Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
Amma ba`du
“Hai orang beriman! Jadilah kamu orang yang yang benar- benar
menegakkan keadilan, menjadi saksi semata –mata karena Allah,
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerbatmu.
Sekalipun yang tergugat itu kaya atau miskin, maka Allah lebih
mengutamakan persamaan hak dan kewajiban terhadap keduanya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu untuk memperkosa
keadilan. Dan kalau kamu memutarbalikkan kenyataan atau enggan
menjadi saksi maka sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan.”
“Hai orang yang beriman, kenapa kamu berkata hal-hal yang kamu
tidak kerjakan?” Amat besar kemurkaan di sisi Allah, kalau kamu
mengatakan apa- apa yang tidak kamu kerjakan.”
Jika dikaji
dengan seksama, perihal kepemimpinan negara harus mengacu kepada
undang-undang negaranya sebagai alat pemersatu. Jika mengacu langsung
kepada undang-undang, maka sebenarnya tidak ada istilah “NKA-NII
berpecah-pecah”. Adapun kenyataan adanya beberapa kelompok, yang
masing-masing mengatasnamakan berada di bawah Imam NKA-NII, karena
mereka mengangkat Imamnya tidak berdasarkan perundang-undangan
NKA-NII. Sehubungan dengan itu, firman Allah SWT. menerangkan;
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul
(Nya), dan Ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Pengertian
“ta’atkepada Allah” adalah merujuk kepada Al-Qur’an. Dan pengertian “ta’at
kepada Rasul-Nya” adalah merujuk kepada sunnah Nabi Muhammad SAW.,
kemudian ta’at kepada Ulil Amri adalah kepada Ulil Amri yang ta’at kepada
Allah dan ta’at kepada Rasulullah-Nya serta merujuk kepada perundang-
undangan negara. Dengan demikian, satu-satunya jalan supaya tidak
berselisih dalam menentukan Imam NKA-NII harus didasari oleh pedoman
tersebut. Sebagai contoh: Pertama, Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 58
dinyatakan
“Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para
ulama Bani Israil mengetahuinya.”
(رواه. لن يجتمع أمتى ال على هداى. ان ال ل يجتمع أ متى على ضللة
) الترمدى
“Sesungguhnya ummatku tidak akan bersatu dalam kesesatan.
Sesungguhnya Allah tidak menyatukan ummatku atas kesesatan.
Tidak akan bersatu ummat kecuali dalam petunjuk (Hudaan).”
[HR.Tirmidzi]
Yang disebut “Hudaan “هداىyaitu petunjuk. Dan yang disebut petunjuk
itu ialah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW, seperti halnya Nabi membuat
undang-undang negara di Madinah. Kemudian, Nabi Muhammad SAW.
mewajibkan kepada ummat untuk menta’atinya. Apalah artinya ber-Ulil Amri
jika tidak ta’at kepada undang-undangnya. Jadi, yang tidak ta’at pada
undang-undang negara yang berazaskan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW,
merekalah yang tidak berpegang pada Hudaan.
Contoh Ketiga, Bagian akhir dalam undang-undang pemerintahan
Nabi di Madinah disebutkan antara lain:
Dan contoh yang disebutkan di atas itu jelas bahwa sekalipun para
mentrinya sudah tidak ada, wilayahnya dikuasai lawan karena kekuatan
militernya sama sekali sudah lenyap, namun estapeta pemimpinannya masih
ada maka perjuangan menyusun kekuatan pemerintahan berlanjut untuk
kembali defakto. Keberadaan struktur Dewan menteri atau kabinet tidak
diisyaratkan oleh keadaan negaranya hams dalam situasi kondusif .
Contohnya, seperti halnya pemerintah dalam pengasingan, negara berjuang,
dan pemerintah darurat dsb. Walau departemen- departemennya tidak
berpungsi, tidak memiliki kantor- kantor khusus, tidak memiliki markas
militer dengan perlengkapan senjata, karena wilayahnya dikuasai musuh,
namun kabinet atau struktur pemerintahan tetap didahulukan terbentuk
sesuai legalitasnya. Banyak contoh seperti halnya yang pernah terjadi di
Kamboja, Kuwait dan sebagainya yang terjadi dalam sejarah.
• ttd
QS. 26:197.
QS. 35:6.
QS. 42:38.
QS. 3:103.
Ibid.
Ibid.
Lihat: Al Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia SM.
Kartosoewirjo, (Jakarta: Darul Falah), 1998.
Ibid.
Ibid.
Ibid.
QS. 64:16.
Peristiwa berdarah di Aceh, Meuraxe Dada, Pustaka Sedar, Medan,1956, halaman 31-
33.
Ibid.
Merdeka, … 1953.
Keterangan dari Baharuddin Yang pada waktu itu sebagai Keuangan Resimen.
Keterangan ini dari Ridwan, salah seorang dari empat utusan Kastolani.
Selama ini kita telah tertipu membaca buku-buku sejarah serta berbagai publikasi sejarah
perjuangan umat Islam diIndonesia. Sukses besar yang diperoleh dua rezim penguasa di
Indonesia dalam mendistorsi sejarah Darul Islam, adalah munculnya trauma politik di
kalangan umat Islam. Hampir seluruh kaum muslimin di negeri ini, memiliki semangat
untuk memperjuangkan agamanya, bahkan seringkali terjadi hiruk pikuk di ruang diskusi
maupun seminar untuk hal tersebut. Tetapi begitu tiba-tiba memasuki pembicaraan
menyangkut perlunya mendirikan Negara Islam, kita akan menyaksikan segera setelah itu
mereka akan menghindar dan bungkam seribu bahasa.
Di masa akhir-akhir ini, bahkan semakin banyak tokoh-tokoh Islam yang menampakkan
ketakutannya terhadap persoalan Negara Islam. Mantan Ketua Umum PBNU, K.H.
Abdurrahman Wahid misalnya, secara terus terang bahkan mengatakan : "Musuh utama
saya adalah Islam kanan, yaitu mereka yang menghendaki Indonesia berdasarkan Islam
dan menginginkan berlakunya syari'at Islam". (Republika, 22 September 1998, hal. 2
kolom 5). Selanjutnya ia katakan : "Kita akan menerapkan sekularisme, tanpa
mengatakan hal itu sekularisme".
Salah satu partai berasas Islam yang lahir di era reformasi ini, malah tidak bisa
menyembunyikan ketakutannya sekalipun dibungkus dalam retorika melalui slogan
gagah: "Kita tidak memerlukan negara Islam. Yang penting adalah negara yang Islami".
Bahkan, dalam suatu pidato politik, presiden partai tersebut mengatakan: "Bagi kita tidak
masalah, apakah pemimpin itu muslim atau bukan, yang penting dia mampu
mengaplikasikan nilai-nilai universal seperti kejujuran dan keadilan".
Demikian besar ketakutan kaum muslimin terhadap isu negara Islam, melebihi ketakutan
orang-orang kafir dan sekuler, sampai-sampai mereka tidak menyadari bahwa segala isme
(faham) atau pun Ideologi di dunia ini berjuang meraih kekuasaan untuk mendirikan
negara berdasarkan isme atau ideologi yang dianutnya.
Selama 32 tahun berkuasanya rezim Soeharto, sosialisasi tentang Negara Islam Indonesia
seakan terhenti. Oleh karena itu adanya bedah buku atau pun terbitnya buku-buku yang
mengungkapkan manipulasi sejarah ini, merupakan perbuatan luhur dalam meluruskan
distorsi sejarah yang selama bertahun-tahun menjadi bagian dari khazanah sejarah
bangsa.
Sejak berdirinya Republik Indonesia, rakyat negeri umumnya, telah ditipu oleh penguasa,
hingga saat sekarang. Umat Islam yang menduduki jumlah mayoritas telah disesatkan
pemahaman sejarah perjuangan Islam itu sendiri. Sudah seharusnya, di masa reformasi
ini, umat Islam menyadari bahwa di Indonesia pernah ada suatu gerakan anak bangsa
yang berusaha membangun supremasi Islam, yaitu Negara Islam Indonesia yang berhasil
diproklamasikan, 7 Agustus 1949, dan berhasil mempertahankan eksistensinya hingga 13
tahun lamanya (1949-1962). Namun rezim yang berkuasa telah memanipulasi sejarah
tersebut dengan seenaknya, sehingga umat Islam sendiri tidak mengenal dengan jelas
sejarah masa lalunya.
Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, adalah sebuah nama yang cukup problematis dan
kontroversial di negara Indonesia, dari dulu hingga saat ini. Bahwa dia dikenal sebagai
pemberontak, harus kita luruskan.Bukan saja demi membetulkan fakta sejarah yang
keliru atau sengaja dikelirukan, tetapi juga supaya kezaliman sejarah tidak terus berlanjut
terhadap seorang tokoh yang seharusnya dihormati.
Semasa Orla berkuasa (1947-1949) yang merupakan puncaknya perjuangan Negara Islam
Indonesia, SM. Kartosuwiryo memang dikenal sebagai pemberontak. Tetapi fakta yang
sebenarnya adalah, Kartosuwiryo sesungguhnya tokoh penyelamat bagi bangsa
Indonesia, lebih dari apa yang dilakukan oleh Soekarno dan tokoh tokoh nasionalis
lainnya. Pada waktu Soekarno bersama tentara Republik pindah ke Yogyakarta sebagai
akibat dari perjanjian Renville, yang menyebutkan bahwa wilayah Indonesia hanya
tinggal Yogya dan sekitamya saja, dan wilayah yang masih tersisa itu pun,
dipersengketakan antara Belanda dan Indonesia, sehingga pada waktu itu nyaris Negara
Kesatuan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Dan yang ada hanyalah negara-negara
serikat, baik yang sudah terbentuk, atau pun yang masih dalam proses melengkapi syarat-
syarat kenegaraan. Seperti Jawa Barat, ketika itu dianjurkan oleh Belanda supaya
membentuk Negara Pasundan, namun belum terbentuk sama sekali, karena belum adanya
kelengkapan kenegaraan.
Ketika segala peristiwa yang telah disebutkan di atas, menggelayuti atmosfir politik
Nusantara, pada saat itu Indonesia dalam keadaan vacuum of power. Pada saat itulah,
Soekarno memerintahkan semua pasukan untuk pindah ke Yogyakarta berdasarkan
perjanjian Renville. Guna memberi legitimasi Islami, dan untuk rnenipu umat Islam
Indonesia dalam memindahkan pasukan ke Yogya, Soekarno telah memanipuiasi
terminologi al-Qur'an dengan menggunakan istilah "Hijrah" untuk menyebut pindahnya
pasukan Republik, sehingga nampak Islami dan tidak terkesan melarikan diri. Namun
S.M. Kartosuwiryo dengan pasukannya tidak mudah tertipu, dan menolak untuk pindah
ke Yogya. Bahkan bersama pasukannya, ia berusaha mempertahankan wilayah jawa
Barat, dan menamakan Soekarno dan pasukannya sebagai pasukan liar yang kabur dari
medan perang.
Jauh sebelum kemerdekaan, yaitu pada tahun 1930-an, istilah"hijrah" sudah pernah
diperkenalkan, dan dipergunakan.sebagai metode perjuangan modern yang brillian oleh
S.M. Kartosuwiryo, berdasarkan tafsirnya terhadap sirah Nabawiyah. Ketika itu, pada
tahun 1934 telah muncul dua metode perjuangan yaitu cooperatif dan non cooperatif.
Metode non cooperatif, artinya tidak mau masuk ke dalam parlemen dan bekerja sama
dengan pemerintah Belanda namun bersifat pasif, tidak berusaha menghadapi penguasa
yang ada. Metode ini sebenamya dipengaruhi oleh politik SWADESI, politik Mahatma
Gandhi dari India. Lalu muncullah S.M. Kartosuwiryo dengan metode Hijrah, sebuah
metode yang berusaha membentuk komunitas sendiri, tanpa kerjasama dan aktif,
berusaha untuk melawan kekuatan penjajah.
Akan tetapi, pada waktu itu, metode ini dikecam keras oleh Agus Salim, karena
menganggap S.M. Kartosuwiryo menerapkan metode hijrah ini di dalam suatu
masyarakat yang belum melek politik. Sehingga ia kemudian berusaha menanamkan
politik dan metode hijrah itu kepada anggota PSII pada khususnya. Dengan harapan
setelah memahami politik, mereka mau menggunakan metode ini, karena paham politik
sangat penting. Namun, Agus Salim menolaknya, karena ia tidak setuju dengan politik
tersebut. Menurutnya rakyat atau anggota partai hanyalah boleh mengetahui masalah
mekanisme organisasi tanpa mengetahui konstelasi politik yang sedang berlangsung, dan
hanya elit pemimpin saja yang boleh mengetahui. Sedangkan "hijrah" adalah berusaha
menarik diri dari perdebatan politik, kemudian berusaha membentuk barisan tersendiri
dan berusaha dengan kekuatansendiri untuk mengantisipasi sistem perjuangan yang tidak
cukup progresif dan tidak Islami. Faktor inilah yang menjadi awal perpecahan PSII, yaitu
melahirkan PSII Hijrah yang memakai metode hijrah dan PSII Penyadar yang dipimpin
Agus Salim.
Walaupun metode Hijrah, bagi sebagian tokoh politik saat itu, terlihat mustahil untuk
digunakan sebagai metode perjuangan, namun ternyata dapat berjalan efektif pada tahun
1949 dengan terbentuknya Negara Islam Indonesia yang diproklamasikan dibawah
bendera Bismillahirrahmaniirrahim. Sehingga pantaslah, jika kita tidak memperhatikan
rangkaian sejarah sebelumnya secara seksama, memunculkan anggapan bahwa berdirinya
Negara Islam Indonesia berarti adanya negara di dalam negara, karena Proklamasi RI
pada tahun 1945 telah lebih dahulu dilakukan.
Namun sebenamya jika kita memahami sejarah secara benar dan adil, maka kedudukan
Negara Islam Indonesia dan RI adalah negara dengan negara. Karena negara RI hanya
tinggal wilayah Yogyakarta waktu itu, sementara Negara Islam Indonesia berada di Jawa
Barat dan mengalami ekspansi (pemekaran) wilayah. Daerah Jawa Tengah, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Selatan dan Aceh mendukung berdirinya Negara Islam Indonesia. Dan
dukungan itu bukan hanya berupa pernyataan atau retorika belaka, tapi ikut bergabung
secara revolusional. Barangkakali benar, bahwa Negara Islam Indonesia adalah satu-
satunya gerakan rakyat yang disambut demikian meriah di beberapa daerah di indonesia.
Melihat sambutan yang gemilang hangat dari saudara muslim lainnya, maka rezim
Soekarno berusaha untuk menghambat tegaknya Negara Islam Indonesia bersama A.H.
Nasuion, seorang tokoh militer beragama Islam yang dibanggakan hingga sekarang,
tetapi ternyata mempumyai kontribusi yang negatif dalam perkembangan Negara Islam
Indonesia. Dia bersama Soekarno berusaha menutupi segala hal yang memungkinkan
S.M. Kartosuwiryo dan Negara lslam Indonesia kembali terangkat dalam masyarakat,
seperti penyembunyian tempat eksekusi dan makam mujahid Islam tersebut.
Nampaklah sekarang bahwa sebenarnya penguasa Orla dan Orba, telah melakukan
kejahatan politik dan sejarah sekaligus, yang dosanya sangat besar yang rasanya sulit
untuk dimaafkan. Mungkin bisa diumpamakan, hampir sama dengan dosa syirik dalam
pengertian agama, yang merupakan dosa terbesar dalam Islam. Karena perilaku politik
yang mereka pertontonkan, telah menyesatkan masyarakat dalam memahami sejarah
perjuangan Islam di Indonesia dengan sebenarnya. Berbagai rekayasa politik untuk
memanipulasi sejarah telah dilakukan sampai hal yang sekecil-kecilnya mengenai
perjuangan serta pribadi S.M. Kartosuwiryo. Seperti pengubahan data keluarganya,
tanggal dan tahun lahirnya. Semua itu ditujukan agar SMK dan Negara Islam Indonesia
jauh dari ingatan masyarakat.
Dalam majalah Tempo 1983, pernah dimuat kisah seorang petugas eksekusi S.M.
Kartosuwiryo, yang menggambarkan sikap ketidak pedulian Kartosuwiryo atas keputusan
yang ditetapkan Mahadper RI kepadanya. Ia mengatakan bahwa 3 hari sebelum hukuman
mati dilaksanakan, Kartosuwiryo tertidur nyenyak, padahal petugas eksekusinya tidak
bisa tidur sejak 3 hari sebelum pelaksanaan hukuman mati. Dari sinilah akhimya
diketahui kemudian dimana pusara Kartosuwiryo berada, yaitu di pulau Seribu.
Usaha untuk mengungkapkan manipulasi sejarah adalah sangat berat. Satu di antara fakta
sejarah yang dimanipulasi, adalah untuk mengungkap kebenaran tuduhan teks proklamasi
dan UUD Negara Islam Indonesia adalah jiplakan dari proklamasi Soekarno-Hatta. Yang
sebenamya terjadi justru kebalikannya. Ketika Hiroshima dan Nagasaki di bom (6 - 9 Mei
1945) S.M. Kartosuwiryo sudah tahu melalui berita radio, sehingga ia berusaha
memanfaatkan peluang ini untuk sosialisasi proklamasi Negara Islam Indonesia. Ia
datang ke Jakarta bersama pasukan Hisbullah dan mengumpulkan massa guna
mensosialisasikan kemungkinan berdirinya Negara Islam Indonesia, dan rancangan
konsep proklamasi Negara Islam lndonesia kepada masyarakat. Sebagai seorang tokoh
nasional yang pernah ditawari sebagai menteri pertahanan muda yang kemudian
ditolaknya, melakukan hal ini tentu bukan perkara sulit. Salah satu di antara massa yang
hadir dalam pertemuan tersebut adalah Sukarni dan Ahmad Subarjo.
Pertanyaan Soekarno itu adalah: "Masih ingatkah saudara, teks dari bab Pembukaan
Undang-Undang Dasar kita?"
Jika kesaksian Ahmad Soebardjo ini benar, jelas tidak masuk akal, karena kita tahu
bahwa UUD 1945 baru disahkan dan disetujui tanggal 18 Agustus 1945 setelah
proklamasi. Sehingga pertanyaan yang benar semestinya adalah, "Masih ingatkah saudara
akan sosialisasi proklamasi Negara Islam Indonesia?" Maka wajarlah jika naskah
Proklamasi RI yang asli terdapat banyak coretan. Jelaslah bahwa ternyata Soekarno-Hatta
yang menjiplak konsep naskah proklamasi Negara Islam Indonesia, dan bukan
sebaliknya. Memang sedikit sejarawan yang mengetahui mengenai kebenaran sejarah ini.
Di antara yang sedikit itu adalah Ahmad Mansyur Suryanegara, beliau pernah
mengatakan bahwa S.M. Kartosuwiryo pernah datang ke Jakarta pada awal Agustus 1945
bersama pasukan Hizbullah dan Sabilillah.
Kami bersyukur kepada Allah Malikurrahman atas antusiame generasi muda Islam dalam
menerima informasi yang benar dan obyektif mengenai sejarah perjuangan menegakkan
Negara Islam dan berlakunya syari'at Islam di negeri ini. Semoga Allah memberi hidayah
dan kekuatan kepada kita semua, sehingga perjuangan menjadikan hukum Allah sebagai
satu-satunya sumber dari segala sumber hukum dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara segera terwujud di Indonesia yang, menurut sensus adalah negara yang
penduduknya mayoritas beragama Islam. Amin, Ya Arhamar Rahimin !
Jaringan kelompok DI atau NII memang pernah dianggap momok dalam percaturan
politik di Indonesia. Benarkah DI-NII bangkit kembali? Sulit menjawab. Namun, dalam
sebuah kesempatan, Al Chaidir menyatakan, gerakan NII tak pernah padam. Memang itu
bukan hal yang berlebihan. Soalnya, selama obsesi mewujudkan NII belum terwujud,
kelompok-kelompok tersebut akan selalu ada. Jelasnya, tujuan kelompok tersebut adalah
mendirikan negara Islam.
Terus terang, hingga kini, tak banyak yang mengetahui keberadaan kelompok-kelompok
atau faksi-faksi NII. Sebab, aktivitas kelompok tersebut sukar dilacak. Markas kelompok
ini pun kerap berpindah-pindah. Bahkan, terkadang pergerakannya cukup eksklusif.
Makanya tak aneh, bila tak sembarang orang bisa masuk ke lingkaran mereka. Apalagi,
seseorang harus disumpah setia kepada imam atau pemimpin (ba`iat) terlebih dulu
sebelum menjadi anggota. Tak hanya itu, orang tersebut juga dilarang bercerita kepada
siapa pun, terkecuali sesama anggota kelompok “N-Sebelas” --sebutan lain untuk NII.
Keberadaan NII adalah isu serius yang tak pernah hengkang.
Goresan pena sejarah mencatat, NII pertama kali diproklamirkan oleh Sekarmaji Marijan
Kartosuwiryo pada 7 Agustus 1949. Kala itu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat
menjadi basis pertama NII. Selanjutnya, gerakan serupa meluas ke sejumlah daerah di
Tanah Air, terutama Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh. Misalnya pada
Oktober 1950, terjadi pemberontakan di Kalsel yang dipimpin Ibnu Hadjar alias Haderi
bin Umar, seorang bekas letnan dua TNI, yang menyatakan sebagai bagian dari DI
pimpinan Kartosuwirjo. Lantas, gerakan ini berhasil dipadamkan setelah pemerintah
melalui TNI berhasil meringkus Ibnu Hadjar pada 1959. Gerakan DI juga meluas hingga
ke Sulsel di bawah pimpinan Kahar Muzakar, 20 Januari 1952. Setahun berselang,
disusul pembentukan NII di Aceh oleh Abu Daud Beureuh pada 21 September 1953.
Namun, sejumlah upaya pembentukan negara tersebut berhasil dipatahkan. Bahkan,
Rezim Orde Baru melarang keras gerakan DI atau NII.
Dalam kesempatan terpisah, Al Chaidar menyatakan, upaya mendirikan NII bakal terus
dilakukan. Ia mengungkapkan, hingga kini, terdapat 14 faksi yang setia memperjuangkan
berdirinya kembali NII. Di antaranya, Faksi Abdullah Sungkar, Abdul Fatah
Wiranagapati, Mahfud Sidik, Aceh, Sulsel, Madura, Kahwi 7, dan Faksi Kahwi 9, serta
beberapa kelompok lain. Sedangkan basis NII atau DI berada di tiga tempat. Untuk Pulau
Jawa, basis NII berada di Jabar, kawasan Gunung Salak dan Subang. Sementara wilayah
Sumatra berbasis di Aceh, dan untuk bagian Indonesia Timur berkedudukan di Sulawesi.
Bahkan, NII mengklaim telah mempunyai pengikut sekitar 18 juta orang.
Keanggotaannya terdiri dari berbagai kalangan. Sebut saja, mulai dari rakyat bisa, petani,
mahasiswa, militer hingga pejabat. Kesemuanya tersebar di seluruh Indonesia dan Asia
Tenggara.
Menurut Al Chaidar, faksi pertama hingga keenam adalah kelompok Islam radikal
berlatar kekerasan. Sebaliknya, faksi ketujuh hingga ke-13 lebih memilih gerakan
antikekerasan. Faksi pertama hingga ketiga memiliki kaitan dengan International
Mujahidin Association (IMA). Sedangkan faksi keempat hingga keenam adalah pelaku
pengeboman dan lebih banyak dimanfaatkan kalangan militer. Saat ditanya kenapa ia
mengungkapkan hal itu, Chaidar mengatakan, pernyataan tersebut memang tergolong
berisiko. Namun, dia berpendapat keadaan bakal lebih buruk andai dia memilih tutup
mulut.
Mungkin Al Chaidar betul. Tapi, pengamat sosial keagamaan Abdul Choliq Wijaya
berpendapat lain. Menurut dia, saat ini, NII tinggal sebagai wacana umat Islam. Soalnya,
gerakan NII atau DI tidak lagi di bawah tanah, tapi sudah tampil ke permukaan sejalan
dengan era reformasi. Pada zaman keterbukaan, sejumlah parpol tak dilarang
menggantikan asas Pancasila menjadi Islam. Pendapat itu didukung Dr Musalin Dahlan.
Tokoh Islam yang dekat dengan kalangan NI ini menegaskan, saat ini NII cenderung
tinggal wacana semata. Alasannya, kini, berbagai potensi umat Islam lebih mengangkat
isu penegakan syariat Islam ketimbang isu NII.(ANS)
Sumber: http://liputan6.com/view/8,24004,1,0,1160727282.html#
Pada tanggal 6 dan 7 April 1999 tahun lalu pernah saya menerima email dari saudara Al
Chaidar yang meminta tulisan-tulisan saya untuk dipelajarinya, apakah pemikiran-
pemikiran saya itu mengarah ke radikalisasi atau ke arah deradikalisasi. Karena menurut
Al Chaidar beberapa tulisan-tulisan saya itu di Jakarta, Bandung, Lampung dan bahkan
Padang, dibicarakan dengan sangat gempita. Kegembiraan mereka mendapatkan
penyalurannya melalui rumusan-rumusan judul artikel-artikel saya yang sangat menarik
dan sederhana, menurut Al Chaidar. (Al Chaidar, 6-7 April 1999).
Saudara Al Chaidarpun menceritakan dalam emailnya itu bahwa selama ini telah menulis
buku-buku tentang Negara Islam, tentang Darul Islam dan gerakan politik Islam lainnya.
Diantaranya Reformasi Prematur: Jawaban Islam terhadap Reformasi Total; Wacana
Ideologi Negara Islam: Studi Harakah Darul Islam dan Moro National Liberation Front;
Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi Militer [DOM]
di Aceh 1989-1998; Pemilu 1999: Pertarungan Ideologis Partai-Partai Islam versus
Partai-partai Sekuler; Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia SM
Kartosoewirjo.
1. AKSI SEJUTA UMMAT telah berlangsung secara aman, damai, tertib dan
sejahtera pada pagi hari tanggal 7 Januari 2000 di sektor Barat Monas, Jakarta. Aksi
sejuta ummat untuk rahmatan lil’alamin ini merupkan aksi untuk menyatakan solidaritas
dan empati atas perjuangan dan penderitaan yang dialami oleh Muslim Ambon dan semua
pihak yang menjadi korban kemanusiaan.
2. Tidak ada kerusuhan atau tindakan pembakaran dalam aksi demonstrasi damai
tersebut. Tidak ada penghinaan terhadap pemerintah maupun pribadi atau golongan
tertentu. Tidak ada provokasi, agitasi atau propaganda yang berlangsung di dalamnya.
Namun kami, pihak panitia, menyaksikan banyak provokator dari pihak-pihak yang kami
duga berasal dari pemerintah sendiri.
3. Saya selaku ketua panitia SC Aksi Sejuta Ummat di Monas itu sudah membuat berita
acara yang saya sampaikan kepada semua panitia dan pihak-pihak yang terlibat di
dalamnya.
4. Yang kemudian menjadi masalah adalah ungkapan saya untuk mengganti ideologi
bangsa (Pancasila) dengan ideologi negara Islam. Semua perkara tentang hal ini
sepenuhnya menjadi tanggung-jawab saya pribadi dan akan saya jawab ketika saya
menyelesaikan semua urusan rencana studi di Malaysia, Thailand, Afghanistan,
Mindanao dan Pakistan.
5. Saya marah dengan semua tuduhan yang dilontarkan oleh Kapolda Brigjen Noegroho
Djajoesman bahwa saya 2X tidak datang memenuhi panggilan polisi. Sampai menjelang
keberangkatan saya ke KL seminggu lalu, tidak ada satu surat panggilan pun yang
hinggap di alamat saya Jl. Batu I No. 26-A, Pejaten Timur, Jakarta 12510.
6. Saya juga menyatakan tidak terlibat dengan Peristiwa Mataram, Sulawesi Selatan,
Aceh, Solo dan NTT. Justru saya ingin menyejukkan jiwa-jiwa rakyat yang gelisah di
sana dengan menawarkan logika high politics bahwa kita butuh Negara Islam sebagai
penawar panasnya letupan emosi akibat pembantaian umat Islam di Ambon. Saya
sebenarnya telah mengambil tugas Departemen Penerangan RI (yang telah dibubarkan
itu).
8. Demikian surat penjelasan ini saya buat untuk mengklarifikasi persoalan yang makin
diperkeruh ini. Saya bisa dihubungi melalui e-mail: alchaidar@sociologist.com
9. Semoga Allah SWT meridhoi surat penjelasan ini dan semoga kiranya Ia memberikan
tolong dan kurnia-Nya sehingga lenyap semua fitnah terhadap penolong-penolong
agama-Nya.
Muslimin di Indonesia telah terpecah kedalam berbagai golongan, yang satu sama lain
tidak ada kesamaan dalam visi dan misinya. Sehingga apabila ada salah seorang muslim
seperti saudara Al Chaidar diatas yang mengungkapkan dan menyatakan bahwa ideologi
bangsa (Pancasila) diganti dengan ideologi negara Islam timbullah pertentangan dan
anggapan negatif kepada saudara Al Chaidar.
Padahal bagi seorang muslim yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya Muhammad
saw tidak ada jalan lain selain mengikuti apa yang telah digariskan dalam Al Quran dan
dicontohkan Rasulullah saw dalam sunnahnya.
Justru yang merusakkan Islam adalah mereka yang menyatakan muslim dan menganut
Islam tetapi kenyataannya adalah meruntuhkan Islam, contohnya Gus Dur yang lebih
senang dan bebas apabila Islam tidak dilibatkan kedalam pemerintahan dan negara.
Gus Dur adalah salah satu contoh Penguasa di negara yang meyoritas muslim yang tidak
senang dengan Islam sebagai pegangan dalam kehidupan masyarakat, pemerintahan dan
negara. Padahal Rasulullah saw telah mencontohkannya di Madinah dengan Daulah
Islam Rasulullah dan Undang Undang Madinahnya.
Gus Dur lebih senang dan bahagia apabila sekularisme terus dijadikan acuan dalam
kehidupan masyarakat, pemerintahan dan negara.
Dimana visi dan misi ini adalah membangun persatuan dengan berlandaskan keadilan,
amanah dan perdamaian yang bertujuan untuk beribadah, bertaqwa dan mengharap ridha
Allah SWT, dengan misi membangun kembali satu masyarakat muslim dan non muslim
didalam satu kekuasaan pemerintahan dimana Allah yang berdaulat, yang menerapkan
musyawarah dan menjalankan hukum-hukum Allah dengan adil, berdasarkan akidah
Islam dengan menghormati agama lain, dengan konstitusi yang bersumberkan dari Al
Quran dan Sunnah, yang tidak mengenal nasionalitas, kebangsaan, kesukuan dan ras.
Inilah sedikit tanggapan untuk Presiden Gus Dur dan saudara Al Chaidar.
Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada
ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk
membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam
dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP
http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon
petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
Senin, 28/02/2000
Adil - Jakarta, Seorang pria dan dua wanita muda duduk bersila di pelataran Masjid
Islamic Centre, Jl. Diponegoro, Bandung. Mereka terlihat sedang berdialog. Yang pria
sambil memegang sebuah kitab tampak bersemangat berbicara, meski dengan nada
setengah berbisik.
Pembicaraan terhenti jika ada orang lain menghampiri. Kitab yang dipegang segera
ditutupnya. Gerak-gerik seperti itu sering terlihat setiap Jumat dan Minggu sore, kantor
pusat dakwah terbesar di Jawa Barat itu. Mereka terkesan tertutup dan kurang bersahabat
terhadap orang lain.
Adakalanya mereka muncul hanya sepasang muda-mudi. Tapi, sekalipun cuma ngobrol,
keberadaan mereka di lingkungan masjid yang menjadi Pusat Dakwah Islam (Pusda'i)
Jabar itu dinilai tak sedap. Pengurus Islamic Centre sering menegur pasangan muda-mudi
yang berduaan itu.
Keanehan lain, ketika datang waktu salat, mereka diam saja. Jika diingatkan kadang
alasannya lucu, semuanya mengaku sedang 'berhalangan'. Praktek mereka sudah
berlangsung lama. Pusda'i belakangan sadar, bahwa muda-mudi aneh itu adalah anggota
gerakan Negara Islam Indonesia (NII).
Kehadiran kembali NII itu tak hanya mengagetkan pengurus Pusda'i. Sejak beberapa
bulan terakhir ini masyarakat Bandung memang geger soal NII. Banyak orang tua resah
karena anaknya terlibat. "Banyak mahasiswa, seperti di ITB dan Unpad, yang terjerat,"
kata K.H. Miftah Faridl, Direktur Pusat Dakwah Islam (Pusda'i) Jabar, yang juga Ketua
Umum MUI Kodya Bandung, dan dosen ITB.
Galamedia, salah satu koran di Bandung, dalam tiga minggu terakhir, gencar
mengungkap 'kebangkitan' NII ini. Harian milik grup Pikiran Rakyat itu, mengungkapkan
adanya 200 mahasiswa ITB yang terancam drop out (DO). Mereka mengalami
kemerosotan prestasi akademis, dan malah diam-diam meninggalkan bangku kuliah,
sambil menunggak SPP.
Sebagian dari mereka, disinyalir terlibat kegiatan NII. Hasil penelusuran ADIL,
menunjukkan NII memang lagi in di kampus-kampus. Rizal misalnya, sudah dua tahun
tidak terlihat batang hidungnya sebagai mahasiswa Politeknik ITB. Anak seorang guru
SMU swasta terkemuka di Kota Bandung itu, bukan saja lenyap dari kampus, tapi juga
dari tengah-tengah keluarganya. Sesekali ia memberi kabar dirinya berada di Jakarta, ikut
jemaah NII.
Bisa jadi kabar dari Rizal itu benar. "Di Jakarta ini, gerakan yang mengatasnamakan NII
itu, memang sudah lama beroperasi dan menyusup ke kampus-kampus perguruan tinggi
negeri dan swasta," ungkap Iwan Ridwan, alumnus IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Menurut Andi Arifin, di sekitar kampus IAIN, di kawasan Ciputat bertebaran 'posko' NII
gaya baru itu.
YANG HARAM DIHALALKAN Kebangkitan NII ini menghebohkan masyarakat sekitar
Bandung. Bukan hanya soal nama 'NII' yang membuat warga kota kembang itu resah.
Tapi, juga keganjilan perilaku pengikut neo NII itu.
"Mereka menghalalkan nyontek. Alasannya, ini kan ilmu dunia. Akhirnya banyak dosen
menyamakan tabiat aktivis Islam lainnya dengan tabiat pengikut NII," kata Anif, aktivis
Islam dari ITB.
Yang juga aneh, perilaku pengikut NII gadungan itu jauh dari ajaran asli gerakan NII
yang bersumber pada Al-Quran dan Hadis. Dakwah mereka boleh dibilang bertolak
belakang dengan ajaran Al-Quran dan Hadis. Contohnya, mereka membolehkan para
pengikutnya untuk melawan orang tua, meninggalkan keluarga, mencuri, mabuk, dan
berzina. Soal dosa, bisa diurus tobatnya oleh sang imam.
Menurut Asep Rodi (39), mantan pengikut neo NII, ajaran itu didasarkan pada sirah
(sejarah) Nabi Muhammad SAW. Dulu, ketika periode Mekkah, Nabi memang belum
mewajibkan salat, zakat dan berbagai ibadah lainnya. Ini karena saat itu belum turun
wahyu salat. Wahyu tentang ibadah itu baru turun semasa Nabi di Madinah (periode
Madinah).
"Ini yang dipahami secara sempit oleh pengikut neo NII sekarang," jelas Asep. "Makanya
amalan NII pun jadi rancu. Mencuri dianggap ibadah fa'i (mengambil rampasan perang),
dan salat tidak perlu dilakukan karena menyamakan diri dengan periode Mekkah, di
mana belum ada wahyu kewajiban salat," papar mantan pengikut NII (1987-1997) itu.
Dan seperti halnya kelompok Islam puritan lainnya, kelompok NII merasa sebagai
penganut Islam yang paling benar. Maka tidak segan-segan mengkafirkan orang yang
bukan kelompoknya. Ajaran menghalalkan segala cara, itu untuk --yang mereka bilang--
mewujudkan sebuah cita-cita besar: mendirikan negara Islam!
Menurut Asep, NII yang sekarang banyak berkembang di kampus-kampus itu sebenarnya
merupakan salah satu pecahan dari faksi NII yang dulu pernah ada semasa dipimpin
Kartosuwiryo. Kelompok NII ini menyebut dirinya sebagai NII Komandemen Wilayah 9
(KW 9).
NII KW 9 ini merekrut pengikut dari kalangan Islam abangan atau yang sedang berupaya
mendalami ajaran Islam. Setelah dicuci otak dengan sebuah doktrin yang membangkitkan
semangat radikal, mereka di bawa ke sebuah tempat rahasia dengan sebuah kendaraan
sambil matanya ditutup kain. Penutup mata baru dibuka di sebuah ruangan, tempat baiat
dilangsungkan.
Sumpah setia itu dilakukan oleh tiga atau empat orang pria berdasi. Lagak mereka seperti
eksekutif. Proses baiat ini tidak gratis. Mereka dipungut 'infak' dalam jumlah tak terbatas.
Pasarannya Rp 350.000 per orang. Jika ada yang cuma mampu Rp 50.000, pasti diledek.
"Masak untuk perjuangan Islam setorannya kecil?" kata si 'imam' berpenampilan necis
itu.
Sehabis mengikuti baiat selama sekitar tiga jam, mata mereka kembali ditutup kain, dan
dikembalikan ke tempat asal. Setelah itu, kewajiban mereka membayar iuran bulanan,
malah ada yang harian, dalam jumlah ratusan ribu sampai jutaan rupiah. Alasannya untuk
dana perjuangan. Ada juga yang sampai menyumbang mobil.
MIRIP praktek MLM Untuk membesarkan jumlah pengikutnya, NII ini juga mewajibkan
setiap anggotanya melebarkan sayap. Dalam sebulan ada yang ditugasi merekrut anggota
baru sampai 10 orang. Keberhasilan rekrutmen itu akan menjadi tiket untuk naik pangkat.
Misalnya, dari kelas RT menjadi RW, lurah, camat, dan penguasa daerah (setingkat
bupati/walikota).
Kehadiran anggota baru jelas akan menambah income organisasi. Bagi anggota yang
punya andil besar menggemukkan anggota sehingga dapat meraih jabatan camat, diberi
gaji sekitar Rp 300.000 per bulan. Cara kerjanya ini mirip jaringan multi level marketing
(MLM). Ada downline (anak buah) ada upline (atasan).
Cuma, berbeda dengan MLM semakin tinggi posisi di dalam jaringan bukannya semakin
untung. Bahkan malah bisa lebih 'sial'. "Seorang camat, misalnya kendati mendapat gaji
lebih, kewajiban iuran seorang camat jauh lebih besar lagi. Akibatnya, besar pasak
daripada tiang," ungkap Asep.
REKAYASA LAMA Kehadiran neo NII itu dinilai banyak kalangan amat mencurigakan.
Soalnya NII baru ini benar-benar menyimpang dari 'pakem' NII yang pernah ada yakni
NII Kartosuwiryo.
Penyimpangan itu selain terlihat pada ajaran para pengikutnya juga tampak dari soal
nama NII KW 9. Menurut seorang pengikut NII asli, NII tak pernah mengenal KW 9.
Ketika Kartosuwiryo diberangus, terakhir KW yang tarbentuk adalah KW 6. Karena
itulah mantan pengikut NII asli mengutuk ajaran sesat berkedok NII itu.
"Masya Allah, itu provokasi dan dusta. Itu NII palsu, hasil rekayasa," ujar Abdul Fatah
Wirananggapati (76), (bekas) Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi Angkatan Perang NII
(KUKT/NII) pimpinan almarhum S.M. Kartosuwiryo. Siapa yang merekayasa? "Wallau
a'lam," jawab Abu, nama panggilannya.
"NII murni tidak seperti itu," tambah Andi Arifin (46), anak buah Abu yang terlibat di NII
sejak 1974. Ia beranggapan, terutama sejak Orde Baru, telah terjadi manipulasi gerakan
NII oleh tangan-tangan kotor penguasa. Kantung-kantung transmigrasi, konon, ikut
menjadi sasaran 'proyek' intelijen itu.
Di tangan mereka, masih tutur Andi, NII jadi gerakan menyeramkan dan melakukan
permainan kotor. Padahal, 'NII murni' gerakannya tidak menyimpang dari ajaran Islam.
Tapi NII ini memang divonis 'berdosa' pada negara dengan tuduhan memberontak
pemerintah RI. Padahal yang dilakukannya 'cuma' melawan kaum penjajah.
"Orde Baru telah menyebarkan sekitar 6.000 anggota ABRI ke banyak daerah untuk
menyamar sebagai imam NII. Lalu mereka melakukan pengkaderan, tapi mereka sendiri
yang mengumpankan pengikutnya kepada aparat," kata Andi Arifin, bekas Penghubung
Luar Negeri Angkatan Perang NII. Ia juga curiga, Warsidi --pimpinan kelompok Islam
sempalan yang diberangus di Lampung-- perlu diteliti siapa dia sebenarnya. "Jangan-
jangan dia juga anggota ABRI," jelasnya.
Kejadian kasus Lampung, menurut Andi, juga terjadi di daerah Gununghalu, pinggiran
kota Bandung, Jawa Barat. Di daerah itu disinyalir terdapat praktek rekayasa
pengkaderan NII. Sesekali mereka digerebek, tapi kelestariannya dijaga, untuk
'diproyekkan' pada waktu-waktu tertentu. "Analoginya, ada kambing mengembik di
depan harimau lapar, lantas diterkamnya. Ada juga kambing mengembik, tapi dibiarkan
oleh sang harimau," kata Andi Arifin pula.
Pengalaman Asep menguatkan sinyalemen Andi. Selama 10 tahun menjadi pengikut 'NII
sesat', sering terdengar ada penangkapan terhadap jemaah dan imam NII. Tapi tidak lama
kemudian mereka, terutama imamnya, dikeluarkan lagi, konon dengan bantuan orang
dalam ABRI. "Mereka mengesankan seperti punya link khusus ke sana," katanya. Karena
ada rekayasa semacam ini, wajah NII murni menjadi buruk di mata umat.
Pada mulanya, Galamedia rajin memberitakan fenomena NII ini. Walaupun tak ada koran
lain yang mengikuti isu itu, saban hari mereka menulisnya di halaman depan. 'Rajinnya'
Galamedia itu mendatangkan curiga, mengapa kok hanya Galamedia yang memberitakan
kasus itu?
Koran-koran lain di Bandung justru menulis indikasi adanya 'udang' di balik penulisan
NII besar-besaran itu.
Masih menurut kabar angin itu, niat busuk ini, konon tak seperti yang diharapkan.
Pemberitaan itu justru menimbulkan kecurigaan adanya rekayasa dalam kebangkitan neo
NII.
Tapi, betulkah Kodam telah 'bermain api' seperti itu? Pimpinan militer tertinggi di Jawa
Barat menolak tudingan itu. "Anda jangan menuduh Kodam seperti itu!" ucap Mayjen
TNI Slamet Supriadi, Pangdam III/Siliwangi, lantang dan penuh emosi kepada ADIL.
Dadan Hendaya, Koordinator Liputan Galamedia, juga menepis 'cibiran' PR dan tudingan
telah diperalat Kodam. "Kami tidak membuat berita bohong, dan tidak bermain mata
dengan Kodam. Sampai saat ini tidak ada yang komplain, malah banyak telepon dari para
korban dan orang tuanya, mendukung pemberitaan itu," ujarnya.
Yang jelas, neo NII ini tidak bisa dianggap nihil. "Faktanya ada. Mereka menjual 'gerakan
khayalan', yang motifnya bisa ekonomi atau politis. Mereka tidak memiliki komitmen
keislaman, malah ingin merusak citra Islam," kata K.H. Hilman Rosyad Syihab, Lc.,
pimpinan Majelis Ta'lim Ummul Quro (Bandung), yang sering berhubungan dengan
mantan pengikut NII gadungan. Banyak cara, memang, untuk mengobok-obok Islam.
/ | _ \ | | |
_o_\_,_;_(_ ,o _\;__,_,_,_; :
( .. (
.. | / o || ..
o_, !_\ ,_; o (_|_;: o_o__\ , o
/ . / / /
ikhwah fiLlah,
Allah telah mengingatkan kepada kita agar senantiasa waspada terhadap suatu berita.
Bagi yang ingin mengetahui buku putih tentang NII sebaiknya membaca Fakta dan Data
Sejarah karangan Al Chaidar. Buku tersebut banyak dijual di toko-toko buku.
• Dalam menda'wahi calonnya, mata sang calon ditutup rapat. Dan penutup itu baru
akan dibuka ketika mereka sampai ke tempat tujuan.
• Para calon yang akan mereka da'wahi rata-rata memiliki ilmu keagamaan yang
relatif rendah bahkan boleh dibilang tidak memiliki ilmu agama. Sehingga para
calon dengan mudah dijejali omongan-omongan yang menurut mereka adalah
omongan tentang dinul Islam. Padahal kebanyakan akal merekalah yang berbicara
dan bukan diinul Islam yang mereka ungkapkan.
• Calon utama mereka adalah mereka-mereka yang memiliki harta yang berlebihan,
atau yang orang tuanya berharta lebih, anak-anak orang kaya yang jauh dari
keagamaan, sehingga yang terjadi adalah penyedotan uang para calon dengan
dalih islam. Islam hanya sebagai alat penyedot uang.
• Pola Da'wah yang relatif singkat, hanya kurang lebih 3 kali pertemuan, sang calon
dimasukkan kedalam anggota mereka. Sehingga yang terkesan adalah pemaksaan
ideologi, bukan lagi keikhlasan. Dan rata-rata, para calon memiliki kadar
keagamaan yang sangat rendah sekali. Selama hari terakhir penda'wahan, sang
calon dipaksa dengan dijejali ayat-ayat yang mereka terjemahkan seenak lidah
mereka hingga sang calon mengatakan siap di bai'at...
• Ketika sang calon akan dibai'at, dia harus menyerahkan uang yang mereka
namakan dengan uang penyucian jiwa. Jika sang calon tidak mampu saat itu,
maka infaq itu menjadi hutang sang calon yang wajib dibayar.
• Tidak mewajibkan menutup aurat bagi anggota wanitanya. Dengan alasan Kahfi.
• Tidak mewajibkan sholat 5 waktu bagi para anggotanya dengan alasan belum
futuh. Padahal, mereka mengaku telah berada dalam madinah. Seandainya mereka
tahu bahwa selama di madinah lah justru Rasul benar-benar menerapkan syri'at
Islam. Dan justru Rasul wafat beberapa waktu setelah futuh mekkah.
• Sholat 5 waktu mereka ibaratkan dengan do'a dan da'wah. Sehingga jika mereka
sedang berda'wah maka saat itu mereka sedang sholat.
• Sholat Jum'at diibaratkan dengan rapat / syuro. Sehingga pada saat mereka rapat,
maka saat itu pula mereka namakan sholat jum'at.
• Atau untuk pemula, mereka dibolehkan sholat yang dilaksanakan dalam satu
waktu untuk 5 waktu sholat.
• Infaq yang dipaksakan perperiode ( per bulan), sehingga menjadi hutang yang
wajib dibayar bagi yang tidak mampu berinfaq.
• Adanya Qiradh (uang yang dikeluarkan untuk dijadikan modal usaha) yang
diwajibkan walaupun tak punya uang, bila perlu berhutang kepada kelompoknya.
Pembagian bagi hasil dari Qiradh yang mereka janjikan tak akan pernah kunjung
datang. Jika diminta tentang pembagian hasil bagi itu, mereka menjawabnya
dengan ayat Qur'an sedemikian rupa sehingga upaya meminta hasil bagi itu
menjadi hilang.
• Zakat yang tidak sesuai dengan syari'at Islam. Takaran yang terlalu melebihi dari
yang semestinya. Mereka mensejajarkan sang calon dengan sahabat Abu Bakar
dengan menafi'kan syari'at yang sesungguhnya.
• Tidak adanya mustahik di kalangan mereka, sehingga bagi mereka yang tak
mampu makan sekalipun, wajib membayar zakat/infaq yang besarnya sebetulnya
sebanding dengan dana untuk makan sebulan. Bahkan mereka masih saja
memaksa pengikutnya untuk mengeluarkan 'infaq' padahal pengikutnya itu dalam
keadaan kelaparan (saking kelaparannya, dia melakukan shaum Daud. Bukan
karena sunnah tapi memang enggak ada barang yang mesti dimakan)
• Belum berlakunya syari'at Islam dikalangan mereka sehingga perbuatan apapun
tidak mendapatkan hukuman apapun.
• Mengkafirkan orang yang diluar kelompoknya bahkan menganggap halal berzina
dengan orang diluar kelompoknya.
• Dihalalkannya mencuri / mengambil barang milik orang lain (mencuri).
• Menghalalkan segala cara demi tercapai tujuan spt menipu / berbohong meskipun
kepada orang tuanya sendiri.
Na'udzubilaahi min dzaalik. Jadi, bisa kita lihat dan kita nilai, sejauh mana omongan
mereka dan gerak mereka yang katanya ingin berdinul Islam itu, tapi akhlaq dan
perbuatannya jauh sekali dari diinul Islam.
Berhati-hatilah saudaraku dalam mengambil yang haq. Data tersebut adalah hasil yang
diperoleh dari orang-orang yang pernah mengalaminya yang mereka itu sekarang ini
telah bergabung dengan NII yang sesungguhnya.
Mohon maaf jika memang berita ini dianggap menyinggung perasaan pihak-pihak
tertentu.
Mudah-mudahan informasi ini akan sangat bermanfaat bagi siapa saja atau bagi mereka
yang ingin mencari NII yang sebenarnya. Dan mudah-mudahan mereka yang
mengalaminya segera menyadari kesalahannya dan segera bertobat kepada Allah SWT.
Yakinlah bahwa yang haq hanya akan tegak dengan cara yang haq pula.
Ironisnya, perilaku kelompok ini justru bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka tidak
mewajibkan shalat lima waktu, yang sebenarnya wajib. Mereka pun memiliki kriteria
yang melenceng tentang ketentuan menutup aurat. Bahkan, mereka menilai kondisi saat
ini sama dengan masa jahiliyah, masa kegelapan, oleh karenanya mereka merasa berhak
mengambil harta siapapun (warga negara Indonesia, tak peduli pribumi atau non pribumi,
begarama Islam atau non Islam) dengan dalih dan cara apapun.
Sebagai pimpinan puncak di kelompoknya, Toto Salam berhasil menjalin hubungan baik
dengan kalangan Polisi dan Tentara. Jadi, kalau pada suatu hari ada salah seorang anak
buahnya yang terpaksa berurusan dengan Polisi atau Tentara, Toto Salam tinggal
menelepon petinggi kepolisian/tentara koleganya, maka urusan pun tuntas.
Gerombolan Toto Salam ini punya dana yang cukup banyak. Terbukti, mereka mampu
membangun kompleks pondok pesantren (boarding school) yang tergolong mewah
bernama Pesantren Al-Zaytuna. Pesantren itu berdiri di atas lahan seluas 1.200 hektare,
dan mampu menampung sekurang-kurangnya 1.500 santri (baca juga GATRA edisi 13
Februari 1999, halaman 36).
Pesantren yang dilengkapi dengan ruangan ber-AC dan laboratorium ini, berlokasi di
Desa Mekar Jaya, Haur Geulis, Indramayu, Jawa Barat. Selain itu, Pondok Pesantren
yang pembangunannya menelan biaya miliaran rupiah itu, dilengkapi pula dengan sarana
olahraga modern, rumah sakit, asrama santri, asrama pengajar, dan asrama pegawai yang
jumlahnya 1.500 orang karyawan/wati, sebagaimana diberitakan SCTV 27 Agustus 1999,
dan diresmikan Presiden Habibie.
Cara-cara gerombolan ini mengumpulkan dana, selain ditempuh dengan cara mengambil
harta siapapun, dengan dalih dan cara apapun, juga dengan menetapkan sejumlah target
kepada setiap jemaatnya.
Seorang Bapak pernah mengadukan perilaku anaknya yang setelah menjadi anggota
gerombolan Toto Salam, justru jadi jarang kuliah (di salah satu perguruan tinggi di
Bandung). Sang anak menurut penuturan Bapaknya, kini jadi getol berniaga atau
melakukan apa saja yang bisa menghasilkan uang, ketimbang kuliah. Itu semua dilakukan
sang anak bukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi dalam rangka memenuhi
target yang telah diberikan gerombolan Toto Salam. Rupanya setiap bulan ia ditargetkan
mengumpulkan dana sebesar Rp 4.000.000,- (empat juta rupiah).
Kasus serupa terjadi juga di sebuah sekolah unggulan (setingkat SMU). Salah seorang
siswinya (berusia 16-17 tahun) nampak begitu aktif mengumpulkan dana dari lingkungan
siswa-siswi setempat. Cara-cara intimidasi pun ia lakukan, terutama kepada korban yang
diangapnya lemah dan lebih junior. Bahkan untuk mencapai taget, ia memaksa beberapa
kawannya untuk berbohong kepada orangtuanya masing-masing, agar orangtuanya itu
mau mengirimkan sejumlah uang dengan alasan yang dibuat-buat.
Untungnya, pihak sekolah cukup tanggap dan peka, sehingga aktifitasnya yang
menyimpang itu pun segera bisa diketahui. Akhirnya, siswi tersebut dikembalikan kepada
orangtuanya, di Malang, Jawa Timur. Setelah diselidiki, ternyata siswi tersebut anggota
gerombolan Toto Salam, yang oleh kakak iparnya (yang juga seniornya) diberikan target
sebesar sekian juta rupiah setiap bulannya.
Eksistensi dan perilaku menyimpang gerombolan Toto Salam ini sebenarnya sudah
pernah dilaporkan kepada lembaga terkait, juga ke aparat yang berwenang. Sayangnya,
tidak cukup bukti. Apalagi, gerombolan ini pandai membangun hubungan baik dengan
aparat, juga gemar memberikan 'oleh-oleh' kepada siapa saja yang dianggap layak dan
berpengaruh. Disamping itu, gerombolan ini juga rajin membantu aparat. Untuk hal-hal
tertentu mereka memang partner yang baik bagi aparat.
Pada tanggal 27 Agustus 1999 lalu, di SCTV ditayangkan sebuah acara peresmian
pondok pesantren Al-Zaytun, ponpes termodern, termegah, yang diresmikan oleh
Presiden Habibie. Peresmian itu juga dipublikasikan cukup semarak oleh media cetak
seperti koran dan majalah.
Di SCTV itu, Presiden Habibie nampak akrab dengan sesepuh Yayasan Pesantren
Indonesia (YPI) yaitu Syekh Panji Gumilang alias Toto Salam, alias Abu Toto alias Abi
Toto, pimpinan gerombolan Islam sesat yang tidak mewajibkan shalat. Saya yakin,
Habibie tidak tahu siapa itu Toto Salam, karena pada dasarnya Habibie memang
tergolong awam mengenai Islam dan dinamika intern ummat Islam. Paling-paling yang
dikenal Habibie cuma NU dan Muhammadiyah.
Pada majalah Forum no. 22 edisi 5 September 1999, halaman 65, bisa dilihat sosok Toto
Salam sang pemimpin gerombolan Islam sesat yang sangat pandai bersandiwara. Meski
secara formal tidak mewajibkan shalat lima waktu, namun di hadapan orang yang
dianggapnya 'belum paham' ia berpura-pura shalat dan sebagainya, tetap mendirikan
mesjid atau mushalla di lingkungan pondok pesantrennya maupun di sekitar markasnya.
Dan ia selalu menyikapi dengan dingin setiap hujatan yang ditujukan kepadanya, hingga
yang menghujat lelah dengan sendirinya.
Di ANTEVE pada acara "Fakta" edisi 31 Agustus 1999 lalu, ditayangkan adanya
eksploitasi sekelompok gerombolan terhadap ibu-ibu rumahtangga dan pembantu rumah
tangga untuk mengumpulkan dana. Kejadian yang diungkap "Fakta" di ANTEVE itu
adalah salah satu aktivitas gerombolan Toto Salam di dalam mengumpulkan dana.
Salah seorang pengurus pondok pesantren di kawasan Bekasi, pernah menangkap basah
sekelompok remaja yang nampak giat mengumpulkan dana dengan membawa-bawa map
berisi kotak amal. Sekelompok anak remaja itu menggunakan identitas ponpes yang ia
pimpin, padahal ponpesnya itu tidak pernah mengerahkan massa untuk mengumpulkan
dana dengan cara-cara seperti itu. Setelah diselidiki lebih jauh, ternyata mereka itu semua
adalah anggota gerombolan Toto Salam.
Di atas bis kota juga sering kita temui sejumlah orang yang naik-turun meminta
sumbangan. Diantara mereka pastilah terdapat anggota gerombolan Toto Salam, karena
cara itu merupakan salah satu upaya gerombolan Toto Salam mengumpulkan dana.
Mengenai profil Toto Salam ada baiknya baca buku berjudul "Pengantar Pemikiran
Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo" karangan Al-Chaidar,
khususnya halaman 228. Buku tersebut banyak terdapat di berbagai toko buku seperti
Gramedia dan sebagainya.
Buku tersebut, meski tidak terlalu rinci menyinggung profil Toto Salam dan
gerombolannnya, namun sudah cukup membuat Toto Salam berang. Bahkan mereka
memberikan label 'haram' kepada buku tersebut. Lucunya, mereka justru 'mewajibkan'
anggotanya membaca karya Al-Chaidar lainnya yaitu "Reformasi Prematur".
Sikap berang yang ditunjukkan gerombolan ini kepada Al-Chaidar bisa dimengerti,
karena Al-Chaidar pernah bergaul akrab dengan komunitas Toto Salam. Mereka
mengkhawatirkan, Al-Chaidar akan membongkar isi perut gerombolan mereka kepada
publik. Pada akhir Agustus lalu, Al-Chaidar sempat diajak 'makan bersama' di Kalibata
atas undangan seorang Jenderal berbintang dua. Di situ, Al-Chaidar sempat dinasehati
agar jangan terlalu serius menulis tentang gerakan Islam.
Rupanya tentara dan pemerintah sampai saat ini tidak bisa membedakan antara gerakan
Islam yang murni dan yang palsu. Dulu, Rudini selaku Mendagri dan elite Golkar pernah
meresmikan LEMKARI dan menjadikannnya bagian dari Golkar. Padahal, Lemkari itu
jelmaan Islam Jama'ah yang kini bernama LDII, yaitu aliran Islam sesat yang pernah
dilarang Kejaksaan Agung (1971).
Para tokoh Islam yang berbicara kala itu, sama sekali tidak menghina
pemerintah, pribadi atau golongan tertentu. Bagi yang ketika itu hadir,
dari acara Aksi Sejuta Ummat itu tidak tercium bau adanya provokasi,
agitasi atau propaganda yang keluar dari mulut para tokoh.
Namun demikian, secara kasat mata (bagi yang matanya normal), bisa dilihat
bertebaran sejumlah (banyak) provokator, yang menurut analisa ahli
lapangan, para provokator itu berasal dari pihak pemerintah atau tentara.
Amien Rais tentu saja harus hadir pada acara itu, yang tujuan utamanya
menunjukkan sikap kepedulian dan solidaritas terhadap nasib ummat Islam di
Halmahera. Karena, Amien Rais adalah tokoh Islam. Sebelum ia menjadi Ketua
MPR RI, dan bahkan kelak setelah ia pensiun dari jabatannya itu, Amien
Rais tetaplah tokoh Islam.
Sebagai tokoh Islam, maka citra dan kredibilitasnya akan jatuh di mata
ummat Islam, bila ia tidak peduli terhadap nasib ummat Islam. Namun sejauh
ini Amien tetaplah tokoh Islam yang proporsional. Ia bersuara lantang
ketika Yayasan Doulos dibakar tentara, padahal ia tidak beragama Kristen.
Amien juga lantang bersuara ketika kasus penjarahan Mei 1998 terjadi,
padahal ia tidak punya toko (yang dijarah).
Bandingkan dengan Matori Abdul Jalil yang turut melakukan demo bersama
sejumlah orang yang manamakan dirinya masyarakat profesional untuk
menghujat Habibie (Presiden kala itu). Padahal saat itu ia adalah petinggi
negara. Namun terhadap Matori masyarakat 'apakabar' tidak menghujatnya.
Dan sesungguhnya Amien Rais adalah musuh TNI, baik TNI Hijau maupun TNI
Merah Putih. Selama hegemoni tentara masih mencekeram, selama supremasi
militer masih kental, maka orang-orang seperti Amien Rais tidak bisa jadi
Presiden. Untuk menjadi Ketua MPR saja, sulitnya bukan main, dan dalam hal
ini tentara kecolongan bahkan kerampokan oleh strateginya Amien Rais.
Lalu, mengapa forum Aksi Sejuta Ummat menjadi pemicu kemarahan sebagian
kalangan dan menghubungkannya dengan kasus Mataram? Itu juga kerjaannya
tentara, polisi dan intelijen. Karena, pada forum itu, Al-Chaidar salah
seorang aktivis Darul Islam (alias NII) mengungkapkan untuk mengganti
ideologi bangsa (Pancasila) dengan ideologi negara Islam. Karena, ideologi
Pancasila sudah terbukti tidak mampu melindungi dan mensejahterakan bangsa
(rakyat) Indonesia.
Sayangnya, Al-Chaidar sejauh ini memusuhi NII palsu ciptaan tentara (dan
intelijen). Pada berbagai kesempatan (melalui penerbitan buku) Al-Chaidar
selalu membuka borok dan kedok NII bughat bin palsu yang menjadi binaan
tentara (dan intelijen) untuk merontokkan gerakan NII asli.
NII palsu binaan tentara ini dimpimpin oleh Toto Salam. Jamaah NII palsu
ini, sangat giat mengumpulkan dana dengan cara-cara yang haram sekalipun.
The Jakarta Post, sebagaimana juga dikutip Siar, melansir adanya seorang
baby sitter yang mencuri perhiasan majikannya yang bernilai 35 juta
rupiah, dan ketika diselidiki ternyata ia adalah anggota NII (sesuai
dengan kartu anggota yang dimilikinya). Begitulah cara NII palsu binaan
tentara mencari dana. Merampok pun mereka lakukan. Tindakan mereka jauh
dari ajaran Islam yang melarang merampok, menipu, mencuri, dan sebagainya.
Borok-borok NII palsu ini sudah terlalu sering diungkap Al-Chaidar melalui
berbagai buku-buku yang pernah diterbitkannya. Ini berarti, di forum Aksi
Sejuta Ummat lalu, tampil dua tokoh yang sangat dibenci tentara (baik
tentara hijau maupun tentara merah putih) yaitu Amien Rais dan Al-Chaidar.
Maka kemudian jadilah forum itu sebuah momentum menciptakan kerusuhan di
tempat lain.
Dalam keadaan normal, forum Aksi Sejuta Ummat tidak akan mampu menciptakan
kerusuhan di Mataram. Namun tentara (dan intelijen) telah
mengkait-kaitkannya sedemikian rupa, karena mereka punya sejumlah oknum
yang siap bertindak sebagai provokator. Barangkali Eggy Sudjana adalah
salah satu provokator itu. Mengingat Eggy adalah penggagas Pemuda Panca
Marga, sebuah institusi kepemudaan ciptaan tentara juga, yang di back-up
oleh keluarga Cendana.
Rupanya kepolisian punya motif lain. Sejauh ini, kepolisian memang masih
'anak-buahnya' tentara.dan badan intelijen. Penangkapan yang mereka lakukan
tidak lepas dari rekomendasi pihak tentara dan badan intelijen. Karena, sampai
sejauh ini Al Chaidar adalah salah satu musuh tentara (dan intelijen).
Toto Abdussalam alias Toto Salam sendiri, sebenarnya tidak pernah tercatat
sebagai jamaah NII. Ia dengan keberaniannya yang luar biasa, mengklaim sebagai
pewaris NII, padahal itu tidak benar. Yang sebenarnya terjadi, Toto Salam
dimanfaatkan pemerintah orba dan tentara (juga badan intelijen) untuk
membentuk institusi NII, tentu saja untuk tujuan-tujuan yang menguntungkan
pemerintah dan tentara.
Buku Al Chaidar yang terakhir mengupas secara tuntas apa itu NII palsu versi
Toto Salam, termasuk praktek-praktek mengumpulkan dana yang mengharamkan
segala cara. Buku itu berjudul "Serial Musuh-musuh Darul Islam: Sepak Terjang
KW9 Abu Toto Menyelewengkan NKA-NII pasca S.M. Kartosoewiryo".
Untuk sampai terbit, buku itu menempuh perjalanan yang panjang dan berliku
serta penuh hambatan. Pertama, hambatan datang dari instansi militer. Ketika
itu Al Chaidar pernah diajak "makan siang" oleh seorang Jenderal berbintang
dua di kantor BIA. Jenderal Hijau ini pada intinya menasehati agar Al Chaidar
tidak terlalu bersemangat menulis buku.
Hambatan kedua, datang dari Kepala Bakin, yang waktu itu dijabat ZA Maulani,
salah seorang Jenderal Hijau lainnya. Sang purnawirawan berbintang tiga ini,
langsung mendatangi kantor Al Chaidar di pejaten, dan memberikan tekanan keras
agar Al Chaidar sama sekali membatalkan rencana penerbitan buku berjudul di
atas.
Pada kesempatan itu Al Chaidar juga mengusulkan, jika sampai batas waktu
tertentu kasus Maluku tidak terselesaikan dengan baik, maka umat Islam
perlu membentuk majelis syuro dalam rangka membentuk Negara Islam di
Indonesia, menggantikan Negara Pancasila di bawah pimpinan Gus Dur dan
Megawati yang mandul dalam menangani kasus pembantaian terhadap umat
Islam.
Apapun bentuk gagasan yang dikemukakan Al Chaidar, itu toh cuma sebuah
gagasan. Tidak ada landasan hukum bagi aparat untuk menindak Al Chaidar
hanya karena ia mengemukakan gagasannya. Sebagai sarjana ilmu politik
yang memang menyoroti masalah daulah Islam, gagasan yang dikemukakan Al
Chaidar sangatlah wajar dan dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.
Bahkan massa PDI-P memberikan ancaman serius, bila Mega tidak terpilih
sebagai Presiden, maka mereka akan membuat aneka kerusuhan, sebagaimana
terbukti di Pulau Bali dan beberapa tempat lainnya. Namun untuk hal ini
pun aparat cuma diam saja. Hal ini menunjukkan bahwa aparat kita sudah
mulai kambuh sifat orde barunya, yang cenderung menerapkan standard
ganda dan represif.
Siapakah Dia?
Martin van Bruinessen, "Gerakan sempalan di kalangan umat Islam Indonesia: latar
belakang sosial-budaya" ("Sectarian movements in Indonesian Islam: Social and cultural
background"),
Ulumul Qur'an vol. III no. 1, 1992, 16-27.
Istilah "gerakan sempalan" beberapa tahun terakhir ini menjadi populer di Indonesia
sebagai sebutan untuk berbagai gerakan atau aliran agama yang dianggap "aneh", alias
menyimpang dari aqidah, ibadah, amalan atau pendirian mayoritas umat. Istilah ini,
agaknya, terjemahan dari kata "sekte" atau "sektarian",[1] kata yang mempunyai berbagai
konotasi negatif, seperti protes terhadap dan pemisahan diri dari mayoritas, sikap
eksklusif, pendirian tegas tetapi kaku, klaim monopoli atas kebenaran, dan fanatisme. Di
Indonesia ada kecenderungan untuk melihat gerakan sempalan terutama sebagai ancaman
terhadap stabilitas dan keamanan dan untuk segera melarangnya. Karena itu, sulit
membedakan gerakan sempalan dengan gerakan terlarang atau gerakan oposisi politik.
Hampir semua aliran, faham dan gerakan yang pernah dicap "sempalan", ternyata
memang telah dilarang atau sekurang-kurangnya diharamkan oleh Majelis Ulama.
Beberapa contoh yang terkenal adalah: Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian, DI/TII,
Mujahidin'nya Warsidi (Lampung), Syi'ah, Baha'i, "Inkarus Sunnah", Darul Arqam
(Malaysia), Jamaah Imran, gerakan Usroh, aliran-aliran tasawwuf berfaham wahdatul
wujud, Tarekat Mufarridiyah, dan gerakan Bantaqiyah (Aceh). Serangkaian aliran dan
kelompok ini, kelihatannya, sangat beranekaragam. Apakah ada kesamaan antara semua
gerakan ini? Dan apa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan-gerakan
tersebut? Tanpa pretensi memberikan jawaban tuntas atas pertanyaan ini, makalah ini
berusaha menyoroti gerakan sempalan dari sudut pandang sosiologi agama.[2]
Berbicara tentang "gerakan sempalan" berarti bertolak dari suatu pengertian tentang
"ortodoksi" atau "mainstream" (aliran induk); karena gerakan sempalan adalah gerakan
yang menyimpang atau memisahkan diri dari ortodoksi yang berlaku. Tanpa tolok ukur
ortodoksi, istilah "sempalan" tidak ada artinya. Untuk menentukan mana yang
"sempalan", kita pertama-tama harus mendefinisikan "mainstream" yang ortodoks.
Dalam kasus ummat Islam Indonesia masa kini, ortodoksi barangkali boleh dianggap
diwakili oleh badan-badan ulama yang berwibawa seperti terutama MUI, kemudian
Majelis Tarjih Muhammadiyah, Syuriah NU, dan sebagainya.
Istilah "gerakan sempalan" memang lazim dipakai, secara normatif, untuk aliran
agama yang oleh lembaga-lembaga tersebut dianggap sesat dan membahayakan. Akan
tetapi, definisi ini menimbulkan berbagai kesulitan untuk kajian selanjutnya. Misalnya,
apakah Ahmadiyah Qadian atau Islam Jamaah baru merupakan gerakan sempalan setelah
ada fatwa yang melarangnya? Atau, meminjam contoh dari negara tetangga, berbagai
aliran agama yang pernah dilarang oleh Jabatan Agama pemerintah pusat Malaysia, tetap
dianggap sah saja oleh Majelis-Majelis Ugama Islam di negara-negara bagiannya.
Bagaimana kita bisa memastikan apakah aliran tersebut termasuk yang sempalan?
Ortodoksi, kelihatannya, adalah sesuatu yang bisa berubah menurut zaman dan tempat,
dan yang "sempalan" pun bersifat kontekstual.
Pengamatan terakhir ini boleh jadi menjengkelkan. Dari sudut pandangan orang
Islam yang "concerned", yang sesat adalah sesat, apakah ada fatwanya atau tidak. Dalam
visi ini, Ahlus Sunnah wal Jama'ah merupakan "mainstream" Islam yang ortodoks, dan
yang menyimpang darinya adalah sempalan dan sesat. Kesulitan dengan visi ini menjadi
jelas kalau kita menengok awal abad ke-20 ini, ketika terjadi konflik besar antara
kalangan Islam modernis dan kalangan "tradisionalis". Dari sudut pandangan ulama
tradisional, yang memang menganggap diri mewakili Ahlus Sunnah wal Jama'ah, kaum
modernis adalah sempalan dan sesat, sedangkan para modernis justeru menuduh
lawannya menyimpang dari jalan yang lurus.
Kalau kita mencari kriteria yang obyektif untuk mendefinisikan dan memahami
gerakan sempalan, kita sebaiknya mengambil jarak dari perdebatan mengenai kebenaran
dan kesesatan. Gerakan sempalan tentu saja juga menganggap diri lebih benar daripada
lawannya; biasanya mereka justeru merasa lebih yakin akan kebenaran faham atau
pendirian mereka. Karena itu, kriteria yang akan saya gunakan adalah kriteria sosiologis,
bukan teologis. Gerakan sempalan yang tipikal adalah kelompok atau gerakan yang
sengaja memisahkan diri dari "mainstream" umat, mereka yang cenderung eksklusif dan
seringkali kritis terhadap para ulama yang mapan.
Dalam pendekatan sosiologis ini, "ortodoksi" dan "sempalan" bukan konsep yang
mutlak dan abadi, namun relatif dan dinamis. Ortodoksi atau mainstream adalah faham
yang dianut mayoritas umat -- atau lebih tepat, mayoritas ulama; dan lebih tepat lagi,
golongan ulama yang dominan. Sebagaimana diketahui, sepanjang sejarah Islam telah
terjadi berbagai pergeseran dalam faham dominan - pergeseran yang tidak lepas dari
situasi politik. Dalam banyak hal, ortodoksi adalah faham yang didukung oleh penguasa,
sedangkan faham yang tidak disetujui dicap sesat; gerakan sempalan seringkali
merupakan penolakan faham dominan dan sekaligus merupakan protes sosial atau
politik.
Apakah di antara "gerakan sempalan" masa kini ada juga yang berpotensi menjadi
"ortodoksi" di masa depan? Tidak satu orang pun yang akan meramal bahwa aliran
seperti Bantaqiyah bisa meraih banyak penganut di Indonesia. Perbandingan antara
gerakan reformis, apalagi madzhab aqidah Asy'ari, dan gerakan sempalan yang disebut di
atas, terasa sangat tidak tepat. Orang Islam pada umumnya merasa (kecuali para penganut
gerakan tersebut, barangkali), bahwa mereka secara fundamental berbeda. Tetapi ... apa
sebetulnya perbedaan ini, selain perasaan orang bahwa yang pertama mengandung
kebenaran, sedangkan yang terakhir adalah sesat? Padahal, aliran tersebut menganggap
dirinya sebagai pihak yang benar, semntara yang lain sesat! Sejauhmana penilaian kita
obyektif dalam hal ini?
Memang di antara gerakan sempalan tadi terdapat aliran yang kelihatannya punya
dasar ilmu agama yang sangat tipis. Penganut aliran itu biasanya juga orang yang
marginal secara sosial dan ekonomi, dan berpendidikan rendah. Tetapi tidak semua
gerakan sempalan demikian. Baik dalam Islam Jama'ah maupun gerakan Syi'ah
Indonesia, malahan juga dalam Ahmadiyah dan gerakan tasawwuf wahdatul wujud
terdapat pemikir yang memiliki pengetahuan agama yang cukup tinggi dan pandai
mempertahankan faham mereka dalam debat. Mereka sanggup menemukan nash untuk
menangkis semua tuduhan kesesatan terhadap mereka, dan tidak pernah kalah dalam
perdebatan dengan ulama yang "ortodoks" -- sekurang-kurangnya dalam pandangan
mereka sendiri dan penganut-penganutnya. Mereka dapat dianggap "sempalan" karena
mereka merupakan minoritas yang secara sengaja memisahkan diri dari mayoritas
ummat. Sebagai fenomena sosial, tidak terlihat perbedaan fundamental antara mereka
dengan, misalnya, Al Irsyad pada masa berdirinya. Dan perlu kita catat bahwa di Iran
pun, Syi'ah berhasil menggantikan Ahlus Sunnah sebagai faham dominan baru kira-kira
lima abad belakangan![3]
Lalu, bagaimana dengan Darul Islam dan gerakan Usroh? Keduanya dapat
dianggap gerakan sempalan juga, baik dalam arti bahwa mereka tidak dibenarkan oleh
lembaga-lembaga agama resmi maupun dalam arti bahwa mereka memisahkan diri dari
mayoritas. Namun saya tidak pernah mendengar kritik mendasar terhadap aqidah dan
ibadah mereka. Yang dianggap sesat oleh mayoritas umat adalah amal politik mereka.
Seandainya pada tahun 1950-an bukan Republik yang menang tetapi Negara Islam
Indonesia'nya Kartosuwiryo, merekalah yang menentukan ortodoksi dan membentuk
"mainstream" Islam. Seandainya itu yang terjadi, tidak mustahil sebagian "mainstream"
Islam sekarang inilah yang mereka anggap sebagai "sempalan".
Dua sosiolog agama Jerman mempunyai pengaruh besar terhadap studi mengenai
sekte selama abad ini, mereka adalah Max Weber dan Ernst Troeltsch. Weber terkenal
dengan tesisnya mengenai peranan sekte-sekte protestan dalam perkembangan semangat
kapitalisme di Eropa, dan dengan teorinya mengenai kepemimpinan karismatik.
Troeltsch, teman dekat Weber, mengembangkan beberapa ide Weber dalam studinya
mengenai munculnya gerakan sempalan di Eropa pada abad pertengahan.[4] Troeltsch
memulai analisanya dengan membedakan dua jenis wadah um
at beragama yang secara konseptual merupakan dua kubu bertentangan, yaitu tipe gereja
dan tipe sekte. Contoh paling murni dari tipe gereja barangkali adalah Gereja Katolik
abad pertengahan, tetapi setiap ortodoksi (dalam arti sosiologis tadi) yang mapan
mempunyai aspek tipe gereja. Organisasi- organisasi tipe gereja biasanya berusaha
mencakup dan mendominasi seluruh masyarakat dan segala aspek kehidupan. Sebagai
wadah yang established (mapan), mereka cenderung konservatif, formalistik, dan
berkompromi dengan penguasa serta elit politik dan ekonomi. Di dalamnya terdapat
hierarki yang ketat, dan ada golongan ulama yang mengklaim monopoli akan ilmu dan
karamah, orang awam tergantung kepada mereka.
Tipe sekte, sebaliknya, selalu lebih kecil dan hubungan antara sesama anggotanya
biasanya egaliter. Berbeda dengan tipe gereja, keanggotaannya bersifat sukarela: orang
tidak dilahirkan dalam lingkungan sekte, tetapi masuk atas kehendak sendiri. Sekte-sekte
biasanya berpegang lebih keras (atau kaku) kepada prinsip, menuntut ketaatan kepada
nilai moral yang ketat, dan mengambil jarak dari penguasa dan dari kenikmatan material.
Sekte-sekte biasanya mengklaim bahwa ajarannya lebih murni, lebih konsisten dengan
wahyu Ilahi. Mereka cenderung membuat pembedaan tajam antara para penganutnya
yang suci dengan orang luar yang awam dan penuh kekurangan serta dosa. Seringkali,
kata Troeltsch, sekte- sekte muncul pertama-tama di kalangan yang berpendapatan dan
pendidikan rendah, dan baru kemudian meluas ke kalangan lainnya. Mereka sering
cenderung memisahkan diri secara fisik dari masyarakat sekitarnya, dan menolak budaya
dan ilmu pengetahuan sekuler.
Selain sekte, Troeltsch menyoroti suatu jenis gerakan lagi yang muncul sebagai
oposisi terhadap gereja (atau ortodoksi yang lain), yaitu gerakan mistisisme (tasawwuf).
Sementara sekte memisahkan diri dari gereja karena mereka menganggap gereja telah
kehilangan semangat aslinya dan terlalu berkompromi, gerakan- gerakan mistisisme
merupakan reaksi terhadap formalitas dan "kekeringan" gereja. Gerakan mistisisme,
menurut Troeltsch, memusatkan perhatian kepada penghayatan ruhani-individual,
terlepas dari sikapnya terhadap masyarakat sekitar. (Oleh karena itu, Troeltsch juga
memakai istilah "individualisme religius"). Penganutnya bisa saja dari kalangan
establishment, bisa juga dari kalangan yang tak setuju dengan tatanan masyarakat yang
berlaku. Mereka biasanya kurang tertarik kepada ajaran agama yang formal, apalagi
kepada lembaga-lembaga agama (gereja, dan sebagainya). Yang dipentingkan mereka
adalah hubungan langsung antara individu dan Tuhan (atau alam gaib pada umumnya).
Analisa Troeltsch ini berdasarkan pengetahuannya tentang sejarah gereja di Eropa, dan
tidak bisa diterapkan begitu saja atas budaya lain. Organisasi "tipe gereja" tidak terdapat
dalam setiap masyarakat, tetapi tanpa kehadiran suatu gereja pun sekte bisa saja muncul.
Ketika tadi saya bertanya "gerakan sempalan itu menyempal dari apa?", saya sebetulnya
mencari apakah ada sesuatu wadah umat yang punya ciri tipe gereja, dalam terminologi
Troeltsch. Ortodoksi Islam Indonesia seperti diwakili oleh MUI dan sebagainya, tentu
saja tidak sama dengan Gereja Katolik abad pertengahan; ia tidak mempunyai kekuasaan
atas kehidupan pribadi orang seperti gereja.
Situasi di Amerika Serikat masa kini, sebetulnya, sama saja. Hampir-hampir tidak
ada wadah tipe gereja versi Troeltsch, yang begitu dominan terhadap seluruh masyarakat.
Yang ada adalah sejumlah besar gereja-gereja Protestan (sering disebut denominasi),
yang berbeda satu dengan lainnya dalam beberapa detail saja, dan tidak ada di antaranya
yang dominan terhadap yang lain. Denominasi-denominasi Protestan ini mempunyai baik
ciri tipe sekte maupun ciri tipe gereja. Gerakan mistisisme, seperti yang digambarkan
Troeltsch, beberapa dasawarsa terakhir ini sangat berkembang di dunia Barat dengan
mundurnya pengaruh gereja. Para penganutnya seringkali dari kalangan yang relatif
berada dan berpendidikan tinggi, bukan dari lapisan masyarakat yang terbelakang.[5]
Kajian berikut yang sangat berpengaruh adalah studi Richard Niebuhr, sosiolog agama
dari Amerika Serikat, mengenai dinamika sekte dan lahirnya denominasi.[6] Teori yang
diuraikan dalam karya ini sebetulnya agak mirip teori sejarah Ibnu Khaldun. Niebuhr
melihat bahwa banyak sekte, yang pertama-tama lahir sebagai gerakan protes terhadap
konservatisme dan kekakuan gereja (dan seringkali juga terhadap negara), lambat laun
menjadi lebih lunak, mapan, terorganisir rapih dan semakin formalistik. Setelah dua-tiga
generasi, aspek kesukarelaan sudah mulai menghilang, semakin banyak anggota yang
telah lahir dalam lingkungan sekte sendiri. Semua anggota sudah tidak sama lagi, bibit-
bibit hierarki internal telah ditanam, kalangan pendeta- pendeta muncul, yang mulai
mengklaim bahwa orang awam memerlukan jasa mereka. Dengan demikian bekas sekte
itu sudah mulai menjadi semacam gereja sendiri, salah satu di antara sekian banyak
denominasi. Dan lahirlah, sebagai reaksi, gerakan sempalan baru, yang berusaha
menghidupkan semangat asli... dan lambat laun berkembang menjadi denominasi... dan
demikianlah seterusnya.
Teori Niebuhr ini sekarang dianggap terlalu skematis; sekte- sekte tidak selalu
menjadi denominasi. Niebuhr bertolak dari pengamatannya terhadap situasi Amerika
Serikat yang sangat unik; semua gereja di sana memang merupakan denominasi yang
pernah mulai sebagai gerakan sempalan dari denominasi lain. Siklus perkembangan yang
begitu jelas, agaknya, berkaitan dengan kenyataan bahwa masyarakat Amerika Serikat
terdiri dari para immigran, yang telah datang gelombang demi gelombang. Setiap
gelombang pendatang baru menjadi lapisan sosial paling bawah; dengan datangnya
gelombang pendatang berikut, status sosial mereka mulai naik. Pendatang baru yang
miskin seringkali menganut sekte-sekte radikal; dengan kenaikan status mereka sekte itu
lambat laun menghilangkan radikalismenya dan menjadi sebuah denominasi baru.
Tigapuluh tahun sesudah Niebuhr, sosiolog Amerika yang lain, Milton Yinger,
merumuskan kesimpulan dari perdebatan mengenai sekte dan denominasi, bahwa sekte
yang lahir sebagai protes sosial cenderung untuk bertahan sebagai sekte, tetap terpisah
dari mainstream, sedangkan sekte yang lebih menitikberatkan permasalahan moral
pribadi cenderung untuk menjadi denominasi. Itu tentu berkaitan dengan dasar sosial
kedua jenis sekte ini - sekte radikal cenderung untuk merekrut anggotanya dari lapisan
miskin dan tertindas. Dengan demikian hubungan sekte ini dengan negara dan
denominasi yang mapan akan tetap tegang. Jenis sekte yang kedua lebih cenderung untuk
menarik penganut dari kalangan menengah, dan akan lebih mudah berakomodasi dengan,
dan diterima dalam, status quo.[7] Pengamatan ini, agaknya, relevan untuk memahami
perbedaan antara Al Irsyad atau Muhammadiyah di satu sisi dan sebagian besar gerakan
sempalan masa kini di sisi lainnya.
Klasifikasi sekte dalam beberapa jenis dengan sikap dan dinamika masing-masing
dikembangkan lebih lanjut oleh seorang sosiolog Inggeris, Bryan Wilson. Ia berusaha
membuat tipologi yang tidak terlalu tergantung kepada konteks budaya Kristen Barat.
Tipologi ini disusun berdasarkan sikap sekte-sekte terhadap dunia sekitar.[8] Wilson
melukiskan tujuh tipe ideal (model murni) sekte. Sekte-sekte yang nyata biasanya
berbeda daripada tipe-tipe ideal ini, yang hanya merupakan model untuk analisa. Dalam
kenyataannya, suatu sekte bisa mempunyai ciri dari lebih dari satu tipe ideal. Tetapi
hampir semua tipe ideal Wilson terwakili oleh gerakan sempalan yang terdapat di
Indonesia.
Kalau harapan eskatologis tetap tidak terpenuhi, suatu gerakan yang semula
revolusioner akan cenderung untuk tidak lagi bekerja untuk transformasi dunia sekitar
tetapi hanya memusatkan diri kepada kelompoknya sendiri atau keselamatan ruhani
penganutnya sendiri - semacam uzlah kolektif. Mereka mencari kesucian diri sendiri
tanpa mempedulikan masyarakat luas. Wilson menyebut gerakan tipe ini introversionis.
Gerakan Samin di Jawa merupakan kasus tipikal gerakan mesianistik yang telah menjadi
introversionis.
Tipe ke-enam adalah sekte reformis, gerakan yang melihat usaha reformasi sosial
dan/atau amal baik (karitatif) sebagai kewajiban esensial agama. Aqidah dan ibadah tanpa
pekerjaan sosial dianggap tidak cukup. Yang membedakan sekte-sekte ini dari ortodoksi
bukan aqidah atau ibadahnya dalam arti sempit, tetapi penekanannya kepada konsistensi
dengan ajaran agama yang murni (termasuk yang bersifat sosial).
Dalam tipologi sekte di atas ini, Wilson sudah menggambarkan suatu spektrum aliran
agama yang lebih luas daripada spekrum gerakan sempalan Indonesia yang disebut di
atas. Meski demikian, beberapa gerakan di Indonesia agak sulit diletakkan dalam tipologi
ini. Kriteria yang dipakai Wilson adalah sikap sekte terhadap dunia sekitar, namun
terdapat berbagai gerakan di Indonesia yang tidak mempunyai sikap sosial tertentu dan
hanya membedakan diri dari "ortodoksi" dengan ajaran atau amalan yang lain.
Satu tipe terdiri dari aliran-aliran kebatinan atau tarekat dengan ajaran yang
"aneh", yang masih sering muncul di hampir setiap daerah. Sebagian aliran ini memang
mirip sekte gnostic, dengan sistem bai'at, hierarki internal dan inisiasi bertahap dalam
"ilmu" rahasia, sebagian juga memiliki aspek thaumaturgical, dengan menekankan
pengobatan dan kesaktian, tetapi aspek thaumaturgical jarang menjadi intisari aliran
tersebut seperti dalam gerakan pengobatan ruhani di Amerika Serikat.[10] Sebagian besar
tidak mempunyai ciri sosial yang menonjol, tidak ada penolakan terhadap norma-norma
masyarakat luas. Mereka tidak mementingkan aspek sosial dan politik dari ajaran agama,
melainkan kesejahteraan ruhani, ketentraman dan/atau kekuatan gaib individu.
Penganutnya bisa berasal dari hampir semua lapisan masyarakat, tetapi yang banyak
adalah orang yang termarginalisir oleh perubahan sosial dan ekonomi.
Suatu jenis lain terdiri dari gerakan pemurni, yang sangat menonjol dalam sejarah
Islam: gerakan yang mencari inti yang paling asli dari agamanya, dan melawan segala hal
(ajaran maupun amalan) yang dianggap tidak asli. Beberapa gerakan pemurni sekaligus
adalah gerakan reform sosial, seperti Muhammadiyah, tetapi tidak semuanya berusaha
mengubah masyarakat. Gerakan pemurni yang paling tegas di Indonesia, agaknya,
Persatuan Islam (Persis). Dalam konteks ini perlu kita sebut kelompok yang dikenal
dengan nama Inkarus Sunnah, karena mereka juga mengklaim ingin mempertahankan
hanya sumber Islam yang paling asli saja. Seperti diketahui, mereka kurang yakin akan
keasliannya hadits, dan menganggap hanya Qur'an saja sebagai sumber asli. Oleh karena
itu, nama yang mereka sendiri pakai adalah Islam Qur'ani. Namun dalam kasus terakhir
ini, saya tidak yakin apakah mereka layak disebut gerakan sempalan; mereka tidak
cenderung untuk memisahkan diri dari ummat lainnya, dan saya belum jelas apakah
mereka merupakan gerakan terorganisir.
Gerakan Islam Jama'ah alias Darul Hadits juga merupakan suatu kasus yang tidak begitu
mudah digolongkan. Dengan penekanannya kepada hadits (walaupun yang dipakai,
konon, hadits-hadits terpilih saja), gerakan ini mengingatkan kepada gerakan pemurni (ini
mungkin menjelaskan daya tariknya bagi orang berpendidikan modern). Namun beberapa
ciri jelas membedakannya dari gerakan pemurni atau pembaharu dan membuatnya mirip
sekte manipulationist / gnostic. Dari segi organisasi internal, Islam Jama'ah mirip tarekat
atau malahan gerakan militer, dengan bai'at dan pola kepemimpinan yang otoriter dan
sentralistis (amir). Tidak ada penolakan terhadap nilai-nilai masyarakat pada umumnya,
dan tidak ada cita-cita politik atau sosial tertentu. Unsur protes tidak terlihat dalam
gerakan ini; mereka hanya sangat eksklusif dan menghindar dari berhubungan dengan
orang luar. Faktor yang juga perlu disebut adalah kepemimpinan karismatik.[11] Pendiri
dan amir pertama, Nur Hasan Ubaidah, dikenal sebagai ahli ilmu kanuragan dan
kadigdayan yang hebat, dan dalam pandangan orang banyak, itulah yang membuat
penganutnya tertarik dan terikat pada gerakan ini. Penganutnya pada umumnya tidak
berasal dari kalangan bawah tetapi dari kalangan menengah; namun banyak diantara
mereka, agaknya, pernah mengalami krisis moral sebelum masuk gerakan ini.
Dari segi kepemimpinan, gerakan Darul Arqam di Malaysia (yang sekarang juga sudah
mempunyai cabang di Indonesia) sedikit mirip Islam Jama'ah; gerakan ini sangat
tergantung kepada pemimpin karismatik, Ustaz Ashaari Muhammad. Tetapi sikap Darul
Arqam terhadap dunia sekitar sangat berbeda: mereka ingin mengubah masyarakat dan
menawarkan model alternatif, yang dicontohkan dalam "Islamic Village" mereka. Dengan
kata lain, inilah suatu gerakan utopian; melalui dakwah aktif mereka terus
mempropagandakan alternatif mereka. Kegiatan sosialnya terbatas pada kalangan mereka
sendiri; selain usaha konversi (dakwah: memasukkan penganut baru), mereka tidak
banyak berhubungan dengan masyarakat sekitar -- walaupun dalam praktek mereka
masih tergantung pada masyarakat luar untuk pendapatan mereka. Hubungan di dalam
kelompok, antara sesama anggota, hangat dan intensif; kontrol sosial dinatara mereka
juga tinggi. Namun, mereka menjauhkan diri dari ummat lainnya, sehingga sering
dituduh terlalu eksklusif. Di samping sikap utopian ini, Darul Arqam juga merupakan
gerakan messianis; mereka meyakini kedatangan Mahdi dalam waktu sangat dekat, dan
mempersiapkan diri untuk peranan di bawah kepemimpinan Mahdi nanti.[12] Beberapa
tahun terakhir ini aspek messianis ini telah menjadi semakin menonjol; gerakan ini
lambat laun bergeser dari utopian menjadi revolusioner.
Gerakan yang lebih murni aspek utopiannya adalah yang disebut gerakan Usroh di
Indonesia. Saya tidak yakin apakah ini memang suatu gerakan terorganisir, dengan
kepemimpinan dan strategi tertentu. Kesan saya, gerakan ini adalah suatu trend, suatu
pola perkumpulan yang cepat tersebar, tanpa banyak koordinasi antara sesama usroh. Ini
memang suatu gerakan protes politik (walaupun perhatiannya terutama kepada urusan
agama dalam arti sempit, tidak kepada isu- isu politik umum). Namun mereka tidak
berharap mengubah tatanan masyarakat atau sistem politik secara langsung; para usroh
("keluarga") merupakan komunitas yang menganggap diri mereka sebagai alternatif yang
lebih Islami.
Ahmadiyah (Qadian), Baha'i dan Syi'ah tidak lahir dari rahim kalangan umat Islam
Indonesia sendiri, tetapi "diimport" dari luar negeri ketika sudah mapan. Ketiganya
merupakan faham agama yang sudah lama berdiri di negara lain sebelum masuknya ke
Indonesia. Pada masa awalnya, ketiganya mempunyai aspek messianis, namun kemudian
berubah menjadi introversionis, tanpa sama sekali menghilangkan semangat awalnya.
Pemimpin karismatik aslinya (Ghulam Ahmad, Baha'ullah, Duabelas Imam) tetap
merupakan titik fokus penghormatan dan cinta yang luar biasa. Dalam Syi'ah, semangat
revolusioner kadang-kadang tumbuh lagi (seperti terakhir terlihat di Iran sejak 1977), dan
itulah agaknya yang merupakan daya tarik utama faham Syi'ah bagi para pengagumnya di
Indonesia. Sedangkan Ahmadiyah telah menampilkan diri (di India- Pakistan dan juga di
Indonesia) terutama sebagai sekte reformis,[13] yang belakangan menjadi sangat
introversionis dan menghindar dari kegiatan di luar kalangan mereka sendiri. Walaupun
sekte Baha'i juga mempunyai beberapa penganut di Indonesia, mereka rupanya tidak
berasal dari kalangan Islam, sehingga Baha'i di sini tidak dapat dianggap sebagai gerakan
sempalan Islam (seperti halnya di negara aslinya, Iran).
Tiga gerakan ini memain peranan sangat berlainan di Indonesia, dan meraih
penganut dari kalangan yang berbeda. Gerakan Syi'ah adalah yang paling dinamis. Ia
mulai sebagai gerakan protes, baik terhadap situasi politik maupun kepemimpinan ulama
Sunni; pelopornya adalah pengagum revolusi Islam Iran. Kepedulian sosial (perhatian
terhadap mustadl'afin) dan politik ditekankan. Dalam perkembangan berikut, penekanan
kepada dimensi politik Syi'ah semakin dikurangi, dan minat kepada tradisi intelektual
Syi'ah Iran ditingkatkan.[14] Dengan kata lain, gerakan Syi'ah Indonesia sudah bukan
gerakan sempalan revolusioner lagi dan cenderung untuk menjadi introversionis. Tetapi
gerakan ini tetap berdialog dan berdebat dengan golongan Sunni, mereka tidak terisolir.
Di antara semua gerakan sempalan masa kini, hanya gerakan Syi'ah yang agaknya
mempunyai potensi berkembang menjadi suatu denominasi, di samping gerakan pemurni
dan pembaharu yang Sunni.
Gerakan sempalan: gejala krisis atau sesuatu yang wajar saja?
Tinjauan sepintas ini menunjukkan bahwa gerakan sempalan Islam di Indonesia cukup
berbeda satu dengan lainnya. Latar belakang sosial mereka juga berbeda-beda. Tidak
dapat diharapkan bahwa kemunculannya bisa dijelaskan oleh satu dua faktor penyebab
saja. Ada kecenderungan untuk melihat semua gerakan sempalan sebagai suatu gejala
krisis, akibat sampingan proses modernisasi yang berlangsung cepat dan pergeseran nilai.
Tetapi gerakan-gerakan seperti yang telah digambarkan di atas bukanlah fenomena yang
baru. Prototipe gerakan sempalan dalam sejarah Islam adalah kasus Khawarij, yang
terjadi jauh sebelum ada modernisasi. Gerakan messianis juga telah sering terjadi selama
sejarah Islam, di kawasan Timur Tengah maupun Indonesia. Sedangkan tarekat sudah
sering menjadi penggerak atau wadah protes sosial rakyat atau elit lokal antara 1880 dan
1915. Gerakan pemurni yang radikal juga telah sering terjadi, setidak- tidaknya sejak
gerakan Padri.
Timbulnya segala macam sekte dan aliran "mistisisme" juga bukan sesuatu yang
khas untuk negara sedang berkembang. Justeru di negara yang sangat maju, seperti
Amerika Serikat, fenomena ini sangat menonjol. Jadi, hipotesa bahwa gerakan sempalan
di Indonesia timbul sebagai akibat situasi khusus ummat Islam Indonesia masa kini tidak
dapat dibenarkan. Saya mengira juga, bahwa jumlah aliran baru yang muncul setiap tahun
(sekarang) tidak jauh lebih tinggi ketimbang tiga dasawarsa yang lalu.
Yang dipengaruhi oleh iklim sosial, ekonomi dan politik, agaknya, bukan timbulnya
aliran-aliran itu sendiri, tetapi jenis aliran yang banyak menjaring penganut baru. Periode
1880 sampai 1915, misalnya, merupakan masa jaya tarekat di Indonesia; pengaruh dan
jumlah penganutnya berkembang cepat. Gerakan atau aliran agama lainnya tidak begitu
menonjol pada masa itu. Tarekat-tarekat telah menjadi wadah pemberontakan rakyat kecil
terhadap penjajah maupun pamong praja pribumi, tidak karena terdapat sifat revolusioner
pada tarekat itu sendiri, tetapi karena jumlah dan latar belakang sosial penganutnya,
karena struktur organisasinya (vertikal-hierarkis), dan karena aspek "thaumaturgical"nya
(kekebalan, kesaktian).[15]
Pada masa berikutnya, sekitar 1915-1930, semua tarekat mengalami kemerosotan
pengaruh karena berkembangnya organisasi modern Islam bersifat sosial dan politik,
terutama Sarekat Islam. Walaupun SI merupakan organisasi modern dengan pemimpin-
pemimpin berpendidikan barat, cabang-cabang lokalnya ada yang mirip sekte messianis
atau tarekat, khususnya pada masa awalnya. Cokroaminoto kadang-kadang disambut
sebagai ratu adil dan diminta membagikan air suci; ada juga kyai tarekat yang masuk SI
dengan semua penganutnya dan berusaha mempergunakan SI sebagai wajah formal
tarekatnya.[16]
Fenomena yang paling menonjol pada masa itu, bahwa banyak aliran agama
menunjukkan aktivisme politik dan sosial. Namun setelah pemberontakan-pemberontakan
1926 diberantas dan kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda menjadi lebih repressif
(dan setelah pemimpin-pemimpin nasionalis dibuang), muncullah aliran-aliran agama
baru yang introversionis, yaitu yang berpaling dari aktivitas sosial dan politik kepada
penghayatan agama secara individual, dan yang bersifat mistis (sufistik). Dasawarsa
1930an melihat lahirnya berbagai aliran kebatinan yang masih ada sampai sekarang,
seperti Pangestu dan Sumarah, dan juga masuk dan berkembangnya dua tarekat baru,
yaitu Tijaniyah dan Idrisiyah.
Gejala menonjol dalam beberapa gerakan sempalan yang radikal adalah latar
belakang pendidikan dan pengetahuan agama banyak anggotanya yang relatif rendah,
tetapi diimbangi semangat keagamaan yang tinggi. Sebagian besar mereka, sejauh
pengamatan saya, sangat idealis dan sangat ingin mengabdi kepada agama dan
masyarakat. Mereka adalah orang yang sadar akan kemiskinan dan korupsi, ketidakadilan
dan maksiat di masyarakat sekitarnya; dalam kehidupan pribadi, banyak dari mereka
telah menghadap kesulitan untuk mendapat pendidikan dan pekerjaan yang baik dan
mengalami banyak frustrasi lainnya. Dan mereka yakin bahwa Islam sangat relevan untuk
masalah-masalah sosial ini. Mereka tahu, yang sering dilontarkan tokoh-tokoh Islam,
bahwa Islam tidak membenarkan sekularisme, bahwa agama dan masalah sosial dan
politik tidak dapat dipisahkan. Tetapi mereka kecewa melihat bahwa kebanyakan tokoh-
tokoh tadi senantiasa siap berkompromi dalam menghadapi masalah politik dan sosial.
Para ulama tidak memberi penjelasan yang memuaskan tentang sebab-sebab semua
penyakit sosial tadi, apalagi memberikan jalan keluar yang konkrit dan jelas. Hal-hal
yang diceramahkan dan dikhotbahkan oleh kebanyakan ulama terlalu jauh dari realitas
yang dihadapi generasi muda.
Karena adanya jurang komunikasi antara tokoh-tokoh agama dan kalangan muda
yang frustrasi tetapi idealis ini, tokoh-tokoh tadi tidak mampu menyalurkan aspirasi dan
idealisme mereka ke dalam saluran yang lebih moderat dan produktif. Pemuda-pemuda
radikal, di pihak lain, justeru karena masih dangkalnya pengetahuan agama mereka,
menganggap bahwa seharusnya Islam mempunyai jawaban yang sederhana, jelas dan
kongkrit atas semua permasalahan -- inilah watak khas setiap sekte. Orang yang bilang
bahwa permasalahan tidak sesederhana itu, bahwa dalam sikap Islam juga ada segala
macam pertimbangan, dan bahwa jawaban yang keras dan tegas belum tentu yang paling
benar, dianggap tidak konsisten atau malah mengkhianati agama yang murni. Tidak
mengherankan kalau kritik dan serangan gerakan radikal terhadap ulama "ortodoks"
kadang-kadang lebih keras daripada terhadap para koruptor dan penindas.
Sebagai akibat urbanisasi dan monetarisasi ekonomi, banyak ikatan sosial yang
tradisional semakin longgar atau terputus. Dalam desa tradisional, setiap orang adalah
anggota sebuah komunitas yang cukup intim, dengan kontrol sosial yang ketat tetapi juga
dengan sistem perlindungan dan jaminan sosial. Jaringan keluarga yang luas melibatkan
setiap individu dalam sebuah sistem hak dan kewajiban yang -- sampai batas tertentu --
menjamin kesejahteraannya. Dalam masyarakat kota modern, sebaliknya, setiap orang
berhubungan dengan jauh lebih banyak orang lain, tetapi hubungan ini sangat dangkal
dan tidak mengandung tanggungjawab yang berarti. Komunitas, seperti di desa atau di
keluarga besar, sudah tidak ada lagi, dan kehidupan telah menjadi lebih individualis. Itu
berarti bahwa dari satu segi setiap orang lebih bebas; tetapi dari segi lain, tidak ada lagi
perlindungan yang betul-betul memberikan jaminan. Banyak orang merasa terisolir, dan
merasa bahwa tak ada orang yang betul-betul bisa mereka percayai --- karena sistem
kontrol sosial dengan segala sanksinya sudah tidak ada lagi, dan karena orang lain juga
lebih mengutamakan kepentingan individual masing-masing.
Dalam situasi ini, aliran agama sering bisa memenuhi kekosongan yang telah
terjadi karena menghilangnya komunitas keluarga besar dan desa. Namun untuk dapat
berfungsi sebagai komunitas, aliran ini mestinya cukup kecil jumlah anggotanya,
sehingga mereka bisa saling mengenal. Aspek komunitas dan solidaritas antara sesama
anggota diperkuat lagi kalau aliran ini membedakan diri dengan tajam dari dunia
sekitarnya. Inilah, agaknya, daya tarik aliran yang bersifat eksklusif (yaitu menghindar
dari hubungan dengan umat lainnya) atau gnostic (yang mengklaim punya ajaran khusus
yang tidak dimengerti kaum awam dan menerapkan sistem bai'at).
Demikian juga halnya mahasiswa (terutama yang berasal dari kota kecil atau
desa) yang hidup di sebuah lingkungan kota yang serba baru dan aneh bagi mereka;
kelompok-kelompok studi agama dan sebagainya memberikan perlindungan dan rasa
aman, dimana mereka bisa merasa "at home". Lebih-lebih kalau kelompok itu bisa
memberikan mereka sebuah kerangka analisa masyarakat sekitarnya dan keyakinan
bahwa mereka sebetulnya sebuah minoritas yang lebih baik, murni dan suci, dan
mempunyai misi menyebarkan kemurnian dan kesuciannya. Perasaan minder, yang sering
dialami mahasiswa berlatarbelakang sederhana ketika berhadapan dengan sebuah
lingkungan yang "canggih", mendapat kompensasi dalam "keluarga" baru mereka.
Beberapa gerakan agama di kampus dapat dilihat sebagai gejala konflik budaya
("Islam yang konsisten" melawan "sekularisme yang bebas nilai") yang tak lepas dari
perbedaan status sosial-ekonomis. Tidak mengherankan kalau di kalangan
pemuda/mahasiswa pernah muncul gerakan sempalan yang bersifat messianis-
revolusioner, yang ingin merombak tatanan masyarakat dan/atau negara (seperti kasus
Jama'ah Imran). Tapi itu tidak berarti bahwa semua anggota gerakan tersebut juga punya
aspirasi revolusioner. Dalam kasus Jama'ah Imran misalnya, saya mempunyai kesan
bahwa sebagian besar pengikutnya, berbeda dengan kelompok intinya, sebetulnya tidak
tertarik kepada aspek revolusioner (atau subversif)nya.[20] Mereka pertama-tama masuk
Jama'ah Imran didorong oleh rasa ingin tahu semata atau karena tertarik kepada ceramah-
ceramahnya yang "pedas"; yang kemudian mengikat mereka adalah aspek komunitasnya.
Aspek komunitas ini diperkuat oleh bai'at dan melalui suasana yang sangat emosional
dalam pengajian, di mana para hadirin sering sampai menangis -- hal yang juga terjadi
dalam banyak tarekat. Jamaah Imran telah menjadi keluarga baru untuk banyak pemuda
dan pemudi, sampai terjadinya kegiatan kekerasan. Peristiwa Cicendo ternyata
menghancurkan suasana keluarga, dan sebagian besar pengikut segera memutuskan
semua hubungan dengan jamaah; yang tinggal hanya kelompok inti yang kecil saja.
Kata penutup
Sejauh yang sempat saya amati, gerakan sempalan Islam di Indonesia biasanya tidak
muncul di tengah-tengah kalangan umat, tetapi di pinggirannya. Sebagiannya mungkin
bisa dilihat sebagai aspek dari proses pengislaman yang sudah mulai berlangsung enam
atau tujuh abad yang lalu dan masih terus berlangsung. Sebagian juga (terutama gerakan
yang "radikal") bisa dilihat sebagai "komentar" terhadap ortodoksi yang telah ada,
dengan usul koreksi terhadap hal-hal yang dianggapnya kurang memadai. Selama dialog
antara ortodoksi dan gerakan sempalan masih bisa berlangsung, fenomena ini mempunyai
fungsi positif. Terputusnya komunikasi dan semakin terasingnya gerakan sempalan tadi
mengandung bahaya. Kalau ortodoksi tidak responsif dan komunikatif lagi dan hanya
bereaksi dengan melarang-larang (atau dengan diam saja), ortodoksi sendiri merupakan
salah satu sebab penyimpangan "ekstrim" ini.
[1]
Istilah ini konon pertama kali dipakai oleh Abdurrahman Wahid sebagai pengganti kata "splinter group",
kata yang tidak mempunyai konotasi khusus aliran agama, tetapi dipakai untuk kelompok kecil yang
memisahkan diri (menyempal) dari partai atau organisasi sosial dan politik. Untuk "splinter group" yang
merupakan aliran agama, kata "sekte" lazim dipakai.
[2]
Artikel ini berdasarkan makalah saya untuk seminar "Gerakan Sempalan di Kalangan Ummat Islam
Indonesia", yang diselenggerakan oleh Yayasan Kajian Komunikasi Dakwah di Jakarta, 11 Februari 1989,
kemudian diperbaiki dengan masukan dari diskusi dengan para peserta program S-2 di IAIN Sunan
Kalijaga (Yogyakarta) yang ikut kuliah saya tentang Sosiologi Agama.
[3]
Seperti diketahui, Syi'ah Itsna'asyariyah sekarang merupakan ortodoksi di Iran. Namun sampai abad ke-
10 hijriyah (abad ke-16 Masehi), mayoritas penduduk Iran masih menganut madzhab Syafi'i. Faham ini
baru menjadi dominan setelah dinasti Safawiyah memproklamirkan Syi'ah sebagai agama resmi negara
dan mendatangkan ulama Syi'i dari Irak Selatan.
[4]
Ernst Troeltsch, The Social Teachings of the Christian Churches. London, 1931 (aslinya diterbitkan
dalam bahasa Jerman pada tahun 1911). Lihat juga pengamatan Weber tentang sekte-sekte protestan di
Amerika Serikat: "Sekte-sekte protestan dan semangat kapitalisme", dalam Taufik Abdullah, editor, Agama,
Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta: LP3ES, 1979, hal. 41-78.
[5]
Pengamatan tajam dan menarik tentang fenomena sekte dan mistisisme di Amerika Serikat masa kini
(dengan analisa yang bertolak dari tipologi Troeltsch) terdapat dalam: Robert Bellah dkk, Habits of the
Heart: Individualism and Commitment in American Life. New York: Harper & Row, 1986, khususnya hal.
243-8.
[6]
H. Richard Niebuhr, The Social Sources of Denominationalism. New York: Holt, 1929.
[7]
Lihat: J. Milton Yinger, Religion, Society and the Individual. New York: MacMillan Co., 1957,
khususnya hal. 147-55.
[8]
Salah satu tulisannya, "Tipologi sekte", telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan dimuat dalam:
Roland Robertson (ed.), Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: Rajawali, 1988, hal.
431-462. Sayangnya, terjemahannya mengandung banyak kesalahan sehingga tulisan ini sulit difahami.
Untuk lebih lengkap dan jelas, lihat bukunya Sects and Society (Heinemann / California University Press,
1961).
[9]
Beberapa tulisan Sartono Kartodirdjo merupakan kajian penting tentang gerakan millenarian di
Indonesia, antara lain "Agrarian Radicalism in Java: its Setting and Development", dalam: Claire Holt (ed),
Culture and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1972, hal. 71-125. Teori umum dan
beberapa kasus penting dibahas dalam: Michael Adas, Prophets of Rebellion: Millenarian Protest
Movements against the European Colonial Order. University of North Carolina Press, 1979 (terjemahan
Indonesia: Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Milenarian Menentang Kolonialisme Eropa. Jakarta: Rajawali
1988).
[10]
Ada pengamatan menarik bahwa beberapa aliran kebatinan pada zaman revolusi mengembangkan
latihan kesaktian (silat dengan tenaga dalam, "ilmu kontak", kekebalan dan sebagainya), yang pada masa
kemudian dianggap terlalu kasar dan digantikan dengan latihan kejiwaan yang lebih halus. Lihat: Paul
Stange, The Sumarah Movement in Javanese Mysticism, Ph.D. thesis, University of Wisconsin, Madison,
1980, bab 5. Berbagai tarekat juga (terutama Qadiriyah) menunjukkan aspek thaumaturgical pada masa
revolusi, yang kemudian ditinggalkan lagi.
[11]
Saya memakai istilah karismatik di sini dalam arti asli kata: baik pemimpin karismatik maupun
pengikutnya percaya bahwa ia dianugerahi karamah atau kesaktian.
[12]
Mereka menganggap almarhum Syeikh Muhammad bin Abdullah Suhaimi (seorang muslim Jawa di
Singapura, mantan guru dari Ustaz Ashaari Muhammad) sebagai Mahdi. Walaupun sudah meninggal dunia,
beliau diharapkan akan datang dalam waktu dekat. Syeikh Suhaimi konon telah bertemu dengan Nabi
dalam keadaan jaga, dan menerima Aurad Muhammadiyah, yang diamalkan Darul Arqam, dari Beliau.
Lihat: Ustaz Hj. Ashaari Muhammad, Aurad Muhammadiyah, Pegangan Darul Arqam. Kuala Lumpur:
Penerangan Al Arqam, 1986; juga: Ustaz Ashaari Muhammad, Inilah pandanganku. Kuala Lumpur:
Penerangan Al Arqam, 1988
[13]
Ahmadiyah pernah memainkan peranan penting dalam proses pengislaman (atau "pen-santri-an") kaum
terdidik di Indonesia pada masa penjajahan. Dalam Jong Islamieten Bond dan Sarekat Islam pengaruhnya
sangat berarti. Baru setelah organisasi modernis lainnya berkembang terus, Ahmadiyah menghilangkan
fungsinya sebagai pelopor reformisme dan rasionalisme dalam Islam. Berkembangnya kritik semakin keras
terhadap faham kenabian Ahmadiyah Qadian bisa dilihat sebagai simptom konsolidasi ortodoksi Islam di
Indonesia.
[14]
Pergeseran ini, antara lain, terlihat dalam urutan terjemahan karya penulis Syi'ah: Ali Syari'ati disusul
oleh Murtadha Muthahhari dan kemudian Baqir Al-Shadr. Khomeini pertama-tama dilihat sebagai
pemimpin revolusi saja, kemudian juga sebagai ahli 'irfan (tasawwuf dan metafisika). Sekarang diskusi-
diskusi lebih sering berkisar sekitar filsafat atau persoalan 'ishmah (apakah para Imam Duabelas ma'shum?)
daripada situasi politik Iran.
[15]
Lihat pengamatan tentang peranan tarekat dalam pemberontakan Banten dalam: Sartono Kartodirdjo,
The Peasant's Revolt of Banten in 1888. The Hague: Nijhoff, 1966.
[16]
Lihat, antara lain, laporan tentang konflik antara kyai tarekat yang memimpin cabang lokal di Madura
dengan pengurus pusat, dalam buku Sarekat Islam Lokal (editor Sartono Kartodirdjo). Jakarta: Arsip
Nasional, 1975. Di Jambi, sebuah aliran kekebalan ("ilmu abang") meniru contoh SI dan menamakan diri
Sarekat Abang, dan kemudian mencoba mengambil over cabang lokal SI. Tentang Cokroaminoto sebagai
"ratu adil", lihat: A.P.E. Korver, Sarekat Islam 1912-1916. Universitas Amsterdam, 1982 (terjemahan
Indonesia: Ratu Adil, Grafiti Pers).
[17]
Untuk pengamatan menarik tentang berkembangnya aliran tersebut, lihat artikel Moeslim Abdurrahman,
"Sufisme di Kediri", dalam Sufisme di Indonesia [Dialog, edisi khusus, Maret 1978], hal. 23-40.
[18]
Suatu fenomena menarik adalah berkembangnya kecenderungan kepada mistisisme di kalangan
menengah di ibukota, seperti dicerminkan dalam majalah Amanah. Mistisisme kelas menengah ini rupanya
jarang terorganisir tetapi bersifat "individualisme religius" (menurut istilah Troeltsch; bandingkan komentar
dalam catatan 5). Majalah tersebut sering menyoroti "pengalaman rohani" tokoh-tokoh terkenal. Rubrik
renungan tasawwuf dalam majalah ini juga cenderung kepada individualisme, dengan menyinggung
hubungan pribadi dengan Tuhan semata, dan sejenisnya.
[19]
Lihat: Martin van Bruinessen, "Duit, jodoh, dukun: Remarks on cultural change among poor migrants to
Bandung", Masyarakat Indonesia XV, 1988, 35-65 (khususnya 55-60).
[20]
Kesan ini berdasarkan percakapan dengan mahasiswa-mahasiswa di Bandung pada tahun 1983, serta
laporan pers tentang pengadilan anggota Jamaah Imran. Di antara buku-buku tentang kasus ini yang telah
terbit, yang paling informatif adalah: Anjar Any, Dari Cicendo ke Meja Hijau: Imran Imam Jamaah. Solo:
CV. Mayasari, 1982. Namun buku ini hanya menceritakan tentang kegiatan kekerasan kelompok inti saja,
tidak banyak tentang pengikut biasa, yang tidak langsung terlibat dalam kegiatan ini.
Boleh jadi, seperti disebut Chaidar—yang kemudian membuka diri untuk diwawancarai
banyak media massa—faksi radikal itu juga berperan ketika bom meledak di Gereja Petra
di Jakarta Utara dan Sekolah Internasional Australia di Jakarta Selatan, belum lama ini.
Meski tak gampang membuktikannya, toh pernyataan itu bisa sedikit membuka jatidiri
Darul Islam, yang selama ini dikenal getol berjuang di bawah tanah, serba menutup diri,
dan jauh dari publikasi. Bagaimana sesungguhnya riwayat Darul Islam?
Sejarah Darul Islam (DI) memang sarat pergulatan. Ia muncul sebagai buah perpecahan
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) setelah H.O.S. Cokroaminoto, sang pendiri,
meninggal dunia pada 1934. Salah satunya adalah sayap yang dipimpin Sukarmaji
Marijan Kartosoewirjo. Di tangan tokoh ini, akar DI berkembang pada 1940-an.
Tujuannya satu: membentuk Negara Islam Indonesia (NII) dengan cara apa pun. Karena
pilihan itu, DI sering mengalami konflik, baik dengan negara maupun secara internal
dalam tubuh organisasi.
Perpecahan kian mencolok ketika pada 1949 Kartosoewirjo, sebagai imam tertinggi,
membubarkan Dewan Imamah DI. Dewan yang berisikan elite petinggi ini diganti
menjadi Komandemen Tertinggi. Kartosoewirjo menunjuk dirinya sebagai panglima
tertinggi. Ia membawahkan lima komandan wilayah: tiga di Jawa, satu di Sulawesi
Selatan, dan satunya lagi di Aceh. Perubahan ini memicu konflik antarpemimpin Darul.
Daud Beureueh bersama Abdul Kahar Muzakar memilih berpisah di persimpangan jalan.
Daud, yang menganggap Kartosoewirjo gagal menetapkan prioritas kebijakan di Aceh,
lalu mendirikan NII Aceh. Sedangkan Kahar mendirikan NII Sulawesi Selatan.
Memang ada perbedaan mendasar antara Kahar Muzakar dan Kartosoewirjo. Kahar
menghendaki kerangka negara federal sehingga asas Islam tak perlu diterapkan di seluruh
wilayah negara. Sedangkan Kartosoewirjo memilih negara kesatuan di bawah payung
Islam. "Kahar dan Daud kemudian bergabung dengan PRRI di Sumatra dan Permesta di
Sulawesi Utara," kata Buhari Kahar Muzakar, anak tertua Kahar yang kini Wakil Ketua
Partai Amanat Nasional (PAN) Sul-Sel.
Sejak itu, Darul praktis kehilangan soko guru. Gerakannya memang masih menyala di
sejumlah tempat, tapi umumnya hanya dipimpin seorang komandan wilayah. Konflik
antarkomandan pun masih terjadi. Di Jawa Barat, misalnya, muncul Adah Djaelani, yang
mengaku sebagai imam. Tapi ia ditolak tokoh NII lainnya, Abdul Fatah Wirananggapati.
Di Sulawesi Selatan juga muncul NII Ali Hate. Namun, putra Kahar lainnya, Abdul Aziz
Kahar, menafikan kelompok ini. "Sejak ayah saya wafat, tak ada lagi NII di Sulawesi
Selatan," kata pengurus Pondok Pesantren Hidayatullah di Jakarta Timur ini.
Dalam peta yang digambarkan Chaidar, Darul masih ada. Memang tak sesolid dulu dan
mereka terpecah dalam beberapa faksi. Menurut catatan penulis buku Wacana Ideologi
Negara Islam: Studi Harakah Darul Islam dan Moro National Liberation Front itu, kini
setidaknya terdapat 15 faksi yang digolongkan dalam dua kelompok. Kelompok pertama
berorientasi perjuangan secara damai (fillah). Lainnya NII garis keras (sabilillah).
Sejumlah sumber TEMPO membenarkan adanya kelompok sempalan ini. Bekas aktivis
NII yang pernah menjadi tahanan politik akibat pembajakan pesawat Woyla, Umar
Abduh, misalnya, tak membantah bahwa bibit mereka masih ada. Cuma, ia menolak jika
mereka disebut faksi. Sebagai gerakan, NII dianggapnya sudah habis. "Kelompok
sempalan itu cuma punya imam. Anggotanya paling be-berapa orang. Kebanyakan hanya
klaim," ujarnya. Yang pasti, mereka tak mustahil bikin kekerasan.
Wacana tentang makna, penafsiran dan fungsi pancasila telah menjadi perdebatan
sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia, setidaknya sejak bangsa ini merdeka,
perdebatan ini selalu menjadi aktual di kalangan akademisi dan politisi Indonesia sampai
saat ini. Apalagi didorong dengan lahirnya beberapa Partai Islam, permintaan
diberlakukannya syariat Islam di Aceh (NAD), munculnya teroris-teroris yang berkedok
Islam, laskar serta organisasi yang bernafaskan Islam kanan, di antaranya Laskar Jihad,
Hizbu Tahrer, Jaringan Islamiyah dan Front Pembela Islam (FPI). Selain itu yang paling
jelas menjadi indikator perlunya kejelasan relasi Islam dan negara dalam kehidupan
berbangsa terlihat pada menguatnya ide-ide pencantuman Syari‘at Islam dalam
amandemen UUD 45 setiap ST MPR hasil pemilu 1999.1
Hal ini juga sering terjadi dalam wacana politik Indonesia di penghujung tahun 1990-an
yang juga sibuk memperdebatkan ideologi dan peristiwa-peristiwa politik yang pernah
terjadi dalam sejarah bangsa ini, di antaranya mengenai hubungan Islam dan negara,
peran ABRI dalam politik, dan bentuk demokrasi yang sesuai dengan negara ini.2 Dalam
tulisan ini penyusun menitikberatkan pada masalah yang pertama yaitu mengenai
hubungan Islam dan negara.
Perdebatan ini mulai aktual sejak dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai upaya persiapan kemerdekaan yang
diharapkan,4 dan telah disetujui oleh pemerintahan Jepang. Hal ini juga dinyatakan
dalam pidato Perdana Menteri Kuniaki Koiso kepada Parlemen Jepang pada tahun 1944
yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia dalam “waktu dekat”.5
Akan tetapi kalau kita teliti lebih dalam bahwa persinggungan antara Islam dan negara di
Nusantara ini sudah berlangsung lama sebelum Indonesia merdeka yakni di bawah
tekanan kolonial Belanda dan Jepang, namun demikian untuk melacak isu tentang istilah
negara Islam di Indonesia bukanlah suatu pekerjaan mudah, karena sejauh ini yang
diketahui hanyalah pemimpin-pemimpin Sarekat Islam (SI) seperti Surjopronoto dan Dr.
Sukiman Wirjosandjojo yang telah mewacanakan suatu kekuasaan atau pemerintahan
Islam di akhir tahun 1920-an.6 Saat itu Surjopronoto menggunakan tema een
Islamietsche regeering (Suatu Pemerintahan Islam) sementara Sukiman memakai istilah
een eigen Islamietisch bestuur onder een eigen vlag (Suatu kekuassan Islam di bawah
benderanya sendiri) semua ini digunakan untuk menciptakan kekuasaan Islam di
Indonesia yang substansinya sebagai alat mencapai kemerdekaan.7
Barangkali wacana dan teori tentang Negara Islam ini belum banyak ditulis secara
terperinci oleh pemimpin Islam pada saat itu, sehingga dalam sidang BPUPKI pada 1945
wacana ini terkesan begitu aktual diperdebatkan karena secara resmi peristiwa ini muncul
pertama kalinya dalam panggung politik Indonesia.
Anggota BPUPKI ini terdiri dari berbagai macam kelompok ideologi yang akhirnya
mengalami kesulitan dalam mencari titik temu (Kalimah as-Sawa’) posisi masing-masing
anggota tersebut, di antaranya. Pertama, mereka yang ingin menegakkan demokrasi
konstitusional sekuler. Kedua, mereka yang menganjurkan negara integralistik, dan
ketiga. Yang paling emosional dan konfrontasional adalah mereka yang menginginkan
Islam dijadikan dasar negara.8
Badan penyelidik ini mengadakan dua kali sidang, pada sidang pertama, dari 29 Mei - 2
Juni 1945 membahas masalah umum, dalam sidang ini Soekarno membuat pidato yang
sangat berpengaruh tentang dasar negara dan kemudian dikenal dengan Lahirnya
Pancasila.9 Sedangkan pada sidang kedua, 10-14 Juni 1945 membahas tentang isi
konstitusi negara yang akan dibentuk.10 Dalam kedua pembahasan sidang ini
menimbulkan perdebatan keras di antara para anggota penyelidik terutama kalangan
Islam yang diwakili Abdoel Kahar Moezakkir dengan cita-cita ideologi Islamnya dan
kalangan nasionalis diwakili oleh Soekarno yang cenderung netral terhadap agama.
Masalah yang sangat krusial dan mengundang perdebatan dalam sidang ini adalah
tentang “peletakkan dasar negara” sebab masalah ini berkaitan dengan integritas agama,
budaya dan bangsa yang plural. Karena khawatir akan kegagalan Badan Penyelidik yang
terus-menerus semakin memanas maka para anggota mengambil iniasiatif dengan
membentuk panitia BPUPKI yang terdiri dari 9 orang.11
Semula anggota BPUPKI ini berjumlah 62 orang, lalu ditambah enam orang yang
kebanyakan berasal dari Jawa dan satu orang lagi dari Jepang yakni Ichibangase yang
menjabat sebagai ketua yunior dan anggota luar biasa, untuk mengamati secara lebih
detail keanggotaan Badan Penyelidik ini maka penyusun paparkan pendapat Prawoto
Mangkusasmito, dari 68 anggota BPUPKI, hanya 15 orang (+ 20%) yang menyuarakan
aspirasi politik Islam yakni berasal dari nasionalisme-Islam, sedangkan 80 %-nya berasal
dari kelompok nasionalis-sekuler.12 Statistik ini menunjukkan betapa tidak seimbangnya
representasi dari masing-masing kelompok itu.
Di antara wakil dari kelompok Islam yaitu; K. H. Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir,
Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Masykur, K.H. A. Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosujoso,
H. Agus Salim, Sukiman Wiryosanjoyo, K.H. A. Sanusi, dan K.H. Abdul Halim,
sedangkan wakil dari kelompok nasionalis, antara lain, Rajiman Widiodiningrat,
Soekarno, Mohammad Hatta, Prof. Soepomo, Wongsonegoro, Sartono, R. P. Soeroso, Dr.
Buntaran Martoatmojo dan Muhammad Yamin, untuk Ketua dan wakil ketua BPUPKI
dijabat oleh Rajiman Widiodiningrat dan R. P. Soeroso, ini menunjukkan bahwa
kepemimpinan BPUPKI berada di tangan kelompok nasionalis. 13
Akan tetapi karena banyaknya anggota Badan Penyelidik yang malah dikhawatirkan akan
membawa kegagalan Badan Penyelidik itu sendiri (atas perdebatan yang semakin
memanas) maka dibentuklah Panitia Kecil BPUPKI yang hanya terdiri dari 9 orang itu,
yaitu: empat orang dari kalangan Islam (H. Agus salim, K.H. Wahid Hasyim, Abikusno,
dan Abdul Kahar Muzakkir) dan lima orang dari kalangan Naionalis (Soekarno,
Mohammad Hatta, A. A. Maramis, Achmad Subarjo, dan M. Yamin).14
Dalam panitia ini, Islam politik mempunyai kepentingan untuk menjadikan Islam sebagai
dasar negara, sebab menurutnya yang paling banyak berkorban dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia adalah kelompok Islam. Kepentingan tersebut menimbulkan
reaksi keras dari kelompok nasionalis sekuler yang memang secara kuantitatif anggota
mereka dalam badan ini merupakan mayoritas, sebagai jalan tengah akhirnya Jepang
membentuk “Panitia Sembilan” di atas.
Pada tanggal 21 Juni 1945 BPUPKI menyetujui Piagam Jakarta yang rumusan sila
pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari‘at
Islambagi pemeluk-pemeluknya”,15 kesepakatan ini merupakan hasil perjuangan Islam
politik dalam kepentingannya saat itu, akan tetapi umat Islam terpaksa harus kecewa
karena dalam UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 itu, ternyata telah
menghapuskan Piagam Jakarta tersebut.16 Ini merupakan kekecewaan Islam politik yang
pertama dalam perjuangan politiknya.
Diterimanya pancasila sebagai asas dan ideologi negara merupakan puncak dari
pertentangan dan sekaligus menunjukkan kekalahan kelompok Islam yang harus
berkompromi dengan kepentingan lain. Umat Islam yang sebelumnya memperjuangkan
ideologi Islam sebagai dasar negara dalam mukadimah UUD 1945 harus mengalah
dengan pancasila. Keinginan keras umat Islam saat itu bisa dimaklumi, selain sebagai
pejuang mayoritas kemerdekaan, pancasila sendiri menyimpan dua faktor yang sangat
debatable. Pertama, tentang kandungan pancasila itu sendiri. Kedua, tentang makna
penting pancasila jika dibanding dengan agama.17
Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu bertahan selama
57 hari, ini dikarenakan pengiring redaksi sila pertama yang mewajibkan umat Islam
menjalankan Syari‘at Islamdirasakan oleh kawasan Timur Indonesia sebagai sikap
diskriminatif terhadap pemeluk agama lain.18 Maka demi persatuan bangsa akhirnya
para pemimpin politik Islam terpaksa menelan kekecewaan cita-cita politiknya pada 18
Agustus 1945 dengan menghilangkan anak kalimat tersebut dari pembukaan UUD 1945.
Peristiwa ini dikenal sebagai sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
yang merupakan pengganti dari BPUPKI yang telah dibubarkan. Jumlah anggota PPKI
semula sebanyak 21 orang, kemudian atas usul Soekarno akhirnya ditambah menjadi 27
orang, dan yang menarik dicermati dari total jumlah ini ternyata hanya tiga anggota dari
organisasi Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim dan Kasman
Singodimedjo.19 Betapa ironisnya umat Islam sebagai mayoritas populasi dan penggerak
melawan penjajah di negeri ini hanya diwakili oleh tiga anggota.
Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 bertujuan menetapkan UUD dan memilih presiden
dan wakilnya, kebetulan presiden yang dipilih adalah ketua dan wakil PPKI saat itu yaitu
Soekarno dan Hatta. Secara kultural Soekarno mewakili kultur Jawa sedangkan Hatta dari
kultur Minang/Sumatera, terang saja latar belakang Hatta ini bisa dijadikan pelebur sikap
keras Ki Bagus yang selalu bersekukuh mempertahankan rumusan Piagam Jakarta.
Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi konsistensi Ki Bagus yang tetap
bertahan dengan Piagam tersebut, maka melalui Hatta yang memanfaatkan Teuku
Moehammad Hassan anggota PPKI dari Sumatera berhasil melunakan sikap keras Ki
Bagus dan dalam waktu 15 menit anak kalimat pada sila Ketuhanan itu diganti dengan
Yang Maha Esa.20
Akar perdebatan ini tidak lepas dari letupan pertarungan ideologi saat itu, yaitu
Nasionalis dan Islam.21 Golongan nasionalis adalah kelompok yang berprinsip bahwa
ad-Din wa ad-Daulah (agama dan negara) harus dipisahkan secara tegas dan
proporsional, dengan keyakinan bahwa fungsi agama hanya mengurusi ajaran-ajaran
yang berkaitan dengan kehidupan akhirat dan urusan pribadi saja, Sedangkan negara
memang merupakan masalah politik yang berurusan dengan duniawi.22 Sementara itu
golongan Islam saat itu berprinsip bahwa agama (dalam hal ini Islam) tidak dapat
dipisahkan dari urusan kenegaraan, karena Islam menurut mereka tidak hanya mengatur
hubungan antara manusia dengan Tuhan saja, melainkan juga hubungan sesama manusia,
lingkungan dan alam semesta.23
Indikasi pertarungan ideologi ini bisa dilihat sejak tahun 1920-1930-an dari kasus
retaknya hubungan Sarekat Islam (SI) dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), kasus
Jawi Hisworo, majalah Timboel, Swara Oemoem dan peristiwa itu perdebatan sengit
antara tokoh Nasionalis-Muslim, seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hassan dan
M. Natsir dengan tokoh-tokoh Nasionalis-sekuler yang diwakili Tjipto Mangunkusumo,
Soekarno dan lain-lain, Polemik inilah yang kemudian berlanjut sampai sekarang. 24
Di sisi lain, konsep “Piagam Madinah” dan praktek pemerintahan Islam pada zaman
Rasulullah, sahabat dan komunitas muslim lainnya juga ikut mempengaruhi lahirnya
perdebatan Islam dan negara di Indonesia, sebab munculnya terma Piagam Jakarta di
Indonesia sedikit banyak terinspirasi dari konsep Piagam Madinah yang pasti tidak bisa
lepas dari persinggungan wacana politik Islam yang telah berlaku di bangsa Arab itu.
Selain itu praktik pemerintahan Negara Turki yang memisahkan negara dan agama juga
ikut mewarnai perdebatan ini.25
Jadi, untuk memaparkan secara lebih jelas pemikiran politik tokoh Islam dan keterkaitan
mereka dalam memperjuangkan negara berdasarkan Islam di Indonesia, perlu penyusun
bahas secara singkat tentang teori-teori yang diajukan para intelektual muslim.
Secara umum pemikiran politik Muslim bisa diklasifikasikan menjadi tiga teori.26
Pemikiran pertama berpendapat bahwa negara dan agama tidak harus dipisahkan, karena
Islam merupakan agama yang integral dan komprehensif dalam mengatur kehidupan baik
urusan duniawi maupun ukhrawi, oleh sebab itu menurut pandangan ini konstitusi negara
harus didasarkan pada Islam. Tokoh teori ini antara lain , Abu A’la Maududi27 (1903-
1979) dari Pakistan yang memimpin Jamiy‘ah al-Isla>m, Sayyid Qutb28 (1906-1966)
dan para ideolog lain Ikhwan al-Muslimin29 dari Mesir. Baik Jam‘iyah al-Islam maupun
Ikhwan al-Muslimin dikenal sebagai gerakan Fundamentalis di Iran, Pakistan dan Saudi
Arabia, hal ini bisa dilihat dari jargon politiknya bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan
Negara) tidak bisa dipisahkan.30 Pandangan komprehensif ini dikutip dari nash al-
Qur’an31:
(٢٠٨: ياأيهاالذ ين أمنوا ادخلوا فىالسلم كآّفة ول تتبعوا خطوات الشيطـن إنّه لكم عد ّو مّبين!)البقرة.
Menurut teori yang kedua, agama dan negara harus dipisahkan, urusan agama sebatas
pada urusan pibadi dan ukhrawi tidak perlu mencampuri urusan politik. Oleh sebab itu
konstitusi negara dalam pandangan ini tidak harus didasarkan pada Islam, namun pada
nilai sekuler, contoh konkret teori ini adalah negara Turki Modern. Teori ketiga, sepakat
dengan adanya pemisahan antara agama dan negara dalam arti konstitusi negara tidak
harus didasarkan Islam, akan tetapi nilai agama harus menjadi ruh kehidupan masyarakat
bernegara, 32
Ketiga teori ini mewakili pilihan-pillihan yang dapat menentukan karakteristik struktur
sosial dan politik negara-negara muslim dunia dalam menghadapi tantangan modernitas.
Terutama teori pertama ini sangat kuat mewarnai pemikiran politik muslim Indonesia
tahun 1940-an dan 1950-an, karena dalam sidang BPUPKI 1945 maupun konstituante
(1956-1959) para pemimpin muslim berjuang keras agar Islam dijadikan dasar negara.33
Selain itu tidak ada indikasi yang tampak bahwa pemikiran politik nasionalis-muslim
Indonesia saat itu, dipengaruhi oleh Kemal Attaturk ataupun Ali Abd al-Raziq (1888-
1966) yang berpendapat bahwa Nabi tidak pernah berupaya membangun sebuah negara,
beliau hanyalah seorang utusan yang dikirim oleh Tuhan semata.
Menurut Soepomo sendiri, jika negara Islam diciptakan di Indonesia maka sudah pasti
persoalan minoritas, persoalan kelompok-kelompok kecil agama dan yang lainnya akan
muncul. Meskipun Islam menjamin kelompok agama lain sebaik mungkin, kelompok
kecil ini tidak akan merasakan keterlibatannya dalam negara, karena cita-cita negara
Islam tidak sesuai dengan cita-cita negara kesatuan yang diharapkan bersama.35
Pada tahun 1953 Soekarno juga mengungkapkan kekhawatirannya secara terbuka tentang
implikasi-implikasi negatif yang muncul, apabila umat Islam Indonesia tetap
memaksakan kehendaknya (negara Islam), yakni pengakuan Islam secara legal formal di
negara ini.36 Dengan mengingat kekhawatiran yang diungkapkan Hatta pada tahun 1945,
Soekarno mengatakan bahwa ia cemas, kalau banyak bagian negara Republik Indonesia
memisahkan diri, atau negara bekas jajahan Hindia Belanda seperti Irian Barat juga tidak
ikut menggabungkan diri dengan Indonesia yang ber-ruh Islami ini.37
Dalam Bab ini penyusun merasa perlu mengkaji pula istilah-istilah dalam kajian politik
Islam seperti daulah, khalifah, imamah dan kesultanan yang seringkali dikonotasikan
dengan istilah negara. Di samping itu teori-teori tersebut paling tidak ikut mempengaruhi
pemikiran politik Islam di Indonesia.
a.Daulah.
Istilah daulah berasal dari bahasa Arab yang bermakna bergilir, beredar dan berputar
(rotate, alernate, take turns or Occur priodically).39 menurut Olaf Schuman istilah
“daulah” sama dengan “dinasti atau wangsa” yang berarti sistem kekuasaan yang
berpuncak pada seorang pribadi dan didukung oleh keluarganya atau clanya.40 Jadi
dalam konteks sekarang istilah tersebut bisa diartikan negara, selain itu Paham ini juga
erat dengan paham Da>r al-Islamyang bermakna bahwa kekuasaan tertinggi terletak di
tangan seorang penguasa muslim yang memberlakukan Hukum Islam sebagai hukum
utama di dalam wilayahnya.41
Menurut sejarah istilah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam ketika masa
kemenangan kekhalifahan dinasti Abbasiyyah pada pertengahan abad delapan.42 Kalau
memang istilah ini pernah ada, berarti masa itu terdapat pada daullah Umayyah yang
kemudian begilir pada keluarga Bani Abbas (Daulah Abbasiyyah).43
b.Khilafah.
Istilah “Khilafah” berasal dari bahasa arab yang bermakna perwakilan atau pergantian.
Dalam perspektif politik sunni, khilafah didasarkan pada dua rukun, yaitu: konsensus elit
politik (ijma‘) dan pemberian legitimasi (Bay‘ah).44 Oleh sebab itu sudah menjadi hal
yang lazim dalam pemilihan pemimpin Islam bahwa pemilihan pemimpin ditetapkan oleh
elit politik melalu ijma‘ kemudian baru di Bay‘ah , menurut Harun Nasution sistem ini
menyerupai dengan sistem republik daripada sistem kerajaan, karena pemimpin dalam
hal ini dipilih bukan merupakan sistem monarkhi yang bersifat turun-temurun.45
Sistem khilafah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam setelah Nabi Muhammad
wafat, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar, dalam pidato inagurasinya Abu Bakar
menyatakan dirinya sebagai Khalifah Rasul Allah dalam artian sebagai “Pengganti
Rasulullah” yang bertugas meneruskan misi-misinya.46 Sedangkan menurut Bernard
Lewis istilah khalifah muncul pertama kali pada masa pra-Islam abad ke-6 Masehi dalam
suatu prasasti Islam di Arabia.47
c.Imamah.
Selain kedua istilah di atas, “imamah” dalam kajian Islam juga sering digunakan sebagai
teori yang menyerupai makna negara. Menurut Mawardi, imam bisa dimaknai khalifah,
raja, sultan atau kepala negara, dengan demikian menurut Munawir Sjadzali, Mawardi
memberikan ruang bagi agama suatu jabatan politik yaitu kepala negara.48 Sementara
menurut Taqiyuddin an-Nabhani, imamah dan khilafah merupakan dua istilah yang sama
maknanya, karena khilafah adalah suatu kepemimpinan yang berlaku secara umum bagi
seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at dan
mensyiarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.49
Pada dasarnya teori imamah lebih banyak berkembang di aliran syi’ah daripada aliran
sunni, dalam aliran Syi’ah Imama>h menekankan dua rukun, yaitu kekuasaan imam
(wilayah) dan kesucian Imam (‘ismah).50
d.Kesultanan.
Adapun istilah kesultanan seringkali diartikan kekuasaan dalam kitab al-Qur’an, menurut
Lewis ada seorang penulis dari kelompok scribal, Abd Hamid, yang hidup pada awal
abad kedelapan, secara umum menggunakan istilah sultan untuk pemerintah.51
Dari uraian di atas, tampak bahwa istilah negara dalam Islam memiliki beberapa sinonim
di antaranya Daulah, Khilafah, Ima>mah dan S{ult}aniyyah, oleh sebab itu merupakan
hal yang lazim kalau wacana Negara Islam selalu hangat untuk diperdebatkan, karena
secara de facto ternyata Islam mempraktekkan beberapa istilah yang bersinonom dengan
konsep negara, sedangkan secara konseptual atau de jure Islam memang tidak mengenal
konsep negara yang detail. Namun demikian patut diteliti apakah teori-teori tersebut
untuk konteks modern saat ini bisa dikategorikan sebuah konsep negara.
Mengingat wacana negara Islam di Indonesia selalu menjadi perdebatan panjang dalam
sejarah didirikannya negara ini, sejak pra-kemerdekaan sampai sekarang. Patut dicari apa
sebenarnya yang membuat tokoh muslim berkeinginan keras meletakkan Islam sebagai
dasar negara Indonesia? Salah satu jawaban atas pertanyaan ini, yaitu karena mereka
bertujuan menerapkan Syari‘at secara efektif di seluruh penjuru wilayah negara, M.
Natsir salah satu tokoh Islam yang kontra dengan gagasan Soekarno mengklaim bahwa
kemerdekaan Indonesia merupakan salah satu cita-cita Islam oleh sebab itu pencapaian
kemerdekaan Indonesia merupakan bagian integral dari perjuangan Islam untuk
menerapkan Syari‘at.52
Tampaknya klaim ini didasarkan pada kenyataan saat itu, bahwa umat Islam Indonesia
sebagai kelompok mayoritas mempunyai peran yang sangat besar dalam
memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Untuk mendukung opini ini bisa dilihat dari
semangat jihad Islam yang terukir dalam sejarah tanah air ini, seperti Sultan Babullah
dari Ternate, Sultan Hasanuddin dari Makassar, Pangeran Diponegoro (pemimpin Perang
Diponegoro 1825-1830, Imam Bonjol (pemimpin Perang Padri 1921-1937), Teuku Umar,
Tjut Nya’Dien dan Tengku Tjhik di Tiro (pemimpin Perang Aceh tahun 1872-1912).53 Di
samping itu terdapat juga ulama-ulama Jawa, salah satunya Syekh Hayim Asy’ari yang
terkenal dengan “Resolusi Jihadnya”.
Selain alasan di atas, kekecewaan umat Islam atas dihapuskannya “Piagam Jakarta” bisa
juga dipahami melalui berbagai organisasi kultural dan ekonomis Islam yang telah
didirikan jauh sebelum Indonesia merdeka, apalagi organisasi tersebut banyak memberi
konstribusi dalam kemerdekaan ini, misalnya Sarekat Islam (didirikan tahun 1912),
gerakan Modernis Muhammadiyah (yang juga didirikan tahun 1912, dan organisasi
Tradisionalis NU (didirikan 1926).54 Menurut hemat penyusun organisasi ini merupakan
alat konsolidasi yang sangat efektif saat itu.
Meski dalam kenyataanya umat Islam merupakan mayoritas dalam bangsa ini dan
organisasi Islam memainkan peran penting pada masa kemerdekaan, menurut Fred von
den Mehden “Indonesia sebagai satu bangsa Islam tidak seluruhnya sepakat dengan apa
yang harus dilakukan sebagai pemeluk Islam”.55 Hal ini mungkin disebabkan karena
adanya perbedaan penafsiran dan praktik agama yang dikerjakan, sebagaimana yang
dinyatakan Cliford Geertz bahwa rakyat Indonesia terbagi menjadi tiga aliran atau
trikotomi, yaitu Priyayi, Santri dan Abangan.56
Perbedaan relegius dan politik dalam komunitas Muslim tampak jelas dalam wacana
pancasila, Seperti halnya yang penyusun bahas di atas. Dengan demikian suatu dinamika
“Islam versus Pancasila” telah mempengaruhi sebagian besar perdebatan dan wacana
pemikiran politik Indonesia sepanjang tahun 1980-an sampai 1990-an.57 Sebagaimana
yang akan dibahas dalam bab-bab berikut, dinamika ini memiliki implikasi-implikasi
penting bagi perpolitikan nasional.
Dalam catatan sejarah, tuntutan-tuntutan Islam politik atas negara sangat tampak dalam
pemberontakkan Darul Islam melawan Pemerintahan Pusat antara tahun 1948-1962.58
Akibat serangan pemberontakan ini, bentuk konkret ancaman “ekstrem kanan” (istilah
yang secara resmi dipakai untuk menunjuk fundamentalisme Islam di era Orde Baru)
semakin jelas. Djohan Effendi menambahkan bahwa Darul Islam mempertinggi
kecurigaan militer bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara partai-partai Islam dengan
pemberontak Darul Islam. Satu-satunya perbedaan, menurut pihak militer adalah bahwa
yang pertama memperjuangkan negara Islam dengan jalan legal, sedangkan yang kedua
dengan kekuatan illegal.59
Deliar Noer, tidak sepakat dengan cara pandang militer ini, baginya cita-cita partai Islam
ini dilakukan secara demokratis. Jadi tentu berbeda dengan gerakan Darul Islam yang
dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo, gerakan ini menggunakan kekerasan dan
mementingkan simbol-simbol, seperti nama Darul Islam, istilah Imam untuk Kepala
negara dan lain sebagainya, Sedangkan partai Islam lebih pada substansi tujuan. Dalam
kasus ini gerakan Kartosuwiryo tidak berkesempatan mengembangkan pemikiran
substansi tujuannya karena terburu menggunakan kekerasan.60 Peristiwa ini sedikit
banyak menumbuhkan citra negatif pada sebagian kalangan bangsa kita dalam merespon
hubungan Islam dan negara, yang kemudian berdampak negatif pula terhadap cita-cita
dan perjuangan partai-partai Islam selama ini.
Dan saat itu, citra negatif ini digunakan untuk mendeskriditkan kedudukan partai
Masyumi61 dan umat Islam secara umum. Padahal dalam kasus DI ini secara perlahan-
lahan juga ditunggangi oleh golongan yang tidak bersimpati terhadap RI, di antaranya
orang-orang Belanda seperti Jungschlager, Schmidt, dan Van Kleef. Selain itu masalah
pemberontakan PRRI/Permesta (1958-1961) juga sering dihubungkan dengan cita-cita
Islam sehingga membuat partai Masyumi dibubarkan (tahun 1960), walupun banyak
orang Kristen yang terlibat di dalamnya karena tokoh-tokoh cabang Parkindo dan
komandan daerah yang beragama Kristen jelas-jelas menyokong pemberontakan ini.62