Anda di halaman 1dari 11

sumber:www.oseanografi.lipi.go.

id

Oseana, Volume XIX, Nomor 2 : 23 - 32

ISSN 0216 - 1877

PENGARUH SALINITAS TERHADAP SEBARAN FAUNA EKHINODERMATA oleh Aznam Aziz *) ABSTRACT EFFECTS OF SALINITY ON ECHINODERMS DISTRIBUTION. The effects of salinity on marine and brackish water invertebrates including echinoderms are already documented by some authors. Recent reviews on this subject have been published by PAGETT (1981), and KINNE (1964). The salinity tolerance may be different at different ages, in different life stages, and in the different localities. Significant changes of salinity cause produce shock reactions and severe metabolic disturbances. The total ranges of salinity tolerated are usually larger in echinoderms living in brackish water than in those living in sea water. The article reviewed the effects of salinity on echinodeerms disstribution.

PENDAHULUAN Salinitas disamping suhu, adalah merupakan faktor abiotik yang sangat menentukan penyebaran biota laut. Perairan dengan salinitas lebih rendah atau lebih tinggi dari pada pergoyangan normal air laut merupakan faktor penghambat (limiting factor) untuk penyebaran biota laut tertentu. Menurut KINNE (1964), pergoyangan air laut normal secara global berkisar antara 33 %o sampai dengan 37 dengan nilai tengah sekitar 35 %o. Walaupun demikian terdapat kodisi ekstrim alami, seperti di Laut Merah pada saat tertentu salinitas air laut dapat mencapai 40 ataupun seperti contoh di Laut Baltik, terutama di sekitar Teluk Bothnia salinitas air

laut dapat mencapai titik terendah yaitu sekitar 2 %c. Perairan muara sungai dan estuaria biasanya mempunyai salinitas lebih rendah dari air laut normal dan disebut sebagai perairan payau (brackish water). Batas pergoyangan air payau ini berkisar 0,5 %o sampai dengan 30 %o (KINNE 1964, PAGETT 1981). Perairan sekitar Pulau-pulau Seribu sebagaimana halnya perairan Laut Jawa, terutama perairan dekat pantai mempunyai salinitas yang relatif lebih rendah dari pada salinitas perairan samudera, yaitu berkisar antara 31,44 %0 sampai dengan 33,16 dengan nilai tengah sekitar 32,21 (KASTOTO & BIROWO 1974). Hal ini dimungkinkan karena tingginya curah hujan

*) Balai Penelitian dan Pengembangan Biologi Laut, Pusat Penelilian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI, Jakarta.

23

Oseana, Volume XIX No. 2, 1994

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

dan banyaknya sungai-sungai besar yang bermuara ke Laut Jawa. Pengaruh salinitas terhadap invertebrata laut dan ikan-ikan air payau telah disarikan oleh KINNE (1964). Khusus mengenai pengaruh salinitas terhadap kelompok fauna ekhinodermata telah disarikan oleh PAGETT (1981). Pada artikel ini akan diuraikan lebih jauh mengenai pengaruh salinitas terhadap penyebaran fauna ekhinodermata. PANDANGAN UMUM Secara umum fauna ekhinodermata dipandang sebagai biota laut murni degan batasan toleransi terhadap perubahan salinitas adalah relatif sempit Biota seperti ini biasanya dikelompokkan sebagai biota yang "stenohaline" (BINYON, FARMANFARMAIAN, FEDER, FELL dan PAWSON dalam BOOLOOTIAN 1966). Namun demikian para pakar di atas melaporkan, bahwa beberapa anggota dari kelas Asteroidea, Ophiuroidea, Echinoidea dan Holothuroidea menunjukkan adanya kemampuan beradaptasi lebih luas terhadap pergoyangan salinitas air laut normal. Dalam hal ini kelompok kecil dari fauna ekhinodermata tersebut bisa dimasukkan ke dalam kategori biota yang "euryhaline". Kelas lili laut atau Crinoidea dipandang sebagai penghuni laut sejati, dimana catatan salinitas terendahnya adalah sekitar 32 %o (BINYON dalam BOOLOOTIAN 1966) Apabila dibandingkan dengan kelompok moluska, ternyata bahwa daya adaptasi kelompok ekhinodermata lebih rendah. Selaput kulit yang relatif tipis dengan daya permeabilitas yang tinggi pada kelompok ekhinodermata merupakan salah satu sebab rendahnya daya adaptasi terhadap perubahan salinitas (DROUIN et al. 1985).

PENGARUH SALINITAS TERHADAP HEW AN DEWASA 1. Crinoidea atau lili-laut Lili-laut atau Crinoidea hidup pada perairan dengan batasan pergoyangan air laut normal. Lili-laut menghindari perairan estuaria dan muara sungai. Di daerah perairan dangkal seperti di ekosisem terumbu karanng, hewan ini menghindari zona ratasan terumbu, dan lebih menyukai zona lereng terumbu. Hal ini merupakan suatu upaya untuk menghindari perubahan salinitas yang ekstrim. FELL (dalam BOOLOOTIAN 1966), menginformasikan bahwa berdasarkkan hasil percobaan terhadap lili-laut yang berasal dari ekosistem terumbu karang, ternyata hewan ini dapat toleran terhadap pergoyangan salinitas antara 24 %o sampai dengan 36 %o. 2. Holothuroidea atau kelompok teripang Teripang pada umumnya tidak tahan terhadap salinitas rendah. PAWSON (dalam BOOLOOTIAN 1966), melaporkan bahwa beberapa jenis teripang seperti Thyonidium pellucidum, Thyone sp. dan Protankyra similis dapat hidup pada perairan payau dengan salinitas sekitar 20 %o. Tetapi anggota kelompok lain dari kelas Holothuroidea ini tidak tahan terhadap salinitas rendah. 3. Echinoidea atau kelompok bulu babi Bulu babi sebagaimana fauna ekhinodermata lainnya, tidak tahan terhadap salinitas rendah. Kecuali untuk jenis yang hidup di daerah pasang surut, bulu babi jenis Strongylocentrotus purpuratus yang hidup di daerah pasang surut relatif tahan terhadap pengenceran salinitas pada saat musim penghujan. Bila dibandingkan dengan kelompok bintang laut dan kelompok teripang,

24

Oseana, Volume XIX No. 2, 1994

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

daya toleransi terhadap perubahan salinitas pada bulu babi relatif lebih rendah (MOORE dalam BOOLCX)TIAN 1966). Selanjutnya GffiSE & FARMANFARMAIAN (1963), melaporkan bahwa bulu babi jenis Strongylocentrotus purpuratus mempunyai batas toleransi terhadap salinitas antara 80 % air laut sampai dengan 110 % air laut. Bila salinitas lebih rendah dari 80 % air laut atau lebih tinggi dari 110 % air laut akan terlihat perubahan pada pigment, duri-duri mulai rontok, hewan tersebut jadi tidak aktif, tidak mau makan, dan pada akhirnya akan mengalami kematian setelah beberapa hari. Pada salinitas 70 % air laut dan 120 % air laut hewan ini dapat bertahan antara 25 had sampai dengan 35 hari. Bila ditempatkan pada salinitas 50 % air laut dan 130 % air laut, hewan ini akan mati bervariasi antara 2 hari sampai dengan 7 hari. LAWRENCE (1975), mengikhtisarkan bahwa bulu babi jenis Lytechinus variegatus yang hidup di perairan Jamaica tidak tahan terhadap pengenceran salinitas. hewan ini akan mengalami kematian masal setelah turun hujan yang lebat. Dari percobaan di laboratorium ternyata hewan ini hanya bertahan selama 5 hari pada salinitas 23 %o, dan diduga ambang batas mematikan terendah terletak antara 23 %o sampai dengan 26 %c. Selanjutnya HIMMELMAN et al. (1983), melaporkan bahwa bulu babi jenis Strongylocentrotus droebachiensis yang hidup di daerah estuaria Sait Lawrence, USA toleran terhadap pergoyangan salinitas antara 18 %o sampai dengan 25 %o. Tetapi di alam hewan ini lebih terkonsentrasi di lokasi yang berdekatan dengan laut bebas, dimana salinitasnya relatif lebih tinggi. Ukuran tubuh juga berpengaruh terhadap daya toleransi terhadap perubahan salinitas. Individu bulu babi dengan ukuran diameter tubuh diatas

40 mm, ternyata lebih toleran terhadap penurunan salinitas apabila dibandingkan dengan individu yang bemkuran lebih kecil. 4. Asteroida atau bintang laut Daari kelompok bintang laut, salah satu jenis yang tahan terhadap salinitas rendah adalah bintang laut jenis Asterias rubens. Di perairan laut Utara hewan ini dapat hidup pada salinitas 23 %o. Sedangkan Asterias rubens yang hidup di laut Baltik, bisa toleran pada salinitas sekitar 8 %o. Menurut FEDER (dalam BOOLOOTIAN 1966), bintang laut jenis Asterias rubens dalam kasus ini bisa dipandang sebagai "ras" berbeda dari jenis yang sama. Dalam hal ini kemampuan beradaptasi secara fisiologis dari kedua ras tersebut adalah berbeda. Bintang laut jenis Asterias rubens yang hidup di estuaria, terutama yang dekat muara sungai mengalami kematian masal pada saat musim penghujan, terutama sebagai akibat dari penurunan salinitas yang sangat tajam. BINYON (1961, 1962), melakukan serangkaian penelitian laboratorium terhadap bintang laut jenis Asterias rubens ini. Hewan ini akan hidup normal pada salinitas 25 %c, sedangkan pada salinitas 18 %o, dalam waktu 7 hari bintang laut ini akan mengalami kematian. Batas ambang kritis terendah untuk bintang laut jenis Asterias rubens terletak antara 22 sampai dengan 24 %o. Selain Asterias rubens, ternyata bintang laut jenis Luidia clathrata yang hidup di Teluk Tampa, Florida juga mempunyai toleransi tertentu terhadap pengeceran salinitas. Hewan ini di alam hidup pada salinitas sekitar 27 bila dipindahkan ke laboratorium pada salinitas 16 %o setelah dua hari hewan ini menjadi tidak aktif, tubuhnya agak membengkak. Tetapi setelah beberapa hari hewan inidapatberadaptasi dan menyesuaikan

25

Oseana, Volume XIX No. 2, 1994

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

diri, baik tingkah laku ataupun ukuran tubuhnya akan menjadi normal kembali. Dalam hal ini diduga ada semacam mekanisme pengaturan keseimbangan osmotik dari cairan tubuh disamping mekanisme osmotik intraselular (ELLINGTON & LAWRENCE 1974). 5. Ophiuroidea atau kelompok bintang mengular

Bintang mengular sebagimana fauna ekhinodermata lainnya dipandang sebagai biota yang stenohaline. THOMAS (1961), melaporkan bahwa bintang mengular jenis Ophiura albida dapat hidup di bagian barat laut Baltik pada salinitas 10 %o. Selanjutnya dilaporkan di daerah estuaria Cedar Key, F lo r id a b in ta n g me n g u l a r j e n is Ophiophragmus filograneus dilaporkan bisa

bertahan hidup pada salinitas 7,7 %e. Walaupun bintang mengular jenis
Ophiophragmus filograneus dilaporkan bisa bertahan hidup pada salinitas 7,7 %o ternyata pada percobaan di laboratorium biota ini akan mengalami kematian setelah 19 hari ditempatkan pada salinitas 10 %o. Pada percobaan penurunan sainitas secara bertahap antara 25 %o sampai dengan 8 %o, hewan ini akan mengalami kematian setelah 45 hari (TUNNER & MEYER 1980). Di alam salinitas rendah (Cedar Key, Florida) terjadi pada bulan Agustus, diduga selama periode salinitas rendah tersebut bintang mengular ini membenamkan diri kedalam lumpur. Pembenaman diri dalam lumpur tersebut merupakan upaya adaptasi terhadap salinitas rendah. Selanjutnya TUNER & MEYER (1980), melaporkan bahwa bintang mengular jenis Ophiopragmus filograneus akan mengalami kematian setelah 2 hari

ditempatkan pada salinitas 42 . Bintang mengular jenis Ophiura albida yang hidup di daerah estuaria ternyata lebih tahan terhadap pengeceran salinitas, bila dibandingkan dengan bintang mengular jenis Amphiura chiajei yang hidup di laut bebas dengan salinitas normal. Bintang mengular jenis Ophiura albida bisa hidup selama 42 hari bila ditempatkan pada salinitas 70 %o air laut (sekitar 24,4 %c), sedangkan bintang mengular jenis Amphiura chiajei akan mengalami kematian setelah 18 hari bila ditempatkan pada salinitas yang sama (PAGETT 1980). Selanjutnya PAGETT (1981), melaporkan bahwa bintang mengular jenis Ophiura albida yang berasal dari perairan dengan salinitas berbeda, akan menunjukkan reaksi yang berbeda pula terhadap pengujian daya toleransi terhadap salinitas. Pada pengujian terhadap penaikan salinitas bertahap dari 24,4 %o sampai dengan 34,5 %o, ternyata bahwa bintang mengular jenis Ophiura albida yang berasal dari perairan estuaria dapat menyesuaikan diri dengan baik. Sebaliknya bintang mengular jenis yang sama yang berasal dari laut bebas dengan salinitas normal, bila ditempatkan pada salinitas dengan penurunan bertahap akan memperlihatkan reaksi yang berbeda. Dalam hal ini hewan tersebut tidak dapat beradaptasi dengan baik. Mula-mula hewan ini memperlihatkan aktifitas yang menurun, tangan-tangannya akan melengkung, pigment kulit mulai menghilang. Kurang lebih setelah 11 hari ditempatkan pada salinitas 24,9%o semua hewan percobaan mengalami kematian. Laporan salinitas rendah alami ataupun ada penelitian laboratorium dari berbagai ekhinodermata dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

26

Oseana, Volume XIX No. 2, 1994

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XIX No. 2, 1994

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Tabel

2. Salinitas terendah dari berbagai ekhinodermata berdasarkan hasil uji coba, disarikan oleh BINYON (dalam BOOLOOTIAN 1966).

28

Oseana, Volume XIX No. 2, 1994

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

PENGARUH SALINITAS PADA MASA PERTUMBUHAN Penelitian yang menyangkut pengaruh salinitas terhadap pertumbuhan pada fauna ekhinodermata jarang dilakukan. Salinitas adalah merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan larva. Dalam hal ini larva adalah lebih sensitif terhadap pengaruh penurunan ataupun penaikkan salinitas dari batasan pergoyangan salinitas normal bila dibandingkan dengan hewan dewasa. Bila dibandingka dengan kelompok biota lainnya seperti moluska, ternyata larva fauna ekhinodermata lebih sensitif terhadap perubahan salinitas ini. GIESE & FERMANFAMAIAN (1963), melaporkan bahwa larva bulu babi jenis Steongylocentrotus purpuratus fase gastrula bisa beikembang dengan baik pada pergoyangan salinitas antara 90 % air laut sampai dengan 110 % air laut. Bila salinitas ditumnkan sampai dengan 70 % air laut atau dinaikkan sampai dengan ISO % air laut, maka perkembangan larva akan dihambat. Selanjutnya GREENWOOD & BENNETT (1981), melaporkan bahwa bulu babi jenis Parechinus angulosus yang hidup di perairan Afrika Selaatan bila ditempatkan pada salinitas normal (34 %6) akan mengalami tingkat keberhasilan fertilisasi sempurna (100 %). Bila salinitas ditumnkan sampai dengan 19,8 %o, maka tingkat keberhasilan fertalisasi akan menurun sampai dengan 50 %, dan apabila salinitas ditumnkan terns sampai dengan 15 %o fertilisasi akan gagal total. ROLLER & STICKLE (1985), melakukan serangkaian percobaan terhadap larva empat jenis ekhinodermata, yaitu larva bintang laut jenis Pisaster ochraceus, larva bulu babi jenis Strongylocentrotus droebachiensis, S. purpuratus, dan S. pallidus

pada salinitas dengan kisaran antara 20 %o sampai dengan 30 %o. Hasil perccobaan menunjukkan bahwa pertumbuhan larva yang ditempatkan pada kisaran salinitas antara 20 %o sampai dengan 25 %o, adalah lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan larva yang ditempatkan pada kisaran salinitas antara 27,5 %o sampai dengan 30 %o. Selanjutnya WATT et al. (1982), melaporkan bahwa larva bintang laut jenis Echinaster modestus akan memperlihatkan pertumbuhan dan perkembangan abnormal bila ditempatkan pada salinitas 39 %o. Sebaliknya pada salinitas rendah (sekitar 20 ), pertumbuhan dan perkembangan larva bintang laut ini juga akan mengalami hambatan. Pertumbuhan larva yang normal dapat terjadi pada bak pemeliharaan dengan kisaran salinitas antara 25 %o sampai dengan 35 %o. PERMASALAHAN Di alam kasus pengenceran salinitas lebih memungkinkan teijadi, bila dibandingkan dengan penaikkan salinitas. Di daerah perairan dangkal, terutama di zona pasang surut yang dekat dengan muara sungai, atau pada saat surut terendah yang bertepatan dengan musim penghujan dapat menimbulkan kondisi pengenceran salinitas yang ekstrim. Biota invertebrata bentik termasuk ekhinodermata akan mudah terperangkap pada kondisi tersebut. Kadang-kadang terjadi kasus kematian masal bulu babi pada musim penghujan, terutama di lokasi yang berdekatan dengan muara sungai. Menumt PAGETT (1981), problema fisiologis mendasar dari pengenceran salinitas adalah rendahnya kandungan garam di medium luar dibandingkan dengan cairan tubuh biota. Kulit dari invertebrata laut, termasuk ekhinodermata pada umumnya

29

Oseana, Volume XIX No. 2, 1994

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

bersifat "permeable", artinya bisa terjadi pertukaran masa air dan ion-ion terlarut antara medium dan cairan tubuh. Pada fauna ekhinodermata yang pada umumnya bersifat stenohaline, bila berada pada medium yang salinitasnya diencerkan, air dari medium luar akan masuk kedalam rongga tubuh. Sementara itu ionion dari cairan tubuh akan dilepas ke air laut. Hal ini akan terhenti bila tercapai keseimbangan osmotik yang baru. Perubahan yang terjadi adalah sebagai berikut : 1. Terjadi pergantian dalam konsentrasi osmotik total. Dampaknya terhadap biota adalah akan menurunkan kecepatan metabolisme tubuh. 2. Komposisi ion-ion terlarut dalam cairan tubuh akan berganti. Pada tingkatan tertentu akan mengurangi kapasitas reproduksi, menghambat pertumbuhan, dan pada kondisi ekstrim akan berakhir dengan kematian. 3. Terjadi pergantian dalam koefisien penyerapan gas-gas terlarut. Hal ini akan memodifikasi aktifitas metabolisme tubuh. 4. Terjadi pergantian dalam tingkat kekentalan cairan tubuh. Pergantian ini akan mempengaruhi pergerakan dan aktifitas tubuh. Secara umum keempat perubahan ini akan memberikan pengaruh yang negatif kepada biota laut, termasuk ekhinodermata. Gejala-gejala yang tampak dari luar adalah biota menjadi tidak aktif, tubuh membengkak, duri-duri akan rontok, pigment tubuh menghilang, dan pada kondisi ekstrim biota tersebut akan mati.

Menurut KINNE (1966), untuk menangkal pengaruh negatif dari perubahan salinitas yang melebihi pergoyangan normal air laut, adalah sebagai berikut : 1. Melakukan migrasi atau berpindah tempat dari kondisi buruk ke kondisi lingkungan yang lebih baik. Hal ini berlaku untuk ikan-ikan yang bergerak aktif. Sedangkan invertebrata termasuk ekhinodermata pergerakkannya sangat terbatas. 2. Mengurangi kontak langsung dengan medium sekitarnya: Keong laut dan kelompok cacing tertentu akan bersembunyi dalam cangkangnya, atau mem bungkus diri dengan lendir atau mukosa. Kelompok bintang mengular dan teripang akan membenamkan diri dalam lumpur. 3. Pengaturan keseimbangan osmotik yang baru. Pada umumnya biota laut mempunyai kemampuan terbatas dalam mengatur keseimbangan osmotik, baik intra sellular ataupun pada cairan rongga tubuh, dalam hal ini sistem pembuluh air pada ekhinodermata turut berperan aktif. 4. Melakukan adaptasi. Bentuk yang paling cocok untuk penyesuaian diri dengan kasus pengenceran salinitas adalah dengan jalan beradaptasi. Dalam hal ini terjadi adaptasi secara genetis, fisiologis dan morfologis. Adaptasi ini dilakukan dalam waktu yang lama dari suatu generasi ke generasi berikutnya, sehingga tercapai semacam ras fisiologis baru yang tahan terhadap kondisi salinitas ekstrim tersebut. Contohnya Asterias rubens yang hidup pada salinitas 10 %o di laut Baltik.

30

Oseana, Volume XIX No. 2, 1994

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

DAFTAR PUSTAKA

BINYON, J. 1961. Salinity tolerance and permeability to water of the starfish Asterias rubens L. Jour. Mar. Biol. Ass. UX. 41 : 161 - 174. BINYON, J. 1962. Ionic regulation and mode of adjusment to reduced salinity of the starfish Asterias rubens L. Jour. Mar. Biol. Ass. UX. 42 : 49 - 64. BOOLOOTIAN, R.A. (Ed.) 1966. Physiology of Echinodermata. Interscience Publisher, New York : 797 pp. DROUIN, G., J.H. HIMMELMAN, and P. BELAND 1985. Impact of tidal salinity fluctuations on echinoderm and mollusc populations. Con. J. Zool. 63 : 13771387. ELLINGTON, W.R. and J.M. LAWRENCE 1974. Coelomic fluid volume regulation and isosmotic intracellular reguation by Luidia clathratra (Echinodermata : Asteroidea) in response to hyposmotic stress. Biol. Bull. 146 : 20-31. GIESE, A.C. and A. FARMANFARMAIAN 1963. Resistance of the purple sea urchin to osmotic stress. Biol. Bull. 124 : 182-192. GREENWOOD, PJ. and T. BENNETT 1981. Some effects of temperature salinity combinations on the early development of the sea urchin Parechinus angulosus (L.) fertilization. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 51 : 119-131.

HIMMELMAN, J.H., Y. LAVERGNE, F. AXELSEN, A. CARDINAL, And E. BOURGET 1983. Sea urchins in the Saint Estuary : Their abundance, sizestructure, and suitability for commercial exploitation. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 40 : 474-486. KASTORO & S. BIROWO 1974. Seasonal changes in sea surface temperature and salinity around Pulau Ayer. Oseanologi di Indonesia 3 : 1-10. KINNE, O. 1964. The effects of temperature and salinity on marine and brackish water animals. II Salinity and temperature salinity combination. Oceanogr. Mar. Biol. Ann. Rev. 2 : 281339. LAWRENCE, J.M. 1975. The effects of temperature-salinity combination the functional well-being of adult Lytechinus variegatus (Lamarck) (Echinodermata, Echinoidea). J. Exp. mar. Biol. Ecol. 18 : 271-275. PAGETT, R.M. 1980. Tolerance to brackishwater by ophiuroids with special reference to a Scottish sea Loch, Loch etive. In : JANGOUX, (ed.) Echinoderms : Present and Past. A.A. Balkema, Rotterdam : 223-229. PAGETT, R.M. 1981. The penetration of Brackish-water by the Echinodermata. In : JONES, N.V. and W.J. WOLFF (eds.), Feeding and survival strategies of estuarine organisms : Mar. Sci. Ser. 15 : 135-151.

31

Oseana, Volume XIX No. 2, 1994

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

ROLLER, R.A. and W.B. STICKLE 1985. Effects of salinity on larval tolerance and early development rates of four species of echinoderms. Can. J. Zool. 63 : 1531-1538. THOMAS, L.P. 1961. Distribution and salinity tolerance in the Amphiurid brittlestar, Ophiophragmusfilograneus. Bull. Mar. Sci. 11 (1) : 158-160.

TURNER, R.L. and C.E. MEYER 1980. Salinity tolerance of the Brackis-water echinoderm Ophiophragmus filograneus (Ophiuroidea). Mar. Ecol. Progr. Ser. 2 : 249-256. WATT, S.A., R.E. SCHEIBLING, A.G. MARSH, and J.B. MCCLINTOCK 1982. Effect of temperature and salinity on larval development of sibling species of Ehinaster (Echinodermata: Asteroidea) and their hybrids. Biol. Bull. 163 : 348-354.

32

Oseana, Volume XIX No. 2, 1994

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XIX, Nomor 3 : 1 - 1 0

ISSN 0216-1877

STANDAR REFERENSI DIET UNTUK PENELITIAN NUTRISI KRUSTASEA Oleh Sri Juwana ' ABSTRACT A STANDARD REFERENCE DIET FOR CRUSTACEAN NUTRITION RESEARCH. The present paper follows the evaluation of two possible Standard Reference Diets (SRDs) for crustaceans. Details of the formulation. Preparation and proximate composition of the diets are provided. The purpose of standard reference diet is to provide neither a feed for commercial culture of various species nor the optimal nutritional formulation for all species concerned. The objective is to provide a reproducible, ready available, balanced diet of defined nutrient composition, that can be used as a reference for comparing results among laboratories, species and experiments.

PENDAHULUAN
Studi mengenai kebutuhan nutrisi krustasea mempunyai sejarah yang relatif pendek. Tulisan mengenai diet krustasea yang diformulasi dari bahan-bahan yang semimurni (semi-purified) mungkin pertama kali dipublikasikan oleh KANAZAWA et al. (1970) untuk Penaeus japonicus. Selanjutnya berbagai studi mengenai diet krustase dan kebutuhan nutrisi telah dilakukan sebagai respon terhadap perkembangan budidaya udang yang cukup pesat. Tetapi setelah NEW (1976) membuat review mengenai nutrisi udang dan mengkritik ketidak-adaan standarisasi dalam rancangan percobaan; kondisi budidaya; dan teknik analisis yang membatasi nilai informasi yang dipublikasi; sehingga menjadi sukar atau tak mungkin untuk membandingkan hasil-hasil riset dari

laboratorium yang berbeda. Menyadari akan riset yang telah lalu, WORLD MARICULTURE SOCIETY (WMS), sekarang WORLD AQUACULTURE SOCIETY (WAS), dalam mengantisipasi penelitian-penelitian dimasa mendatang, menetapkan suatu "NUTRITION TASK FORCE" dalam tahun 1976 untuk membuat petunjuk bagi standarisasi metodologi riset nutrisi bagi akuakultur. Untuk mendukung dan mengembangkan diskusi mengenai standarisasi ini telah diadakan pertemuan di Hamburg. Federal Republic of Germany, 21-23 Maret 1979. Sehingga terbentuk kelompok kerja yang terdiri dari "EUROPEAN INLAND FISHERIES ADVISORY COUNCIL" (EIFAC) ; "INTERNATIONAL UNION OF NUTRITION SCIENTISTS" (IUNS) ; dan "INTERNATIONAL COMMISSION FOR EXPLORATION OF THE SEA" (ICES) khususnya akan

1) Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta.

Oseana, Volume XIX No. 2, 1994

Anda mungkin juga menyukai