Anda di halaman 1dari 33

1. PENDAHULUAN 1.1.

Deskripsi Acara Praktikum penentuan kadar air dan abu dilaksanakan pada hari Senin, 28 November 2011 pada pukul 14.00 WIB. Dalam penentuan kadar air metode yang dilakukan adalah Thermo-gravimetri sedangkan pada penentuan kadar abu dilakukan pengabuan cara kering. Metode Thermo-gravimetri yang dilakukan berdasar pada prinsip menguapkan air yang ada dalam bahan dengan pemanasan, kemudian menimbang bahan sampai berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Alat yang digunakan dalam pengukuran kadar air ialah desikator, cawan porselin, oven, kertas saring, timbangan analitik, penjepit. Bahan yang digunakan adalah keripik singkong Kusuka untuk kelompok 1,2,3, dan keripik Qtela untuk kelompok 4,5,6. Pengukuran kadar air dengan metode Thermogravimetri yang dilakukan yaitu mula-mula sampel dihaluskan dan ditimbang lalu sampel dikeringkan dalam oven. Kemudian sampel dan cawan dimasukkan dalam desikator selama 15 menit. Lalu ditimbang hingga diperoleh berat konstan. Perhitungan kadar air meliputi wet basis, dry basis, dan total padatan. Sedangkan alat yang digunakan pada penentuan kadar abu adalah cawan porselen, oven, desikator, timbangan analitik, tanur, penjepit. Langkah langkah dalam mengukur kadar abu adalah cawan ditimbang lalu sampel dihaluskan kemudian sampel dan cawan yang sudah ditimbang dimasukkan dalam tanur. Dilakukan pengabuan hingga diperoleh abu yang beratnya tetap serta telah terjadi pembakaran yang sempurna. Cawan dan sampel dibiarkan dingin dalam oven lalu disimpan 15 menit dalam desikator dan ditimbang sehingga diperoleh berat abu. Pengabuan cara kering pada pengukuran kadar abu yang dilakukan dengan mengoksidasikan semua zat organik pada suhu tinggi yaitu sekitar 500 - 600C dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran. 1.2. Tujuan Praktikum Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui prinsip analisa kadar air, menentukan kadar air pada beberapa jenis sampel makanan dengan cara thermogravimetri, membandingkan kandungan air antar merk serta kandungan air dalam bahan pangan dengan SNI dan label pada kemasan, mengetahui prinsip analisa kadar 1

abu, menentukan kadar abu dari beberapa sampel makanan, serta untuk membandingkan kadar abu dari hasil analisa dengan standar nasional yang ada.

2. MATERI METODE 2.1. Materi 2.1.1. Alat 2.1.1.1. Pengukuran Kadar Air Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah desikator, cawan porselen, oven dengan pengatur suhu, kertas saring, timbangan analitik, penjepit cawan, moisture balance. 2.1.1.2. Pengukuran Kadar Abu Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah cawan porselen, oven, desikator, timbangan analitik, tanur, penjepit. 2.1.2. Bahan 2.1.2.1. Pengukuran Kadar Air Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah keripik singkong Kusuka Original untuk kelompok 1,2,3, dan keripik Qtela untuk kelompok 4,5,6. 2.1.2.2. Pengukuran Kadar Abu Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah keripik singkong Kusuka Original untuk kelompok 1,2,3, dan keripik Qtela untuk kelompok 4,5,6. 2.2. Metode 2.2.1. Pengukuran Kadar Air Mula-mula cawan dikeringkan selama 18jam dalam oven bersuhu 100-105C. Cawan yang sudah dikeringkan ditimbang menggunakan timbangan analitik dan beratnya dicatat. Sampel dihaluskan dan ditimbang sebanyak 6 gram setelah itu diletakkan pada cawan porselen, ditimbang dan dicatat berat cawan berisi sampel. Sampel beserta cawan dikeringkan dalam oven bersuhu 100-105C selama 1 malam. Kemudian sampel dan cawan dimasukkan dalam desikator selama 15 menit. Lalu ditimbang hingga diperoleh berat konstan. Kemudian kadar air pada sampel juga diukur dengan alat moisture

balance. Perhitungan kadar air meliputi wet basis, dry basis, dan total padatan yang dihitung menggunakan rumus :

2.2.2. Pengukuran Kadar Mineral Total Mula-mula cawan porselen yang akan digunakan dipanaskan di dalam tanur yang bersuhu 550C. Setelah itu cawan dimasukkan dalam oven selama 1 jam dilanjutkan dengan desikator selama 15 menit. Setelah proses pengeringan selesai, cawan ditimbang dan diperoleh berat cawan kosong. Sampel dihaluskan lalu ditimbang sebanyak 5 gram, berat cawan + sampel ditimbang. Sampel dan cawan yang sudah ditimbang dimasukkan dalam tanur bersuhu 550C dan dilakukan pemanasan secara bertahap selama 3-5 jam. Dilakukan pengabuan hingga diperoleh abu yang beratnya tetap serta telah terjadi pembakaran yang sempurna. Abu yang sempurna adalah abu yang berwarna putih keabu-abuan. Cawan dan sampel dibiarkan dingin terlebih dahulu kemudian dimasukkan dalam oven 100C selama 1 jam. Disimpan 15 menit dalam desikator dan ditimbang sehingga diperoleh berat abu. Jika dalam abu yang dihasilkan masih terdapat noda hitam di tengah, hal itu menandakan pengabuan belum sempurna sehingga perlu dilakukan pengovenan lagi. Kadar abu dapat dihitung menggunakan rumus :

3. HASIL PENGAMATAN 3.1. Penentuan Kadar Air Hasil penamatan dari penentuan kadar air dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tabel Penentuan Kadar Air Kel Berat Berat W1 W2 Cawan cawan+sampel (g) (g) Kosong(g) setelah dikeringkan (g) Kusuka 21,16 27,135 6 5,975 Kusuka Kusuka Qtela Qtela Qtela 20,16 21,91 18,22 24,49 22,38 26,145 27,867 24,131 30,398 28,269 6 5,985 6 5,957 6 5,911 6 5,908 6 5,889 Sampel W3 (g) Wet Dry Total Moisture Basis Basis Padatan Balance (%) (%) (%) (%) 0,41 7 0,25 0 0,71 7 1,48 3 1,53 3 1,85 0 0,41 8 0,25 1 0,72 2 1,50 6 1,55 7 1,88 5 99,583 99,750 99,283 98,517 98,467 98,150 2,16 2,37 2,55 2,80 2,92 3,54

D1 D2 D3 D4 D5 D6

0,02 5 0,01 5 0,04 3 0,08 9 0,09 2 0,11 1

Keterangan: W1 = berat sampel W2 = berat sampel setelah dikeringkan ((berat cawan+sampel setelah dikeringkan) berat cawan)) W3 = berat air dalam sampel (W1-W2)

Dari tabel 1 dapat diketahui kadar air wet basis, dry basis, total padatan dan moisture balance dari sampel Kusuka dan Qtela. Kelompok 1 yang menggunakan sampel Kusuka, berat cawan kosong yang digunakan adalah 21,16 gram dengan sampel sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi 27,135 gram, yang berarti berat sampel menjadi 5,975 gram sehingga diperoleh berat air dalam sampel 0,025 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis sebesar 0,417%, dry basis 0,418% dan total padatan 99,583%, sedangkan nilai moisture balance yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 2,16%. Kelompok 2 yang menggunakan sampel Kusuka, berat cawan kosong yang digunakan adalah 20,16 gram dengan sampel sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi 26,145 gram, yang berarti berat sampel menjadi 5,985 gram sehingga diperoleh berat air dalam sampel 0,015 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis 5

sebesar 0,250%, dry basis 0,251% dan total padatan 99,750%, sedangkan nilai moisture balance yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 2,37%. Kelompok 3 yang menggunakan sampel Kusuka, berat cawan kosong yang digunakan adalah 21,91 gram dengan sampel sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi 27,867 gram, yang berarti berat sampel menjadi 5,957 gram sehingga diperoleh berat air dalam sampel 0,043 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis sebesar 0,717%, dry basis 0,722% dan total padatan 99,283%, sedangkan nilai moisture balance yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 2,55%. Kelompok 4 yang menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 18,22 gram dengan sampel sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi 24,131 gram, yang berarti berat sampel menjadi 5,911 gram sehingga diperoleh berat air dalam sampel 0,089 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis sebesar 1,483%, dry basis 1,506% dan total padatan 99,517%, sedangkan nilai moisture balance yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 2,80%. Kelompok 5 yang menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 24,49 gram dengan sampel sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi 30,398 gram, yang berarti berat sampel menjadi 5,908 gram sehingga diperoleh berat air dalam sampel 0,092 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis sebesar 1,533%, dry basis 1,557% dan total padatan 98,467%, sedangkan nilai moisture balance yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 2,92%. Kelompok 6 yang menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 22,38 gram dengan sampel sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi 28,269 gram, yang berarti berat sampel menjadi 5,889 gram sehingga diperoleh berat air dalam sampel 0,111 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis sebesar 1,850%, dry basis 1,885% dan total padatan 98,150%, sedangkan nilai moisture balance yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 3,54%.

3.2. Analisa Kadar Mineral Total Hasil pengamatan dari analisa kadar mineral total dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Tabel Analisa Kadar Mineral Total Kelompok Sampel Berat Cawan Kosong (g) 19,00 20,45 25,30 26,71 21,31 20,22 Berat Sampel (g) 5 5 5 5 5 5 Berat cawan+sampel setelah diabukan (g) 19,094 20,544 25,393 26,788 21,412 20,291 Berat Abu (g) 0,094 0,094 0,093 0,078 0,102 0,071 Kadar Abu (%) 1,88 1,88 1,86 1,56 2,04 1,42

D1 D2 D3 D4 D5 D6

Kusuka Kusuka Kusuka Qtela Qtela Qtela

Dari tabel 2 dapat diketahui berat cawan kosong, berat sampel yang digunakan, berat cawan+sampel setelah diabukan, berat abu, serta kadar abu. Kelompok 1 yang menggunakan sampel Kusuka, berat cawan kosong yang digunakan adalah 19,00 gram dengan berat sampel 5,000 gram. Setelah diabukan, diperoleh berat cawan + sampel sebesar 19,094 gram sehingga diperoleh berat abu sebesar 0,094 gram dan kadar abu 1,88 %. Kelompok 2 yang menggunakan sampel Kusuka, berat cawan kosong yang digunakan adalah 20,45 gram dengan berat sampel 5,000 gram. Setelah diabukan, diperoleh berat cawan + sampel sebesar 20,544 gram sehingga diperoleh berat abu sebesar 0,094 gram dan kadar abu 1,88 %. Kelompok 3 yang menggunakan sampel Kusuka, berat cawan kosong yang digunakan adalah 25,30 gram dengan berat sampel 5,000 gram. Setelah diabukan, diperoleh berat cawan + sampel sebesar 25,393 gram sehingga diperoleh berat abu sebesar 0,093 gram dan kadar abu 1,86 %. Kelompok 4 yang menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 26,71 gram dengan berat sampel 5,000 gram. Setelah diabukan, diperoleh berat cawan + sampel sebesar 26,788 gram sehingga diperoleh berat abu sebesar 0,078 gram dan kadar abu 1,56 %. Kelompok 5 yang menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 21,31 gram dengan berat sampel 5,000 gram. Setelah diabukan,

diperoleh berat cawan + sampel sebesar 21,412 gram sehingga diperoleh berat abu sebesar 0,102 gram dan kadar abu 2,04 %. Kelompok 6 yang menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 20,22 gram dengan berat sampel 5,000 gram. Setelah diabukan, diperoleh berat cawan + sampel sebesar 20,291 gram sehingga diperoleh berat abu sebesar 0,071 gram dan kadar abu 1,42 %.

4. PEMBAHASAN 4.1. Pengukuran Kadar Air Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia dan fungsinya tidak pernah dapat digantikan oleh senyawa lain. Air juga merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Air berperan sebagai pembawa zat zat makanan dan sisa metabolisme, media reaksi yang menstabilkan pembentukan biopolimer, dan sebagainya. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan penerimaan, kesegaran, dan daya tahan bahan. Sebagian besar dari perubahan perubahan bahan makanan terjadi dalam media air yang ditambahkan atau berasal dari bahan itu sendiri. Air dapat melarutkan berbagai bahan seperti garam, vitamin, mineral, dan lain sebagainya (Winarno, 1997). Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan. Pada umumnya keawetan bahan pangan mempunyai hubungan erat dengan kadar air yang dikandungnya. Di dalam bahan pangan air terdapat dalam bentuk air bebas dan air terikat. Air bebas mudah dihilangkan dengan cara penguapan atau pengeringan sedangkan air terikat sangat sukar dihilangkan dari bahan pangan tersebut meskipun dengan cara pengeringan (Winarno et al., 1984). Di bidang mutu, kadar air erat hubungannya dengan daya simpan bahan. Sebagaimana komoditi pertanian, semakin rendah kadar air maka semakin tinggi daya simpannya. (Arpah, 1993). Setiap bahan bila diletakkan dalam udara terbuka kadar airnya akan mencapai keseimbangan dengan kelembaban udara di sekitarnya. Kadar air bahan ini disebut kadar air seimbang. Setiap kelembaban relatif tertentu dapat menghasilkan kadar air seimbang tertentu pula. Dengan demikian dapat dibuat hubungan antara kadar air seimbang dengan kelembaban relatif. Aktivitas air dihitung dengan menggunakan rumus : Aw = ERH/100 Aw = aktivitas air ERH = kelembaban relatif seimbang (Soedarmadji, 1989).

10

Penentuan kadar air cara pengeringan prinsipnya menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan pemanasan. Kemudian menimbang bahan sampai berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Cara ini relatif mudah dan murah. Kelemahan cara ini adalah : bahan lain di samping air juga ikut menguap dan ikut hilang bersama dengan uap air misalnya alkohol, asam asetat, minyak atsiri, dan lain lain dapat terjadi reaksi selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah menguap lain. Contoh gula mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak mengalami oksidasi, dan sebagainya bahan yang mengandung bahan yang dapat mengikat air secara kuat sulit melepaskan airnya meski sudah dipanaskan Untuk mempercepat penguapan air serta menghindari terjadinya reaksi yang menyebabkan terbentuknya air atau reaksi yang lain karena pemanasan maka dapat dilakukan pemanasan dengan suhu tinggi dan tekanan vakum (Sudarmadji, 1989).

Pada umumnya penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105-110 0C selama 3 jam atau sampai didapat berat konstan. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan (Winarno, 1997). Dengan demikian akan diperoleh hasil yang lebih mencerminkan kadar air yang sebenarnya. Untuk bahan bahan yang mempunyai kadar gula tinggi, pemanasan dengan suhu + 100 0C dapat mengakibatkan terjadinya pergerakan pada permukaan bahan. Suatu bahan yang telah mengalami pengeringan ternyata lebih bersifat higroskopis daripada bahan asalnya. Oleh karena itu selama pendinginan sebelum penimbangan, bahan selalu ditempatkan dalam ruang tertutup yang kering misalnya dalam eksikator atau desikator yang telah diberi zat penyerap air. Penyerap air/uap air dapat menggunakan kapur aktif, asam sulfat, silika gel, aluminium oksida, kalium klorida, kalium hidroksida, kalsium sulfat, atau barium oksida (Sudarmadji, 1989).

11

Sudarmaji et al (1989) juga mengatakan bahwa pengukuran kadar air dapat dilakukan dengan 5 cara yaitu pengeringan (thermogravimetri), destilasi (thermovolumetri), khemis, fisis, khusus. Metode yang dilakukan saat praktikum analisa pangan yaitu metode pengeringan (thermogravimetri) menggunakan oven. Metode ini merupakan metode yang paling mudah digunakan. Hal ini sesuai dengan teori Syarief dan Halid (1991) yang mengatakan bahwa kadar air bahan pangan dapat diukur dengan berbagai cara. Metode pengukuran yang paling umum dilakukan di laboratorium adalah dengan pemanasan dalam oven sampai diperoleh berat kering yang konstan. Prinsip dari metode pengeringan tersebut yaitu menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan pemanasan. Pengeringan juga memiliki tujuan tertentu. Menurut Winarno (1997), proses pengeringan dapat memperpanjang daya tahan bahan atau dengan kata lain mengawetkan bahan dan mengurangi massa bahan agar memudahkan dalam pengangkutan atau transportasinya. Selain itu, Sudarmadji et. al. (1989) juga mengatakan bahwa air dalam bahan merupakan nutrisi/ medium yang baik bagi pertumbuhan mikrobia yang dapat merusakkan bahan makanan tersebut, oleh karena itu, air dalam bahan makanan perlu dihilangkan. Langkah-langkah yang dilakukan untuk analisa kadar air yaitu mula-mula cawan dikeringkan selama 18jam dalam oven bersuhu 100-105C. Tujuan pengeringan cawan dalam oven adalah agar pada cawan tidak terdapat uap air yang akan mempengaruhi hasil penimbangan. Cawan yang sudah dikeringkan ditimbang menggunakan timbangan analitik dan beratnya dicatat. Sampel dihaluskan dan ditimbang sebanyak 6 gram setelah itu diletakkan pada cawan porselen, ditimbang dan dicatat berat cawan berisi sampel. Penghalusan bahan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan sampel yang representatif, memperluas kontak dengan pereaksi serta efisiensi pereaksi dan waktu pereaksi (Winarno, 1997). Sampel beserta cawan dikeringkan dalam oven bersuhu 100105C selama 1 malam. Hal ini sudah sesuai dengan pendapat Winarno (1997), yang mengatakan bahwa pada umumnya penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105-110 0C selama 3 jam atau sampai didapat berat konstan. Kemudian sampel dan cawan dimasukkan dalam desikator selama 15 menit. Tujuan dari dimasukkannya cawan ke dalam desikator adalah untuk mencegah cawan menyerap uap air dari lingkungan sekitar, karena menurut Sudarmadji

12

(1989), suatu bahan yang telah mengalami pengeringan ternyata lebih bersifat higroskopis daripada bahan asalnya. Oleh karena itu selama pendinginan sebelum penimbangan, bahan selalu ditempatkan dalam ruang tertutup yang kering misalnya dalam eksikator atau desikator yang telah diberi zat penyerap air. Penyerap uap atau air ini dapat menggunakan kapur aktif, asam sulfat, barium oksida, silika gel, aluminium oksida, kalium khlorida, kalium hidroksida, kalium sulfat. Lalu ditimbang hingga diperoleh berat konstan. Berat konstan artinya semua air sudah diuapkan dan tidak ada perubahan berat lagi jika sampel dioven lagi. Perhitungan kadar air meliputi wet basis, dry basis, dan total padatan yang dihitung menggunakan rumus :

Setelah diperoleh hasil dari masing-masing penimbangan, maka kadar air berat basah (wet basis), kadar air berat kering (dry basis), dan total padatan dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut: W3 = W1-W2 Dry Basis = Wet Basis = Total Padatan = Di mana W1 adalah berat sampel, W2 adalah berat sampel setelah dikeringkan ((berat cawan+sampel setelah dikeringkan) berat cawan)), dan W3 adalah berat air dalam sampel (W1-W2). Rumus tersebut sesuai dengan teori dari Syarief & Halid (1991) yang menyatakan bahwa kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan x 100%

13

berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry basis). Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 persen sedangkan kadar air berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100 persen. Kadar air berat basah dapat ditetapkan dengan persamaan sebagai berikut: Ba Ka = Ba x 100 % = x 100 % Ba + Bk Bt Di mana : Ka = kadar air berat basah (%) Ba = berat air dalam bahan (g) Bk = berat bahan kering mutlak (g) Bt = berat total = Ba + Bk (g) Kadar air berat kering adalah air yang diuapkan dibagi berat bahan setelah pengeringan. Jumlah air yang diuapkan adalah berat bahan sebelum pengeringan dikurangi berat bahan setelah pengeringan, sebagaimana persamaan berikut : Ba Ka = x 100 % = 100 ka

Bk 100 ka Di mana : Ka = kadar air berat kering (%) Ba = berat air dalam bahan (g) Bk = berat bahan kering mutlak (g) ka = kadar air berat basah Yang dimaksud dengan berat bahan kering yaitu berat bahan setelah mengalami pemanasan dalam waktu tertentu sampai tercapai berat konstan. Pada keadaan berat konstan tersebut tidak seluruh zat yang terkandung dalam bahan teruapkan akan tetapi hasil yang didapat disebut berat kering (Syarief & Halid, 1991). Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, kadar air yang terukur ada 3 macam. Menurut Winarno (1997), dry basis adalah perbandingan antara berat air di dalam bahan tersebut dengan berat bahan keringnya. Berat bahan kering adalah berat bahan asal setelah dikurangi dengan berat airnya. Sementara kadar air secara wet basis adalah perbandingan antara berat air di dalam bahan tersebut dengan bahan mentah. Sementara total padatan adalah perbandingan antara berat kering dengan berat sampel awal. Setelah dikeringkan, akan terlihat perubahan fisik pada sampel (deMan, 1997). Day & Underwood (1986) juga mengatakan bahwa air dapat melarutkan banyak zat dan

14

berperan sebagai medium untuk berlangsungnya berbagai reaksi kimia. Karena berkurangnya zat pelarut maka konsentrasi senyawa senyawa dalam bahan menjadi lebih besar dari konsentrasi semula sebelum dikeringkan. Selain terjadi perubahan warna, juga terjadi perubahan ukuran partikel yaitu menjadi semakin kecil. Pengurangan ukuran partikel ini disebabkan oleh pengkerutan bahan karena kehilangan kandungan air bebasnya (Winarno et al., 1980). Setelah dikeringkan, kadar air yang ada dalam sampel akan menguap tetapi tidak seluruhnya. Air yang menguap merupakan air bebas dan air terikat lemah sementara air yang tetap ada pada sampel adalah air terikat kuat. Air terikat kuat tidak akan ikut menguap walaupun telah dikeringkan. Hal ini sesuai dengan teori Sudarmaji et al (1989) yang mengatakan bahwa air dalam berbagai bahan pangan terdapat dalam berbagai bentuk : 1. Air bebas, terdapat dalam ruang-ruang antar sel dan inter-granular dan pori-pori yang terdapat pada bahan. 2. Air yang terikat secara lemah karena terserap (teradsorbsi) pada permukaan kolloid makromolekuler seperti protein, pektin pati, sellulosa. Selain itu air juga terdispersi diantara kolloid tersebut dan merupakan pelarut zat-zat yang ada dalam sel. Air yang ada dalam bentuk ini masih tetap mempunyai sifat air bebas dan dapat dikristalkan pada proses pembekuan. Ikatan antara air dengan kolloid tersebut merupakan ikatan hidrogen. 3. Air dalam keadaan terikat kuat yaitu membentuk hidrat. Ikatannya bersifat ionik sehingga relatif sukar dihilangkan atau diuapkan. Air ini tidak membeku meskipun pada 0F.

15

Tabel di atas merupakan tabel syarat mutu Standar Nasional Indonesia (SNI) dari keripik singkong. Dalam tabel tersebut dapat dilihat batas-batas yang seharusnya, baik dari kadar air, kadar FFA, kerenyahan, dan juga aroma dari keripik singkong. Hal-hal tersebutlah yang mempengaruhi mutu dan kualitas dari keripik singkong yang dihasilkan (Badan Standarisasi Nasional,__). Berdasarkan hasil perhitungan kadar air yang didapat pada tabel 1, dapat diketahui bahwa hasil yang didapat pada masing-masing kelompok berbeda-beda, bahkan pada bahan yang sama. Kelompok 1 yang menggunakan sampel Kusuka, berat cawan kosong yang digunakan adalah 21,16 gram dengan sampel sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi 27,135 gram, yang berarti berat sampel menjadi 5,975 gram sehingga diperoleh berat air dalam sampel 0,025 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis sebesar 0,417%, dry basis 0,418% dan

16

total padatan 99,583%, sedangkan nilai moisture balance yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 2,16%. Kelompok 2 yang menggunakan sampel Kusuka, berat cawan kosong yang digunakan adalah 20,16 gram dengan sampel sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi 26,145 gram, yang berarti berat sampel menjadi 5,985 gram sehingga diperoleh berat air dalam sampel 0,015 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis sebesar 0,250%, dry basis 0,251% dan total padatan 99,750%, sedangkan nilai moisture balance yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 2,37%. Kelompok 3 yang menggunakan sampel Kusuka, berat cawan kosong yang digunakan adalah 21,91 gram dengan sampel sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi 27,867 gram, yang berarti berat sampel menjadi 5,957 gram sehingga diperoleh berat air dalam sampel 0,043 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis sebesar 0,717%, dry basis 0,722% dan total padatan 99,283%, sedangkan nilai moisture balance yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 2,55%. Kelompok 4 yang menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 18,22 gram dengan sampel sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi 24,131 gram, yang berarti berat sampel menjadi 5,911 gram sehingga diperoleh berat air dalam sampel 0,089 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis sebesar 1,483%, dry basis 1,506% dan total padatan 99,517%, sedangkan nilai moisture balance yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 2,80%. Kelompok 5 yang menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 24,49 gram dengan sampel sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi 30,398 gram, yang berarti berat sampel menjadi 5,908 gram sehingga diperoleh berat air dalam sampel 0,092 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis sebesar 1,533%, dry basis 1,557% dan total padatan 98,467%, sedangkan nilai moisture balance yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 2,92%. Kelompok 6 yang menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 22,38 gram dengan sampel sebanyak 6,000 gram. Setelah dikeringkan, berat cawan+sampel menjadi 28,269 gram, yang berarti berat sampel menjadi 5,889 gram sehingga diperoleh berat air dalam sampel 0,111 gram. Dari hasil penimbangan tersebut diperoleh nilai wet basis sebesar 1,850%, dry basis 1,885% dan total padatan 98,150%, sedangkan nilai moisture balance yang diperoleh dengan menggunakan alat sebesar 3,54%.

17

Dari data di atas dapat dilihat bahwa ada perbedaan nilai kadar air walaupun sampel yang digunakan sama. Hal ini terjadi mungkin karena adanya kesalahan saat pengeringan, ataupun perlakuan yang diberikan saat sampel keluar atau masuk oven. Bisa juga karena sesaat setelah keluar dari oven, sampel tidak langsung dimasukkan dalam desikator sehingga menyerap uap air di sekitarnya, atau sampel terpegang oleh tangan sehingga uap air yang ada di tangan menempel di cawan sehingga mempengaruhi hasil penimbangan akhir, dan juga dapat disebabkan oleh pemanasan yang dilakukan oleh oven tidaklah merata sehingga penguapan tidaklah sempurna. Menurut Winarno (1997), pengeringan dapat berlangsung dengan baik jika pemanasan terjadi pada setiap tempat dari bahan tersebut, dan uap air yang diambil berasal dari semua permukaan bahan tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan terutama adalah luas permukaan benda, suhu pengeringan, aliran udara, tekanan uap di udara, dan waktu pengeringan. Bila kadar air bahan rendah sedangkan kadar RH disekitarnya tinggi, maka akan terjadi penyerapan uap air dari udara sehingga bahanmenjadi lembab / kadar airnya bertambah tinggi. Namun jika suhu bahan lebih rendah dari pada sekitarnya maka akan terjadi kondensasi uap air udara pada permukaan bahan dan dapat merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kapang / bakteri. Meskipun hasil perhitungan kadar air wet basis maupun dry basis dan juga kadar air yang diukur dengan metode Moisture balance dari keripik singkong merk Kusuka dan merk Qtela pada praktikum ini berbeda-beda tetapi semuanya sudah sesuai dengan SNI 01-4305-1996, yaitu SNI dari keripik singkong Di mana di dalam SNI tersebut dinyatakan bahwa kandungan air maksimal yang diperbolehkan pada keripik singkong adalah 6%. Dan juga sesuai dengan SNI.01-2891-1992 yang menyatakan bahwa secara umum untuk keripik kadar air maksimumnya sebesar 5%. Sedangkan dari hasil praktikum nilai kadar air wet basis yang paling tinggi adalah sebesar 1,850%, kadar air dry basis yang paling tinggi adalah sebesar 1,885%, dan kadar air dengan metode Moisture balance yang paling tinggi adalah 3,54%. Maka dapat disimpukan bahwa keripik singkong Kusuka dan Qtela jika dilihat dari kadar airnya maka kedua merk ini sudah memenuhi standar mutu dari SNI.

18

Analisa kadar air yang dilakukan pada praktikum ini selain dengan metode Thermogravimetri, juga dengan metode Moisture Balance. Moisture Balance adalah alat untuk mengetahui kadar air dari sampel dengan berat dan suhu yang sudah ditentukan. Keuntungan alat ini yaitu dapat mempersingkat proses pengukuran kadar air dimana metode yang lama yaitu menimbang sampel, lalu dipanaskan dengan oven pada suhu dan waktu tertentu lalu ditimbang lagi,selisih antara berat awal dan akhir adalah nilai kadar airnya. Yang diukur oleh alat ini adalah kandungan air yang terkandung dalam zat uji yang kemudian menguap akibat panas yang dikeluarkan oleh alat ini. Temperatur moisture balance bisa diatur sesuai dengan yang diinginkan. Untuk mengukur kadar air granul, moisture balance cukup diatur pada temperatur 700 celsius untuk mencegah ikut menguapnya air kristal yang terkandung dalam bahan yang digunakan dalam pembuatan granul. Air kristal bisa menguap pada temperatur lebih dari 100o celsius. Dibandingkan dengan metode thermogravimetri, metode moisture balance lebih cepat dan mudah dilakukan, karena tidak memerlukan tekhnik khusus, hanya tinggal mengoperasikan alat, dan kadar air dapat langsung dapat diketahui (Arpah,1993). Kelebihan metode Thermogravimetri adalah cara ini relatif murah. Sedangkan kelemahan metode Thermogravimetri dibandingkan metode Moisture Balance adalah : bahan lain di samping air juga ikut menguap dan ikut hilang bersama dengan uap air misalnya alkohol, asam asetat, minyak atsiri, dan lain lain dapat terjadi reaksi selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah menguap lain. Contoh gula mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak mengalami oksidasi, dan sebagainya bahan yang mengandung bahan yang dapat mengikat air secara kuat sulit melepaskan airnya meski sudah dipanaskan Untuk mempercepat penguapan air serta menghindari terjadinya reaksi yang menyebabkan terbentuknya air atau reaksi yang lain karena pemanasan maka dapat dilakukan pemanasan dengan suhu tinggi dan tekanan vakum (Sudarmadji, 1989).

19

4.2. Pengukuran Kadar Mineral Total Abu adalah kandungan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu atau komposisinya tergantung pada macam bahan atau cara pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan 2 macam garam yaitu garam organik atau garam anorganik. Kadar abu yang sedikit menunjukkan baiknya proses pengolahan dan kandungan gizi yang baik pada bahan makanan tersebut (Sudarmadji, 1989). Kadar abu dalam bahan makanan merupakan sisa pembakaran bahan organik yang disebut juga mineral. Dalam dunia pangan analisa kadar abu erat hubungannya dengan keberhasilan produksi, keaslian bahan dan nilai gizi yang meliputi pencemar dalam bahan produksi (James, 1995). Total abu adalah indeks pemurnian makanan yang diterima secara luas. Penentuan abu total dapat ditentukan untuk berbagai tujuan : untuk penentuan baik tidaknya suatu proses pengolahan, untuk mengetahui berbagai jenis bahan pangan yang digunakan, sebagai parameter nilai gizi bahan makanan (Sudarmadji et al., 1989). Dalam pengabuan sampel dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu : Pengabuan cara kering, yaitu bahan yang akan diabukan dikeringkan terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam pemanas. Pengabuan cara basah, yaitu pengabuan bahan pangan dengan mereaksikan bahan pangan dengan bahan bahan kimia untuk mempercepat oksidasi sebelum pengeringan, pemanasan dalam metode ini tidak sepanas metode kering. Pengabuan cara konduktrimetri, pengabuan ini dilakukan pada bahan yang tidak bersifat elektrolit (James, 1995). Pengabuan dilakukan dengan muffle yang dapat diatur suhunya. Kadangkala pada proses pengabuan terlihat hasil pengabuan berwarna putih abu-abu dengan bagian tengahnya terdapat noda hitam. Ini menunjukkan pengabuan belum sempurna maka perlu diabukan lagi sampai noda hitam hilang dan diperoleh abu yang berwarna putih keabu-abuan (Sudarmadji et al., 1996).

20

Pada percobaan ini pengabuan dilakukan dengan cara langsung atau biasa disebut dengan cara kering. Penentuan kadar abu secara langsung (cara kering) adalah dengan mengoksidasikan semua zat organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500-600oC dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. Temperatur pengabuan harus diperhatikan sungguh-sungguh karena banyak element abu yang dapat menguap pada suhu tinggi, misalnya K, Na, S, Ca, Cl, P. Selain itu, suhu pengabuan juga dapat menyebabkan dekomposisi senyawa tertentu. Mengingat adanya berbagai komponen abu yang mudah mengalami dekomposisi atau bahkan menguap pada suhu tinggi, maka suhu pengabuan untuk tiap-tiap bahan dapat berbedabeda tergantung komponen yang ada dalam bahan tersebut (Sudarmadji et al., 1989). Metode kering memiliki kelebihan dan kelemahan. Menurut Muchtadi (1989), Kelebihan pengabuan kering adalah bahwa metode ini relatif aman dan tidak membutuhkan reagen apapun sehingga lebih mudah dilakukan. Hanya saja, metode ini memakan waktu lama dan alat yang relatif lebih mahal. Disamping itu menurut Nielsen (1998) akan ada kehilangan elemen volatil dan terjadi interaksi antara komponen mineral jika menggunakan metode kering. Soeparno (1994) mengatakan bahwa tanur dipakai untuk proses pengabuan karena lebih mudah dikontrol suhunya. Pengabuan dilakukan dengan tanur yang dapat diatur suhunya, tetapi bila tidak tersedia dapat menggunakan pemanas bunsen. Bila menggunakan bunsen sulit diketahui ataupun dikendalikan suhunya, untuk ini dapat digunakan pengamatan secara visual yaitu bila kelihatan membara merah berarti suhu lebih kurang 550 oC. Proses penentuan kandungan mineral total dengan cara pengabuan yang dilakukan pada praktikum ini sudah tepat, karena menurut Sudarmadji (1989), penentuan jumlah mineral sangatlah sulit oleh karena itu biasanya dilakukan penentuan sisasisa pembakaran garam mineral yang dikenal dengan pengabuan. Penentuan kadar abu adalah dengan mengoksidasikan semua zat organik pada suhu tinggi yaitu sekitar 500 600oC dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. Langkah-langkah yang dilakukan pada praktikun analisa kadar mineral total adalah mula-mula cawan porselen yang akan digunakan dipanaskan di dalam tanur yang bersuhu 550C. Tujuan pemanasan cawan dalam tanur adalah agar pada cawan tidak terdapat uap air atau kotoran yang akan mempengaruhi hasil penimbangan. Setelah itu

21

cawan dimasukkan dalam oven selama 1 jam dilanjutkan dengan desikator selama 15 menit. Tujuan dimasukkannya cawan ke dalam oven adalah untuk menurunkan suhu dari cawan supaya cawan porselin tidak pecah akibat penurunan suhu yang cukup drastis, dan tujuan dimasukkannya cawan ke dalam desikator juga untuk menurunkan suhu dan supaya cawan tidak menyerap uap air dari udara. Setelah proses pengeringan selesai, cawan ditimbang dan diperoleh berat cawan kosong. Sampel dihaluskan lalu ditimbang sebanyak 5 gram, berat cawan + sampel ditimbang. Penghalusan bahan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan sampel yang representatif, memperluas kontak dengan pereaksi serta efisiensi pereaksi dan waktu pereaksi (Winarno, 1997). , Penghalusan bahan juga bertujuan untuk memperluas permukaan bahan agar pada proses pengabuan akan didapatkan hasil yang sempurna, hal ini sesuai dengan pendapat Winarno (1980), bahwa pengeringan dapat berlangsung dengan baik jika pemanasan terjadi pada setiap tempat dari seluruh permukaan bahan tersebut, dan uap air yang dikeluarkan dari seluruh permukaan bahan tersebut. Faktor-faktor yang mempengeruhi pengeringan terutama adalah luas permukaan bahan, suhu pengeringan, aliran udara dan tekanan uap di udara. Sampel dan cawan yang sudah ditimbang dimasukkan dalam tanur bersuhu 550C dan dilakukan pemanasan secara bertahap selama 3-5 jam. Tujuan dari penaikkan suhu secara bertahap ini adalah untuk meminimalkan penguapan unsurunsur yang mudah menguap pada suhu tinggi dan juga unsur-unsur yang bersifat volatil. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Sudarmadji (1989) yang menyatakan bahwa temperatur pengabuan harus diperhatikan sungguhsungguh karena banyak elemen abu yang dapat menguap pada suhu yang tinggi misalnya unsur K, Na, S, Ca, Cl, dan P. Selain itu suhu pengabuan juga dapat menyebabkan dekomposisi senyawa tertentu. Mengingat adanya berbagai komponen abu yang mudah mengalami dekomposisi atau bahkan menguap pada suhu yang tinggi maka suhu pengabuan untuk tiaptiap bahan dapat berbedabeda tergantung komponen yang ada dalam bahan tersebut. Dilakukan pengabuan hingga diperoleh abu yang beratnya tetap serta telah terjadi pembakaran yang sempurna. Abu yang sempurna adalah abu yang berwarna putih keabu-abuan. Proses ini sesuai dengan teori dari Nielsen (1998) yang menyatakan bahwa abu berwarna putih keabuabuan. Cawan dan sampel dibiarkan dingin terlebih dahulu kemudian dimasukkan dalam oven 100C selama 1 jam. Tujuan dimasukkannya cawan yang berisi abu ke dalam oven adalah untuk menurunkan suhu dari cawan dan abu,

22

menstabilkan suhu sehingga tidak terjadi perubahan suhu yang terlalu mencolok, sehingga cawan porselin tidak pecah akibat penurunan suhu yang cukup drastis hal tersebut sesuai dengan teori dari Sudarmadji (1989) yang menyatakan bahwa krus maupun cawan yang berisi abu yang diambil dari dalam muffle harus terlebih dahulu dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105oC agar suhunya turun baru kemudian dimasukan ke dalam eksikator sampai dingin. Kemudian disimpan 15 menit dalam desikator dan ditimbang sehingga diperoleh berat abu. Sampel yang dimasukkan kedalam desikator mencegah masuknya uap air kedalam sampel. Hal ini dikarenakan bahan yang telah mengalami pengeringan akan lebih bersifat higroskopis daripada bahan asalnya. Pada desikator terdapat zat penyerap uap air yang berfungsi untuk menyerap uap air yang terdapat pada desikator sehingga uap air tersebut tidak terserap oleh sampel. Hal ini sesuai dengan Sudarmadji (1989), bahwa suatu bahan yang telah mengalami pengeringan ternyata lebih bersifat higroskopis daripada bahan asalnya. Oleh karena itu selama pendinginan sebelum penimbangan, bahan selalu ditempatkan dalam ruang tertutup yang kering misalnya dalam desikator yang telah diberi zat penyerap air. Penyerap air/uap air ini dapat menggunakan kapur aktif; silika gel; allumunium oksida; kalium khlorida; kalium hidroksida; kalsium sulfat atau barium oksida. Silika gel yang digunakan sering diberi warna guna memudahkan apakah bahan tersebut sudah jenuh dengan air atau belum. Bila sudah jenuh akan berwarna merah muda dan bila dipanaskan menjadi kering berwarna biru. Suhu tanur yang digunakan untuk pengabuan adalah 550C, tidak lebih ataupun kurang. Jika suhu kurang dari itu, pengabuan tidak akan berlangsung sempurna sementara jika suhu lebih tinggi lagi, akan banyak komponen lain yang ikut hilang karena pemanasan yang berlebihan. Hal ini sesuai dengan teori Sudarmadji et.al ( 1989 ), pengabuan baik dilakukan pada suhu 5500C. Pengabuan diatas 6600C tidak dianjurkan karena menyebabkan hilangnay zat tertentu misalnya garam klorida ataupun oksida dari logam alkali. Pengabuan dengan tanur juga memakan waktu yang lama. Hal ini merupakan kelemahan metode pengeringan dengan tanur. Pengabuan kurang dari atau lebih dari suhu tersebut dapat berefek menguapnya banyak elemen abu misalnya unsur K, Na, S, Ca, Cl, dan P. Selain itu suhu pengabuan juga dapat menyebabkan dekomposisi senyawa tertentu dan hilangnya zat tertentu misalnya garam klorida ataupun oksida dari

23

garam alkali. Lama pengabuan berkisar antara 3 5 jam. Penimbangan terhadap bahan dilakukan dalam keadaan dingin untuk itu maka krus yang berisi abu yang diambil dari dalam muffle harus terlebih dahulu dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 0C agar supaya suhunya turun baru kemudian dimasukan ke dalam eksikator sampai dingin. Pendinginan dilakukan untuk mencegah pemuaian tekstur yang dapat memungkinkan masuknya uap air. Eksikator yang digunakan dilengkapi dengan zat penyerap uap air Agar eksikator dapat mudah digeser tutupnya maka permukaan gelas diolesi dengan vaselin. Penggunaan cawan porselin sebagai tempat untuk mengabukan bahan pada praktikum ini sudah sesuai dengan teori dari Sudarmadji (1989) yang menyatakan bahwa bahan yang akan diabukan ditempatkan dalam wadah khusus yang disebut krus yang dapat dibuat dari porselin, silika, quartz, nikel, atau platina dengan berbagai kapasitas (25 100 ml). Di mana pemilihan wadah ini disesuaikan dengan bahan yang akan diabukan. Penggunaan cawan porselin dianggap paling tepat karena dapat mencapai berat konstan yang cepat dan harganya relatif murah. Penggunaan krus porselin sangat luas karena dapat mencapai berat konstan yang cepat dan murah tetapi mempunyai kelemahan sebab mudah pecah pada perubahan suhu yang mendadak. Hal ini yang menyebabkan setelah dikelaurkan dari tanur dengan suhu yang sangat tinggi, cawan porselin tidak langsung dimasukkan kedalam desikator tetapi dimasukkan dulu kedalam oven. Jika dalam abu yang dihasilkan masih terdapat noda hitam di tengah, hal itu menandakan pengabuan belum sempurna sehingga perlu dilakukan pengovenan lagi. Menurut Sudarmadji (1989) kadangkala pada proses pengabuan terlihat bahan hasil pengabuan berwarna putih abu-abu dengan bagian tengahnya terdapat noda hitam. Ini menunjukkan pengabuan belum sempurna. Abu berwarna putih keabu-abuan menunjukkan pengabuan telah sempurna dan juga beratnya konstan dengan selang waktu pengabuan selama 30 menit. Kadar abu dapat dihitung menggunakan rumus :

24

Dari tabel 2 dapat diketahui berat cawan kosong, berat sampel yang digunakan, berat cawan+sampel setelah diabukan, berat abu, serta kadar abu. Kelompok 1 yang menggunakan sampel Kusuka, berat cawan kosong yang digunakan adalah 19,00 gram dengan berat sampel 5,000 gram. Setelah diabukan, diperoleh berat cawan + sampel sebesar 19,094 gram sehingga diperoleh berat abu sebesar 0,094 gram dan kadar abu 1,88 %. Kelompok 2 yang menggunakan sampel Kusuka, berat cawan kosong yang digunakan adalah 20,45 gram dengan berat sampel 5,000 gram. Setelah diabukan, diperoleh berat cawan + sampel sebesar 20,544 gram sehingga diperoleh berat abu sebesar 0,094 gram dan kadar abu 1,88 %. Kelompok 3 yang menggunakan sampel Kusuka, berat cawan kosong yang digunakan adalah 25,30 gram dengan berat sampel 5,000 gram. Setelah diabukan, diperoleh berat cawan + sampel sebesar 25,393 gram sehingga diperoleh berat abu sebesar 0,093 gram dan kadar abu 1,86 %. Kelompok 4 yang menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 26,71 gram dengan berat sampel 5,000 gram. Setelah diabukan, diperoleh berat cawan + sampel sebesar 26,788 gram sehingga diperoleh berat abu sebesar 0,078 gram dan kadar abu 1,56 %. Kelompok 5 yang menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 21,31 gram dengan berat sampel 5,000 gram. Setelah diabukan, diperoleh berat cawan + sampel sebesar 21,412 gram sehingga diperoleh berat abu sebesar 0,102 gram dan kadar abu 2,04 %. Kelompok 6 yang menggunakan sampel Qtela, berat cawan kosong yang digunakan adalah 20,22 gram dengan berat sampel 5,000 gram. Setelah diabukan, diperoleh berat cawan + sampel sebesar 20,291 gram sehingga diperoleh berat abu sebesar 0,071 gram dan kadar abu 1,42 %. Dari data di atas, dapat diketahui meskipun menggunakan sampel yang sama, kadar abu yang diperoleh bisa berbeda. Sama halnya dengan kadar air, hal tersebut mungkin disebabkan sesaat setelah keluar dari oven, sampel tidak langsung dimasukkan dalam desikator sehingga menyerap air di sekitarnya, dan ada zat lain yang menempel pada cawan atau sampel, bisa juga cawan terpegang oleh tangan sehingga air yang ada di tangan menempel di cawan sehingga mempengaruhi hasil penimbangan akhir. Dalam pengukuran kadar abu, setelah dimasukkan dalam tanur, sampel harus dimasukkan dulu ke dalam oven untuk menurunkan suhunya baru dimasukkan dalam desikator. Menurut Sudarmaji et al (1989) sebelum penimbangan, harus dipastikan cawan porselen benar-

25

benar sudah kering. Atau bisa juga karena kekurang telitian saat penimbangan sehingga kadar abu yang terukur kurang tepat. Kadar abu pada percobaan tidak dapat dibandingkan dengan kemasan karena pada kemasan tidak mencantumkan kadar abu yang terkandung di dalamnya. Meskipun hasil perhitungan kadar abu dari keripik singkong merk Kusuka dan merk Qtela pada praktikum ini berbeda-beda tetapi semuanya sudah sesuai dengan SNI 014305-1996, yaitu SNI dari keripik singkong Di mana di dalam SNI tersebut dinyatakan bahwa kandungan abu maksimal yang diperbolehkan pada keripik singkong adalah 2,5%. Dan juga sesuai dengan SNI.01-2891-1992 yang menyatakan bahwa secara umum untuk keripik kadar air maksimumnya sebesar 3%. Sedangkan dari hasil praktikum nilai kadar abu yang paling tinggi adalah 2,04%. Maka dapat disimpukan bahwa keripik singkong Kusuka dan Qtela jika dilihat dari kadar abunya maka kedua merk ini sudah memenuhi standar mutu dari SNI.

5. KESIMPULAN Air mempengaruhi penampakan, tesktur, serta cita rasa pada makanan. Penentuan kadar air dapat dilakukan dengan metode pengeringan (thermogravimetri), metode destilasi (thermovolumetri), metode khemis, metode fisis, dan metode khusus (misalnya kromatografi, nuclear, magnetic resonance). Metode yang dipilih untuk penentuan kadar air tergantung pada sifat bahannya. Kadar air yang terukur ada 3 macam yaitu wet basis, dry basis, dan total padatan. Metode yang digunakan pada praktikum ini adalah metode pengeringan dalam oven. Prinsip metode ini adalah menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan pemanasan, kemudian menimbang bahan sampai berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan. Pengeringan bahan pangan bertujuan untuk mengawetkan, dan mempermudah transportasi dan pengepakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan terutama adalah luas permukaan bahan, suhu pengeringan, aliran udara, dan tekanan uap di udara. Kelemahan metode pengeringan ialah bahan dapat berubah bentuk, warna, sifat fisik, dan sifat kimia; bahan volatil selain air ikut menguap; dapat terjadi reaksi selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah menguap lain; serta bahan yang mengandung bahan yang dapat mengikat air secara kuat sulit melepaskan airnya meskipun sudah dipanaskan. Kelebihan metode pengeringan ialah tergolong mudah dan murah, bahan menjadi lebih awet, memudahkan proses pengangkutan dan pengepakan, memudahkan transportasi, dan biaya produksi lebih murah. Kadar air dapat dihitung berdasarkan dry basis, yaitu perbandingan antara berat air dalam bahan tersebut dengan berat bahan keringnya dan wet basis, yaitu perbandingan antara berat air dalam bahan tersebut dengan berat bahan mentah.

26

27

Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 %, sedangkan kadar air berat kering dapat lebih dari 100 %. Penghalusan bahan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan sampel yang representatif, memperluas kontak dengan pereaksi serta efisiensi pereaksi dan waktu pereaksi Sesaat setelah dikeluarkan dari oven, sampel harus dimasukkan dalam desikator untuk mencegah mencegah cawan dan sampel menyerap uap air dari lingkungan sekitar,karena sifat bahan yang telah mengalami pengeringan lebih bersifat higroskopis daripada bahan asalnya. Dalam desikator terdapat silika gel yang berfungsi menguapkan air yang terdapat dalam bahan Semakin tinggi wet basis dan dry basis maka total padatan semakin rendah Kadar air pada keripik singkong Qtela lebih tinggi daripada keripik singkong Kusuka. Semakin rendah kadar air maka semakin tinggi daya simpannya Kadar air berdasarkan dry basis akan selalu lebih tinggi dibanding wet basis. Pengabuan bertujuan untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan dan mengetahui jenis bahan yang digunakan. Kadar abu dapat digunakan untuk menentukan jumlah mineral yang terkandung dalam suatu bahan makanan. Dalam menentukan kadar abu, sampel yang digunakan harus dihaluskan dahulu agar diperoleh hasil yang lebih representetif Kadar abu dapat diukur dengan metode pengeringan dalam tanur suhu 550C Penentuan kadar abu dimulai dengan mengoksidasikan semua zat organik pada suhu tinggi yaitu 550 0C selama 3-5 jam dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan. Metode pengeringan mudah dilakukan karena tidak memerlukan reagen, tetapi membutuhkan waktu yang lama serta alat yang mahal Suhu tanur tidak boleh terlalu rendah maupun terlalu tinggi

28

Tujuan dari penaikkan suhu secara bertahap ini adalah untuk meminimalkan pengupan unsur-unsur yang mudah menguap pada suhu tinggi dan juga unsur-unsur yang bersifat volatil. Tujuan dimasukkannya cawan ke dalam oven adalah untuk menurunkan suhu cawan. Pengabuan dilakukan sampai didapat abu yang berwarna putih atau abu-abu atau sampai beratnya tetap. Tujuan dari dimasukkannya cawan yang sudah berisi abu ke dalam desikator adalah untuk mencegah abu menyerap uap air dari lingkungan sekitar. Penggunaan cawan berbahan porselin sebagai tempat untuk mengabukan bahan sudah tepat karena dapat mencapai berat konstan yang cepat dan harganya relatif murah. Hasil perhitungan dari kadar air dan abu pada keripik singkong merek Kusuka dan Qtela sudah sesuai dengan SNI Berdasarkan SNI kandungan air maksimal yang diperbolehkan pada keripik singkong adalah 6%, dan kadar abu maksimal yang diperbolehkan adalah 2,5%.

Semarang, 11 Desember 2011 Praktikan, Destama Nanda Noni Jouvita Silviana Mulyo Wahyu Putri Sari 09.70.0108 10.70.0062 10.70.0108 10.70.0138

Asisten Dosen - Christina Vania Utami - Novita Ika Putri

Manar Fathulhanifah 10.70.0131

6. DAFTAR PUSTAKA Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung. Badan Standarisasi Nasional.(__) SNI Keripik Singkong. http://pphp.deptan.go.id/xplore/files/MUTU-STANDARISASI/STANDARMUTU/Standar_nasional/SNI_Horti/Produk%20olahan/SNI%2001-4305%20%201996.pdf. Diakses tanggal 9 Desember 2011. Day, R.A. & A.L. Underwood. (1986). Analisa Kimia Kuantitatif. Erlangga. Jakarta. DeMan, J. M. (1997). Kimia Makanan Edisi Kedua. ITB. Bandung. James, C. S. (1995). Analitical Chemistry of Food. Chapman & Hall. Glasgow. Muchtadi, D. ( 1989 ). Evaluasi Nilai Gizi Pangan. IPB. Bogor. Nielsen, S. (1998). Food Analysis 2nd Ed. Aspen Publication. Gaithersburg Maryland. Soeparno. (1994). Ilmu Dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sudarmadji, S; B, Haryono & Suhardi. (1996). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta. Sudarmadji, S; Bambang Haryono & Suhardi. (1989). Prosedur untuk Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta. Syarief, R & H, Halid. (1991). Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan. Jakarta. Winarno, F. G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Winarno, F. G.; S. Fardiaz & F. Dedi. (1980). Pengantar Teknologi Pertanian. PT Gramedia. Jakarta.

29

30

Winarno, F.G & S. Fardiaz. (1984). Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

7. LAMPIRAN 7.1 Perhitungan 7.1.1. Penentuan Kadar Air Rumus o W3 = W1-W2 o Wet Basis = o Dry Basis = x 100%

o Total Padatan =

Kelompok D1 o W3 = 6,00-5,975 = 0,025 g o Kadar air (wet basis) = o Kadar air (dry basis) = o Total padatan = Kelompok D2 o W3 = 6,00-5,985 = 0,015 g o Kadar air (wet basis) = o Kadar air (dry basis) = o Total padatan = 0,015 x 100% = 0,250 % 6 0,015 x 100 % = 0,251% 5,985 0,025 x 100% = 0,417 % 6 0,025 x 100 % = 0,418 % 5,975

5,975 x 100 % = 99,583 % 6

5,985 x 100 % = 99,750 % 6

Kelompok D3 o W3 = 6,00-5,957 = 0,043 g o Kadar air (wet basis) = 0,043 x 100% = 0,717 % 6

31

32

o Kadar air (dry basis) = o Total padatan =

0,043 x 100 % = 0,722% 5,957

5,957 x 100 % = 99,283 % 6

Kelompok D4 o W3 = 6,00-5,911 = 0,089 g o Kadar air (wet basis) = o Kadar air (dry basis) = o Total padatan = 0,089 x 100% =1,483% 6 0,089 x 100 % = 1,506% 5,911

5,911 x 100 % = 98,517 % 6

Kelompok D5 o W3 = 6,00-5,908 = 0,092 g o Kadar air (wet basis) = o Kadar air (dry basis) = o Total padatan = 0,092 x 100% = 0,533 % 6 0,092 x 100 % = 1,557 % 5,908

5,908 x 100 % = 98,467 % 6

Kelompok D6 o W3 = 6,00-5,889 = 0,111 g o Kadar air (wet basis) = o Kadar air (dry basis) = o Total padatan = 0,111 x 100% =1,850 % 6 0,111 x 100 % =1,885 % 5,889

5,889 x 100 % = 98,150 % 6

33

7.1.2. Kadar Abu Rumus

Kelompok D1 Kadar abu= 19,094 19,00 x 100% =1,88 % 24 19 20,544 20,45 x 100% =1,88 % 25,45 20,45 25,393 25,30 x 100% = 1,86 % 30,393 25,30 26,788 26,71 71 x 100% =1,56 % 31,71 26, 21,412 21,31 x 100% = 2,04 % 26,31 21,31 20,291 20,22 x 100% =1,42 % 25,22 20,22

Kelompok D2 Kadar abu=

Kelompok D3 Kadar abu=

Kelompok D4 Kadar abu=

Kelompok D5 Kadar abu=

Kelompok D6 Kadar abu=

7.2. Laporan Sementara

Anda mungkin juga menyukai