Anda di halaman 1dari 9

UNCONVENTIONAL ENERGY TM 4020

NAMA DOSEN TANGGAL PENYERAHAN

: : :

Yudha HM

12209097

Prof.Ir. Doddy Abdassah M.Sc., Ph.D 10 Februari 2013

PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN FAKULTAS TEKNIK PERTAMBANGAN DAN PERMINYAKAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2012

Pandangan Saya Tentang Prospek Pengembangan Potensi CBM di Indonesia


Yudha HM 12209097 Tugas Baca : Unconventional Energy bagian CBM Coal Bed Methane CBM merupakan gas yang umumnya methana yang dikandung di dalam batubara. Gas tersebut terletak di dalam mikropori batubara dan bagian retakan yang ada di batubara( cleats ). CBM tidak berbau, tidak berwarna dan sangat mudah terbakar. CBM terbentuk bersama air, nitrogen dan karbondioksida ketika material tumbuhan tertimbun dan berubah menjadi batubara karena panas dan proses kimia selama waktu geologi yang sering disebut dengan coalification. Jumlah kandungan CBM dalam lapisan batubara sangat tergantung pada kedalaman dan kualitas batubaranya. Semakin dalam lapisan batubara terbenam dari permukaan tanah, sebagai hasil dari tekanan formasi batuan di atasnya, semakin tinggi nilai energi dari batubara tersebut, dan semakin banyak pula kandungan CBM. Gas methane sebagai komponen utama CBM merupakan molekul yang memberikan radiasi 70 kali lebih besar dari karbon dioksida, tetapi efek yang ditimbulkannya lebih pendek sekitar 8-12 tahun. Oleh karena itu dalam proses pemroduksian CBM harus ditinjau aspek lingkungannya juga.

Potensi CBM di Indonesia Indonesia memiliki potensi sumber daya Coal Bed Methane (CBM) sekitar 450 Triliun Cubic Feet (TCF). Cadangan CBM sebesar itu tersebar pada sebelas areal cekungan (basin) batubara di berbagai lokasi di Indonesia, baik di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Program diversifikasi energi antara lain dengan mengembangan dan memanfaatkan CBM serta biofuel. Cadangan ini merupakan yang terbesar ke-enam di Dunia. Kesebelas basin lokasi CBM itu adalah Sumatera Selatan (183 TCF), Barito (101,6 TCF), Kutei (89,4 TCF) dan Sumatera Tengah (52,5 TCF) untuk kategori high prospective. Basin Tarakan Utara (17,5

TCF), Berau (8,4 TCF), Ombilin (0,5 TCF), Pasir/Asam-Asam (3,0 TCF) dan Jatibarang (0,8) memiliki kategori modarate. Sedang basin Sulawesi (2,0 TCF) dan Bengkulu (3,6 TCF) berkategori low prospective. Berdasarkan data Departemen ESDM, potensi cadangan CBM yang berada di Indonesia mencapai 453,3 trillion cubic feet (TCF) yang berada di Sumatera Selatan dengan cadangan sebesar 183 TCF, Barito dengan cadangan 101,6 TCF, Kutai sebesar 80,4 TCF, Sumatera bagian tengah sebesar 52,5 TCF, Tarakan Utara sebesar 17,5 TCF, Berau sebesar 8,4 TCF, Ombilin sebesar 0,5 TCF, Pasir/Asem sebesar 3,0 TCF, Jatibarang sebesar 0,8 TCF, Sulawesi bagian barat daya sebesar 2 TCF, Bengkulu sebesar 3,6 TCF.

Prospek Ekonomi Dibandingkan gas alam, CBM memiliki periode produksi lebih lambat. Umumnya produksi terbesar atau puncak produksi terjadi pada periode tahun produksi ke 2 hingga ke 7. Sedang lama periode produksi pada kisaran 10 hingga 20 tahun. Lebih pendek dibandingkan dengan gas alam yang bisa mencapai 30 hingga 40 tahun. Pengembangan energi alternatif ini membutuhkan insentif, seperti pola bagi hasil yang atraktif. Tujuannya, agar banyak investor yang berminat mengembangkan salah satu energi alternatif pengganti gas bumi ini. Ini adalah proyek baru dan diharapkan kontrak term-nya sangat atraktif sehingga dapat mencapai keekonomian pengembangan CBM. Bentuk insentif yang diinginkan adalah bagi hasil yang lebih baik dari bagi hasil minyak dan gas. Paling tidak, bagi hasil CBM sama dengan bagi hasil minyak di daerah pedalaman atau frontier. Di daerah pedalaman, bagi hasilnya selama ini 65 persen untuk pemerintah, sedangkan 45 persen bagian kontraktor. Padahal bagi hasil biasanya, 85 persen bagian pemerintah, sedangkan kontraktor hanya 15 persen. Permintaan bagi hasil tinggi kepada investor dikarenakan kegiatan ekplorasi CBM memiliki resiko tinggi. Apalagi pada tahun awal produksi yang dihasilkan hanya air, yang secara bertahap baru menghasilkan CBM. Juga sumur yang dibutuhkan untuk memproduksi CBM lebih banyak.

Perhitungannya, biaya eksplorasi satu sumur CBM sekitar US$ 400 ribu, lebih rendah dari minyak atau gas yang rata-rata US$ 1 juta. Namun karena jumlah sumurnya lebih banyak, sehingga total investasinya tetap tinggi. Soal insentif, memang salah satunya bisa melalui bagi hasil. Yang lainnya bisa berupa kredit investasi CBM seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Di sana, semula dunia usaha enggan memproduksi CBM. Namun, setelah pemerintah memberikan kredit pengembang CBM, dunia usaha jadi berminat. Saat ini pemanfaatan CBM mencapai 12 persen dari total energi Amerika Serikat. Usaha CBM diatur UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Migas, Permen No. 40 tahun 2006 Tentang Penetapan dan Penawaran wilayah Kerja Migas (Permen ini disempurnakan Permen No. 35 Tahun 2008), dan Permen No. 33 Tahun 2006 Tentan Pengusahaan Gas Metana Batubara (disempurnakan dengan Permen No. 36 Tahun 2008).

Prospek Teknologi Penyediaan listrik yang berkelanjutan dapat dilakukan dengan cara diversifikasi energi. Provinsi Kalsel sebagai salah satu lumbung energi nasional memiliki peran penting dalam usaha diversifikasi energi. Diversifikasi energi menitik-beratkan pada usaha mencari alternatif sumber daya energi selain minyak dan gas. Saat ini, pasokan listrik di wilayah Kalsel dan Kalteng berasal dari batubara (dengan dua unit PLTU), tenaga air (3 unit PLTA), dan minyak bumi dan gas (29 unit PLTD/gas). Dari berbagai unit pembangkit ini, masih terjadi defisit listrik terutama saat beban puncak antara 20 hingga 70 Mega Watt. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah mengambil kebijakan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di mulut tambang dengan pertimbangan ketersediaan sumber daya batubara yang cukup melimpah di wilayah Kalimantan. Namun demikian, karena batubara bukanlah termasuk dalam kategori clean energy maka pembangunan CBM di masa mendatang menjadi sangat strategis dalam penyediaan energi karena CBM termasuk clean energy dan potensinya cukup besar. Peningkatan kebutuhan energi di masa mendatang, seperti minyak bumi, gas, dan batubara, akan terus terjadi seiring dengan pertumbuhan ekonomi baik di tingkat regional, nasional, dan dunia.

Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan minyak bumi sebagai sumber energi utama dalam memenuhi kebutuhan energi nasionalnya karena dua hal. Pertama, beban impor minyak bumi akan terus memberatkan APBN karena Indonesia telah menjadi negara net-importer minyak bumi. Kedua, rasio cadangan produksi minyak bumi saat ini menunjukkan cadangannya hanya cukup untuk 18 tahun. Menyadari kenyataan tersebut, kebijakan pembangunan energi nasional diarahkan untuk diversifikasi energi dengan beralih dari minyak bumi ke gas bumi dan batubara yang memiliki rasio cadangan produksi masing-masing hingga 60 dan 240 tahun.

Permasalahan dalam mengembangkan CBM Sementara hingga kini, tentu menjadi pertanyaan, mengapa dengan potensi sebesar itu, penggunaan CBM sebagai sumber energi masih sangat minim? menurut penulis setidaknya ada 3 kendala yang menyebabkan pengembangan CBM di Indonesia masih sangat minim.

Penggunaan lahan

Tumpang tindih lahan masih menjadi kendala utama pengembangan CBM, terutama tumpang tindih pemakaian lahan dengan PKP2B/ KP Batu Bara. Selain itu seperti yang diketahui hampir cadangan batu bara di Indonesia terletak di daerah hutan. Hal ini makin diperkuat dengan kenyataan bahwa umur produksi CBM yang hanya berkisar 20 tahun. Oleh karena itu resiko ini makin memperkuat kesulitan dalam pengembangan CBM

Harga gas yang menurun akibat produksi CBM yang besar

Selain itu tantangan datang dari Paul OKeefe, direktur eksekutif bidang energy AON Risk Services, yang mengatakan berkat produksi CBM yang besar di Amerika Serikat mengakibatkan harga gas di Amerika turun secara signifikan. "CBM punya efek dramatis dalam menurunkan harga gas di Amerika Serikat. Karena ada begitu banyak produksi gas, harganya menjadi lebih

murah. Inilah yang terjadi di Amerika sebagai hasil pengembangan CBM," jelas O'Keefe usai menjadi pembicara dalam Energy Risk Conference di Hotel Shangrila, Jakarta, Kamis (10/3).

Dia juga menekankan, tidak ada potensi risiko yang signifkan dalam pengembangan CBM. Alasannya, teknologi pengembangan CBM bukanlah teknologi baru dan saat ini sudah banyak dikembangkan. "Teknologinya sudah dikembangkan. CBM kan didapat dengan mematahkan lapisan tanpa menghancurkannya. Saya tidak melihat risiko yang signifikan," kata dia.

Dia mengatakan, Indonesia memiliki potensi CBM yang sangat besar. Namun, pengembangannya harus memperhitungkan nilai ekonomi. Permasalahan dalam pengembangan CBM justru terletak pada nilai keekonomiannya, bukan pada teknologinya.

Investasi awal yang besar

Harga sumur CBM yang berikisar antara 0.5-1 juta dollar per sumurnya . Memang relatif murah namun produksi gas CBM per sumur yang relatif rendah menjadikan ini tetap sebuah investasi yang mahal di bidang migas. Oleh karena itu investor harus berpikir dua kali dalam melaksanakan investasi di bidang ini.

Terbatasnya Infrastruktur

Meskipun relatif berhubungan dengan industri migas, infrastruktur dan peralatan penunjang pengembangan Coal Bed Methane cenderung berbeda dengan industri Migas, sehingga dibutukan effort lebih bagi investor dalam mengembangkan industri ini, yakni dengan cara mengimpor peralatan CBM ini dari Negara lain. Selain itu, infrastruktur ini juga berkaitan dengan kurangnya data evaluasi seperti data well, seismic dan coal properties.

Masa depan Cerah Dalam Pengembangan CBM Selain beberapa persoalan diatas pengembangan CBM memiliki beberapa pemicu diantaranya,

Kenaikan harga minyak di pasar internasional, sehingga Indonesia yang sejak tahun 2004 sudah menjadi importir netto minyak bumi dan menjalankan kebijakan subsidi energi sejak lama harus mencari energi alternatif lain sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi.

Teknologi dalam pengembangan CBM bukanlah teknologi baru karena teknologi CBM terbukti sudah dilakukan di negeri AS dan sukses.

Tumbuhnya pasar domestik gas sebagai akibat tumbuhnya industrialisasi, penambahan pembangunan pembangkit tenaga listrik, dan bertambahnya pemukiman.

Kurangnya pasokan gas (gas shortage) untuk kebutuhan domestik karena produksi gas konvensional dari wilayah-wilayah kerja yang ada sudah terikat kontrak dengan negara-negara asing selaku pembeli.

Potensi sumber daya CBM di Indonesia yang menjanjikan. Nomor enam terbesar di Dunia dengan 453 TCF. Naiknya harga gas di pasar domestik dikarenakan produksi gas Indonesia yang terus menurun.

Pemerintah berencana memberikan insentif kepada para pengembang CBM.

Seorang direktur jenderal minyak dan gas dari departemen energi dan sumber daya mineral, Evita H. Legowo, mengatakan kepada The Jakarta Post baru-baru ini bahwa skema insentif untuk para pengembang CBM akan menerima fasilitas sistim perpajakan yang diberikan kepada para kontraktor minyak dan gas di Indonesia.

Insentif dibutuhkan karena kami ingin menarik lebih banyak lagi investasi di sektor CBM," ujar Evita. Produksi Gas dari CBM diharapkan akan bantu pemerintah untuk memulihkan trend yang menurun dari produksi gas Indonesia. Indonesia memiliki cadangan CBM dengan jumlah seluruh potensial cadangan sebesar 453 triliun feet kubik. Pemerintah telah memprediksi suatu penurunan produksi gas menjadi 7.3 milyar feet kubik per hari pada tahun ini, lebih rendah dari 7.9 milyar feet kubik per hari yang tercatat pada tahun 2008, disebabkan ladang-ladang yang sudah tua. Berdasarkan cetak-biru untuk

pengembangan CBM, pemerintah menargetkan produksi 1 milyar feet kubik standar per hari, atau sekitar setara 0.18 juta barel minyak, pada tahun 2025. Meskipun memiliki berbagai tantangan dalam pengembangannya, fakta lapangan menunjukkan pengembangan CBM memiliki prospek yang cerah, bahkan pemerintah melansir hingga Oktober 2012 sudah ditandatangani 24 KKS WK CBM. Selain itu, tentu kita harus bijak, terus menerus menggantungkan diri pada penggunaan energi fosil akan sangat rentan mempengaruhi perekonomian nasional, karena status Indonesia sebagai net importer, maka sudah seharusnya pemerintah berusaha untuk terus melakukan diversifikasi energi, salah satu nya adalah dengan mengembangkan CBM ini.

CBM merupakan clean energy Penggunaan CBM untuk pembangkit listrik atau coalbed methane-fueled power plant akan menghasilkan clean electrity atau green electric city (energi listrik yang bersih dan ramah lingkungan). Dikatakan, pemanfaatan CBM memang terutama sebagai pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Negara-negara tertentu seperti Cina, telah melangkah lebih jauh dalam pemanfaatan CBM. Misalnya, sebagai pengganti bahan bakar minyak bagi kendaraan bermotor. Di Jincheng, Cina, penggunaan CBM untuk kendaraan bermotor menunjukkan lebih irit 50 persen dibanding bensin. Selain itu, CBM lebih ramah lingkungan karena menghasilkan sedikit emisi karbondioksida, tidak menghasilkan timbal, tidak mengandung oksida sulfur dan 40 persen lebih rendah kandungan oksida nitrogen

Kesimpulan Jumlah Cadangan CBM di Indonesia yang merupakan peringkat enam di Dunia merupakan prospek besar dalam pengembangan CBM di Indonesia. Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa lapangan gas Indonesia sedang mengalami proses penurunan produksi. CBM merupakan energy alternatif yang dapat digunakan untuk menjawab tantangan energi gas Indonesia di masa depan.

Daftar Pustaka http://www.migas.esdm.go.id/tracking/berita-kemigasan/detil/257412/Produksi-CBMTurunkan-Harga-Gas http://hakiiem.wordpress.com/tag/energi/ http://www.iannnews.com/business-244-business.php?bid=244

Anda mungkin juga menyukai