Anda di halaman 1dari 29

Bab 1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Esofagus merupakan salah satu organ dari sistem pencernaan bagian atas.Terbentang dari hipofaring hingga ke lambung. Esofagus terutama berfungsi menghantarkan bahan yang dimakan dari faring ke lambung (Lorraine M.Wilson,2002). Dalam menjalankan fungsinya, esofagus dapat mengalami gangguan baik pada fase Faringeal yaitu saat menelan makanan atau pada fase Esofageal yaitu saat menghantarkan makanan menuju ke lambung. Jenis gangguan esofagus ini diantaranya disphagia, akalasia, dan hiatal hernia. Prevalensi penderita dysphagia dan akalasia sekitar 10 kasus per 100.000 populasi. Namun hingga sekarang, insidens penyakit ini telah cukup stabil dalam 50 tahun terakhir yaitu sekitar 0,5 kasus per 100.000 populasi per tahun. Angka kejadian hiatus hernia di USA dan juga
negara-negara barat meningkat sesuai umur mulai dari 10% pada usia dibawah 40 tahun (th) sampai 70% pada usia diatas 70th.

Masalah yang ditimbulkan dari gangguan fungsi esofagus ini berupa gangguan menelan, makanan tertahan dibagian bawah esofagus, refluk atau muntah yang dapat mengakibatkan penderita tidak nafsu makan, lemah dan mengalami kekurangan gizi yang dapat mengancam kelangsungan hidup penderitanya. Untuk itu perlu managemen keperawatan yang tepat untuk mengatasi masalah pada gangguan fungsi esofagus ini yang memperbaiki dan menjaga kelangsungan hidup penderitanya.

1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan esofagus dengan pendekatan proses keperawatan. 1.2.2 Tujuan khusus 1.2.2.1 Mampu melakukan pengkajian keperawatan 1.2.2.2 Mampu merumuskan diagnosa keperawatan 1.2.2.3 Mampu menyusun rencana keparawatan 1.2.2.4 Mampu melakukan tindakan keperawatan 1.2.2.5 Mampu melakukan evaluasi keperawatan

1.3 Rumusan masalah Bagaimana Managemen keperawatan pada klien dengan gangguan esofagus melalui pendekatan proses keperawatan?

Bab 2 Tinjauan Pustaka

2.1.

Anatomi dan Fisiologi

2.1.1 Anatomi Esofagus Gambar esofagus

Esofagus merupakan suatu organ silinder berongga dengan hipofaring hingga terhadap jantung dan trakea, anterior terhadap vertebra , dan berjalalan melalui lubang diafragma tepat anterior terhadap aorta. Esofagus terutama berfungsi menghantarkan bahan yang dimakan dari faring ke lambung (Lorraine M.Wilson, 2002). Pada kedua ujung esofagus terdapat otot sfingter. Krikofaringeaus membentuk membentuk sfingter esofagus bagian atas dan terdiri atas serabut-serabut otot rangka. Dalam keadaan normal berada keadaaan tonik atau kontraksi kecuali waktu menelan. Sfingter esofagus bagian bawah, walaupun secara anatomis tidak nyata, bertindak sebagai sfingter dan berperan sebagai sawar terhadap refluks isi lambung ke dalam esofagus. Dalam keadaan normal sfingter ini tertutup, kecuali bila makanan masuk ke dalam lambung atau waktu berdahak atau muntah. Dinding esofagus seperti juga bagian lain dari saluran cerna, terdiri atas empat lapisan; mukosa, submucosa, muscularis dan serosa (lapisan luar). Lapisan mukosa dalam terbentuk dari epitel berlapis gepeng bertingkat yang berlajut ke faring ujung atas; epitel lapisan ini mengalami perubahan mendadak pada perbatasan esofagus dan lambung dan menjadi epitel selapis toraks. Mukosa esofagus dalam keadaan normal bersifat alkali dan tidak tahan

terhadap isi lambung yang bersifat asam. Lapisan submukosa mengandung sel-sel sekretoris yang menghasilkan mucus. Mukus mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan dan melindungi mukosa dari cedera akibat zat kimia. Lapisan otot luar tersusun longitudinal dan lapisan dalam tersusun sirkuler. Otot-otot pada 5% bagian atas esofagus merupakan otot rangka, sedangkan otot-otot pada separuh bagian bawah merupakan otot polos . berbeda dengan bagian saluran cerna lainnya, bagian luar esofagus tidak memiliki lapisan serosa ataupun selaput peritonium, melainkan lapisan luar yang terdiri atas jaringan ikat jarang yang menghubungkan esofagus dengan struktur-struktur yang berdekatan. Tidak adanya serosa mengakibatkan penyebaran sel-sel tumor lebiih cepat (bila ada kanker esofagus) dan kemungkinan bocor etelah perasi menjadi lebih besar.

Persyarafan esofagus dilakukan oleh serabut-serabut syaraf simpatis dan parasimpatis dari sistem syaraf otonom. Serabut-serabut parasimpatis dibawa oleh nerves fagus, yang dianggap sebagai syaraf motorik esofagus. Fungsi syaraf simpatis kurang diketahui. Selain persyarafan ekstrinsik tersebut, terdapat jala-jala serabut syaraf intramural intrinstik diantara lapisan otot siirkular dan longitudinal ( pleksus Auerback ), dan tampaknya berperan dalam mengatur peristaltik esofagus normal.

Distribusi darah esofagus mengikuti pola segmental. Bagian atas disuplai oleh cabang-cabang arteria tiroidea inferior dan subklavia. Bagian tengah disuplai oleh cabang-cabang segmental aorta dan arteria bronkialis, sedangkan bagian subdiafragmatika disuplai oleh arteria gastrika sinistra danfrenika inferior.

Aliran darah vena juga mengikuti pola segmental. Vena-vena esofagus daerah leher mengalirkan darah ke vena azigos dan heamazigos, dan bawah diafragma vena esofagia masuk ke dalam vena gastrika sinistra. Hubungan antara vena porta dan sistemik memungkinkan pintas dari hati pada kasus hipertensi portal. Aliran kolateral melalui vena-vena esofagia menyebabkan pembentukan varises esofagus (vena farikosa esofagus). Vena-vena yang melebar ini dapat pecah, menyebabkan perdarahan yang dapat menyebabkan kematian.

2.1.2 Fisiologi Esofagus Esofagus berfungsi dalam fungsi menelan.Menelan merupakan suatu aksi fisiologis kompleks dimana makanan atau cairan .Berjalan dari mulut ke lambung. Menelan merupakan rangkaian kegiatan otot yang sangat terkoordinasi, dimulai dari pergerakan volunter lidah dan diselesaikan oleh serangkaian refleks dalam faring dan esofagus. Bagian aferen lengkung refleks ini merupakan serabut-serabut yang terdapat dalam syaraf V,IX, dan X. Pusat menelan atau deglutisi terdapat pada medula oblongata. Dibawah koordinasi pusat ini, impus berjalan keluar dalam rangkaian waktu yang sempurna melalui syaraf kranial V,X dan XII menuju ke otot-otot lidah, faring, dan esofagus. Walaupun menelan merupakan proses kontinue, tetapi dapat dibagi menjadi tiga fase: oral, fageal, dan esofagus. Pada waktu fase oral, makanan yang telah dikunyah oleh mulut dinamakan bolus dodorong ke belakang mengenai dinding posterior faring oleh gerakan volunter lidah. Akibat yang timbul dari peristiwa ini adalah ransangan untuk geraakan refluks menelan. Pada fase faringeal, palatum mole dan uvula bergerak secara spontan menutup rongga hidung. Pada saat yang sama, faring terangkat dan menutup glotis, mencegah mekanan menutupi trakea. Kontraksi otot kontriktor faringeaus mendorong bolus melewati epiglotis menuju ke faring bagian bawah dan memasuki esofagus. Gerakan retrofleksi epiglotis di atas orifisium laringeaua adalah tindakan lanjut untuk melindungi saluran pernafasan, tetapi terutama untuk menutup glotis sehingga mencegah makanan memasuki trakea. Pernafasan secara serentak dihambat untuk mengurangi kemungkinan aspirasi. Sebenarnya, hampir tidak mungkin secara volunter mekanik nafas dan menelan dalam waktu yang sama. Fase esofageal mulai saat otot kronikofaringeous relaksasi sejenak dan memungkinkan bolus masuk esofagus. Setelah relaksasi yang singkat ini, gelombang peristaltik primer yang dimulai dari faring yang dihantarkan ke otot krikofaringeaus, menyebabkan otot ini berkontraksi. Gelombang peristaltik ini terus berjalan sepanjang

esofagus, mendorong bolus menuju sfingter esofagus bagian distal. Adanya bolus sejenak merelaksasikan otot sfingter distal ini sehingga memungkinkan bolus masuk ke lambung. Gelombang peristaltik primer bergerak dengan kecepatan 2-4 cm/detik, sehingga makanan yang tertelan mencapai lambung dalam waktu 5-15 detik. Mulai setinggi arkus aorta, timnul gelombang peristaltik sekunder bila gelombang primer gagal mengosongkan esofagus. Gelombang ini timbulnya dipacu oleh peregangan esofagus oleh partikel makanan yang tersisa. Gelombang peristaltik primer penting untuk jalannya makanan dan cairan melalui bagian atas esofagus, tetapi kurang penting untuk jalannya makanan pada bagian bawah.posisi berdiri tegak dan gaya gravitasi merupakan bagian penting yang memepermudah transport ke bawah esofagus, tetapi adanya gerakan peristaltik memungkinkan seseorang dapat minum air sambil berdiri terbalik dengan kepala di bawah. Sewaktu menelan terdapat perubahan tekanan dalam esofagus. Dalam keadaan istirahat, tekanan esofagus sedikit dibawah tekanan atmosfer, tekanan ini mencerminkn tekanan intratorakal. Daerah sfingteer esofagus bagian atas dan bawah merupakan daerah dengan tekanan tinggi. Daerah tekanan tinggi ini berfungsi untuk mencegah aspirasi dan refluks isi lambnug.tekanan menurun bila masing-masing sfingter relaksasi sewaktu menelan dan kemudian meningkat bila gelombang peristaltik melewatinya

2.2

Tinjauan teori gangguan Esofagus

2.2.1 Tinjauan Teori Dysphagia 2.2.1.1 Definisi Disfagia adalah sensasi gangguan pasase makanan dari mulut ke lambung. Pasien mengeluh sulit menelan atau makanan terasa mengganjal dileher/dada atau makanan terasa tidak turun ke lambung. Harus dibedakan dengan odinofagia (Dadang Makmur,2001). 2.2.1.2 Etilogi Disfagia dapat disebabkan oleh gangguan pada masingmasing fase menelan yaitu pada fase orofaringeal dan fase esofageal. Keluhan disfagia pada fase orofaringeal berupa keluhan adanya regurgitasi ke hidung, terbatuk waktu berusaha menelan atau sulit untuk mulai menelan. Sedangkan disfagia fase esofageal, pasien mampu menelan tapi terasa bahwa yang ditelan terasa tetap mengganjal atau tidak mau turun serta sering disertai nyeri retrosternal. Disfagia yang pada awalnya terutama terjadi pada waktu menelan makanan padat dan secara progresif kemudian terjadi pula pada makanan cair, diperkirakan bahwa penyebabnya adalah kelainan mekanik atau struktural. Sedangkan bila gabungan makanan padat dan cair diperkirakan penyebabnya adalah gangguan neuro muskular. Bila keluhan progresif bertambah berat, sangat dicurigai adanya proses keganasan. 2.2.1.3 Manifestasi klinis Disfagia dapat disebabkan oleh gangguan pada masing-masing fase menelan yaitu pada fase orofaringeal dan esofageal. Keluhan disfagia pada fase orofaringeal yaitu berupa keluhan adanya regurgitasi ke hidung, terbatuk waktu berusaha menelan atau sulit untuk memulai menelan. Disfagia pada fase esofageal, pasien mampu menelan tapi terasa bahwa yang ditelan tetap mengganjal atau tidak mau turun serta sering disertai nyeri retro sternal. Dysfagia yang mulanya terjadi waktu awal menelan makanan padat dan secara progresif kemudian terjadi pula pada makanan cair, diperkirakan penyebabnya kelainan mekanik atau struktural. Sedangkan apabia penyebabnya gabungan antara padat dan cair diperkirakan penyebabnya adalah gangguan neuromusculer. Bila keluhan bersifat progresif bertambah berat, dicurigai adanya keganasan.

2.2.1.4 WOC ( Web of Caution )


Penyakit otot atau Neurologis (miastenia grafis, gangguan peredaran darah otak, distropi otot, polio bulbaris ) Obstruktif atau motorik ( striktura, tumor, keganasan )

Gangguan mekanik

Gangguan Obstruktif

Penurunan peristaltik esofagus, disfungsi sfingter atas dan bawah

Penyempitan lumen esofagus Kesulitan menelan

Penurunan volume kapasitas esofagus Resiko ketidak seimbangan cairan: kurang dari kebutuhan tubuh (2)

Peningkatan resisitensi zat makananan pd proximal dan distal lumen esofagus

Mengiritasi mukosa esofagus

Resiko ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh (3)

Refluks (regurgitasi)

Gangguan kenyamanan: nyeri esofagus (4)

Defisit pengetahuan tentang perawatan

Masuk ke saluran nafas atas Resiko aspirasi (1)

Resiko ketidakefektifan penatalaksanaan program teraupitik (5)

2.2.1.5 Diagnosis

a. Esofagogastroskopi Inspeksi langsung muksa esofagus merupakan tindakan penting pada diagnosis gangguan esofagus. Alat seratoptik yang fleksibel membuat tindakan ini jauh lebih mudah dan lebih aman bagi penderita. Peradangan, tukak, tumor, dan varises esofagus dapat dilihat,difoto,dan dibiopsi. Persiapannya terdiri dari enam jam puasa dan berbgai bentuk premedikasi berupa penyemprotan dengan anestesi lokal b. Barium meal (Esofagografi) tenggorokan. Dengan menggunakan barium sulfat dalam cairan atau suspensi yang ditelan. Mekanisme menelan dapat secara langsung dilihat dengan fluooskopi, atau gambaran radiogram dapat direkam dapat drekam degan menggunakan gambar bergerak (sinematografi). 2.2.1.6 Penatalaksanaan Terapi terbaik untuk Disfagia adalah terapi langsung pada penyebab disfagia itu sendiri, dapat diberikan obat seperti pada gangguan disfagia akibat radang pada esophagus. Pada gangguan menelan akibat massa yang menekan biasanya digunakan terapi bedah. 2.2.2 Tinjauan Teori Achalasia 2.2.2.1 Definisi Akalasia merupakan suatu keadaan klien yang ditandai dengan tidak adanya peristaltik korpus esofagus bagian bawah dan sfingter esofagus bagian bawah yang hipertonik sehingga tidak bisa melakukan relaksasi secara sempurna pada waktu menelan makanan. Akibatnya akan terjadi statis makanan dan selanjutnya akan timbul pelebaran esofagus. Keadaan ini akan menimbulkan gejala dan komplikasi tergantung dari berat dan lamanya terjadi. Secara khusus dibagi menjadi akalasia primer dan sekunder yang dihubungkan dengan etiloginya (Ali I,2001).
2.2.2.2 Epidemologi

Prevalensi akalasia sekitar 10 kasus per 100.000 populasi. Namun hingga sekarang, insidens penyakit ini telah cukup stabil dalam 50 tahun terakhir yaitu sekitar 0,5 kasus per 100.000 populasi per tahun. Rasio kejadian penyakit ini sama antara laki-laki dengan perempuan. Menurut penelitian, distribusi umur pada akalasia biasanya sering terjadi antara umur kelahiran sampai dekade ke-9, tapi jarang terjadi pada 2 dekade pertama (kurang dari 5% kasus didapatkan pada anak-anak). Umur rata-rata pada pasien orang dewasa adalah 25-60 tahun. 2.2.2.3 Etiologi Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Secara histologik diteraukan kelainan berupa degenerasi sel ganglion plexus Auerbach sepanjang esofagus pars torakal. Dari beberapa data disebutkan bahwa faktor-faktor seperti herediter, infeksi, autoimun, dan degeneratif adalah kemungkinan penyebab dari akalasia (Mark JW,2005). a. Teori Genetik. Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah mendukung bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara genetik. Kemungkinan ini berkisar antara 1 % sampai 2% dari populasi penderita akalasia. b. Teori Infeksi. Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria

pertussis, clostridia, tuberculosis dan syphilis), virus (herpes, varicella zooster, polio dan measles), Zat-zat toksik (gas kombat), trauma esofagus dan iskemik esofagus uterine pada saat rotasi saluran pencernaan intra uterine. Bukti yang paling kuat mendukung faktor infeksi neurotropflc sebagai etiologi. Pertama, lokasi spesifik pada esofagus dan fakta bahwa esofagus satu-satunya bagian saluran pencernaan dimana otot polos ditutupi oleh epitel sel skuamosa yang memungkinkan infiltrasi faktor infeksi. Kedua, banyak perubahan patologi yang terlihat pada akalasia dapat menjelaskan faktor neurotropik virus tersebut. Ketiga, pemeriksaan serologis menunjukkan hubungan antara measles dan varicella zoster pada pasien akalasia.

10

c. Teori Autoimun. Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari

beberapa somber. Pertama, respon inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi oleh limfosit T yang diketahui berpefan dalam penyakit autoimun. Kedua, prevalensi tertinggi dari antigen kelas II, yang diketahui berhubungan dengan penyakit autoimun lainnya. Yang terakhir, beberapa kasus akalasia ditemukan autoantibodi dari pleksus mienterikus. d. Teori Degeneratif. Studi epidemiologi dari AS. menemukan bahwa akalasia berhubungan dengan proses penuaan dengan status neurologi atau penyakit psikis, seperti penyakit Parkinson dan depresi. 2.2.2.4 Manifestasi Klinis Akalasia biasanya mulai pada dewasa muda walaupun ada juga yang ditemukan pada bayi dan sangat jarang pada usia lanjut. Biasanya gejala yang ditemukan adalah a. Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita Akalasia. Disfagia dapat terjadi secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi. Disfagia dapat berlangsung sementara atau progresif lambat. Biasanya cairan lebih sukar ditelan dari pada makanan padat. b. Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Sering regurgitasi terjadi pada malam hari pada saat penderita tidur, sehingga dapat menimbulkan pneumonia aspirasi dan abses paru c. Rasa terbakar dan Nyeri Substernal dapat dirasakan pada stadium permulaan. Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah epigastrium dan rasa nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pektoris. d. Penurunan berat badan terjadi karena penderita berusaha mengurangi makannya unruk mencegah terjadinya regurgitasi dan perasaan nyeri di daerah substernal. e. Gejala lain yang biasa dirasakan penderita adalah rasa penuh pada substernal dan akibat komplikasi dari retensi

11

makanan.

2.2.2.5 WOC ( Web of Caution )


Penyakit otot atau Neurologis (miastenia grafis, gangguan peredaran darah otak, distropi otot, polio bulbaris ) Obstruktif atau motorik ( striktura, tumor, keganasan )

Gangguan mekanik

Gangguan Obstruktif

Penurunan peristaltik esofagus, disfungsi sfingter atas dan bawah

Penyempitan lumen esofagus Kesulitan menelan

Penurunan volume kapasitas esofagus Resiko ketidak seimbangan cairan: kurang dari kebutuhan tubuh (2)

Peningkatan resisitensi zat makananan pd proximal dan distal lumen esofagus

Mengiritasi mukosa esofagus

Resiko ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh (3)

Refluks (regurgitasi)

Gangguan kenyamanan: nyeri esofagus (4)

Defisit pengetahuan tentang perawatan

Masuk ke saluran nafas atas Resiko aspirasi (1)

Resiko ketidakefektifan penatalaksanaan program teraupitik (5)

12

2.2.2.6 Diagnosis Diagnosis Akalasia Esofagus ditegakkan berdasarkan gejala klinis, gambaran radiologik, esofagoskopi dan pemeriksaan manometrik. a. Pemeriksaan Radiologik Pada foto polos toraks tidak menampakkan adanya

gelembung-gelembung udara pada bagian atas dari gaster, dapat juga menunjukkan gambaran air fluid level pada sebelah posterior mediastinum. Pemeriksaan esofagogram barium dengan pemeriksaan fluoroskopi, tampak dilatasi pada daerah dua pertiga distal esofagus dengan gambaran peristaltik yang abnormal esofagus serta atau gambaran penyempitan junction di bagian distal esophagogastric yang menyerupai

seperti bird-beak like appearanc. b. Pemeriksaan Esofagoskopi Esofagoskopi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk semua pasien akalasia oleh karena beberapa alasan yaitu untuk menentukan adanya esofagitis retensi dan derajat keparahannya, untuk melihat sebab dari obstruksi, dan untuk memastikan ada tidaknya tanda keganasan. Pada pemeriksaan ini, tampak pelebaran lumen esofagus dengan bagian distal yang menyempit, terdapat sisa-sisa makanan dan cairan di bagian proksimal dari daerah penyempitan, Mukosa esofagus berwarna pucat, edema dan kadang-kadang terdapat tandatanda esofagitis aldbat retensi makanan. Sfingter esofagus bawah akan terbuka dengan melakukan sedikit tekanan pada esofagoskop dan esofagoskop dapat masuk ke lambung dengan mudah. c. Pemeriksaan Manometrik Gunanya untuk mem'lai fungsi motorik esofagus dengan melakukan pemeriksaan tekanan di dalam lumen sfingter esofagus. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan kelainan

13

motilitas dilakukan

secaradengan

kuantitatif

dan

kualitatif. untuk

Pemeriksaan pemeriksaan

memasukkan

pipa

manometri melalui mulut atau hidung. Pada akalasia yang dinilai adalah fungsi motorik badan esofagus dan sfingter esofagus bawah. Pada badan esofagus dinilai tekanan istirahat dan aktifitas peristaltiknya. Sfingter esofagus bagian bawah yang dinilai adalah tekanan istirahat dan mekanisme relaksasinya. Gambaran manometrik yang khas adalah tekanan istirahat badan esofagus meningkat, tidak terdapat gerakan peristaltik sepanjang esofagus sebagai reaksi proses menelan. Tekanan sfingter esofagus bagian bawah normal atau meninggi dan tidak terjadi relaksasi sfingter pada waktu menelan. 2.2.2.7 Penatalaksanaan Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus tidak dapat dipulihkan kerabali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi esofagokardiotomi (operasi Heller) a. Terapi Medikasi 1) Pemberian smooth-muscle relaxant, seperti nitroglycerin 5 mg SL atau 10 mg PO, dan juga methacholine, dapat membuat sfingter esofagus bawah relaksasi dan membantu membedakan antara suatu striktur esofagus distal dan suatu kontraksi sfingter esofagus bawah. Selain itu, dapat juga diberikan calcium channel blockers (nifedipine 10-30 mgSL) dimana dapat mengurangi tekanan pada sfingter esofagus bawah. Namun demikian hanya sekitar 10% pasien yang berhasil dengan terapi ini. Terapi ini sebaiknya digunakan untuk pasien lansia yang mempunyai kontraindikasi atas pneumatic dilatation atau pembedahan. 2) Injeksi Botulinum Toksin. Suatu injeksi botulinum toksin intrasfingter dapat digunakan untuk menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian sfingter esofagus bawah, yang kemudian endoskopi, akan mengembalikan diinjeksi keseimbangan memakai antara jarum neurotransmiter eksitasi dan inhibisi. Dengan menggunakan toksin dengan skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding esophagus

14

dengan sudut kemiringan 45, dimana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas batas proksimal dari LES dan toksin tersebut diinjeksi secara caudal ke dalam sfingter. Dosis efektif yang digunakan yaitu 80-100 unit/mL yang dibagi dalam 20-25 unit/mL untuk diinjeksikan pada setiap kuadran dari LES. Injeksi diulang dengan dosis yang sama 1 bulan kemudian untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Pneumatic Dilatation 3) Pneumatic dilatation telah menjadi bentuk terapi utama selama bertahun-tahun. Suatu baton dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction yang bertujuan luituk merupturkan serat otot, dan membuat mukosa menjadi intak. 4) Terapi Bedah Suatu laparascopic Heller myotomy dan partial

fundoplication adalah suatu prosedur pilihan untuk akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu pemisahan serat otot (mis: miotomi) dari sfingter esofagus bawah (5 cm) dan bagian proksimal lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial fundoplication untuk mencegah refluks. 2.2.3 Tinjauan Teori Hiatal Hernia

2.2.3.1 Definisi Suatu herniasi bagian lambung kedalam dada melalui hiatus esofagus diafragma. Terdapat dua jenis hernia hiatus yang sangat berbeda. Bentuk yang paling sering ditemukan adalah hernia hiatus tergelincir (sliding) direck, dimana perbatasan esofagus dan lambung bergeser ke rongga dada, khususnya bila penderita berada dalam posisi berbaring. Kompetensi sfingter esofagus esofagus bagian bawah rusak, mengakibatkan refluks esofagitis. Kelainan ini ering timbul tanpa gejala dan ditemukan secara kebutulan sewaktu dilakukan pemeriksaan untuk menemukan sebab berbagai gangguan epigastrium. Jenis kedua yaitu hernia hiatus menggelinding (rolling) atau hernia paraesofageal, bagian dari fundus lambung menggulung melewati hiatus, dan perbatasan gastro-esofagus tetap berada dibawah diafragma. Tidak terdapat insufisiensi mekanisme sfingter esofagus bagian bawah, dan akibatnya tidak terjadi esofagitis refluks. Komplikasi utamanya adalah strangulasi (Lorraine M.Wilson, 2002).

15

2.2.3.2 Epidemologi
Angka kejadian hiatus hernia di USA dan juga negara-negara barat meningkat sesuai umur mulai dari 10% pada usia dibawah 40 tahun (th) sampai 70% pada usia diatas 70th. Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan burkit et al, menerangkan bahwa kurangnya konsumsi serat dan keadaan kronis konstipasi menjelaskan hubungan angka kejadian hiatus hernia yang tinggi dinegara-negara barat (WHO,2008) 2.2.3.3 Etiologi a. Traumatik manifestasi klinisnya dapat akut, intermediet dan lambat sampai 2-3 tahun. b. Non traumatik dapat diakibatkan karena kelemahan otot-otot hiatus oesofagus yang pada umumnya terjadi pada orang berusia pertengahan. c. Predisposisi terjadinya hiatal hernia adalah kelemahan otototot penyusun diafragma, wanita lebih banyak dari laki-laki, kurang komsumsi serat dalam diet, keadaan konstipasi lama, oesofagitis kronis yang menybabkan terjadinya pemendekan oesofgus karena terbentuk fibrosis, kehamilan dan asites. 2.2.3.4 Manisfestasi Klinis Biasanya pada neonatus terjadi distres pernafasan, infeksi saluran nafas rekuren, muntah dan sianosis, karena kolapnya paru-paru yang terkena dan pergeseran struktur mediastinum ke sisi kontralateral serta terganggunya venous return ke jantung . Pada dewasa, gejala-gejala gastrointestinal lebih sering tampak, karena obstruksi sub akut, atau batuk yang persisten dan masalah saluran nafas. Kadang ditemukan kasus insidental pada laparotomi atau pemeriksaan CT Scan dan MRI yang dilakukan untuk penyakit lain.

16

2.2.3.5 WOC ( Web of Caution )


Penyakit otot atau Neurologis (miastenia grafis, gangguan peredaran darah otak, distropi otot, polio bulbaris ) Obstruktif atau motorik ( striktura, tumor, keganasan )

Gangguan mekanik

Gangguan Obstruktif

Penurunan peristaltik esofagus, disfungsi sfingter atas dan bawah

Penyempitan lumen esofagus Kesulitan menelan

Penurunan volume kapasitas esofagus Resiko ketidak seimbangan cairan: kurang dari kebutuhan tubuh (2)

Peningkatan resisitensi zat makananan pd proximal dan distal lumen esofagus

Mengiritasi mukosa esofagus

Resiko ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh (3)

Refluks (regurgitasi)

Gangguan kenyamanan: nyeri esofagus (4)

Defisit pengetahuan tentang perawatan

Masuk ke saluran nafas atas Resiko aspirasi (1)

Resiko ketidakefektifan penatalaksanaan program teraupitik (5)

2.2.3.6

Diagnosis

17

Pada anak-anak berdasarkan pada pemeriksaan klinis di mana terdapat abdomen yang scaphoid dan adanya suara usus di thoraks. Pada center yang maju saat ini telah didiagnosis antenatal dengan ultrasonografi pada 40-90% kasus. Pada postnatal, pemeriksaan sinar-X dada sederhana atau jika meragukan dengan barium meal dan followthrough biasanya dapat untuk diagnostik. Gambaran khas berupa radiolusensi multipel di dalam dada karena loop usus yang terisi gas dengan pergeseran mediastinum ke sisi kontralateral, menimbulkan pola yang kadang-kadang menyerupai malformasi adenomatoid kistik di paru-paru. Pada dewasa diagnosis sering salah sampai timbul kecurigaan yang kuat. Thomas dkk menemukan sekitar 38% pasien hernia

Bochdalek dewasa terjadi misdiagnosis, di mana sering keliru didiagnosis sebagai efusi pleura, empyema, kista paru-paru dan pneumothoraks. Pada dewasa yang

asimtomatik diagnosis biasanya ditemukan pada pemeriksaan CT Scan atau MRI yang dilakukan untuk penyakit lain. 2.2.3.7 Penatalaksanaan Tindakan pembedahan dapat dilakukan baik melalui

pendekatan abdomen maupun thoraks. Pendekatan abdomen mempunyai keuntungan dapat mengoreksi malrotasi pada saat yang bersamaan. Lebih mudah menarik organ ke bawah dari pada mendorong organ ke dalam kavum abdomen yang sempit. Isi hernia biasanya meliputi usus halus dan sebagian usus besar. Lien juga sering masuk ke kavum thoraks. Kadang-kadang lobus kiri hepar, glandula adrenal kiri atau ginjal kiri juga tampak Melalui incisi subcostal organ abdomen dibebaskan dari rongga thoraks, menampakkan defek pada diafragma.

2.3 Managemen pasien dengan Ganguan Esofagus dengan pendekatan proses Keperawatan 2.3.1 Pengkajian

18

Tahap ini merupakan awal dari proses keperawatan. Tahap pengkajian memerlukan kecermatan dan ketelitian untuk mengenal masalah. Keberhasilan proses keperawatan sangat tergantung pada tahap ini (S.Suarli,2008). 2.3.1.1 Biodata Jenis kelamin: Rasio kejadian penyakit ini sama antara laki- laki dengan perempuan. Usia: penyakit ini lebih banyak diderita oleh golongan usia menengah keatas karena faktor degenerasi sel ( disfugsi otot dan neurologis ) 2.3.1.2 Riwayat Penyakit Keluhan utama Biasanya keluhan yang paling dominan yaitu Sulit menelan makanan atau makanan terasa tertahan di kerongkongan Riwayat Penyakit sekarang Biasanya penderita mulanya mengeluh sulit menelan saat makan atau makanan yang dimakan terasa tertahan di dalam kerongkonngan, terasa seperti terganjal batu pada kerongonanan. Keluhan muncul saat makan,semakin bertambah apabila dibuat makan makanan yang padat dan cair, berkurang apabila diistirahatkan. Riwayat Penyakit dahulu Tanyakan pada penderita apakah pernah menderita penyakit yang terkait termasuk penyakit neurologis seperti miestenia gravis, parkinson, CVA, atau riwayat tumor, kanker esofagus. Riwayat Penyakit keluarga Tanyakan apakah ada anggota keluarga klien menderita penyakit menurun (neurologis seperti CVA, parkinson,miestenia gravis ) Riwayat Psikologis Tanyakan pada penderita bagaimana sikapnya terhadap penyakit yang diderita, tindakan apa yang dilakukan untuk memperoleh kesembuhan, motivasi yang mendorong untuk kesembuhan Riwayat Religius Bagaimana pasien memandang penyakit yang diderita berdasarkan nilai yang diajarkan dalam agama, apa yang dilakukan penderita berkaitan dengan daya spiritualitas untuk mendapatkan kesembuhan. Pola kebiasaan sehari-hari Pernafasan (Respirasi) Gejala:

19

Biasanya tidak mengalami masalah, tapi jika terjadi muntah/ refluk saat tidur dapat meresiko terjadi aspirasi Gangguan: Resiko terjadi aspirasi Cardiovaskuler Gejala: tidak mengalami gejala yang signifikan dalam hal perubahan nadi, dan tensi Gangguan: tidak mengalami gangguan Brain (serebral system) Gejala: tidak menunjukkan perubahan gejala yang signifikan pada bentuk pupil, ukuran pupil, kesimetrisan pupil dan refleks cahaya. Gangguan: tidak mengalami gangguan Bladder (Genito Urinaria) Gejala: Biasanya mengalami gangguan berupa anoreksia akibat regurgitasi cairan atau makanan dari tenggorokan Gangguan: Resiko ketidak seimbangan cairan: kurang dari kebutuhan tubuh Bowel ( Gastrointestinal) Gejala: Biasanya klien mengalami gangguan berupa mual muntah saat makan dan terasa panas didada akibat makanan yang tertahan Gangguan: Resiko ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh Musculoskeletal Gejala: Tidak menunjukkan kelainan yang signifikan pada tonus otot, kemampuan berdiri dan berjalan Ganguan: tidak mengalami gangguan 2.3.2 Diagnosa keperawatan Adalah Pernyataan yang singkat, jelas dan pasti tentang masalah pasien serta pengembangan yang dapat dipecahkan atau diubah melalui tindakan keperawatan (S.Suarli,2008).

20

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan gangguan esofagus antara lain: a. Resiko aspirasi regurgitasi berhubungan dengan kesulitan menelan,

b. Resiko ketidak seimbangan cairan: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan, regurgitasi c. Resiko ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan, regurgitasi d. Gangguan kenyamanan: mual atau refluks berhubungan dengan peningkatan retensi makanan pada lumen esofagus e. Resiko ketidakefektifan penatalaksanaan program teraupitik berhubungan dengan defisit perawatan 2.3.3 Rencana asuhan keperawatan Adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilakukan, untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan yang ditentukan (S.Suarli,2008). 2.3.3.1 Resiko aspirasi regurgitasi berhubungan dengan kesulitan menelan,

a. Karakteristik mayor Statis makanan dalam rongga mulut, tersedak, batuk setelah asupan makanan/ minuman. b. Karakteristik minor Bicara tidak jelas, suara hidung, mengiler, apraksia (ideasional, konstruksional atau visual). c. Tujuan : Individu melaporkan perbaikan kemampuan menelan.
d. Indikator :

1) Menggambarkan faktor faktor penyebab jika diketahui. 2) Menggambarkan rasional dan prosedur untuk pengobatan. e. Intervensi generik :
1) kurangi kemungkinan aspirasi dengan Duduk tegak ( 60 0

sampai 900) di kursi atau menjuntaikan kaki pada sisi tempat tidur jika mungkin ( sangga dengan bantal jika perlu), Ambil posisi 10 sampai 15 menit sebelum makan dan pertahankan posisi selama 10 sampai 15 menit etelah makan selesai

21

Rasional: perubahan posisi yang tidak fasiologis menimbulkan refluks ke saluran nafas yang dapat menyebabkan pneumonia aspirasi atau sumbatan jalan nafas 2) Bantu individu menggerakkan bolus makanan dari bagian anterior mulut ke bagian posterior. Tempatkan makanan pada bagian posterior mulut tempat penelanan dipastikan dapat terjadi. Rasional: fisiologis pencernaan makanan, setelah dicerna makanan mengalir dari aterior ke posterior faring ke esofagus 3) Beri makanan dengan lambat pastikan gigitan sebelumnya telah ditelan. Rasional: pemberian makanan bertahap dapat lebih mengefektifkan kerja dari organ penernaan dalam mencerna makanan 2.3.3.2 Resiko ketidak seimbangan cairan: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan, regurgitasi a. Karakteristik mayor: 1) Ketidak cukupan asupan cairan oral 2) Keseimbangan negatif antara asupan dan haluaran 3) Penurunan berat badan 4) Kulit/membran mukosa kering b. Karakteristik minor: 1) Peningkatan natrium serum 2) Penurunan haluaran urine atau haluaran urine berlebihan 3) Urine memekat atau sering berkemih 4) Penurunan turgor kulit 5) Haus, mual anoreksi

c. Tujuan : Individu mempertahankan berat jenis urine dalam batas normal d. Indikator: 1) Meningkatkan asupan cairan sesuai usia dan kebutuhan

22

metabolik 2) Mengidentifikasi faktor resiko defisit cairan dan menyebutkan kebutuhan peningkatan cairan sesuai indikasi Rasional: defisit cairan intraseluler dapat berdampak pada perubahan fungsi biokimia dan fisiologis sel yang berakhir pada kematian sel 3) Memperlihatkan tidak adanya tanda dan gejala dehidrasi Rasional: penurunan turgor, rasa haus berlebih, mukosa yang kering indikator dehidrasi sel e. Intervensi generik: 1) Kaji yang disukai dan yang tidak disukai; beri cairan kesukaan dalam batasan diet Rasional: lebih mengoptimalkan jumlah intake nutrsi yang masuk ke sistem pencernaan 2) Pantau asupan ; pastikan sedikitnya 1500 mL cairan per oral setiap 24 jam Rasional: kesesuaian antara asupan dan kebutuhan metabolilk dapat menciptakan balance energi / keseimbangan proses perpindahan/metabolisme energi 3) Pantau haluaran ; pastikan sedikitnya 1000-1500 mL /24 jam. Pantau adanya penurunan berat jenis urine. Rasional: haluaran berlebih, penurunan BJ urine indikator dehidrasi primer sel 4) Timbang berat badan setiap hari dengan jenis baju yang sama, pada waktu yang sama. Rasional: Penurunan berat badan 2%- 4% menunjukkan dehidrasi ringan, penurunan berat badan 5%-9% menunjukkan dehidrasi sedang. 5) Kolaborasi dengan tim medis pemberian cairan perhari sesuai kebutuhan kalori dan kondisi pasien. Rasional : kebutuhan maintenen cairan perhari 50cc/kg untuk menjaga keseimbangan distribusi antar kompartemen cairan tubuh 2.3.3.3 Resiko ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan, regurgitasi

a. Kiteria Mayor

23

Kebutuhan metabolik aktual atau potensial dengan asupan yang lebih. b. Kriteria Minor 1) Berat badan 10% sampai 20%atau lebih di bawah berat badan ideal untuk tinggi dan kerangka tubuh. 2) Lipatan kulit trisep, lingkaran lengan tengah, dan lingkaran otot lengan tengah kurang dari 60% standar pengukuran 3) Kelemahan otot dan nyeritekan 4) Peka rangsang mental dan kekacauan mental 5) Penurunan albumin serum 6) Penurunan transferin serum atau penurunan kapasitas ikatan-besi c. Tujuan : Individu makan makanan bergizi tiap hari dalam kaitannya dengan tingkat aktivitasnya dan kebutuhan metabolik. d. Indikator : 1) Menyebutkan pentingnya nutrisi yag baik. 2) Mengidentifikasi asupan harian. 3) Menyebutkan metode peningkatan nafsu makan. e. Intervensi Generik : 1) Tentukan kebutuhan kalori harian yang realistik dan adekuat. Rasional: mengoptimalkan total nutrisi yanng dibutuhkan untuk proses metabolisme tubuh 2) Timbang berat badansetiap hari. Rasional: kehilangan BB 2% secara signifikan perhari menunjukkan tanda gangguan nutrisi 3) Beri jenis makanan yang cocok untuk klien Rasional: makanan lunak, rendah serat dan lemak adalah makanan yang cepat dicerna dan cepat masuk ke sistem pencernaan 4) Sajikan makanan selagi hangat Rasional: dapat menambah nafsu makan

24

5) Beri dorongan individu untuk makan sedikit demi sedikit, dan berhenti jika mual, muntah Rasional: mengoptimalkan makanan yang masuk, memberi jeda waktu organ yang bermasalah untuk beristirahat 6) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi Rasional: multivitamin dapat menambah kekurangan zat gizi yang larut dalam makanan, dan pemberian metoklorpamid dapat merelaksasikan otot esofagus dan lambung sehingga dapat mencegah refluks 2.3.3.4 Gangguan kenyamanan: mual atau refluks berhubungan dengan peningkatan retensi makanan pada lumen esofagus a. Karakteristik : Biasanya mendahului muntah, tetapi mungkin dialami setelah muntah atau ketika muntah tidak terjadi, pucat, kulit dingin dan basah, peningkatan saliva, takikardia, statis lambung, diare, disertai dengan gerakan menelan yang dipengaruhi oleh otot skelet, mengeluh mual atau enek lambung. b. Tujuan: Individu melaporkan penurunan mual, makanan tidak terasa tertahan di dada c. Indikator: Menyebutkan makanan atau minuman yang tidak meningkatkan mual, Menggambarkan faktor-faktor yang meningkatkan mual. d. Intervensi: 1) Jelaskan penyebab mual Rasional: mual disebabkan karena peningkatan retensi makanan pada lumen esofagus 2) Dorong pasien untuk makan sedikit tapi sering Rasional: mengurangi resiko retensi makanan yang berlebihan di lumen esofagus 3) Dorong pasien untuk istirahat pada posisi semi-fowler Rasional: melancarkan aliran makanan dari atas ke bawah 4) Ajarkan teknik untuk mengurangi mual

25

Rasional: makan sedikit-sedikit berhenti jika mual, kunyah makanan hingga halus dan beri minum sedikit dapat melancarkan aliran makanan ke bawah 2.3.3.5 Resiko ketidakefektifan penatalaksanaan program teraupitik berhubungan dengan defisit perawatan a. Kriteria mayor : 1) Mengungkapkan keinginan untuk mengatasi pengobatan penyakit dan pencegahan akibat penyakit tersebut 2) Mengungkapkan kesulitan dengan pengaturan/integrasi salah satu atau lebih aturan yang diharuskan untuk pengobatan penyakit dan efek atau pencegahan komplikasi b. Kriteria minor: Percepatan dari gejala penyakit, Mengungkapkan bahwa tidak mencakupkan program pengobatan dalam rutinitas sehari-hari dan bahwa tidak melakukan tindakan mengurangi faktor resiko kemajuan penyakit dan gejala sisanya c. Tujuan: Individu atau keluarga mengungkapkan maksud untuk mmelakukan perilaku kesehatan yang diperlukan atau keinginan untuk pulih dari penyakit dan pencegahan kekambuhan atau komplikasi d. Indikator: 1) Mengungkapkan ansietas berkurang yang berhubungan dengan ketakutan karena ketidak tahuan, ketakutan karena kehilangan kontrol, atau kesalahan konsepsi 2) Menggambarkan proses penyakit, penyebab dan faktor penunjang pada gejala, dan regimen untuk penyakit atau kontrol gejala.

e. Intervensi generik: 1) Identifikasi faktor penyebab atau penunjang yang menghalangi penatalaksanaan yang efektif: Kurang percaya, kurang percaya diri, kurang pengetahuan, Kurang sumber daya Rasional: dengan mengetahui idikatornya, dapat menilai

26

status kemampuan dalam perawatan diri 2) Bangun rasa percaya diri dan kemajuan diri yang positif Rasional: dengan membantu menggali potensi diri dapat membangun rasa percaya diri 3) Gali dengan individu tentang penata laksanaan masalah yaang telah berhasil pada masa lalu Rasional: untuk mempercepat pelatalaksanaan lanjutan 4) Jelaskan dan bicarakan: Proses penyakit, Program pengobatan, Rasional aturan, Pengharapan,Efek samping regimen, Perubahan gaya hidup yang diperlukan, Metode untuk memantau kondisi, perawatan lanjutan yang diperlukan, sumberdaya dan dukungan yang tersedia, perubahan lingkungan rumah yang diperlukan Rasional: dengan mengetahui metode peraawatan dapat lebih mengoptimalkan efektifitas penatalaksanaan perawatan klien 2.3.4 Implementasi keperawatan Adalah pelaksanaan rencana tindakan yang telah ditentukan, dengan maksud agar kebutuhan pasien terpenuhi secara optimal (S.Suarli,2008). 2.3.5 Evaluasi keperawatan Adalah proses penilaian pencapaian tujuan serta pengkajian ulang rencana keperawatan (S.Suarli,2008).

Bab 3 Penutup

3.1 Kesimpulan Esofagus merupakan salah satu organ dari sistem pencernaan bagian

27

atas. Esofagus berfungsi menghantarkan makanan dari faring menuju Lambung, tanpa melalui esofagus makanan tidak bisa masuk ke dalam lambung untuk selanjutnya dicerna menjadi bahan dasar untuk digunakan dalam metabolisme energi. Dalam beberapa kasus, esofagus dapat mengalami gangguan baik itu berupa gangguan mekanis yang disebabkan karena disfungsi otot, syaraf atau bisa juga disebabkan karena adanya sumbatan yang mempersempit lumen esofagus dan dapat menghalangi kelancaran proses perpindahan makanan dari faring ke lambung. Ketiga gangguan fungsi esofagus tersebut dikenal dengan Dysphagia, achalasia, dan hiatal hernia. Masalah keperawatan yang diakibatnya dari ketiga penyakit ini yaitu berupa resiko terjadinya aspirasi karena muntah yang terjadi menjelang tidur atau ketika tubuh dalam kondisi berbaring, resiko kekurangan cairan karena gangguan menelan, dan lamanya pengosongan makanan pada esofagus karena hambatan tadi, resiko kekurangan nutrisi karena muntah dan lamanya retensi makanan pada lumen esofagus, gangguan rasa nyaman karena gangguan menelan dan dada terasa panas karena terisi penuh oleh makanan, dan ketidak efektifan penatalaksanaan perawatan karena rendahnya pengetahuan penderita tentang perawatan penyakit. Untuk mengatasi masalah itu diperlukan prioritas penatalaksanaan yang adekuat dan secara konprehensif demi mendukung kesembuhan penderita.

3.2 Saran Bagi para pembaca, kami selaku penulis menyadari masih banyaknya kekurangan dalam kesempurnaan makalah ini baik dari segi penulisan, penempatan kata yang cocok, isi yang masih kurang praktis dan lainlain,untuk itu kami mohon saran dan kritik demi kesempurnaan penyusunan makalah yang akan datang.

Daftar Pustaka

Lorraine M.Wilson, 2002. Patofisilogi dan pendekatan klinis proses penyakit. Jakarta: EGC. Hal: 357-360. Dadang makmur. Managemen of Dysphagia disease. Gastroentrology, and hepatology 2001; 21-27

28

Ali I, Akalasia. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Volume 3. Jakarta: balai penerbit FKUI;2001.hal 105 Lynda Juall carpenito-moyet, 2007. Buku saku diagnosis keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC. S.Suarti, 2008. Managemen keperawatan dengan pendektan praktis. Jakarta: Erlangga. Hal:102-109

29

Anda mungkin juga menyukai