Anda di halaman 1dari 12

SEJARAH OLAHRAGA (History of Sport) Sejarah olahraga dapat mengajarkan kepada kita arti mengenai perubahan masyarakat dan

mengenai olahraga itu sendiri. Olahraga sepertinya melibatkan kemampuan dasar manusia yang dikembangkan dan dilatih untuk kepentingannya sendiri, yang sejalan dengan dilatih demi kegunaannya. Ini menunjukkan bahwa olahraga itu mungkin sama tuanya dengan keberadaan manusia itu sendiri, yang memiliki tujuan, dan adalah cara yang berguna untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam menaklukkan alam dan lingkungan. Namun, jika kita melihat jauh ke belakang bukti-bukti yang makin sedikit kurang mendukung. Isi [tutup] 1. Pra-Sejarah 2. Cina Kuno 3. Mesir Kuno 4. Yunani Kuno 5. Eropa dan perkembangan global Prasejarah Banyak penemuan modern di Perancis, Afrika dan Australia pada lukisan gua (lihat seperti Lascaux) dari jaman prasejarah yang memberikan bukti kebiasaan upacara ritual. Beberapa dari bukti ini berasal dari 30.000 tahun yang lampau, berdasarkan perhitungan penanggalan karbon. Lukisan/Gambar-gambar jaman batu ditemukan di padang pasir Libya menampilkan beberapa aktivitas, renang dan memanah. [1] (http://www.fjexpeditions.com/) Seni lukis itu sendiri adalah merupakan bukti pada ketertarikan pada keahlian yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan untuk bertahan hidup, dan adalah bukti bahwa ada waktu luang untuk dinikmati. Ini juga membuktikan aktivitas non-fungsi lain seperti ritual dan sebagainya. Jadi, meskipun sedikit bukti yang secara langsung mengenai olahraga dari sumber-sumber ini, cukup beralasan untuk menyimpulkan bahwa ada beberapa aktivitas pada waktu itu yang berkenaan dengan olahraga. Kapten Cook, saat ia pertama kali datang ke Kepulauan Hawaii, pada tahun 1778, melaporkan bahwa penduduk asli berselancar. Masyarakat Indian Amerika asli bergabung dalam permainan-permainan dan olahraga sebelum kedatangan orang-orang Eropa, seperti lacrosse, beberapa jenis permainan bola, lari, dan aktivitas atletik lainnya. Suku Maya dan Aztec yang berbudaya memainkan permainan bola dengan serius. Lapangan yang digunakan dahulu masih digunakan sampai sekarang. Cukup beralasan untuk menyimpulkan dari sini dan sumber-sumber bersejarah lainnya bahwa olahraga memiliki akar yang bersumber dari kemanusiaan itu sendiri. Cina Kuno Terdapat artefak dan bangunan-bangunan yang menunjukkan bahwa orang Cina berhubungan dengan kegiatan yang kita definisikan sebagai olahraga di awal tahun 4000 SM. Awal dan perkembangan dari kegiatan olahraga di Cina sepertinya berhubungan dekat dengan produksi, kerja, perang, dan hiburan pada waktu itu. Senam sepertinya merupakan olahraga yang populer di Cina zaman dulu. Tentunya sekarang juga, seperti keahlian orang Cina dalam akrobat yang terkenal secara internasional. Cina memiliki Museum Beijing yang didedikasikan untuk subjek-subjek tentang olahraga di Cina dan sejarahnya. (Lihat Olahraga Cina, Museum )

Mesir Kuno Monumen untuk Faraoh menunjukkan bahwa beberapa cabang olahraga diperhatikan perkembangannya dan dipertandingkan secara berkala beberapa ribu tahun yang lampau, termasuk renang dan memancing. Ini tidaklah mengejutkan mengingat pentingnya Sungai Nil bagi kehidupan orang Mesir. Olahraga yang lain termasuk lempar lembing, loncat tinggi, dan gulat. (Lihat referensi Olahraga Mesir Kuno) (http://www.us.sis.gov.eg/egyptinf/history/html/hisfrm.htm).) Lagi, keberadaan olahraga yang populer menunjukkan kedekatan dengan kegiatan non-olahraga seharihari. Yunani Kuno Banyaknya cabang olahraga sudah ada sejak jaman Kerajaan Yunani Kuno. Gulat, Lari, Tinju, lempar lembing dan lempar cakram, dan balap kereta kuda adalah olahraga yang umum. Ini menunjukkan bahwa Kebudayaan militer Yunani berpengaruh pada perkembangan olahraga mereka. Pertandingan Olimpiade diadakan setiap empat tahun sekali di Yunani. Pertandingan tidaklah diadakan hanya sebagai even olahraga saja, tetapi juga sebagai perayaan untuk kemegahan individu, kebudayaan, dan macam-macam kesenian dan juga tempat untuk menunjukkan inovasi di bidang arsitektur dan patung. Pada dasarnya, even ini adalah waktu untuk bersyukur dan menyembah para Dewa-Dewa kepercayaan Yunani. Nama even ini diambil dari Gunung Olympus, tempat suci yang dianggap tempat hidupnya para dewa. Gencatan senjata dinyatakan selama Pertandingan Olimpiade, seperti aksi militer dan eksekusi untuk publik ditangguhkan. Ini dilakukan agar orang-orang dapat merayakan dengan damai dan berkompetisi dalam suasana yang berbudaya dan saling menghargai. Eropa dan Perkembangan Global Beberapa ahli sejarah- tercatat Bernard Lewis- Menyatakan bahwa olahraga beregu adalah penemuan Kebudayaan Barat. Olahraga individu, seperti gulat dan panahan, sudah dipraktekkan di seluruh dunia. Tetapi tradisi olahraga beregu, menurut para penulis ini, berasal dari Eropa, khususnya Inggris. (Ada catatan yang berlawanan- termasuk Kabaddi di India dan beberapa permainan bola Mesoamerica.) Olahraga mulai diatur dan diadakan secara berkala sejak Olimpiade Kuno sampai pada abad ini. Aktivitas yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan makanan menjadi aktivitas yang diatur dan dilakukan untuk kesenangan atau kompetisi dalam skala yang meningkat, seperti berburu, memancing, hortikultur. Revolusi Industri dan Produksi massa menambahkan waktu luang, yang membolehkan meningkatnya penonton olahraga, berkurangnya elitisme dalam olahraga, dan akses yang lebih besar. Trend ini dilanjutkan dengan perjalanan media massa dan komunikasi global. Profesionalisme menjadi umum, lebih jauh meningkatkan popularitas olahraga. Ini mungkin kontras dengan ide murni orang Yunani, dimana kemenangan pada pertandingan dihargai dengan sangat sederhana, dan dihargai dengan daun zaitun. (Mungkin tidak hanya mahkota daun zaitun, beberapa penulis mencatat.) Mungkin karena reaksi dari keinginan hidup kontemporer, terdapat perkembangan olahraga yang paling baik dielaskan dengan post-modern: extreme ironing sebagai contohnya. Juga ada penemuan baru di bidang olahraga petualangan dalam bentuk melepaskan diri dari rutinitas kehidupan seharihari, contohnya white water rafting, canyoning, BASE jumping dan yang lebih sopan, orienteering.

SEJARAH PSIKOLOGI OLAHRAGA

November 5, 2009, 12:53 pm

Psikologi olahraga pertama kali dikenalkan oleh Norman Triplett pada tahun 1898. Norman Triplett menemukan bahwa waktu tempuh pembalap sepeda menjadi lebih cepat jika mereka membalap di dalam sebuah tim atau berpasangan dibanding jika membalap sendiri. Baru tahun 1925 laboratorium psikologi olahraga pertama di Kawasan Amerika Utara berdiri. Pendirinya adalah Coleman Griffith dari Universitas Illinois. Griffith tertarik pada pengaruh faktor-faktor penampilan atletis seperti waktu reaksi, kesadaran mental, ketegangan dan relaksasi otot serta kepribadian. Dia lalu menerbitkan dua buah buku, The Psychology of Coaching (1926)- buku pertama di dunia Psikologi Olahraga-dan The Psychology of Athletes (1928). Pada tahun yang sama, di Eropa sebenarnya juga berdiri sebuah laboratorium Psikologi Olahraga yang didirikan oleh A.Z Puni di Institute of Physical Culture in Leningrad. Namun Laboratorium Psikologi Olahraga pertama di dunia sebenarnya didirikan tahun 1920 oleh Carl Diem di Deutsce Sporthochschule di Berlin, Jerman. Setelah periode tersebut psikologi olahraga mengalami kemandekan. Baru pada tahun 1960-an psikologi olahraga kembali mulai berkembang. Perkembangan ini ditandai dengan banyaknya lembaga-lembaga pendidikan membuka konsentrasi pengajaran pada Psikologi Olahraga. Puncaknya adalah pembentukan International Society of Sport Psychology (ISSP) oleh para ilmuan dari penjuru Eropa. Kongres internasional pertama diadakan pada tahun yang sama di Roma, Italia. Pada tahun 1966, sekelompok psikolog olahraga berkumpul di Chicago untuk membicarakan pembentukan semacam ikatan psikologi olahraga. Mereka kemudian dikenal dengan nama North American Society of Sport Psychology and Physical Activity (NASPSPA). Journal Sekolah pertama yang dipersembahkan untuk psikologi olahraga keluar tahun 1970 dengan nama The International Journal of Sport Psychology. Kemudian diikuti oleh Journal of Sport Psychology tahun 1979. Meningkatnya minat melakukan penelitian dalam bidang psikologi olahraga di luar laboratorium memicu pembentukan Advancement of Applied Sport Psychology (AAASP) pada tahun 1985 dan lebih berfokus secara langsung pada psikologi terapan baik dalam bidang kesehatan maupun dalam konteks olahraga. Kini Psikologi Olahraga sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kongres International Society of Sport Psychology Conference Di Yunani tahun 2000 telah dihadiri lebih dari 700 peserta yang berasal dari 70 negara. American Psychological Association pun telah memasukkan psikologi olahraga dalam divisi mandiri yakni divisi 47 Penerbitan dan jurnal pun sudah sangat banyak. Beberapa penerbitan dan jurnal tersebut adalah (a) International Journal of Sport Psychology (1970); (b) Journal of Sport Psychology (1979) yang kemudian berubah nama menjadi 1988 Journal of Sport and Exercise Psychology; NASPSPA pada tahun 1988. penerbitan lain adalah The Sport Psychologist (1987)sekarang, Journal of Applied Sport Psychology (1989) sekarang, serta The Psychology of Sport and Exercise. Sumber: www.sejarah-singkat-psikologi-olahraga.html

SEJARAH OLAHRAGA

A.Pendidikan jasmani pada zaman prasejarah Bangsa primitif yang hidup zaman prasejarah tidak meninggalkan bekas-bekas yang tertulis atau terlukis.Namun secara tidak disadari mereka meninggalkan bekas-bekas dan kehidupan sehari-hari yang terdapat pada lapisan stratigrafic dalam tanah berupa bekas tongkat bata yang yang dipertajam, cawat dari kulit binatang,dsb sehingga para ilmuan dapat menarik kesimpulan cara-cara hidup mereka dan tingkat kebudayaannya. Perkembangan sejarah menurut para ilmuan 1.Zaman Eoliticum (periode I) manusia berbulu seluruh bagian badan manusia ditumbuhi bulu,bertelanjang bulat berkeliaran bersama binatang-binatang,mencari makanan mentah,tidur tanpa atap,menggunakan dahan kayu dan batu untuk melindungi mempertahankan diri dan mereka selalu hidup dalam kecemasan akan keselamatan dirinya 2.zaman Paleolitikum ( periode II) Terkenal dengan sebutan abad batu lama manusia masuh tetap berkeliaran tak menentu mencari kebutuhan hidupnya tetapi sudah ada kemajuan antara lain, a. sudah mencari tempat tinggal digua-gua atau tempat berlindung b. menutup tubuhnya dengan kulit binatang yangtelha dikeringkan c. menemukan api untuk memasak makanan d. mulai membuat alat-alat sederhana 3. Zaman Neulitikum (periode III) Terkenal dengan sebutan batu baru a. Manusia mulai menggunakan alam untuk kehidupannya b. Menyimpan bahan makanan untuk masa depan c. Membuat panah untuk alat berburu dan mempertahankan diri d. Mulai bercocok tanam dan memelihara ternak e.mereka tidak berkeliaran lagi Bangsa Primitif belummempunyai pandangan filosofis tentang hidupnya, sebab segala aktivitasnya dicurahkan untuk mempertahankan hidupnya yaitu : a. mencari makanan b. mempertahankan diri c. mempertahanakan jenis Dalam ketiga faktor diatas mereka sangat tergantung efesiensi jasmaninya, sehinnga

pendidikan dan kebudayaan sangat dipengaruhi oleh kejasmaniannya. Yang dimaksud dengan efisiensi jasmani adalah kekuatan serta keterampilannya untuk mengatasi sesuatu,sehingga kedua hal inilah yang dipentingkan dalam pendidikan jasmani sebagai contoh 1. Upacara kedewasaan anak-anak dalam dalam bermain menirukan tingkah laku orang tuanya sehari -hari dalam mempertahankan hidup 2. Masa percobaan Anak dilepas ke dalam hutan dan baru diperkenankan kembali setelah hidup tanpa kawan dalam hutan selama 3 bulan atau bila telah membawa kepada seekor binatang buas 3. Anak dilepas dengan perahu di daerah sungi aliran deras dan boleh pulang apabila dapat menempuh aliran tersebut atau dapat menangkap sejenis atau beberapa jenis ikan 4. Suku lain menganggap anaknya sudah dewasa, apabila dapat membawa tengkorak dari suku lawannya untuk dipakai sebagia azimat 5. mengikuti orang tua/kakaknya untuk berburu,mencari ikan atau berperang sebagai syarat masa percobaan 6. mempertinggi keterampilan dalam tari-tarian diberbagai upacar ritual rekreaul. kesimpulan : Pada bangsa primitif pendidikan jasmani dan olahraga memegang peranan yang terpenting dalam kehidupan. Olahraga adalah hal yang utama pada bangsa primitif. Diposkan oleh anton borneo penjas di 16:34

Ruang Lingkup Psikologi Olahraga


Seiring dengan semakin besarnya industri olahraga, psikologi olahraga memegang peranan yang cukup signifikan. Dalam olahraga prestasi, peran psikolog olahraga dominan dalam mendongkrak prestasi para atlet. Misalnya dalam peningkatan motivasi, menghilangkan kecemasan, stress. Selain itu, peran seperti proses penyembuhan emotional disorders yang kerap di alami oleh para atlet profesional seperti anorexia, penggunaan obat terlarang, agresifitas, persoalan atlet dengan lingkungan keluarga, penonton, fans. Lihat yang sudah dilakukan oleh psikolog yang menangani Adriano, striker Inter Milan, dalam proses pengembalian perfomanya.

Bidang lain yang menjadi wilayah kerja psikologi olahraga adalah dalam konteks pelatihan. Di Eropa maupun Amerika, psikolog olahraga sudah terlibat dalam proses pelatihan para atlet. Peran vital pun dimainkan disini. Seorang psikolog menjadi partner bagi para pelatih dalam rangka menciptakan metode pelatihan yang efektif. Tentu saja dengan bekal ilmu psikologi. Perpaduan ilmu fisik manusia dengan ilmu psikis membuat pemahaman terhadap manusia lebih komplet. Banyak metode pelatihan yang merupakan sumbangan langsung dari dunia psikologi olahraga. Selain dengan terjun langsung di lapangan, psikologi olahraga juga memberi sumbangan melalui riset. Riset tentang hubungan antara gerak tubuh dan konsep mental memberikan masukan bagi pengembangan teknik kepelatihan maupun pengembangan cabang olahraga itu sendiri.

Di awal kemunculannya, psikologi olahraga memang berperan untuk membantu menemukan teknik pelatihan yang efektif dan efisien dalam mengembangkan kemampuan atletis para atlet. Penelitian tentang waktu tempuh pembalap sepeda adalah tonggak sejarah munculnya psikologi olahraga. Bidang pendidikan juga tidak luput dari dunia psikologi olahraga. Para psikolog olahraga banyak yang terjun langsung memberi pelatihan-pelatihan atau kursus-kursus bagi pelatih dalam konteks pemahaman terhadap manusia untuk diimplementasikan dalam proses pencetakan para atlet. Tidak hanya dalam konteks olahraga prestasi, psikologi olahraga juga berperan pengembangan olahraga sebagai salah satu sarana mencapai psychological well being atau untuk mencapai kesehatan mental bagi masyarakat. Karena terbukti bahwa olahraga merupakan salah satu sarana yang efektif untuk menghilangkan stress maupun depresi. Bisa dikatakan bahwa saat ini dunia olahraga profesional maupun amatir sudah sangat tergantung pada kehadiran psikologi olahraga. Pengembangan cabang ilmu ini tentu akan memberi kontribusi yang semakin besar pada peningkatan kualitas atlet maupun cabang olahraga itu sendiri di masa depan. Sayang memang, dunia olahraga Indonesia belum begitu memperhatikan aspek mental dalam pengembangan atlet. Peran psikolog olahraga di Indonesia pun baru sebatas konsultan bagi tim maupun atlet. Bidang garap dan ruang lingkup lain dari psikologi olahraga belum digarap dengan maksimal. Namun, semua harus dilakukan dengan penuh optimisme bahwa psikologi olahraga di Indonesia akan tumbuh berkembang dalam dunia olahraga Indonesia.

Psikologi Olahraga & Psikologi Latihan


Jump to Comments

Oleh:
Monty P.Satiadarma Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta

Sekalipun Weinberg dan Gould (1995) memberikan pandangan yang hampir serupa atas psikologi olahraga dan psikologi latihan (exercise psychology), karena banyak kesamaan dalam pendekatannya, beberapa peneliti lain (Anshel, 1997; Seraganian, 1993; Willis & Campbell, 1992) secara lebih tegas membedakan psikologi olahraga dengan psikologi latihan. Weinberg dan Gould, (1995) mengemukakan bahwa psikologi olahraga dan psikologi latihan memiliki dua tujuan dasar: 1. mempelajari bagaimana faktor psikologi mempengaruhi performance fisik individu 2. memahami bagaimana partisipasi dalam olahraga dan latihan mempengaruhi perkembangan individu termasuk kesehatan dan kesejahteraan hidupnya

Di samping itu, mereka mengemukakan bahwa psikologi olahraga secara spesifik diarahkan untuk: 1. membantu para professional dalam membantu atlet bintang mencapai prestasi puncak 2. membantu anak-anak, penderita cacat dan orang tua untuk bisa hidup lebih bugar 3. meneliti faktor psikologis dalam kegiatan latihan dan 4. memanfaatkan kegiatan latihan sebagai alat terapi, misalnya untuk terapi depressi (Weinberg & Gould, 1995).

Sekalipun belum begitu jelas letak perbedaannya, Weiberg dan Gould (1995) telah berupaya untuk menjelaskan bahwa psikologi olahraga tidak sama dengan psikologi latihan. Namun dalam prakteknya biasanya memang terjadi saling mengisi, dan kaitan keduanya demikian eratnya sehingga menjadi sulit untuk dipisahkan. Tetapi Seraganian (1993) serta Willis dan Campbell (1992) secara lebih tegas mengemukakan bahwa secara tradisional penelitian dan praktik psikologi olahraga diarahkan pada hubungan psikofisiologis misalnya responsi somatik mempengaruhi kognisi, emosi dan performance. Sedangkan psikologi latihan diarahkan pada aspek kognitif, situasional dan psikofisiologis yang mempengaruhi perilaku pelakunya, bukan mengkaji performance olahraga seorang atlet. Adapun topik dalam psikologi latihan misalnya mencakup dampak aktivitas fisik terhadap emosi pelaku serta kecenderungan (disposisi) psikologi, alasan untuk ikut serta atau menghentikan kegiatan latihan olahraga, perubahan pribadi sebagai dampak perbaikan kondisi tubuh atas hasil latihan olahraga dan lain sebagainya (Anshel, 1997).
Jelaslah kini bahwa psikologi olahraga lebih diarahkan para kemampuan prestatif pelakunya yang bersifat kompetitif; artinya, pelaku olahraga, khususnya atlet, mengarahkan kegiatannya olahraganya untuk mencapai prestasi tertentu dalam berkompetisi, misalnya untuk menang. Sedangkan psikologi latihan lebih terarah pada upaya membahas masalah-masalah dampak aktivitas latihan olahraga terhadap kehidupan pribadi pelakunya. Dengan kata lain, psikologi olahraga lebih terarah pada aspek sosial dengan keberadaan lawan tanding, sedangkan psikologi latihan lebih terarah pada aspek individual dalam upaya memperbaiki kesejahteraan psikofisik pelakunya. Sekalipun demikian, kedua bidang ini demikian sulit untuk dipisahkan, karena individu berada di dalam konteks sosial dan sosial terbentuk karena adanya individuindividu. Di samping itu kedua bidang ini melibatkan aspek psikofisik dengan aktivitas aktivitas yang serupa, dan mungkin hanya berbeda intensitasnya saja karena adanya faktor kompetisi dalam olahraga. Sejarah Psikologi Olahraga di Indonesia

Jadi, di satu pihak seorang praktisi psikolog yang memiliki ijin praktik belum tentu memiliki cukup pengetahuan ilmu keolahragaan, di lain pihak, pakar keolahragaan tidak dibekali pendidikan khusus psikoterapi dan konseling. Akibatnya, sampai saat ini masih terjadi kerancuan akan siapa sesungguhnya yang berhak memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Idealnya adalah seorang konsultan atau psikoterapis memperoleh pelatihan khusus dalam bidang keolahragaan; sehingga sebagai seorang praktisi ia tetap berada di atas landasan professinya dengan mengikuti panduan etika yang berlaku, dan di samping itu pengetahuan keolahragaannya juga cukup mendukung latar belakang pendidikan formalnya. Dalam upaya mengatasi masalah ini IPO sebagai asosiasi psikologi olahraga nasional tengah berupaya menyusun ketentuan tugas dan tanggung jawab anggotanya. Di samping itu, IPO juga tengah berupaya menyusun kurikulum tambahan untuk program sertifikasi bagi para psikolog praktisi yang ingin memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Kurikulum tersebut merupakan bentuk spesialisasi psikologi olahraga yang meliputi: 1) Prinsip psikologi olahraga, 2) Peningkatan performance dalam olahraga, 3) Psikologi olahraga terapan, 4) Psikologi senam. Masalah lain yang juga kerapkali timbul dalam penanganan aspek psikologi olahraga adalah dalam menentukan klien utama. Sebagai contoh misalnya pengguna jasa psikolog dapat seorang atlet, pelatih, atau pengurus. Kepada siapa psikolog harus memberikan pelayanan utama jika terjadi kesenjangan misalnya antara atlet dan pengurus, padahal psikolog dipekerjakan oleh pengurus untuk menangani atlet, dan atlet pada saat tersebut adalah pengguna jasa psikologi. Di satu pihak psikolog perlu menjaga kerahasiaan atlet, di lain pihak pengurus mungkin mendesak psikolog untuk menjabarkan kepribadian atlet secara terbuka demi kepentingan organisasi. Sachs (1993) menawarkan berbagai kemungkinan seperti misalnya menerapkan perjanjian tertulis untuk memberikan keterangan; namun demikian, jika atlet mengetahui bahwa pribadinya akan dijadikan bahan pertimbangan organisasi, ia mungkin cenderung akan berperilaku defensif, sehingga upaya untuk memperoleh informasi tentang dirinya akan mengalami kegagalan. Karenanya, seorang psikolog harus dapat bertindak secara bijaksana dalam menangani masalah ini, demikian pula, hendaknya seorang pelatih yang kerapkali bertindak selaku konsultan bagi atletnya kerap kali harus mampu melakukan pertimbangan untuk menghadapi masalah yang serupa. Atlet, Pelatih, & Lingkungan Atlet, pelatih dan lingkungan merupakan tiga aspek yang berkaitan satu sama lain dalam membicarakan psikologi olahraga dan psikologi senam. Istilah atlet tidak terbatas pada individu yang berprofesi sebagai olahragawan, tetapi juga mencakup individu secara umum yang melakukan kegiatan olahraga. Pelatih harus dibedakan dari sekedar instruktur, karena pelatih tidak hanya mengajarkan atlet bagaimana melakukan gerakan-gerakan olahraga tertentu, tetapi juga mendidik atlet untuk memberikan respon yang tepat dalam bertingkah laku di dalam dan di luar gelanggang olahraga. Lingkungan tidak terbatas pada lingkungan fisik semata-mata tetapi juga

lingkungan sosial masyarakat, termasuk di dalamnya lingkungan kehidupan tempat atlet tinggal. Atlet, pelatih dan lingkungan adalah tiga aspek yang merupakan suatu kesatuan yang menentukan athletic performance. Istilah atlethic performance agak sulit untuk diterjemahkan karena merupakan suatu istilah spesifik yang tidak bisa disamakan artinya dengan misalnya perilaku atletik. Atlet Seorang atlet adalah individu yang memiliki keunikan tersendiri. Ia memiliki bakat tersendiri, pola perilaku dan kepribadian tersendiri serta latar belakang kehidupan yang mempengaruhi secara spesifik pada dirinya. Sekalipun dalam beberapa cabang olahraga atlet harus melakukannya secara berkelompok atau beregu, pertimbangan bahwa seorang atlet sebagai individu yang unik perlu tetap dijadikan landasan pemikiran. Karena, misalnya di dalam olahraga beregu, kemampuan adaptif individu untuk melakukan kerjasama kelompok sangat menentukan perannya kelak di dalam kelompoknya. Adalah sesuatu hal yang mustahil untuk menyamaratakan kemampuan atlet satu dengan lainnya, karena setiap individu memiliki bakat masing-masing. Bakat yang dimiliki atlet secara individual ini lah yang sesungguhnya layak untuk memperoleh perhatian secara khusus agar ia dapat memanfaatkan potensi-potensinya yang ada secara maksimum. Namun demikian, keunikan individu seorang atlet seringkali disalahartikan sebagai perilaku menyimpang (Anshel, 1997). Sebagai contoh petenis John McEnroe menggunakan perilaku marahnya untuk membangkitkan semangatnya. Namun bagi mereka yang tidak memahami hal ini menganggap McEnroe memiliki kecenderungan pemarah. Masalahnya adalah mungkin perilaku marahnya dapat mengganggu lawan tandingnya sehingga hal ini dirasakan sebagai sesuatu yang kurang sportif untuk menjatuhkan mental lawan tandingnya. Demikian pula Monica Seles sering ditegur karena lenguhannya yang keras pada saat memukul bola, namun sesungguhnya hal ini merupakan keunikan perilakunya, dan karena tidak adanya aturan khusus untuk melarang hal tersebut, sebenarnya memang Seles tidak melakukan pelanggaran apapun. Adalah juga keliru menganggap bahwa setiap atlet membutuhkan masukan dari pelatihnya pada saat menjelang pertandingan. Karena ada atlet-atlet yang lebih cendeung memilih untuk berada sendiri daripada ditemani oleh orang lain. Jadi, setiap atlet memiliki ciri khas masing-masing, dan tidak bisa dilakukan penyamarataan dalam melakukan pendekatan terhadap atlet. Hal-hal seperti inilah yang perlu difahami oleh para pembina dalam membina para atletnya. Karena justru keunikan merekalah yang membuat mereka mampu berprestasi puncak. Sedangkan mereka yang tergolong normal memang hanya memiliki prestasi normal-normal (biasa-biasa) saja. Pelatih

Pelatih, seperti telah disinggung di atas, bukan sekedar instruktur olahraga yang memberitahukan atlet cara-cara untuk melakukan gerakan tertentu dalam olahraga. Pelatih juga merupakan tokoh panutan, guru, pembimbing, pendidik, pemimpin, bahkan tak jarang menjadi tokoh model bagi atletnya. Pelatih sendiri juga mungkin meniru gaya pelatih lain atau pelatih senior yang melatih dirinya. Ada pepatah asing yang mengatakan monkey see, monkey do, artinya apa yang dilihat, itulah yang dikerjakan. Demikianlah hal yang harus disadari oleh pelatih bahwa apa yang dilakukannya kelak akan dijadikan contoh oleh atletnya. Dengan kata lain atlet cenderung untuk meniru hal-hal yang dikerjakan oleh pelatihnya. Pelatih harus waspada akan hal-hal yang disampaikan pada atletnya, karena atlet cenderung akan mencamkan yang diutarakan oleh pelatihnya. Hal yang diutarakan pelatih pada atlet dipandang sebagai prinsip oleh atlet, dan atlet cendrung berupaya untuk mentaatinya. Demikian pula ekspressi emosi pelatih terhadap atletnya akan banyak berpengaruh terhadap perilaku atlet (Anshel, 1997). Kecemasan pelatih menjelang pertandingan dapat mempengaruhi atlet untuk menjadi makin cemas dalam bertanding. Lontaran ucapan pelatih yang kurang layak dapat dirasakan sangat menyakitkan oleh atlet sehingga dapat memberikan pengaruh negatif pada atlet dalam berlatih maupun bertanding. Demikian pula penerapan disiplin yang tidak jelas, terlebih disertai dengan penguatan yang kurang tepat akan memberikan dampak buruk bagi penampilan atlet. Adalah tugas pelatih untuk memainkan peran penting dalam masalah-masalah psikologis seperti di bawah ini : * Memotivasi atlet sebelum, selama, dan setelah periode latihan maupun pertandingan * Memberikan pengaruh positif terhadap pembentukan sikap atlet * Memperbaiki citra diri dan keyakinan diri atlet * Menjadi pimpinan yang baik untuk meningkatkan moral atlet * Memahami dan memnuhi kebutuhan atlet * Mengidentifikasi potensi dan mempromosikan perkembangan atlet * Mempertahankan konsistensi performance atlet * Membantu atlet mengatasi tekanan mental, kekecewaan, dan berbagai permasalahan yang berpotensi mengganggu performancenya kelak * Mempersiapkan atlet dengan memberikan bekal keterampilan dan strategi bertanding. Lingkungan Lingkungan mencakup situasi, kondisi, interaksi atlet dengan atlet lain, dengan pelatih, dengan lawan tanding, penonton, peliput olahraga, serta juga terkait dengan kondisi

fisik perlengkapan, fasilitas dan lain-lain. Dalam berbagai jenis olahraga, lingkungan juga terkait dengan masalah cuaca dan medan pertandingan. Di samping itu, lingkungan juga mencakup keutuhan kelompok, kebersamaan kelompok, sifat saling membantu di antara anggota kelompok, perasaan bangga dan lain-lain. Lingkungan memiliki aspek cakupan yang demikian luasnya, karenanya sejumlah aspek yang menentukan seringkali luput dari pengamatan.

Adalah penting untuk ditelaah besarnya peran lingkungan terhadap performance atlet, dan tangguh serta tanggapnya atlet terhadap kondisi lingkungan. Atlet yang kurang tanggap terhadap kondisi lingkungan bisa kehilangan kewaspadaan, atlet yang kurang tangguh bisa mudah terpengaruh oleh kondisi lingkungan. Selanjutnya, dukungan lingkungan yang besar mungkin dapat memberi dampak positif bagi performance atlet; sebaliknya kondisi lingkungan yang terlalu menekan cenderung memberi dampak negatif pada atlet.
Ketiga aspek yang tidak terpisahkan ini (atlet, pelatih dan lingkungan) memiliki hubungan interaksi yang demikian kompleks sehingga memang tidak terlalu mudah untuk mengkajinya. Namun demikian berbagai upaya harus terus dilakukan sebagai usaha untuk terus mengembangkan potensi atlet secara maksimal. Kompleksitas hubungan interaktif ketiga aspek ini seringkali kurang memperoleh perhatian serius; sebaliknya sejumlah upaya yang dilakukan juga sering melupakan atau memperkecil peran satu aspek dibandingkan aspek lainnya. Padahal, hambatan yang terjadi pada salah satu aspek tertentu, betapapun kecil tampaknya bisa memberi pengaruh yang besar pada performance atlet.

Kepustakaan
Anshel, M. H. (1997). Sport psychology: From theory to practice (3rd ed.). Scottsdale, AZ: Gorsuch Scarisbrick. Clarke, K. S. (1984). The USOC sports psychology registry: A clarification. Journal of Sport Psychology, 6, 365-366. Sachs, M. L. (1993). Professional ethics in sport psychology. In R. N. Singer, M. Murphey, & L. K. Tennant (Ed.), Handbook of research in sport psychology (pp. 921-932). New York: Maacmillan. Seraganian, P. (Ed.). (1993). Exercise psychology: The influence of physical exercise on psychological processes. New York: John Wiley & Sons. Singer, R. N. (1993). Ethical issues in clinical services. Quest, 45, 88-105 Triplett, N. (1898). The dynamogenic factors in pacemaking and competition. American Journal of Psychology, 9, 507-553. Weinberg, R. S., & Gould, D. (1995). Foundations of sport and exercise psychology. Champaign, IL: Human Kinetics

Wiffins, D. K. (1984). The history of sport psychology in North America. In J. M. Silva & R. S. Weinberg (Eds.), Psychological foundations of sport (pp.9-22). Champaign, IL: Human Kinetics. Willis, J. D., & Campbell, L. F. (1992). Exercise psychology. Champaign, IL: Human Kinetic. Sumber: www.himpsi.org http://www.scribd.com/doc/22540547/Sejarah-olahraga

Anda mungkin juga menyukai