Anda di halaman 1dari 32

Nama NIM

: Azman Hakin Hassanuddin : 030.08.270

Judul Referat : PENATALAKSANAAN NYERI

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing Dr. Satriyo Y Sasono, SpAn pada : Hari Tanggal : :

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Anestesi Di Rumah Sakit Otorita Batam

Batam, Januari 2013

Dr. Satriyo Y Sasono, SpAn.

KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat, dan anugerahNya, maka referat yang berjudul Tatalaksana Nyeri ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Adapun tujuan penyusunan referat ini adalah dalam rangka memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik Ilmu Bedah RSOB Periode 17 Desember 16 Januari 2012. Pada kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada 1. Dr. Satriyo Y Sasono, SpAn dan Dr. Gusno Rekozar, Sp.An selaku pembimbing dalam pengkajian referat ini. 2. Para konsulen, dokter, paramedik, dan seluruh staf di SMF Anastesi, serta semua pihak yang turut serta membantu baik dalam penyusunan referat maupun membimbing serta menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam penyelesaian tugas ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulis menyadari dalam penyusunan referat ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan, oleh sebab itu kritik serta saran sangat diharapkan untuk perbaikan dalam penyusunan selanjutnya. Akhir kata semoga referat ini dapat berguna bagi semua pihak.

Batam, 26 Oktober 2012

Penulis

BAB I PENDAHULUAN
2

Nyeri merupakan bagian dari pengalaman hidup sehari hari. Nyeri mempunyai sifat yang unik, karena di satu sisi nyeri menimbulkan derita bagi yang bersangkutan, tetapi disisi lain nyeri juga menunjukkan suatu manfaat. Nyeri bukan hanya merupakan modalitas sensorik tetapi juga merupakan suatu pengalaman. Menurut The International Association for the Study of Pain (ISAP), nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan atau adanya suatu potensi rusaknya jaringan atau keadaan menggambarkan kerusakan jaringan tersebut. Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologik sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis). Nyeri akut merupakan sensible nyeri yang mempunyai manfaat. Adapun yang menjadi manfaat antara lain : manfaat berupa mekanisme proteksi, mekanisme defensive, dan membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit. Di lain pihak, nyeri tetap merupakan derita belaka bagi siapapun, dan semestinya ditanggulangi oleh karena menimbulkan perubahan biokimia, metabolism dan fungsi system organ. Bila tidak teratasi dengan baik, nyeri dapat mempengaruhi aspek psikologis meliputi kecemasan, takut, perubahan kepribadian dan prilaku, gangguan tidur dan gangguan kehidupan social. Sedangkan dari aspek fisik, nyeri dapat menimbulkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius, protofatik) atau yang tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik) misalnya sentuhan ringan, kehangatan, tekanan ringan. Nyeri dapat dirasakan/ terjadi secara akut, dapat pula dirasakan secara kronik oleh penderita, BAB II NYERI AKUT
3

2.1 Definisi nyeri The International Association for the Study of Pain (ISAP) mendefinisikan nyeri sebagai berikut ; nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan. Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif ( aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis). Sedangkan nyeri akut disebabkan oleh stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu penyakit atau akibat fungsi otot atau visceral yang terganggu. Nyeri tipe ini berkaitan dengan stress neuroendokrin yang sebanding dengan intensitasnya, nyeri akut akan disertai hiperaktifitas saraf otonom dan umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan. 2.2 Klasifikasi nyeri Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi : a. Nyeri somatic luar Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membrane mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, tajam dan terlokalisasi b. Nyeri somatic dalam Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat.

c. Nyeri visceral Nyeri karena perangsangan organ visceral atau membrane yang menutupinya (pleura parietalis, pericardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi nyeri visceral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih visceral dan nyeri alih parietal. Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis yaitu : Aksis I : region atau lokasi anatomi nyeri Aksis II : system organ primer ditubuh yang berhubungan dengan timbulnya nyeri Aksis III : karakteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri ( tunggal, regular, kontinyu) Aksis IV : awitan terjadinya nyeri Aksis V : etiologi nyeri Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi : a. Nyeri nociceptive Karena kerusakan jaringan baik somatic maupun visceral. Stimulasi nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik b. Nyeri neurogenik Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada system saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sesnsai yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau
5

adanya rasa tidak enak oada perabaan. Nyeri neurogenik dapat menyebabkan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian analgetik konvensional. c. Nyeri psikogenik Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang. Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi : a. Nyeri akut Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Myeri ini ditandai dengan adanya aktifitas saraf otonom seperti : takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan midriasis dan perubahan wajah : menyeringai atau menangis. Bentuk nyeri akut dapat berupa : 1. Nyeri somatic luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa 2. Nyeri somatic dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan ikat 3. Nyeri visceral : nyeri akibat disfungsi organ visceral b. Nyeri kronik Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda-tanda aktivitas otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan. Nyeri nini disebabkan oleh :
6

1. Kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf 2. Non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll

Berdasarkan kualitasnya nyeri dibagi menjadi : 1. Nyeri cepat (fast pain) Nyeri ini singkat dan tempatnya sesuai rangsang yang diberikan misalnya nyeri tusuk, nyeri pembedahan. Nyeri ini dihantar oleh serabut saraf kecil bermielin jenis A-delta dengan kecepatan konduksi 12-30 meter/detik. 2. Nyeri lambat (slow pain) Nyeri ini sulit dilokalisir dan tak ada hubungan dengan rangsang msialnya rasa terbakar, rasa berdenyut atau rasa ngilu, linu. Nyeri ini dihantar oleh serabut saraf primitif tak bermielin jenis C dengan kecepatan 0,5-2 meter/detik. Berdasarkan derajat nyeri dikelompokkan menjadi : a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari-hari dan menjelang tidur b. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang apabila penderita tidur c. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur dan sering terjaga akibat nyeri 2.3 Fisiologi dan Anatomi nyeri

Salah satu fungsi system saraf yang paling penting adalah menyampaikan informasi tentang ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri tersebut dinamakan nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus pada jaringan (nociceptors) kepada struktur sentral pada otak. System nyeri mempunyai beberapa komponen : a. Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada system saraf perifer, mendeteksi dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious. (orde 1) b. Saraf aferen primer ( saraf A-delta dan C ) mentransmisikan stimulus noxious ke CNS c. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara serat aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara local eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus descendes inhibitor dari otak d. Traktus ascending nociceptic ( antara lain traktus spinothalamikus lateralis dan ventralis ) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus. (orde 2) e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay sensibilitas ke korteks cerebralis pada gyrus post sentralis (orde 3)

f. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif nyeri, ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris (termasuk withdrawal respon) g. System inhibitor descenden mengubah impuls nociceptic yang datang pada level medulla spinalis 2.4 Patofisiologi nyeri Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan
9

nyeri akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain, seperti metabolit eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik.Nyeri ini dapat berlangsung berjam-jam sampai berhari-hari.

Zat Kalium Serotonin Bradikinin Histamine Prostaglandin Leukotrien Substansi P

Sumber Sel rusak Trombosit Kininogen plasma Sel mast Asam arakhidonat dan sel rusak Asam arakhidonat dan sel rusak Aferan primer

Menimbulkan nyeri ++ ++ +++ +

Efek pada aferen primer Aktivasi Aktivasi Aktivasi Aktivasi Sensitisasi Sensitisasi Sensitisasi

Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu :
1. Transduksi

Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat zat algesik seperti prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamine, asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat aferen A delta dan C. reseptorreseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf aferen A delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifer ke sentral
10

ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri. 2. Transmisi Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A delta dan C serabut yang menyusul proses transduksi. Oleh serat aferen A delta dan C impuls nyeri diteruskan ke sentral yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornu dorsalis. Serat aferen A delta dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A delta mempunyai diameter lebih besar disbanding dengan serat C. serat A delta menghantarkan impuls lebih cepat (1230m/detik) disbanding dengan serat C (0,5-2 m/detik). Sel-sel neuron di medulla spinalis kornu dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. 3. Modulasi Merupakan interaksi antara system analgesic endogen dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus spinothalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan system inhibisi, baik system inhibisi endogen maupun system inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. 4. Persepsi

11

Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan sensible nyeri.

Gambar 2 : Proses perjalanan nyeri 2.5 Pengukuran intensitas nyeri Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis, kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan masalah yang relative sulit. Ada beberapa metoda yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara lain : 1. Verbal Rating Scale (VRS)

12

Metoda ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metoda ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu : Tidak nyeri (none) Nyeri ringan (mild) Nyeri sedang (moderate) Nyeri berat (severe) Nyeri sangat berat (very severe)

2. Numerical Rating Scale (NRS) Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari angka 0-10. 0 menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan 10 menggambarkan nyeri yang hebat.

13

3. Visual Analogue Scale (VAS) Metoda ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metoda ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metoda ini adalah sensitive untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya dalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.

2.6 Diagnostik nyeri Nyeri merupakan suatu keluhan (symptom). Berkenaan dengan hal ini diagnostic nyeri sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri. Langkah ini meliputi langkah anamnesa, pemeriksaan fisik pemeriksaan laboratorium dan kalau perlu pemeriksaan radiologi serta pemeriksaan imaging dan lain-lain. Dengan demikian diagnostic terutama ditujukan untuk mencari penyebab. Dengan

14

menanggulangi penyebab, keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pemeriksaan laboratorium spesifik untuk menegakkan diagnose nyeri tidak ada. Pemeriksaan terhadap nyeri harus dilakukan dengan seksama yang dilakukan sebelum pengobatan dimulai, secara teratur setelah pengobatan dimulai, setiap saat bila ada laporan nyeri baru dan setelah interval terapi 15-30 menit setelah pemberian parenteral dan 1 jam sete;ah pemberian peroral. a. Anamnesis yang teliti Dalam melakukan anamnesis terhadap nyeri kita harus mengetahui bagaimana kualitas nyeri yang diderita meliputi awitan, lama, dan variasi yang ditimbulkan untuk mengetahui penyebab nyeri. Selain itu, kita juga harus mengetahui lokasi dari nyeri yang diderita apakah diraskan diseluruh tubuh atau hanya pada bagian tubuh tertentu. Intensitas nyeri juga penting ditanyakan untuk menetapkan derajat nyeri. Tanyakan pula keadaan yang memperberat atau memperingan nyeri. Tanyakan pula tentang penyakit sebelumnya, pengobatan yang pernah dijalani dan alergi obat. b. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan patofisiologi nyeri. Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan untuk mendapatkan hubungannya dengan intensitas nyeri karena nyeri menyebabkan stimulus simpatik seperti takikardia, hiperventilasi dan hipertensi. Pemeriksaan Glassgow Coma Scale rutin dilaksanakan untuk mengetahui apakah ada proses patologi di intracranial.

15

Pemeriksaan khusus neurologi seperti adanya gangguan sensorik sangat penting dilakukan dan yang perlu diperhatikan adalah adanya hipoastesia, hiperastesia, hiperpatia dan alodinia pada daerah nyeri yang penting

menggambarkan kemungkinan nyeri neurogenik. c. Pemeriksaan psikologis Mengingat factor kejiwaan sangat berperan penting dalam manifestasi nyeri yang subjektif, maka pemeriksaan psikologis juga merupakan bagian yang harus dilakukan dengan seksama agar dapat menguraikan factor-faktir kejiwaan yang menyertai. Test yang biasanya digunakan untuk menilai psikologis pasien berupa the Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI). d. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui penyebab dari nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium dan imaging seperti foto polos CT scan, MRI atau bone scan.

BAB III
16

PENATALAKSANAAN NYERI AKUT 3.1 Terapi Multimodal

Nyeri akut sering dikelola dengan tidak memadai. Ini tidak seharusnya demikian, control nyeri sering bias diperbaiki dengan strategi sederhana, yaitu nilai nyeri, atasi dengan obat dan teknik yang sudah ada, nilai kembali nyeri setelah terapi dan bersiap untuk memodifikasi pengobatan jika perlu. Analgesia yang baik mengurangi komplikasi pasca bedah seperti infeksi paru, mual dan muntah, DVT dan ileus. Penyebabnya biasanya lebih mudah dapat ditentukan, sehingga penanggulangannya biasanya lebih mudah pula. Nyeri akut ini akan mereda dan hilang dengan laju proses penyembuhan jaringan yang sakit. Semua obat analgetika efektif untuk menanggulangi nyeri akut ini. Diagnose penyebab nyeri akut harus ditegakkan lebih dahulu. Bersamaan dengan usaha mengatasi penyebab nyeri akut, keluhan nyeri penderita juga diatasi. Intinya, diagnose penyebab ditegakkan, usaha mengatasi nyeri sejalan dengan usaha mengatasi penyebabnya. Setelah diagnose ditetapkan, perencanaan pengobatan harus disusun. Untuk itu berbagai modalitas pengobatan nyeri yang beraneka ragam dapat digolongkan sebagai berikut : a. Modalitas fisik Latihan fisik, pijatan, vibrasi, stimulasi kutan (TENS), tusuk jarum, perbaikan posisi, imobilisasi, dan mengubah pola hidup. b. Modalitas kognitif-behavioral Relaksasi, distraksi kognitif, mendidik pasien, dan pendekatan spiritual
17

c. Modalitas invasive Pendekatan radioterapi, pembedahan, dan tindakan blok syaraf d. Modalitas psikoterapi Dilakukan secara terstruktur dan terencana, khususnya bagi mereka yang mengalami depresi dan berpikir kea rah bunuh diri e. Modalitas farmakoterapi Mengikuti WHO Three-Step Analgesic Ladder 3.2 Farmakoterapi Nyeri Semua obat yang mempunyai efek analgetika biasanya efektif untuk mengatasi nyeri akut. Hal ini dimungkinkan karena nyeri akut akan mereda atau hilang Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar strategi farmakologi mengikuti WHO Three Step Analgesic Ladder yaitu : 1. Tahap pertama dengan menggunakan obat anlgetik non opiate seperti NSAID atau COX2 specific inhibitors. 2. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiate secara intermitten. 3. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiate yang lebih kuat. Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri pada proses transduksi dapat diberikan anestetik local dan atau obat anti radang non steroid, pada transmisi impuls saraf dapat
18

diberikan

obat-

obatan modulasi

anestetik

local, pada proses diberikan anestetik local,

kombinasi narkotik, dan atau persepsi diberikan

klonidin dan pada anestetik umum, narkotik, atau parasetamol

Gambar 2 : Tangga dosis obat analgetik Dari gambar tangga dosis di atas, dapat disimpulkan bahwa terapi inisial dilakukan pada dosis yang lebih tinggi, dan kemudian diturunkan pelan-pelan hingga sesuai dosis analgesia yang tepat.

19

Pada dasarnya ada 3 kelompok obat yang mempunyai efek analgetika yang dapat digunakan untuk menanggulangi nyeri akut. 1. Obat analgetika nonnarkotika Termasuk disini adalah obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) Obat antiinflamasi nonsteroid bekerja dengan cara mencegah kerja enzim siklooksigenase untuk mensintesa prostaglandin. Prostaglandin yang sudah terbentuk tidak terpengaruh oleh obat ini. Obat ini efektif untuk mengatasi nyeri akut dengan intensitas ringan sampai sedang. Obat ini tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara oral (tablet, kapsul, sirup) dalam kemasan suntik. Kemasan suntik dapat diberikan secara intramuskuler dan intravena. Pemberian intravena dapat secara bolus atau infuse. Obat ini juga tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara suppositoria. Memiliki potensi analgesic sedang dan merupakan anti-radang. Efektif untuk bedah mulut dan bedah ortopedi minor. Mengurangi kebutuhan akan opioid

20

setelah bedah mayor. Obat-obat AINS memiliki mekanisme kerja sama, jadi jangan kombinasi dua obat AINS yang berbeda pada waktu bersamaan. Diketahui meningkatkan waktu perdarahan, dan bias menambah kehilangan darah.

Bias diberikan dengan banyak cara : oral, im, iv, rectal, topical. Pemberian oral lebih disukai jika ada. Diklofenak iv harus dihindari karena nyeri dan bias menimbulkan abses steril pada tempat suntikan.

ANALGETIKA NON OPIOID (NSAID)

Pirazolon

As. Karboksilat

Oksikam

Dipiron

Piroksikam

Salisilat

As. propionat

As. asetat

As. antranilat

As. Asetil salisilat, Dflunisal

Ibuprofen, Naproksen, Ketoprofen

As. Mefenamat, Floktafenin

As. indolasetat

As. pirolasetat

As. fenilasetat

Indometasin

Ketorolac

Diklofenak

Kontraindikasi AINS Riwayat tukak peptic


21

Insufisiensi ginjal atau oliguria Hiperkalemia Transplantasi ginjal Antikoagulasi atau koagulopati lain Disfungsi hati berat Dehidrasi atau hipovolemia Terapi dengan furosemide Riwayat eksaserbasi asam dengan AINS

Gunakan AINS dengan hati-hati (risiko kemunduran fungsi ginjal) pada : a. Pasien > 65 tahun b. Penderita diabetes yang mungkin mengidap nefropati dan/atau penyakit pembuluh darah ginjal c. Pasien dengan penyakit pembuluh darah generalisata d. Penyakit jantung, penyakit hepatobilier, bedah vascular mayor e. Pasien yang mendapat penghambat ACE, diuretic hemat-kalium, penyekat beta, cyclosporine atau methotrexsat f. Elektrolit dan creatinin harus diukur teratur dan setiap kemunduran fungsi ginjal atau gejala lambung adalah indikasi untuk menghentikan AINS. Ibuprofen aman dan murah. Obat-obat kerja lama (missal piroxicam) cenderung memiliki efek samping lebih banyak. Penghambat spesifik dari
22

siklo-oksigenase 2 (COX-2) missal meloxicam mungkin lebih aman karena efeknya minimal terhadap system COX gastrointestinal dan ginjal. 2. Obat analgetika narkotik Obat ini bekerja dengan mengaktifkan reseptor opioid yang banyak terdapat didaerah susunan saraf pusat. Obat ini terutama untuk menanggulangi nyeri akut dengan intensitas berat. Terdapat 5 macam reseptor opioid : Mu, Delta, Kappa, Sigma, Epsilon. Obat analgetika narkotika yang digunakan dapat berupa preparat alkaloidnya atau preparat sintetiknya. Penggunaan obat ini dapat menimbulkan efek depresi pusat nafas bila dosis yang diberikan relative tinggi. Efek samping yang tidak tergantung dosis, yang juga dapat terjadi adalah mual sampai muntah serta pruritus. Pemakaian untuk waktu yang relative lama dapat diikuti oleh efek toleransi dan ketergantungan. Obat ini umumnya tersedia dalam kemasan untuk pemberian secara suntik, baik intramuskuler maupun intravena. Pemberian intravena dapat secara bolus atau infuse. Dapat diberikan secara epidural atau intratekal, baik bolus maupun infuse (epidural infuse). Preparat opioid fentanyl juga tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara intranasal atau dengan patch dikulit. Sudah tersedia dalam bentuk tablet (morfin tablet). Juga tersedia dalam kemasan suppositoria. Penggunaan obat narkotik ini harus disertai dengan pencatatan yang detail dan ketat, serta harus ada pelaporan yang rinci tentang penggunaan obat ini ke instansi pengawas penggunaan obat-obat narkotika.
23

Opioid Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgetika narkotika yang sering digunakan dalam anestesi untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan. Malahan kadang-kadang digunakan untuk anesthesia narkotik total pada pembedahan jantung. Opium ialah getah candu. Opiate ialah obat yang dibuat dari opium. Narkotik ialah istilah tidak spesifik untuk semua obat yang dapat menyebabkan tidur. Mekanisme kerja Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas di seluruh jaringan system saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di system limbic, thalamus, hipotalamus, korpus striatum, system aktivasi reticular dan di korda spinalis yaitu di substansia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek. Reseptor opioid diidentifikasikan menjadi 5 golongan : Reseptor (mu) : - 1, analgesia supraspinal, sedasi - 2, analgesia spinal, depresi nafas, eforia, ketergantungan fisik, kekakuan otot Reseptor ( delta) Reseptor ( kappa) : analgesia spinal, epileptogen : 1 analgesia spinal 2 tak diketahui
24

3 analgesia supraspinal Reseptor ( sigma ) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung Reseptor ( epsilon) : respons hormonal Pada system supraspinal, tempat kerja opioid ialah di reseptor substansia grisea, yaitu di periakuaduktus dan periventrikular. Sedangkan pada system spinal tempat kerjanya di substansia gelatinosa korda spinalis. Morfin (agonis) terutama bekerja di reseptor dan sisanya di reseptor . Opioid digolongkan menjadi : 1. Agonis Mengaktifkan reseptor. Contoh : morfin, papaveretum, petidin (meperidin, Demerol), fentanil, alfentanil, sulfentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin. 2. Antagonis Tidak mengaktifkan reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor Contoh : naloxon, naltrekson 3. Agonis-antagonis Pentasosin, nalbufin, butarfanol, buprenorfin Klasifikasi opioid

25

Dalam klinik opioid digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin), tetapi penggolongan ini kurang popular. Penggolongan lain menjadi natural ( morfin, kodein, papaverin, dan tebain), semisintetik ( heroin, dihidromorfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik ( petidin, fentanyl, alfentanil, sufentanil, dan remifentanil). Morfin Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan lebih menguntungkan dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesianya cukup panjang (long acting). Terhadap system saraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesi, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual-muntah, hiperaktif reflex spinal, konvulsi dan sekresi hormone antidiuretik (ADH). Sirkulasi darah otak sebenarnya secara langsung tak terganggu, tetapi kalau terjadi depresi napas dan hiperkapnia baru terjadi peningkatan aliran darah otak dan peningkatan tekanan intracranial. Terhadap system jantung-sirkulasi dosis besar merangsang vagus dan berakibat bradikardi, walaupun tidak mendepresi miokardium. Dosis terapetik pada dewasa sehat normal tidur terlentang hamper tidak mengganggu system jantung-sirkulasi. Morfin menyebabkan hipotensi ortostatik. Terhadap system respirasi harus hati-hati, karena morfin dapat melepaskan histaminm sehingga menyebabkan konstriksi bronkus. Oleh sebab itudiindikasi-kontrakan pada kasus asma dan bronchitis kronis.

26

Terhadap system saluran cerna morfin menyebabkan kejang otot usus, sehingga terjadi konstipasi. Kejang sfingter Oddi pada empedu menyebabkan kolik, sehingga tidak dianjurkan digunakan pada gangguan empedu. Kolik empedu menyerupai serangan jantung, sehingga untuk membedakannya diberikan antagonis opioid. Terhadap system ekskresi ginjal, morfin dapat menyebabkan kejang sfingter buli-buli yang berakibat retensio urin. Adiksi dan toleransi Toleransi morfin ditandai oleh peningkatan dosis pada penggunaan obat secara berulang untuk mendapatkan efek klinis yang sama seperti sebelumnya. Toleransi morfin hanya pada efek depresinya san tidak pada efek stimulasinya. Toleransi ini dapat kembali normal setelah pasien puasa morfin selama 1-2 minggu. Adiksi morfin ialah keadaan ketergantungan fisik dan psikik yang ditandai oleh sindroma menarik diri (withdrawal syndrome) yang terdiri dari ketakitan, kegelisahan, lakrimasi, rinorea, berkeringat, mual-muntah, diare, menguap terus menerus, bulu roma berdiri, midriasis, hipertensi, takikardi, kejang perut dan nyeri otot. Efek samping Jarang dijumpai alergi morfin. Gejala seperti alergi kadang ditemukan di tempat suntikan berupa bentolan kecil dan gatal. Mual dan muntah sering dijumpai. Pruritus sering dijumpai pada pemberian morfin secara epidural atau intratekal, tetapi pruritus ini dapat segera dihilangkan dengan nalokson, tanpa menghilangkan efek analgesinya. Ambilan, distribusi dan eliminasi

27

Morfin dapat diberikan secara subkutan, intramuscular,intravena, epidural atau intratekal. Absorpsi dosis paruh waktu kira-kira 30 menit setelah suntikan subkutan dan 8 menit setelah intramuscular. Sepertiga morfin yang diabsorpsi akan berikatan dengan albumin plasma. Sebagian besar morfin akan dikonjugasikan dengan asam glukuronat di hepar dan metabolitnya akan dikeluarkan oleh urin 90% dan feses 10%.

Penggunaan dalam anesthesia dan analgesia Morfin masih popular sampai sekarang. Pada premedikasi sering dikombinasikan dengan atropine dan fenotiasin (largaktil). Pada pemeliharaan anesthesia umum di kamar bedah sering digunakan sebagai tambahan analgesia dan diberikan secara intravena. Untuk digunakan sebagai obat utama anesthesia harus ditambahkan benzodiazepine atau fenotiasin atau anestetik inhalasi volatile dosis rendah. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang ialah 0,1-0,2 mg/kg BB subkutan, intramuscular, dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yang diperlukan. Untuk mengurangi nyeri dewasa pasca bedah atau nyeri persalinan digunakan dosis 24 mg epidural atau 0,05-0,2 mg intratekal. Dan dapat diulang antara 6-12 jam. Petidin Petidin (meperidin, Demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Perbedaan dengan morfin sebagai berikut :
28

1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih larut dalam air 2. Metabolism oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan nomeperidin, asam meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperodon ialah metabolit yang masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin. 3. Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan takikardia. 4. Seperti morfin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter Oddi lebih ringan
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tak ada

hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasalama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin. Dosis petidin intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang tiap 3- 4 jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan karena iritasi. Rumus bangun menyerupai lidokain sehingga dapat digunakan untuk analgesia spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kg BB. Fentanyl Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin. Lebih larut dalam lemak disbanding petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hamper sama dengan morfin,

29

tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama melewatinya. Dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Efek depresi nafasnya lebih lama disbanding efek analgesinya. Dosis 103 g/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anesthesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 g/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia dan pemeliharaan anesthesia dengan kombinasi benzodiazepine dan anesthesia inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Efek tak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besr dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, rnin, aldosteron dan kortisol. Sulfentanil Sifat sulfentanil kira-kira sama dengan fentanil. Kekuatan analgesinya kira-kira 5 -10 kali fentanil. Dosisnya 0,1-0,3 mg/kgBB. Alfentanil Kekuatan analgesinya 1/5 1/3 fentanil. Insiden mual-muntahnya sangat besar. Mula kerjanya cepat. Dosis analgesi 10-20 g/kgBB. Tramadol Tramadol (tramal) adalah anlgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu dan kelemahan analgesinya 10-20% dibanding morfin. Tramadol dapat diberikan secara oral, im atau iv dengan dosis 50-100 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 400 mg per hari.

30

BAB IV KESIMPULAN Nyeri adalah keluhan yang paling sering membuat pasien datang ke dokter. Hal ini hampir selalu merupakan manifestasi dan tanda dari sebuah proses patologis atau penyakit dalam tubuh. Nyeri dapat menggambarkan suatu fungsi biologis yang sedang terjadi. Tujuan dari tatalaksana nyeri adalah untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien dengan efek samping seminimal mungkin. Walaupun demikian, segala rencana terapi harus di dasarkan oleh proses yang mendasarinya. Tatalaksana nyeri pascaoperasi haruslah dapat dicapai dengan baik. Tatalaksana nyeri yang baik tidak hanya berpengaruh terhadap penyembuhan yang lebih baik tetapi juga pemulangan pasien dari perawatan yang lebih cepat. Dalam menangani nyeri pascaoperasi, dapat digunakan obatobatan seperti opioid, OAINS, dan anestesi lokal. Obat-obatan ini dapat dikombinasi untuk mencapai hasil yang lebih baik. Penggunaan Patient Controlled Analgesia dirasakan sebagai metode yang paling efektif dan menguntungkan dalam menangani nyeri pascaoperasi meskipun dengan tidak lupa mempertimbangkan faktor ketersediaan dan keadaan ekonomi pasien, karena kebutuhan masing-masing individu adalah berbeda.

31

DAFTAR PUSTAKA
1. Charlton ed. The managemnt of post operative pain. Accesed on 25th September

2012. Available on : http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_004.htm


2. Davidson,J.K.,Eckhardt III William F., Perese Deniz A.,

Clinical anesthesia

Procedures of the Massachusetts General Hospital. 4 th edition. Boston, Little, Brown and Company, 1993: 582-588
3. G. Edward Morgan, dkk., Clinical Anesthesiology, London,McGraw-Hill,2006 : 359

4. Latief said A., Suryadi kartini A., Daehlan M. Ruswan, Petunjuk praktis anestesiologi.

2nd edition, Bagian anestesiologi dan terapi intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002.
5. Vadebouncer Timothy R, Management of Post Operative Pain in Introduction to

Anasthesia, W.B. SAUNDERS COMPANY, 1989.

32

Anda mungkin juga menyukai