Anda di halaman 1dari 7

STUDY GEN PENGONTROL OOGENESIS PADA TERNAK

STUDY GEN PENGONTROL OOGENESIS PADA TERNAK PENDAHULUAN Seekor ternak membutuhkan perkembangbiakan untuk mempertahankan keturunan dan keberlangsungan kehidupan spesiesnya. Perkembangbiakan adalah proses perkawinan dua ekor ternak, yakni jantan dan betina yang biasa juga disebut sifat reproduksi ternak. Dalam proses reproduksinya seekor ternak membutuhkan sel kelamin (gonad) sebagai substansi yang akan membentuk individu baru, pada ternak dikenal ada dua jenis sel kelamin yakni ovum dan spermatozoa. Proses reproduksi betina dalam menghasilkan ovum (oogenesis) merupakan proses yang kompleks, dimana proses tersebut dimulai pada fase prenatal kemudian dilanjutkan sampai individu tersebut mengalami pubertas. Perkembangan individu ternak postnatal dalam segi reproduksinya mengalami tahapan yang bertingkat-tingkat, dimana pada ternak betina terjadi proses folikulogenesis yakni proses perkembangan folikel yang terjadi di dalam ovari. Tahapan folikulogenesis berakhir dengan ditandai terjadinya proses ovulasi, yang menghasilkan ovum yang siap untuk tahapan fertilisasi. Pertemuan antara sel ovum dari ternak betina dengan sel spermatozoa dari ternak jantan secara fisologis disebut fertilisasi yang pada akhirnya akan membentuk embrio (individu baru). Proses reproduksi tersebut berlangsung pada oviduk ternak betina. Kondisi fisiologis ternak berpengaruh pada tahapan ini, setiap ternak yang berbeda spesiesnya akan tahapan folikulogenesisnya, namun pada prinsipnya hampir sama pada beberapa spesies ternak. Pengaruh fisiologis setiap ternak terkait pada kondisi dan pengaruh hormonal dan genetis. Setiap tahapan reproduksi (oogenesis, folikulogenesis dan maturasi oosit) ternak terkait oleh pengaturan gen, dimana pengaturan gen terekspresikan mulai pada fase prenatal sampai postnatal seekor individu. Dalam makalah ini akan menjelaskan pengaruh hormonal dan gen dalam setiap tahapan reproduksi seekor ternak. OOGENESIS PADA MAMALIA Perkembangan dan Differensiasi Duct Sistem pada Mamalia Pada mamalia, tahapan primordial untuk kedua duct system jantan dan betina permulaannya terjadi dalam mesonephroi. Wolffian (mesonephric) duct adalah awalan dari duct system dari jantan, segmen pertama di dalam pronephoros, kemudian berlanjut sebagai sebuah stabilisasi yang panjang pada kumpulan urogenital, bergabung pada kloaka adalah proses akhir kaudal. Bagian dari ductal system betina, mulerian (paramesonedhric) duct, dibentuk oleh invaginasi pada tabung dari permukaan epithelium dari mesonephros. Tabung ini barjalan paralel dengan wolffian duct dalam embrio jantan dan betina. Hanya satu dari dua duct system akan berkembang normal pada mamalia, bergantung pada differensiasi apakah yang mulai testis ataukah ovary (Gambar 4) (Wilhelm, 2007).

Gambar 1. Perkembangan dan diferensiasi pada genital duct system. Kedua Mullerian dan Wolffian duct berada pada tahapan bipotensial. Pada jantan, mullerian duct terjadi degenerasi dampak sekresi AMH oleh sel sertoli testis, sedangkan diferensiasi wolffian duct ke epididimis, vasa deferensia, dan seminal vesical dibawah kontrol androgen produksi oleh sel leydig. Pada betina, wolffian duct mundur dan mullerian duct diferensiasi ke oviduk, uterus, dan vagina atas. Permulaan struktur ovari pada dasarnya tidak berbeda dari testis. Seks cord dibentuk oleh germ sel dan sel somatik, dari permulaan diferensiasi ovary dan testikular. Selama pembentukan tersebut pada dasarnya perubahan dalam testis sebagai seminiferus cord atau tubulus, dalam

aktivitas germ sel ovary bercabang, sex cord menghilang dan akhirnya setiap oosit dibungkus oleh beberapa sel somatik untuk membentuk folikel primordial. Akhir dari oogenesis, ovary menghasilkan jutaan folikel primordial dalam jaringan interstitial dan adalah barisan dengan ovarium epithelium rusak disebut germinal epithelium. Oogonia dan oosit dibentuk selama setengah kehidupan fetus pada domba dan sapi (Gambar. 2) (Hafez, 1987).

Gambar 2. Pola oogenesis pada ternak sapi dan domba. Gen Pengatur Oogenesis Oogenesis pada makhluk hidup khususnya pada ternak merupakan sebuah proses yang kompleks, yang melibatkan fisiologis ovari, kontrol hormonal dan gen yang berekspresi pada pengaturan kinerja ovari. Dalam pengaturan genetis dari proses oogensis melibatkan beberapa gen, beberapa gen mempunyai karakteristik dan ekspresi yang berbeda-beda. Gen JY-1 Gen spesifik pada produk oosit berpengaruh terhadap pengaturan fertilitas pada mamalia, Hal tersebut dapat dilihat oosit sapi yang memiliki gen JY-1 yang ekspresinya berfungsi pada pengaturan fungsi sel granulosa dan pada tahapan embrionik awal. Karakteristik dari gen JY-1 pada sapi berlaku juga pada beberapa spesies tertentu (Bettegowda. 2007). Pendeteksian RNA dari beberapa macam jaringan menggunakan PCR mendeteksi JY-1 mRNA hanya pada ovari fetus yang dikoleksi pada hari 180 dan 210 dari kebuntingan dan tidak pada pemeriksaan jaringan lainnya yang mendukung ekspresi spesifik dari mRNA JY-1. Pendeteksian terhadap gen JY-1 mRNA menghasilkan tiga JY-1 mayor dengan panjang 1,8 kb, 1,2 kb, dan 700 bp. Ekspresi intraovaria dari JY-1 dan proteinnya hanya terdapat pada oosit. In situ hibridisasi pada JY-1 mRNA spesifik pada oosit preantral dan antral folikel. Tidak ada hibridisasi yang signifikan pada sel somatic ovarium (granulose, theka dan stroma) yang ditemukan. Protein JY1 ditemukan pada oosit dalam pertumbuhan folikel pada fase primordial, primer, dan antral (Gambar 3) pada ovary fetus pada hari ke 230 kebuntingan (Bettegowda. 2007).

Gambar 3. Intraovari lokasi JY-1 protein pada perkembangan folikel oosit (A) perkembangan folikel, (B) folikel primordial, (C) folikel primer, (D) dan folikel antral. Panah pada B dan C menunjujkkan sebuah folikel primordial dan primer. Gen JY-1 sebagai penghasil protein spesifik yang mengatur fungsi sel granulosa dan perkembangan awal embrio, serta ekpresi dari JY-1 bersifat spesifisk pada setiap spesies. Protein yang dihasilkan dari JY-1 memiliki ekspresi pada proliferasi sel dan steroidogenesis. Sebagai tambahan juga bahwa JY-1 pada sel granulosa menghambat Folikel Stimulating Hormon (FSH) ((Bettegowda. 2007). Identifikasi dari gen JY-1 pada ternak sapi terletak pada kromosom 29, pada manusia kromosom 11, pada simpanse, tikus, dan anjing pada kromosom 17 -20. Gen mZP3 Selama fertilisasi, penutup sperma yang spesifik pada spesies tertentu untuk ovum bergantung pada interaksi antara permukaan (glico)protein gamet. Semua telur mamalia dikelilingi oleh sebuah kulit ekstraseluler, zona pellucida (ZP) termasuk reseptor spesifik pada spesies untuk

sperma (sperm reseptor). Pada tikus, glycoprotein ZP disebut mZP3 telah diidentifikasi sebagai reseptor untuk akrosom (penutup) sperma (Cohen et al.,2001). Zona pellucida tikus terdiri atas tiga glycoprotein sulfat (ZP1, ZP2 dan ZP3) yang disintesis dan disekresi oleh oosit yang sedang tumbuh. Sekuen primer asam amino pada ZP1, ZP2 dan ZP3 diketahui dari cDNA lengkap, dan terdiri dari sebuah sekuen terminal-N, sebuah bidang zona pellucida, dan bidang transmembran terminal-C, telah diidentifikasi pada setiap bagiannya. Sekresi zona pellucida glycoprotein digeneralisasi oleh proses proteolytic terminal-N dan C dan membatasi glycosilasi O-linked, dihasilkan dalam glycoprotein ZP1, ZP2 dan ZP3 dengan molekuler mass pada 180 sampai 200, 120 sampai 140, dan 83 kDa. Hanya ZP2 dan ZP3 diperlukan untuk membentuk zona pellucida cukup kuat untuk bagian penutup sperma dan melindungi embrio selama perkembangan preimplantasi. Bagaimanapun, sedikit diketahui tentang interaksi dari dua glycoprotein selama perjalanan intraseluler dan pemasangan zona pellucida ekstraseluler larut (Hoodbhoy et al., 2006).

Diantara mamalia, proses penyatuan germ sel termasuk beberapa tahapan yang bertempat dalam urutan yang tetap (Gambar. 5). Hal tersebut dimulai dalam oviduk dengan pengikatan spermatozoa yang bebas berenang pada ZP telur dan diakhiri dalam akhir waktu singkat (1-2 jam setelah penggambungan gamet in vitro) dengan penggabungan telur dan membran plasma sperma untuk membentuk sel aktif, atau zigot.

Gambar. 5. Diagram skema selama fertilisasi telur mamalia, (i) pengikatan akrosom spermatozoa lengkap pada zona pellucid, (ii) inisiasi rekasi akrosom, (iii) penetrasi akrosom, reaksi spermatozoa pada zona pellucid, (iv) pengabungan spermatozoa dan telur, (v) reaksi kortikol, dan (vi) zona reaksi pada penutup pada penambahan spermatozoa ke zona pellucid (Wassarman, 1988). mZP3 sebagai Reseptor Sperma Hanya akrosom penutup spermatozoa lengkap untuk mengovulasi ZP telur tikus. Selama pentupan pada spermatozoa oleh ovum, mZP3 sebagai reseptor untuk spermatozoa dan bagian penting untuk akrosom kepala spermatozoa. mZp3 ovum sangat efektif sebagai penghambat spermatozoa dalam kompetisi antar spermatozoa lainnya dalam fertilisasi (Cohenn et al., 2001). Gen c-Kit c-Kit ligand (KL, disebut juga Stem Cell Factor, SCF), sebuah ligand untuk c-Kit proto-oncogen reseptor tirosin kinase, sebagai pluripotent growth factor yang terlibat dalam diferensiasi dan pertumbuhan beberapa stem sel termasuk hematopoetik stem sel, neuroblas, melanoblas dan primordial germ sell (PGCS). Ekspresi KL telah dideteksi dalam sel granulosa dalam ovarium

tikus, sementara reseptor c-Kit dibatasi pada oosit dan sel theka interna (Manoya et al., 1990). Pola ekspresi KL dan c-Kit mRNA dan protein telah diteliti pada primata dan manusia, domba dan hewan pengerat. Secara umum, PGCS, sel theka dan sel epitel ovarium menghasilkan KL. Menggunakan metode sensitif pada in situ RT-PCR telah memperlihatkan ekspresi kedua KL dan c-Kit mRNA dalam germ sel terletak pada bagian luar dari ovarium fetus tikus antara hari ke 16,5 dan 17,5 postoikus (Doneda et al., 2002). Analisa histologist memperkuat bahwa coekspresi mayor oosit berada dalam tahapan zigoten/pachiten pada meosis propase I, sebagai usulan bahwa loop autocrin ini mungkin mempunyai sebuah peranan penting selama tahapan ini berkembang. Perkembangan embrionik hari ke 18,5, ekspresi KL terbatas untuk sel somatik dalam medula ovarium. Pada saat lahir, KL mRNA dan ekspresi protein meningkat pada cord tengah ovarium tikus, dan kemudian ekspresi KL menjadi asosiasi khusus dengan sel granulosa. Pada ovarium setelah lahir, protein KL dan ekspresi mRNA dideteksi dalam sel granulosa folikel pada semua tahapan perkembangannya, hingga ekspresinya sangat rendah pada folikel primordial dan primer, dan dalam sel kumulus pada folikel antrum (Gambar.6). Lebih dari 90% folikel primordial pada sapi sedikitnya terdapat satu sel granulosa mengekspresikan protein KL. Gamet betina ditampilkan pada ovary dalam bentuk folikel primordial, yang mana fungsinya pada sel granulosa oosit yang tidak tumbuh. Gen c-Kit ekspresinya aktif oleh semacam perkembangan selama embriogenik. Gen c-Kit proteinnya didapatkan pada primate dan manusia, domba, dan pengerat. Umumnya ekspresi reseptor c-Kit pada sel theka dan oosit (Gambar 6) (Doneda et al., 2002). Protein dan mRNA c-Kit telah ditemukan dalam keadaan tinggi dalam perpindahan dan mitosis PGCS, tetapi c-Kit mRNA tidak ditemukan dalam germ sel berjalan pada tahapan meosis pertama selama kehidupan fetus pada tikus dan domba. Ekspresi c-Kit mRNA kemudian kembali dalam diploten tikus dan domba. Oosit primordial dan tahapan akhir folikel secara umum mengekspresikan protein c-Kit dan mRNA, sampai terjadi penurunan ekspresi dalam folikel antrum (Gambar. 6 dan 7). Analisis in situ hibridisasi pada ovarium, disiapkan pada pre dan postnatal pada tikus, menampilkan ekspresi pertama c-Kit terjadi pada prenatal khususnya pada fase diploten pada profase mitosis pertama (Gwatkin, 1993). Ekspresi c-Kit ditemukan secara intensif dalam pertumbuhan folikel preantral, hanya mengurangi bentuk antrum. Sangat menarik, ada beberapa bukti yang mendukung protein c-Kit juga diekspresikan pada sel granulosa pada folikel primordial manusia (Hoyer et al., 2005).

Gambar 6. Ekspresi c-Kit saat folikulogenesis. Ekspresi protein c-Kit dan mRNA meningkat dalam oosit pada folikel primordial, primer dan preantral dan kemudian menurun pada foikel antral

Gambar 7. Immunolokasi c-Kit dalam folikel preantral. c-Kit berlokasi pada membrane oosit dalam folikel preantral (garis cokelat). Pada sapi, KL bersamaan dengan keratinocyte growth factor (KGF) dan hepatocyte growth factor (HGF) berkoordinasi pada interaksi sel granulosa dengan sel theka yang sangat penting selama tahapan akhir pada perkembangan folikel. Kedua KGF dan HGF diekspresikan oleh sel theka, dan bersamaan menyebabkan fungsi sel granulosa dan pertumbuhannya, seperti ekspresi KL. Sel granulosa yang mendapatkan KL telah terlihat juga untuk rekrutmen sel theka, dan meningkatkan pengaruh KGF dan HGF (Parrot dan Skinner, 2000). KL juga terlihat untuk meningkatkan mRNA dan ekspresi protein SF-1, StAR dan aromatase P450 pada tikus (Jin et al., 2005). Terdapat bukti pada oosit dan sel granulosea bersinergis pada perkembangan folikel. KL dan cKit berpengaruh pada BMP 15, ekspresi tersebut terlihat pada sel granulosa murine (tikus). KL mengatur ekspresi BMP 15, menyebabkan feedback negative antara oosit dan sel granulosa (Gambar 8) (Hutt et al., 2006).

Gen GDF-9 Growth Differentiation Factors -9 (GDF-9) merupakan gen pengonrol yang esensial dibutuhkan dalam perkembangan folikel. GDF-9 menstimulus protein pada proses perkembangan folikel primordial dan folikel primer sampai pengaturan sel granulose dan sel teka. GDF-9 pada domba terletak pada kromosom 5 terdiri atas 2 exon dan 1 intron dengan panjang 5644 bp. Exon 1 terdiri atas 396 bp terletak pada 1780-2176 bp, exon 2 terdiri atas 964 bp dan terletak pada 3302-4266 bp. Intron GDF-9 terdiri atas 1126 bp (Hanrahan. 2004). Pola ekspresi GDF-9 dan hasil yang didapatkan dari penelitian pengaruh GDF-9 pada domba menunjukkan bahwa GDF-9 mengatur fungsi dari outocrine dalam perkembangan dan pematangan oosit dan fungsi paracrine dalam pengaturan perkembangan sel granulosa. Ekspresi GDF-9 juga ditampilkan setelah ovulasi terjadi dan 1,5 hari setelah fertilisasi terjadi. Ekspresi selanjutnya yakni mengatur perkembangan awal embrio. Bagaimanapun, ekspresi GDF-9 berpengaruh terhadap sel spesifik pada ovarium dan dibutuhkan dalam tahapan folikuler normal dan perkembangan oosit. Kenyataannya bahwa GDF-9 berpengaruh pada saat perkembangan folikel dimulai, khususnya pada folikel tipe pertama (primordial) dan tipe kedua (primer) (Bodensteiner. 2000). Pengaruh GDF-9 pada folikel domba ditemukan terjadi mutasi pada 4088 bp (c menjadi t) yang merubah asam amino serine dan phenylalanin dan membentuk alel FecGH. Mutasi GDF-9 (FecGH) pada domba berasosiasi dengan BMP-15 (FecXG dan FecXB ) yang bermutasi pada kromosom X. Dalam keadaan homozigot pengaruh GDF-9 (FecGH/FecGH) dan BMP-15 (FecXG/FecXG dan FecXB/FecXB) pada domba menyebabkan sterilitas. Namun keadaan lain terjadi jika heterozigot GDF-9 (FecGH/FecG+) dan berasosiasi dengan BMP-15 (FecXG/FecX+ dan FecXB/Fec+) akan meningkatkan rata-rata ovulasi (Bodensteiner. 2000). Gen BMP- 15 Bone morphogenetic protein 15 (BMP-15) adalah sebuah faktor pertumbuhan dan anggota dari TGF superfamili yang mempunyai ekspresi yang spesifik terhadap oosit. BMP-15 domba berada pada kromosom X (Galloway et al., 2000). BMP-15 mengatur prolifirasi sel granulosa dan diferensiasi oleh mitosis sel granulosa, menahan ekspresi folikel stimulating hormon, dan menstimulasi ekpresi kit ligand, semua pengaturan yang penting dari fertilitas betina mamalia (Otsuka et al., 2000; Juengel et al., 2002; Otsuka dan Shimasaki, 2002, 2002a,b; Moore dan

Shimasaki, 2005). Mutasi FecXG pada BMP -15 berasosiasi dengan peningkatan ovulasi dan sterilitas pada domba Cambridge dan Belclare (Hanrahan et al., 2004). Ekspresi BMP-15 pada sel granulosa terjadi pada saat BMP-15 mengalami mutasi pada nukleotidanya. Mutasi BMP-15 pada posisi 718 yakni perubahan c menjadi t. Dua genotype (111 bp dan 141 bp) (Gambar 9). BMP-15 berasosiasi dengan GDF-9 jika dalam keadaan homozigot (FecXG/FecXG dan FecXB/FecXB) akan menyebabkan sterilitas, dan pada keadaan heterozigot (FecXG/FecX+ dan FecXB/Fec+) akan menyebabkan peningkatan ovulasi (Hanrahan et al., 2004).

Gambar 9. Mutasi FecXG pada BMP-15, alel wild type pada 111 bp dan mutan 141 bp. KESIMPULAN Oogenesis pada makhluk hidup khususnya ternak terjadi pada saat prenatal embrio, Oogenesis pada ternak berhubungan dengan diferensiasi awal pembentukan organ kelamin. Kondisi fisiologis yakni hormonal dan genetis berperan penting terhadap proses oogenesis. Tahapan oogenesis pada ternak (mamalia) diatur oleh beberapa gen, antara lain : 1. Gen JY-1, berperan berfungsi pada pengaturan fungsi sel granulosa dan pada tahapan embrionik awal. Protein JY-1 ditemukan pada oosit dalam pertumbuhan folikel pada fase primordial, primer, dan antral. 2. Gen GDF-9, berfungsi menstimulus protein pada proses perkembangan folikel primordial dan folikel primer sampai pengaturan sel granulose dan sel teka. GDF-9 pada domba terletak pada kromosom 5 terdiri atas 2 exon dan 1 intron dengan panjang 5644 bp. 3. Gen BMP- 15, mengatur prolifirasi sel granulosa dan diferensiasi oleh mitosis sel granulosa, menahan ekspresi folikel stimulating hormon, dan menstimulasi ekpresi kit ligand, semua pengaturan yang penting dari fertilitas betina mamalia. 4. Gen c-Kit, ekspresinya terjadi pada prenatal khususnya pada fase diploten pada profase mitosis pertama. DAFTAR PUSTAKA Bettegowda. A, Yao. J, Sen. A, Li. Q, Lee. K.L, Kobayashi. Y, Patel. O.V, Coussens. P.M, Ireland. J.J, and Smith. G.W. 2007. JY-1, an oocyte-specific gene, regulates granulosa cell function and early embryonic development in cattle. PNAS. Vol. 104. Bodensteiner. K.J, McNatty. K.P, Clay. C.M, Moeller. C.L, and Sawyer. H.R. 2000. Expression of Growth and Differentiation Factor-9 in the Ovaries of Fetal Sheep Homozygous or Heterozygous for the Inverdale Prolificacy Gene (FecXI). BIOLOGY OF REPRODUCTION 62, 14791485. Doneda L, Klinger FG, Larizza L and De Felici M (2002) KL/KIT co-expression in mouse fetal oocytes. Int J Dev Biol 46,10151021. Gwatkin. R.B.L. 1993. Gene In Mammalian Reproduction. Wiley-Lissa Publication. Ohio. Hafez. E.S.E. 1987. Reproduction in Farm Animal. 5 th Edition. Lea & Febiger. Philadelphia. Hanrahan. J.P, Gregan. S.M, Mulsant. P, Mullen. M, Davis. G.H, Powell. R, and Galloway. S.M. 2004. Mutations in the Genes for Oocyte-Derived Growth Factors GDF9 and BMP15 Are Associated with Both Increased Ovulation Rate and Sterility in Cambridge and Belclare Sheep (Ovis aries). Biology Of Reproduction 70, 900909. Hoyer PE, Byskov AG and Mollgard K (2005) Stem cell factor and c-Kit in human primordial germ cells and fetal ovaries. Mol Cell Endocrinol 234,110.

Wilhelm. D, Palmer. S, And Koopman .P. 2007. Sex Determination and onadal Development in Mammals. Physiol Rev 87: 128.

Anda mungkin juga menyukai