jaringan dalam bentuk glikogen meningkat dan turunnya kadar glukosa dalam plasma.
Pada kehamilan 20-40 mg terjadi perubahan metabolisme yang bersifat katabolik. Peningkatan hormon plasenta laktogen (HPL) dapat meningkatkan lipolisis trigliserida sehingga makin banyak terbentuk asam lemak bebas. Asam lemak bebas ini akan mengakibatkan resistensi jaringan terhadap insulin. Jadi HPL mempengaruhi organ target dan menurunkan sensitivitas organ tersebut terhadap aktivitas insulin. Metabolisme glukosa pada kehamilan normal ditandai dengan kadar glukosa darah puasa yang lebih rendah dan peningkatan kadar glukosa darah postprandial. Perubahan ini terjadi pada 10 minggu pertama kehamilan. Pada trisemester ketiga jumlah karbohidrat menjadi stabil. Pada DMG, selain perubahan-perubahan fisiologi tersebut,akan terjadi suatu keadaan di mana jumlah dan fungsi insulin menjadi tidak optimal. Terjadi perubahan kinetika insulin dan resistensi terhadap efek insulin. Akibatnya, komposisi sumber energi dalam plasma ibu bertambah (kadar gula darah tinggi, kadar insulin tetap tinggi). Melalui difusi terfasilitasi dalam membran plasenta, dimana sirkulasi janin juga ikut terjadi komposisi sumber energi abnormal. Hal inilah menyebabkan kemungkinan terjadi berbagai komplikasi. Selain itu terjadi juga hiperinsulinemia sehingga janin juga mengalami gangguan metabolik yaitu hipoglikemia, hipomagnesemia, hipokalsemia, hiperbilirubinemia, dan sebagainya. Faktor lain yang berperan dalam resistensi insulin adalah peningkatan
hormon kortisol selama kehamilan. Hormon kortisol meningkat 3 kali selama kehamilan dibandingkan keadaan normal sehingga menyebabkan kadar glukosa darah ibu meningkat dan kadar glukosa janin juga meningkat. V. Penyaringan dan diagnosis
Konsesus pengelolaan diabetes melitus TIPE 2 di Indonesia tahun 2002 oleh PERKENI menganjurkan semua ibu hamil pada pertemuan pertama dengan petugas kesehatan dilakukan penapisan DMG. Bila hasilnya negatif pemeriksaan diulang pada minggu ke 24-26 gestasi. Terdapat beberapa macam cara penyaringan yaitu penyaringan satu tahap dan dua tahap. Penyaringan dua tahap sekarang dikenal dengan cara OSullivan Mahan. Penyaringan satu tahap adalah cara WHO. Sampai saat ini yang paling banyak dipakai adalah cara OSullivan Mahan dan cara WHO. (2)
1. Cara O Sullivan-Mahan (1)
Cara ini terdiri dari 2 tahap yaitu TTG ( tes tantangan glukosa) dan TTGO ( tes toleransi glukosa oral ) a. Tes Tantangan Glukosa Pada semua wanita hamil yang datang untuk untuk penyaringan baik dalam keadaan puasa atau tidak diberikan beban glukosa 50 gram glukosa yang dilarutkan dalam air 200 ml dan segera diminum. Satu jam kemudian diambil contoh darah plasma vena untuk diperiksa kadar glukosa darahnya. Apabila kadar glukosa plasma vena: Kurang dari 140 mg% maka tes dinyatakan negatif Sama atau lebih dari 140 mg% maka tes dinyatakan positif Bila ditemukan sama atau lebih dari 200 mg% maka tidak perlu lagi melakukan TTGO b. Tes Toleransi Glukosa Oral Persiapan untuk melakukan tes toleransi glukosa sama dengan persiapan pada TTGO pada umumnya. Pasien harus makan cukup karbohidrat beberapa hari sebelumnya. Semalam sebelumnya harus berpuasa selam 8-12 jam. Tes dilakukan
pada pagi hari dalam keadaan puasa . Dalam keadaan puasa diambil contoh darah kemudian diberikan minum glukosa 100 gram yang dilarutkan dalam 200 ml air. Pengambilan contoh darah berikutnya diambil pada satu, dua dan tiga jam setelah pemberian. Contoh darah yang diperiksa adalah plasma vena. Kadar normal adalah puasa < 105 mg%, satu jam < 190 mg% dua jam <165 mg% dan tiga jam < 145 mg %. Disebut diabetes melitus gestasional apabila ditemukan dua angka abnormal. (2) 2. Cara WHO Penyaringan WHO sama seperti wanita bukan hamil. Setelah persiapan yang sama dengan diatas dalam keadaan berpuasa pada pagi hari diambil contoh darah, kemudian diberikan beban glukosa 75 gram. Contoh darah berikutnya diperiksa 2 jam setelah beban glukosa. Kriteria diagnosis sama seperti bukan wanita hamil yaitu puasa 140 mg% atau dan 2 jam 200 mg%. Mereka yang mempunyai darah puasa antara 100-140 mg% dan dua jam antara 140-200 mg% disebut toleransi glukosa terganggu. Khusus untuk wanita hamil yang tergolong toleransi terganggu harus dikelola sebagai diabetes melitus. 3. Kesepakatan PERKENI Untuk kemudahan dipakai cara penyaringan satu tahap sesuai yang dianjurkan WHO, dengan modifikasi glukosa darah yang diperiksa hanya glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa 75 g. Kriteria diagnosis sesuai WHO. Jika Nilai 140 nilai 200 > 200 mg/dl disebut dinyatakan toleransi diabetes mellitus. (TGT),
mg/dl
glukosa terganggu
nilai < 140 mg/dl dinyatakan normal. Sesuai anjuran WHO, pada temuan TGT (gula darah 2 jam pp 140 - 200 mg/dl) ditangani juga sebagai kasus DMG. IV. Penatalaksanaan diabetes mellitus gestasional a. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan DMG sebaiknya dilaksanakan secara terpadu antara ahli obstetri, ahli penyakit dalam, ahli ahli gizi dan dokter spesialis anak. Tujuan pengobatan adalah untuk menurunkan angka kesakitan ibu , kesakitan dan kematian perinatal. Keadaan ini hanya dapat tercapai apabila keadaan normoglikemi dicapai dapat dipertahankan selama kehamilan sampai persalinan. Oleh karena itu penting sekali penatalaksanaan medis untuk mencapai normoglikemia. Sasaran normoglikemia pada DMG adalah glukosa plasma vena puasa < 105 mg% dan 2 jam sesudah makan < 120 mg%. Untuk mencapai sasaran tersebut dapat dilakukan dengan a) pengaturan diet sesuai dengan kebutuhan, b) memantau glukosa darah sendiri di rumah c) pemberian insulin bila belum tercapai normoglikemia dengan diet. a. Pengaturan Diet Sesuai Kebutuhan Pada umumnya untuk DMG dianjurkan 35 kal/kgBB ideal yang harus dikomsumsi selama 24 jam, kecuali pada penderita gemuk dipertimbangkan kalori yang sedikit rendah. Pasien yang gemuk dapat diberikan 25-30 kal/kgBB ideal. Cara yang dianjurkan untuk menghitung berat badan ideal adalah cara broca yaitu BB ideal = (TB-100)-10% BB. Komposisi makan yang dianjurkan adalah sama dengan komposisi makanan yang dianjurkan untuk pasien DM pada umumnya. Demikian juga pembagian porsi makanan, wanita hamil biasanya ditambah 300 kalori terutama pada trisemester ke 3 karena kebutuhan kalori yang meningkat. Untuk menjamin kebutuhan janin yang baik harus diingat bahwa kebutuhan protein ibu hamil dianjurkan 1-1,5 g/kg BB. Dalam triwulan pertama diet tidak banyak berbeda dengan keadaan diluar kehamilan. Diet yang dianjurkan adalah 40% karbohidrat, protein 2 g/kg berat badan, lemak 45-60 g. Dalam triwulan ke 2 metabolisme hidrat arang dalam tubuh ibu berubah, ibu memerlukan lebih banyak bahan makanan terutama kalori dan protein.
Penderita yang diluar kehamilan dan dalam kehamilan triwulan pertama tidak memerlukan insulin mungkin sekali perlu diobati dengan insulin pada triwulan ke 2 dan ke 3. Karena itu gula darah harus diperiksa ulang, diet atau terapi insulin harus disesuaikan dengan perubahan itu. Demikian juga pada masa laktasi dan nifas. Kebutuhan kalori adalah jumlah keseluruhan kalori yang diperhitungkan dari:
Kalori basal 25 kal/kgBB ideal Kalori kegiatan jasmani 10-30% Kalori untuk kehamilan 300 kalori Perlu diingat kebutuhan protein ibu hamil 1-1.5 gr/kgBB. Pemantauan dapat dikerjakan dengan menggunakan alat pengukur glukosa
darah kapiler. Perhitungan menu seimbang sama dengan perhitungan pada kasus DM umumnya, dengan ditambahkan sejumlah 300-500 kalori per hari untuk tumbuh kembang janin selama masa kehamilan sampai dengan masa menyusui selesai. Pengelolaan DM dalam kehamilan bertujuan untuk : Mempertahankan kadar glukosa darah puasa < 105 mg/dl Mempertahankan kadar glukosa darah 2 jam pp < 120mg/dl Mempertahankan kadar Hb glikosilat (Hb Alc) < 6% Mencegah episode hipoglikemia Mencegah ketonuria/ketoasidosis deiabetik Mengusahakan tumbuh kembang janin yang optimal dan normal.
c. Memantau glukosa sendiri di rumah Diklinik yang maju semua pasien diajarkan untuk memantau glukosa darah sendiri di rumah. Disamping mempermudah mencapai normoglikemia bagi mereka yang mendapat insulin dapat mencegah hipoglikemia berat. d. Pemberian Insulin
Jika dengan terapi diet selama 2 minggu kadar glukosa darah belum mencapai normal atau normoglikemia, yaitu kadar glukosa darah puasa di bawah 105 mg/dl dan 2 jam pp di bawah 120 mg/dl, maka terapi insulin harus segera dimulai. Insulin yang digunakan harus preparat insulin manusia (human insulin), karena insulin yang bukan berasal dari manusia (non-human insulin) dapat menyebabkan terbentuknya antibodi terhadap insulin endogen dan antibodi ini dapat menembus sawar darah plasenta (plasental blood barrier) sehingga dapat mempengaruhi janin. Pada umumnya pemberian insulin dimulai dari dosis kecil dan bertambah secara bertahap sesuai dengan usia kehamilan yang semakin meningkat. Berbagai macam preparat insulin yang bekerja cepat yang dapat diperoleh dipasaran adalah Humulin R (40 IU, 100 IU) dan Actrapid Human 40, 100. Penderita yang sebelum kehamilan sudah memerlukan insulin, perlu diberikan insulin dengan dosis sesuai dengan keperluan. Perubahan perubahan dalam kehamilan disatu pihak memudahkan terjadi hiperglikemi dan asidosis akan tetapi dipihak lain dapat menimbulkan reaksi hipoglikemik. Karena itu dosis insulin perlu disesuaikan dengan berpodoman pada hasil pemeriksaan gula darah. Pada DMG dengan hiperglikemia hanya pada pagi hari, cukup diberikan insulin kerja menengah malam sebelum tidur. Pada pasien dengan hiperglikemia saat puasa maupun sesudah makan diberikan insulin kombinasi kerja menengah dan kerja cepat pagi dan sore hari. Insulin yang dipakai sebaiknya human insulin dengan dosis 0.5-1.5 U/kgBB, 2/3 diberikan pagi hari dan 1/3 sore hari. Hanya pada keadaan tertentu, belum terkendali dengan pemberian 2 kali, perlu diberikan 4 kali sehari yaitu tiga kali insulin kerja cepat dan insulin kerja menengah pada malam hari sebelum tidur. Pemantauan glukosa darah harus dilakukan. Cara pemberian insulin
C-M atau C
C=insulin kerja cepat M= insulin kerja menengah Dosis rejimen pemantauan dan administrasi disesuaikan berdasarkan respon individu terhadap intervensi nutrisi, olahraga dan teknik administrasi insulin. Bagi seorang wanita yang pertama menghadirkan selama kehamilan untuk perawatan, apakah dia memiliki tipe 1, tipe 2 atau gestational diabetes, dosis insulin berdasarkan usia kehamilan dan berat badan saat ini menyediakan titik awal (dosis harian total) untuk penyesuaian lebih lanjut berdasarkan aktivitas, makan rencana dan faktor lainnya. Stres, sepsis, steroid, obesitas dan memajukan kehamilan meningkatkan kebutuhan insulin. Beberapa suntikan harian memberikan kontrol yang paling optimal selama kehamilan. (Jovanovic 2000).
Untuk memulai terapi insulin ditandai dengan hiperglikemia sepanjang hari, mulai insulin menggunakan dosis pemecahan insulin bertindak cepat-akting dan menengah. 1.Hitung jumlah total dosis harian yang diperlukan oleh pasien. 2. Sekitar 2 / 3 dari dosis total diberikan pada pagi hari (33% cepat-akting, 66% intermediate acting) dan 1 / 3 pada malam hari dengan setengah cepat-acting insulin sebelum makan malam dan setengah insulin intermediate sebelum tidur. Contoh: Seorang wanita 74 kg pada kehamilan 30 minggu. 1. Hitung total dosis 24-jam: 0,9 x 72 = ~ 66 unit insulin total per hari. 2. Berikan 2 / 3 dosis total (~ 45) di pagi dan 1 / 3 (~ 21) dalam PM sebagai berikut:
Pemantauan glukosa darah juga dapat melalui pemeriksaan HBA1C berkala tiap 6-8 minggu dengan kadar HBA1C yang diharapkan sebesar 6%. Obat anti diabetik oral tidak dapat digunakan karena dapat melewati sawar plasenta, disamping bersifat teratogenik. (10) b. PENGELOLAAN OBSTETRIK 1. Pengelolaan Prakonsepsi. Kelainan kongenital menyebabkan meningkatnya angka kematian dan kesakitan bayi. Kelainan kongenial ini sering terjadai sebelum minggu ke tujuh. Untuk mencegah kelainan kongenital pada ibu yang diabetes, dianjurkan untuk melakukan perawatan medis yang optimal dan pendidikan pasien sebelum konsepsi. Semua ahli setuju bahwa kendali glikemik yang ketat merupakan hal
penting dalam pengobatan untuk menekan angka kelainan kongenital,kesakitan dan kematian perinatal. Penderita harus memeriksakan kadar glukosa darahnya. Pengobatan dengan obat oral diganti dengan insulin serta diberikan nasehat tentang diet dan cara pemberian insulin. Idealnya pemeriksaan dilakukan oleh ahli obstetri, ahli diet dan ahli diabetes. 2. Pengelolaan antenatal Pada pemeriksaan antenatal dilakukan pemantauan keadaan klinis ibu dan janin, terutama tekanan darah, pembesaran uterus dan denyut jantung janin dan kadar gula darah. Secara umum wanita dengan diabetes yang tidak membutuhkan insulin jarang memerlukan kelahiran yang cepat atau intervensi lain. Pemeriksaan kehamilan untuk 20 minggu pertama dilakukan tiap bulan, kemudian tiap 2 minggu sampai kehamilan 30 minggu. Kenaikan berat badan ibu dianjurkan sekitar 1-2.5 kg pada trimester pertama dan selanjutnya rata-rata 0.5 kg setiap minggu sampai akhir kehamilan. Kenaikan berat badan yang dianjurkan tergantung status gizi awal ibu yaitu ibu BB kurang 14-20 kg, ibu BB normal 12.5-17.5 kg dan ibu BBlebih/obesitas 7.5-12.5 kg. Untuk memonitor kadar glukosa darah dan tanda-tanda preeklamsia dianjurkan pemeriksaan tiap minggu setelah 30 minggu. Pemeriksaan ibu dan janin dilakukan dengan pemeriksaan tinggi fundus uteri, mendengarkan denyut jantung janin secara khusus memakai USG dan CTG. Untuk pemeriksaan fetal well being dilakukan pemeriksaan nonstres test (NST), Jika NST tidak reaktif dilakukan contraction stress test (CST) atau profil biofisik janin.
Penilaian USG dapat mengevaluasi pertumbuhan janin, taksiran berat janin, kelainan kongenital, dan hidramnion. Penilaian fetoprotein berguna untuk mendeteksi adanya neural tube defek. Nilai normal fetoprotein pada ibu yang diabetes lebih rendah daripada ibu yang tidak diabetes. Pemeriksaan USG diulang tiap 4-6 minggu untuk menilai pertumbuhan janin, makrosomia, dan resiko distosia bahu sehingga dapat dipilih pasien yang harus dilahirkan secara SC. Pemeriksaan lingkaran perut janin dengan menggunakan USG juga dapat memprediksi adanya makrosomia. Pembesaran lingkaran perut janin karena adanya penumpukan penyimpanan glikogen pada hati dan subcutan. Follow up yang harus difokuskan adalah USG pada akhir trisemester pertama untuk menilai usia kehamilan, kelainan kongenital. Pada trisemester kedua kontrrol gula darah lebih, proteinuria, dan retinopati. Pada trisemester tiga preeklamsia dan fetal monitoring. 3. Waktu Persalinan Pada wanita dengan diabetes terkotrol dengan baik dan penilaian selama antepartum normal, persalinan dapat ditunda sampai parunya matang. Dalam praktek, induksi persalinan elektif sering dilakukan pada kehamilan 38-40 minggu jika diabetes yang terkontrol dengan baik dan tidak ada penyakit vaskuler. Pasien dengan gangguan vaskuler seperti hipertensi yang memburuk, gangguan pertumbuhan janin dilahirkan lebih cepat. Sebelum persalinan elektif dilakukan pemeriksaan amniosintesis untuk menilai kematangan paru dilakukan. Sindroma gagal nafas jarang terjadi pada rasio lesitinspingomielin (L/S) lebih dari atau sama dengan dua. Persalinan lebih dari 40 minggu masih kontroversi karena meningkatnya resiko kematian janin intra uterin, dan trauma lahir karena makrosomia. Distosia
bahu lebih sering terjadi pada ibu yang menderita diabetes diabandingkan dengan ibu yang tidak menderita diabetes. Makrosomia pada bayi yang ibunya diabetes berbeda dengan bayi yang besar karena pengaruh umur kehamilan. Penumpukan lemak lebih banyak di bahu dan di badan pada bayi yang lahir dari ibu yang DM. Jika tes anterpartum menunjukkan janin dalam keadaan bahaya maka persalinan harus diindikasikan. Indikasi ibu persalinan yang cepat adalah preeklamsia, fungsi renal yang memburuk, proliferatif retinopati. 4. Cara persalinan Cara persalinan pada pasien diabetes masih kontroversi. Persalinan dengan seksio sesaria dilakukan jika dengan monitor denyut jantung didapatkan fetal distres. Elektif seksio sesaria dilakukan pada kasus dengan servik yang tidak matang dengan pemberian prostaglandin atau dicurigai makrosomia. Kira-kira 45% pasien di amerika dilakukan seksio sesaria. Seksio sesaria dilakukan biasanya karena fetal distress yang didapat pada pemeriksaan denyut jantung antepartum. Persalinan spontan pervaginam menjadi pilihan pertama pada pasien diabetes dalam penatalaksanaan modern. Persalinan pervaginam diindikasikan bila letak janin yang normal, cervik yang matang, ukuran bayi yang tidak besar, dan tidak ada fetal distres. Persalinan harus dilakukan oleh bidan atau staf medis yang berpengalaman dalam menangani persalinan dengan diabetes. Partogoraf harus digunakan untuk memberi peringatan yang cepat jika membutuhkan tindakan seperti seksio sesaria. Indikasi seksio sesaria adalah sebagai berikiut :
Primigravida tua Multigravida dengan riwayat obstetri jelek Diabetes ayng tidak terkontrol
Ada komplikasi obstetri seperti preeklamsia, polihidramnion, malpresentation. Macrosomia 5. Pengelolaan Intra Partum Tujuan pengelolaan intrapartum adalah untuk mempertahankan keadaan normoglikemi dan mencegah neonatal hipoglikemia. Pasien diabetes yang dapat dikontrol dengan diet tidak membutuhkan insulin selama persalinan tapi kadar glukosa darah tetap diperiksa selama dan sesudah persalinan. Pasien diabetes yang tergantung insulin kadar glukose darah kapiler harus diperiksa tiap jam selam fase aktif. Target glukosa darah kapiler adalah 80-110 mg/dl. Prosedur untuk mengontrol diabetes selama persalinan yaitu dengan cara mendrip 10 unit insulin dalam 1 liter glukosa 5%. Sebagai petunjuk kecepatan tetesan adalah 1 unit per jam untuk kadar glukosa darah 70-130 mg/dl, 2 unit per jam untuk kadar glukosa darah 130-160 mg/dl, 3 unit per jam untuk kadar glukosa darah 160-200 mg/dl. Kadar glukosa darah diupertahankan antara 80-100 mg/dl. Insulin dapat juga diberikan secara interval. 6. Pengelolaan Postpartum Wanita dengan DMG jarang membutuhkan insulin postpartum. Resisten insulin membaik dengan cepat sehingga insulin menjadi cukup. Setelah melahirkan, pasien yang membutuhkan terapi insulin selama kehamilan harus diperiksa kadar gula darah puasa dan 2 jam postprandial. Pasien dengan diabetes selama kehamilan mempunyai resiko tinggi untuk untuk terjadi DM type 2 dimasa yang akan datang. Mereka harus memeriksakan kadar glukosa darah puasa 6 minggu setelah melahirkan atau test tolerasi glukosa 2 jam setelah pemberian glukosa 75 gram. Nilai normal untuk tes toleransi glukosa adalah kurang dari 140 mg/dl. Juga harus dilakukan konsultasi dengan ahli gizi serta diskusi tentang penggunaan kontrasepsi.
Pemberian ASI memperbaiki Kontrol glukosa darah oleh karena itu harus dianjuran untuk memberi ASI pada bayinya. Disamping mempertahankan activitas fisik dan pengontrolan berat badan yang seimbang. VI. Komplikasi DMG a. Komplikasi pada ibu Preeklamsia Preeklamsia terjadi dua kali lebih sering pada pasien diabetes dibandingkan pasien yang tidak diabetes. Komplikasi hipertensi meningkatkan persalinan pretem pada pasien diabetes sehingga akan meningkatkan angka kematian perinatal. Faktor resiko preeklamsia adalah adanya komplikasi vaskuler, proteinuria, dan hipertensi kronik. Nefropati diabetik Nefropati diabetik ditandai oleh adanya proteinuria dan hipertensi pada trisemester pertama atau kedua. Gejala ini sering ringan pada awal kehamilan tapi pada kehamilan 20-24 minggu mengalami peningkatan proteinuria, tekanan darah, dan serum kreatinin. Hipertensi dan edema sering terjadi, sehingga pada trisemester ke 3 sulit membedakan gejala nefropati diabetik dengan superimposed preeklamsia. Retinopati diabetik Retinopati diabetik terjadi kira-kira 40% pada diabetes yang tergantung insulin. Kehamilan akan meningkatkan progresifitas retinopati diabetik. Pada 20% pasien mengalami neovaskularisasi pada permukaan retina. Persalinan spontan akan meningkatkan tekanan intraokuler sehingga dikontraindikasikan pada pasien yang mengalami proliferatif retinopati diabetik. Ketoasidosis
Ketoasidosis terjadi kira-kira 1 persen dari pasien hamil dengan diabetes. Tapi ini merupakan komplikasi yang serius yang membutuhkan pengobatan segera. Diabetik ketoasidosis terjadi oleh karena kurangnya insulin sehingga menurunkan komsumsi glukosa oleh sel dan terjadinya glukoneogenesis yang menyebabkan meningkatnya kadar glukosa dalam darah. Kebutuhan energi dimetabolisir dari non karbohidrat sehingga terjadi asidosis metabolik. Infeksi Kira-kira 80% pasien depeden insulin paling sedikit mengalami satu kali episode infeksi dibandingkan 25% pada pasien nondiabetes. Infeksi yang sering terjadi adalah candida vulvovaginitis, infeksi saluran kemih, infeksi pelvis pada masa nifas dan infeksi saluran nafas. b. Komplikasi pada bayi Kematian Janin Kematian janin ini sering terjadi pada pasien dengan adanya penyakit vaskuler, kontrol gula darah yang tidak baik, hidramnion, dan preeklamsia. Wanita dengan komplikasi vaskuler mungkin menyebakan IUGR. Dulu kematian janin ini dicegah dengan melahirkan bayi pada saat preterm tapi hal ini menyebabkan banyak janin yang fungsi parunya belum matur dan meningkatkan angka kematian janin akibat penyakit membran hialin. Penyebab pasti kematian janin pada ibu yang menderita diabetes ini belum diketahui. Ketoasidosis dan preeklamsia merupakan dua faktor yang meningkatkan kematian intra uterin mungkin disebabkan oleh penurunan aliran darah ke plasenta. Kelainan Kongenital Banyak penelitian mengatakan kelainan kongenital meningkat dua sampai enam kali pada pada bayi yang ibunya menderita IDDM. Kelainan kongenital ini
terjadi sebelum minggu ke tujuh kehamilan saat pembentukan organ. Kelainan kongenital yang dapat terjadi seperti kelainan sistem saraf, anencephal, spina bifida, kelainan jantung, ventrikel septal defek. Makrosomia Makrosomia didefinisikan kelahiran yang lebih dari 4000 gram. Kelahiran lebih dari 4500 gram 10 kali lebih sering dijumpai pada wanita diabetes dibandingkan wanita hamil tanpa diabetes. Makrosomia terjadi akibat adanya peningkatan penumpukan lemak, pembesaran masa otot dan organomegali. Besarnya badan dan bahu akan menyulitkan persalinan pervaginam. Janin yang menerima pemasokan gula darah yang berlebihan akan memproduksi insulin sehingga terjadi hiperinsulinemia. Pengaruh insulin akan mengubah glukosa menjadi cadangan lemak dan glikogen. Hal ini yang menyebabkan makrosomia. Hipoglikemia Penurunan yang cepat kadar glukosa plasma setelah melahirkan sering terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita diabetes melitus. Hal ini disebabkan hiperplasia sel pulau langerhan karena pengaruh hiperglikemia ibu yang lama. Hipoglikemai ini harus cepat dikenal dan diterapi untuk mencegah gejala sisa. Sindroma gagal nafas Hiperinsulinemia menyebabkan antagonis terhadap pengaruh kortisol yang menimbulkan produksi fosfatidil gliserol yang berguna untuk pematangan paru. Hal ini perlu diperhatikan dimana bayi yang sudah cukup besar tetapi paru belum cukup matang meskipun sudah 38 minggu. Hipokalsemia dan hipomagnesium
Neonatal dikatakan hipokalsemia bila nilai dalam serum kurang dari 7 mg/dl. Hipokalsemia ini terjadi karena kegagalan peningkatan hormon paratiroid setelah lahir.
B. Tirotoksikosis dalam kehamilan I. Definisi Hipertiroidisme merupakan suatu sindrom klinik akibat meningkatnya sekresi hormon tiroid didalam sirkulasi baik tiroksin (T4), triyodotironin (T3) atau kedua-duanya. Sekitar 90% dari hipertiroidisme disebabkan oleh penyakit Grave, struma nodosa toksik baik soliter maupun multipel dan adenoma toksik. Penyakit Grave pada umumnya ditemukan pada usia muda yaitu antara 20 sampai 40 tahun, sedang hipertiroidisme akibat struma nodosa toksik ditemukan pada usia yang lebih tua yaitu antara 40 sampai 60 tahun. Oleh karena penyakit Grave umumnya ditemukan pada masa subur, maka hampir selalu hipertiroidisme dalam kehamilan adalah hipertiroidisme Grave, walaupun dapat pula disebabkan karena tumor trofoblas, molahidatidosa, dan struma ovarii. Sementara itu, tirotoksikosis adalah suatu kondisi klinis timbul karena disebabkan oleh suatu keadaan tingginya hormon-hormon tiroid dari penyebab mana saja. Tirotoksiskosis dapat disebakan oleh suatu pemasukan yang berlebihan dari hormon-hormon tiroid oleh produksi hormon-hormon tiroid yang berlebihan oleh kelenjar tiroid. II. Insidensi Kejadian hipertiroidisme di Indonesia belum diketahui. Di Eropa berkisar antara 1 sampai 2 % dari semua penduduk dewasa. Hipertiroidisme lebih sering ditemukan pada wanita daripada laki-laki dengan ratio 5:1. Hipertiroidisme jarang
ditemukan pada wanita hamil. Kekerapannya diperkirakan 2 : 1000 dari semua kehamilan,namun bila tidak terkontrol dapat menimbulkan krisis tiroid, persalinan prematur, abortus dan kematian janin. III. Patofisiologi Peningkatan aktivitas kelenjar tiroid terlihat dari peningkatan uptake radioiodine oleh kelenjar tiroid selama kehamilan. Mulai trimester II kehamilan, kadar total triioditironin dan tiroksin serum (T3 dan T4) meningkat dengan tajam. Peningkatan sekresi tiroksin tersebut dihubungkan dengan meningkatnya degradasi plasenta. Pada awal kehamilan terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerular sehingga terjadi peningkatan bersih iodida dari plasma. Keadaan ini akan menimbulkan penurunan konsentrasi plasma iodida dan memerlukan penambahan kebutuhan iodida dari makanan. Pada iodida wanita dengan kecukupan iodida, keadaan ini hanya akan menimbulkan sedikit pengaruh terhadap fungsi tiroid karena penyimpanan kehamilan. intratiroidal mencukupi sejak mula konsepsi dan tidak berubah selama Juga terjadi peningkatan kebutuhan iodine untuk keperluan melalui plasenta. Proses sintesa ini mulai sintesa iodothyronine janin
berfungsi secara progresif setelah trimester pertama. 1. Metabolisme hormon tiroid di plasenta Plasenta mengandung enzim iodothyronine deiodinase dalam jumlah yang banyak. Deionisasi T4 yang dikatalisir oleh enzim ini merupakan sumber reverse T3 yang ditemukan dalam cairan ketuban. Kadar reverse T3 dalam ketuban ini sebanding dengan kadar T4 maternal. Enzim ini berfungsi untuk menurunkan konsentrasi T3 dan T4 dalam sirkulasi janin. Kadar T4 total pada hamil muda (antara 6-12 minggu),meskipun jumlahnya kecil secara kualitatif, konsentrasi seperti ini menunjukkan
betapa
adekuat dari unit fetomaternal. 2. Efek hCG terhadap fungsi tiroid Human chorionic gonadothropin (hCG) adalah hormon peptida yang disusun oleh dua sub unit disebut rantai alfa dan beta. Sub unit alfa identik dengan TSH, sementara rantai beta berbeda dengan keduanya. Dengan demikian, hormon struktur parsial antara TSH dengan hCG mengakibatkan hCG bisa bertindak sebagai hormon tirotropik. Selama kehamilan peningkatan normal, sementara efek stimulasi tiroksin langsung hCG bebas hingga menimbulkan akhir trimester kadar
pertama (puncak sirkulasi hCG) sehingga terjadi supresi parsial TSH. Pada mola hidatidosa dan khoriokarsinoma sering timbul manifestasi hipertiroid secara klinis dan biokimia.
3. Fisiologi Tiroid pada Janin Sistem hipotalamus-hipofisis janin berkembang dan berfungsi secara lengkap bebas dari fungsi ibu pada kehamilan 11 minggu, setelah sistem portal hipofiseal berkembang, akan ditemukan adanya TSH dan TRH yang dapat diukur. Pada waktu yang bersamaan, tiroid janin mulai menangkap
iodine. Namun sekresi hormon tiroid kemungkinan dimulai pada pertengahan kehamilan (18-20 minggu). TSH meningkat dengan cepat hingga kadar puncak pada 24-28 minggu, dan kadar T4 memuncak pada 35-40 minggu. Kadar T3 tetap rendah selama kehamilan, T4 diubah menjadi rT3 oleh deiodinase-5 tipe 3 selama perkembangan janin. Pada saat lahir, mendadak yang nyata dari TSH, terdapat peningkatan suatu peningkatan T4, suatu
peningkatan T3 dan suatu penurunan rT3. parameter ini secara berangsurangsur kembali normal dalam bulan pertama kehidupan. Tabel 1 menunjukkan faal kelenjar tiroid ibu dan neonatus TBG Wanita hamil 8,7 Wanita aterm hamil 14,3 173 54 tidak 4,3 T4 7,6 T3 111 rT3 40
Tabel 2 menunjukkan tes faal tiroid dari darah ibu dan darah tali pusat bayi pada saat baru lahir Tes T4 serum (ug/100 ml) 2,5 3,5 fT4 ml) T3 serum (ng/100 ml) 22 25 35 (ng/100 150 250 36 65 40 60 80 360 1,5 3,0 Darah ibu 10 16 Darah tali pusat 6 13
Hipertiroidisme dalam kehamilan hampir selalu disebabkan karena penyakit Grave yang merupakan suatu penyakit otoimun. Sampai sekarang etiologi penyakit Grave tidak diketahui secara pasti. Dilihat dari berbagai manifestasi dan perjalanan penyakitnya, diduga banyak faktor yang berperan dalam patogenesis penyakit ini. Kelenjar tiroid merupakan organ yang unik dimana proses otoimun dapat menyebabkan kerusakan jaringan tiroid dan hipotiroidisme (pada tiroiditis Hashimoto) atau menimbulkan stimulasi dan hipertiroidisme (pada penyakit Grave). Proses otoimun didalam kelenjar tiroid terjadi melalui 2 cara, yaitu : 1. Antibodi yang terbentuk berasal dari tempat yang jauh (diluar kelenjar tiroid) karena pengaruh antigen tiroid spesifik sehingga terjadi imunitas humoral.
2.
Zat-zat imun dilepaskan oleh sel-sel folikel kelenjar tiroid sendiri yang menimbulkan imunitas seluler. Antibodi ini bersifat spesifik, yang disebut sebagai Thyroid
Stimulating Antibody (TSAb) atau Thyroid Stimulating Imunoglobulin (TSI). Sekarang telah dikenal beberapa stimulator tiroid yang berperan dalam proses terjadinya penyakit Grave, antara lain : 1. Long Acting Thyroid Stimulator (LATS) 2. Long Acting Thyroid Stimulator-Protector (LATS-P) 3. Human Thyroid Stimulator (HTS) 4. Human Thyroid Adenylate Cyclase Stimulator (HTACS) 5. Thyrotropin Displacement Activity (TDA) ` Antibodi-antibodi ini berikatan dengan reseptor TSH yang terdapat
pada membran sel folikel kelenjar tiroid, sehingga merangsang peningkatan biosintesis hormon tiroid. Bukti tentang adanya kelainan sel T supresor pada penyakit Grave berdasarkan hasil penelitian Aoki dan kawan-kawan (1979), yang menunjukkan terjadinya penurunan aktifitas sel T supresor pada penyakit Grave. Tao dan kawan-kawan (1985) membuktikan pula bahwa pada penyakit Grave terjadi peningkatan aktifitas sel T helper. Seperti diketahui bahwa dalam sistem imun , sel limfosit T dapat berperan sebagai helper dalam proses produksi antibodi oleh sel limfosit B atau sebaliknya sebagai supresor dalam menekan produksi antibodi tersebut. Tergantung pada tipe sel T mana yang paling dominan, maka produksi antibodi dapat mengalami stimulasi atau spesifik oleh sel B supresi. Kecenderungan penyakit
tiroid otoimun terjadi pada satu keluarga telah diketahui selama beberapa tahun terakhir. Beberapa hasil studi menyebutkan adanya peran Human Leucocyte Antigen (HLA) tertentu terutama pada lokus B dan D. Grumet dan kawan-
kawan (1974) telah berhasil mendeteksi adanya HLA-B8 pada 47% penderita penyakit Grave. Meningkatnya frekwensi haplotype HLA-B8 pada penyakit Grave diperkuat pula oleh berbagai peneliti-peneliti ras. Gray dan lain. Studi terakhir (1985) fisik, menyebutkan bahwa peranan haplotype HLA-B8 pada penyakit Grave berbeda-beda emosi, diantara kawan-kawan seperti trauma menyatakan bahwa peranan struktur faktor lingkungan
terbukti berpengaruh terhadap terjadinya penyakit Grave. Sangat menarik perhatian bahwa penyakit Grave sering menjadi lebih berat pada kehamilan trimester pertama, sehingga insiden tertinggi hipertiroidisme pada kehamilan akan ditemukan yang terutama lebih tua, pada kehamilan trimester pertama. Sampai Pada usia Grave mempunyai kecenderungan sekarang faktor penyebabnya belum diketahui dengan pasti. kehamilan penyakit
untuk remisi dan akan mengalami eksaserbasi pada periode postpartum. Tidak jarang seorang penderita penyakit Grave yang secara klinis tenang sebelum hamil akan mengalami hipertiroidisme pada awal kehamilan. Sebaliknya pada usia kehamilan yang lebih tua yaitu pada trimester ketiga, respons imun ibu akan tertekan sehingga penderita sering terlihat dalam keadaan remisi. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan sistem imun ibu selama kehamilan. Pada kehamilan akan terjadi penurunan respons imun ibu yang diduga disebabkan karena peningkatan aktifitas sel T supresor janin yang mengeluarkan faktor-faktor melewati dapat sawar supresor. Faktor-faktor supresor ini plasenta sehingga mengapa menekan sistem imun ibu. Setelah pada
plasenta terlepas, faktor-faktor supresor ini akan menghilang. Hal ini menerangkan terjadi eksaserbasi hipertiroidisme periode postpartum. Setelah melahirkan terjadi peningkatan kadar TSAb yang mencapai puncaknya 3 sampai 4 bulan postpartum. Peningkatan juga dapat terjadi setelah abortus. Suatu survei yang dilakukan oleh Amino dan kawan-
tiroiditis postpartum. Gambaran klinis tiroiditis postpartum sering tidak jelas dan sulit dideteksi. Tiroiditis postpartum biasanya terjadi 3-6 bulan melahirkan diikuti dengan manifestasi dan klinis berupa hipotiroidisme kemudian kesembuhan spontan. hipertiroidisme transien Pada
hipertiroidisme akan terjadi peningkatan kadar T4 dan T3 serum dengan ambilan yodium radioaktif yang sangat rendah (0 2%). Titer antibodi mikrosomal kadang-kadang sangat tinggi. Fase ini biasanya berlangsung selama 1 3 bulan, kemudian diikuti kesembuhan, namun cenderung berulang oleh fase pada hipotiroidisme dan kehamilan berikutnya.
Terjadinya tiroiditis postpartum diduga merupakan rebound phenomenon dari proses otoimun yang terjadi setelah melahirkan IV. Diagnosis Hipertiroidisme didiagnosis melalui pemeriksaan yang seksama terhadap gejala-gejala, serta tes darah untuk mengukur TSH, T4, dan tingkat T3. Beberapa gejala hipertiroidisme adalah yang umum pada kehamilan normal, termasuk peningkatan denyut jantung, intoleransi panas, dan kelelahan. Gejala lainnya adalah lebih menunjukkan hipertiroidisme: denyut jantung yang cepat dan tidak teratur, penurunan berat badan yang jelas atau kegagalan untuk mendapatkan berat badan kehamilan normal, dan mual dan muntah yang terkait dengan hiperemesis gravidarum. V. Penatalaksanaan Oleh karena yodium radioaktif merupakan kontra indikasi terhadap wanita hamil, pada maka pengobatan hipertiroidisme dalam kehamilan terletak penggunaan obat-obat anti tiroid dan tindakan pilihan antara
pilihan pertama. Obat-obat anti tiroid Obat-obat anti tiroid yang banyak digunakan adalah golongan tionamida yang kerjanya imunosupresif dengan menghambat menekan sintesis hormon tiroid melalui kerjanya blokade proses yodinasi molekul tirosin. Obat-obat anti tiroid juga bersifat produksi TSAb melalui mempengaruhi aktifitas sel T limfosit kelenjar tiroid. Oleh karena obat ini tidak mempengaruhi pelepasan hormon tiroid, maka respons klinis baru terjadi setelah hormon tiroid yang tersimpan dalam koloid habis terpakai. Jadi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan eutiroid tergantung dari jumlah koloid yang terdapat didalam kelenjar tiroid. Pada umumnya perbaikan klinis sudah dapat terlihat pada minggu pertama dan keadaan eutiroid baru tercapai setelah 4-6 minggu pengobatan. Propylthiouracil (PTU) dan metimazol telah banyak digunakan pada wanita hamil hipertiroidisme. Namun PTU mempunyai banyak kelebihan dibandingkan metimazol antara lain : a) PTU dapat menghambat perubahan T4 menjadi T3 disamping menghambat sintesis hormon tiroid. b) PTU lebih sedikit melewati plasenta dibandingkan metimazol karena PTU mempunyai ikatan protein yang kuat dan sukar larut dalam air. Selain itu terdapat bukti bahwa metimazol dapat menimbulkan aplasia cutis pada bayi. Oleh karena itu, PTU merupakan obat pilihan pada pengobatan hipertiroidisme dalam kehamilan. Pada awal kehamilan sebelum terbentuknya plasenta, dosis PTU dapat diberikan seperti pada keadaan tidak hamil, dimulai dari dosis 100 sampai 150 mg setiap 8 jam. Setelah keadaan terkontrol yang ditunjukkan dengan perbaikan klinis dan penurunan kadar T4 serum, dosis hendaknya diturunkan sampai 50 mg 4 kali sehari. Bila sudah tercapai keadaan eutiroid, dosis PTU diberikan 150 mg per hari dan
setelah 3 minggu diberikan 50 mg 2 kali sehari. Pemeriksaan kadar T4 serum hendaknya dilakukan setiap bulan untuk memantau perjalanan penyakit dan respons pengobatan. Pada trimester kedua dan ketiga, dosis PTU sebaiknya diturunkan serendah mungkin. Dosis PTU dibawah 300 mg per hari diyakini tidak menimbulkan gangguan faal tiroid neonatus. Bahkan hasil penelitian Cheron menunjukkan bahwa dari 11 neonatus hanya 1 yang mengalami hipotiroidisme setelah pemberian 400 mg PTU perhari pada ibu hamil hipertiroidisme. Namun keadaan hipertiroidisme maternal ringan masih dapat ditolerir oleh janin daripada keadaan hipotiroidisme. Oleh karena itu kadar T4 dan T3 serum hendaknya dipertahankan pada batas normal tertinggi. Selama trimester ketiga dapat terjadi penurunan kadar TSAb secara spontan, sehingga penurunan dosis PTU tidak menyebabkan eksaserbasi hipertiroidisme. Bahkan pada kebanyakan pasien dapat terjadi remisi selama trimester ketiga, sehingga kadang-kadang tidak diperlukan pemberian obat-obat anti tiroid. Namun Zakarija dan McKenzie menyatakan bahwa walaupun terjadi penurunan kadar TSAb selama trimester ketiga, hal ini masih dapat menimbulkan hipertiroidisme pada janin dan neonatus. Oleh karena itu dianjurkan untuk tetap meneruskan pemberian PTU dosis rendah (100-200 mg perhari). Dengan dosis ini diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap neonatus dari keadaan hipertiroidisme. Biasanya janin mengalami hipertiroidisme selama kehidupan intra uterin karena ibu hamil yang hipertiroidisme tidak mendapat pengobatan atau mendapat pengobatan anti tiroid yang tidak adekuat. Bila keadaan hipertiroidisme masih belum dapat dikontrol dengan panduan pengobatan diatas, dosis PTU dapat dinaikkan sampai 600 mg perhari dan diberikan lebih sering, misalnya setiap 4 6 jam. Alasan mengapa PTU masih dapat diberikan dengan dosis tinggi ini berdasarkan hasil penelitian Gardner dan kawan-kawan bahwa kadar PTU didalam serum pada trimester terakhir
masih lebih rendah dibandingkan kadarnya post partum. Namun dosis diatas 600 mg perhari tidak dianjurkan. Pemberian obat-obat anti tiroid pada masa menyusui dapat pula mempengaruhi faal kelenjar tiroid neonatus. Metimazol dapat dengan mudah melewati ASI pemberian 40 sedangkan PTU lebih sukar. Oleh karena itu metimazol tidak dianjurkan pada wanita yang sedang menyusui. Setelah mg metimazol, sebanyak 70 ug melewati ASI dan sudah dapat mempengaruhi faal tiroid neonatus. Sebaliknya hanya 100 ug PTU yang melewati ASI setelah pemberian dosis 400 mg dan dengan dosis ini tidak menyebabkan gangguan faal tiroid neonatus. Menurut Lamberg dan kawan-kawan, PTU masih dapat diberikan pada masa menyusui asalkan dosisnya tidak melebihi 150 mg perhari. Selain itu perlu dilakukan pengawasan yang ketat terhadap faal tiroid neonatus. Beta bloker Gladstone melaporkan bahwa penggunaan dapat menyebabkan neonatus. Oleh karena itu propranolol tidak dianjurkan sebagai obat pilihan pertama jangka panjang terhadap hipertiroidisme pada wanita hamil. Walaupun demikian cukup banyak peneliti yang melaporkan bahwa pemberian beta bloker pada wanita hamil cukup aman. Beta bloker dapat mempercepat pengendalian tirotoksikosis bila dikombinasi dengan yodida. Kombinasi propranolol 40 mg tiap 6 jam dengan yodida biasanya menghasilkan perbaikan klinis dalam 2 sampai 7 hari. Iodium Yodida secara cepat menghambat ikatan yodida dalam molekul tiroglobulin plasenta yang kecil, hambatan propranolol pertumbuhan janin,
dan
memblokir panjang
sekresi dapat
hormon berakibat
tiroid. buruk
Namun karena
yodida jangka
diberikan larutan Lugol 5 tetes 2 kali sehari, tapi tidak boleh lebih dari 1 minggu. Tindakan operatif Tiroidektomi subtotal pada wanita hamil sebaiknya ditunda sampai akhir trimester pertama karena dikawatirkan akan meningkatkan risiko abortus spontan. Lagipula tindakan operatif menimbulkan masalah tersendiri, a) Mempunyai risiko yang tinggi karena dapat terjadi komplikasi fatal akibat pengaruh obat-obat anestesi baik terhadap ibu maupun janin. b) Dapat terjadi komplikasi pembedahan berupa paralisis nervus laryngeus, hipoparatiroidisme dan hipotiroidisme yang sukar diatasi. c) Tindakan operatif dapat mencetuskan terjadinya krisis tiroid. d) Pembedahan hanya dilakukan terhadap mereka yang hipersensitif terhadap obat-obat anti tiroid atau bila obat-obat tersebut tidak efektif dalam mengontrol keadaan hipertiroidisme serta apabila terjadi gangguan mekanik akibat penekanan struma. Sebelum dilakukan tindakan operatif, keadaan hipertiroisme harus dikendalikan terlebih dahulu dengan obatobat anti tiroid untuk menghindari terjadinya krisis tiroid. Setelah operasi, pasien hendaknya diawasi secara ketat terhadap kemungkinan terjadinya hipotiroidisme. Bila ditemukan tanda-tanda hipotiroidisme, dianjurkan untuk diberikan suplementasi hormon tiroid. VI. Komplikasi Hipertiroid yang tidak terkontrol, terutama pada pertengahan hamil dapat memicu beberapa komplikasi. Kompilkasi maternal di antaranya keguguran, infeksi, preeklampsia, persalinan preterm, gagal jantung kongesti, badai tiroid,
dan lepasnya plasenta. Komplikasi fetus dan neonatus di antaranya prematur, kecil masa kehamilan,kematian janin dalam rahim dan goiter pada fetu satau neonatus atau tirotoksiskosis. Pengobatan yang berlebihan juga dapat menyebabkan hipotiroid iatrogenik pada fetus. Jika wanita dengan penyakit graves atau yang pernah diobati penyakit graves sebelumnya, antibodi tiroid-stimulating yang dihasilkan ibu dapat melewati plasenta sehingga masuk ke dalam aliran darah fetus dan merangsang tiroid fetus. Jika ibu dengan penyakit graves sedang diobati dengan obat anti tiroid, hipertiroid pada bayi kurang bermakna karena obat-obatan tersebut juga dapat ,elintasi plasenta. Namun, jika ibunya diobati dengan pembedahan atau radioaktif iodin, kedua metode terapi tersebut dapat menghancurkan seluruh tiroid, namunpasien masih memiliki antibodi dalam tubuhnya.
Hipertiroid juga dapat menyebabkan terjadinya badai tiroid, yang merupakan sebuah kegawatdaruratan medis yang dapat timbul akibat hipermetabolik yang berlebihan. Kondisi ini jarang terjadi, hanya sekitar 1% dari wanita hamil dengan hipertiroid, tetapi memiliki resiko gagal jantung. Badai tiroid didiagnosis melalui kombinasi gejala dan tanda seperti hiperpireksia, takikardia yang tidak berhubungan dengan demam nya, gagal jantung kongestif, disritmia, muntah, diare dan perubahan mental termasukcemas, bingung, gelisah. Badai tiroid ini dapat muncul akibat infeksi, penghentian terapi yang tiba-tiba, pembefahan, dan persalinan.
III. Hubungan hipertiroid dengan resistensi insulin Dari jurnal yang berjudul Insulin resistance in hyperthyroidism: the role of IL6 and TNFa oleh panayota pada tahun 2005 diadapatkan bahwametabolisme glukosa dan lipid adalah re3sisten untuk insulin, jaringan adiposa subcutaneus mensekresi IL6 yang akan beraksi sebagai mediator endokrin dari resistensi insulin, meskipun tidak ada sekresi berlebihan dari TNFa oleh jaringan adiposa subcutan, pada peningkatan sistemik, TNFa dapat berhubungan dengan perkembangan dari resistensi insulin pada lipolisis.
BAB III KESIMPULAN Dibetes mellitus gestasional dan hipertiroidisme adalah gangguan endokrin yang tersering terjadi saat masa kehamilan. Pengelolaan diabetes mellitus dalam kehamilan membutuhkan pendekatan dan kerja sama tim yang sebaik-baiknya. Dengan pengelolaan medis, obstetrik dan pediatrik yang baik maka diharapkan memperoleh hasil akhir semaksimal mungkin, setidak-tidaknya sama atau mendekati hasil akhir pada kehamilan normal. Pada hipertiroidisme banyak komplikasi yang dapat terjadi, seperti dapat terjadi kelahiran mati pada janin dan neonayus, dan pada ibu dapat menginduksi hipertensi dalam kehamilan, pre eklampsia, gagal jantung dan persalinan preterm. Untuk itu perlu dilakukan terapi yang tepat. Terapi pilihan pada hipertiroidim dalam kehamilan adalah menggunakan propiltiourasil yang aman denga tujuan mengontrol fungsi tiroid hingga stabil pada tingkat eutiroid.
Daftar Pustaka 1. Adam J.M.F. Diagnosis dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus Gestasional. Dalam Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 1996; 674-680. 2. Landon BM. Diabetes Mellitus snd Other Endocrine Disease. In: Obstetrics Normal and Problem Pregnancies. Third Edition. Churchill Livingstone Inc. 1996; 1-037-1059. 3. Suparman E. Diabetes Melitus Dalam Kehamilan. Cermin Dunia Kedokteran no. 139,2003; 22-26
4.
Cuningham FG,et al. Diabetes. In Williams Obstetrics. 21st ed. McGraw Hill Medical Publishing Devision. New York. 2001. 1359-1377 5. Halen, Mark et all, 2008, hyperthyrioidsm and Pregnancy, BMJ 336 : 663 doi: 10.1136/bmj.39462.709005.AE.availabel http:/bmj.com/content/336/7645/663.full 6. Hartini SJS : Tirotoksikosis pada kehamilan. Dalam Buku Ajar Penyajit Dalam jilid 1. Editor Syaiforllah Noer dkk, Balai Penerbit FKUI, Jakarta. via BMJ Group at URL :