Anda di halaman 1dari 47

2008 SKRINING KANKER LEHER RAHIM DENGAN METODE INSPEKSI VISUAL DENGAN ASAM ASETAT (IV A) SKRINING KA PANEL

AHLI HEALTH TECHNOLOGY ASSESSMENT INDONESIA DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA 1

PANEL AHLI Dr. dr. Laila Nuranna, Sp. OG (K) Departemen Obstetri dan Ginekologi, FK UI/ RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dr. Gatot Purwoto, Sp. OG (K) Departeme n Obstetri dan Ginekologi, FK UI/ RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta Dr. Omo A. Ma djid, Sp. OG (K) Departemen Obstetri dan Ginekologi, FK UI/ RSUPN Cipto Mangunku sumo Jakarta dr. Junita Indarti, SpOG (K) Departemen Obstetri dan Ginekologi, FK UI/ RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dr. Andi Darma Putra, SpOG (K) Departemen Obstetri dan Ginekologi, FK UI/ RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dr. Pudjo Harto no, SpOG (K) Departemen Obstetri dan Ginekologi, FK UNAIR/ RSUP Dr.Sutomo Suraba ya dr. Agustria Zainu Saleh, SpOG (K) Departemen Obstetri dan Ginekologi, FK UNS RI/ RSU Moh. Husein, Palembang dr. Setyawati Budiningsih, MPH Departemen Ilmu Ke sehatan Komunitas, FK UI Jakarta dr. Budiningsih Siregar, SpPA (K) Departemen Pa tologi Anatomik, FK UI/ RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta UNIT PENGKAJIAN TEKNOLO GI KESEHATAN Prof.Dr. dr. Eddy Rahardjo, SpAn, KIC Ketua dr.Santoso Soeroso, SpA (K), MARS Anggota dr. Mulya A. Hasjmy, Sp. B. M. Kes Anggota dr. K. Mohammad Ak ib, Sp.Rad, MARS Anggota drg. Anwarul Amin, MARS Anggota dr.Diar Wahyu Indriarti , MARS Anggota dr. Sad Widyanti Anggota dr. Henny Adriani Puspitasari Anggota 2

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Kanker leher rahim adalah keganasan dari leher rahim (serviks) yang disebabkan oleh virus HPV (Human Papiloma Virus). Diseluruh dunia, penyakit ini merupakan jenis kanker ke dua terbanyak yang diderita perempuan.1 Saat ini di se luruh dunia diperkirakan lebih dari 1 juta perempuan menderita kanker leher rahi m1 dan 3-7 juta orang perempuan memiliki lesi prekanker derajat tinggi (high gra de dysplasia)2. Penelitian WHO tahun 2005 menyebutkan, terdapat lebih dari 500.0 00 kasus baru, dan 260.000 kasus kematian akibat kanker leher rahim, 90% diantar anya terjadi di negara berkembang. Angka insidens tertinggi ditemukan di negaranegara Amerika bagian tengah dan selatan, Afrika timur, Asia selatan, Asia tengg ara dan Melanesia 1,2,3 Di Indonesia, kanker leher rahim merupakan keganasan yan g paling banyak ditemukan dan merupakan penyebab kematian utama pada perempuan d alam tiga dasa warsa terakhir. Diperkirakan insidens penyakit ini adalah sekitar 100 per 100.000 penduduk.4 Data patologi dari 12 pusat patologi di Indonesia (1 997) menunjukkan bahwa kanker leher rahim menduduki 26,4% dari 10 jenis kanker terbanyak pada per empuan.5 Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 39,5% penderita kanker pada tahun 1998 adalah kanker serviks.6 Seiring dengan meningkatnya populasi, ma ka insidens kanker leher rahim juga meningkat sehingga meningkatkan beban keseha tan negara.2 Padahal penyakit ini dapat dicegah dengan deteksi dini lesi prankan ker yang apabila segera diobati tidak akan berlanjut menjadi kanker leher rahim. Dalam beberapa dekade, angka penderita kanker leher rahim di negara-negara maju mengalami penurunan yang tajam. Di Amerika Serikat, dalam 50 tahun terakhir ins idens kanker leher rahim turun sekitar 70%.7 Hal tersebut dimungkinkan karena ad anya program deteksi dini dan tatalaksana yang baik.2 Sebaliknya, di negara-nega ra berkembang, angka penderita penyakit ini tidak mengalami penurunan, bahkan ju stru meningkat akibat populasi yang meningkat.1,2, 8 Banyak alasan yang menyebab kan masih tingginya angka penderita. Diantara alasan tersebut adalah belum adany a sistem pelayanan yang terorganisasi baik mulai dari deteksi dini sampai penang anan kanker leher rahim stadium lanjut9. Selain itu 3

terbatasnya sarana dan prasanatermasuk tenaga ahliyang kompeten menangani penyakit ini secara merata1,2,9 menjadi tantangan tersendiri. WHO menggariskan 4 kompone n penting dalam program penanganan kanker leher rahim nasional yaitu kewaspadaan dan pencegahan primer, deteksi dini melalui peningkatan program skrining yang terorganisasi, diagnosis dan tatalaksana, serta perawatan paliatif untuk kasus lanjut. 1 Deteksi dini kanker leher rahim m eliputi program skiring yang terorganisasi dengan target pada kelompok usia yang tepat dan sistim rujukan yang efektif di semua tingkat pelayanan kesehatan. Beb erapa metode skrining yang dapat digunakan adalah pemeriksaan sitologi berupa Pa p tes konvensional atau sering dikenal dengan Tes Pap dan pemeriksaan sitologi c airan (liquid-base cytology /LBC), pemeriksaan DNA HPV, dan pemeriksaan visual b erupa inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) serta inspeksi visual dengan lugo l iodin (VILI).1 Metode yang disebut terakhir tidak memerlukan fasilitas laboratorium, sehingga dapat dijadikan pilihan untuk masyarakat yang j auh dari fasilitas laboratorium dan dapat dilakukan secara masal. Sedangkan untu k masyarakat kota dan daerah-daerah dengan akses pelayanan kesehatan yang memada i, metode skrining dengan pemeriksaan sitologi akan lebih tepat. Saat ini banyak penelitian tentang skrining dengan metode IVA dilakukan di berbagai negara berk embang. Skrining dengan metode IVA dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, murah, nyaman, praktis, dan mudah. Sederhana, yaitu dengan hanya mengoleskan asa m asetat (cuka) 3-5% pada leher rahim lalu mengamati perubahannya, dimana lesi p rakanker dapat terdeteksi bila terlihat bercak putih pada leher rahim. Murah, ka rena biaya yang diperlukan hanya sekitar Rp. 3000,- sampai Rp.5000,-/pasien. Nya man, karena prosedurnya tidak rumit, tidak memerlukan persiapan, dan tidak menya kitkan. Praktis, artinya dapat dilakukan dimana saja, tidak memerlukan sarana kh usus, cukup tempat tidur sederhana yang representatif, spekulum dan lampu. Mudah , karena dapat dilakukan oleh bidan dan perawat yang terlatih. Beberapa karakter istik metode ini sesuai dengan kondisi Indonesia yang memiliki keterbatasan ekon omi dan keterbatasan sarana serta prasarana kesehatan. Karenanya pengkajian peng gunaan metode IVA sebagai cara skrining kanker leher rahim di daerahdaerah yang memiliki sumber daya terbatas ini dilakukan sebagai salah satu masukan dalam pem buatan kebijakan kesehatan nasional di Indonesia. 4

I.2 Permasalahan 1. Masih tingginya angka morbiditas dan mortalitas kanker leher rah im di Indonesia 2. Rendahnya cakupan skrining kanker leher rahim sebagai salah s atu komponen untuk menekan jumlah pasien kanker leher rahim. akibat keterbatasan sumber daya. 3. Terdapat berbagai metode skrining kanker leher rahim, salah sat u diantaranya adalah metode IVA yang mudah dilaksanakan pada masyarakat dengan s umber daya yang terbatas. I.3 Tujuan I.3.1 Tujuan Umum Melakukan kajian ilmiah metode skrining IVA dalam upaya mening katkan cakupan skrining kanker leher rahim untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas kanker leher rahim. I.3.2 Tujuan Khusus : 1. Melakukan kajian perbandingan akurasi skrining metode I VA dengan metodemetode yang lain 2. Melakukan kajian implementasi metode IVA dal am program skrining kanker leher rahim. 3. Diperolehnya rekomendasi berbasis buk ti peranan metode IVA dalam mengatasi masalah kanker leher rahim di Indonesia. 5

BAB II METODOLOGI PENILAIAN II.1. Penelusuran Kepustakaan Penelusuran literatur dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan elektronik: Pubmed, British Medical Journal, Cochrane, Medsc ape, terakhir (1998-2008). Kata kunci yang digunakan adalah kanker leher rahim, kanker serviks,cervical cancer, visual inspection with aceto-acetat (VIA), scree ning for cervical cancer dan cervical cancer early detection. II.2. Hierarchy of Evidence dan Derajat Rekomendasi Setiap makalah ilmiah yang didapat dinilai ber dasarkan evidence based mediNISe, ditentukan hierarchy of evidence dan derajat r ekomendasi. Hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi diklasifikasikan berda sarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan definisi yang dinyatakan oleh US Agency for Health Care Policy and Research. Hie rarchy of evidence: Ia. Ib. IIa. IIb. IIIa. IIIb. IV. Meta-analysis of randomise d controlled trials. Minimal satu randomised controlled trials. Minimal peneliti an non-randomised controlled trials. Cohort dan Case control studies Cross-secti onal studies Case series dan case report Konsensus dan pendapat ahli dalam 10 ta hun Derajat rekomendasi : A. B. C. Evidence yang termasuk dalam level Ia dan Ib. Evi dence yang termasuk dalam level IIa dan IIb. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb dan IV. 6

BAB III KANKER LEHER RAHIM III.1. Definisi Kanker leher rahim adalah kanker primer yang terjadi pada jaringan lehe r rahim (serviks)10 Sementara lesi prakanker, adalah kelainan pada epitel serviks akibat terjadinya perubahan sel-sel epitel, namun kelainannya belum menembus lapisan ba sal (membrana basalis). III.2. Etiologi Penyebab primer kanker leher rahim adala h infeksi kronik leher rahim oleh satu atau lebih virus HPV (Human Papiloma Viru s) tipe onkogenik yang beresiko tinggi menyebabkan kanker leher rahim yang ditul arkan melalui hubungan seksual (sexually transmitted disease).3,11,12 Perempuan biasanya terinfeksi virus ini saat usia belasan tahun, sampai tigapuluhan, walau pun kankernya sendiri baru akan muncul 10-20 tahun sesudahnya.9 Infeksi virus HP V yang berisiko tinggi menjadi kanker adalah tipe 16, 18, 45, 5613 dimana HPV ti pe 16 dan 18 ditemukan pada sekitar 70% kasus1. Infeksi HPV tipe ini dapat menga kibatkan perubahan sel-sel leher rahim menjadi lesi intra-epitel derajat tinggi (high-grade intraepithelial lesion/ LISDT) yang merupakan lesi prakanker. Sement ara HPV yang berisiko sedang dan rendah menyebabkan kanker (tipe nononkogenik) b erturut turut adalah tipe 30, 31, 33, 35, 39, 51, 52, 58, 66 dan 6, 11, 42, 43, 44, 53, 54,55.13 III.3. Predisposisi Faktor risiko terjadinya infeksi HPV adalah hubungan seksual pada usia dini, berhubungan seks dengan berganti-ganti pasanga n, dan memiliki pasangan yang suka berganti-ganti pasangan.1 Infeksi HPV sering terjadi pada usia muda, sekitar 25-30% nya terjadi pada usia kurang dari 25 tahu n. Beberapa ko-faktor yang memungkinkan infeksi HPV berisiko menjadi kanker lehe r rahim adalah1 : a. Faktor HPV : tipe virus infeksi beberapa tipe onkogenik HPV secara bersamaan jumlah virus (viral load) 7

b. Faktor host/ penjamu : status imunitas, dimana penderita imunodefisiensi (mis alnya penderita HIV positif) yang terinfeksi HPV lesi prekanker dan kanker. juml ah paritas, dimana paritas lebih banyak lebih berisiko mengalami kanker c. Fakto r eksogen III.4. merokok ko-infeksi dengan penyakit menular seksual lainnya peng gunaan jangka panjang ( lebih dari 5 tahun) kontrasepsi oral lebih cepat mengala mi regresi menjadi Perjalanan Alamiah Kanker Leher rahim Pada perempuan saat remaja dan kehamilan p ertama, terjadi metaplasia sel skuamosa serviks. Bila pada saat ini terjadi infeksi HPV, maka akan terbentuk se l baru hasil transformasi dengan partikel HPV tergabung dalam DNA sel. Bila hal ini berlanjut maka terbentuklah lesi prekanker dan lebih lanjut menjadi kanker. Sebagian besar kasus displasia sel servix sembuh dengan sendirinya, sementara hanya sekitar 10% yang berubah menjadi displasia sedang dan berat. 50% kasus displasia berat beru bah menjadi karsinoma.1 Biasanya waktu yang dibutuhkan suatu lesi displasia menj adi keganasan adalah 10-20 tahun. Kanker leher rahim invasif berawal dari lesi d isplasia sel-sel leher rahim yang kemudian berkembang menjadi displasia tingkat lanjut, karsinoma in-situ dan akhirnya kanker invasif. Penelitian terakhir menun jukkan bahwa prekursor kanker adalah lesi displasia tingkat lanjut (high-grade d ysplasia) yang sebagian kecilnya akan berubah menjadi kanker invasif dalam 10-15 tahun, sementara displasia tingkat rendah (lowgrade dysplasia) mengalami regres i spontan.2,14,15 8

Gambar 1. Patofisiologi Kanker1 Paparan HPV Infeksi Transien Infeksi persisten ** * * * *** Infeksi HPV Progresi Lesi prekanker Lesi invasif Leher rahim normal Pembersihan NORMAL NIS 1 Regresi NIS 2 NIS 3 KANKER NIS : Neoplasma Intraepitel Serviks Nasiell et.al.16 melaporkan waktu yang dibut uhkan untuk progresivitas lesi tipe NIS2 menjadi karsinoma in-situ paling cepat terjadi pada kelompok perempuan usia 26-50 tahun yaitu 40-41 bulan, sementara pa da kelompok perempuan usia dibawah 25 tahun dan diatas 50 tahun berturut-turut a dalah 54-60 bulan, dan 70-80 bulan. III.5. Klasifikasi dan Stadium III.5.1 Sistem Klasifikasi Lesi Prakanker Ada beberapa sistem klasifikasi lesi p rakanker yang digunakan saat ini, dibedakan berdasarkan pemeriksaan histologi da n sitologinya. Berikut tabel klasifikasi lesi prakanker1 : Klasifikasi Sitologi (untuk skrining) Pap Kelas I Kelas II Kelas III Sistem Bethesda Normal ASC-US AS C-H LISDR Klasifikasi Histologi (untuk diagnosis) NIS ( Neoplasia Intraepitel Se rviks) Normal Atypia Klasifikasi Deskriptif WHO Normal Atypia NIS1 termasuk Koilositosis kondiloma Kelas III LISDT NIS 2 Displasia sedang Kela s III LISDT NIS 3 Displasia berat Kelas IV LISDT NIS 3 Karsinoma in situ Kelas K elas V Karsinoma invasif Karsinoma invasif Karsinoma invasif ASC-US : atypical s quamous cell of undetermined significance ASC-H : atypical squamous cell: cannot exclude a high grade squamous epithelial lesion 9

LISDR : Lesi Intraepitel Skuamosa Derajat Rendah LISDT : Lesi Intraepitel Skuamo sa Derajat Tinggi (Dikutip dari Comprehensive Cervical Cancer Control. A Guide t o Essential Practice, Geneva : WHO, 2006) III.5.2 Stadium Kanker Rahim Internati onal Federation of Gynecologists and Obstetricians Staging System for Cervical C ancer (FIGO) pada tahun 2000 menetapkan stadium kanker sebagai berikut10,17 : St adium 0 I IA1 IA2 IB1 IB2 II IIA IIB III IIIA IIIB IV IVA IVB Karakteristik Lesi belum menembus membrana basa Lesi tumor masih terbatas di leher rahim Lesi tela h menembus membrana basalis kurang dari 3 mm dengan diameter permukaan tumor < 7 mm Lesi telah menembus membrana basalis > 3 mm tetapi < 5 mm dengan dengan diam eter permukaan tumor < 7 mm Lesi terbatas di leher rahim dengan ukuran lesi prim er < 4 cm Lesi terbatas di leher rahim dengan ukuran lesi primer > 4 cm Lesi tel ah keluar dari leher rahim (meluas ke parametrium dan sepertiga proksimal vagina ) Lesi telah meluas ke sepertiga proksimal vagina Lesi telah meluas ke parametri um tetapi tidak mencapai dinding panggul Lesi telah keluar dari leher rahim (men yebar ke parametrium dan atau sepertiga vagina distal) Lesi menyebar ke sepertig a vagina distal Lesi menyebar ke parametrium sampai dinding panggul Lesi menyeba r keluar organ genitalia Lesi meluas ke rongga panggul, dan atau menyebar ke muk osa vesika urinaria Lesi meluas ke mukosa rektum an atau meluas ke organ jauh 3.6 Skrining kanker leher rahim Berbagai metode skrining kanker leher telah dike nal dan diaplikasikan, dimulai sejak tahun 1960-an dengan pemeriksaan tes Pap. Selain itu dikembangkan metode v isual dengan gineskopi, atau servikografi, kolposkopi. Hingga penerapan metode y ang dianggap murah yaitu dengan tes IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat). Sk rining DNA HPV juga ditujukan untuk mendeteksi adanya HPV tipe onkogenik, pada h asil yang positif, dan memprediksi seorang perempuan menjadi berisiko tinggi ter kena kanker serviks. 3. 7.1. Gejala dan Tanda Lesi prakanker dan kanker stadium dini biasanya asimtomatik dan hanya dapat terdeteksi dengan pemeriksaan sitologi . Boon dan Suurmeijer melaporkan bahwa 10

sebanyak 76% kasus tidak menunjukkan gejala sama sekali.18 Jika sudah terjadi ka nker akan timbul gejala yang sesuai dengan tingkat penyakitnya, yaitu dapat loka l atau tersebar. Gejala yang timbul dapat berupa perdarahan pasca sanggama atau dapat juga terjadi perdarahan diluar masa haid dan pasca menopause. Jika tumorny a besar, dapat terjadi infeksi dan menimbulkan cairan berbau yang mengalir kelua r dari vagina. Bila penyakitnya sudah lanjut, akan timbul nyeri panggul, gejala yang berkaitan dengan kandung kemih dan usus besar.18,19Gejala lain yang timbul dapat berupa gangguan organ yang terkena misalnya otak (nyeri kepala, gangguan k esadaran), paru (sesak atau batuk darah), tulang (nyeri atau patah), hati (nyeri perut kanan atas, kuning, atau pembengkakan) dan lain-lain.20 3.7.2. Penegakan Diagnosis Diagnosis definitif harus didasarkan pada konfirmasi histopatologi dar i hasil biopsi lesi sebelum pemeriksaan dan tatalaksana lebih lanjut dilakukan.1 Tindakan penunjang diagnostik dapat berupa kolposkopi, endoservikal 3.8. Tatala ksana Lesi Prakanker Serviks 21,22 Penatalaksanaan lesi prakanker serviks yang p ada umumnya tergolong NIS (Neoplasia Intraepitelial Serviks) dapat dilakukan den gan observasi saja, biopsi terarah, dan kuretase medikamentosa, terapi destruksi, dan/atau terapi eksisi. Tindakan observasi dila kukan pada tes pap dengan hasil HPV, atipia, NIS I yang termasuk dalam Lesi Intr aepitelial Skuamousa Derajat Rendah (LISDR). Terapi NIS dengan destruksi dapat d ilakukan pada LISDR dan LISDT (Lesi Intra epitelial Skuamousa Derajat Tinggi). D emikian juga, terapi eksisi dapat ditujukan pada LISDR dan LISDT. Perbedaan anta ra terapi destruksi dan terapi eksisi adalah pada terapi destruksi tidak mengang kat lesi, tetapi pada terapi eksisi ada spesimen lesi yang diangkat. 11

TABEL GARIS BESAR PENANGANAN LESI PRAKANKER SERVIKS 21 Klasifikasi Penanganan HP V Observasi Medikamentosa Destruksi: Krioterapi Elektrokauterisasi/elektrokoagul asi Eksisi: diatermi loop Displasia ringan (NIS I) Observasi Destruksi: Kriotera pi Elektrokoagulasi Laser, Laser + 5 FU Eksisi: diatermi loop Displasia sedang ( NIS II) Destruksi: krioterapi Elektrogoagulasi Laser, Laser + 5 FU Eksisi: diate rmi loop Displasia keras (NIS III)/KIS Destruksi: krioterapi Elektrokoagulasi La ser Eksisi: konisasi Histerektomi Terdapat beberapa metode pengobatan lesi prakanker serviks 1. Terapi NIS dengan Destruksi Lokal Yang termasuk pada metode terapi ini adalah krioterapi, elektrok auter, elektrokoagulasi, dan CO2 laser. Penggunaan setiap metode ini bertujuan u ntuk memusnahkan daerah-daerah terpilih yang mengandung epitel abnormal, yang ke lak akan digantikan dengan epitel skuamosa yang baru. a. Krioterapi Krioterapi i alah suatu usaha penyembuhan penyakit dengan cara mendinginkan bagian yang sakit sampai dengan suhu di bawah nol derajat Celcius. Pada suhu sekurang-kurangnya 2 5 derajat Celcius sel-sel jaringan termasuk NIS akan mengalami nekrosis. Sebagai akibat dari pembekuan tersebut, terjadi perubahan-perubahan tingkat seluler dan vaskuler, yaitu (1) sel-sel mengalami de hidrasi dan mengerut; (2) konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu; (3) syok t ermal dan denaturasi kompleks lipid protein; (4) status umum sistem mikrovaskula r.23,24 Pada awalnya digunakan cairan Nitrogen atau gas CO2, tetapi pada saat in i hampir semua alat menggunakan N2O. 12

c. Elektrokauter Metode elektrokauter dapat dilakukan pada pasien rawat jalan. P enggunaan elektrokauter memungkinkan untuk pemusnahan jaringan dengan kedalaman 2 atau 3 mm. Lesi NIS I yang kecil di lokasi yang keseluruhannya terlihat pada u mumnya dapat disembuhkan dengan efektif.25 b. Diatermi Elektrokoagulasi Radikal Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan jaringan lebih luas dan efektif jika dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi harus dilakukan dengan anestesi umum. Tindakan ini memungkinkan untuk memusnahkan jaringan serviks sampai kedalaman 1 cm, tetapi fisiologi serviks dapat dipengaruhi, terutama jika lesi tersebut sangat luas. Dianjurkan penggunaannya hanya terbatas pada kasus N IS 1/2 dengan batas lesi yang dapat ditentukan.26,27 d. CO2 Laser Penggunaan sin ar laser (light amplication by stimulation emission of radiation), suatu muatan listrik dilepaskan dalam suatu tabung yang berisi campuran gas helium, gas nitro gen, dan gas CO2 sehingga akan menimbulkan sinar laser yang mempunyai panjang ge lombang 10,6u. Perubahan patologis yang terdapat pada serviks dapat dibedakan da lam dua bagian, yaitu penguapan dan nekrosis. Lapisan paling luar dari mukosa se rviks menguap karena cairan intraselular mendidih, sedangkan jaringan yang menga lami nekrotik terletak di bawahnya. Volume jaringan yang menguap atau sebanding dengan kekuatan dan lama penyinaran.28 2. Terapi NIS dengan Eksisi a. LEEP ( Loo p Electrosurgical Excision Procedures) Ada beberapa istilah dipergunakan untuk L EEP ini. Cartier dengan menggunakan kawat loop kecil untuk biopsi pada saat kolp oskopi yang menyebutnya dengan istilah diatermi loop.29 Prendeville et al. menye butnya LLETZ (Large Loop Excisional Tranformation Zona).30 b. Konisasi.31, 32 Ti ndakan konisasi dapat dilakukan dengan berbagai teknik: 1) konisasi cold knife, 2) konisasi diatermi loop (=LLETZ), dan 3) konisasi laser. 13

Di dalam praktiknya, tindakan konisasi juga sering merupakan tindakan diagnostik . c. Histerektomi 33 Tindakan histerektomi pada NIS kadang-kadang merupakan tera pi terpilih pada beberapa keadaan, antara lain, sebagai berikut. 1) Histerektomi pada NIS dilakukan pada keadaan kelanjutan konisasi. 2) Konisasi akan tidak adekuat dan perlu dilakukan histerektomi dengan mengangkat bagian atas vagina. 3) Karena ada uterus miomatosus; kecurigaan invasif harus disingkirkan. 4) Masal ah teknis untuk konisasi, misalnya porsio mendatar pada usia lanjut. 3.8.2 Tatalaksana Kanker Leher Rahim Invasif Pada prinsipnya tatalaksana kanker leher rahim disesuaikan dengan kebutuhan penderita untuk memberikan hasil yang t erbaik (tailored to the best interest of patients).1. Terapi lesi prakanker lehe r rahim dapat berupa bedah krio (cryotherapy), atau loop electrosurgical excisio n procedure (LEEP), keduanya adalah tindakan yang relatif sederhana dan murah, n amun sangat besar manfaatnya untuk mencegah perburukan lesi menjadi kanker. Seme ntara terapi kanker leher rahim dapat berupa pembedahan, radioterapi, atau kombi nasi keduanya. Kemoterapi tidak digunakan sebagai terapi primer, namun dapat dib erikan bersamaan dengan radioterapi. Terapi kanker leher rahim lebih kompleks, m emiliki risiko dan efek samping, dan tentu saja lebih mahal. Karenanya pencegaha n lesi prakanker menjadi kanker sangat penting dan sangat bermanfaat. 14

BAB IV DETEKSI DINI KANKER LEHER RAHIM Kanker leher rahim adalah penyakit yang diawali oleh infeksi virus HPV yang meru bah sel-sel leher rahim sehat menjadi displasia dan bila tidak diobati pada gili rannya akan tubuh menjadi kanker leher leher rahim.4,34 Prinsip dasar kontrol penyakit ini adalah memutus mata rantai infeksi, atau mencegah progresivitas les i displasia sel-sel leher rahim (disebut juga lesi prakanker) menjadi kanker. Bi la lesi dikemudian hari.9 displasia ditemukan sejak dini dan kemudian segera diobati, hal ini akan mencega h terjadinya kanker leher rahim Lesi prakanker yang perlu diangkat/diobati adalah jenis LISDT (lesi intraepitelial skuamosa derajat tinggi ), adapun jenis LISDR (lesi intraepitelial skuamosa derajat rendah) dianggap les i yang jinak dan sebagian besar akan mengalami regresi secara spontan.7 Perempua n yang terkena lesi prakanker diharapkan dapat sembuh hampir 100%, sementara kan ker yang ditemukan pada stadium dini memberikan harapan hidup 92%. Karenanya det eksi sedini mungkin sangat penting untuk mencegah dan melindungi perempuan dari kanker leher rahim.7 WHO menyebutkan 4 komponen penting yang menjadi pilar dalam penanganan kanker leher rahim, yaitu : pencegahan infeksi HPV, deteksi dini mel alui peningkatan kewaspadaan dan program skrining yang terorganisasi, diagnosis dan tatalaksana, serta perawatan paliatif untuk kasus lanjut. 1, 9 Deteksi dini kanker leher rahim meliputi program skirining yang terorganisasi dengan sasaran perempuan kelompok usia tertentu, pembentukan sistem rujukan yang efektif pada t iap tingkat pelayanan kesehatan, dan edukasi bagi petugas kesehatan dan perempua n usia produktif1 Skrining dan pengobatan lesi displasia (atau disebut juga lesi prakanker) memerlukan biaya yang lebih murah bila dibanding pengobatan dan pena talaksanaan kanker leher rahim. Beberapa hal penting yang perlu direncanakan dal am melakukan deteksi dini kanker, supaya skrining yang dilaksanakan terprogram d an terorganisasi dengan baik, tepat sasaran dan efektif, terutama berkaitan deng an sumber daya yang terbatas : 1. Sasaran yang akan menjalani skrining WHO mengi ndikasikan skrining dilakukan pada kelompok berikut1 : 15

a. setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah menjalani tes Pap sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun sebelumnya atau lebih . b. Perempuan yang ditemukan lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap sebelumnya c. perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan pasca san ggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda dan gejala abnormal l ainnya d. perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya Amerika Serikat dan Eropa merekomendasikan sasaran dan interval skrining kanker servik seperti tampak pada tabel berikut35: 16

Waktu awal skrining dengan tes Pap Penggunaan tes HPV pada program skrining Pedoman pencegahan dan skrining kanker di Eropa dan Amerika European ACS ACOG (A merican ASCCP US Preventive Service Task Force; guidelines for (American College of (American 2003 quality Cancer Obstetricians & Society for http://www.prevent iveservices.ahrq.gov assurance in Society); Gynecologists); Colposcopy cervical cancer & Cervical 2007 2003 screening; 2007 http://www.acog.org Pathology); 2006 Usia 2030 tahun Kira-kira 3 Kira-kira 3 tahun Tidak ada Kira-kira 3 tahun setela h aktivitas tahun setelah aktivitas laporan seksual yang pertama, namun tidak se telah seksual yang lebih dari usia 21 tahun aktivitas pertama, namun seksual tid ak lebih dari usia yang 21 tahun pertama, namun tidak lebih dari usia 21 tahun B elum Bersamaan Bersamaan Tidak cukup evidens direkomendasikan, dengan dengan mas ih menunggu pemeriksaan pemeriksaan hasil penelitian sitologi pada sitologi pada wanita 30 wanita 30 tahun tahun Interval Skrining - Tes Pap Tiap 35 tahun konvensional Tiap tahun; atau tiap 2 3 tahun untuk wanita usia 30 tahun Tiap tahun; atau Tidak ada tiap 23 tahun laporan untuk wanita usia 30 tahun denga n 3 kali berturut-turut hasil skrining Sekurang-kurangnya tiap 3 tahun 17

- skrining dengan tes HPV Penghentian skrining Manajement hasil skrining yang abnormal - ASC-US - ASC-H - LSIL - HSIL dengan 3 kali berturutturut hasil skrining negatif Tidak ada laporan Tiap 3 tahu n bila hasil tes HPV dan sitologi negatif Setelah usia 60 Wanita usia 65 tahun de ngan 70 tahun 3 kali berturut-turut dengan 3 hasil skrining kali berturutnegatif turut hasil tes negatif dan tanpa hasil tes abnormal dalam 10 tahun terakhir AS C-US: reflex Tidak ada HPV testing; laporan LSIL: ulang pemeriksaan sitologi ata u kolposkopi; ASC-H: kolposkopi; HSIL: kolposkopi dan biopsi. negatif Tiap 3 tahun bila hasil tes HPV dan sitologi negatif Tidak ada laporan Tidak cukup evidens Dari bukti-bukti yang ada tidak dapat ditarik kesimpulan untuk menentukan batas usia penghentian skrining . Tidak ada laporan Untuk wanita usia 65 tahun dengan hasil tes negatif, yang bukan risiko tinggi ka nker serviks Tidak ada laporan ASC-US: HPV tes, atau ulang tes sitologi, atau lakukan kolposkopi pada wanita 20 tahun; ASC-H: kolposkopi LSIL: Tidak ada laporan 18

kolposkopi HSIL: segera lakukan LEEP atau kolposkopi dengan endocervical assessm ent. (Dikutip dari Barzon et al. Infectious Agents and Cancer 2008 3:14 doi:10.1 186/1750-9378-3-14) 19

2. Interval skrining American Cancer Society (ACS) merekomendasikan idealnya skrini ng dimulai 3 tahun setelah dimulainya hubungan seksual melalui vagina.7 Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko munculnya lesi prakanker baru terjadi setel ah 3-5 tahun setelah paparan HPV yang pertama.7 Interval yang ideal untuk dilaku kan skrining adalah 3 tahun.9 Skrining 3 tahun sekali memberi hasil yang hampir sama dengan skrining tiap tahun. 9 ACS merekomendasikan skrining tiap tahun deng an metode tes Pap konvensional atau 2 tahun sekali bila menggunakan pemeriksaan sitologi cairan (liquid-based cytology), setelah skrining yang pertama.7 Setelah perempuan berusia 30 tahun, atau setelah 3 kali berturut-turut skrining dengan hasil negatif, skrining cukup dilakukan 2-3 tahun sekali.7 Bila dana sangat terb atas skrining dapat dilakukan tiap 10 tahun atau sekali seumur hidup dengan teta p memberikan hasil yang signifikan.9,36,37 WHO merekomendasikan1 : Bila skrining hanya mungkin dilakukan 1 kali seumur hidup maka sebaiknya dilakukan pada perem puan antara usia 35-45 tahun. Untuk perempuan usia 25-49 tahun, bila sumber daya memungkinkan, skrining hendaknya dilakukan 3 tahun sekali. Untuk perempuan deng an usia diatas 50 tahun, cukup dilakukan 5 tahun sekali Bila 2 kali berturut-tur ut hasil skrining sebelumnya negatif, perempuan usia diatas 65 tahun, tidak perl u menjalani skrining. Tidak semua perempuan direkomendasikan melakukan skrining setahun sekali 3. Metode skrining yang akan digunakan Ada beberapa metode skrining yang dapat d igunakan, tergantung dari ketersediaan sumber daya. Metode skrining yang baik me miliki beberapa persyaratan, yaitu akurat, dapat diulang kembali (reproducible), murah, mudah dikerjakan dan ditindak-lanjuti, akseptabel, serta aman.1 Beberapa metode yang diakui WHO adalah sebagai berikut1 : 1. Metode Sitologi a. Tes Pap konvensional 20

Tes Pap atau pemeriksaan sitologi diperkenalkan oleh Dr. George Papanicolau seja k tahun 1943. Sejak tes ini dikenal luas, kejadian kanker leher rahim di negaranegara maju menurun drastis. Pemeriksaan ini merupakan suatu prosedur pemeriksaa n yang mudah,murah, aman, dan non-invasif. Beberapa penulis melaporkan sensitivi tas pemeriksaan ini berkisar antara 78-93%, tetapi pemeriksaan ini tak luput dari hasil positif palsu sekitar 16-37% dan negatif pa lsu 7-40% Sebagian besar kesalahan tersebut disebabkan oleh pengambilan sediaan yang tidak adekuat, kesalahan dalam proses pembuatan sediaan dan kesalahan inter pretasi. 20,38, 39,40,41 b. Pemeriksaan sitologi cairan (Liquid-base cytology/LB C) Dikenal juga dengan Thin Prep atau monolayer. Tujuan metode ini adalah mengur angi hasil negatif palsu dari pemeriksaan Tes Pap konvensional dengan cara optim alisasi teknik koleksi dan preparasi sel. Pada pemeriksaan metode ini sel dikole ksi dengan sikat khusus yang dicelupkan ke dalam tabung yang sudah berisi laruta n fiksasi. Keuntungan penggunaan teknik monolayer ini adalah sel abnormal lebih tersebar dan mudah tertangkap dengan fiksasi monolayer sehingga mudah dikenali. Kerugiannya adalah butuh waktu yang cukup lama untuk pengolahan slide dan biaya yang lebih mahal. 20, 42 2. Metode pemeriksaan DNA-HPV Deteksi DNA HPV dapat dil akukan dengan metode hibridisasi berbagai cara mulai dari cara Southern Blot yan g dianggap sebagai baku emas, filter in situ, Dot Blot, hibridisasi in situ yang memerlukan jaringan biopsi, atau dengan cara pembesaran, seperti pada PCR (Poly merase Chain Reaction) yang amat sensitif. 20, 42, 43, 44, 45, 46 3. Metode insp eksi visual a. Inspeksi visual dengan lugol iodin (VILI) b. Inspeksi visual deng an asam asetat (IVA) Selain dua metode visual ini, dikenal juga metode visual ko lposkopi dan servikografi. Setiap metode skrining mempunyai sensitifitas dan spe sifisitas berbeda. Sampai saat ini belum ada metode yang ideal dimana sensitivit as dan spesifisitas 21

100% (absolut). Oleh karena itu, dalam pemeriksaan skrining, setiap wanita harus mendapat penjelasan dahulu (informed consent) Berikut adalah tabel perbandingan metode dengan kelemahan dan kelebihannya masing-masing : Tabel 1. Perbedaan beb erapa metode skrining1 Metode Sitologi konvensional (Tes Pap) Prosedur Sampel di ambil oleh tenaga kesehatan dan diperiksa oleh sitoteknisi di laboratorium Keleb ihan Metode yang telah lama dipakai Diterima secara luas Pencatatan hasil pemeri ksaan permanen Training dan mekanisme kontrol kualitas telah baku Investasi yang sederhana pada program yang telah ada dapat meningkatkan pelayanan Spesifisitas tinggi Kekurangan Hasil tes tidak didapat dengan segera Diperlukan sistem yang efektif untuk follow up wanita yang diperiksa setelah ada hasil pemeriksaan Dipe rlukan transport bahan sediaan dari tempat pemeriksaan ke laboratorium, transpor t hasil pemeriksaan ke klinik Sensitivitas sedang Se Hasil tes tidak didapat den gan segera Fasilitas laboratorium lebih mahal dan canggih Status Telah lama digu nakan di banyak negara sejak tahun 1950 Terbukti menurunkan angka kematian akiba t kanker leher rahim di negara-negara maju Liquid Base Citology Sampel diambil oleh tenaga kesehatan, dimasukkan dalam cairan fiksasi dan dikiri m untuk diproses dan di periksa di laboratorium Jarang diperlukan pengambilan sample ulang bila bahan sediaan tidak adekuat Wakt u yang dibutuhkan untuk pembacaan hasil lebih singkat bila dilakukan oleh sitote knisi yang berpengalaman Sampel dapat digunakan juga untuk tes molekuler (misaln ya HPV tes) 22

Tes DNA HPV Tes DNA HPV secara molekuler. Pengambilan sampel dapat dilakukan sendiri oleh wa nita dan dibawa ke laboratorium Pengambilan sampel lebih mudah Proses pembacaan otomatis oleh alat khusus Dapat dikombinasi dengan Tes Pap untuk meningkatkan sensitivitas Spesifitas tinggi ter utama pada perempuan >35 tahun Hasil tes tidak didapat dengan segera Biaya lebih mahal Fasilitas laboratorium l ebih mahal dan canggih Perlu reagen khusus Spesifitas rendah pada perempuan muda (,35 tahun) Digunakan secara komersial di negara-negara maju sebagai tambahan pemeriksaan si tologi Metode Visual (IVA dan VILI) Spesifitas rendah, sehingga berisiko overtreatment Tidak ada dokumentasi hasil p emeriksaan Tidak cocok untuk skrining pada perempuan pasca menopause Belum ada s tandarisasi Seringkali perlu training ulang untuk tenaga kesehatan Dikutip dari Comprehensive Cervical Cancer Control. A Guide to Essential Geneva : WHO, 2006. Pemulasan leher rahim dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih (bidan / dokter/perawat) Mudah dan murah Hasil didapat dengan segera Sarana yang dibutuhkan sederhana Dap at dikombinasi dengan tatalaksana segera lainnya yang cukup dengan pendekatan se kali kunjungan (single visit approach) Belum cukup data dan penelitian yang mendukung, terutama sehubungan dengan efekn ya terhadap penurunan angka kejadian dan kematian kanker leher rahim Saat ini ha nya direkomendasikan pada daerah proyek Practice. 23

BAB V METODE IVA Di negara maju, skrining secara luas dengan metode pemeriksaan sitologi tes Pap telah menunjukkan hasil yang efektif dalam menurunkan insidens kanker leher rahi m. Namun di negara-negara berkembang yang hanya memiliki sumber daya terbatas, s krining hanya menjangkau sebagian kecil perempuan saja, terutama di daerah perko taan. Ada beberapa kelemahan tes Pap diantaranya keterbatasan jumlah laboratoriu m sitologi dan tenaga sitoteknologi terlatih, sehingga menyebabkan hasil tes Pap baru didapat dalam rentang waktu yang relatif lama (berkisar 1 hari- 1 bulan).2 0,47 Skrining dengan metode tes Pap memerlukan tenaga ahli, sistem transportasi, komunikasi dan tindak lanjut (follow-up) yang belum dapat dipenuhi oleh negaranegara berkembang.48 Hanya sebagian kecil dari perempuan yang menjalani dan mend apatkan hasil tes Pap juga menjalani evaluasi dan pengobatan yang semestinya bil a ditemukan abnormalitas.47 Sebagai konsekuensinya, angka insidens kanker leher rahim tetap tinggi dan kebanyakan pasien datang pada stadium lanjut.48 Masalah y ang berkembang akibat keterbatasan metode tes Pap inilah yang mendorong banyak p enelitian untuk mencari metode alternatif skrining kanker leher rahim. Salah sat u metode yang dianggap dapat dijadikan alternatif adalah metode inspeksi visual dengan asam asetat (IVA).47,48,49,50,51,52,53,54 Efektivitas IVA sudah di teliti oleh banyak peneliti. Walaupun demikian perbandingan masing-masing penelitian t entang IVA agak sulit dievaluasi karena perbedaan protokol dan populasi. Secara umum dapat dikatakan bahwa sensitivitas IVA untuk mendeteksi High Grade SIL berk isar 60-90 %., sehingga dapat dikatakan bahwa sensitifitas IVA setara dengan sit ologi walaupun spesifisitasnya lebih rendah. 47-54 Metode IVA memberi peluang di lakukannya skrining secara luas di tempat-tempat yang memiliki sumberdaya terbat as, karena metode ini memungkinkan diketahuinya hasil dengan segera dan terutama karena hasil skrining dapat segera ditindaklanjuti.49-51 Metode satu kali kunju ngan (single visit approach) dengan melakukan skrining metode IVA dan tindakan b edah krio untuk temuan lesi prakanker (see and treat) memberikan peluang untuk p eningkatan cakupan deteksi dini kanker leher rahim, sekaligus mengobati lesi pra kanker. 24

V.1. Dasar Pemeriksaan IVA Pemeriksaan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah pemeriksaan yang pemeriksanya (dokter/bidan/paramedis) mengamati leher ra him yang telah diberi asam asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat de ngan penglihatan mata telanjang. 46,49,55 Pemeriksaan IVA pertama kali diperkenalkan oleh Hinselman (1925) dengan cara mem ulas leher rahim dengan kapas yang telah dicelupkan dalam asam asetat 35%.56Pemb erian asam asetat itu akan mempengaruhi epitel abnormal, bahkan juga akan mening katkan osmolaritas cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler yang bersifat hipe rtonik ini akan menarik cairan dari intraseluler sehingga membran akan kolaps da n jarak antar sel akan semakin dekat. Sebagai akibatnya, jika permukaan epitel m endapat sinar, sinar tersebut tidak akan diteruskan ke stroma, tetapi dipantulka n keluar sehingga permukaan epitel abnormal akan berwarna putih, disebut juga ep itel putih (acetowhite).57 Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan aka n berwarna putih juga setelah pemulasan dengan asam asetat tetapi dengan intensi tas yang kurang dan cepat menghilang. Hal ini membedakannya dengan proses prakan ker yang epitel putihnya lebih tajam dan lebih lama menghilang karena asam aseta t berpenetrasi lebih dalam sehingga terjadi koagulasi protein lebih banyak. Jika makin putih dan makin jelas, main tinggi derajat kelainan jaringannya.58 Dibutu hkan 1-2 menit untuk dapat melihat perubahan-perubahan pada epitel. Leher rahim yang diberi 5% larutan asam asetat akan berespons lebih cepat daripada 3% laruta n tersebut. Efek akan menghilang sekitar 50-60 detik sehingga dengan pemberian a sam asetat akan didapatkan hasil gambaran leher rahim yang normal (merah homogen ) dan bercak putih (mencurigakan displasia). Lesi yang tampak sebelum aplikasi l arutan asam asetat bukan merupakan epitel putih, tetapi disebut leukoplakia; bia sanya disebabkan oleh proses keratosis.59 V.2. Teknik Pemeriksaan IVA dan Interp retasi Prinsip metode IVA adalah melihat perubahan warna menjadi putih (acetowhi te) pada lesi prakanker jaringan ektoserviks rahim yang diolesi larutan asam ase toasetat (asam cuka). Bila ditemukan lesi makroskopis yang dicurigai kanker, pen golesan asam asetat tidak dilakukan namun segera dirujuk ke sarana yang lebih le ngkap. Perempuan yang sudah menopause tidak direkomendasikan menjalani skrining dengan metode IVA karena zona transisional leher rahim pada kelompok ini biasany a berada pada 25

endoserviks rahim dalam kanalis servikalis sehingga tidak bisa dilihat dengan in speksi spekulum.1 Perempuan yang akan diskrining berada dalam posisi litotomi, k emudian dengan spekulum dan penerangan yang cukup, dilakukan inspeksi terhadap k ondisi leher rahimnya. Setiap abnormalitas yang ditemukan, bila ada, dicatat. Ke mudian leher rahim dioles dengan larutan asam asetat 3-5% dan didiamkan selama k urang lebih 1-2 menit. Setelah itu dilihat hasilnya. Leher rahim yang normal aka n tetap berwarna merah muda, sementara hasil positif bila ditemukan area, plak a tau ulkus yang berwarna putih.48,60 Lesi prakanker ringan/jinak (NIS 1) menunjuk kan lesi putih pucat yang bisa berbatasan dengan sambungan skuamokolumnar. Lesi yang lebih parah (NIS 2-3 seterusnya) menunjukkan lesi putih tebal dengan batas yang tegas, dimana salah satu tepinya selalu berbatasan dengan sambungan skuamok olumnar (SSK)2 . Beberapa kategori temuan IVA tampak seperti tabel berikut : Kategori Temuan IVA 1. Normal 2. Infeksi Licin, merah muda, bentuk porsio normal servisitis (inflamasi, hiperemis) banyak fluor ektropion polip plak putih epite l acetowhite (bercak putih) pertumbuhan seperti bunga kol pertumbuhan mudah berd arah 3. Positif IVA 4.Kanker leher Rahim Kategori Temuan IVA61 1. Negatif - tak ada lesi bercak putih (acetowhite lesion) - bercak putih pada polip endoservikal atau kista nabothi - garis putih mirip l esi acetowhite pada sambungan skuamokolumnar 2. Positif 1 (+) - samar, transpara n, tidak jelas, terdapat lesi bercak putih yang ireguler pada serviks - lesi ber cak putih yang tegas, membentuk sudut (angular), geographic acetowhite lessions yang terletak jauh dari sambungan skuamokolumnar 3. Positif 2 (++) - lesi acetowhite yang buram, padat d an berbatas jelas sampai ke 26

sambungan skuamokolumnar - lesi acetowhite yang luas, circumorificial, berbatas tegas, tebal dan padat -pertumbuhan pada leher rahim menjadi acetowhite Baku emas untuk penegakan diagnosis lesi prakanker leher rahim adalah biopsi yan g dipandu oleh kolposkopi.1,48 Apabila hasil skrining positif, perempuan yang di skrining menjalani prosedur selanjutnya yaitu konfirmasi untuk penegakan diagnos is melalui biopsi yang dipandu oleh kolposkopi. Setelah itu baru dilakukan pengo batan lesi prakanker. Ada beberapa cara yang dapat digunakan yaitu 1 kuretase endoservikal, krioterapi, atau loop electrosurgical excision procedure (LEEP) , laser, konisas i, sampai histerektomi simpel. V. 3. Pelaksana IVA dan Pelatihan Tenaga Kesehata n Pemeriksaam IVA dapat dilakukan oleh tenaga perawat yang sudah terlatih, oleh bidan, dokter umum atau oleh dokter spesialis. Adapun pelatihannya, telah ada ke sepakatan antara beberapa pihak yang berpengalaman dan berkecimpung dalam kegiat an pelatihan deteksi dini dengan metode IVA ini, hingga disepakati pelatihan IVA selama 5 (lima) hari. Dua hari untuk pembekalan teori dan juga dry workshop, adap un tiga hari untuk pelatihan di klinik dan di lapangan bersifat wet workshop, dala m artian latihan dengan memeriksa langsung pada klien. Sangat disarankan setelah pelatihan tersebut tetap dilanjutkan dengan pendampingan atau supervisi, hingga dapat dicapai suatu kemampuan yang dinilai kompeten jika personil yang bersangk utan telah melakukan pemriksaan IVA pada 100 orang klien dan mendapatkan 3 (tiga ) hasil pemeriksaan yang positif dan benar. (Laporan Hasil Loka Karya Penanggula ngan Kanker Leher Rahim BalikPapan, 25 Juli 2008) V.4. Akurasi Pemeriksaan IVA B eberapa penelitian terdahulu menyebutkan bahwa metode IVA berpotensi menjadi alt ernatif metode skrining kanker leher rahim di daerah-daerah yang memiliki sumber daya terbatas.49,48,50,51,52-54,62 Namun demikian, akurasi metode ini dalam penerapan klinis masih terus dikaji di berbagai negara berkembang. 27

Penelitian Universitas Zimbabwe dan JHPIEGO Cervical cancer project yang melibat kan 2.203 perempuan di Zimbabwe melaporkan bahwa skrining dengan metode IVA dapa t mengidentifikasi sebagian besar lesi prakanker dan kanker. Sensitivitas IVA di banding pemeriksaan sitologi (Tes Pap) berturut-turut adalah 76,7% dan 44,3%. Me skipun begitu, dilaporkan juga bahwa metode IVA ini kurang spesifik, angka spesi fisitas IVA hanya 64,1% dibanding sitologi 90,6%.48 Penelitian lainnya mengambil sampel 1997 perempuan di daerah pedesaan di Cina, dilakukan oleh Belinson JL dan kawan-kawan untuk menilai sensitivitas metode IVA pada lesi prakanker tahap NIS 2 atau yang lebih tinggi, dikonfirmasi dengan kolposkopi dan biopsi leher rahim . Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka sensitivitas IVA untuk NIS 2 atau yan g lebih tinggi adalah 71%, sementara angka spesifisitas 74%.2 Beberapa penelitia n menunjukkan sensitivitas IVA lebih baik daripada sitologi. Claey et al.3 melap orkan penelitiannya di Nikaragua, bahwa metode IVA dapat mendeteksi kasus LDT (Lesi Derajat Tinggi) dan kanker invasif 2 kali lebih banya k daripada Tes Pap. Demikian juga laporan dari Basu et al.17 Berikut adalah tabe l tampilan beberapa kajian tentang IVA yang telah dilakukan oleh beberapa peneli ti terdahulu. TEMUAN BEBERAPA PENELITIAN IVA20 Penulis (tahun) Negara Jumlah Res ponden Arbyn et 62 (2008) al India dan Afrika 58.000 Sensitivitas Spesifitas (%) 79.2 (%) 84.7 Tingkat Petugas Perawat, bidan, sitoteknisi Derajat Lesi NIS 1 at au lebih berat Doh et al. (2005)63 Ghaemaghami (2004)64 Kamerun Iran 4813 1.200 70.4 74.3 77.6 94 Residen Obgin NIS 1 atau lebih berat NIS 2 atau lebih berat LISDT dan le bih berat LISDT Bellinson et al. (2001)2 Cina 1.997 71 74 Ginekologi Onkologi Univ.of Zimbabwe JHPIEGO (1999)48 Denny et al. Zimbabwe 2.203 77 64 Perawat, Bidan Afrika

2.944 67 83 Perawat 28

(2000)65 Sankaranarayan et al (1998)45 Selatan India 3.000 90 92 Sankaranarayan et al (1999)46 India 1.351 96 68 Londhe et al. (1997)55 Megevand et al. (1996)49 Cecchini et al. (1993)52 Slawson et al. (1992)54 Ottaviano M., LaTorreP (1982) 50 India 372 72 54 Afrika 2.426 65 98 Itali 2.105 88 83 USA 2.827 29 97 Itali 2.400 Tidak di uraikan jelas dan lebih berat Sitoteknisi Displasia sedang, berat atau lebih berat Perawat Dis plasia sedang, berat atau lebih berat Tidak spesifik LISDT dan lebih berat Peraw at LISDT dan lebih berat Bidan NIS 2 dan lebih berat Klinikus NIS 2 dan lebih be rat Kolposkopist, NIS 1-2 postgrad.train dan Berat

LISDT : Lesi Intraepitel Skuamosa Derajat Tinggi TABEL PERBANDINGAN BEBERAPA HAS IL PENELITIAN IVA DI INDONESIA66 Nama Peneliti Jumlah Subjek Hasil Tes IVA Sensi tivitas Spesifisitas Nilai Prediksi Baku Positif (%) (%) (%) Positif Emas Preval ensi (%) Lesi Prakanker (%) 1.2 90.9 99.8 83.3 Tes Pap 1.3 16.7 Kolp-biopsi (LDR +LDT) 0.5 (LDT) 1.98 0.92 (LISDR+DT) 0.2 (LISDT) 92.3 98.8 48 Tes Pap Hanafi, dkk67. (Indonesia, 2002) 1000 Nuranna L20 (Indonesia, 2005) 1260 29

Ocviyanti D66 (Indonesia, 2006) 1250 10.4 5.4 (LDR+LDT) 0.2 (LDT) 4.5% (LDR+LDT) 51.5 Kolposkopi (biopsi) Program Female Cancer (Unpublished) 22035 98.19 59.89 59.9 Biopsi histopatolo gi Beberapa penelitian terbaru tentang IVA menambah data tentang kemungkinan penggu naan IVA sebagai alternatif metode skrining secara luas di negara-negara berkemb ang. Ghaemmaghami et al. (2004) melaporkan angka sensitivitas IVA dibandingkan d engan Tes Pap berturut-turut adalah 74.3% dan 72%, sementara angka spesifisitas adalah 94% dan 90.2%. Penelitian dilakukan terhadap 1200 perempuan yang menjalan i skrining dengan metode IVA dan Tes Pap dan dikonfirmasi dengan kolposkopi dan biopsi. Hasil positif dari kedua pemeriksaan tersebut berjumlah 308 orang, 191 o rang diantaranya terdeteksi positif melalui metode IVA. Hasil konfirmasi histolo gi menunjukkan 175 sampel dinyatakan positif (dengan kriteria NIS I atau yang lebih berat), dari 175 sampel tersebut, 130 diantaranya terdeteksi melalui metode IVA .64 Sementara Doh et al. (2005) melaporkan hasil penelitian di Kamerun terhadap 4813 perempuan yang menjalani skrining dengan metode IVA dan Tes Pap. Hasil pene litian menunjukkan sensitivitas IVA dibanding Tes Pap 70.4% dan 47.7%, sedangkan spesifitas IVA dan Tes Pap berturut-turut 77.6% dan 94.2%, nilai prediksi negat if (NPV/ Negative Predictive Value) untuk VIA dan Tes Pap berturut-turut adalah 91.3% dan 87.8%.63 Suatu penelitian meta-analisis atas 11 penelitian potong lint ang (cross-sectional studies)yang dilakukan di India dan beberapa negara di Afri ka (2008) yang dilakukan Arbyn et al.62 membandingkan penggunaan metode IVA, VIL I, IVA dengan pembesaran (VIAM/Visual Inspection with Acetoacetat with a Magnify ing device), tes Pap dan HC2 (Hybrid Capture-2 assay) Penelitian ini melibatkan lebih dari 58.679 perempuan usia 2564 tahun. Hasil penelitian meta-analisis ini untuk angka sensitivitas IVA,Vili, tes Pap dan HC2 berturut-turut adalah sebagai berikut : 30

Tabel sensitifitas, spesifisitas berbagai metode skrining terhadap CIN 2.162 Met ode IVA VILI Tes Pap HC2 Sensitivitas(%) 79.2 91.2 57 62 Spesifisitas (%) 84.7 8 4.5 93 94 Berbagai penelitian telah menyatakan bahwa skrining dengan metode IVA lebih muda h, praktis dan lebih sederhana, mudah, nyaman, praktis dan murah. Pada tabel dib awah ini dapat dilihat perbandingkan antara pap smear dan IVA dalam berbagai asp ek pelayanan. TABEL PERBANDINGANSKRINING TES PAP DAN IVA20 Uraian/ Metode Skrini ng Petugas kesehatan Sample takers (Bidan/perawat/dokter Spesialis) umum/ Bidan Dr. Perawat Dokter umum Dr. Spesialis Tes Pap IVA Sensitivitas Spesifisitas Hasil Sarana Biaya Dokumentasi Skrinner/ Sitologis/Patologis 70 % - 80% 90% - 95% 1 hari 1 bulan Spekulum Lampu sorot Kaca benda (slide) Laboratorium Rp. 15.000 Rp. 75.000 Ada (dapat dinilai ulang) 65% - 96% 54% - 98% Langsung Spekulum Lampu sorot Asam asetat Rp. 3.000 Tidak ad a V.5 Alur pemeriksaan IVA dan tindak lanjut Jika tim skrining sudah cukup kompete n, terapi dengan krioterapi dapat langsung dilakukan pada hasil IVA positif. Nam un jika masih ada keraguan, pada hasil skrining IVA positif dapat dimasukkan ke alur triase sebagai mana yang diusulkan pada hasil kajian Ocviyanti. 66 31

Tabel Persiapan fasilitas kesehatan dan sumber daya manusia untuk program skrini ng kanker leher rahim di Indonesia66 Pelayanan Primer (Pemeriksaan skrining) Ten aga medis Perawat, bidan dan dokter umum terlatih Posyandu, bidan praktik swasta , rumah bersalin, puskesmas, klinik, dokter praktik swasta Meja ginekologi Set p emeriksaan gineko-logi Kit tes IVA dan atau Kit tes Pap Rujukan tahap pertama (p emeriksaan triase) Perawat, bidan dan dokter umum terlatih Dokter praktik swasta , klinik, puskesmas, rumah sakit (pemerintah atau swasta) Kamar periksa ginekolo gi lengkap dengan : Kit tes Pap atau Kit tes HPV atau Serviskop Rujukan tahap ke dua (diagnostik dan terapi) Fasilitas kesehatan Dokter spesialis obstetri dan ginekologi Dokter spesialis patologi anatomi Rumah sakit(pemerintah atau swasta) Klinik spesialis Sarana dan prasarana Kompetensi yang harus dimiliki Melakukan tes IVA atau melakukan tes Pap Melakukan tes Pap Melakukan tes HPV Melakukan servikografi Kamar periksa ginekologi lengkap dengan : Kit tes Pap Kit tes HPV Kolposkop dan kit biopsi Kit diatermi/konisasi/bedah krio Laboratorium untuk memproses : tes P ap, tes HPV, dan histopatologi Membaca servigram Melakukan kolposkopi biopsi Mel akukan terapi lesi prakanker Pembacaan hasil tes HPV, sitologi dan patologi V.6. Analisis Biaya Penyusunan suatu analisis biaya, dibutuhkan tiga komponen bi aya, yaitu direct cost, indirect cost dan intangible cost. Komponen direct cost dalam skrining kanker serviks dengan metode IVA meliputi: 1. Komponen Diagnostik 2. Jasa Medik Perbandingan biaya skrining kanker serviks dangan metode Tes pap dan IVA 32

Komponen Biaya 1. Komponen diagnostik untuk alat habis pakai : a. b. c. d. e. f. g. h. Lidi kapas (tes Pap 2 bh, IVA 3 bh) Spatula Cito brush Kaca benda (object glass/slide) Alkohol 95% Asam asetat 3-5% Sarung tangan Reagen (untuk pewarnaan ) Tes Pap (Rp) IVA (Rp) 500 500 3000 2000 500 -1000 10.000 750 ----500 1000 -2.Komponen Jasa Medik 1. Sitoteknisi 2. Patolog 3. Pengambil sampel 4. Bidan/dok ter pemeriksa IVA TOTAL 5.000 - 20.000 20.000 100.000 5.000 50.000 -47.500 197.5 00 ---10.00 --- 50.000 12.250 52.250 Komponen indirect cost, meliputi : Biaya pelatihan tenaga medis Alat tak habis p akai : a. Lampu sorot atau lampu pijar 100 W, atau senter yang cukup untuk mener angi vagina b. Kamera digital/ servikografi (jika ada untuk dokumentasi ). 33

BAB VI DISKUSI 1. Hasil kajian perbandingan akurasi skrining metode IVA dengan metode-metode ya ng lain. Meskipun protokol pelaksanaan pemeriksaan ini bervariasi, hasil penelit ian yang dilakukan di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa metode IVA mempunyai s ensitivitas yang sebanding dengan tes Pap dalam mendeteksi lesi prakanker deraja t tinggi meskipun spesifisitasnya lebih rendah dari tes Pap. 66 Kurang spesifikn ya skrining dengan metode ini diantaranya karena subyektivitas petugas medis yan g melakukan pemeriksaan di lapangan, selain dipengaruhi juga oleh prevalensi kas us. Pada daerah dengan prevalensi kasus yang rendah, angka kejadian positif pals u dari pemeriksaan akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah yang memili ki prevalensi kasus lebih tinggi.68,69,70,71 Hal tersebut dapat diperbaiki denga n meningkatkan supervisi atau melakukan pemeriksaan triase. Upaya lain adalah de ngan triase untuk meningkatkan efektivitas suatu pemeriksaan dengan menambahkan pemeriksaan lain, jika hasil pemeriksaan pertama menunjukkan hasil positif (dilakukan pemeriksaan dua tahap, yaitu pemeriksaan ga bungan dengan cara serial) 68-71 2. Sasaran skrining kanker leher rahim yang ditetapkan WHO adalah: a. setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah menjalani te s Pap sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun sebelumnya atau lebih.1 b. Perempuan yang pernah mengalami lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap sebelumny a. 1 c. perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan pasca sangga ma atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda dan gejala abnormal lain nya. 1 d. perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya. 1 Dalam penerapan skrining kanker leher rahim di Indonesia, usia target saat ini a dalah antara usia 30-50 tahun, meskipun begitu pada perempuan usia 50-70 tahun 34

yang belum pernah diskrining sebelumnya masih perlu diskrining untuk menghindari lolosnya kasus kanker leher rahim. Selain sasaran diatas, semua perempuan yang pernah melakukan aktivitas seksual perlu menjalani skrining kanker leher rahim. WHO tidak merekomendasikan perempuan yang sudah menopause menjalani skrining den gan metode IVA karena zona transisional leher rahim pada kelompok ini biasanya berada pada endoleher rahim dalam kanalis servikalis sehingga tidak bis a dilihat dengan inspeksi spekulum.1 Namun untuk pelaksanaan di Indonesia, perem puan yang sudah mengalami menopause tetap dapat diikut sertakan dalam program sk rining, untuk menghindari terlewatnya penemuan kasus kanker leher rahim. Perlu d isertakan informed consent pada perempuan golongan ini, mengingat alasan di atas . Tidak ditemukannya lesi prekanker tidak berarti tidak ada lesi prakanker pada golongan perempuan ini. 3. Interval skrining kanker leher rahim Interval skrining dilakukan 5 tahun seka li, kecuali bila ditemukan radang pada leher rahim, interval dapat diperpendek. 4. Implementasi metode IVA dalam program skrining kanker leher rahim di berbagai tingkat pelayanan kesehatan di Indonesia. Jika tim skrining sudah cukup kompete n, terapi dengan krioterapi dapat langsung dilakukan pada hasil IVA positif. Nam un jika masih ada keraguan, pada hasil skrining IVA positif dapat dimasukkan ke alur triase sebagai mana yang diusulkan pada hasil kajian Ocviyanti. 66 35

BAB VII REKOMENDASI 1. Tes Pap merupakan pilihan utama metode skrining kanker le her rahim. Namun dalam penerapan di pelayanan primer yang lebih luas, metode IVA direkomendasikan menjadi metode skrining alternatif pada kondisi yang tidak mem ungkinkan dilakukan pemeriksaan yang berbasis sitologi. ( rekomendasi B) Sasaran skrining IVA adalah perempuan usia 30-50 tahun. Pada usia diatas 50 tahun, atau sudah menopause, dianjurkan untuk melakukan skrining yang berbasis sitologi. Bi la tes Pap tidak mungkin dilakukan, tetap dianjurkan melakukan pemeriksaan inspe kulo untuk tujuan downstaging. (rekomendasi C) Interval skrining dengan metode I VA adalah 3 tahun sekali (rekomendasi C) Pelaksana skrining (rekomendasi B) IVA dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih 2. 3. 4. 6. Kasus dengan hasil IVA positif dirujuk untuk mendapat penatalaksanaan lebih lanj ut (rekomendasi C) Pengobatan langsung hanya berdasarkan hasil IVA positif dapat dikerjakan dalam kaitan suatu program yang disupervisi (rekomendasi C) Perlu di lakukan penelitian lebih lanjut mengenai penerapan skrining IVA dihubungkan deng an pengobatan dengan pendekatan sekali kunjungan 7. 8. 36

DAFTAR PUSTAKA 1 World Health Organization. Comprehensive Cervical Cancer Contro l. A Guide to Essential Practice. Geneva : WHO, 2006. 2 Sankaranarayanan R, Budu kh AM, Rajkumar R, Effective Screening programmes for cervical cancer in low- an d middle-income developing countries. Bulletin of the World Health Organization, 2001; 79:954-962 3 Petignat P, Roy M.. Diagnosis and management of cervical can cer. BMJ 2007;335:765-768. 4 Aziz, MF. Masalah pada kanker serviks. Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta, 2001: 133;5-7. 5 Dirjen Pelayanan Medik Departemen Kesehat an RI, Badan Registrasi Kanker IAPI, Yayasan Kanker Indonesia. Kanker di Indones ia tahun 1997, Data histopatologik. 6 Tim Penanggulangan Kanker Terpadu RSUPN Dr . Cipto Mangunkusumo. Kanker di RSUPNCM tahun 1998. Jakarta 1999 7 Saslow D, Runowicz CD, Solomon D, Moscicki AB, Smith RA, Eyre HJ, Cohen C, Ameri can Cancer Society: American Cancer Society guidelines for the early detection o f cervical neoplasia and cancer. CA Cancer J Clin 2002, 52:342-362. PubMed Abstr act | Publisher Full Text Coleman Met al, Time trends in cancer incidence, morta lity, and prevalence worldwide, version 1.0. Lyon, IARC, 1995 (IARC Scientific P ublication No. 121) Preventing cervical cancer in low-resources settings. Outloo k. Volume 18, number 1, September 2000. Andrijono, Kanker Leher rahim, Divisi On kologi, Dep.Obstetri-Ginekologi FKUI.2007 Bosch FX, Manos MM, Munos N, et al. Pr evalence of human papilloma virus in cervical cancer : A worldwide prespective. International biological study on cervical cancer (IBSCC) Study group. J Natl Ca ncer Inst 1995;87:796-802. Walboomers JM, Jacobs MV, Manos MM, Bosch FX, Kummer JA, Shah KV, rt.al. Human Papillomavirus is a necessary cause of invasive cervic al cancer worldwide. J Pathol 1999;189:12-9 Canavan TP, Doshy NR. Cervical Cance r. Situs American Family Physician. Diakses pada www.aafp.org Nasiell K et al. B ehaviour of mild dysplasia during long term follow-up. Obstetrics and Gynaecolog y, 1986, 67:665-669. Holowaty P et al. Natural History of dysplasia of the uteri ne cervix. Journal of the National Cancer Institute, 1999, 91:252-268. 8 9 10 11 12 13 14 15 37

16 Nasiell K.Nasiell M. Vaclavinkova V. Behavior of moderate cervical dysplasia dur ing long-term follow-up. Obste-Gynecol 1983;61:609-614. Benedet JL, Ngan HYS, Ha cker NF. Staging Classifications and clinical practice guidelines of gyneecologi c cancers. Int J Gynecol Cancer. 2000;70:207-312. Boon ME, Suurmeijer AJH. The T es Pap. Leyden: Coulomb: 1991. Pretoriun R, Semrad N, Watring W, Fotherongham N, Presentation of cervical cancer. Gynecol Oncol 1991; 42: 48 52 Nuranna, L. Pena nggulangan Kanker Leher rahim yang Sahih dan Andal dengan metode Proaktif-VO (Pr oaktif, koordinatif dengan skrining IVA dan terapi krio). Desertasi program Dokt or. FKUI, Jakarta 2005. Sjamsuddin S. Terapi destruksi local pada neoplasia intr aepitel serviks. Dalam : Sjamsuddin S, Indarti J. Kolposkopi dan Neoplasia Intra epitel Serviks. Ed ke2.Jakarta. Perhimpunan Patologi Serviks dan Kolposkopi Indo nesia .2001: 90 8. Nuranna L. Terapi NIS dengan eksisi. Dalam : Sjamsuddin S, In darti J. Kolposkopi Dan Neoplasia Intraepitel Serviks. Ed ke-2.Jakarta. Perhimpu nan Patologi Serviks dan Kolposkopi Indonesia .2001: 99110. Meryman HT. Mechanics of freezing in living cells and tissues. Science 1986; 124:515:19. Singer AS. M anaging the young women with an abnormal cervical smear. The Practitioner 1983;2 27:725-31. Ordell LD, Rimker K, Hagerty C. Electrocautery for cervical neoplasia . J Reprod Med 1971;6:143 - 46 Chanen W, Hollyock VE, Colposcopy and electrocoag ulation diathermy for dysplasia and carcinoma in situ. Obstet Gynaecol 1971; 37: 62328. cervical 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Rome RM. Electrocoagulation diathermy for cervical intraepithelial neoplasia. Am J. Obstet Gynaecol 1983; 61: 67377 Belina JH, Wright VC, Voros JL, Riopelle MA, Hohenschutz V. Carbodioxide laser management of cervical intraepitethelial neopl asia. By laser vaporisation.Br.J. Obstet Gynecol 1985; 92: 39498. Cartier R. Prac tical Colposcopy. Besel Munchen Paris New York Sydney : S Kanger, 1977: 94109. Pr endiville W, Lullimore NS. Large Loop excision of the transformation zone (LLETZ ). A new methode of management for women which cervical intraepithelial neoplasi a. Brit J Obstet Gynecol. 1989; 96 :1054 - 60. 28 29 30

38

31 Campion Michael. Preinvasive Disease in : Berek JS, Hacker NF, eds. Practical Gy necologic Oncology. 3 rd ed. Philadelphia-Baltimore : Lippincott Williams and Wi lkins ,2000 : 271344. Monaghan JM. Surgical Technique on precancer cervix. In : B urghardt E, Monaghan JM, Kindermann G, Tamussino K. Eds. Surgical Gynecologic On cology. New York : George Thieme Verlag Stuttgart, Thieme Medical Publishers Inc , 1993: 26576. Hacker NF. Cervical Cancer. In: Berek JS, Hacker NF. (eds). Practi cal gynecologic oncology. 3rd edit, Philadelphia-Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins, 2000: 345 405. Park TW, Fuiwara H, Wright TC. Molecular biology of cer vical cancer and its precursor. Cancer 1995;76:1902-1913. Barzon et al.Guideline s of the Italian Society for Virology on HPV testing and vaccination for cervica l cancer prevention. Infectious Agents and Cancer 2008 3:14 doi:10.1186/1750-937 8-3-14 IARC Working group on evaluation of cervical cancer screening programmes. Screening for squamous cervical cancer: duration of low risk after negative resu lts of cervical cytology and its implication for screening policies. British Med ical Journal 293:659-664 (September 13, 1986) Miller AB, Cervical cancer screeni ng programmes : managerial guidelines. Geneva : WHO 1992. IARC working group on Evaluation of Cervical Cancer Programmes. Screening for Squamous Cervical cancer : duration of low risk after negative result of cervical citology and its implic ations for screening policies. Brit Med J 1986 ; 293: 659-64 (88) Soepardiman HM , Sianturi MHR, Lubis M. Manual Pap Smir. Jakarta. Subbagian Sitopatologi Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI 1988. (89) The 1988 Bethesda system for reporting cervical/vaginal cytologic diagnoses, developed and approved at the national can cer institute workshop, Bethesda, Maryland USA December 12-13, 1988. Acta Cytol 1989; 33 (5) : 567- 74 (90) Solomon D, Davey DD, Kurman R. The Bethesda system: Terninology for reporting of cervical cytology. J Am Med Assoc 2002; 287; 2114-1 19 (91) Manos NM, Ting Y, Wright DK. Use of Polymerase Chain reaction amplificat ion for the detection of genital human papilomavirus. Cancer cells 1989; 2009- 1 2 (105) Cuzick J, Szarewski A, Terry G, Ho L, Hanby A, Maddoc P. Human papilomav irus testing on frimary cervical screening.Lancet 1995; 345: 1533-36 (106) Manos NM, Lommeu WK, Hurley LB, Sherman ME, Shieh-Ngai J, Kurman RJ, et al. Identifyi ng women with cervical neoplasia : using human papilomavirus DNA testing for equ ivocal Papanicolau result. J AmMed Assoc 1999; 281: 1605-610. (107) 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44

39

45 Sankaranarayan R, Pisani P. Franco E, Monsonego J. Prevention measures in the th ird world: are they practical? New developments in cervical cancer screening and prevention. Oxford : Blackwell Science, 1997:70-83 Sankaranarayan R, Shyamalaku mary B., wesley R. Visual inspection with acetic acid in the early detection of cervical cancer and precursors. Int J Cancer 1999: 80(1); 161-63 Jeronimo J, et al. Visual Inspection with acetic acid for cervical cancer screening outside of low-resource settings. Pan Am J Public Health 17 (1),2005. Visual inspection wit h acetic acid for cervical cancer screening test qualities in a primary care set ting. University of Zimbabwe/JHPIEGO Cervical cancer project.Lancet 1999;363(915 6):869-73. Megevand E, Denny L, Dehaeck K, Soeters R, Bloch B. Acetic acid visua lization of the cervix : an alternative to cytologic screening. Obstet Gynecol. 1996;88(3):383-6. Ottaviano M, La Torre P,. Examination of the cervix with the n aked eye using acetic acid test. Am J Obstet Gynaecol 1982; 143: 139-42 Van Le L , Broekhuizen FF, Janzer-Steele R, Behare M, Samler T. Acetic acid visualization of the cervix to detect cervical dysplasia. Obstet Gynecol 1993; 81:29395 Cecch ini S, Bonardi R, Mazzotta A, Grazzini G, Iossa A, Ciatto S. Testing cervicosgra phy and cervicoscopy as screening tests for cervical cancer. Tumori 1993;79;22-2 5 Abrams J. A preliminary study of the Gynoscope: an adjunct to cytologic screen ings of the cervix. Am J Gynecol Health 1990;4:37-43 Slawson DC, Bennet JH, Herm an JM. Are Papanicolaou smears enough? Acetic acid washes of the cervix as adjun ctive therapu: a HARNET study: Harrisburg Area Research Network. J Fam Pract 199 2;35:271-77. Londhe M.,George S.S., Seshadri L., Detection of NIS by naked eyes visualization after application of acetic acid. Indian J Cancer. 1997: 34 (2): 8 8-91 (109) Sherris JD, Wells ES, Tsu VD, Bishop A. Cervical cancer in developing countries : a situation analysis. Program for Appropriate Technology in Health (PATH) 1993. Singer A.. Monaghan JM, Examinaation for cervical precancer use col poscopy. In : Singer A.. Monaghan JM,eds. Lower genital tract cervical pre colpo scopy, pathology and treatment. 1st ed. Boston : Blackwell, 1994 : 10-5 Singer A .. Monaghan JM, Examinaation for cervical precancer use colposcopy. In : Singer A.. Monaghan JM,eds. Lower genital tract cervical pre colposcopy, pathology and treatment. 1st ed. Boston : Blackwell, 1994 : 10-5 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58

40

59 Burghardt E. Histopathology of cervical epithelium. In : Burghardt E. Colposcopy cervical pathology. Textbook and atlas. 2nd revised and enlarged ed. Stutgart-N ew York Georg Thieme Verlag, 1991 : 8-60 Nazeer S. Cervical cancer screening tra ining module 2 : Aided visual inspection of the cervix acetic acid test . Geneva Fo undation for Medical Education and Research. Diakses pada http://www.gfmer.ch/ S ankaranarayan R, et.al. Test characteristics of visual inspection with 4% acetic acid (VIA) and lugols iodine (VILI) in cervical cancer screening in Kerala, Indi a. Int. J. Cancer : 106, 404-408 (2003) Arbyn, Marc. et al. Pooled analysis of t he accuracy of five cervical cancer screening test assessed in eleven studies in Africa and India. Int. J. Cancer :123, 153-160 (2008) Doh AS, Nkele NN, Achu P, Essimbi F, Essame O, Nkeogum B. Visual inspection with acitic acid and cytology as screening methods for cervical lesions in Cameroon. Int J of Gynecology and Obstetrics. 2005 : 89 (2); 167-73 Ghaemmaghami F, Behtash N, Modares Gilani M, e t al. Visual Inspection with acetic acid as a feasible screening test for cervic al neoplasia in Iran. Int J Gynecological Cancer. 2004: 14 (3); 465-69 Denny L, Kuhn L, Pollack A. et al. Evaluation of alternative methods of cervical cancer s creening for resource-poor settings. Cancer 2000: 89(4):826-33 Ocviyanti D. Tes Pap, tes HPV, dan servikografi sebagai pemeriksaan triase untuk tes IVA positif : upaya tindak lanjut deteksi dini kanker serviks pada fasilitas kesehatan denga n sumber daya terbatas beserta analisis sederhana efektivitas biayanya. Ringkasa n Disertasi. Program Doktor Ilmu Epidemiologi Program Pascasarjana Fakultas Kedo kteran Masyarakat Universitas Indonesia. Jakarta, 2006. Fletcher RW, Fletcher SW . Clinical Epidemiology- the Esentials. 4th ed. Baltimore : Lippincot Williams & Wilkins, 2005; 35-56 Gordis L. Epidemiology. 3rd ed. Philadelphia: Elsevier Sau nders, 2004; 71-94. Browner SW, Newman TB, Cummings SR, Hulley SB. Designing a N ew Study : III. Diagnostic Tests. In : Hulley SB, Cummings SR. Designing Clinica l Research. Baltimore, Lippincot Williams & Wilkins 1988: 87-97 Greenberg RS, Da niels SR, Flanders WD, Eley JW, Boring JR. Diagnostic Testing. In : Medical Epid emiology 3rd ed. USA, Lange Medical Books/ McGraw Hill, 2001: 7790. 60 61 62 63 64 65 66 68 69 70 71 41

Anda mungkin juga menyukai