Anda di halaman 1dari 32

SISTEM IMUN

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Fisiologi Lanjut yang dibina oleh bapak Dr. Abdul Ghofur, M.Si

Oleh Kelompok 2 Kelas A

Anggota kelompok : Afrizal Mamaliang N 120341521860 Siti Nur Solikha 120341521860

Alvin Noerin Rahayu 120341521860 Usfuriyah Pristiana A.F.H. 120341521861 120341521860

UNIVERSITAS NEGERI MALANG PPROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI MARET 2013 KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penyusunan makalah pada mata kuliah Fisiologi Lanjut ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Penyelesaian makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Dr. Abdul Ghofur, M.Si selaku dosen pembimbing atas segala motivasi, ilmu, saran, dan kesabarannya dalam membimbing penulis. 2. Rekan-rekan seperjuangan dari PPS UM jurusan Biologi kelas A beserta pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan semangat dan bantuan dalam penyelesaian makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak yang memanfaatkannya.

Malang,

Maret 2013

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tubuh manusia tidak mungkin

terhindar dari lingkungan

yang

mengandung mikroba pathogen disekelilingnya. Mikroba tersebut dapat menimbulkan penyakit infeksi pada manusia. Mikroba patogen yang ada bersifat poligenik dan kompleks. Oleh karena itu respon imun tubuh manusia terhadap berbagai macam mikroba patogen juga berbeda. Umumnya gambaran biologi spesifik mikroba menentukan mekanisme imun mana yang berperan untuk proteksi. Begitu juga respon imun terhadap bakteri khususnya bakteri ekstraseluler atau bakteri intraseluler mempunyai karakteriskik tertentu pula. Stress emosional atau fisiologis dari kejadian ini adalah tantangan lain untuk mempertahankan tubuh yang sehat. Biasanya kita dilindungi oleh system pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, terutama makrofag, dan cukup lengkap kebutuhan gizi untuk menjaga kesehatan. Kelebihan tantangan negattif, bagaimanapun, dapat menekan system pertahanan tubuh, system kekebalan tubuh, dan mengakibatkan berbagai penyakit fatal. Oleh karena itu kami akan mengulas apa dan bagaimana kekompleksitasan kerja sistem imun pada makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah 1. Apa pengertian sistem imun? 2. Bagaimana proteksi melawan infeksi? 3. Apa dan bagaimana komponen imun spesifik respon? 4. Bagaimana reaksi/aksi dari sistem imun? 5. Apa dan bagaimana penyakit yang dapat terjadi pada sistem imun?

1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian sistem imun. 2. Untuk mengetahui fungsi dari sistem imun. 3. Untuk mengetahui perlindungan spesifik dan nonspesifik. 4. Untuk mempelajari komponen dan kerja respon spesifik imunn (lymposit, B sel, T sel). 5. Untuk mempelajari struktur antibodi. 6. Untuk mempelajari bagaimana cara imun melawan patogen. 7. Untuk mempelajari regulasi sistem imun.

8. Untuk mempelajari malfungsi dan penyakit yang terjadi pada sistem imun.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Imunitas Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap

infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respons imun.

2.2 Fungsi sistem imun Patogen penyebab penyakit seperti virus dan organisme seperti parasit bakteri dan jamur, menyerang organisme lain dan menyebabkan penyakit. Infeksi, invasi organisme patogen, merupakan ancaman kesehatan utama untuk organisme multiseluler. Semua organisme memiliki semacam pertahanan terhadap patogen. Tanpa pertahanan yang sehat, kita akan terus-menerus sakit atau mati. Fungsi sistem imun melindungi kita terhadap kedua patogen dan zat-zat asing yang berbahaya. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Secara singkat fungsi sistem imun adalah: 1. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor) yang masuk ke dalam tubuh . 2. Menghilangkan jaringan atau sel yg mati atau rusak (debris sel) untuk perbaikan jaringan. 3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal.

2.3 Perlindungan spesifik dan nonspesifik Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif atau innate, atau imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir dan terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik. Jadi bukan merupakan pertahanan khusus untuk antigen tertentu. Sistem imun alamiah terentang luas, mulai dari air mata, air liur, keringat (dengan pHnya yang rendah/asam), bulu hidung, kulit, selaput lendir, laktoferin dan asam neuraminik (pada air susu ibu), sampai asam lambung termasuk di dalamnya. Secara lebih mendetail di dalam cairan tubuh seperti air mata atau darah terdapat komponen sistem imun alamiah yang antara lain terdiri dari fasa cair seperti IgA (Imunoglobulin A), Interferon, Komplemen, Lisozim, ataupun c-

reactive protein (CRP). Sementara fasa seluler terdiri dari sel-sel pemangsa (fagosit) seperti sel darah putih (polymorpho nuclear/PMN), sel-sel mono nuklear (monosit atau makrofag), sel pembunuh alamiah (Natural Killer), dan sel-sel dendritik. Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen adaptif atau imunitas didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan tubuh non spesifik adalah bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau ditimbulkan terlebih dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk. Sedangkan pertahanan tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak dengan antigen. Sistem imun adaptif terdiri dari sub sistem seluler yaitu keluarga sel limfosit T (T penolong dan T sitotoksik) dan keluarga sel mono nuklear (berinti tunggal). Sub sistem kedua adalah sub sistem humoral, yang terdiri dari kelompok protein globulin terlarut yaitu: Imunoglobulin G, A, M, D, dan E. Imunoglobulin dihasilkan oleh sel limfosit B melalui suatu proses aktivasi khusus, bergantung kepada karakteristik antigen yang dihadapi.

2.4 Komponen Sistem Imun a. Limposit Ada sekitar 2 triliun limfosit matang dalam manusia dalam hati atau otak. Limfosit bergerak sebagai sel tunggal dalam darah dan sistem limfatik. Mereka juga mengembangkan dan mengumpulkan di organ khusus, yang disebut organ limfoid.

Gambar 1. Kekebalan tubuh manusia. Sumsum tulang dan timus (ditunjukkan warna biru) adalah organ limfoid primer bertanggung jawab untuk perkembanan B dan sel T, masing-masing. Sekunder limfoid organ (ditampilkan dalam warna kemerahan), di mana limfosit matang diambil, termasuk kelenjar getah bening, limpa, usus buntu, dan amandel, kelenjar getah bening

Gambar 2. Pembentukan limfosit. Limfosit berkembang dari sel-sel di batang sumsum tulang. Beberapa limfosit melanjutkan pengembangan dalam sumsum dan menjadi sel B. Limfosit lainnya diangkut ke kelenjar thymus, dimana mereka

dewasa menjadi sel T. Kedua jenis limfosit ditemukan di limfoid organ dan dalam darah.

Dalam janin, limfosit, seperti semua sel-sel darah lainnya, yang diproduksi di hati. Sebagai seorang anak berkembang, sumsum tulang secara bertahap mengambil alih produksi limfosit dan terus memproduksi limfosit seluruh hidup. Pada sumsum tulang, sel-sel terdiferensiasi yang disebut induk sel berdiferensiasi menjadi semua jenis sel darah.

Gambar 3. Sel-sel utama dari sistem kekebalan. Sel T terdiri dari dua jenis utama. Sitotoksik limfosit T (CTLs) menyerang sel-sel yang terinfeksi dan patogen menyerang dengan menusuk membran plasma mereka. T helper (TH) sel mensekresikan sitokin, sinyal protein yang meningkatkan respon kekebalan tubuh. Sel B, jika dirangsang oleh antigen, membedakan dan menjadi sel plasma yang mengeluarkan antibodi. Kedua sel B dan sel T juga menimbulkan sel memori. Makrofag mencerna patogen dan menampilkan antigen ke sel T mereka, memicu respon imun spesifik.

Sumsum tulang adalah organ limfoid primer. Sel B diproduksi, matang dan fungsional ketika mereka meninggalkan sumsum. Sel T diproduksi dalam sumsum dan kemudian melakukan perjalanan ke timus, di mana mereka terus membelah dan matang. Dengan demikian, timus merupakan organ limfoid primer. Ketika matang sel T dan sel B memasuki sirkulasi, banyak dari mereka menetap di jaringan limfoid sekunder, seperti limpa, kelenjar getah bening, amandel, usus buntu, dan jaringan limfoid di bawah kulit dan di lapisan saluran usus. Interaksi sel T dan sel B dengan antigen biasanya terjadi dalam jaringan. Pembengkakan

kelenjar benar-benar diperbesar kelenjar getah bening di yang telah terdapat limfosit untuk melawan infeksi. Tidak seperti sel-sel darah merah, limfosit memasuki sirkulasi limfatik terutama di kelenjar getah bening. Setelah melewati berbagai kelenjar getah bening, limfosit kembali ke darah dengan melewati duktus toraks. Sel T dan sel B terus bermigrasi seluruh tubuh mencari dan menghancurkan sel-sel asing atau zat yang mereka hadapi. Perilaku ini sering disebut imune surveilans.

b. Sel B Meskipun banyak antigen yang menginduksi respon imun adalah protein, hampir semua molekul asing yang besar dapat menjadi antigen. Sistem kekebalan tubuh mampu membedakan antara jutaan antigen yang berbeda. Peran utama dari sel B adalah untuk membuat molekul antibodi yang bereaksi dengan antigen tertentu. Sel B mengekspresikan molekul antibodi pada permukaan luar. Antibodi ini disebut B-sel reseptor. Setiap sel B ditutupi oleh ribuan identik B-sel reseptor. Oleh karena itu, masing-masing sel B dapat mengikat hanya satu antigen spesifik. Ada ribuan sel B, namun, masing-masing dengan reseptor yang berbeda. Setelah penonjolan ujung sel B- reseptor mengikat antigen tertentu, sel mulai membelah dengan cepat. Sel keturunan berdiferensiasi menjadi dua jenis sel plasma dan sel memori B. Plasma seperti pabrik-pabrik kecil yang memproduksi antibodi identik dengan reseptor B-sel yang terikat pada antigen asli. Antibodi tersebut akan mengikat jenis yang sama molekul antigen dimanapun mereka berada dalam tubuh, menandai mereka untuk penghancuran. Sementara sel plasma hidup hanya beberapa hari, sel-sel memori terus beredar untuk jangka waktu yang lama-hingga seumur hidup. Berikutnya waktu sistem kekebalan tubuh bertemu dengan patogen tertentu, sel-sel memori dapat segera memulai produksi besar-besaran dari antibodi. Dengan demikian, memori sel untuk kekebalan terhadap infeksi berikutnya oleh patogen yang sama.

Gambar 4. Pengikatan antigen-antibodi. Antibodi diproduksi untuk melawan khususnya antigen dan mengikat spesifik. Antibodi dan antigen telah melengkapi struktur yang menghasilkan ikatan yang kuat.

Sel yang berploriferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mampu membentuk dan melepas antibody atas pengaruh sel T. macam macam antibody yang dihasilkan: Ig G : berjumlah 75% dari seluruh Imunoglobin, terdapat dalam jaringan & serum (darah, cairan SSP) mengaktifkan sistem komplemen sehingga berperan dalam imunitas selular Ig G dapat menembus plasenta masuk k fetus Ig A: berjumlah 15% dari seluruh Imunoglobin, terdapat dalam cairan tubuh (darah,saliva,air mata, ASI, sekret paru, GI, dll), Ig A dpt menetralisir toksin & mencegah terjadinya kontak antara toksin dgn sel sasaran Ig M : berjumlah 10% dari seluruh Imunoglobin, Merupakan antibodi pertama yang dibentuk dalam respon imun, kebanyakan sel B mengandung IgM pada permukaannya sebagai reseptor antigen, dapat mencegah gerakan mikroorganisme, memudahkan fagositosis & aglutinator kuat terhadap antigen

Ig D : berjumlah 0,2% dari seluruh Imunoglobin, merupakan komponen utama pada permukaan sel B & penanda dari diferensiasi sel B yang lebih matang, Ditemukan dgn kadar rendah dlm sirkulasi Ig E : berjumlah 0,004% dari seluruh Imunoglobin, Ig dengan jumlah tersedikit namun sangat efisien, terdapat dalam serum, mudah diikat oleh mast cell, basofil & eosinofil yang pada permukaannya memiliki reseptor untuk fraksi Fc dr Ig E.

c. Sel T Tidak seperti sel B, sel T tidak mengeluarkan antibodi. Dua jenis sel T sitotoksik limfosit T (CTLs) dan T helper (TH) sel berperan dalam respon kekebalan yang dimediasi sel. Sel TH membantu respon imun berkembang dengan mengeluarkan sinyal protein yang disebut sitokin, yang merangsang B dan sel T lainnya. Sebagai contoh, beberapa sitokin yang penting untuk perkembangan sel B dan produksi antibodi. Sel TH juga mungkin diperlukan untuk generasi CTL. Sel CTL sangat penting untuk membatasi infeksi virus. Sel-sel mengenali sel yang terinfeksi virus dan membunuh dengan menusuk plasma membrannya.

Gambar 5. Pengenalan antigen oleh T cells. Makrofag proses pathogen menjadi fragmen yang mengandung antigen. Fragmen ini ditampilkan pada permukaan makrofag, terikat MHC protein. Sel TH mengenali dan merespon kombinasi MHC-antigen.

Aktivasi limfosit T, khususnya limfosit Th dari interaksi antara reseptor sel T + kompleks antigen-MHC kelas II yang terdapat di permukaan APC. Selain menyajikan antigen, APC juga memproduksi interleukin-1 yang mampu

merangsang pertumbuhan sel T. Interaksi ini merangsang berbagai reaksi biokimia di dalam sel T, diantaranya adalah perombakan fosfatidil-inositol dan peningkatan konsentrasi ion Ca++ serta aktivasi protein kinase-C yang diperlukan sebagai katalisator pada fosforilasi berbagai jenis protein. Reaksi-reaksi diatas mengakibatkan serangkaian reaksi-reaksi yang menghasilkan ekspresi reseptor IL2 dan roduksi IL-2 yang diperlukan untuk proliferasi sel selanjutnya. Sebagian dari sel T selanjutnya akan berfungsi sebagai sel T helperinducer untuk membantu sel B, sebagian lagi akan kembali dalam keadaan istirahat menjadi sel memori. Aktivasi sel B dapat terjadi atas rangsangan antigen T-independen tipe Im antigen T-independen tipe II dan antigen T-dependen. Antigen T-dependen memerlukan bantuan sel Th. Antigen T-independen tipe I dalam konsentrasi tinggi mampu merangsang sel B secara poliklonal tanpa mengindahkan spesifsitas reseptor permukaan sel B. Contoh antigen seperti ini adalah lipopolisakarida pada permukaan sel bakteri. Tetapi pada konsentrasi rendah sel B dengan sIg spesifik sebagai reseptor dapat menangkap antigen sehingga sel teraktivasi. Antigen T-independen tipe II adalah antigen yang tidak segera dirombak didalam tubuh misalnya polisakarida pneumokokus, polimer polivinilpirolidon (PVP) yang mampu merangsang sel B tanpa banuan sel Th. Antigen dapat melekat dengan aviditas kuat pada permukaan sel B dengan ikatan multivalen melalui sIg. Pada umumnya antigen T-independen merangsang pembentukan IgM. Sebagian besar antigen adalah T-dependen yang berarti respon pada sel B baru dapat terjadi atas rangsangan sel T. Agar sel B apat dirangsang oleh sel T maka MHC kelas II pada permukaan kedua sel harus sesuai. Hal ini penting untuk interaksi antara sel T dengan sel B dalam keadaan istirahat (resting B cells). Dilain pihak sel B yang sudah teraktivasi oleh kompleks antigen-MHC yang relevan. Sel T yang diaktivasi oleh antigen akan memproduksi interleukin-2 (IL-2) yang diperlukan untuk proliferasi sel T sendiri, disampign itu sel T juga memproduksi berbagai faktor atau limfokin yang dapat merangsang perubahan pada berbagai jenis sel antara lain sel B, sel T sitotoksik, makrofag dan lain-lain karenanya sel itu disebut sel T inducer.

Beberapa macam sel T: T11 : Penanda bahwa sel T sudang matang T 4 dan T8 : T4 berfungsi sebagai pengenalan molekul kelas II MHC dan T8 dalam pengenalankelas I MHC T3 : resptor yang diperlukan untukperangsangan sel T TcT (Terminal deoxyribonuckleotidyl Transferase) : enzim yang diperlukan untuk menemukan pre T cell. Petanda Cluster Differentiation (CD) : berperan dalam meneruskan sinyal aktivasi yang datang dari luar sel ke dalam sel (bila ada interaksi antara antigen molekul MHC dan reseptor sel T) Petanda fungsional Mitogen dan lectin merupakan alamiah yang berkemampuan mengikat dan merangsang banyak klon limfoid untuk proliferasi dan diferensiasi. Subkelas Sel T Sel Th (T Helper) : menolong sel b dalam memproduksi antibody Sel Ts (T Supresor): menekan aktivitas sel T yang lain dan sel B. Sibagi menjadi Sel Ts spesifik untuk antigen tertentu dan sel Ts nonspesifik Sel Tdh / Td (delayed hypersensivity): berperan pada pengerahan makrofag ddan sel inflamasi lain ke tempat terjadinya reaksi

hipersensivitas tipe lambat. Sel Tc (cytotoxic): berkemampuan untuk menghancurkan sel allogeneic dan sel sasaran yang mengandung virus.

2.5 Seleksi clonal pada respon imun Selama perkembangan embrio dan sepanjang hidup, pengembangan limfosit berfungsi untuk memproduksi antibodi atau reseptor molekul yang mengikat secara khusus untuk antigen tunggal. Fungsi ini terjadi tanpa antigen hadir. Setelah limfosit B atau T menjadi berfungsi untuk menghasilkan reseptor tertentu atau antibodi, semua keturunannya akan memiliki fungsi yang sama. Setiap klon limfosit mengikat antigen yang berbeda dari klon lainnya. Ketika antigen muncul, mengikat antigen merangsang klon yang spesifik untuk membagi, sehingga

menimbulkan banyak keturunan identik. Proses ini dikenal sebagai klonal selection, karena hanya klon yang dapat mengikat antigen yang dirangsang untuk membelah. Sistem kekebalan tubuh menghasilkan lebih dari limfosit yang dibutuhkan untuk menghapus spesifik antigen.

Gambar 7. Seleksi clonal. Banyak sel-B dengan B-sel reseptor yang berbeda hadir sebelum antigen pertama kali bertemu. Antigen mengikat ke reseptor yang tepat dan dengan demikian memilih klon yang akan dirangsang untuk membagi, membentuk ribuan keturunan yang identik.

Gen kita menentukan antibodi dan T-sel reseptor, sistem imun akan membuat, dengan demikian antigen akan mengenali. Bahkan tanpa paparan antigen, sudah ada antibodi dan T-sel reseptor. Dari sini, antigen "memilih" yang klon yang sesuai. Seleksi klonal juga membantu menjelaskan karakteristik lain dari respon kekebalan. Misalnya, jika Anda diimunisasi terhadap virus campak, anda tidak menjadi kebal pada saat menerima vaksin. Dibutuhkan 7-14 hari setelah paparan pertama terhadap antigen antibodi baru. Ini adalah respon imun primer.

2.6 Struktur antibodi Sebuah pertahanan kekebalan tubuh yang efektif harus merespon selektif untuk spesifik antigen. Pengikatan antibodi terhadap antigen spesifik sangat

penting untuk proses selektif ini. Oleh karena itu, respon imun membutuhkan antibodi dengan struktur yang sangat selektif dalam sifat mengikat mereka.

Gambar 8. Dua model struktur antibodi. (a), Diagram ini menunjukkan daerah variabel (V) dan konstan (C) rantai polipeptida ringan dan berat dan bagian identik molekul dibuat bersama-sama oleh ikatan disulfida (-S-S-). (b), Sebuah gambar didasarkan pada model tiga dimensi dari suatu molekul antibodi.

Gambar di atas menunjukkan bahwa setiap molekul antibodi terdiri dari empat rantai polipeptida. Ada dua identik, rantai ringan yang lebih kecil dan dua identik, berat rantai yang lebih besar. Salah satu rantai ringan dan satu rantai berat digabungkan untuk membuat setengah dari antibodi molekul. Dua bagian yang identik kemudian menggabungkan untuk membuat menyelesaikan molekul antibodi. Pada tiap babak, salah satu ujung rantai berat dan salah satu ujung rantai ringan bersama-sama memberikan satu situs pengikatan antigen. Dengan demikian, setiap molekul antibodi memiliki total dua situs pengikatan antigen. Molekul antibodi memiliki dua tindakan penting. Pertama, mereka mengikat spesifik antigen. Yang berarti bahwa molekul antibodi memiliki Unik antigen-mengikat situs. Kedua, molekul antibodi mengaktifkan spesifik

pertahanan, seperti fagosit, yang merusak antigen. Di antara Semua molekul antibodi, asam amino bervariasi yang membentuk antigen mengikat situs.

2.7 Mekanisme kerja sistem imun Sistem kekebalan tubuh bertindak dalam berbagai cara untuk

menghilangkan antigen. Sebagai contoh, selama infeksi virus, sel yang terinfeksi menghasilkan potongan virus antigen dan menampilkannya pada permukaannya bersama dengan molekul MHC. Ini berfungsi sebagai peringatan, mengingatkan

sel CTL atas kehadiran patogen. Sel CTL membunuh sel yang terinfeksi dan membatasi penyebaran infeksi. Sel-sel kanker juga dapat menampilkan antigen spesifik bersama dengan molekul MHC. CTLs kadang-kadang bisa mengenali antigen dan menghancurkan sel-sel tumor.

Gambar 9. Aksi sitotoksik limfosit T. Limfosit T, CTLs, (ditunjukkan warna kuning) yang menyerang sel kanker (ditampilkan warna pink). CTLs menginduksi sel kanker untuk mengkodekan secara genetis merusak diri sendiri. Vesikel merah muda atau badan apoptosis, muncul dari sel kanker menunjukkan bahwa ini bentuk kematian sel yang terjadi.

Gambar 10. Antibodi dapat membentuk jembatan antara sel-sel asing atau antigen, sehingga membentuk cluster untuk fagosit untuk menelan.

Ketika molekul antibodi menghadapi antigen selama respon kekebalan, jika antigen tersebut kecil, seperti protein beracun terlarut, antibodi dapat melapisi dengan mengikat secara langsung. Jika antigen adalah bagian dari

mikroorganisme, antibodi mengikat pada mikroorganisme. Namun, antibodidilapisi antigen lebih mudah daripada antigen yang tidak bercoated untuk makrofag untuk menelan dan menghancurkan. Karena molekul antibodi memiliki

dua situs mengikat. Makrofag dan fagosit lainnya kemudian dapat menelan antibodi-antigen dengan membentuk cluster.

Gambar 11. Ketika dua molekul antibodi mengikat ke situs yang berdekatan pada patogen (a), mereka dapat mengaktifkan faktor pertama dalam sistem komplemen (b), mengaktifkan faktor pelengkap lainnya. Faktor pelengkap diaktifkan agregat dalam membran plasma dari patogen (c), menyebabkan membran untuk istirahat (d). sebagai hasilnya patogen mati.

Selain itu, antibodi terhadap antigen terikat dapat mengaktifkan sistem komplemen, sebuah kelompok kompleks protein plasma yang dapat merusak atau menghilangkan antigen. Antigen-antibodi kompleks mengaktifkan pertama melengkapi faktor. Faktor-faktor ini pada gilirannya mengaktifkan komplemen lainnya faktor. Faktor pelengkap diaktifkan menghilangkan antigen dalam dua cara. Pertama, beberapa protein komplemen diaktifkan dan dapat menarik fagosit sangat meningkatkan fagositosis dan penghancuran antigen. Kedua, molekul komplemen diaktifkan dapat agregat dalam plasma membran dari patogen. Tindakan ini akhirnya membentuk lubang yang menyebabkan sel patogen untuk lisis. Beberapa faktor dapat menjadi pelengkap diaktifkan langsung oleh antigen. Dengan begitu antigen tertentu dihancurkan awal infeksi sebelum antibodi terbentuk. Pengaktifan faktor pelengkap juga merangsang peradangan.

2.8 Regulasi sistem imun Sebuah sistem kekebalan tubuh yang sehat tergantung pada koordinasi tubuh. Tugas ini meliputi mengaktifkan tanggapan yang diperlukan, memproduksi komponen yang diperlukan untuk respon, menghilangkan patogen, mematikan

respon yang tidak lagi diperlukan, dan mengatur respon imun banyak yang mungkin terjadi pada saat yang sama. Sistem pertahanan kompleks adalah jaringan sel-sel khusus yang terus-menerus berinteraksi satu sama lain untuk membedakan diri sendiri dan molekul asing. Sel T menentukan bahwa antigen adalah bukan dirinya dengan membandingkan antigen terikat dengan molekul MHC dengan protein sistem pengenal. Di manusia, molekul ini disebut Human Leukosit Antigens (HLA). Kecuali untuk kembar identik, masing-masing individu memiliki kombinasi unik pada protein HLA pada permukaan semua sel kecuali sel darah merah. Sel T Anda tidak bereaksi terhadap HLA. Sel T, bagaimanapun, tidak toleran terhadap protein HLA dari orang lain. Oleh karena itu, ketika dokter bedah transplantasi jaringan atau organ antara individu, CTLs penerima memulai diperantarai sel respon imun terhadap sel-sel yang ditransplantasikan. Jika dua individu kebetulan memiliki protein HLA yang sama, respon imun lemah, dan ada kesempatan baik transplantasi akan berhasil. Yang baik penerima dan donor memiliki HLA identik. Sel T penerima mengenali bersama protein sebagai diri dan tidak bereaksi terhadap mereka. Jika ada perbedaan besar antara set HLA, bagaimanapun, penerima akan menolak transplantasi. Dikasus-kasus, pasien dapat diberikan obat yang menekan reaksi kekebalan. Namun, obat-obat ini perlu diberikan dalam dosis yang tepat. Jika sistem kekebalan tubuh ditekan terlalu banyak, pasien mungkin tidak dapat membela diri terhadap infeksi.

Gambar 12. Produksi antibodi dalam sel-sel kekebalan respon spesifik. Patogen dapat mengikat ke B-permukaan sel reseptor (a), atau ditelan oleh makrofag (b), makrofag yang mencerna patogen dan menampilkan antigen bersama dengan molekul MHC pada plasma makrofag ini membran (c), Helper T sel (TH) mengikat antigen ditampilkan pada makrofag dan sel B dan menjadi aktif (d) THcells Activated dimulai. untuk menghasilkan sitokin. Beberapa sitokin merangsang mikroorganisme-terikat sel B untuk menghasilkan klon sel plasma yang identik (e), yang mengeluarkan ribuan antibodi terhadap patogen ke dalam aliran darah (f). Sitokin lain merangsang THcells untuk membagi dan menghasilkan sitokin.

Mikroorganisme, yang membawa antigen adalah alasan utama respon imun dimulai. Sebuah respon imun spesifik terhadap patogen dapat dimulai ketika reseptor pada sel B mengikat terhadap patogen atau ketika makrofag mengkonsumsi patogen dan menampilkan antigen patogen sendiri permukaan MHC protein. Dalam kedua kasus, T helper sel merespon patogen antigen dengan melepaskan sitokin yang mengaktifkan berbagai kekebalan sel. Efeknya yang paling penting adalah untuk merangsang sel B terikat patogen untuk berkembang biak, sel plasma penghasil antibodi yang melepaskan ke aliran darah. T helper sel

di pusat dari sistem ini. Mereka menghasilkan sitokin yang merangsang baik antibodi-dimediasi respon dan respon sel-dimediasi.

Gambar 14. Interaksi dalam response. Imun spesifik sentral sel Th dihubungkan mediasi-antibodi respon dengan mediasi-sel respon.

Begitu ada molekul antibodi yang cukup dan sel T untuk menghilangkan antigen, sistem kekebalan tubuh harus menutup responnya. Kontrol ini adalah dicapai dalam beberapa cara, seperti kematian limfosit diaktifkan setelah beberapa hari, produksi sitokin yang mengatur fungsi diaktifkan sel lainnya, dan ekspresi dari molekul penghambatan pada sel B dan permukaan T-sel.

2.9 Fisiologi Reaksi Hipersensitifitas Reaksi hipersensitif merujuk kepada reaksi berlebihan, tidak diinginkan (menimbulkan ketidaknyamanan dan kadang-kadang berakibat fatal) dari sistem kekebalan tubuh. Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu

keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas. Menurut Gell dan Coombs ada 4 tipe reaksi hipersensitif yaitu : 1. Reaksi hipersensitif tipe I atau reaksi anafilaktik. 2. Reaksi hipersensitif tipe II atau sitotoksik. 3. Reaksi hipersensitif tipe III atau kompleks imun. 4. Reaksi hipersensitif tipe IV atau reaksi yang diperantarai sel. Berdasarkan kecepatan reaksinya, tipe I, II dan III termasuk tipe cepat karena diperantarai oleh respon humoral (melibatkan antibodi) dan tipe IV termasuk tipe lambat. Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I. Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP) afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil.

2.10Molekul Protein MHC Gen MHC berhubungan dengan gen imunoglobulin dan gen reseptor sel T (TCR = T-cell receptors) yang tergabung dalam keluarga supergen

imunoglobulin, tetapi pada perkembangannya tidak mengalami penataan kembali gen seperti halnya gen imunoglobulin dan TCR. Daerah MHC sangat luas, sekitar 3500 kb di lengan pendek kromosom 6, meliputi regio yang mengkode MHC kelas I, II, III, dan protein lain, serta gen lain yang belum dikenal, yang mempunyai peran penting pada fungsi sistem imun.

Ekspresi gen MHC bersifat kodominan, artinya gen orang tua akan tampak ekspresinya pada anak mereka. Selain itu jelas terlihat beberapa gen yang terkait erat dengan gen MHC dan mengkode berbagai molekul MHC yang berbeda, karena itu gen MHC disebut sebagai gen multigenik. Pada populasi terlihat bahwa setiap gen tersebut mempunyai banyak macam alel sehingga MHC bersifat sangat polimorfik. Untuk memudahkan maka semua alel pada gen MHC yang berada pada satu kromosom disebut sebagai haplotip MHC. Setiap individu mempunyai dua haplotip, masing-masing satu dari ayah dan ibu yang akan terlihat ekspresinya pada individu tersebut.

2.11 Malfungsi pada sistem imun (Penyakit AIDS) HIV AIDS Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi atau sindrom yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain). Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sebuah retrovirus yang menginfeksi sel sistem kekebalan tubuh manusia terutama Sel T CD4 dan makrofag, komponen vital dari sistem sistem kekebalan tubuh "tuan rumah" dan menghancurkan atau merusak fungsi mereka. Infeksi dari HIV menyebabkan pengurangan cepat dari sistem kekebalan tubuh, yang menyebabkan kekurangan imun. HIV merupakan penyebab dasar AIDS. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benarbenar bisa disembuhkan. HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan

preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut. (Handayani, 2001) Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara. Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia. Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.

Struktur Virus HIV Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelope). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Virus HIV termasuk virus yang berkapsul, dari famili Retroviridae dan genus Lentivirus. Diameternya sekitar 100 nm dan mengandung dua salinan genom RNA yang dilapisi oleh protein nukleokapsid. Pada permukaan kapsul virus terdapat glikoprotein transmembran gp41 dan glikoprotein permukaan gp120. Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus yang sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidihkan sinar matahari dan sudah dimatikan dengan berbagai desinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi relatif resisten terhadap radiasi dan sinar ultraviolet. Di antara nukleokapsid dan kapsul virus terdapat matriks protein. Selain itu juga terdapat tiga protein spesifik untuk virus HIV, yaitu enzim reverse transkriptase (RT), protease (PR), dan integrase (IN). Enzim RT merupakan

DNA polimerase yang khas untuk retrovirus, yang mampu mengubah genom RNA menjadi salinan rantai ganda DNA yang selanjutnya diintegrasikan pada DNA sel pejamu. Retrovirus juga memiliki sejumlah gen spesifik sesuai dengan spesies virusnya, antara lain gag (fungsi struktural virus), pol (fungsi struktural dan sintesis DNA), serta env (untuk fusi kapsul virus dengan membran plasma sel pejamu). Replikasi retrovirus berbeda dengan virus RNA lainnya. Segera setelah inti virus memasuki sitoplasma sel yang terinfeksi, RNA disalin ke DNA rantai ganda dengan RT. Penyalinan dimungkinkan oleh aktivitas RNAse H dari RT, sehingga rantai RNA dapat dipecah menjadi campuran DNA(-) dan RNA(+). Baru kemudian campuran ini berubah menjadi molekul DNA rantai ganda. DNA hasil salinan akan memasuki inti sel yang terinfeksi dan menyatu dengan kromosom sel pejamu. Provirus (gen virus spesifik) juga ikut mengalami penyatuan dengan kromosom sel yang terinfeksi. Integrasi ini dimungkinkan dengan adanya sisipan rantai pengulangan yang disebut Long Terminal Repeats (LTR) pada ujung-ujung salinan genom RNA. Rantai LTR ini memuat informasi sinyal yang diperlukan untuk transkripsi provirus oleh RNA polimerase dari pejamu. Selain itu juga protein integrase berperan dalam proses ini. Setelah DNA pejamu terintegrasi dengan materi genetik virus, akan terjadi proses transkripsi yang menghasilkan satu rantai genom RNA yang utuh dan satu atau beberapa mRNA. mRNA yang dihasilkan ini mengkode protein regulator virus.

Mekanisme Infeksi HIV Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikal yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Meskipun berbagai sel dapat menjadi target dari HIV, ada dua target utama infeksi HIV yaitu sistem imunitas tubuh dan sistem saraf pusat, tetapi virion HIV cenderung menyerang limfosit T. Didalam sel lymfosit virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Jumlah limfosit T penting untuk menentukan progresivitas penyakit infeksi HIV ke AIDS. Limfosit

T menjadi sasaran utama HIV karena memiliki reseptor CD4 (sel T CD4). yang merupakan pasangan ideal bagi gp120 permukaan (surface glycoprotein 120) pada permukaan luar HIV (enveloped). Molekul CD4+ merupakan reseptor dengan afinitas tinggi terhadap HIV. Hal tersebut menjelaskan adanya kecenderungan selektif virus terhadap sel T CD4+ dan sel CD4+ lainnya, yaitu makrofag dan sel dendritik. Selain berikatan dengan sel CD4+, glikoprotein pada selubung HIV, yaitu gp120 akan berikatan dengan koreseptor pada permukaan sel untuk memfasilitasi masuknya virus ke dalam sel tersebut. Dua macam reseptor pada permukaan sel CD4+, yaitu CCR5 dan CXCR4 yang dikenal berperan dalam memfasilitasi masuknya HIV. Reseptor CCR5 banyak terdapat pada makrofag dan reseptor CXCR4 banyak terdapat pada sel T. Selubung HIV gp120 berikatan dengan gp41 akan menempel pada permukaan molekul CD4+. Pengikatan tersebut akan mengakibatkan perubahan yang menyebabkan timbulnya daerah pengenalan terhadap gp120 pada CXCR4 dan CCR5. Glikoprotein 41 akan mengalami perubahan yang mendorong masuknya sekuens peptida gp41 ke dalam membran target yang memfasilitasi fusi virus. Dengan glikoprotein gp41 transmembran (transmembrane glycoprotein 41), maka akan terjadi fusi antara permukaan luar dari HIV dengan membran limfosit T CD4+, sedangkan inti (core) HIV melanjutkan masuk sel sambil membawa enzim reverse transcriptase. Bagian inti HIV yang mengandung RNA (single stranded RNA) akan berusaha membentuk double stranded DNA dengan bantuan enzim reverse transciptase yang telah dipersiapkan tersebut, kemudian dengan bantuan DNA polimerase terbentuklah cDNA atau proviral DNA. Proses berikutnya adalah upaya masuk ke dalam inti limfosit T dengan bantuan enzim integrase, maka terjadilah rangkaian proses integrasi, transkripsi yang dilanjutkan dengan translasi protein virus, serta replikasi HIV yang berlipat ganda yang nantinya akan meninggalkan inti. Setelah mengalami modifikasi, saling kemudian berusaha keluar menembus membran limfosit (budding) dan virion baru yang terbentuk siap menginfeksi limfosit T CD4+ berikutnya. Sel yang pecah akan mati, demikian proses ini terus berlangsung sehingga jumlah limfosit T CD4+ cenderung terus menurun dan perjalanan penyakit cenderung progresif.

Setelah itu, beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita akan terlihat gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut, dimulai dengan masa induksi (window period), yaitu penderita masih tampak sehat, dan hasil pemeriksaan darah juga masih negatif, Setelah 23 bulan,perjalanan penyakit dilanjutkan dengan masa inkubasi, yaitu penderita masih tampak sehat, tetapi kalau darah penderita kebetulan diperiksa maka hasilnya sudah positif.

Gambar 14. Mekanisme penyerangan virus

Gejala-gejala Utama AIDS Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS. HIV memengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma. Seseorang yang terkena virus HIV pada awal permulaan umumnya tidak memberikan tanda dan gejala yang khas, penderita hanya mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu tergantung daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV tersebut. Setelah kondisi membaik, orang yang terkena virus HIV akan tetap sehat dalam beberapa tahun dan perlahan kekebelan tubuhnya

menurun/lemah hingga jatuh sakit karena serangan demam yang berulang. Satu

cara untuk mendapat kepastian adalah dengan menjalani Uji Antibodi HIV terutamanya jika seseorang merasa telah melakukan aktivitas yang berisiko terkena virus HIV.

Adapun tanda dan gejala yang tampak pada penderita penyakit AIDS diantaranya adalah seperti dibawah ini : a. Saluran pernafasan. Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk, nyeri dada dan demam seprti terserang infeksi virus lainnya (Pneumonia). Tidak jarang diagnosa pada stadium awal penyakit HIV AIDS diduga sebagai TBC. b. Saluran Pencernaan. Penderita penyakit AIDS menampakkan tanda dan gejala seperti hilangnya nafsu makan, mual dan muntah, kerap mengalami penyakit jamur pada rongga mulut dan kerongkongan, serta mengalami diarhea yang kronik. c. Berat badan tubuh. Penderita mengalami hal yang disebut juga wasting syndrome, yaitu kehilangan berat badan tubuh hingga 10% dibawah normal karena gangguan pada sistem protein dan energy didalam tubuh seperti yang dikenal sebagai malnutrisi termasuk juga karena gangguan absorbsi/penyerapan makanan pada sistem pencernaan yang

mengakibatkan diarhea kronik, kondisi letih dan lemah kurang bertenaga. d. Sistem Persyarafan. Terjadinya gangguan pada persyarafan central yang mengakibatkan kurang ingatan, sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering tampak kebingungan dan respon anggota gerak melambat. Pada system persyarafan ujung akan menimbulkan nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki, reflek tendon yang kurang, selalu mengalami tensi darah rendah dan Impoten. e. Sistem Integument (Jaringan kulit). Penderita mengalami serangan virus cacar air (herpes simplex) atau cacar api (herpes zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang menimbulkan rasa nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi jaringan rambut pada kulit

(Folliculities), kulit kering berbercak (kulit lapisan luar retak-retak) serta Eczema atau psoriasis. f. Saluran kemih dan reproduksi pada wanita. Penderita seringkali mengalami penyakit jamur pada vagina, hal ini sebagai tanda awal terinfeksi virus HIV. Luka pada saluran kemih, menderita penyakit syphillis dan dibandingkan Pria maka wanita lebih banyak jumlahnya yang menderita penyakit cacar. Lainnya adalah penderita AIDS wanita banyak yang mengalami peradangan rongga (tulang) pelvic dikenal sebagai istilah pelvic inflammatory disease (PID) dan mengalami masa haid yang tidak teratur (abnormal).

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Imunitas mengacu kepada respons protektif tubuh yang spesifik terhadap benda asing atau mikroorganismeyang menginvasinya. Komponen dan fungsi pada imunitas terdiri leukosit, sumsum tulang, jaringan limfoid yang terdiri dari kelenjar thymus, limfe, tonsil, lien,tonsil serta adenoid, dan jaringan serupa. Dari leukosit terdapat sel B dan sel T. sel B mencapai maturasinya pada sumsum tulang dan sel T mencapai maturasinya di kelenjar thymus. Imunitas dibagi menjadi imunitas alami dan imunitas yang didapat. Imunitas alami merupakan respons nonspesifik terhadap setiap penyerang asing tanpa mempertahankan komposisi penyerang tersebut. Mekanismenya mencakup sawar fisik, kimia, sel darah putih, respon inflamasi. Imunitas yang didapat terdiri dari respon imun yang tidak dijumpai pada saat lahir tetapi akan diperoleh kemudian dalam hidup seseorang. Biasanya terjadi setelah seseorang terjangkit penyakit atau mendapatkan imunisasi yang menghasilkan respon imun yang bersifat protektif. Terdapat 2 tipe pada imunitas yang didapat yaitu imunitas didapat aktif dan pasif. Pertahanan system imun dibagi pada respons imun fagositik, respon humoral/antibody respon, dan respon imun seluler. Disamping system pertahanan, terdapat stadium respon imun; yakni stadium pengenalan, bersirkulasi, proliferasi, respon, dan efektor. Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi system imun yaitu usia, gender, faktor-faktor psikoneuro-imunologik, kelainan organ lain, obat-obatan dan radiasi. Imunodefisiensi bisa diklasifikasikan sebagai kelainan primer/sekunder dan dapat pula berdasar komponen yang terkena pada system imun tersebut. Imunodefisiensi sekunder lebih sering dijumpai, akibat dari proses penyakit yang mendasarinya. Penyebabnya malnutrisi, stress kronik, luka bakar, uremia, DM, kelainan autoimun, AIDS. Penderita ini mengalami imunosupresi dan sering disebut hospes yang terganggu kekebalannya (immunocompromised host). Gangguan imun yang terakhir adalah hipersensitivias adalah reaksi tipe 1 yang

memerlukan kontak sebelumnya dengan antigen yang spesifik sehingga terjadi produksi antibody IgE oleh sel-sel plasma (sel T helper membantu menggalakkan reaksi ini).

DAFTAR PUSTAKA Abdul Ghaffar, Prakash Nagarkatti (2009). MHC: GENETICS AND ROLE IN TRANSPLANTATION. Microbiology and Immunology

Online.http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/mhc2000.htm. Anthony L. DeFranco, Richard M. Locksley, Miranda Robertson

(2007). Immunity: the immune response in infectious and inflammatory disease. Oxford University Press. Anonim a. 2011. HIV. (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/HIV, diakses 7 Februari 2011)

Anonim

b.

2008.

Struktur

dan

Perkembangan

HIV.

(Online),

(http://indonesiannursing.com/2008/05/struktur-dan-perkembangbiakkanhiv/, diakses 8 Februari 2011) Baratawidjaja KG. 2006. Imunologi Dasar. 7th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Baratawidjaja KG. 2009. Imunologi Dasar. 8th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Brunner, Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Edisi 8. Jakarta: EGC. Campbel. 2008. Bioloi Edisi Kedelapan Jilid 1. Erlangga: Jakarta

David S. Wilkes, William J. Burlingham. 2004. Immunobiology of organ transplantation. Springer. Dewangga, Aru. 2010. Patogenesis HIV. (Online)

http://arudewangga.blog.uns.ac.id/2010/05/29/makalah-mikrobiologipatogenesis-hiv/, diakses 6 Maret 2013

Dita.

2010.

Gejala

PEnyakit

HIV

AIDS.

(Online),

(http://www.scribd.com/doc/15083685/gejala-HIV-AIDS, diakses 6 Maret 2013)

Hanaz. 2009. Struktur Virus HIV dan Cara Kerja Terapi AntiHIV. (Online), http://hnz11.wordpress.com/2009/05/11/struktur-virus-hiv-dan-cara-kerjaterapi-anti-hiv/, diakses 7 Maret 2013

Handayani.

2001. Deplesi Sel Limfosit CD4+ pada Infeksi HIV, (Online),

(http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/06DeplesiSelLimfositCD4+padaInf eksiHIV130.pdf/06DeplesiSelLimfositCD4+padaInfeksiHIV130.html, diakses 7 Maret 2013

Merati, Parwati dan Syamsurizal Djauzi. 1999. Respos Imun Infeksi HIV. (Online), (http://www.jacinetwork.org/index.php?option=com_content&view=articl e&id=64:respons-imun-infeksi-hiv&catid=42:immunodeficiency-hiv&Itemid=68, diakses 8 Maret 2013)

Nobuaki Ishii, Mitsuro Chiba, Masahiro Iizuka, Hiroyuki Watanabe, Tomonori Ishioka, Osamu Masamune (1992). Expression of MHC class II antigens (HLA-DR, -DP, and -DQ) on human gastric epithelium. Journal of Gastroenterology 27 (1): 23-28. http://www.springerlink.com/content/116 u7825q2615448/fulltext.pdf?page=1 Pandjassarame Kangueane. 2009. Bioinformation Discovery: Data to Knowledge in Biology. Springer Price, Wilson. 2005. Pathophysiology Edisi 6. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai