Anda di halaman 1dari 43

BAB I PENDAHULUAN Keperawatan pre operatif merupakan tahapan awal dari keperawatan perioperatif.

Kesuksesan tindakan pembedahan secara keseluruhan sangat tergantung pada fase ini. Hal ini disebabkan fase ini merupakan awalan yang menjadi landasan untuk kesuksesan tahapantahapan berikutnya. Kesalahan yang dilakukan pada tahap ini akan berakibat fatal pada tahap berikutnya. Pengakajian secara integral dari fungsi pasien meliputi fungsi fisik biologis dan psikologis sangat diperlukan untuk keberhasilan dan kesuksesan suatu operasi. Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang sebabsebab terjadinya kecelakaan anesthesia. Dokter spesialis anestesiologi seyogyanya mengunjungi pasien sebelum pasien dibedah, agar ia dapat menyiapkan pasien, sehingga pada waktu pasien dibedah dalam keadaan bugar. Kadang-kadang dokter spesialis anestesiologi mempunyai waktu terbatas untuk menyiapkan pasien, sehingga persiapan kurang sempurna. Penundaan jadwal operasi akan merugikan semua pihak, terutama pasien dan keluarganya. Tujuan utama kunjungan pra anestesia ialah untuk mengurangi angka kesakitan operasi , mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

BAB II PEMBAHASAN

Persiapan pra-anestesi meliputi: 1. Mengumpulkan data 2. Menentukan masalah yang ada pada pasien sesuai data 3. Meramalkan kemungkinan penyulit yang akan terjadi 4. Melakukan persiapan untuk mencegah penyulit yang akan terjadi 5. Menentukan status fisik pasien 6. Menentukan tindakan anestesi 1. PENILAIAN PRABEDAH Terjadinya kasus salah identitas dan salah operasi bukan cerita untuk menakut-nakuti atau dibuat-buat, karena memang pernah terjadi di Indonesia. Identitas setiap pasien harus lengkap dan harus dicocokkan dengan gelang identitas yang dikenakan pasien. Pasien ditanya lagi mengenai hari dan jenis bagian tubuh yang akan dioperasi. a. ANAMNESIS Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak napas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang anestesia berikutnya dengan lebih baik. Kita harus pandai-pandai memilah apakah cerita pasien termasuk alergi atau efek samping obat. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan dan 1-2 minggu untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum alkohol juga harus dicurigai akan adanya penyakit hepar.

Riwayat penyakit sistemik (diabetes melitus, hipertensi, kardiovaskuler, TB, asma) Pemakaian obat tertentu, seperti antidiabetik, antikoagulan, kortikosteroid, antihipertensi secara teratur. Dua obat terakhir harus diteruskan selama operasi dan anestesi, sedangkan obat yang lain harus dimodifikasi. Riwayat diet (kapan makan atau minum terakhir, jelaskan perlunya puasa sebelum operasi) Riwayat penyakit keluarga b. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua system organ tubuh pasien. Berpatokan pada B6: 1. Breath Keadaan jalan nafas, bentuk pipi dan dagu, mulut dan gigi, lidah dan tonsil. Apakah jalan nafas mudah tersumbat? Apakah intubasi akan sulit? Apakah pasien ompong atau menggunakan gigi palsu atau mempunyai rahang yang kecil yang akan mempersulit laringoskopi? Apakah ada gangguan membuka mulut atau kekakuan leher? Apakah ada pembengkakan abnormal pada leher yang mendorong saluran nafas bagian atas? Tentukan pula frekuensi nafas, tipe napas apakah cuping hidung, abdominal atau torakal, apakah terdapat nafas dengan bantuan otot pernapasan (retraksi kosta). Nilai pula keberadaan ronki, wheezing, dan suara nafas tambahan (stridor). 2. Blood Tekanan nadi, pengisian nadi, tekanan darah, perfusi perifer. Nilai syok atau perdarahan. Lakukan pemeriksaan jantung. 3. Brain GCS, adakah kelumpuhan saraf atau kelainan neurologist,tanda-tanda peningkatan Tekanan Intra Kranial. 4. Bladder

Produksi urin, pemeriksaan faal ginjal. 5. Bowel Pembesaran hepar, bising usus dan peristaltik usus, cairan bebas dalam perut atau massa abdominal 6. Bone Kaku kuduk atau patah tulang? Periksa bentuk leher dan tubuh, serta adakah kelainan tulang belakang?

* Persiapan Fisik Persiapan fisik pre operasi yang dialami oleh pasien dibagi dalam 2 tahapan, yaitu : a. Persiapan di unit perawatan b. Persiapan di ruang operasi Berbagai persiapan fisik yang harus dilakukan terhadap pasien sebelum operasi antara lain : a. Status kesehatan fisik secara umum

Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan status kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat penyakit seperti kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik lengkap, antara lain status hemodinamika, status kardiovaskuler, status pernafasan, fungsi ginjal dan hepatik, fungsi endokrin, fungsi imunologi, dan lain-lain. Selain itu pasien harus istirahat yang cukup, karena dengan istirahat dan tidur yang cukup pasien tidak akan mengalami stres fisik, tubuh lebih rileks sehingga bagi pasien yang memiliki riwayat hipertensi, tekanan darahnya dapat stabil dan bagi pasien wanita tidak akan memicu terjadinya haid lebih awal. b. Status Nutrisi Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan berat badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas, kadar protein darah (albumin dan globulin) dan keseimbangan nitrogen. Segala bentuk defisiensi nutrisi harus di koreksi sebelum pembedahan untuk memberikan protein yang cukup untuk perbaikan jaringan. Kondisi gizi buruk dapat

mengakibatkan pasien mengalami berbagai komplikasi pasca operasi dan mengakibatkan pasien menjadi lebih lama dirawat di rumah sakit. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah infeksi pasca operasi, dehisiensi (terlepasnya jahitan sehingga luka tidak bisa menyatu), demam dan penyembuhan luka yang lama. Pada kondisi yang serius pasien dapat mengalami sepsis yang bisa mengakibatkan kematian.

c. Keseimbangan cairan dan elektrolit Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan output cairan. Demikaian juga kadar elektrolit serum harus berada dalam rentang normal. Kadar elektrolit yang biasanya dilakuakan pemeriksaan diantaranya dalah kadar natrium serum (normal : 135 145 mmol/l), kadar kalium serum (normal : 3,5-5 mmol/l) dan kadar kreatinin serum (0,70 1,50 mg/dl). Keseimbangan cairan dan elektrolit terkait erat dengan fungsi ginjal. Dimana ginjal berfungsi mengatur mekanisme asam basa dan ekskresi metabolit obat-obatan anastesi. Jika fungsi ginjal baik maka operasi dapat dilakukan dengan baik. Namun jika ginjal mengalami gangguan seperti oliguri/anuria, insufisiensi renal akut, nefritis akut maka operasi harus ditunda menunggu perbaikan fungsi ginjal. Kecuali pada kasus-kasus yang mengancam jiwa.

d. Kebersihan lambung dan kolon Lambung dan kolon harus di bersihkan terlebih dahulu. Intervensi keperawatan yang bisa diberikan diantaranya adalah pasien dipuasakan dan dilakukan tindakan pengosongan lambung dan kolon dengan tindakan enema/lavement. Lamanya puasa berkisar antara 7 sampai 8 jam (biasanya puasa dilakukan mulai pukul 24.00 WIB). Tujuan dari pengosongan lambung dan kolon adalah untuk menghindari aspirasi (masuknya cairan lambung ke paru-paru) dan menghindari kontaminasi feses ke area pembedahan sehingga menghindarkan terjadinya infeksi pasca pembedahan. Khusus pada pasien yang menbutuhkan operasi CITO (segera), seperti pada pasien kecelakaan lalu lintas. Maka pengosongan lambung dapat dilakukan dengan cara pemasangan NGT (naso gastric tube).

e. Pencukuran daerah operasi Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk menghindari terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan karena rambut yang tidak dicukur dapat menjadi tempat bersembunyi kuman dan juga mengganggu/menghambat proses penyembuhan dan perawatan luka. Meskipun demikian ada beberapa kondisi tertentu yang tidak memerlukan pencukuran sebelum operasi, misalnya pada pasien luka incisi pada lengan. Tindakan pencukuran (scheren) harus dilakukan dengan hati-hati jangan sampai menimbulkan luka pada daerah yang dicukur. Sering kali pasien di berikan kesempatan untuk mencukur sendiri agar pasien merasa lebih nyaman. Daerah yang dilakukan pencukuran tergantung pada jenis operasi dan daerah yang akan dioperasi. Biasanya daerah sekitar alat kelamin (pubis) dilakukan pencukuran jika yang dilakukan operasi pada daerah sekitar perut dan paha. Misalnya : apendiktomi, herniotomi, uretrolithiasis, operasi pemasangan plate pada fraktur femur, hemoroidektomi. Selain terkait daerah pembedahan, pencukuran pada lengan juga dilakukan pada pemasangan infus sebelum pembedahan.

f. Personal Hygine Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi karena tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman dan dapat mengakibatkan infeksi pada daerah yang dioperasi. Pada pasien yang kondisi fisiknya kuat diajurkan untuk mandi sendiri dan membersihkan daerah operasi dengan lebih seksama. Sebaliknya jika pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan personal hygiene secara mandiri maka perawat akan memberikan bantuan pemenuhan kebutuhan personal hygiene.

g. Pengosongan kandung kemih Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan melakukan pemasangan kateter. Selain untuk pengongan isi bladder tindakan kateterisasi juga diperluka untuk mengobservasi balance cairan.

h. Latihan Pra Operasi Berbagai latihan sangat diperlukan pada pasien sebelum operasi, hal ini sangat penting sebagai persiapan pasien dalam menghadapi kondisi pasca operasi, seperti : nyeri daerah operasi, batuk dan banyak lendir pada tenggorokan.

Latihan

yang

diberikan

pada

pasien

sebelum

operasi

antara

lain

1. Latihan nafas dalam 2. Latiihan batuk efektif 3. latihan gerak sendi

1. Latihan Nafas Dalam Latihan nafas dalam sangat bermanfaat bagi pasien untuk mengurangi nyeri setelah operasi dan dapat membantu pasien relaksasi sehingga pasien lebih mampu beradaptasi dengan nyeri dan dapat meningkatkan kualitas tidur. Selain itu teknik ini juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan oksigenasi darah setelah anastesi umum. Dengan melakukan latihan tarik nafas dalam secara efektif dan benar maka pasien dapat segera mempraktekkan hal ini segera setelah operasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien. Latihan nafas dalam dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : Pasien tidur dengan posisi duduk atau setengah duduk (semifowler) dengan lutut ditekuk dan perut tidak boleh tegang. Letakkan tangan diatas perut Hirup udara sebanyak-banyaknya dengan menggunakan hidung dalam kondisi mulut tertutup rapat. Tahan nafas beberapa saat (3-5 detik) kemudian secara perlahan-lahan, udara dikeluarkan sedikit demi sedikit melalui mulut.

Lakukan hal ini berulang kali (15 kali) Lakukan latihan dua kali sehari praopeartif.

2. Latihan Batuk Efektif Latihan batuk efektif juga sangat diperlukan bagi klien terutama klien yang mengalami operasi dengan anstesi general. Karena pasien akan mengalami pemasangan alat bantu nafas selama dalam kondisi teranstesi. Sehingga ketika sadar pasien akan mengalami rasa tidak nyaman pada tenggorokan. Dengan terasa banyak lendir kental di tenggorokan. Latihan batuk efektif sangat bermanfaat bagi pasien setalah operasi untuk mengeluarkan lendir atau sekret tersebut. Pasien dapat dilatih melakukan teknik batuk efektif dengan cara : Pasien condong ke depan dari posisi semifowler, jalinkan jari-jari tangan dan letakkan melintang diatas incisi sebagai bebat ketika batuk. Kemudian pasien nafas dalam seperti cara nafas dalam (3-5 kali) Segera lakukan batuk spontan, pastikan rongga pernafasan terbuka dan tidak hanya batuk dengan mengadalkan kekuatan tenggorokan saja karena bisa terjadi luka pada tenggorokan. Hal ini bisa menimbulkan ketidaknyamanan, namun tidak berbahaya terhadap incisi. Ulangi lagi sesuai kebutuhan. Jika selama batuk daerah operasi terasa nyeri, pasien bisa menambahkan dengan menggunakan bantal kecil atau gulungan handuk yang lembut untuk menahan daerah operasi dengan hati-hati sehingga dapat mengurangi guncangan tubuh saat batuk.

3. Latihan Gerak Sendi. Latihan gerak sendi merupakan hal sangat penting bagi pasien sehingga setelah operasi, pasien dapat segera melakukan berbagai pergerakan yang diperlukan untuk mempercepat proses penyembuhan. Pasien/keluarga pasien seringkali mempunyai pandangan yang keliru tentang pergerakan pasien setalah operasi. Banyak pasien yang tidak berani menggerakkan tubuh karena takut jahitan operasi sobek atau takut luka operasinya lama sembuh. Pandangan seperti ini jelas keliru karena justru jika pasien selesai operasi dan segera bergerak maka pasien akan lebih cepat merangsang usus

(peristaltik usus) sehingga pasien akan lebih cepat kentut/flatus. Keuntungan lain adalah menghindarkan penumpukan lendir pada saluran pernafasan dan terhindar dari kontraktur sendi dan terjadinya dekubitus. Tujuan lainnya adalah memperlancar sirkulasi untuk mencegah stasis vena dan menunjang fungsi pernafasan optimal. Intervensi ditujukan pada perubahan posisi tubuh dan juga Range of Motion (ROM). Latihan perpindahan posisi dan ROM ini pada awalnya dilakukan secara pasif namun kemudian seiring dengan bertambahnya kekuatan tonus otot maka pasien diminta melakukan secara mandiri. Status kesehatn fisik merupakan faktor yang sangat penting bagi pasien yang akan mengalami pembedahan, keadaan umum yang baik akan mendukungh dan mempengaruhi proses penyembuhan. Sebaliknya, berbagai kondisi fisiologis dapat mempengaruhi proses pembedahan. Demikian juga faktor usia/penuaan dapat mengakibatkan komplikasi dan merupakan faktor resiko pembedahan. Oleh karena itu sangatlah penting untuk mempersiapkan fisik pasien sebelum dilakukan pembedahan/operasi. Faktor resiko terhadap pembedahan antara lain : 1. Usia Pasien dengan usia yang terlalu muda (bayi/anak-anak) dan usia lanjut mempunyai resiko lebih besar. Hal ini diakibatkan cadangan fisiologis pada usia tua sudah sangat menurun . sedangkan pada bayi dan anak-anak disebabkan oleh karena belum maturnya semua fungsi organ. 2. Nutrisi. Kondisi malnutris dan obesitas/kegemukan lebih beresiko terhadap pembedahan dibandingakan dengan orang normal dengan gizi baik terutama pada fase penyembuhan. Pada orang malnutisi maka orang tersebut mengalami defisiensi nutrisi yang sangat diperlukan untuk proses penyembuhan luka. Nutrisi-nutrisi tersebut antara lain adalah protein, kalori, air, vitamin C, vitamin B kompleks, vitamin A, Vitamin K, zat besi dan seng (diperlukan untuk sintesis protein). Pada pasien yang mengalami obesitas. Selama pembedahan jaringan lemak, terutama sekali sangat

rentan terhadap infeksi. Selain itu, obesitas meningkatkan permasalahan teknik dan mekanik. Oleh karenanya dehisiensi dan infeksi luka, umum terjadi. Pasien obes sering sulit dirawat karena tambahan berat badan; pasien bernafas tidak optimal saat berbaring miring dan karenanya mudah mengalami hipoventilasi dan komplikasi pulmonari pascaoperatif. Selain itu, distensi abdomen, flebitis dan kardiovaskuler, endokrin, hepatik dan penyakit biliari terjadi lebih sering pada pasien obes. 3.Penyakit Kronis. Pada pasien yang menderita penyakit kardiovaskuler, diabetes, PPOM, dan insufisiensi ginjal menjadi lebih sukar terkait dengan pemakian energi kalori untuk penyembuhan primer. Dan juga pada penyakit ini banyak masalah sistemik yang mengganggu sehingga komplikasi pembedahan maupun pasca pembedahan sangat tinggi. 4. Ketidaksempurnaan respon neuroendokrin Pada pasien yang mengalami gangguan fungsi endokrin, seperti dibetes mellitus yang tidak terkontrol, bahaya utama yang mengancam hidup pasien saat dilakukan pembedahan adalah terjadinya hipoglikemia yang mungkin terjadi selama pembiusan akibat agen anstesi. Atau juga akibat masukan karbohidrat yang tidak adekuat pasca operasi atau pemberian insulin yang berlebihan. Bahaya lain yang mengancam adalah asidosis atau glukosuria. Pasien yang mendapat terapi kortikosteroid beresiko mengalami insufisinsi adrenal. Penggunaan oabat-obatan kortikosteroid harus sepengetahuan dokter anastesi dan dokter bedahnya. 5. Merokok Pasien dengan riwayat merokok biasanya akan mengalami gangguan vaskuler, terutama terjadi arterosklerosis pembuluh darah, yang akan meningkatkan tekanan darah sistemiknya. 6. Alkohol dan obat-obatan Individu dengan riwayat alkoholik kronik seringkali menderita malnutrisi dan masalahmasalah sistemik, sperti gangguan ginjal dan hepar yang akan meningkatkan resiko

pembedahan. Pada kasus kecelakaan lalu lintas yang seringkali dialami oleh pemabuk. Maka sebelum dilakukan operasi darurat perlu dilakukan pengosongan lambung untuk menghindari asprirasi dengan pemasangan NGT.

II. PERSIAPAN PENUNJANG Persiapan penunjang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tindakan pembedahan. Tanpa adanya hasil pemeriksaan penunjang, maka dokter bedah tidak meungkin bisa menentukan tindakan operasi yang harus dilakukan pada pasien. Pemeriksaan penunjang yang dimaksud adalah berbagai pemeriksaan radiologi, laboratorium maupun pemeriksaan lain seperti ECG, dan lain-lain. Sebelum dokter mengambil keputusan untuk melakukan operasi pada pasien, dokter melakukan berbagai pemeriksaan terkait dengan keluhan penyakit pasien sehingga dokter bisa menyimpulkan penyakit yang diderita pasien. Setelah dokter bedah memutuskan untuk dilakukan operasi maka dokter anstesi berperan untuk menentukan apakan kondisi pasien layak menjalani operasi. Untuk itu dokter anastesi juga memerlukan berbagai macam pemrikasaan laboratorium terutama pemeriksaan masa perdarahan (bledding time) dan masa pembekuan (clotting time) darah pasien, elektrolit serum, Hemoglobin, protein darah, dan hasil pemeriksaan radiologi berupa foto thoraks dan EKG. Dibawah ini adalah berbagai jenis pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan pada pasien sebelum operasi (tidak semua jenis pemeriksaan dilakukan terhadap pasien, namun tergantung pada jenis penyakit dan operasi yang dijalani oleh pasien). Pemeriksaan penunjang antara lain : a. Pemeriksaan Radiologi dan diagnostik, seperti : Foto thoraks, abdomen, foto tulang (daerah fraktur), USG (Ultra Sono Grafi), CT scan (computerized Tomography Scan), MRI (Magnrtic Resonance Imagine), BNO-IVP, Renogram, Cystoscopy, Mammografi, CIL (Colon in Loop), EKG/ECG (Electro Cardio Grafi), ECHO, EEG (Electro Enchephalo Grafi), dll. b. Pemeriksaan Laboratorium, berupa pemeriksan darah : hemoglobin, angka leukosit, limfosit, LED (laju enap darah), jumlah trombosit, protein total (albumin dan globulin), elektrolit (kalium, natrium, dan chlorida), CT BT, ureum kretinin, BUN, dll. Bisa juga

dilakukan pemeriksaan pada sumsun tulang jika penyakit terkaut dengan kelainan darah.

c. Biopsi, yaitu tindakan sebelum operasi berupa pengambilan bahan jaringan tubuh untuk memastikan penyakit pasien sebelum operasi. Biopsi biasanya dilakukan untuk memastikan apakah ada tumor ganas/jinak atau hanya berupa infeksi kronis saja.

d. Pemeriksaan Kadar Gula Darah (KGD) Pemeriksaan KGD dilakukan untuk mengetahui apakah kadar gula darah pasien dalan rentang normal atau tidak. Uji KGD biasanya dilakukan dengan puasa 10 jam (puasa jam 10 malam dan diambil darahnya jam 8 pagi) dan juga dilakukan pemeriksaan KGD 2 jam PP (ppst prandial). e. Dan lain-lain

PEMERIKSAAN STATUS ANASTESI Pemeriksaaan status fisik untuk dilakukan pembiuasan dilakukan untuk keselamatan selama pembedahan. Sebelum dilakukan anastesi demi kepentingan pembedahan, pasien akan mengalami pemeriksaan status fisik yang diperlukan untuk menilai sejauh mana resiko pembiusan terhadap diri pasien. Pemeriksaan yang biasa digunakan adalah pemeriksaan dengan menggunakan metode ASA (American Society of Anasthesiologist). Pemeriksaan ini dilakukan karena obat dan teknik anastesi pada umumnya akan mengganggu fungsi pernafasan, peredaran darah dan sistem saraf. Berikut adalah tabel pemeriksaan ASA. ASA grade Status Fisik Mortality (%) I Tidak ada gangguan organik, biokimia dan psikiatri. Misal: penderita dengan herinia ingunalis tanpa kelainan lain, orang tua sehat, bayi muda yang sehat 0,05

II Gangguan sistemik ringan sampai sedang yang bukan diseababkan oleh penyakit yang akan dibedah. Misal: penderita dengan obesitas, penderita dengan bronkitis dan penderita

dengan

diabetes

mellitus

ringan

yang

akan

mengalami

appendiktomi

0,4

III Penyakit sistemik berat; misalnya penderita diabetes mellitus dengan komplikasi pembuluh darah dan datang dengan appendisitis akut. 4,5 IV Penyakit/gangguan sistemik berat yang menbahayakan jiwa yang tidak selalu dapat diperbaiki dengan pembedahan, misalnya : insufisiensi koroner atau infark miokard 25

V Keadaan terminal dengan kemungkinan hidup kecil, pembedahan dilakukan sebagai pilihan terakhir. Misal: penderita syok berat karena perdarahan akibat kehamilan di luar rahim pecah.

INFORM CONSENT Selain dilakukannya berbagai macam pemeriksaan penunjang terhadap pasien, hal lain yang sangat penting terkait dengan aspek hukum dan tanggung jawab dan tanggung gugat, yaitu Inform Consent. Baik pasien maupun keluarganya harus menyadari bahwa tindakan medis, operasi sekecil apapun mempunyai resiko. Oleh karena itu setiap pasien yang akan menjalani tindakan medis, wajib menuliskan surat pernyataan persetujuan dilakukan tindakan medis (pembedahan dan anastesi). Meskipun mengandung resiko tinggi tetapi seringkali tindakan operasi tidak dapat dihindari dan merupakan satu-satunya pilihan bagi pasien. Dan dalam kondisi nyata, tidak semua tindakan operasi mengakibatkan komplikasi yang berlebihan bagi klien. Bahkan seringkali pasien dapat pulang kembali ke rumah dalam keadaan sehat tanpa komplikasi atau resiko apapun segera setelah mengalami operasi. Tentunya hal ini terkait dengan berbagai faktor seperti: kondisi nutrisi pasien yang baik, cukup istirahat, kepatuhan terhadap pengobatan, kerjasama yang baik dengan perawat dan tim selama dalam perawatan. Inform Consent sebagai wujud dari upaya rumah sakit menjunjung tinggi aspek etik hukum, maka pasien atau orang yang bertanggung jawab terhdap pasien wajib untuk menandatangani surat pernyataan persetujuan operasi. Artinya apapun tindakan yang

dilakukan pada pasien terkait dengan pembedahan, keluarga mengetahui manfaat dan tujuan serta segala resiko dan konsekuensinya. Pasien maupun keluarganya sebelum menandatangani surat pernyataan tersut akan mendapatkan informasi yang detail terkait dengan segala macam prosedur pemeriksaan, pembedahan serta pembiusan yang akan dijalani. Jika petugas belum menjelaskan secara detail, maka pihak pasien/keluarganya berhak untuk menanyakan kembali sampai betul-betul paham. Hal ini sangat penting untuk dilakukan karena jika tidak meka penyesalan akan dialami oleh pasien/keluarga setelah tindakan operasi yang dilakukan ternyata tidak sesuai dengan gambaran keluarga. Berikut ini merupakan contoh form inform consent PERNYATAAN PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS/OPERASI NAMA PASIEN (L/P) No.RM UNIT RAWAT : Saya yang bertnda tangan di bawah ini : Nama. Umur..tahun Jenis kelamin. Alamat

Suami/istri/ayah/ibu/keluarga dari pasien yang bernama .

1. Menyatakan SETUJU/TIDAK SETUJU bahwa pasien tersebut akan dilakukan tindakan medis operasi dalam rangka penyembuhan pasien. 2. Saya mengerti dan memahami tujuan serta resiko/komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan medis/operasi yang dilakukan terhadap pasien dan oleh karena itu bila terjadi sesuatu diluar kemapuan dokter sebagai manusia dan dalam batas-batas etik kedokteran sehingga terjadi kematian/kecacatan pada pasien maka saya tidak akan menuntut siapapun baik dokter maupun Rumah Sakit. 3. Saya juga menyetujui dilakukannya tindakan pembiusan baik lokal maupun umum dalam kaitannya dengan tindakan medis/operasi tersebut. Saya juga mengerti dan memahami tujuan dan kemungkinan resiko akibat pembiusan yang dapat terjadi sehingga bila terjadi sesuatu diluar kemampuan dokter sebagai manusia ddan dalam batas-batas etik kedokteran sehingga terjadi kematian/kecacatan pada pasien maka saya tidak akan menuntut siapapun baik dokter maupu Rumah sakit. Yogyakarta,2007 Mengetahui, Saya yang menyatakan, Dokter yang merawat, Suami/istri/ayah/ibu /keluarga _________________________________ ___________________ (tanda tangan dan nama lengkap) (tanda tangan keluarga, _________________________________ ____________________ (tanda tangan dan nama lengkap) (tanda tangan dan nama lengkap) coret yang tidak perlu III. PERSIAPAN MENTAL/PSIKIS dan nama lengkap) Saksi dari Rumah Sakit, Saksi dari

Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya. Tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial maupun aktual pada integeritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stres fisiologis maupun psikologis (Barbara C. Long) Contoh perubahan fisiologis yang muncul akibat kecemasan/ketakutan antara lain: 1. Pasien dengan riwayat hipertensi jika mengalami kecemasan sebelum operasi dapat mengakibatkan pasien sulit tidur dan tekanan darahnya akan meningkat sehingga operasi bisa dibatalkan. 2. Pasien wanita yang terlalu cemas menghadapi operasi dapat mengalami menstruasi lebih cepat dari biasanya, sehingga operasi terpaksa harus ditunda Setiap orang mempunyai pandangan yang berbeda dalam menghadapi pengalaman operasi sehingga akan memberikan respon yang berbeda pula, akan tetapi sesungguhnya perasaan takut dan cemas selalu dialami setiap orang dalam menghadapi pembedahan. Berbagai alasan yang dapat menyebabkan ketakutan/kecemasan pasien dalam menghadapi pembedahan antara lain a. Takut nyeri setelah pembedahan b. Takut terjadi perubahan fisik, menjadi buruk rupa dan tidak berfungsi normal (body image) c.Takut keganasan (bila diagnosa yang ditegakkan belum pasti) d. Takut/cemas mengalami kondisi yang dama dengan orang lan yang mempunyai penyakit yang sama. e. Takut/ngeri menghadapi ruang operasi, peralatan pembedahan dan petugas. f. Takut mati saat dibius/tidak sadar lagi. g. Takut operasi gagal. Ketakutan dan kecemasan yang mungkin dialami pasien dapat dideteksi dengan adanya perubahan-perubahan fisik seperti: meningkatnya frekuensi nadi dan pernafasan, gerakangerakan tangan yang tidak terkontrol, telapak tangan yang lembab, gelisah, menayakan

pertanyaan yang sama berulang kali, sulit tidur, sering berkemih. Perawat perlu mengkaji mekanisme koping yang biasa digunakan oleh pasien dalam menghadapi stres. Disamping itu perawat perlu mengkaji hal-hal yang bisa digunakan untuk membantu pasien dalam menghadapi masalah ketakutan dan kecemasan ini, seperti adanya orang terdekat, tingkat perkembangan pasien, faktor pendukung/support system. Untuk mengurangi dan mengatasi kecemasan pasien, perawat dapat menanyakan hal-hal yang terkait dengan persiapan operasi, antara lain : Pengalaman operasi sebelumnya Pengertian pasien tentang tujuan/alasan tindakan operasi Pengetahuan pasien tentang persiapan operasi baik fisik maupun penunjang. Pengetahuan pasien tentang situasi/kondisi kamar operasi dan petugas kamar operasi. Pengetahuan pasien tentang prosedur (pre, intra, post operasi) Pengetahuan tentang latihan-latihan yang harus dilakukan sebelum operasi dan harus dijalankan setalah operasi, seperti : latihan nafas dalam, batuk efektif, ROM, dll. Persiapan mental yang kurang memadai dapat mempengaruhi pengambilan keputusan pasien dan keluarganya. Sehingga tidak jarang pasien menolak operasi yang sebelumnya telah disetujui dan biasanya pasien pulang tanpa operasi dan beberapa hari kemudian datang lagi ke rumah sakit setalah merasa sudah siap dan hal ini berarti telah menunda operasi yang mestinya sudah dilakukan beberapa hari/minggu yang lalu. Oleh karena itu persiapan mental pasien menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dan didukung oleh keluarga/orang terdekat pasien. Persiapan mental dapat dilakukan dengan bantuan keluarga dan perawat. Kehadiran dan keterlibatan keluarga sangat mendukung persiapan mental pasien. Keluarga hanya perlu mendampingi pasien sebelum operasi, memberikan doa dan dukungan pasien dengan katakata yang menenangkan hati pasien dan meneguhkan keputusan pasien untuk menjalani operasi.

Peranan perawat dalam memberikan dukungan mental dapat dilakukan dengan berbagai cara: 1. Membantu pasien mengetahui tentang tindakan-tindakan yang dialami pasien sebelum operasi, memberikan informasi pada pasien tentang waktu operasi, hal-hal yang akan dialami oleh pasien selama proses operasi, menunjukkan tempat kamar operasi, dll. Dengan mengetahui berbagai informasi selama operasi maka diharapkan pasien mejadi lebih siap menghadapi operasi, meskipun demikian ada keluarga yang tidak menghendaki pasien mengetahui tentang berbagai hal yang terkait dengan operasi yang akan dialami pasien. 2. Memberikan penjelasan terlebih dahulu sebelum setiap tindakan persiapan operasi sesuai dengan tingkat perkembangan. Gunakan bahasa yang sederhana dan jelas. Misalnya: jika pasien harus puasa, perawat akan menjelaskan kapan mulai puasa dan samapai kapan, manfaatnya untuk apa, dan jika diambil darahnya, pasien perlu diberikan penjelasan tujuan dari pemeriksaan darah yang dilakukan, dll. Diharapkan dengan pemberian informasi yang lengkap, kecemasan yang dialami oleh pasien akan dapat diturunkan dan mempersiapkan mental pasien dengan baik 3. Memberi kesempatan pada pasien dan keluarganya untuk menanyakan tentang segala prosedur yang ada. Dan memberi kesempatan pada pasien dan keluarga untuk berdoa bersama-sama sebelum pasien di antar ke kamar operasi. 4. Mengoreksi pengertian yang saah tentang tindakan pembedahan dan hal-hal lain karena pengertian yang salah akan menimbulkan kecemasan pada pasien. 5. Kolaborasi dengan dokter terkait dengan pemberian obat pre medikasi, seperti valium dan diazepam tablet sebelum pasien tidur untuk menurunkan kecemasan dan pasien dapat tidur sehingga kebutuhan istirahatnya terpenuhi. Pada saat pasien telah berada di ruang serah terima pasien di kamar operasi, petugas kesehatan di situ akan memperkenalkan diri sehingga membuat pasien merasa lebih tenang. Untuk memberikan ketenangan pada pasien, keluarga juga diberikan kesempatn untuk mengantar pasien samapi ke batas kamar operasi dan diperkenankan untuk menunggu di ruang tunggu yang terletak di depan kamar operasi.

OBAT-OBATAN PRE MEDIKASI Sebelum operasi dilakukan pada esok harinya. Pasien akan diberikan obat-obatan permedikasi untuk memberikan kesempatan pasien mendapatkan waktu istirahat yang cukup. Obat-obatan premedikasi yang diberikan biasanya adalah valium atau diazepam. Antibiotik profilaksis biasanya di berikan sebelum pasien di operasi. Antibiotik profilaksis yang diberikan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya infeksi selama tindakan operasi, antibiotika profilaksis biasanya di berikan 1-2 jam sebelum operasi dimulai dan dilanjutkan pasca beda 2- 3 kali. Antibiotik yang dapat diberikan adalah ceftriakson 1gram dan lain-lain sesuai indikasi pasien.

PERSIAPAN PASIEN DI KAMAR OPERASI Persiapan operasi dilakukan terhadap pasien dimulai sejak pasien masuk ke ruang perawatan sampai saat pasien berada di kamar operasi sebelum tindakan bedah dilakukan. Persiapan di ruang serah terima diantaranya adalah prosedur administrasi, persiapan anastesi dan kemudian prosedur drapping. Di dalam kamar operasi persiapan yang harus dilakukan terhdap pasien yaitu berupa tindakan drapping yaitu penutupan pasien dengan menggunakan peralatan alat tenun (disebut : duk) steril dan hanya bagian yang akan di incisi saja yang dibiarkan terbuka dengan memberikan zat desinfektan seperti povide iodine 10% dan alkohol 70%. Tindakan keperawatan pre operetif merupakan tindakan yang dilakukan oleh perawat dalam rangka mempersiapkan pasien untuk dilakukan tindakan pembedahan dengan tujuan untuk menjamin keselamatan pasien intraoperatif. Persiapan fisik maupun pemeriksaan penunjang serta pemeriksaan mental sangat diperlukan karena kesuksesan suatu tindakan pembedahan klien berawal dari kesuksesan persiapan yang dilakukan selama tahap persiapan. Kesalahan yang dilakukan pada saat tindakan preoperatif apapun bentuknya dapat berdampak pada tahap-tahap selanjutnya, untuk itu diperlukan kerjasama yang baik antara masingmasing komponen yang berkompeten untuk menghasilkan outcome yang optimal, yaitu kesembuhan pasien secara paripurna. A. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan bila ada indikasi tertentu yang didapatkan dari anamnesa dan pemeriksaan fisik. Beberapa pemeriksaan penunjang yang saat ini dianggap penting untuk standar perawatan prabedah, seperti : 1. Hematokrit dan hemoglobin terbaru. Hematokrit sebanyak 25-30% biasanya ditolerir untuk pasien-pasien yang sehat tapi dapat mengakibatkan iskemik pada pasien dengan penyakit arteri koroner. Setiap kasus harus di evaluasi secara individual untuk mencari etiologi dan lamanya anemia. Jika tidak ada penjelasan yang pasti akan adnaya anemia, penundaan operasi dapat diindikasikan/disarankan.( Long, TJ.1993)
Saat ini, National Blood Resource Education Committee menyarankan bahwa Hemoglobin >7 g / dl dapat diterima pada pasien tanpa penyakit sistemik. Pada pasien dengan penyakit arteri koroner, hemoglobin >10 g / dl penting untuk meminimalkan risiko terjadinya miokardial iskemi dan infark miokard. Pasien dengan penyakit sistemik, tanda-tanda pengiriman oksigen sistemik yang adekuat (takikardi, takipnea) merupakan indikasi untuk transfusi. (Barash, Paul G.1997)

2. Serum kimiawi dan skrining koagulasi Dilakukan hanya jika ada indikasi tertentu dari riwayat dan pemerikasaan fisik. Misalnya seperti ada riwayat perdarahan diathesis atau penyakit sistemik serius. Hipokalemi bukanlah hal yang jarang ditemui pada pasien yang mendapat terapi diuretik, dan biasanya sebelum dioperasi dikoreksi dengan suplemen potassium oral. Usaha untuk mengoreksi hipokalemi dengan cara infus intravena secara cepat dapat mengakibatkan aritmia, bahkan juga gagal jantung (cardiac arrest). Saat menghadapi adanya hipokalemi dengan cardiac arrest, sebaiknya operasi ditunda dahulu. (Long, TJ.1993) 3. Elektrokardiogram (EKG) Dianjurkan untuk semua pasien diatas usia 40 tahun yang akan menjalani prosedur pembedahan resiko sedang dan tinggi. Abnormalitas EKG yang signifikan untuk seorang anestesi termasuk gelombang Q baru, depresi atau elevassi segmen ST, inversi gelombang T, dan gangguan irama (kontraksi

ventrikuler yang premature, fibrilasi/flutter atrial, bloking cabang kiri, dan bloking atrioventrikuler derajat kedua atau ketiga). Penemuan-penemuan ini pada EKG saat preoperative memerlukan adanya korelasi dengan riwayat, pemeriksaan fisik, dan EKG sebelumnya, dan perlu dilakukan pemeriksaan dan konsultasi dengan kardiologis yang lebih lanjut, sebelum operasi dilakukan.(Long, TJ.1993) 4. X-ray torax Dilakukan jika ada indikasi klinis (contoh : perokok berat, lansia, pasien dengan penyakit pada organ-organ utama).(Long, TJ.1993) 5. Pemeriksaan laboratorium untuk Hati dan Ginjal Dilakukan pemeriksaan pada pasien yang diduga dengan penyakit hati, harus menjalani evaluasi menyeluruh untuk fungsi hatinya meliputi pemeriksaan konsentrasi enzim hati, albumin, dan bilirubin, dan juga evaluasi koagulopati. Fungsi ginjal meliputi elektrolit, ureum kreatinin.(long, TJ.1993) 6. pemeriksaan gula darah pemeriksaan gula darah dan hemoglobin A1c dilakukan untuk membedakan kejadian perioperative stress hyperglycemia dari diabetes mellitus yang tidak terdiagnosis. Pada pasien yang sudah diketahui menderita diabetes mellitus harus kontrol gula darahnya sebelum menjalani pembedahan.(Long, TJ.1993)

Dikutip dari Kedokteran Perioperatif oleh Arif Mansoer.2007.hal:17

B. Klasifikasi Klasifikasi Status Fisik ASA (American Society of Anaesthesiologist) adalah klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai status fisik pasien pra-anestesi yang terdiri dari : Kelas I Kelas II : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas

Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam (Latief, Said A.2009) American Society of Anesthesiologists Classification ASA Class Disease State 1 No organic, physiologic, biochemical, or psychiatric disturbance 2 3 4 5 Mild to moderate systemic disturbance that may or may not be related to the reason for surgery Severe systemic disturbance that may or may not be related to the reason for surgery Severe systemic disturbance that is life threatening with or without surgery Moribound patient who has little chance of survival but is submitted to surgery as a last resort (resuscitative effort)
dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter18,page 239 Menurut ASA ASA I ASA II ASA III ASA IV ASA V b : ila tidak didapatkan kelainan organik maupun sistemik selain yang akan dioperasi b : ila didapatkan kelainan sistemik ringan dan sedang k : elainan sistemik berat tapi belum mengancam jiwa k : elainan sistemik berat yang mengancam jiwa : oribound sindroma IWR M

- Makin tinggi PS ASA makin tinggi resikonya - Untuk operasi darurat (emergency) ditambahkan dengan huruf D atau E Misal : PS ASA 1D/1E, PS ASA 2D/2E - Resikonya bertambah besar o.k. tidak cukup waktu untuk persiapannya

Persiapan Penyulit yang Akan Terjadi Penyakit Kardiovaskular

Resiko serius Terapi oksigen dan pemantauan EKG harus diteruskan sampai pasca operasi. Zat anestesi membuat jantung sensitive terhadap kerja katekolamin yang dilepaskan. Selanjutnya dapat terjadi kemunduran hemodinamik dan dapat terjadi aritmia, takikardi ventricular sampai fibrilasi ventricular. Pada pasien dengan gagal jantung perfusi organ menjadi buruk. Ambilan gas dan uap ihalasi terhalangi. Pada pasien hipertensi, terapi antihipertensi harus diteruskan sepanjang operasi. Bahaya hipertensi balik dengan resiko gangguan kardiovaskular setelah penghentian obat jauh lebih berat diandingkan dengan resiko karena meneruskan terapi.

Penyakit Pernafasan

Penyakit saluran nafas dan paru-paru mempengaruhi oksigenasi, eliminasi karbondioksida, ambilan gas-gas inhalasi dan meningkatkan insidens infeksi pascaoperasi. Bronkospasme berat yang mengancam jiwa kadang-kadang timbul pada pasien asma atau pecandu nikotin. Penundaan operasi elektif pada pasien yang menderita infeksi saluran nafas atas karena efek obat sedative dan atropine, dan penurunan respons imunologi yang terjadi karena anestesi umum dapat meningkatkan resiko infeksi dada pascaoperasi

Diabetes Mellitus Hampir semua obat anestesi bersifat meningkatkan glukosa darah. Penderita diabetes yang tidak stabil seharusnya tidak dianestesi untuk pembedahan elektif, kecuali jika kondisi bedah itu sendiri merupakan penyebab ketidakstabilan tersebut. Penyakit Hati Metabolisme obat-obatan anestesi akan terganggu akibat adanya gagal hati. Obatobatan analgesic dan sedative juga menjadi memiliki masa kerja yang panjang karena metabolisme oleh otak juga berubah karena penyakit hati. Anestesi pada pasien ikterus mempunyai dua resiko nyata. Pertama adalah perdarahan akibat kekurangan protrombin. Resiko yang kedua adalah gagal ginjal akibat bilirubin yang berakumulasi pada tubulus renalis

2. MENENTUKAN MASALAH YANG ADA Masalah Medik :


Asma bronchiale DM Gangguan faal ginjal, hepar Miokard infark Shock, TIK me, dll

Masalah Bedah :

Tumor besar Operator Lokasi

Masalah Anetesi :

Tergantung pada operasi dan lokasi operasi Penyakit penyerta, misal : Struma toxic?, Ca, besarnya, perdarahan, umur, intubasi?, posisi Sectio caesaria diagnosa?

3. MERAMALKAN PENYULIT YANG MUNGKIN TERJADI Misal


Penyulit dari pernafasan : sulit intubasi, asma bronkhiale, corpus alienum, COPD Emergency : (-) puasa aspirasi Penyulit CV : hipotensi, hipertensi, bradikardi, takikardi Penyulit SSP : kesadaran sulit bangun (trauma kepala) Penyulit SC dengan Fetal Distress bayi bisa meninggal Eklamsi/Pre-Eklamsi berat : stroke kandungan, edema paru, bayi bisa meninggal

4. MELAKUKAN PERSIAPAN UNTUK MENCEGAH PENYULIT TERJADI Misal

Asma Bronkhiale Anestesi : halothane, regional anestesi Obat : aminophyllin, dexamethasone, anti histamine Operasi Emergency Resiko Aspirasi (+) Kosongkan lambung : Puasa NGT Antasida netralisis asam lambung Anestesi : Intubasi k/p regional Operasi Tumor Otak/Trauma Kepala Cara mencegah TIK dengan : Posisi kepala ditinggikan Obat anestesi Cegah hipoksia, hiperkarbi Cairan

PEMERIKSAAN SEBELUM PEMBIUSAN DAN PEMBEDAHAN

PUASA Pada operasi elektif, umumnya :


Pada orang dewasa, puasa makan makanan padat 6 jam sebelum operasi. Mereka boleh sarapan makanan ringan jika operasi dijadwalkan siang Anak dan balita puasa boleh makan atau minum susu 6 jam sebelum operasi Semua pasien tidak boleh minum sejak 2 jam sebelum operasi Bayi diperbolehkan menyusui ASI atau formula sampai 4 jam sebelum operasi

Alasan puasa sebelum operasi yaitu untuk meminimalkan isi perut dan adanya resiko yang berhubungan dengan regurgitasi dan aspirasi paru setelah induksi anestesi. Meskipun puasa cukup, beberapa pasien masih beresiko muntah dan mengalami aspirasi paru, pasien ini mempunyai kemampuan pengosongan lambung yang lambat atau penurunan tonus sfingter esofagus yang lemah (tabel ... dan ....). Profilaksis antasid sebaiknya diresepkan dan intubasi trakea harus dilakukan dengan metode yang cepat. Pasien ini tidak cocok untuk pemasangan laryngeal mask airway. Pasien yang memerlukan pembedahan emergensi dianggap mempunyai perut yang terisi penuh bahkan meskipun saat ini kelaparan. Pasien dengan abdomen akut jelas akan mengalami gastric stasis. Namun stasis dapat juga terjadi akibat cemas, nyeri dan analgesik opioid.

TABEL Faktor yang berhubungan dengan penurunan tonus sfingter esofagus bawah - Kegemukan - Kehamilan (setelah trimester pertama) - Hiatus hernia - Penyakit reflek gastroesofagal - Distensi abdomen - Obat-obatan : atropin, glikopirolat, opioid, anestesi volatil

TABEL Faktor yang menurunkan tingkat pengosongan lambung Fisiologis - asam - makanan tinggi protein - kehamilan Patofisiologi

- kecemasan - trauma - pembedahan - syok - nyeri - diabetes Obat-obatan - opioid - antikolinergik - antidepresan trisiklik

INFORMASI PADA PASIEN DAN PERSETUJUAN Sebelum melakukan operasi, dokter operator sendiri harus memberikan penjelasan (informasi) kepada pasien yang akan dioperasi tentang segala sesuatu yang menyangkut tindakan bedah yang akan dilakukan. Dokter operator harus menjelaskantentang tindakan operasi apa yang akan dilakukan, manfaat operasi, resiko-resiko yang melekat pada operasinya, alternatif lain yang ada dan apa akibatnya jika tidak dilakukan operasi. Penjelasan ini harus diberikan supaya pasien dapat mengerti, m e m i l i h d a n memutuskan lain. Menurut PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989, pada keadaan t e r t e n t u di mana tidak ada dokter operator, maka informasi harus diberikan oleh dokter lain dengan sepengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Pemberian penjelasan (informasi) tidak dapat diwakilkan oleh perawat. Dalam tindakan bukan pembedahan dan tindakan yang tidak invasif (tidak mempengaruhi keutuhan jaringan lain) lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter l a i n a t a u perawat dengan sepengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Dalam keadaan gawat darurat tidak diperlukan Informed consent. Persetujuan untuk pemberian anestesi biasanya dianggap sudah termasuk di dalam persetujuan pasien untuk tindakan operasi. Bila pasien menolak untuk dibedah maka dokter bedah sebaiknya menekankan lagi pentingnya operasi itu dan resiko-resiko yang mungkin timbul apa ya n g hendak dilakukan terhadap d i r i n ya dengan mempertimbangkan aspek medis, agama, sosial budaya, finansial, prospek kehidupan dan lain-

akibat pembatalan operasi tersebut. Jika pasien tetap menolak maka pasien diminta untuk menanda-tangani Surat Penolakan Tindakan Medik (Informed Refusal). Perluasan operasi (extended operation) tidak boleh dilakukan kecuali jika pada waktu operasi ditemukan hal yang tidak terduga sebelumnya dan sangat membahayakan jiwa jika tidak segera dilakukan tindakan medik. Faktor-faktor yang d a p a t d i p a k a i s e b a g a i pegangan untuk melakukan perluasan operasi adalah: 1. Kondisi yang ditemukan secara wajar tidak mungkin didiagnosis sebelum operasi; 2. Tidak ada indikasi bahwa pasien menginginkannya;
3. P e r l u a s a n o p e r a s i m a s i h terletak di dalam lokasi insisi; 4. Praktek medik yang baik mengharuskan dilakukan perluasan operasi;

5. Baik pasien maupun keluarganya tidak bisa langsung dimintakan persetujuannya. Selain faktor-faktor di atas, perluasan operasi itu juga tidak berkaitan d e n g a n pembuangan organ atau anggota tubuh, tidak mengakibatkan perubahan fungsi seksual dan tidak memberi resiko tambahan yang serius. Pasien mungkin takut, cemas atau khawatir terhadap tindakan bedah dan pembiusan sehingga informasi dan keterangan yang diberikan jangan tentang pembedahannya (seperti prognosis bedah, luka operasi, bekas luka, cacat, keterbatasan pola hidup). Anestesi berhubungan dengan kecemasan meliputi kematian, kesadaran, nyeri selama operasi, nyeri setelah operasi, kehilangan kontrol, mual muntah. Cobalah periksa kecemasan ini dan tenangkan pasien :

Berikan penjelasan dengan sabar Realistis tentang resikonya tapi dengan cara yang bijak. Pasien mempunyai hak untuk tahu resiko utama (dengan angka kejadian lebih dari 1 %, pada tabel ...) dan resiko signifikan yang menyebabkan luka permanen

Terangkan apa yang akan dilakukan untuk mengurangi dan menghindari resiko Gambarkan apa yang seharusnya diharapkan pasien (pemasangan kanul dan monitor) sebelum induksi anestesi dan saat pemulihan Diskusikan pilihan cara anestesi (GA atau regional) dengan pasien Diskusikan alternatif cara jika rencana awal tak bekerja (misal GA jika RA gagal)

Semua diskusi ini dilakukan sesederhana mungkin dengan bahasa pasien. Jumlah informasi yang diberikan tergantung pada keingintahuan pasien dan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya.

Tabel 6.7 Komplikasi yang sering terjadi Regional anestesi sakit kepala (blok subarchnoid) perdarahan lokal cedera saraf efek partial General anestesi tenggorokan kering / luka suara serak cedera gigi mual muntah setelah operasi komplikasi lain sesuai penyakit sebelumnya Kanulasi pembuluh darah tidak nyaman hematoma thrombosis nyeri infeksi

PREMEDIKASI Pengelolaan pasien anestesi sebelum operasi diawali dengan premedikasi atau persiapan preoperative yang meliputi persiapan psikologis (fisik) dan persiapan farmakologis (obatobatan), yang dilakukan ahli anestesi sehari sebelum rencana operasi. Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui kondisi fisik dan mental pasien sebelum di operasi. Sebab hal tersebut berpengaruh terhadap obat preanestesi, teknik yang digunakan dan keahlian seorang ahli anestesi. Persiapan yang buruk dapat menimbulkan komplikasi setelah operasi. Idealnya semua pasien sebelum operasi dalam keadaan tenang, terhindar dari kecemasan akan operasi dan kooperatif.

Tujuan dari premedikasi atau persiapan preoperative adalah meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anestesia, mengurai sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual muntah pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi reflek yang membahayakan. Hasil akhir yang diharapkan dari pemberian premedikasi adalah sedasi dari pasien tanpa disertai depresi pernapasan dan sirkulasi. Kebutuhan premedikasi terhadap masing-masing pasien dapat berbeda.

1. Persiapan Psikologis (Fisik) Persiapan psikologis meliputi kunjungan preoperatif dan wawancara dengan pasien dan keluarganya. Seorang ahli anestesi harus menjelaskan apa yang akan terjadi dan tujuan tindakan anestesi sebagai upaya untuk mengurangi rasa cemas pasien. Kunjungan ini harus dilakukan secara efisien, memberikan informasi, rasa aman, menjawab segala pertanyaan pasien dan supaya mendapatkan rasa percaya pasien kepada ahli anestesi dan juga meningkatkan rasa percaya diri pasien. Hal-hal yang diwawancarai pada kunjungan preoperative meliputi table ....
Table ... Areas to be Discussed During a Preoperative Interview

Review medical history with patien Co-existing diseases Chronic drug therapy Prior anesthetic experience

Describe anesthetic technique available and associated risks Review planned preoperative medication and time of scheduled surgery Decribe what to expect on arrival in the operating room Describe anticipated duration of surgery and expected time to return to room Describe methods available to manage postoperative pain Patient-controlled analgesia Neuraxial opioids

Selain permasalahan psikologis, kondisi fisik pasien juga dapat menjadi permasalahan dalam pembiusan. Agar obat-obat bius yang nantinya diberikan tidak menimbulkan efek

negative akibat kondisi tubuh yang tidak normal lagi maka harus ada jaminan akan fungsi dan kondisi tubuh yang baik. Hal tersebut dapat diketahui dengan pemeriksaan laboratorium berupa fungsi pembekuan darah, fungsi liver, ginjal, endokrin, elektrolit, status gizi dan pemeriksaan elektrokardiogram (EKG). Sedangkan kondisi pasien, setidaknya 8 jam sebelum operasi harus sedang fit, tidak batuk, pilek, dalam keadaan bersih (cuci rambut), menanggalkan aksesoris perhiasan, gigi palsu, tidak bergincu, dan cat kuku harus dihapus. Hal ini dilakukan untuk mencegah kontaminasi operasi dan menunjang sterilitas proses operasi. Hubungan dokter anestesi dengan pasien Periode preoperative adalah saat yang sangat membuat stress emosional terutama pada pasien yang takut pada operasinya (kanker, kelainan bentuk tubuh, kesakitan pasca operasi, bahkan kematian) maupun terhadap anestesinya (kehilangan kontrol, takut tidak bangun, mual pasca operasi, kebingungan, kesakitan, lumpuh/parese, dan pusing). Dokter anestesi dapat membantu mengurangi rasa takut ini dan menanamkan rasa percaya pasien dengan cara : a. Wawancara yang kondusif dan tidak terburu-buru, dimana kita menunjukkan pada pasien bahwa kita mengerti akan rasa takut dan rasa khawatir yang dimilikinya. b. Meyakinkan pasien bahwa kita akan bertemu dengannya lagi di ruang operasi. Jika akan ada orang lain yang memasukkan anestetiknya, pasien harus disarankan dan diyakinkan bahwa semua kekhawatiran dan kebutuhannya telah disiapkan penanganannya. c. Menginformasikan pasien akan hal-hal yang akan dialaminya pada masa preoperasi, termasuk didalamnya : - waktu saat pasien harus puasa makan & minum - waktu yang diperlukan untuk operasi - kebutuhan akan premedikasi sedative dan obat-obat yang harus dilanjutkan seperti biasa pada hari-hari berikutnya.

- area kerja induksi yang akan dilakukan pada hari operasi (cthpenempatan IV atau kateter arterial, adanya alat monitoring yang akan digunakan, kateter epidural) dengan kepastian obat penenang dan tambahan analgesik IV akan disediakan bila diperlukan selama operasi. Pemulihan post operative harus selalu diamati.

2. Persiapan Farmakologis (obat-obatan) Persiapan farmakologis diberikan berdasarkan kondisi psikologis dan status fisik pasien yang telah ditetapkan setelah kunjungan preoperative. Dalam memilih obat-obat farmakologis yang akan digunakan, ahli anestesi harus mengetahui table ... :
Table .Determinant of Drug Choice and Dose Patient age and weight ASA Physical Status Classification Level of anxiety Tolerance for depressant drugs Prior adverse experiences with premedication Drug allergies Elective versus emergency surgery Inpatient versus outpatient

tujuan yang ingin dicapai dengan pemberian farmakologis sebelum operasi adalah : table ...
Table ... Goals for Pharmacologic Premedication Anxiety relief Sedation Amnesia Analgesia Drying of airway secretions (antisialagogue effect) Prevention of autonomic nervous system responses Decrease gastric fluid volume and increase gastric fluid pH

Antiemetic effect Decrease in anesthetic requirements Facilitate induction of anesthesia Prophylaxis against allergic reactions

Obat-obat persiapan farmakologis antara lain : a. Sedasi, hipnotis dan penenang

1. Benzodiazepin (diazepam, midazolam dan lorazepam) Golongan obat ini merupakan paling populer untuk pengobatan preoperative. Obat ini digunakan untuk sedasi, mengurangi rasa cemas dan amnesia retrogard, dan juga diberikan untuk mengurangi mimpi buruk dan delirium setelah pemberian ketamin. Kerja benzodiazepine pada reseptor otak yang spesifik ( aminobutyric acid) yang berefek sedikit mendepresi pernapasan atau
kardiovaskular pada dosis premedikasi. Umunya benzodiazepin diberikan per oral karena absorbsinya baik. Yang termasuk golongan benzodiazepin adalah diazepam, midazolam dan lorazepam.

Diazepam merupakan obat standar terhadap benzodiazepine lainnya. Tidak larut air dan harus berdisosiasi terhadap pelarut organic (propylene, glycol, sodium
benzoat). Pemberian diazepam secara oral dengan 150cc air lebih disukai

daripada pemberian injeksi intramuskuler. Lebih dari 90 persen dosis oral diazepam cepat diserap. Efek puncak dapat terjadi setelah pemberian oral dalam waktu 0,5-1 jam pada orang dewasa dan 15-30 menit pada anakanak..Diazepam tidak melewati membran pasenta, dengan level konsentrasi pada
bayi yang setara atau melewati level ibu. Karena diazepam terikat kuat dengan protein, maka pasien dengan albumin yang rendah, seperti pada sirosis hepatis atau gagal ginjal kronis, mengakibatkan peningkatan efek dari obat. Kerugian obat ini sakit pada tempat penyuntikan i.m dan i.v dan phlebitis pada i.v. Waktu paruh 21-37 jam pada orang normal. Dosis i.v 10mg pada orang dewasa, 0,2-0,5 mg/kgBB pada anak-anak.

Midazolam telah mendominasi menggantikan diazepam pada penggunaannya sebagai medikasi preoperative dan sedasi sadar. Bahan-bahan psikokimia dari obat itu berguna untuk kelarutannya dalam air dan metabolisme cepat. Midazolam 2 sampai 3 kali lebih poten daripada diazepam karena peningkatannya pada reseptor benzodiazepin. Dosis biasa intramuskuler adalah 0,05-0,1 mg/kg dan titrasi 0,1 mg/kgBB pada intravena. Tidak ada iritasi atau phlebitis dengan injeksi midazolam. Waktu onset setelah injeksi intramuskuler 5-10 menit, dengan efek puncak muncul setelah 30-60 menit. Onset setelah masuknya intravena sebesar 5 mg diperkirakan muncul setelah 1-2 menit. Penggunaan midazolam harus dalam pengawasan ketat karena kemungkinan terjadi depresi pernapasan. Pada anak-anak pemberian oral lebih disukai.
Lorazepam 5-10 kali lebih baik dari diazepam. Lorazepam tidak larut dalam air

dan membutuhkan pelarut seperti polyethylene glycol atau propylene glycol. Tidak sakit pada tempat penyuntikan dan tidak ada phlebitis. Lorazepam dipercaya diabsorsi secara oral dan intramuskuler. Efek maksimal muncul 3040 menit setelah injeksi intravena. Konsentrasi puncak plasma dapat tidak muncul sampai 2-4 jam setelah masuknya obat-obatan oral. Oleh sebab itu, lorazepam harus dipertimbangkan dengan baik sebelum operasi sehingga obat tersebut memiliki waktu untuk efektif sebelum pasien masuk ke kamar operasi. Lorazepam juga dapat diberikan secara sublingual dengan dosis 2550 g/kg. Dosis untuk dewasa tidak boleh melebihi 4,0 mg, amnesia antegrad dapat dihasilkan selama 4-6 jam tanpa sedasi berlebihan. Dosis lebih tinggi menghasilkan sedasi berkepanjangan dan berlebihan tanpa lebih banyak amnesia. Kerena onset yang lama dan panjang kerja, lorazepam tidak berguna dengan cepat dimana diinginkan bangun cepat, seperti pada anestesi pasien bukan rawat inap. 2. Barbiturat (secobarbital dan pentobarbital) Penggunaan barbiturat untuk medikasi preoperative telah digantikan pada berbagai hal oleh benzodiazepine. Obat ini digunakan secara primer untuk

efek sedatifnya. Barbiturat dapat diberikan oral juga parenteral, dan obatobatan relatif tidak mahal. Keuntungan penggunaan obat ini ialah dpat menimbulkan sedasi, efek terhadap depresi respirasi minimal, depresi sirkulasi minimal dan tidak menimbulakn efek mual dan muntah. Obat ini efektif bila diberikan peroral. Kerugian penggunaan barbiturate termasuk tidak adanya efek analgesia, terjadinya disorientasi terutama pada pasien yang kesakitan, serta tidak ada antagonisnya. Barbiturate merupakan kontraindikasi untuk pasien dengan akut intermitten porphyria. Secobarbital biasanya digunakan pada dewasa dalam dosis oral 50-200 mg ketika untuk medikasi preoperative. Onset biasanya muncul 60-90 menit setelah masuknya obat, dan efek sedatif bertahan 4 jam atau lebih. Tentunya, meskipun secobarbital dulu telah dipertimbangkan sebagai kerja pendek barbiturat, ini dapat menunjukkan kerja selama 10-22 jam. Pentobarbital biasanya digunakan secara oral atau parenteral. Dosis oral digunakan untuk dewasa biasanya 50-200 mg. Pentobarbital memiliki biotransformasi waktu paruh sekitar 50 jam. Karena itu, penggunaannya tidak sering cocok untuk prosedur singkat. Butyrophenones Dosis intravena atau intramuscular 2,5-7,5 mg droperidol menghasilkan keadaan sedasi pada pasien sebelum operasi. Keuntungan sangat besar dari penggunaan obat ini ialah efek anti emetic yang sangat kuat, dan bekerja secara sentral pada pusat muntah di medulla. Obat ini ideal untuk digunakan pada pasien pasien dengan resiko tinggi, misal pada operasi mata, pasien dengan riwayat sering muntah dan obesitas. Kerugiannya kadang-kadang pada pasien tertentu droperidol ini dapat menimbulkan dysphoria (pasien merasa takut mati) sehingga menolak untuk dioperasi. Droperidol juga mempunyai efek block terhadap dopaminergik reseptor sehingga dapat menimbulkan gejala extrapiramidal pada pasien yang normal. Selain itu juga mempunyai efek alpha adrenergic antagonis yang ringan, sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer. Pada pasien dengan

riwayat alergi atau rhinitis vasomotorika sebaiknya penggunaan obat ini dihindari. 3. Obat-obat Sedatif Lain Hydroxyzine merupakan obat penenang nonphenothiazine yang memiliki aksi sedatif dan bahan anxiolitik. Hydroxyzine merupakan antihistamin dan antiemetic, memiliki bahan analgesic namun tidak menghasilkan amnesia. Biasanya diberikan untuk menambah efek pada opioid. Diphenhydramine merupakan reseptor histamin antagonis dengan aktifitas sedatif dan antikolonergik. Juga merupakan antiemetik. Dosis 50 mg akan bertahan 3-6 jam pada dewasa. Diphenhydramine menghambat reseptor histamin untuk mencegah efek histamin perifer. Phenothiazine (promethazine, promazine, dan perphenazine biasanya digunakan dalam kombinasi dengan opioid. Phenothiazine memiliki bahan sedatif, antikolinergik, dan antiemetik. Efek-efek ini, ditambahkan efek analgesik opiod, telah digunakan untuk medikasi preoperatif. b. Analgetik

Opioid Opioid digunakan ketika analgesi dibutuhkan sebelum operasi. Untuk pasien yang mengalami nyeri sebelum operasi, opioid dapat memberikan analgesia yang baik dan bahkan euphoria. Opioid digunakan sebelum operasi untuk mengurangi ketidaknyamanan yang dapat muncul selama anestesi regional atau insersi invasive kateter monitor atau jalur intravena yang besar. Yang harus diingat bahwa opioid menurunkan ventilasi selama nafas spontan dan menurunkan masuknya obat-obat inhalasi. Jika dibutuhkan, ahli anestesi dapat menggunakan ventilasi bantuan atau terkontrol dari paru-paru untuk menghasilkan efek depresi respirasi dari opioid. Akhirnya, opioid bukan merupakan obat terbaik untuk meredakan apprehensi, menghasilkan sedasi,

atau mencegah ingatan kembali. Masuknya opioid telah memberikan potensi untuk menyebabkan beberapa efek samping table ...
Table Side Effects of Opioids as Used for Pharmacologic Premedication Depression of ventilation Nausea and vomiting Orthotastic hypotension Delayed gastric emptying Pruritus

Choledochoduodenal sphincter spasme

Morfin diabsorbsi dengan baik setelah injeksi intramuskuler. Onset efeknya muncul dalam 15-30 menit. Efek puncak muncul dalam 45-90 menit dan bertahan selama 4 jam. Setelah masuknya intravena, efek puncak biasanya muncul dalam 20 menit. Dengan opioid lain, depresi ventilasi dan hipotensi orthostatic dapat muncul setelah injeksi morfin. Mual dan muntah dapat muncul sebagai komponen vestibuler. Setelah masuknya morfin, motilitas traktus gastrointestinal menurun, sekresi gastrointestinal meningkat. Meperidin memiliki efek poten sepersepuluh dari morfin. Meperidin dapat diberikan secara oral maupun parenteral. Dosis tunggal dari meperidin biasanya berlangsung 2-4 jam. Onset setelah pemberian intramuskular sulit diprediksi dan terdapat variasi waktu dalam mencapai efek puncak. Meperidin secara primer dimetabolisme di hepar. Peningkatan detak jantung dan hipotensi ortostatik dapat terjadi pada pemberian meperidin. Volume dan PH Cairan Lambung Banyak pasien yang datang ke kamar operasi dengan resiko aspirasi pneumonitis. Pasien dengan kehamilan, kegemukan, diabetes dan hiatus hernia atau reflux gastroesofageal memiliki resiko untuk terjadinya aspirasi isi gaster dan subsequent chemical pneumonitis. Maka dari itu pentingnya puasa sebelum dilakukan induksi anestesi pada operasi elektif. Pedoman untuk praktek puasa untuk mengurai resiko aspirasi pulmonal :

REKOMENDASI PUASA UNTUK MENGURANGI RESIKO ASPIRASI PULMONAL (The American Society of Anesthesiologists tahun 1998) Jenis Minuman - Air putih* - ASI - Makanan bayi - Susu formula - Makanan berat Waktu Puasa Minimal (untuk semua umur) 2 jam 4 jam 6 jam 6 jam 6 jam

Dilakukan pada pasien sehat yang akan menjalani prosedur elektif dan tidak dianjurkan untuk wanita bersalin. Mengikuti pedoman tidak menjamin pengosongan gaster secara komplit. *Termasuk air putih, jus buah, bahan-bahan berkarbonasi, teh dan kopi hitam Obat-obatan yang digunakan untuk mengurangi volume cairan lambung dan meningkatkan PH lambung adalah tabel ... dan faktor-faktor yang dapat menghambat pengosongan lambung tabel ....
Table Drugs Used to Decrease Gastric Fluid Volume and Increase Gastric Fluid PH Anticholinergics (do not reliably increase gastric fluid pH at clinical doses and may relax the lower esophageal sphincter, making gastroesophageal reflux more likely) H-2 receptor antagonists (not 100% effective in increasing gastric fluid pH) o Cimetidine (inhibits mixed-function oxidase enzyme systems and decreases hepatic blood flow, which may prolong the elimination half-time of some drugs) o Ranitidine (more potent and longer lasting than cimetidine) o Famotidine (longest duration of action of all H-2 antagonists) Antacids (nonparticulate antacids recommended to decrease the risk of pulmonary reaction if antacid inhaled; in contrast to H-2 antagonist, there is no lag tome before gastric fluid pH is increased) Omeprazole (increases gastric fluid pH by blocking secretion of hydrogen ions by parietal cells)

Gastrokinetic agents o Metoclopramide (onset 30-60 minutes after oral administration and 3-5 minutes after i.v administration; gastric emptying effects may be offset by opioids, anticholinergics, or antacids)

Table Factors that May Delay Gastric Emptying Opioids Pregnancy Obesity Diabetes mellitus - Trauma - Pain - Anxiety

c.

Antiemetik mengalami mual muntah postoperasi adalah

Faktor resiko yang diprediksi

perempuan, riwayat motion sickness atau mual post operasi, tidak merokok, dan menggunakan opioid postoperasi. Bila didapatkan 2 atau lebih para peneliti mengusulkan pemberian antiemetik profilaktis saat menggunakan anestesi volatile, sebaiknya diberikan intravena pada sesaat sebelum operasi.selesai. Yang termasuk antiemetic adalah droperidol, metoklopramide, dan ondansetron,

d.

Antikolinergik

Antikolinergik secara luas digunakan saat anestesi inhalasi, diproduksinya sekret yang berlebihan oleh saluran nafas dan pada bahaya bradikardi intraoperatif. Indikasi khusus antikolinergik sebelum operasi tabel ... Walaupun juga memiliki efek sebagai vagolitik dan mengurangi sekresi cairan lambung, namun tidak disetujui penggunaannya pada preoperatif.

Table

Indication for Anticholinergics Antisialagogue effect (not necessary when regional anesthesia planned)

Sedation and amnesia (decrease doses in eldery patients; scopolamine most effective)

Vagolytic action (i.m administration not as effective as i.v injection just before the anticipated vagal stimulus)

Efek samping dari antikolinergik pada tabel ....


Table ...Side Effects of Anticholinergic Drugs Central nervous system toxicity (restlessness and confusion especially in eldery patients; unlikely with glycopyrrolate because it crosses the brain barrier minimally) Relaxation of the lower esophageal sphincter (may not be clinically significant) Mydriasis and cycloplegia (continue miotic eye drops in patients with glaucoma) Increased physiologic dead space Drying of airway secretions Interfence with sweating (an important consideration in febrile patient, especially children) Increased heart rate (unlikely afteri.m administration)

Yang termasuk antikolinergik adalah atropine, scopolamine, glycopyrrolate. Perbandingan efek antikolinergik pada tabel ...
Table ... Comparative Effects of Anticholinergics i.v Atropine Antisialagogue effect + Sedative and amnesic + effect Central nervous + ++ Scopolamine +++ +++ ++ ++ Glycopyrrolate ++ 0 0 ++

system toxicity Relazation of gastroesophageal sphincter Mydriasis cycloplegia and

++

Increase heart rate

+++

++

Dosis obat-obat persiapan farmakologis terdapat pada tabel ... :


Table ... Drug Diazepam Lorazepam Midazolam Drug Used for Pharmacologic Premedication Route of Administration Oral Oral, i.m Oral (children) i.m i.v Secobarbital or pentobarbital Morphine Meperidine Promethazine Diphenhydramine Cimetidine Ranitidine Famotidine Metoclopramide Atropine or scopolamine Glycopyrrolate Oral, i.m i.m i.m i.m Oral, i.m Oral, i.m, i.v Oral Oral Oral, i.m, i.v i.m, i.v i.m, i.v Adult dose (mg) 5-20 1-4 0,5 mg/kg 3-5 1-2.5 50-200 5-15 50-150 25-50 25-75 150-300 50-200 20-40 5-20 0,3-0,6 0,1-0,3

Antacids

Oral

10-30 ml

Anda mungkin juga menyukai