Anda di halaman 1dari 8

A.

Pengertian nyeri

Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan jaringan maupun potensial terjadinya kerusakan jaringan (IASP, 1979). B. Patofisiologi Nyeri disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Nosiseptor merupakan reseptor ujung saraf bebas yang terdapat pada kulit, otot, persendian, viseral, dan vaskular. Nosiseptor bertanggung jawab terhadap kehadiran stimulus noksius yang berasal dari bahan kimia, suhu, atau perubahan mekanikal. Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan (Sukandar, 2009). Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus. Bila terjadi kerusakan jaringan atau potensi kerusakan jaringan, sel akan mengeluarkan komponen intraseluler, misalnya adenosin trifosfat, ion K+ dengan demikian nosiseptor akan teraktiviasi. Impuls nyeri akan diteruskan ke sistem saraf pusat yaitu medulla spinalis, ke sel neuron di kornu dorsalis dan thalamus. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Impuls tersebut dipersepsikan sebagai kualitas nyeri (Sukandar, 2009). Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri) (Tjay, 2007). 1. Proses Transduksi Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya
1

menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer (Noor, 2010). 2. Proses Transmisi Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi melalui serabut A delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri (Noor, 2010). 3. Proses Modulasi Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang (Noor, 2010). 4. Persepsi Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik (Noor, 2010).

Gambar 1. Patofisiologi nyeri Serabut yang berperan dalam nyeri antara lain : serabut A-(A- fiber) yang peka thd nyeri tajam, panas menimbulkan first pain. Serabut C (C fiber) yang peka thd nyeri tumpul dan lama yang menimbulkan second pain seperti nyeri inflamasi (Noor, 2010).

Gambar 2. Serabut syaraf nyeri C. Strategi Pengobatan Nyeri Strategi pengobatan nyeri ada 2 macam yakni secara non farmakologis dan farmakologis. Secara non farmakologis antara lain seperi intervensi psikologis (relaksasi, hipnosis), dan transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) untuk nyeri bedah, traumatik. Apabila secara farmakologis antara lain dengan analgesik (non opiat dan opiat).
3

Pengobatan nyeri harus dimulai dengan analgesik yang paling ringan sampai ke yang paling kuat (Sukandar, 2009).

Gambar 3. Strategi Pengobatan Nyeri Analgesik non opiat antara lain : parasetamol, golongan salisilat (aspirin, Mg salisilat, diflunisal), golongan fenamat (meklofenamat, asam mefenamat), Na diklofenak, antalgin, golongan asam propionat (ibuprofen, fenoprofen, ketoprofen, naproksen), golongan asam pirolizin karboksilat (ketorolak), inhibitor COX-2 (celecoxib, valdecoxib) (McCaffery, 1999). Analgesik opiat antara lain: agonis seperti morfin ( morfin, hidromorfin, oksimorfin, leforvanol, kodein, hidrokodon, oksikodon), agonis seperti meperidin (meperidin, fentanil), agonis seperti metadon (metadon, propoksifen), antagonis (nalokson), dan analgesic sentral (tramadol). Reseptor opiat ada 3 macam yakni:
a. Reseptor (mu) : berperan dalam analgesia supraspinal, depresi respirasi,

euforia, ketergantungan
b. Reseptor (kappa) : berperan dalam analgesia spinal, miosis,sedasi

c. Reseptor (delta) : disforia, halusinasi, stimulasi pusat vasomotor Enkefalin dan endorphin berikatan dengan reseptor dan . Dinorfin berikatan dengan reseptor (McCaffery, 1999).
D. Morfin 4

1) Mekanisme aksi Morfin bekerja sebagai agonis terutama pd reseptor dan mungkin pada reseptor di SSP, kemudian reseptor yang memodulasi transmisi nyeri, menurunkan persepsi nyeri dg cara menyekat nyeri pada berbagai tingkat, terutama di otak tengah dan medulla spinalis. Efek analgetiknya dengan mengurangi persepsi nyeri di otak (meningkatkan ambang nyeri), mengurangi respon psikologis terhadap nyeri (menimbulkan euforia), dan menyebabkan mengantuk/tidur (efek sedatif) walau ada nyeri. Morfin diindikasikan untuk nyeri berat yang tak bisa dikurangi dengan analgetika non-opioid atau obat analgetik opioid lain yang lebih lemah efeknya. Morfin juga digunakan sebagai standar analgesik opiat lain. Umumnya diberikan secara s.c., i.m, iv. Dosis oral 2 x dosis injeksi (Lacy, 2003).

Gambar 4. Mekanisme aksi opioid 2) Farmakokinetik Morfin dimetabolisme terutama di hati dan sekitar 87% dari dosis morfin diekskresikan dalam urin dalam 72 jam setelah administrasi. Morfin terutama dimetabolisme menjadi morfin-3-glukoronida (M3G) dan morfin-6-glukoronida (M6G) melalui glukoronidasi oleh enzim metabolisme fase II UDP-glucuronosyl transferase-2B7 (UGT2B7). Sekitar 60% dari morfin diubah menjadi M3G, dan 6-10% dikonversi menjadi M6G. Morfin juga dapat dimetabolisme menjadi sejumlah kecil normorphine, kodein, dan hydromorphone. Laju metabolisme ditentukan oleh jenis kelamin, usia, diet, genetik, keadaan penyakit (jika ada) dan penggunaan obat lain. Waktu paruh eliminasi morfin adalah sekitar 120 menit,
5

meskipun mungkin ada sedikit perbedaan antara pria dan wanita. Morfin dapat disimpan dalam lemak, dan dengan demikian dapat terdeteksi bahkan setelah kematian. Morfin dapat melewati sawar darah-otak tetapi karena kelarutan lipid yang buruk, terikat protein, konjugasi dengan asam glukuronat yang cepat dan ionisasi, maka morfin tidak mudah menembus sawar darah-otak. Diasetilmofin, yang berasal dari morfin, melintasi barier darah-otak lebih mudah, karena lebih lipofilik (Lacy, 2003).

Gambar 5. Metabolisme morfin 3) Kontraindikasi Morfin dikontraindikasikan pada orang dengan depresi pernapasan, penyakit obstruksi jalan napas, penyakit hati akut, penggunaan bersama dengan MAOI (atau dalam waktu 2 minggu sesudah menggunakan MAOI) atau obat yang bekerja pada SSP (Lacy, 2003). 4) Efek samping

Depresi SSP, misalnya : sedatif, depresi pernafasan & batuk, miosis,

hipothermia, mual & muntah (karena rangsangan pd CTZ / chemo triggrer zone), penurunan aktivitas mental & motorik, euforia, perasaan termangu, halusinasi .

Bronkokonstriksi saluran nafas, shg pernafasan menjadi dangkal & Sistem sirkulasi darah : vasodilatasi perifer (jika pd kulit, keluar keringat Saluran GI : obstipasi karena peristaltik berkurang, kolik batu empedu karena Kebiasaan & ketagihan (Lacy, 2003).
6

frekuensinya menurun.

berlebihan), hipotensi & bradikardi (dosis tinggi).

kontraksi sfingter kandung empedu.

Gambar 6. Efek Opioid 5) Interaksi obat Morfin berinteraksi dengan obat yang bekerja pada SSP (antidepresan, transkuiliser, hipnotik sedatif).
1. Morfin vs obat golongan depresan SSP lain (alkohol; antihistamin; sedatif-hipnotik

seperti barbiturat & benzodiazepin; obat anestesi seperti nitrogen oksida; metoklopramida; fenotiazin / proklorperazin; antidepresan trisiklik) mengakibatkan efek depresi SSP meningkat.
2. Morfin vs MAO Inhibitor atau SSRI (selective serotonin re-uptake inhibitor) atau

probakarbazin dapat menimbulkan hiperpireksia disertai hipotensi / hipertensi yg fatal, dihindari selama 14 21 hari sesudah terapi MAOI dihentikan.
3. Morfin vs metoklopramid, cisapride & domperidon dapat mengakibatkan stasis

lambung.
4. Morfin vs simetidin / ranitidin (antagonis H2) dapat menghambat enzim mikrosomal

sehingga metabolisme morfin dicegah, akibatnya konsentrasi morfin meningkat (apnea & gejala kebingungan) (Tjay, 2007).

DAFTAR PUSTAKA
7

International Association for the Study of Pain, 1979, IASP Pain Terminology. Lacy, C. F., et al., 2003, Drug Information Handbook, 11th edition, Lexi-Comp Inc., Ohio, pp. 215-216. McCaffery M, Pasero CL., 1999, Text book of Pain: clinical manual, 2d ed., St. Louis Mosby, USA, pp. 161-299. Noor, A., 2010, Penatalaksanaan Nyeri, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31992/4/Chapter%20I0.pdf, diakses pada tanggal 15 Februari 2013. Sukandar dkk., 2009, ISO Farmakoterapi, PT ISFI, Jakarta, pp.517-520. Tjay, 2007, Obat-obat Penting, 6th ed., PT Elex Media Komputindo, Jakarta, pp. 348-349.

Anda mungkin juga menyukai