Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dewasa ini bahan bakar fosil atau biasa disebut bahan bakar minyak (BBM) masih menjadi sumber utama energi bagi seluruh manusia. Kenyataannya BBM adalah sumber energi yang tidak dapat diperbaharui sehingga keberadaannya akan semakin menipis seiring dengan berjalannya waktu. Oleh karena itu perlu diadakan sumber energi baru dan terbarukan yang berbasis bahan-bahan alternatif seperti biomassa, limbah sampah dan sebagainya. . Untuk mengatasi permasalahan di atas pemerintah melalui Dewan Riset Nasional mulai memetakan jenis sumber EBT yang akan dikembangkan yaitu biodiesel, bioetanol, dan bio-oil (Dewan Riset Nasional, 2006). Biodesel sebagai bahan bakar alternatif merupakan bahan bakar mesin diesel yang dapat dibuat dari minyak yang dapat diperbaharui seperti minyak nabati atau hewani. Salah satu keunggulan menggunakan minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel adalah produk tersebut tidak mengandung belerang dan mengandung 11% oksigen, sehingga jika biodiesel ini digunakan untuk transportasi, polusi yang ada akan mengurangi karbon monoksida dan debu. Namun dalam pembuatan biodiesel dari minyak nabati dengan alkohol akan diperoleh hasil samping berupa gliserol. Jika pembuatan

biodiesel meningkat, maka secara berbanding lurus hasil samping gliserol juga akan meningkat. Ini dapat menjadi kendala yang cukup berarti jika tidak ditanggulangi dengan cermat. Untuk itu usaha pengolahan gliserol menjadi produk lain harus dilakukan agar nilai ekonomis dari gliserol lebih meningkat. 1.2. Rumusan Masalah Pada saat ini penelitian tentang biodiesel semakin berkembang pesat, sebagai salah satu upaya pemerintah dalam mencari energi terbarukan, namun dalam pembuatan biodiesel ini akan di peroleh produk samping berupa gliserol, maka jika pembuatan biodiesel meningkat produksi hasil gliserol juga pun akan meningkat, namun upaya untuk meningkatkan nilai ekonomi gliserol belum gencar dilakukan, oleh karena itu di perlukan suatu usaha untk mencari cara untuk mengubah dan meningkatkan nilai ekonomi gliserol menjadi senyawa lain yang lebih berguna Katalis terbagi menjadi dua yaitu katalis padat dan cair, katalis cair memiliki kelebihan dalam menghasilkan konversi yang besar. Namun kekuranganya adalah dalam pengolahan limbah yang sulit dalam proses pemisahanya. Sedangkan untuk katalis padat memiliki kelebihan dalam proses pengolahan limbahnya, mudah untuk di pisahkan namun kelemahanya kerja katalisator padat tidak sebaik dari katalisator cair hal ini terkait dengan faktor dari kemampuan penukaran ion dan sisi aktif dari katalisator. Sehingga

permasalahannya adalah bagaimana memaksimalkan kemampuan penukaran ion dan sisi aktif yang dimiliki katalisator padat

tersebut agar unjuk kerja dari katalisator tersebut maksimal. 1.3. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui nilai konversi gliserol menjadi gliserol karbonat dengan menggunakan katalis padat indion 225 na dengan menggunakan berbagai variasi yang di berikan

1.4. Ruang Lingkup 1. Bahan baku yang dipakai dalam penelitian ini adalah gliserol

teknis , Natrium Hidrogen Karbonat dan pelarut air aquades. 2. Reaksi dilakukan dalam reaktor berpengaduk merkuri dengan sistem batch pada fasa liquid 3. Katalis yang digunakan adalah katalisator resin penukar ion Indion 225 Na

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gliserol Gliserol adalah rantai alkohol trihidrik dengan susunan molekul C3H8O Yang sangat bermanfaat dalam bidang kimia organic. Nama gliserol di artikan sebagai bahan kimia murni , namun dalam dunia perdagangan di kenal dengan nama glycerin. Dalam kondisi yang murni gliserol tidak

berbau , tidak berwarna, berbentuk cairan kental dengan rasa manis. Glserol bersifat larutsempurna dalam air dan alcohol. Dapat terlarut dalam pelarut tertentu(misalnya eter,etil asetat,dan dioxane) namun bersifat tidak larut dalam hidrokarbon. Gliserol di dapatkan dengan cara sintesis maupun di peroleh dari hasil samping pembuatan sabun dan produksi oleokimia yang menggunakan lemakdan minyak alami sebagai bahan bakunya. Teori kimia menyatakan bahwa dalam satu molekul lemak terkandung gliserol dan tiga asam lemak, dan pada umumnya lemak mengandung kurang lebih 11% gliserol di dalamnya. Ada dua prosedur dalam memproduksi gliserol dari lemak yaitu melalui metode saponifikasi dan

transesterifikasi (Tovbin dkk 1976). Akhir kedua proses tersebut akan menghasikan senyawa gliserol mentah yang masih banyak mengandung bahan pengotor seperti sisa katalis dan asam lemak bebas. Adapun reaksinya

Gambar 2.1 Reaksi Pembuatan Gliserol

. Gliserol sangat bermanfaat dalam dunia industry contoh sebagai zat tambahan (aditif) dalam produk-produk rumah tangga dan kecantikan semacam sabun,shampoo, kosmetik bahkan sebagai bahan baku peledak.

2.2 Natrium hidrogen karbonat Natrium bikarbonat atau hidrogen karbonat atau asam karbonat dengan rumus kimia NaHCO3, adalah bahan kimia berbentuk kristal putih yang larut dalam air, yang banyak dipergunakan di dalam industri makanan/biskuit (sebagai baking powder), pengolahan kulit, farmasi, tekstil, kosmetika, pembuatan pasta gigi, pembuatan permen (candy) dan industri pembuatan batik. Pada skala industri, natrium bikarbonat dapat

diproduksi melalui reaksi antara natrium karbonat, air dan gas karbon dioksida:

Na2CO3 + H2O + CO2 --> 2NaHCO3 Selain itu, natrium bikarbonat dapat pula dihasilkan dari reaksi antara natrium klorida (NaCl), ammonia (NH3) dan karbon dioksida (CO2).

2.3 Katalis Untuk mempercepat suatu reaksi kimia banyak peneliti

mengunakan katalisator, harapannya dengan waktu yang singkat mampu menghasilkan produk yang lebih banyak. Pada dasarnya katalisator

dibagi menjadi dua yaitu katalisator cair dan padat. Untuk katalisator cair yang sering digunakan diantaranya adalah HCL, H2SO4, dan NaOH, sementara untuk katalisator padat diantaranya resin penukar ion na 225, CaO, dan MgO. Masing-masing katalisator mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing. Untuk katalisator cair ditinjau dari hasil konversi reaksi mampu mengkonversi pereaksi menjadi produk lebih besar dibanding katalisator padat, hal tersebut karena katalisator cair

merupakan gugus yang aktif sehingga kemampuan penukaran ion dari katalisator cair sangat besar. Dengan demikian dimungkinkan hasil konversi yang dihasilkan dari reaksi juga besar. tetapi katalisator cair mempunyai kelemahan pada unit pemisahan dan beban pengolahan limbah sangat besar. Sementara katalisator padat mempunyai kelebihan diantarannya mudah dalam perlakukaanya, dapat diregenerasi jika sudah jenuh, mudah dalam pemisahan hasil , dan beban pada pengolahan limbah sangat kecil ( Nuryoto, 2008). Tetapi kelemahan katalisator padat kemampuan penukaran ion dan sisi aktifnya terbatas. Hal ini menyangkut permukaan aktif, dan diameter katalis yang kecil. Ketika diaduk dengan kecepatan tertentu justru katalisator ikut aliran pengadukan dan jika dilakukan secara kontinyu pressure drop cukup besar , sehingga proses difusi terganggu yang berujung pada konversi yang kecil. 2.3.1 Resin Penukar Ion Resin penukar ion merupakan katalisator murah dan mudah dalam perlakuannya. Sebelum digunakan resin sebaiknya dicuci dengan air suling sampai tidak berwarna, tujuannya untuk menghilangkan

impurities, kemudian dikeringkan dalam pengering selama 2 hari dengan suhu 353.15 K pada kondisi vakum ( Bozek dkk 2006). Sedangkan Popken dkk (2000) melakukan pada suhu 90 C selama 2 hari pada kondisi vakum, jika dilakukan diatas 90 C akan menghilangkan sulfonic acid dalam bentuk SO3. Banyak jenis resin yang dapat digunakan sebagai katalisator misalnya amberlyst, purolite, dan indion. Pada penelitian ini menggunakan indion 225 Na. Indion 225 Na adalah resin penukar kation (bersifat asam) yang berbentuk manic-manik dengan dengan kapasitas yang tinggi. Hal ini berdasarkan pada susunan molekul polistiren yang saling menyilang dan memiliki strukur berupa jel. Bentuk standar ion dari resin ini adalah Na. Dalam aplikasinya Indion Na 225 digunakan secara luas dalam bentuk natrium untuk proses penjernihan air. Resin itu juga dapat

digunakan dalam two-stages de ionisasi sebagai penukar kation dalam siklus hydrogen.Adapun karakteristik indion na 225 dapat di lihat di grafik bawah ini
Tabel 2.1 Karakteristik Resin penukar ion Indion 225 Na

Karakteristik Indion 225 Na

10

Bentuk gugus fungsional Bentuk Standar Ion kapasitas penukaran total kemampuan menahan kelembapan Tipe matrix Range Ukuran Partikel bekerja pada Ph temperatur maksimum operasi

Manik-manik emas kekuning-kuningan Asam Sulfonat (-SO3) Na + 2 mek/ml 43 - 50 % stiren divinilbenzene kopolimer (0.3-1.2) mm 0-14 120 C

2.4 Gliserol Karbonat Gliserol karbonat (4-hydroxymethyl-1,3-dioxolan-2-one)

merupakan senyawa dwifungsi yang di dalamnya terdapat sebuah gugus karbonat siklik dan sebuah gugus hidroksi nucleophilic, senyawa ini masih terbilang baru dalam dunia industri kimia, namun mampu menawarkan sejumlah potensi yang menarik untuk di kembangkan,

karena senyawa turunan gliserol ini memiliki kegunaan yang cukup beragam mulai dari elastomer, surfaktan, perekat, tinta, cat, pelumas,dan

11

elektrolit. Senyawa ini juga merupakan zat antara (intermediet) penting Dari polikarbonat, polyester, poliuretan, dan poliamide Lembaga penelitian INRA di Toulouse, peranis telah

mengembangkan penggunaan gliserol karbonat sebagai biolubricant yang tahan terhadap oksidasi, hidrolisis, dan tekanan. Selain itu sintesa senyawa gliserol karbonat menjadi senyawa turunannya yaitu gliserol karbonat estertelah di teliti memiliki satbilitas termal dan oksidasi yang baik , senyawa tersebut mampu meningkatkan kemampuan surfaktan terhadap pengurangan tegangan antar muka minyak. 2.4.1 Reaksi pembuatan gliserol karbonat Untuk menaikkan status ekonomi dan fungsi gliserol sekaligus mengurangi kelebihan produksi, konversi menjadi akrolein, propilen glikol, 1,3-propanediol, asam gliserik, maupun gliserol karbonat adalah sekian cara yang telah dikembangkan. Khususnya gliserol karbonat (hydroxymethyl dioxolanone), senyawa turunan gliserol ini paling menarik perhatian karena memiliki kegunaan yang cukup beragam mulai dari elastomer, surfaktan, perekat, tinta, cat, pelumas, and elektrolit.

12

Senyawa ini juga merupakan zat antara (intermediet) penting dari polikarbonat, poliester, poliuretan, dan poliamide. Sampai saat ini gliserol karbonat dibuat melalui reaksi gliserol dengan fosgen. Fosgen merupakan zat yang sangat beracun dan korosif sehingga proses ini sangat jauh dari konsep kimia hijau. Oleh karena itu dipikirkan cara yang lebih hijau yaitu reaksi transesterifikasi gliserol dengan dialkil karbonat atau etilen karbonat menggunakan katalis basa, misalnya NaOH atau Na2CO3. Penelitian terkini banyak memusatkan perhatian pada optimasi sistem katalis yang semula berupa katalis basa homogen (larut bersama pereaksi) beralih menjadi katalis basa heterogen (tidak larut) dengan alasan kenyamanan proses pemisahan dan pendaurulangan.

Gambar 2.2 Mekanisme Reaksi Pembentukan Gliserol Karbonat

13

Upaya untuk mengembangkan proses yang lebih hijau juga dilakukan misalnya pada sintesa gliserol karbonat mulai dengan bahan baku gliserol, dan gas CO2 dikatalisis kompleks timah . Rute satu tahap ini (bandingkan dengan transesterfikasi yang melibatkan proses penyiapan dialkil karbonat terlebih dahulu) walau tampak sangat menjanjikan tapi masih memerlukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan katalis yang awet dan kondisi reaksi terbaik.

2.5 Penelitian yang pernah di lakukan Sudah banyak penelitian yang telah di lakukan untuk

mensintesa gliserol menjadi gliserol karbonat diantaranya (Laszlo Seeman dkk, 2011) mengolah gliserol karbonat dari gliserol dengan urea, temperature yang di gunakan 140 C dengan tekanan rendah, variasi katalis yang di gunakan ZnCl2, MgCl2, ZnNO3.6H2O, CaCl2.2H2O dan alumina yield terbesar yang di dapatkan (75.1 63.4 72.2) untuk katalis ZnCl2, ZnNO3, Mg Cl2. (Takagaki dkk. 2010) yang meneliti pembuatan gliserol karbonat dari gliserol dan dialkilkarbonat dengan katalis padat hidrotalsit. Penelitian dilakukan pada suhu 100oC, waktu reaksi 1 jam,

14

perbandingan pereaksi antara gliserol dan dimetilkarbonat masingmasing 2 mmol dan 10 mmol, variasi tipe pelarut yaitu dimetilformamid, dimetillasetamid dimetil sulfosid, dan asetonitril masing-masing 5 ml, dan katalisator 0,1 gram. Hasil penelitian menunjukan konversi tertinggi diperoleh dengan menggunakan pelarut dimetilformamid yaitu sebesar 75 % dan yield gliserol karbonat sebesar 75 %. ( Vievile dkk., 1998) juga telah melakukan penelitian tentang gliserol karbonat dibuat dengan mengkarbonisasi secara langsung

gliserol dengan gas CO2 secara kontinyu dengan katalisator resin penukar ion Amberlyst A26 dan Zeolit pada kondisi superkritis dan pelarut yang digunakan aseton dan metanol, tetapi konversi yang dihasilkan sangat kecil. (Kim dkk., 2007) telah melakukan penelitian pembuatan gliserol karbonat dengan katalisator berbasis enzim lipase jenis Novozym 435. Penelitian dilakukan pada suhu 40- 60oC, kecepatan pengadukan 2000 rpm , waktu reaksi 30 jam, pelarut methanol dan perbandingan pereaksi antara gliserol dan dimetilkarbonat 6:3, 6:6 dan 6:18 mmol . Konversi tertinggi diperoleh pada suhu 60oC dan perbandingan perekasi 6:3 mmol sebesar 96 %. Kitakawa dkk., 2007 memproduksi biodiesel dengan

15

menggunakan resin penukar ion jenis anionik dengan reaktor kontinyu, dimana percobaan dilakukan dengan diameter unggun 11 mm dan tinggi 150-170 mm, suhu 50OC, perbandingan triolein dan etanol 1:10, berat resin 2,97 37,9 gram , dan residence time 60 menit dengan konversi mendekati 100% Nuryoto dkk., 2010 telah meneliti esterifikasi gliserol dan

asam asetat pada pembuatan triacetin dengan katalisator indion 225 Na, dan juga meneliti uji performa resin penukar ion pada pembuatan triacetin, yang dilakukan dengan katalisator resin penukar ion yang sama yaitu Indion 225 Na. Hasil penelitian menunjukan bahwa indion 225 Na akan efektif bekerja pada kisaran suhu 100oC, waktu reaksi 90 menit, perbandingan pereaksi antara asam asetat dan gliserol 7 gmol asam asetat/gmol gliserol atau 2,3 kali kebutuhan stoikiometrinya. Hasil konversi tertinggi berbasis gliserol sebesar 93%. Dan Nuryoto dkk., 2012 telah melakukan penelitian pemanfaatan gliserol hasil samping Biodiesel menjadi gliserol karbonat dengan pelarut

16

aquadest dan pereaksi natrium hidrogen karbonat serta menggunakan katalisator indion 225 Na dengan waktu proses operasional selama 90 menit, komposisi gliserol aquadest dan natrium hidrogen karbonat 3:1:3, 3:1:5, 3:1:7 mol/volume, ukuran diameter katalisator 20,25, dan 30 mesh, konsentrasi katalisator (1-9)%, dan temperatur proses (60-100)o C. Hasil terbaik yang diperoleh adalah komposisi bahan baku dengan pelarut dan pereaksi sebesar 3:1:3 mol/volume gliserol, ukuran diameter 30 mesh, konsentrasi katalisator 1%, dan dengan temperatur proses 100oC dengan konversi terbesar mencapai 30%.

17

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tahap Penelitian Penelitian ini secara umum terdiri atas tahap persiapan, tahap reaksi, analisa produk, dan pengolahan data. Alur penelitian ditunjukkan pada bagan di bawah ini :3.1.1 Tahap Persiapan 3.1.1.1 Pre-treatment Gliserol Teknis

Gliserol Teknis

Evaporasi Gliserol Teknis

m Menganalisa Kadar dan Densitas

18

Gambar 3.1 Diagram Alir Tahap Pre-Treatment Gliserol Teknis

3.1.1. 2 Pre- treatment resin penukar ion Indion 225 Na

Resin indion 225 Na

Di aktifasi dengan cara di rendam di larutan HCL dengan kadar tertentu

Kemudian di aduk selama proses aktifasi selama 1 jam

Setelah itu di bilas dengan air aquades hingga bersih

Dan di keringkan di dalam oven pada uhu 8090 C

19

Gambar 3.2 Diagram Alir Tahap Pre-Treatment Resin Penukar Ion Indion 225 Na

3.1.2 Tahap Reaksi

Memasukkan Gliserol dengan volum tertentu ke dalam reaktor dan di panaskan pada suhu tertentu

Memasukkan Natrium hidrogen karbonat ke dalam reaktor

Memanaskan campuran yang berada didalam reaktor sampai suhu yang diinginkan dan memulai pengadukan

Mengambil sampel konsentrasi gliserol awal ( Go) kemudian dianalisa

Memasukkan katalis Indion 225 Na

20

Mengambil sampel konsentrasi gliserol bebas ( Gb) setiap 10 menit kemudian dianalisa

Proses reaksi dihentikan setelah 30 menit

Gambar 3.3 Diagram Alir Tahap Reaksi

3.2 Prosedur Penelitian 3.2.1 Tahap Pendahuluan ( pre-treatment resin penukar ion) Pada tahapan ini dilakukan pre-treatment resin penukar ion indion 225 Na dengan melakukan pengaktifasian resin dengan cara di rendam di larutan HCL dengan kadar tertentu kemudian diaduk selama satu jam, setelah itu pencucian resin dengan menggunakan air suling sampai tidak berwarna , kemudian ditiriskan . Setelah ditiriskan

21

kemudian dilakukan pengeringan dengan oven sekitar suhu 89-90 C dan pengayakan sesuai dengan diameter resin yang diinginkan. Pre-Treatment Gliserol Pre-treatment gliserol mengacu pada penelitian Nuryoto dkk., 2012 dengan cara gliserol teknis dievaporasi melalui pemanasan dengan suhu (100 -110) C selama 90 menit. Hasil evaporasi ditentukan densitas dan kadar 3.2.2 Tahap Reaksi Gliserol, aquadest (sebagai pelarut), dan Natrium Hidrogen Karbonat sebagai pereaksi dengan volume dan massa tertentu dipanaskan sampai suhu tertentu dalam reaktor labu leher tiga sambil pengaduk dijalankan. Mengambil sampel untuk dianalisis konsentrasi gliserol awal (Go)Selanjutnya katalisator sebagai waktu awal dimasukkan dan waktu dicatat

22

Reaksi. Setiap selang waktu 10 menit sampel diambil untuk dianalisis gliserol bebas (Gb). Reaksi dihentikan setelah waktu reaksi 30 menit. Percobaan diulangi dengan mempelajari pengaruh

kecepatan pengadukan dan pengaktivasian katalisator Indion 225 Na terhadap produksi gliserol karbonat. 3.2.3 Tahap Analisa Analisis hasil dilakukan dengan cara volumetri : 1. Sebelum katalisator dimasukan (t= 0 menit) - konsentrasi gliserol awal (Go) menggunakan asam periodat 2. Setelah katalisator dimasukan (t= 10 menit 30 menit) - konsentrasi gliserol sisa (Gb) mengunakan asam periodat

Perhitungan konversi didasarkan dengan persamaan : XG= Go-Gb x 100% Go dengan : Go= konsentrasi gliserol awal, % Gb= konsentrasi gliserol bebas, %

23

3.3 Bahan dan Alat 3.3.1 Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah : 1. Gliserol ( C3H5(OH)3) . 2. Natrium Hidrogen Karbonat ( NaHCO3) 3. Katalisator Indion 225 Na 4. Pelarut air Aquades ( H20)

3.3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ; 1. Pemanas mantel. 2. Labu leher tiga 3. Pengaduk merkuri 4. Termometer 5. Pendingin balik\ 6. Motor pengaduk 7. Pengambilan sampel 8. Penampung sampel

24

3.3.3 Gambar rangkaian alat

Gambar 3.4 Rangkaian Alat Pembuatan Gliserol Karbonat 3.4 Variabel Penelitian 1. Variabel berubah Variasi pengadukan ( 500,600 700 rpm) dan variasi aktifasi resin HCL (3%, 5% dan 7%),dan variasi tanpa aktifasi resin

2 .Variabel tetap

25

waktu reaksi ( 30 menit). Konsentrasi katalis (1%), perbandingan komposisi pereaksi dan pelarut ( 3 gliserol: 1 natrium bikarbonat: 3 air) dan mesh katalis resin campuran 3.5 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian ini direncanakan selama enam bulan adapun kegiatan dapat dilihat pada table 3.1 di bawah ini Table 3.1 Agenda Kegiatan Penelitian Kegiatan 1 1 2 3 4 5 Studi Literatur Penulisan Proposal persiapan bahan Running analisa dan pengolahan data 6 7 penyusunan laporan seminar proposal 2 Bulan ke3 4 5 6

26

seminar hasil

DAFTAR PUSTAKA
Nuryoto, Hary Sulistyo, Suprihastuti Sri Rahayu, Sutijan,2010., Uji Performa katalisator Resin Penukar Ion Untuk Pengolahan Hasil Samping Pembuatan Biodisel menjadi Triacetin:, Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses , 4-5 Agustus 2010, Semarang Nuryoto,Hary Sulistyo, Suprihastuti Sri Rahayu, Sutijan, 2010., Esterifikasi Gliserol dan Asam asetat Dengan katalisator Indion 225 Na, Seminar Nasional Perkembangan Riset dan Teknologi di Bidang Industri ke-16, 27 Mei 2010, Yogyakarta. Kim C.S., Kim Y.H., Lee H., Yoon D.Y., and Song B.K., 2007., Lipase catalyzed synthesis of glycerol carbonat from renewable glycerol and dimethyl carbonat through transesterification, Elsivier, ScinceDirect, Jurnal of Molecular catalysis. Kitakawa N.S., Honda H., Kuribayashi H., Toda T., Fujukumura T., Yonemoto T., 2007. Biodiesel production using anionic ion-exchange resin as heterogeneous catalyst, Biosource Technology,Elsivier, Science Direct.

27

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAAN

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan katalis padat indion Na 225 dan menvariasikan variable kecepatan pengadukan dan konsentrasi aktifasi HCL dengan harapan mendapatkan kondisi operasi optimum yang dapat mendekati konversi dengan penggunaan katalisator cair (homogeneous catalyst). 4.1 Pengaruh Kecepatan Pengadukan Kecepatan pengadukan berpengaruh terhadap jalanya proses reaksi, hal itu dikarenakan pengadukan dapat memperbesar kemungkinan tumbukan antar molekul zat-zat yang bereaksi, ini menyebabkan reaksi yang terjadi semakin cepat. Pengaruh variasi kecepatan pengadukan 500 rpm, 600 rpm dan 700 rpm terhadap konversi gliserol dapat disajikan di table 1 dan grafik 1 dibawah ini

Tabel 1 Pengaruh kecepatan pengadukan (Suhu 100 C, Perbandingan komposisi pereaksi ( 3 gliserol: 1 natrium hydrogen karbonat: 3 air)

Waktu (menit) 0 10 20 30

Konversi gliserol pada berbagai variasi pengadukan 500 rpm 0 0,058204334 0,130022918 0,141176471 600 rpm 0 0,187306502 0,174942704 0,243697479 700 rpm 0 0,269349845 0,244582043 0,297096054

28

Gambar. 1 Hubungan antara konversi dan waktu pada berbagai variasi kecepatan pengadukan

Dari table 1 dan gambar 1 di atas

konversi optimum diperoleh

pada

kecepatan pengadukan 700 rpm yaitu sebesar 29,7%, sedangkan pada kecepatan pengadukan 600 dan 500 rpm konversi yang dihasilkan lebih kecil dari kecepatan pengadukan 700 rpm yaitu sebesar 24,3% dan 14,1% . Hal ini dikarenakan fungsi dari pengadukan yaitu untuk memperbesar kemungkinan tumbukan antar molekul zat-zat yang bereaksi, ini menyebabkan terjadinya reaksi semakin besar (Prausnitz, et

al.,1999). Selain itu pengadukan akan berpengaruh pada hambatan eksternal dalam diffusitas . jika pengadukan diperbesar akan menambah turbulensi yang akan menyebabkan berkurangnya lapisan film sehingga hambatan eksternal akan semakin kecil (Fogler, 2006) Hal ini selaras dengan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan dengan menggunakan berbagai variasi kecepatan pengadukan. Gangadwala.et al.(2003) melakukan variasi kecepatan pengadukan 200 rpm, 360 rpm dan 1300 rpm. Pada 200 rpm dan 360 rpm fraksi mol asam asetat pada 1000 detik turun dari 0,5 menjadi

29

0,28. Setelah kecepatan dinaikan menjadi 1300 rpm fraksi mol asam asetat turun menjadi 0,25. Tzong Liu, et al (2001) melakukan variasi kecepatan pengadukan 400 rpm, 600 rpm dan 1000 rpm. Konversi asam propioanat yang di hasilkan pada 400 rpm dan 1000 rpm sebesar 0,42 dan 0,47 4.2Pengaruh konversi terhadap konsentrasi aktifasi katalis indion Na 225 Katalisator berfungsi menurunkan energy aktifasi. Jika jumlah katalisator dinaikan, energy aktifasi akan menurun sehingga laju reaksi akan meningkat. Katalis secara umum terbagi menjadi dua yaitu katalis padat dan cair, katalis cair memiliki kelebihan dalam menghasilkan konversi yang besar. Namun kekuranganya adalah dalam pengolahan limbah yang sulit dalam proses pemisahanya. Sedangkan untuk katalisator padat mempunyai kelebihan diantarannya mudah dalam perlakukaanya, dapat diregenerasi jika sudah jenuh, mudah dalam pemisahan hasil , dan beban pada pengolahan limbah sangat kecil ( Nuryoto, 2008). Namun kelemahanya kerja katalisator padat tidak sebaik dari katalisator cair hal ini terkait dengan faktor dari kemampuan penukaran ion dan sisi aktif dari katalisator. Sehingga permasalahannya adalah bagaimana memaksimalkan kemampuan penukaran ion dan sisi aktif yang dimiliki katalisator padat tersebut maksimal. Untuk itu diperlukanlah pengaktifasian katalisator indion Na 225 dengan larutan HCL. Pengaruh konsentrasi aktifasi HCL terhadap besarnya konversi gliserol dapat disajikan di tabel dan grafik bawah ini agar unjuk kerja dari katalisator tersebut

Tabel 2 Pengaruh variasi aktifasi konsentrasi HCL (Suhu 100 C, Perbandingan komposisi pereaksi ( 3 gliserol: 1 natrium hydrogen karbonat: 3 air, pengadukan 700 rpm)

30

waktu (menit) 0 10 20 30

Konversi gliserol pada berbagai variasi konsentrasi HCL 3% 0 0,156763404 0,14086661 0,211165765 5% 0 0,269349845 0,244582043 0,297096054 7% 0 0,275862069 0,310344828 0,318266542 Tanpa aktifasi 0 0,022222222 0,078632479 0,099415205

Gambar. 2 Hubungan antara konversi dan waktu pada berbagai variasi aktifasi konsentarsi HCL

Dari table 2 dan grafik 2 diatas, konversi optimum terjadi pada pengaktifasian katalis dengan HCL 1,5 N yaitu sebesar 31,8% sedangkan pada pengaktifasian HCL 1 N dan 0.5 N nilai konversi yang dihasilkan lebih kecil yaitu sebesar 29,7% dan 21,1%. Hal ini dapat dijelaskan , fungsi dari pengaktifasian HCL pada katalisator

31

berfungsi untuk menggantikan gugus Na+ pada katalis indion Na 225 dengan gugus H+ pada HCL, sehingga katalis ini dapat berfungsi dengan pereaktan NaHCO3, jika tidak diaktifasi katalis ini tidak akan bekerja karena NaHCO3 memiliki gugus Na+, hal ini bisa dilihat pada variasi tanpa pengaktifasian katalis konversi yang dihasilkan lebih kecil dari katalis yang di aktiafsi dengan HCL yaitu sebesar 9,9%

Anda mungkin juga menyukai