Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING 3 BLOK DIGESTIVE SYSTEM ADUH, PERUTKU...

"

Tutor : dr. Catharina Widiartini,M.Med.Ed.

Kelompok 7 Himatun Istijabah Ratih Paringgit Rinda Puspita A. Shofa Shabrina Henandar Eviyanti Ratna Suminar Tsalasa Agustina Celestia Wohingati Handika Rezha A Eka Rizki Febriyanti Renata Nadhia M. Putri Jevan Fritz G1A010007 G1A010023 G1A010033 G1A010051 G1A010063 G1A010178 G1A010089 G1A010100 G1A010111 G1A008127 G1A007026

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN PURWOKERTO 2012

PBL/CBL KASUS KE JUDUL SKENARIO KELOMPOK HARI/TGL TUTORIAL

: 3 (tiga) : Aduh, perutku... :7 : Senin / 4 Juni 2012 dan Rabu / 6 Juni 2012

Informasi 1 Seorang pasien, laki-laki 35 tahun datang ke IGD RS dengan keluhan nyeri perut bagian atas sejak 2 hari sebelum masuk RS. Pasien tidak dapat menunjukkan dengan tepat bagian yang dirasakan paling sakit. Pasien juga mengeluh mual. 2 jam sebelum masuk RS pasien merasakan nyeri berpindah ke perut kanan bawah. Pasien dapat menunjukkan dengan tepat letak sakitnya yaitu 5 cm di sebelah kanan bawah pusat. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan berlangsung terus-menerus. Nyeri bertambah ketika sedang batuk atau mengedan. Pada saat sampai RS, mual masih dirasakan bahkan disertai muntah. Pasien mengeluh agak demam sejak 2 hari sebelum masuk RS. Pasien tidak merasa ada perubahan pada pola buang air besar atau buang air kecilnya.

I.

Klarifikasi Istilah: 1. Nyeri yang tidak dapat di tunjuk (nyeri visceral) : disebabkan oleh jejas pada organ dengan saraf simpatis, nyeri ini dapat disebabkan oleh distensi abnormal atau kontraksi pada diniding otot polos, tarikan cepat kapsul yang menyelimuti suatu organ, misalnya hati, iskemi otot skelet, iritasi serosa atau mukosa, pembengkakan jaringan. Nyeri yang disebabkan oleh bagian dalam perut atau pelvis. Biasanya ditandai dengan distribusi dan kualitas nyeri yang tidak jelas, seperti nyeri yang dalam tumpul, linu, tertarik, diperas atau ditekan (Juffrie, 2010). 2. Nyeri letak diketahui (nyeri somatis) : diakibatkan aktivasi nocireseptor pada jaringan kutan dalam. Nyeri somatis dapat dibagi menjadi dua, yaitu nyeri somatis superfisial dan nyeri somatis dalam. Nyeri somatis superficial terjadi akibat stimulasi nosireseptor di dalam kulit atau

jaringan submukosa dan

mukosa yg mendasari dan ditandai dengan

adanya sensasi rasa berdenyut, panas, atau tertusuk. Sedangkan nyeri somatis dalam diakibatkan oleh jejas pada struktur dinding tubuh dan dapat diketahui di mana lokasi persisnya pada tubuh, namun beberapa menyebar ke daerah sekitarnya (Juffrie, 2010). 3. Perut kanan bawah : regio inguinal dextra (Martini,2009). Regio abdomen ada yang membagi 4 kuadrant dan ada yang membagi 9 regio. A. 4 kuadrant abdoment, yaitu : Left Upper Quadrant Left Lower Quadrant

Right Upper Quadrant Right Lower Quadrant B. 9 regio abdoment , yaitu : Hypocondriaca dextra Lumbal dextra Inguinal dextra Epigastric Umbilical Hypogastric

Hypocondriaca sinistra Lumbal sinistra Inguinal sinistra

4. Mual (nausea) : Suatu sensasi ingin muntah secara samar dialihkan ke epigastrium dan abdomen, sering memuncak dengan muntah (Dorland, 2002). 5. Muntah : refleks kompleks yang diperantarai pusat muntah di medula oblongata otak (Corwin, 2009) 6. Demam : kenaikan suhu tubuh di atas normal. Bila diukur pada rektal >38C (100,4F), diukur pada oral >37,8C, dan bila diukur melalui aksila > 37,2 C (99F). Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang, misalnya terhadap toksin bakteri, peradangan, dan rangsangan pirogenik lain. Bila produksi sitokin pirogen secara sistemik masih dalam batas yang dapat ditoleransi maka efeknya akan menguntungkan tubuh secara keseluruhan, tetapi bila telah

melampaui batas kritis tertentu maka sitokin ini membahayakan tubuh (Sherwood, 2001).

II. Batasan Masalah 1. Identitas a. Nama b. Umur 2. Riwayat Penyakit sekarang a. Keluhan utama b. Onset c. Lokasi : nyeri perut : 2 hari yang lalu : 2 hari yang lalu nyeri perutnya di : seorang laki-laki : 35 tahun

bagian atas, 2 jam sebelum masuk RS nyeri berpindah ke perut bagian bawah 5 cm di sebelah kanan bawah pusat ( regio inguinal dextra). d. Kualitas e. Kuantitas : nyeri seperti ditusuk tusuk : nyeri berlangsung terus menerus

f. Faktor yang memperberat : ketika batuk dan mengedan g. Faktor yang memperingan : h. Keluhan penyerta : mual, muntah, demam, tidak ada

perubahan pada pola buang air besar atau buang air kecil 3. Riwayat Penyakit Dahulu 4. Riwayat Penyakit Keluarga 5. Riwayat Penyakit Sosial :::-

III. Rumusan Masalah 1. Organ apa saja yang terdapat pada setiap regio abdomen ? 2. Pada kasus ini, termasuk kedalam nyeri apa? dan apa diagnosis bandingnya berdasarkan keluhan nyerinya ? 3. Apakah etiologi nyeri tersebut ? 4. Apakah diagnosis sementara dan alasan mendiagnosis ? 5. Apakah perlu intervensi bedah atau cukup terapi konservatif ?

IV. Analisis Masalah 1. Organ organ di regio abdomen : (Widjaja, 2009) Right Hipokondriaka Right lobe of liver Gallblader Portion of duodenum Hepatic colon Portion kidney Suprarenal gland Right Lumbal -Ascending colon Umbilikal -Omentum Left Lumbal -Descending colon -Lower half of left part of kidney -Portion of jejunum and ileum Left Inguinal -Sigmoid colon -Left ureter (in -Left spermatic cord -left ovary of right flexure Epigastrium -Pyloric stomach -Duodenum end Left Hipokondriaka of -Stomach -Spleen -Tail of pancreas -Splenic flexure colon -Upper pole of left kidney -Suprarenal gland

of -Pancreas -Portion of liver

-Lower half of right -Mesentery kidney -Lower

-Portion of duodenum duodenum and jejunum Right Inguinal -Caecum -Appendix -Lower end of ileum -Right ureter -Right spermatic cord -Jejunum and ileum Hipogastrik -Ileum -Bladder -Uterus pregnancy)

2. Nyeri abdomen ada tiga tipe, yaitu nyeri viseral, nyeri parietal (somatik), dan nyeri alih. Nyeri viseral kadang-kadang mengacu kepada nyeri primer, berasal dari organ abdomen dan disebabkan oleh peregangan serabut saraf yang mengelilingi organ tersebut. Nyeri parietal atau nyeri somatik (nyeri sekunder) terjadi akibat iritasi kimia atau bakteri pada struktur dan serabut saraf yang ada di sekitarnya. Sedangkan nyeri alih

disebabkan oleh irirtasi dermatom yang sama dan mengenan organ yang sakit (Oman, 2008). Pada kasus, merupakan nyeri somatik. Berikut adalah diagnosis berdasarkan nyeri : Tipe Nyeri Viseral Manifestasi Klinik Etiologi

Kram, kembung (penuh Appendisitis, udara), kolik, nyeri sulit kolesistisis, ditentukan batasnya, dan gastroenteritis, bersifat kambuhan yang obstruksi usus, kolik bertambah parah tetapi renal.

kemudian berkurang Parietal Onset yang cepat, nyeri Virus bersifat menerus, tajam, pegal atau bakteri:

terus peritonitis, dengan appendisitis stadium

intensitas yang berbeda, lanjut, gastroenteritis. terlokalisasi pada daerah patologi Nyeri alih Jauh dari tempat kelainan Infark patologik angina miokardium, (epigastrik),

pankreatitis (bahu kiri, punggung), kolik renal (paha, aneurisma abdominalis (punggung), reproduksi organ wanita genitalia), aorta

(paha sebelah dalam. Tabel 1. Perbandingan nyeri abdomen ditinjau dari manifestasi klinis dan Etiologinya (Oman, 2008).

3. Pada nyeri abdomen akut, etiologi yang paling banyak adalah degenerasi, infeksi, keganasan, danm trauma. Dalam kasus, kemungkinan etiologinya adalah karena infeksi (Hardjodisastro, 2011). 4. Diagnosis sementara adalah : A. Appendisitis Inflamasi di apendiks, yang dikenal dengan appendisitis, dapat terjadi karena tanpa penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses, atau akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahnya. Inflamasi menyebabkan apendiks membengkak dan nyeri yang dapat menimbulkan gangren karena suplai darah terganggu. Apendiks juga dapat pecah biasanya terjadi antara 36 dan 48 jam setelah awitan gejala (Corwin, 2009). Gambaran klinis (Corwin, 2009): 1) Awitan mendadak atau secara bertahap nyeri difus di daerah epigastrium atau peri-umbilikus sering terjadi. 2) Dalam beberapa jam, nyeri menjadi lebih terlokalisasi dan dapat dijelaskan sebagai nyeri tekan di daerah kuadran kanan bawah abdomen. 3) Nyeri lepas (nyeri yang timbul sewaktu tekanan dihilangkan dari bagian yang sakit) merupakan gejala klasik peritonitis dan umum ditemukan di appendisitis. Terjadi defans muskular atau

pengencangan perut. 4) Demam 5) Mual dan muntah B. Peritonitis Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa yang melapisi rongga abdomen dan menutupi visera abdomen) yang terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup di kolon, yang mencakup Eschericia coli atau Bacteroides, sedangkan stafilokokus dan streptokokus seringkali masuk dari luar (Price, 2006).

Gejala dan tanda yang terjadi bervariasi bergantung pada luas peritonitis, beratnya peritonitis, dan jenis organisme penyebabnya. Gejala yang terjadi biasanya adalah demam, leukositosis, nyeri abdomen (biasanya terus menerus), muntah, dan abdomen yang tegang, kaku, nyeri tekan lepas, dan tanpa bunyi usus. Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum parietal). Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi (Price, 2006). 5. Pada kasus perlu intervensi bedah karena nyeri abdomen akut merupakan kegawat daruratan medis. V. Informasi tambahan dan analisis informasi Informasi 2 Pemeriksaan fisik Keadaan umum : tampak kesakitan Kesadaran Vital sign Tekanan darah : 130/90 mmHg Denyut nadi : 92 x/menit Frekuensi nafas : 20 x/ menit Suhu aksila : 38,2 0C Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Thoraxs Paru Jantung Abdomen Inspeksi :dinding perut tidak tegang, tidak buncit, tidak tampak bekas operasi, tidak tampak venektasi, darm contour (-), darm steifung (-) Auskultasi : bising usus (+) normal, metalic sound (-) : dalam batas normal : dalam batas normal : compos mentis

Palpasi

: perut supel, tidak teraba massa, defans muskuler (-), nyeri tekan di titik Mc.burney (+), blumberg sign (+), Rovsing sign (+), psoas sign (+), obturator sign (+), hepar sulit dinilai, lien tidak teraba, ginjal tidak teraba

Perkusi

: timpani, tes pekak alih (-), tes undulasi (-), nyeri ketok costovertebrae (-)

Extremitas : superior : edema -/-, inferior : edema -/Interpretasi pada vital sign pasien terjadi pre hipertensi, dan suhu badan panas, pada pemeriksaan abdomen terdapat tanda tanda appendisitis yaitu : nyeri tekan di titik Mc.burney, blumberg sign, Rovsing sign, psoas sign, dan obturator sign dan tidak ada tanda tanda asites. Informasi 3 Pemeriksaan Rectal Toucher (RT) : tonus sfingter ani cukup, ampula rekti tidak kolaps, mukosa rectum licin, terdapat nyeri tekan arah jam 11, tidak teraba benjolan, prostat tidak membesar. Interpretasi a) tonus sfingter ani cukup b) ampula rekti tidak kolaps c) mukosa rectum licin d) terdapat nyeri tekan arah jam 11 : tidak ada gangguan neuromuskular : tidak ada obstruksi gastrointestinal : tidak terdapat infiltrat : pada pemeriksaan fisik rectal

toucher, penderita appendisitis akut terjadi nyeri tekan pada jam 9-12 (Bedah UGM, 2009). e) tidak teraba benjolan f) prostat tidak membesar : tidak ada massa : normal

Informasi 4 Hb Ht Eritrosit Leukosit Trombosit LED : 13,8 g/dl : 43% : 5,9 jt/dl : 12.000/l : 185.000/l : 41 mm/jam

Hitung jenis : Eosinofil 2, Basofil 0, Batang 2, Segmen 70, Limfosit 21, Monosit 4 Pemeriksaan urin : Warna Bau : tidak berwarna, jernih : khas

Berat jenis : 1,010 PH Leukosit Bakteri Informasi 5 Pasien didiagnosis menderita appendisitis akut dan segera dikonsulkan ke dokter spesialis bedah untuk dilakukan tindakan appendiktomi cito : 6,5 : negative : negative

VI. Sasaran Belajar 1. Ekspresi derajat kesakitan 2. Pengertian : a. Darm contour b. Darm steifung c. Metalic sound d. Defans muskuler e. Blumberg sign f. Rovsing sign g. Psoas sign h. Obturator sign 3. Macam macam lokasi appendisitis beserta gejalanya 4. Anatomi organ terkait 5. Histologi dan fisiologi organ terkait 6. Interpretasi pemeriksaan penunjang 7. Penyebab dan Faktor resiko appendisitis akut 8. Patogenesis appendisitis akut 9. Patofisiologi appendisitis akut 10. Aspek kegawatan sistem digestive pada pasien

11. Rencana follow up untuk pasien 12. komplikasi apendisistis akut 13. Prognosis appendisitis

VII. Jawaban Sasaran Belajar 1. Alat bantu yang lain digunakan untuk menilai intensitas atau keparahan nyeri klien adalah bentuk skala analog visual (SAV), yang terdiri dari sebuah garis horizontal yang di bagi secara rata menjadi 10 segmen dengan nomor 0 sampai 10. Klien diberi tahu bahwa 0 menyatakan tidak ada nyeri sama sekali dan 10 menyatakan nyeri paling parah yang mereka tidak dapat bayangkan. Klien kemudian diminta untuk menandai angka yang menurut mereka paling tepat dapat mejelaskan tingkat nyeri yang mereka rasakan pada suatu waktu (Price, 2006).

10

Tidak ada nyeri

Nyeri sedang

Nyeri hebat

Skema 1. Skala analog visual untuk menilai intensitas nyeri dengan menggunakan skala numerik Sumber Price, 2006 Menurut Wong dan Baker dalam buku Fundamental,

mengembangkan skala wajah untuk mengkaji nyeri. Skala tersebut terdiri dari enam wajah yang sedang tersenyum tidak merasa nyeri kemudian secara bertahap meningkat menjadi wajah yang sangat ketakutan nyeri yang sangat, klasifikasinya sebagai berikut : Skala 0 (tidak sakit) ekspresi wajahnya klien masih dapat tersenyum, skala 2 (sedikit sakit) ekspresi wajahnya kurang bahagia, skala 4 (agak mengganggu) ekspresi wajahnya meringis, skala 6 (mengganggu aktivitas) ekpresi wajahnya sedih, skala 8 (sangat mengganggu) ekspresi wajahnya sangat ketakutan, skala 10 (benar-benar sakit) ekspresi wajahnya sangat ketakutan dan sampai menangis.

Gambar 1. Skala wajahdari nilai 0-10 Sumber Price, 2006 2. Pengertian a) Darm contour : gambaran bentuk usus yang terlihat dari luar dinding abdomen (Swartz, 1997). b) Darm steifung : gambaran gerakan peristaltik usus yang terlihat dari luar dinding abdomen (Swartz, 1997). c) Metalic sound : suara perkusi seperti suara tong (Swartz, 1997). d) Defans muskuler : pengencangan dinding abdomen (Swartz, 1997). e) Blumberg sign : nyeri lepas tekan ) adalah rasa nyeri yang hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam di titik Mc Burney (D. Mike, 1999). f) Rovsing sign : nyeri abdomen di kuadran kanan bawah, apabila kita melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan (D. Mike, 1999). g) Psoas sign : dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kirisendi pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini

menggambarkan iritasi pada otot psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau abscess (D. Mike, 1999).

Gambar 2. Melakukan Psoas Sign Sumber D.Mike 1999 h) Obturator sign : Dengan gerakan fleksi dan endorotasi articulatio coxae pada posisi telentang terjadi nyeri (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium (D. Mike, 1999).

Gambar 3. Melakukan obturator Sign Sumber D.Mike 1999 3. Macam macam posisi apendiks : 1. Posisi retrocecal 2. Posisi pelvis/apendiks tergantung menyilang linea terminal masuk ke pelvis minor 3. Posisi paracolica/apendiks terletak horizontal di belakang caecum 4. Posisi preileal/apendiks didepan ujung akhir ileum 5. Posisi post ileal/appendiks dibelakang ujung akhir ileum

Tanda dan gejala appendisitis ditentukan oleh posisi dari apendiks dan apakah apendiks mengalami ruptur. Apendiks yang letaknya retrocaecal maupun pelvica menimbulkan nyeri somatik yang tertunda, hal ini karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietal hingga terjadinya ruptur dan penyebaran infeksi. Bila letak apendiks adalah retrocecal, karena letaknya terlindungi oleh caecum, maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal. Apendiks yang terletak di retrocecal biasanya mengiritasi musculus psoas major sehingga akan terasa nyeri saat gerakan fleksi maupun ekstensi. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi musculus psoas major yang menegang dari dorsal. Pada uji psoas apendiks retrocecal biasanya menimbulkan rasa nyeri yang hebat karena rangsangan dari musculus psoas major (Burkitt, 2002; Sjamsuhidajat, 2004). Sedangkan apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat dan pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks menempel pada kandung kemih dapat terjadi peningkatan frekuensi buang air kecil (BAK) karena rangsangan dindingnya. Pada uji obturator akan menimbulkan nyeri hebat akibat rangsangan musculus obturator internus (Sjamsuhidajat, 2004).

Gambar 4. Posisi Appendiks Sumber http://www.surgical-tutor.org.uk/

4. Anatomi organ terkait Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm) dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit dibagian proksimal dan melebar pada bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan melebar pada bagian ujung apendiks terletak di intraperitoneal. Kedudukan ini memungkinkan apendiks dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak periteritoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens (Snell, 2006).

Gambar 5. Letak appendix Sumber Snell, 2006 5. A. Histologi Appendix vermicularis merupakan tonjolan sebagai jari atau cacing, yang berpangkal pada caecum. Dindingnya relatif tebal dibandingkan lumennya. Adanya lipatan tunica mucosa kedalam dinding menyebabkan bentuk lumen yang tidak teratur. Pada orang dewasa lumen agak membulat. Kadang-kadang lumennya berisi sisa-sisa sel sampai tersumbat. Appendix ini berakhir buntu. Lapisan lapisannya adalah : 1. Tunica mucosa a) Tidak mempunyai villi intestinalis. b) Epitel, berbentuk silindris selpais dengan sel piala. Banyak ditemukan sel argentafin dan kadang-kadang sel paneth.

c) Lamina propria,

hampir seluruhnya terisi oleh jaringan limfoid

dengan adanya pula nodulus Lymmphaticus yang tersusun berderetderet sekeliling lumen. Diantaranya terdapat crypta lieberkuhn d) Lamina muscularis mucosa, sangat tipis dan terdesak oleh jaringan limfoid dan kadang-kadang terputus-putus 2. Tunica submucosa. Tebal, biasanya mengandung sel-sel lemak dan infiltrasi limfosit yang merata. Di dalam jariangan tunica submucosa terdapat anyaman pembuluh darah dan saraf. 3. Tunic muscularis Walaupun tipis, tapi masih dapat dibedakan adanya lapisan dua lapisan. 4. Tunica serosa Tunica serosanya mempunyai struktur yang tidak berbeda dengan yang terdapat pada intestinum tenue. Kadang-kadang pada potongan melintang dapat diikuti pula mesoappendix yang merupakan alat penggantung sebagai lanjutan peritoneum viscerale.

Gambar 6. Histologi Appendix Sumber Guyton,2007 B. Fisiologi appendix Fungsi appendix pada manusia belum diketahui secara pasti. Diduga berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendix menghasilkan lendir. Lendir ini secara normal dialirkan ke appendix dan secum. Hambatan aliran lendir di muara appendix berperan pada patogenesis appendicitis. Appendiks menghasilkan lendir 1 2 ml perhari

yang bersifat basa mengandung amilase, erepsin dan musin. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam bumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks berperan pada patofisiologi appendiks. Imunoglobulin sekretor yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah Ig A. Imunglobulin itu sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi tapi pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem Imunoglobulin tubuh sebab jaringan limfe kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah disaluran cerna dan seluruh tubuh (Guyton, 2007). 6. Interpretasi pemeriksaan penunjang Hb Ht Eritrosit Leukosit Trombosit LED Hitung jenis : 13,8 g/dl (N : 13,5-18,0 g/dl) N : 43% (N: 40%-52%) N : 5,9 jt/dl (N : 4,6-6,2 jt/dl) N : 12.000/l (N: 4.000-11.000) : 185.000/l (N : 150.000-350.000) : 41 mm/jam : E 2, B 0, Bat2, Seg 70, L 21, M 4

N E : 1-3 % B: 0-1% Bat:0-6% Ser:50-70% L:20-40% M: 2-10% Pemeriksaan urin a. Warna : tidak berwarna, jernih Nilai normal: kekuningan

jernih. Dalam keadaan normal, warna urin pagi (yang diambil sesaat setelah bangun pagi) sedikit lebih gelap dibanding urin di waktu lainnya. b. Bau : khas c. Berat jenis : 1,010 (Nilai normal: 1.003 s/d 1.030 g/mL) N d. pH sewaktu) e. Leukosit f. Bakteri : negative N : negative N : 6,5 Nilai normal: 5.0-6.0 (urin pagi), 4.5-8.0 (urin

7. Penyebab dan faktor resiko appendisitis akut : (Longo, 2011) a. Obstruksi (sumbatan) lumen abdomen a. Hiperplasia jaringan limfe

b. Fekalit c. Tumor apendiks d. Cacing Ascaris sp b. Erosi mukosa apendiks a. Entamoeba hystolitica b. Eschercia coli c. Streptococcus sp c. Gaya hidup a. Konsumsi makanan rendah serat b. Konstipasi meningkatkan tekanan intrasekal sumbatan fungsional apendiks peningkatan pertumbuhan kuman flora normal 8. Patogenesis appendisitis akut Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi

menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke caecum menjadi terhambat. Makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar umbilicus (Sjamsuhidajat, 2005). Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut (Sjamsuhidajat, 2005). Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan

apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu berarti apendisitis berada dalam keadaan perforasi (Sjamsuhidajat, 2005). Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus halus, sehingga terbentuk massa periapendikuler. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (Sjamsuhidajat, 2005). Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang lebih panjang, dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah. Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali

menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi (Sjamsuhidajat, 2005). 9. Patofisiologi appendisitis akut Apendisitis akut merupakan peradangan akut pada apendiks yang disebabkan oleh bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus. Obstruksi pada lumen menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Tekanan di dalam sekum akan meningkat. Kombinasi tekanan tinggi di seikum dan peningkatan flora kuman di kolon mengakibatkan sembelit, hal ini menjadi pencetus radang di mukosa apendiks (Sjamsuhidajat, 2005). Perkembangan dari apendisitis mukosa menjadi apendisitis komplit, yang meliputi semua lapisan dinding apendiks tentu dipengaruhi oleh berbagai

faktor pencetus setempat yang menghambat pengosongan lumen apendiks atau mengganggu motilitas normal apendiks (Sjamsuhidajat, 2004). Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium (Sjamsuhidajat, 2004). Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi (Sjamsuhidajat, 2004). Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut (Sjamsuhidajat, 2004).

Secara skematis, patofisiologi apendisitis akut dapat dijelaskan sebagai berikut: Etiologi

Obstruksi lumen (fekalit, tumor, infeksi patogen, dll) Mukus yang diproduksi mukosa akan mengalami bendungan Peningkatan tekanan intra lumen/dinding apendiks Aliran darah berkurang Edema dan ulserasi mukosa Apendisitis akut fokal Nyeri epigastrium Terputusnya aliran darah Obtruksi vena, edema bertambah dan bakteri menembus dinding Peradangan peritoneum Apendisitis supuratif akut Nyeri di daerah kuadran kanan bawah Aliran arteri terganggu Infark dinding apendiks Ganggren Dinding apendiks rapuh Apendisitis ganggrenosa

Infiltrat

Perforasi

Infiltrat apendikularis Apendisitis perforasi

(Sjamsuhidajat, 2004).

10. Aspek kegawatan sistem digestive pada pasien 1. Perforasi Perforasi disebabkan keterlambatan penanganan terhadap pasien

apendisitis akut. Perforasi disertai dengan nyeri yang lebih hebat dan demam tinggi (sekitar 38,3 0C). Biasanya perforasi tidak terjadi pada 12 jam pertama. Pada apendiktektomi yang dilakukan pada pasien usia kurang dari 10 tahun dan lebih dari 50 tahun, ditemukan 50 % nya telah mengalami perforasi. Akibat perforasi ini sangat bervariasi mulai dari peritonitis umum, sampai hanya berupa abses kecil yang tidak akan mempengaruhi manifestasi kliniknya. Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah, demam, malaise, leukositosis semakin jelas (Lindseth, 2006). 2. Peritonitis Peritonitis adalah peradangan peritoneum yang merupakan penyulit berbahaya akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen (misal: apendisitis dan salpingitis), perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen. Gejala dan tanda yang terjadi bervariasi bergantung pada luas peritonitis, beratnya peritonitis dan jenis organisme penyebabnya. Gejala yang timbul biasanya demam, leukositosis, nyeri abdomen (biasanya terusmenerus), muntah, abdomen yang tegang dan kaku, nyeri tekan lepas (Lindseth, 2006). Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata yang dapat menimbulkan ileus paralitik. Bila peritonitis tidak diobati dengan seksama, komplikasi bisa

berkembang dengan cepat. Gerakan peristaltik usus akan menghilang dan cairan tertahan di usus halus dan usus besar. Cairan juga akan merembes dari peredaran darah ke dalam rongga peritoneum. Terjadi dehidrasi berat dan darah kehilangan elektrolit yang bisa berujung ke keadaan syok (Lindseth, 2006). 11. Rencana follow up pada pasien adalah segera melakukan appendixtomi 12. Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik merupakan perforasi bebas maupun perforasi massa apendiks yang telah mengalami

perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum dan lekuk usus halus. a. Massa Periapendikuler Massa apendiks terjadi bila appendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/ atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikuler dengan bentuk yang belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti oleh peritonitis purulenta generalisata (Sjamsuhidajat, 2010). b. Appendisitis Perforata Adanya fekalit dalam lumen, yang disebabkan oleh lumen dan keterlambatan diagnosis merupakan faktor yang berperan dalam perforasi apendiks (Sjamsuhidajat, 2010). 13. Angka kematian dipengaruhi oleh usia pasien, keadekuatan persiapan prabedah, serta stadium penyakit pada waktu intervensi bedah. Appendisitis tak berkomplikasi membawa mortalitas kurang dari 0,1 persen, gambaran yang mencerminkan perawatan prabedah, bedah dan pasca bedah yang tersedia saat ini. Angka kematian pada appendisitis berkomplikasi telah berkurang dramatis menjadi 2 samapi 5 persen, tetapi tetap tinggi dan tidak dapat diterima (10-15%) pada anak kecil dan orang tua. Pengurangan mortalitas lebih lanjut harus dicapai dengan intervensi bedah lebih dini (Sabiston, 1997).

DAFTAR PUSTAKA Bedah UGM. 2009.Fraktur Terbuka. Available at U R L http://www.bedahugm.net/tag/fraktur-terbuka/ diakses tanggal 3 April 2012. Burkitt, H. George., and Clive R.G.Q. 2002. Essential Surgery: Problems, Diagnosis, and Management. Philadelphia: Churchill Livingstone. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3 Revisi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. D.Mike Hardin, JR, M.D.1999. Appendicitis acute A Peer-Reviewed Journal of the American Academy of Family Physicians. Texas A&M University Health Science Center, Temple, Texas Am Fam Physician. Nov 1;60(7):2027-2034. Dorland, W.A. Newman.2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC Juffrie, M. 2010. Buku Ajar Gastroenterologi - Hepatologi Jilid 1. Jakarta : Balai Penerbit IDAI Lindseth GN. 2006. Gangguan Lambung dan Duodenum Dalam: Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, editor. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta : EGC Longo,Dan L.2011.Horrisons Principle of internal medicine. USA : The McGraw-Hill Companies Martini,Frederic H. Judi L. Nath.2009.Fundamentals of Anatomy and Physiology Eight Edition.San Francisco: Pearson Benjamin Oman, Kathleen S. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Sabiston, David C. 1994. Buku Ajar Bedah Bagian 2. Jakarta: EGC Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Snell,Richard S, . 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran; alih bahasa Liliana Sugiharto; Ed 6. EGC : Jakarta. Swartz, Mark H. 1997. Intisari Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC Widjaja, Harjadi.2009. Anatomi Abdomen. Jakarta. EGC

Anda mungkin juga menyukai