Anda di halaman 1dari 28

FAKULTAS KEDOKTERAN KRIDA WACANA, JAKARTA.

2012

Etika Profesi Kedokteran dan Rahasia Kedokteran BLOK 30: EMERGENCY MEDICINE 2

KELOMPOK C5

RENDY CHANDRA STEPHANIE ANGELINE SURIANI BINTI MOHAMED SHUKOR NORSHAKILLA BINTI ARJUNAIDI SHINTA PRIHASTU WULANINGRUM ANDY ANDWY SETIAWAN EMIR AFIF BIN MOHAMAD AZLAN JUAN ROLLIN MANU ADVENDILA

102007190 102008079 102008255 102008228 102008155 102008186 102008115 102008286 102008017 102008052

KATA PENGANTAR
Puji Tuhan kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas pembuatan makalah Problem Based Learning Blok 30 Emergency Medicine II dengan baik. Juga kami sampaikan terima kasih kepada dokter, dr. Yosephine yang membantu memberikan informasi sehingga makalah ini dapat terbentuk. Walaupun terdapat banyak kesulitan dalam pengerjaan makalah ini, mulai dari pengumpulan bahan, pembuatan dan penyusunannya, tetapi pada akhirnya makalah ini dapat diselesaikan dengan baik walau mungkin terdapat berbagai kekurangan. Pada akhirnya, kami mengucapkan maaf apabila terdapat kesalahan pada isi makalah ini dan harap dimaklumi. Atas kesempatan yg telah diberikan, kami ucapkan terima kasih.

Penulis, ............................... KELOMPOK C5

DAFTAR ISI
1. BAB I : PENDAHULUAN ......3 2. BAB II : PEMBAHASAN ISI ..............4 3. BAB III : TINJAUAN PUSTAKA PRINSIP ETIKA PROFESI KEDOKTERAN................................................12 INFORMED CONSENT.................................................................................15 RAHASIA KEDOKTERAN...........................................................................16 DAMPAK HUKUM........................................................................................20 DOKTER.........................................................................................................22 ISTRI...............................................................................................................25 4. BAB IV : KESIMPULAN...........................................................................................26 5. BAB V : DAFTAR PUSTAKA...................................................................................27

BAB I PENDAHULUAN
Etika profesionalisme dokter meliputi 4 prinsip moral, yaitu beneficence (prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien); non-maleficence (prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien); autonomi (prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien); justice (prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam mendistribusikan sumber daya). Pada setiap kasus, harus diperhatikan ke-empat prinsip moral ini, demikian pula pada kasus penanganan penyakit menular seksual dengan risiko ditularkannya penyakit ini kepada pasangannya serta adanya bahaya dalam perpecahan rumah tangga pasien. Harus dipertimbangkan dari sisi beneficence pengobatan GO dengan sisi autonomy pasien yang menginginkan istrinya tidak mengetahui mengenai penyakit yang dideritanya. Perkembangan yang begitu pesat di bidang biologi dan ilmu kedokteran membuat etika kedokteran tidak mampu lagi menampung keseluruhan permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan. Etika kedokteran berbicara tentang bidang medis dan profesi kedokteran saja, terutama hubungan dokter dengan pasien, keluarga, masyarakat, dan teman sejawat. Oleh karena itu, sejak tiga dekade terakhir ini telah dikembangkan bioetika atau yang disebut jugadengan etika biomedis.

BAB II PEMBAHASAN ISI


KASUS : Seorang Pasien laki-laki datang ke praktek dokter. Pasien ini dan keluarganya adalah pasien lama dokter tersebut, dan sangat akrab serta selalu mendiskusikan kesehatan keluarganya dengan dokter tersebut. Kali ini pasien laki-laki ini datang sendirian dan mengaku telah melakukan hubungan dengan wanita lain seminggu yang lalu. Sesudah itu ia masih tetap berhubungan dengan istrinya. Dua hari terakhir ia mengeluh bahwa alat kemaluannya mengeluarkan nanah dan terasa nyeri. Setelah diperiksa ternyata ia menderita GO. Pasien tidak ingin diketahui istrinya, karena bisa terjadi pertengkaran di antara keduanya. Dokter tahu bahwa mengobati penyakit tersebut pada pasien ini tidaklah sulit, tetapi oleh karena ia telah berhubungan juga dengan istrinya maka mungkin istrinya juga sudah tertular. Istrinya juga harus diobati.

PENGEMBANGAN KASUS : Pasien laki-laki bernama Budi, dan istrinya bernama Mawar. Pak Budi melakukan hubungan dengan Ibu Mawar 3 hari yang lalu, dimana alat kemaluan Pak Budi masih belum terasa sakit dan mengeluarkan nanah. Pak Budi bersedia mengajak istrinya untuk datang ke dokter untuk melakukan konsultasi dengan dokter setelah diberi penjelasan mengenai diagnose, tindakan pengobatan, perjalanan penyakit dan risiko penularan pada istrinya.

Prinsip Etika Kedokteran Pada kasus penyimpanan rahasia kedokteran ini berlaku etika otonomi yang berarti menghormati hak-hak pasien. Hak pasien tercantum dalam UU praktik kedokteran pasal 45 ayat 3. Hal konkrit yang dilakukan seorang dokter adalah memberikan informed consent yang meliputi memberitahukan tentang penyakitnya pada pasien bahwa penyakitnya itu merupakan penyakit akibat hubungan seksual dan bahwa penyakit tersebut bisa disembuhkan. Dokter juga perlu mengatakan bahwa kemungkinan istrinya tertular cukup besar, sehingga dalam pengobatan kedua pasangan harus berobat sehingga tidak terjadi fenomena bola ping pong. Dokter perlu menjelaskan bahwa fenomena tersebut adalah jika pasien sembuh dan kemudian berhubungan seksual lagi dengan istrinya maka pasien tersebut akan tertular lagi dan terus menerus begitu. Dokter juga perlu menyarankan pada pasien untuk membawa istrinya untuk 5

berobat juga. Dalam hal ini kita tetap memberikan hak bebas pada pasien untuk memilih memberitahukan tentang penyakitnya kepada istrinya atau tidak sebagai tanda bahwa kita membiarkan pasien mengambil keputusan sendiri. Dan bila pasien tetap dalam keputusan untuk meminta dokter menjaga rahasianya, maka sebagai dokter kita harus menjaga rahasia pasien sesuai dengan sumpah jabatan dokter yang berbunyi saya tidak akan menyebarkan segala sesuatu yang mungkin saya dengar atau yang mungkin saya lihat dalam kehidupan pasien-pasien saya, baik waktu menjalankan tugas jabatan saya maupun diluar waktu menjalankan tugas jabatan itu. Semua itu akan saya pelihara sebagai rahasia. Pada kasus ini juga mengandung prinsip justice atau keadilan dimana si istri mempunyai hak yang sama untuk mengetahui tentang keadaannya dan memiliki hak untuk sehat. Oleh karena itu sesuai dengan etika kedokteran maka kita perlu memberitahukan juga tentang penyakit yang diderita wanita tersebut dan bagaimana cara penularannya serta pengobatannya. Namun dalam hal ini kita tidak boleh mengatakan secara langsung mengenai rahasia suaminya karena itu bertentangan dengan etika autonomi dan hukum yang tercantum dalam pasal 12 yang berisi setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien tersebut meninggal dunia.1

Informed Consent Dalam skenario, informed consent diberikan oleh pihak yang berkompeten, dalam kasus ini adalah seorang dokter. Dimana informed consent merupakan suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien tersebut Informed consent biasanya berisikan hasil pemeriksaan, resiko terapi, alternative terapi, rujukan, dan prognosis. Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Pada skenario, hendaknya dokter memberikan informed consent kepada sang suami. Informed consent yang diberikan berupa pemberitahuan bahwa akan dilakukan pemeriksaan pada alat kelamin pasien untuk membantu dokter menegakkan diagnosis terhadap penyakitnya. Perlu dijelaskan juga prosedur apa saja yang akan dilakukan, misalnya: membuka celana, palpasi alat kelamin, dll. Apabila pasien menolaknya, maka dokter tidak boleh melanjutkan pemeriksaan tersebut karena apabila melanjutkan, bisa terjerat dalam pidana sesuai dalam Pasal 13 Permenkes No. 585/MenKes/Per/IX/1989, yang berbunyi: 6

terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin prakteknya. Setelah dokter menentukan diagnosis dokter wajib memberikan informed consent tentang penjelasan mengenai penyakit apa yang sedang diderita sang suami. Sebaiknya penjelasan tentang penyakit ini dengan menggunakan bahasa yang awam dan dapat dipahami oleh masyarakat biasa. Selanjutnya perlu dijelaskan juga terapi medis apa saja yang menjadi pilihan pengobatan pasien berserta keuntungan dan kerugian dari terapi tersebut. Pasien diberi kewenangan sepenuhnya untuk memilih terapi yang akan dijalaninya. Demikian juga informed consent juga diberikan pada pasien Ibu Tina (istrinya). Informed consent diberikan berupa pemberitahuan bahwa akan dilakukan pemeriksaan pada alat kelamin pasien untuk membantu dokter menegakkan diagnosis terhadap penyakitnya. Selanjutnya dokter juga wajib memberikan penjelasan mengenai penyakit yang diderita pasien. Tetapi karena suami meminta dokter untuk merahasiakan tentang penyakit yang diderita suaminya, maka dokter harus menjaga rahasia jabatan dokter sesuai dengan Kode Etik Kedokteran Pasal 12, yang berbunyi: setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Dokter di sini dapat memberitahukan kepada isterinya kalau penyakitnya adalah infeksi alat kelamin yang bisa berasal dari berbagai penyebab. Untuk langkah pengobatan, diperlukan juga persetujuan dari pasien apakah bersedia untuk melakukan pengobatan tertentu. Dokter juga perlu menjelaskan kepada pasien prognosis dari penyakit, dimana pada kasus ini apabila dilakukan pengobatan yang teratur, penyakit ini dapat semnuh total.1

Rahasia Kedokteran Dokter mempunyai serangkaian kewajiban yang salah satunya merupakan menjaga rahasian pasien. Di mana seorang dokter dilarang mengungkapkan data-data pasiennya secara terbuka kepada orang lain, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Berkaitan dengan pengungkapan rahasia kedokteran tersebut diatur dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III /2008 Tentang Rekam Medis sebagai berikut: Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal : a. untuk kepentingan kesehatan pasien; b. memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan; c. permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri; 7

d. permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan e. untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien. Mengenai rahasia kedokteran dikenal adanya trilogi rahasia kedokteran yang meliputi persetujuan tindakan kedokteran, rekam medis dan rahasia kedokteran karena keterkaitan satu sama lain. Jika menyangkut pengungkapan rahasia kedokteran maka harus ada izin pasien (consent) dan bahan rahasia kedokteran terdapat dalam berkas rekam medis.2,3

Dampak Hukum Pada kasus skenario, seorang laki-laki yang sudah menikah tetapi mengaku bahwa sudah pernah berhubungan dengan wanita lain ingin melakukan pemeriskaan dengan keluhan kencing nanah, setelah diperiksa hasilnya positif menderita GO dan ia tidak ingin istrinya tahu, tetapi karena telah berhubungan intim dengan istrinya, dia curiga bahwa istrinya juga telah terkena. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 seorang dokter wajib menyimpan rahasia kedokteran tersebut terhadap orang lain bahkan isterinya, kecuali: karena daya paksa, diatur dalam pasal 48 KUHP :Barang siapa melakukan suatu perbuatan karena pengaruh daya paksa,tidak dapat dipidana, karena menjalankan perintah UU: diatur dalam pasal 50 KUHP: Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undangundang, tidak dipidana, dan karena menjalankan perintah jabatan, diatur dalam pasal 51 KUHP Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang wenang, tidak dipidana. Tetapi apabila dokter membuka rahasia kedokteran tersebut, dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama sembilan bulan berdasarkan pasal 322 KUHP. Berdasarkan PP. No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 21, setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan. Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu (tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan pasien misalnya, dokter, dokter gigi, perawat. ) dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk : menghormati hak pasien, menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien, memberikan infomasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan, meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan, membuat dan memelihara rekam medis. Dalam pasal 33, dalam rangka pengawasan, Menteri dapat mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan berupa teguran atau pencabutan ijin untuk melakukan upaya kesehatan. 8

Menurut pasal 24 UU yang sama, perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan (Perlindungan hukum di sini misalnya rasa aman dalam melaksanakan tugas profesinya, perlindungan terhadap keadaan membahayakan yang dapat mengancam keselamatan atau jiwa baik karena alam maupun perbuatan manusia).4

Peran Dokter Dalam setiap menghadapi suatu kasus yang berhubungan dengan masalah etika, peran dokter yang perlu diperhatikan adalah kembali kepada empat prinsip utama moral profesi kedokteran yaitu autonomy , beneficence, non maleficence, dan justice serta prinsip-prinsip turunannya yaitu veracity, fidelity, privacy, dan confidentiality. Dengan berlandaskan ke-empat prinsip utama tersebut seorang dokter seharusnya dapat membangun suatu hubungan dokter pasien yang baik, dimana bukan hanya seorang dokter wajib menunaikan kewajiban-kewajiban yang dimilikinya tetapi juga memperhatikan pasien sebagai seorang manusia dengan cara berempati, memberikan perhatian, bersikap ramah, serta menunjukkan itikad baik. Hubungan dokter pasien juga dapat diibaratkan sebagai suatu hubungan kontrak seorang professional dengan kliennya, dimana masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajibannya masing-masing. Hak-hak pasien antara lain, seperti hak atas informasi, hak atas second opinion, hak untuk memberikan persetujuan atau menolak suatu tindakan medis, hak untuk kerahasiaan, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, dan hak untuk memperoleh ganti rugi apabila ia dirugikan akibat kesalahan tenaga kesehatan. Pada kasus ini, sebagai seorang dokter kita harus dapat menyadari bahwa permintaan sang suami untuk merahasiakan penyakitnya kepada istrinya merupakan hak seorang pasien, akan tetapi sang istri yang akan diobati juga adalah seorang pasien, sehingga ia pun memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang lengkap tentang penyakit yang sedang dideritanya serta tujuan dan prosedur pengobatan yang akan dilakukan pada dirinya. Seorang dokter juga mempunyai kewajiban untuk menjelaskan penyakit yang sedang diderita oleh pasiennya, termasuk di dalamnya adalah perjalanan penyakitnya,

pengobatannya, risiko penularan serta pencegahannya. Dengan menjelaskan kepada sang suami mengenai cara dan risiko penularan penyaki Gonnorhoea (GO), melalui hubungan seksual, diharapkan sang suami dapat datang kembali membawa serta istrinya yang kemungkinan besar sudah tertular penyakit GO ini. Apabila sang suami tetap menolak untuk membawa istrinya coba jelaskan kepada sang suami tentang perjalanan penyakit yang akan 9

dialami oleh istrinya serta risiko penularan kembali penyakit GO pada dirinya apabila hanya dia sendiri saja yang diobati. Sang istri yang datang kepada dokter juga merupakan seorang pasien yang mempunyai hak yang sama besarnya dengan sang suami. Oleh karena itu, dokter wajib memberikan informasi lengkap mengenai penyakit yang dideritanya, termasuk bagaimana cara ia bisa mendapat penyakit tersebut. Kita tentu akan terguncang apabila mengetahui bahwa orang yang kita cintai telah mengkhianati kita, oleh karena itu sebagai seorang dokter yang menerapkan prinsip-prinsip dasar etika profesi kedokteran, kita harus bisa menjelaskan masalah ini kepada sang istri dengan berempati. Luangkan waktu untuk menjelaskan masalah seperti ini secara pribadi. Cari waktu dimana pasien sedang tidak banyak sehingga dapat dengan lebih nyaman menjelaskan masalah-masalah seperti ini.1,5

Istri Istri sebagai pasien juga berhak mengetahui tentang penyakit yang dideritanya serta bagaimana cara pengobatan serta penularannya. Selain itu juga merupakan kewajiban seorang dokter untuk dapat menjelaskan kepada pasiennya tentang penyakit yang dideritanya dengan atau tanpa pertanyaan dari pasien tersebut. Dalam memberitahukan kabar yang kurang menyenangkan, seorang dokter juga harus mengingat bahwa pasien juga adalah manusia yang mempunyai perasaan dan bukanlah sebuah robot tanpa hati. Oleh karena itu, dokter harus dapat menyampaikan berita ini dengan rasa berempati dan menjaga perasaan pasien. Peran dokter dalam kasus HIV Kewajiban etik yang utama dari professional MIK maupun tenaga kesehatan adalah melindungi privasi dan kerahasiaan pasien dan melindungi hak-hak pasien dengan menjaga kerahasiaan rekam medis pasien HIV AIDS. Kaidah turunan moral bagi tenaga kesehatan adalah privacy, confidentiality, fidelity dan veracity. Privacy berarti menghormati hak privacy pasien, confidentialty berarti kewajiban menyimpan informasi kesehatan sebagai rahasia, fidelity berarti kesetiaan, dan veracity berarti menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran. Pada pasal 12 Permenkes 749a menyatakan bahwa pemaparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat pasien dengan ijin tertulis pasien jadi kita harus menjaga kerahasiaan pasien tentang penyakitnya.

10

Tujuan dari rahasia kedokteran dalam kasus HIV AIDS, selain untuk kepentingan jabatan adalah untuk menghindarkan pasien dari hal-hal yang merugikan karena terbongkarnya status kesehatan. Menurut Declaration on the Rights of the Patients yang dikeluarkan oleh WMA memuat hak pasien terhadap kerahasiaan adalah Semua informasi yang teridentifikasi mengenai status kesehatan pasien, kondisi medis, diagnosis, prognosis, dan tindakan medis serta semua informasi lain yang sifatnya pribadi, harus dijaga kerahasiaannya, bahkan setelah kematian. Informasi rahasia hanya boleh dibeberkan jika pasien memberikan ijin secara eksplisit atau memang bisa dapat diberikan secara hukum kepada penyedia layanan kesehatan lain hanya sebatas apa yang harus diketahui kecuali pasien telah mengijinkan secara eksplisit. Namun dalam kasus pasien HIV positif pembeberan informasi kepada pasangan atau partner seksnya saat itu bukanlah sesuatu yang tidak etis, dan bahkan dibenarkan jika pasien tidak bersedia menginformasikannya kepada orang (orang-orang) tersebut bahwa dia (mereka) dalam resiko. Pembenaran dari pembeberan informasi haruslah berdasar: partner beresiko terinfeksi HIV namun tidak mengetahui kemungkinan terinfeksi pasien menolak memberi tahu pasangan seksnya pasien menolak bantuan dokter untuk melakukannya; dan dokter telah mengatakan kepada pasien untuk memberitahu pasangannya. Dokter harus mengungkapkan status penderita HIV pada anak, orangtua, pengasuh atau pasien itu sendiri. Perlu dilakukan konseling untuk mengatasi efek psikologis dan efek medis dari penyakit, termasuk didalamnya diskusi antara pasien dan konselor. Pasien harus melaporkan dan mengungkapkan mengenai penyakitnya baik kepada keluarga, teman, dan lainnya. Dalam kaitannya dengan pengungkapan informasi HIV AIDS terdapat 3 masalah etik, yaitu ; 1. Pelanggaran prinsip kebutuhan untuk mengetahui ( need-to-know principle ). 2. Penyalahgunaan surat persetujuan atau otorisasi yang tidak tertentu ( blanket authorization). 3. Pelanggaran privasi yang terjadi sebagai akibat dari prosedur pengungkapan sekunder ( secondary release ). Rekam medis bersifat rahasia. Pelepasan informasi pasien menular maupun HIV AIDS dapat diberikan dengan tetap memperhatikan tujuan maupun kegunaan dari pelepasan informasi tersebut. Hal ini sesuai dengan UU Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004

11

memberikan peluang pengungkapan informasi kesehatan secara terbatas, yaitu dalam pasal 48 ayat (2): untuk kepentingan kesehatan pasien untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum permintaan pasien sendiri berdasarkan ketentuan undang-undang

Alasan lain yang diperbolehkan untuk membuka rahasia kedokteran adalah : 1. Keadaan memaksa Hal ini diatur di dalam pasal 48 KUHP : Siapapun tak terpidana jika melakukan tindakan karena didorong oleh keadaan terpaksa.Keadaan ini dapat pula disebut overmatch yang terdapat dua pengertian : Absolute Overmatch

Seseorang dikatakan di dalam keadaan terpaksa apabila ia dihadapkan kepada kekerasan untuk tekanan jasmani atau rohani sedemikian, hingga ia kehilangan kehendak untuk melakukan suatu hal lain daripada satu-satunya tindak pidana yang merupakan pelanggaran hukum. Nisbi Overmatch

Keadaan memaksa timbul karena adanya tekanan rohani sehingga yang bersangkutan berbuat suatu hal yang pasti tidak akan diperbuatnya, jika keadaan terpaksa atau darurat tersebut tidak ada. Sementara itu dokter dan petugas medis diperkenankan membuka rahasia pasiennya secara terbatas kepada pihak tertentu asal memenuhi 3 syarat : Syarat keterbatasan pada pihak yang relevan saja : Misalnya kepada suami / Istri, pengadilan, pihak yang mungkin akan ketularan atau terpapar penyakit tersebut. Syarat keterbatasan informasi : yakni hanya dibuka sejauh yang diperlukan saja. Syarat keterbatasan persyaratan : yakni hanya dibuka informasi jika ada persyaratanpersyaratan tertentu saja seperti misalnya : Ada resiko penularan penyakit Secara medis informasi tersebut layak dibuka 1

12

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

Prinsip Etika Kedokteran


Kewajiban Moral Dokter Di dalam menetukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, selain mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial dan kreatif, spiritual, keputusan hendaknya juga mempertimbangkan hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan mengakibatkan juga pelanggaran atas kebutuhan dasar di atas terutama kebutuhan kreatif dan spiritual pasien. Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu sikap dan perbuatan seseorang atau institusi dilihat dari moralnya. Penilaian baik buruknya dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat 2 teori etika yang paling banyak dianut orang adalah teori deontoloogi dan teleologi. Deontologi mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri. Sedangkan teleologi mengajarkan untuk menilai baik buruknya tindakan dengan melihat hasil atau akibatnya. Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi dan budaya. Sedangkan teleologi mendasarkan pada penalaran dan pembenaran kepada azas manfaat.

Empat kaidah dasar moral untuk mencapai suatu keputusan etik : 1. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditunjukan kepada kebaikan pasien. Dokter harus mengusahakan agar pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya. Pengertian berbuat baik di sini adalah bersikap ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajibannya. Tindakan konkrit dari beneficience meliputi: Mengutamakan altruisme (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan orang lain) Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia Memandang pasien/keluarga/sesuatu tidak hanya sejauh menguntungkan dokter Mengusahakan agar kebaikan/manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan keburukannya Paternalisme bertanggung jawab/berkasih sayang 13

Menjamin kehidupan baik Pembatasan goal based Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan / preferensi pasien Minimalisasi akibat buruk Kewajiban menolong pasien gawat darurat Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan Tidak menarik honorarium di luar kepantasan Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan Mengembangkan profesi secara terus-menerus Memberikan obat berkhasiat namun murah Menerapkan Golden Rule Principle, dimana kita harus memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan oleh orang lain

2.

Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non nocere atau do no harm. Tindakan konkrit dari non-maleficence meliputi: Menolong pasien emergensi Kondisi untuk menggambarkan criteria ini adalah: Mengobati pasien yang luka Tidak membunuh pasien (tidak melakukan euthanasia) Tidak menghina/mencaci maki/memanfaatkan pasien Tidak memandang pasien hanya sebagai objek Mengobati secara tidak proporsional Mencegah pasien dari bahaya Menghindari misinterpretasi dari pasien Tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian Memberiksan semangat hidup Melindungi pasien dari serangan Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan/ kerumah-sakitan yang merugikan pihak pasien/ keluarganya

3.

Prinsip autonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien (the rights to self determinations). Maksudnya tiap individu harus diperlakukan sebagai makhluk hidup yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasibnya sendiri). 14

Tindakan konkrit dari autonomi meliputi: Menghargai hak menentukan nasibnya sendiri Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (pada kondisi elektif) Berterus terang Menghargai privasi Menjaga rahasi pasien Menghargai rasionalitas pasien Melaksanakan informed consent Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri Tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi pasien Mencegah pihak lain ,emgintervensi pasien dalam membuat keputusan, termasuk keluarga pasien sendiri Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi Tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikan pasien Menjaga hubungan

4.

Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice). Maksudnya adalah memperlakukan semua pasien sama dalam kondisi yang sama. Tindakan konkrit yang termasuk justice meliputi: Memberlakukan segala sesuatu secara universal Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama Menghargai hak sehat pasien (affordability, equality, accessibility, availability, quality) Menghargai hak hukum pasien Menghargai hak orang lain Menjaga kelompok yang rentan (yang paling merugikan) Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dll Tidak melakukan penyalahgunaan Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya Kewajiban mendistribusi keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi) secara adil Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten 15

Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alasan sah/tepat Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan kesehatan Bijak dalam makroalokasi 1

Informed Consent
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain. Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Pengecualian dapat dibuat apabila informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien. Hal-hal yang diinformasikan kepada pasien seperti:1 1. Hasil Pemeriksaan Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. 2. Risiko Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien. Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien. 3. Alternatif Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. 16

4. Rujukan/ konsultasi Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya. 5. Prognosis Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari informed consent.

Rahasia Kedokteran
Rahasia kedokteran diatur dalam beberapa peraturan/ketetapan yaitu: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 2. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1960 tentang Lafal Sumpah Dokter juga disebutkan dalam lafal sumpahnya bahwa dokter harus merahasiakan segala sesuatu yang ia ketahui karena pekerjaaan dan karena keilmuannya sebagai dokter. 3. Pasal 22 ayat (1) b Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan diatur bahwa bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien. 4. Kode Etik Kedokteran dalam pasal 12 menetapkan: setiap dokter wajib merahasiakan sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia. Sesuai dengan ketentuan pasal 48 Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ditetapkan sebagai berikut: 1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran.

17

2. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Dan pasal 51 huruf c Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 adanya kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Berkaitan dengan pengungkapan rahasia kedokteran tersebut diatur dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III /2008 Tentang Rekam Medis sebagai berikut: Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal : f. untuk kepentingan kesehatan pasien; g. memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan; h. permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri; i. permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan j. untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien. Mengenai rahasia kedokteran dikenal adanya trilogi rahasia kedokteran yang meliputi persetujuan tindakan kedokteran, rekam medis dan rahasia kedokteran karena keterkaitan satu sama lain. Jika menyangkut pengungkapan rahasia kedokteran maka harus ada izin pasien (consent) dan bahan rahasia kedokteran terdapat dalam berkas rekam medis.

Hak Akses a. Hak akses pasien terhadap rahasia kedokteran didasarkan pada:

Data-data medik yang tercantum dalam berkas rekam medis . Rekam medis adalah datadata pribadi pasien yang merupakan tindak lanjut dari pengungkapan penyakit yang di derita oleh pasien kepada dokternya. Maka ia pun berhak untuk memperoleh informasi untuk mengetahui apa saja yang dilakukan terhadap dirinya dalam rangka penyembuhannya. Hal ini sudah dijabarkan dalam Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 tersebut pengaturan tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dalam melakukan tindakan kedokteran dokter harus memberikan penjelasan sekurang-kurangnya mencakup: 1. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran; 2. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan; 3. Altematif tindakan lain, dan risikonya; 18

4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan 5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. 6. Perkiraan pembiayaan. b. Hubungan hukum antara dokter- pasien untuk berdaya upaya menyembuhkan pasien (inspanning verbintenis ). Hak akses terhadap rahasia kedokteran bisa disimpulkan sebagai kelanjutan dari hak atas informasi. Atau berdasarkan itikad baik dari pihak dokternya untuk memberikan akses terhadap rekam mediknya yang di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III /2008 diberikan dalam bentuk ringkasan rekam medis. c. Hak akses terhadap rekam medis adalah sebagai kelanjutan dari kewajiban dokter untuk memberikan informasi kepada pasien.

Hak Atas Privacy Hak privacy ini bersifat umum dan berlaku untuk setiap orang. Inti dari hak ini adalah suatu hak atau kewenangan untuk tidak diganggu. Setiap orang berhak untuk tidak dicampuri urusan pribadinya oleh lain orang tanpa persetujuannya. Hak atas privacy disini berkaitan dengan hubungan terapeutik antara dokter-pasien ( fiduciary relationship ). Hubungan ini di dasarkan atas kepercayaan bahwa dokter itu akan berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan pelayanan pengobatan. Pula kepercayaan bahwa penyakit yang di derita tidak akan diungkapkan lebih lanjut kepada orang lain tanpa persetujuannya. Dalam pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III /2008 diatur bahwa penjelasan tentang isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien dengan izin tertulis pasien atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Hak Tolak Ungkap Hak tolak ungkap adalah tejemahan terhadap istilah bahasa Belanda verschoningsrecht yang diatur dalam berbagai peraturan yang menyangkut kewajiban menyimpan rahasia kedokteran. Artinya bagi si pemegang rahasia (orang yang dipercayakan suatu rahasia) diwajibkan untuk menyimpan dan tidak sembarangan mengungkapkan rahasia tersebut kepada orang lain tanpa izin pemilik. Ketentuan pidana yang berkaitan dengan pengungkapan rahasia kedokteran selain diatur dalam pasal 79 Undang Udang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juga diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana sebagai berikut:

19

1. Pasal 224 KUHP Barang siapa dipanggil sebagai saksi ahli atau juru bahasa menurut undang-undang denagn sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang undang selaku demikian harus dipenuhinya ancaman: a. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan; b. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan. 2. Pasal 322 KUHP Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah. Sementara itu menurut Prof Eck mengemukakan justifikasi pengungkapan rahasia kedokteran dapat didasarkan kerena: a. Izin dari yang berhak ( pasien); b. Keadaan mendesak atau terpaksa. c. Peraturan Perundang-undangan; d. Perintah jabatan yang sah.2 Alasan penghapus pidana: pasal 48, 50,52 KUHP. Berkaitan dengan rahasia kedokteran ini memang tidak hanya menyangkut masalah hukum tetapi juga sarat dengan masalah etik, bagaimana jika suami datang ke praktik dokter diantar oleh isterinya sedang ternyata suami tersebut mengidap penyakit menular seksual, rahasia ini jika diungkapkan di depan isterinya dampaknya mungkin akan menimbulkan perpecahan rumah tangga. Dalam hal ini sebenarnya dapat dianggap sudah ada persetujuan dari kedua belah pihak untuk mengungkapkan, karena mereka datang berdua. ( Leenen, 177) . Namun dalam hal ini sebaiknya dokter membicarakan terlebih dahulu dengan pasiennya ( suami ), apakah isterinya boleh mengetahui rahasia kedokteran tersebut. Secara teori sebenarnya dokter dapat tidak menjawab pertanyaan pasien tentang penyakitnya , dalam hal: a. pada pemberian terapi placebo; b. jika informasi yang diberikan bahkan akan merugikan atau memperburuk keadaan pasien itu sendiri; c. apabila pasien belum dewasa; d. pasien berada di bawah pengampuan . ( Leenen). Juga persoalan lain misalnya seseorang menderita penyakit menular yang berpotensi wabah, ada pengecualian melalui kewajiban pelaporan penyakit wabah yang diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan meskipun prinsip privacy pasien tetap harus dijaga. Juga bagaimana jika rahasia kedokteran pasien sudah diungkapkan kepada media massa oleh 20

pasien sendiri sehingga menyudutkan dokternya, seharusnya dokter mempunyai hak jawab karena rahasia kedokteran itu sudah diungkap oleh pasien itu sendiri.3

Dampak Hukum
Dasar hukum pasal 322 KUHP (1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu pasal 170 KUHP (1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka (2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut. pasal 48 KUHP Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.

PP. No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 21 (1) Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan. (2) Standar profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 22 (1) Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu (Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan tertentu dalam ayat ini adalah tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan pasien misalnya, dokter, dokter gigi, perawat. ) dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk : a. menghormati hak pasien; b. menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien; 21

c. memberikan infomasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan; d meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan; e. membuat dan memelihara rekam medis. , (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri. Pasal 24 (1) Perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan (Perlindungan hukum di sini misalnya rasa aman dalam melaksanakan tugas profesinya, perlindungan terhadap keadaan membahayakan yang dapat mengancam keselamatan atau jiwa baik karena alam maupun perbuatan manusia) (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri Pasal 33 (1) Dalarn rangka pengawasan, Menteri dapat mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan. (2) Tindakan disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa: a. teguran; b. pencabutan ijin untuk melakukan upaya kesehatan. (3) Pengambilan tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia Kedokteran Pasal 1 PP No. 10/1966 Yang dimaksud engan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh orangorang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran. Pasal 2 PP No. 10/1966 Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut dalam pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi daripada PP ini menentukan lain 22

Pasal 3 PP No. 10/1966 Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah: a. tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang Tenaga Kesehatan b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengobatan dan atau perawatan, dan orang lain yang diterapkan oleh menteri kesehatan. Pasal 4 PP No. 10/1966 Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak atau tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri kesehatan dapat melakukan tindakan administratif berdasarkan pasal UU tentang Tenaga Kesehatan Pasal 5 PP No. 10/1966 Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka yang disebut dalam pasal 3 huruf b, maka menteri kesehatan dapat mengambil tindakan-tindakan berdasarkan wewenang dan kebijaksanaannya.4

Peran Dokter
Jenis hubungan dokter pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran, sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan batasan atau ramburambu hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut tertuang di dalam prinsip-prinsip moral profesi, yaitu autonomy (menghormati), beneficence (berorientasi kepada kebaikan pasien), non maleficence (tidak mencelakakan atau memperburuk keadaan pasien) dan justice (meniadakan diskriminasi) yang disebut sebagai prinsip utama; dan veracity (kebenaran = truthful information), fidelity (kesetiaan), privacy, dan confidentiality (menjaga kerahasiaan) sebagai prinsip turunannya. Sebagaimana layaknya hubungan antara professional dengan klien pada umumnya, maka hubungan antara dokter dengan pasien juga mengikuti alternative jenis hubungan yang sama. Pada awalnya hubungan dokter pasien adalah hubungan yang bersifat paternalistic, dengan prinsip moral utama adalah beneficence. Sifat hubungan paternalistic ini kemudian dinilai telah mengabaikan nilai otonomi pasien, dan dianggap tidak sesuai dengan perkembangan moral (orang barat) saat ini, sehingga berkembanglah teori hubungan kontraktual (sekitar tahun 1972-1975). Konsep ini muncul dengan merujuk kepada teori social contract di bidang politik. Veatch (1972) mengatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas, yang meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat 23

keputusan tetapi saling menghargai. Dokter akan mengemban tanggung jawab atas segala keputusan teknis, sedangkan pasien tetap memegang kendali keputusan penting, terutama yang terkait dengan nilai moral dan gaya hidup pasien. Hubungan kontrak mengharuskan terjadinya pertukaran informasi dan negosiasi sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga memberikan peluang kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter (Im confused by all these facts, doctor. What do you think I ought to do?). Dengan menganggap bahwa teori kontrak telah terlalu menyederhanakan nilai hubungan dokter dengan pasien, maka Smith dan Newton (1984) lebih memilih hubungan yang berdasar atas virtue sebagai hubungan yang paling cocok bagi hubungan dokter-pasien. Hubungan kontrak mereduksi hubungan dokter pasien menjadi peraturan dan kewajiban saja, sehingga seseorang dokter dianggap baik bila ia telah melakukan kewajiban dan peraturan (followed the rules). Hubungan kontrak tidak lagi mengindahkan empathy, compassion, perhatian, keramahan, kemanusiaan, sikap saling mempercayai, itikad baik, dan lain lain yang merupakan bagian dari virtue-based ethics (etika berdasarkan nilai kebajikan/keutamaan). Pada hubungan dokter pasien yang virtue based dirumuskan bahwa hubungan itu bertumbuh dan berkembang sedemikian tupa sehingga tidak ada satupun ketentuan yang ditentukan pada permulaan dapat menentukan masa depan. Baik dokter maupun pasien harus tetap berdialog untuk menjaga berjalannya komunikasi dalam rangka mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan pasien. Tentu saja komunikasi yang baik tersebut membutuhkan prinsip-prinsip moral di atas, termasuk informed consent yang berasal dari prinsip autonomy. Berdasarkan hubungan kontrak di atas munculah hak-hak pasien yang pada dasarnya terdiri dari dua hak, yaitu: (1) the rights to helath care dan (2) the right to self determination. Secara tegas the World Medical Association telah mengeluarkan Declaration of Lisbon on the Rights of the Patient (1991), yaitu hak memilih dokter secara bebas; hak dirawat oleh dokter yang bebas dalam membuat keputusan klinis dan etis; hak untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adekuat; hak untuk dihormati kerahasiaan dirinya; hak untuk mati secara bermartabat; dan hak untuk menerima atau menolak dukungan spiritual atau moral. UU kesehatan menyebutkan beberapa hak pasien, seperti hak atas informasi, hak atas second opinion, hak untuk memberikan persetujuan atau menolak suatu tindakan medis, hak untuk kerahasiaan, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, dan hak untuk memperoleh ganti rugi apabila ia dirugikan akibat kesalahan tenaga kesehatan.

24

Di sisi lain para pasien juga memiliki kewajiban, demikian pula dokter juga memilik hak. Namun yang lebih utama dibicarakan adalah kewajiban dokter yang dimilikinya sejak ia mengucapkan sumpah dokter. Kewajiban tersebut adalah (a) kewajiban profesi sebagimana terdapat di dalam lafal sumpah dokter, kode etik kedokteran, standar perilaku profesi (SOP) dan standar pelayanan medis (SPM), serta (b) kewajiban yang lahir oleh karena adanya hubungan dokter pasien. UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran merumuskan hak dan kewajiban dokter dan pasien di dalam pasal 50-53. Dokter dan dokter gigi memiliki hak untuk memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, hak untuk memberikan layanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional, hak memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya dan hak menerima imbalan jasa. Di sisi lain dokter dan dokter gigi berkewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien, merujuk pasien apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia, melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya, dan menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran/kedokteran gigi. Sementara itu, berdasarkan UU praktik kedokteran pasien memiliki hak untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3), meminta pendapat dokter lain, mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis. Adapun pasal 45 ayat (3) menyatakan tentang penjelasan tersebut di atas sekurang-kurangnya meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang akan dilakukan, alternative tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan. Di sisi lain pasien berkewajiban memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, mematuhi nasihat dan petunjuk dokter, mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan, dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.5

25

Istri.
Istri sebagai pasien juga memiliki hak-hak yang sama besarnya dengan sang suami, dimana hak-hak terserbut antara lain, hak memilih dokter secara bebas; hak dirawat oleh dokter yang bebas dalam membuat keputusan klinis dan etis; hak untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adekuat; hak untuk dihormati kerahasiaan dirinya; hak untuk mati secara bermartabat; dan hak untuk menerima atau menolak dukungan spiritual atau moral. UU kesehatan menyebutkan beberapa hak pasien, seperti hak atas informasi, hak atas second opinion, hak untuk memberikan persetujuan atau menolak suatu tindakan medis, hak untuk kerahasiaan, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, dan hak untuk memperoleh ganti rugi apabila ia dirugikan akibat kesalahan tenaga kesehatan.1

26

BAB IV KESIMPULAN
Pasien laki-laki menderita Gonore (GO) yaitu suatu penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae. Pasien laki-laki ini sudah terkena GO yang mungkin tertular dari hubungan yang dia lakukan dengan wanita lain seminggu yang lalu dan dia juga telah berhubungan dengan istrinya. Maka berkemungkinan besar istrinya telah tertular GO. Maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk melihat apakah si istri positif menghidap GO atau tidak. Dokter harus merahasiakan penyakit si suami karena si suami tidak ingin istrinya tahu dan terjadinya permasalahan rumah tangga yang besar. Dokter harus menjelaskan komplikasi yang mungkin timbul jika istrinya tidak diobati. Maka, pasangan ini harus diobati dengan segera. Pada kasus ini, si suami harus berterus terang kepada istrinya atas kekilafan yang telah dia lakukan dan mengajak istrinya berobat jika memang benar istrinya turut menderita GO. Kesimpulannya, dokter haruslah menjalankan tugas dalam bidang kedokteran dengan menjaga rahasia pasien dan menjalankan tugasnya untuk mengobati penyakit GO si suami dan istri.

27

BAB V DAFTAR PUSTAKA


1. Sampurna B. Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran: pengantar bagi mahasiswa kedokteran dan hukum. Jakarta: Departemen Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.h.30-2, 77-85. 2. Kusnadi, Dwijarti LR, Mustofa, Suprana, Setiawan S, Niti S, et al. Informed Consent : Pelaksanaan share desicion making dalam pelayanan kesehata. Diunduh dari : http://eprints.undip.ac.id/1133/1/A_1_Informed_Consent_Journal__RS.pdf. 2008. 3. Yuni Ahdiana. Aspek hukum kewajiban menyimpan rahasia kedokteran. Diunduh dari http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2403131141.pdf 4. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Edisi I.

Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;1994.h.20-3. 5. Budiyanto A, Widiatmika W, Sudiono S, Winardi AM, et all. Ilmu kedokteran forensik. Edisi I. Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;1997.h.25-33, 44-7.

28

Anda mungkin juga menyukai