Anda di halaman 1dari 19

Pendekatan diagnosis panas badan akut di klinik gawat darurat

Bachti Alisjahbana Sub-Bagian Infeksi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FKUP-RSHS

Pendahuluan
Ruangan gawat darurat adalah tempat dimana banyak keputusan medis perlu dilakukan dengan cepat. Disamping memberikan basic basic life support dan resusitasi, identifikasi masalah dan penentuan diagnosis perlu dilakukan dengan tepat agar rencana pemeriksaan dan tindakan dapat dilakukan dengan terarah. Penyakit infeksi saat ini semakin merebak dengan munculnya Avian Influenza Beigel, 2005, semakin tingginya kasus leptospirosis Levett 1999 dan banyak rumah sakit masih dibebani dengan penyakit demam berdarah dengue. Dengan kondisi ini, dokter perlu mendapatkan pengetahuan yang cukup mengenai bagaimana mengidentifikasi kemungkinan adanya penyakit yang potensial berbahaya ini. Pengambilan keputusan yang tepat dalam pemeriksaan dan pengelolaan akan menentukan prognosisnya Wu
2008

Dalam paparan akan dibahas cara pendekatan klinis pada penderita yang datang dengan keluhan utama demam. Penyakit apakah yang di perlu difikirkan? Bila demam masih baru beberapa hari apakah berbeda pendekatannya untuk penderita dengan demam lebih dari 1 minggu? Kondisi bagaimanakah yang berbahaya? Apakah pemberian antibiotika diperlukan? Pertanyaan-pertanyaan relevan karena karena jawabannya diperlukan untuk bisa menentukan langkah yang tepat.Wu 2009, Shimoni 2008 Cara pendekatan yang sederhana akan dibahas dalam paparan yang disusun berdasarkan pengalaman dan beberapa penelitian yang pernah dilakukan di sub Bagian Indeksi Ilmu Penyakit Dalam Alisjahbana 2005, Setiabudi 2002, Hartantri 2008. Sebagian pernyataan masih bersifat empiris dan memerlukan pembuktian lebih lanjut. Dengan penjelasan ini diharapkan para klinisi dapat mengikuti pola pikir dan lebih baik lagi bila dapat memberikan masukan untuk perbaikannya. Paparan ini akan menjelaskan 1. Beberapa pedoman dalam menggali anamnesis dan pemeriksaan fisik

2. Sindroma yang sering ditemukan dan deferesial diagnosisnya a. Panas badan < 5 hari, menjelaskan beberapa kemungkinan diagnosis i. Demam dengue dan demam berdarah dengue ii. Penyakit avian influenza iii. Malaria b. Panas badan (> 5 hr), menejlaskan beberapa kemungkinan diagnosis: i. Penyakit tifoid ii. Tuberkulosis iii. Penyakit leptospirosis iv. Sepsis yang tidak diketahui penyebabnya 3. Kesimpulan

Pedoman dalam anamanesis dan pemeriksaan fisik


Anamnesis
Dalam penjelasan ini akan di utarakan beberapa hal penting dalam pendekatan diagnosis penyakit infeksi khususnya dalam kasus panas badan. Pembahsan tidak akan mengutarakan secara rinci penyakit infeksi berdasarkan etiologi dengan tanda patognomonik yang banyak dipaparkan oleh teks book dan sumber informasi lainnya. Dalam situasi gawat darurat, pemeriksaan kita sering terbatas oleh waktu dan kesibukan. Walaupun demikian kita harus tetap yakin bahwa pengungkapan gejala yang detail secara anamnesis adalah langkah pertama yang terpenting bagi seorang dokter. Jadi tetap harus dilakukan dengan seksama, efisien, dan harus mendapatkan informasi yang terpenting dengan singkat Marco 1995, Wu 2008. Prinsip anamnesis yang umum tidak boleh dilupakan dalam menggali informasi sekalipun dalam waktu yang terbatas. Pertama gunakan open question. Berikan kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan keluhan utama dan keluhan-keluhan lain yang dirasakan secara aktif. Pendekatan ini sangat penting untuk dilakukan diawal karena ini bisa mencegah kita terjebak dalam pola pikiran kita sendiri yang langsung mengarah pada penyakit TERTENTU yang mungkin SALAH. Untuk memperjelas waktu onset yang kurang jelas dari pasien kadang-kadang diperlukan suatu pertanyaan khusus seperti kapan terakhir merasakan fit dan sehat?. Dilanjutkan dengankapan mulai merasakan sakit? dan lalu apa yang anda rasakan?. kemudian selanjutnya sesuai dengan tata cara anamnesis yang umum dan baik. Pada penyakit infeksi gejala yang tersering dinyatakan adalah demam.Untuk ini perlu di lanjutkan dengan informasi seputar kapan mulainya, berapa lama, bagaimana peningkatan suhunya apakah perlan-lahan seperti anak tangga ataukan mendadak dalam 1 hari sudah tinggi. Gejala penyerta tersering yang bisa memberikan kita kunci pada penyebabnya adalah nyeri. Nyeri ditempat tertentu seperti abdomen harus mengarahkan kita pada kausanya disana, apakah itu ileitis, peritonitis atau abses. Nyeri di kepala harus membuat perhatian kita terpusat pada kemungkinan radang di otak. Sampai terbukti bahwa itu hanya suatu nyeri sampingan panyakit yang lain.

Tabel 1 . Perbandingan etiologi penyakit berdasarkan karakter panas

Viral (dengue / Influenza) Mulai panas Tipe Mendadak tinggi Terus menerus panas (kontinua) Lama panas

Bacterial (typhoid / leptospirosis) Bertahap Remiten. Bisa naik turun, malam lebih panas.

TBC / atau penyakit kronis lain Bertahap, Tidak jelass Remiten, intermiten

Biasanya sebentar < Lama > 5 hari 5 hari

Lama > 5 hari atau tidak jelas

Gejala yang berhubungan dengnan gangguan tanda vital seperti penurunan kesadaran dan sesak nafas penting untuk diungkapkan pada saat awal. Kemudian informasi penunjang lain yang melengkapi ini seperti kualitas dan kuantitas keluhan. Faktor apa yang memperberat dan meringankannya perlu ditanyakan untuk memperdalam perngertian kita. Faktor lain seperti riwayat bepergian atau terpapar di daerah dengan tingkat penularan yang tinggi untuk suatu penyakit tertentu bisa membantu terutama untuk Malaria dan Leptospirosis. Namun untuk penyakit infeksi lain umunya tidak banyak membantu. Riwayat penyakit kronis perlu untuk diungkap karena penyakit kronis tertentu memberikan predisposisi untuk terjadina penyakit infeksi yang khas. Sering ditemui bagian Penyakit Dalam RSHS adalah penyakit penyerta DM, HIV-AIDS, penyakit hematologi dan keganasan. Riwayat berobat ke dokter dan obat-obat yang dimakan sebaiknya di tanyakan di akhir. Informasi ini penting tetapi bisa juga mengecohkan pemeriksa pada suatu penyakit tertentu yang belum tentu benar. Dokter sebelumnya mungkin saja menduga penyakit TBC dan memberikan obat anti TBC yang memberikan gejala kencing berwarna merah. Namun penyakitnya sebenarnya masih musti dipastikan oleh kita.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik mengungkap informasi obyektif dari penderita jadi harusnya tidak dipengaruhi oleh persepsi pasien maupun pemeriksa..Namun tidak jarang pemeriksaan ini

terpengaruh oleh subyektifitas bila ia dilakukan dengan seksama. Harus di akui bahwa beberapa jenis tindakan pemeriksaan fisik keakuratannya tergantung pada tingkat kecurigaan, jam terbang dan pengalaman dari si pemeriksa. Dalam paparan ini diungkapkan beberapa pemeriksaan fisik umum yang paling penting untuk diungkap dalam mendiagnosis penyebab panas badan di ruang gawat darurat tetapi cukup mudah untuk diperoleh. Pada pengelolaan pasien yang panas badan, pemeriksaan tanda vital merupakan hal pertama dan terpenting. Kesadaran, keadaan umum, kondisi berat ringan penyakit mengungkapkan banyak hal mengenai kondisi fisik pasien. Kesadaran yang menurun baik itu apatis, somnolen atau delirium menunjukkan adanya suatu konidisi sistemik yang berat seperti sepsis, tifoid toksik, gangguan elektrolit, difusi gas atau gangguan pada susunan saraf pusat Hoffner 2000, Ingarfield 2007. Oleh karena itu keadaan ini berbahaya sekali dan menjadikan prioritas perhatian. Perabaan nadi mengungkapkan frekuensi denyut jantung, isi dan volume denyut. Dari semua tanda ini, frekuensi adalah yang paling obyektif untuk diungkapkan. Isi dan volume lebih dipengaruhi oleh pengalaman operatior. Pemeriksaan nadi ini menunjukkan kondisi hemodinamika penderita. Nadi yang terlalu cepat hingga lebih 90 kali per menit bisa menunjukkan keadaan yang serius. Perlu ditentukan apakah peningkatan nadi ini adalah suatu reaksi dari panas badan, keadaan syok, kelainan di jantung (miokarditis) atau paru-paru. Nadi yang terlalu lambat < 60 kali permenit juga musti membuat kita waspada akan kemungkinan adanya miokarditis. Tekanan darah selanjutnya adalah pemeriksaan yang bisa memastikan apakah kondisi hemodinamika stabil sesuai dengan dugaan kita pada saat memeriksa nadi. Suhu tubuh penting untuk diperhatikan. Perlu diingat bahwa pengukuran suhu melalui ketiak adalah yang paling tidak akurat. Kesalahan terjadi karena kontak antara kulit dan termometer yang tidak selalu konsisten. Pasien yang banyak keringat mungkin memberikan hasil pengukuran suhu ketiak rendah karena penguapan. Pengukuran intra oral (dibawah lidah) lebih baik, tetapi yang terbaik adalah pengukuran anal. Alat yang digunakan penting diperhatikan. Termometer air raksa / alkohol sangat murah namun harus memperhatikan lamanya kontak dengan tubuh. Di kondisi yang serba terbatas, termometer ini adalah yang paling mudah pemeliharaannya. Karena untuk penggunaan di mukosa atau anal hanya perlu dicuci dengan antiseptik. Untuk penggunaan termometer digital di mulut atau anal perlu menggunakan pembungkus plastik khusus yang sekali pakai. Pengukuran

suhu membrana timpani dengan termometer digital mudah dan cepat. Tetapi hasilnya sering terpengaruh oleh arah tembakan, tarikan pada telinga dan kebersihan di dalam telinga Penggunaan alat ini mesti dilakukan dengan hati-hati Hooker 1996.

Penyakit tersering pada penderita dengan febris < 5 hari


Panas badan akut selamakurang dari 5 hari adalah kasus yang terbanyak ditemukan di unit gawat darurat. Banyak penyakit bisa memberikan gejala demikian namun sebagian besar bersifat self limiting dan tidak berbahaya. Misalnya common cold, bisa disebabkan oleh virus influenza dan berbagai virus lain namun umumnya ringan dan hanya memberikan panas badan dalam waktu 2 hari. Dua penyakit yang paling perlu diperhatikan dalam kelompok ini adalah demam berdarah dengue dan influenza (khususnya avian influenza).

Dengue
Demam Dengue adalah penyakit yang paling banyak menyebabkan penderitanya memerlukan perawatan di rumah sakit Lee 2008. Sebenarnya sebagian besar penderita yang masuk rumah sakit dengan dengue tidak berat dan belum tentu memerlukan perawatan di rumah sakit Setiabudi 2002. Tapi untuk bisa mengelola dirumah kita masih belum mampu karena belum bisa menilai tanda vital dan melakukan hematologi rutin di pusat kesehatan yang dekat. Tabel 2. Perbandingan gejala dan tanda penyakit dengan panas badan kurang dari 5 hari berdasarkan penyebab
Pemeriksaan Panas badan Pilek batuk Sakit tenggorokan Sesak nafas Perdarahan yang mungkin terjadi Keadaan umum berat Penurunan kesadaran Dengue Mulainya mendadak Tidak ada Tidak ada Tidak ada Gusi, mimisan, menstruasi, gastrointestinal, petechiae Berhubungan dengan syok Bila syok Avian Influenza Mulai mendadak Ada Ada Bila ada, timbul dalam 7 hari pertama sakit Dahak berdarah bila berat Berhubungan dengan respiratory failure Bila hipoksemia Malaria Mulai mendadak Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Berhubungan dengan parasitemia, lamanya sakit, dan neglection Bila serebral malaria

Nadi

Cepat menunjukkan syok atau panas badan Normal Bisa ada rash, torniket test bisa positif Peninggian menunjukkan hemokonsentrasi Rendah dengan kurve penurunan tajam

Cepat berhubungan dengan panas badan atau sesak nafas Ronkhi bila paru-paru terkena Tidak ada Tidak ada fluktuasi karena hemokonsentrasi, mungkin sedikit dehidrasi Rendah, tanpa kurve penurunan tajam

Pemeriksaan fisik dada Kelainan kulit Hb, Ht Trombosit

Cepat berhubungan berhubungan dengan panas badan atau anemia Normal Tidak ada Bisa anemia Rendah, tanpa kurve penurunan tajam

Pada hari pertama dan kedua, penyakit ini sulit dibedakan dengan penyakit lain seperti common cold atau influenza. Demam naik mendadak tinggi pada malam hari setelah penderita kerja pagi sebelumnya. Hal ini sama juga pada penderita infeksi virus yang umum. Tetapi pada penderita dengue berbeda dalam hal bahwa meraka tidak merasakan adanya gejala infeksi saluran pernafasan atas seperti sakit tenggorokan, pilek atau batuk yang sering di jumpai pada virus penyebab infeksi saluran pernafasan atas. Setiabuti 2002, Lee 2008 Sepanjang penderita sakit, keluhan ISPA ini tidak muncul. Kadang-kadang penderita penyakit dengue batuk tetapi biasanya tidak di awal, pada hari ke 4 sampai ke 6, dan sembuh sendiri pada saat peningkatan jumlah trombosit yang progresif. Disamping perbedaan yang sebenarnya juga tidak patognomonik ini, penderita dengue lebih sering menunjukkan rash di muka dan di lengan pada saat awal penyakit. Kelainan perdarahan seperti mimisan, perdarahan gusi hanya ditemukan pada sebagian kecil penderita dengue yang lebih berat. Pemeriksaan nadi dan adanya syok penting untuk diperhatikan pada penderita ini Setiabuti 2002. Anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak sensitif untuk bisa menunjukkan kondisi yang berat. Pemeriksaan torniquete test (Rumpel Leede) mempunyai nilai diagnostik yang rendah
Benardi 2000

. Pemeriksaan penunjang hematologi (Hb, Ht, L, Trombo) secara rutin diperlukan

untuk menunjukkan apakah ada benar penyakit dengue dan apakah disertai dengan adanya plasma leakage. Pada kondisi yang ringan dan sedang tanpa perdarahan, hanya diperlukan pemeriksaan hematologi ini tiap 24 jam. Bila ada plasma lekage, perdarahan dan pemeriksa sedang menngetest efek pemberian cairan, pemeriksaan dapat lebih sering hingga tiap 12 jam. Adanya Efusi pleura yang dibuktikan dengan USG bisa menunjukkan adanya plasma leakage lebih cepat dan sensitif daripada peninggian hematokrit atau hemoglobin. Thulkar 2000

Influenza dan Avian Influenza


Influenza atau avian influenza sering menyebabkan panas badan yang akut. Shimoni 2008 Sesuai dengan patofisiologinya, avian influenza sering mengakibatkan radang sistemis disertai namun lebih terlokalisir di saluran dan sistem pernafasan. Karena itu disamping demamn, gejala batuk dan progresif kearah gejala sesak nafas yang cepat dalam waktu kurang dari 5 hari. Giriputro 2008, Tran 2004 Berbeda dengan misalnya pneumonia dan TBC yang membuat gejala infeksi di paru-paru dalam waktu lebih lama dalam hitungan diatas 1 minggu. Penyakit ISPA yang dilanjutkan dengan infeksi sekunder pneumonia sekarang lebih jarang ditemukan. Mungkin karena penggunaan antibiotika yang banyak di pusat kesehatan primer.
Kunin 2002

Penderita pneumonia yang datang ke RSHS umumnya dengan komplikasi lain

penyakit diabetes, HIV-AIDS, penyakit paru-paru kronis dengan usia lanjut.

Malaria
Penyakit malaria dimasukan kedalam klasifikasi penderita dengan panas badan kurang dari 5 hari karena panas badan pada penyakit malaria biasanya timbul mendadak. Memang panas badan bisa timbul berulang-ulang sampai lebih dari 1 bulan bahkan rekuren sampai bertahun-tahun. Namun semestinya dengan teknologi kesehatan yang berlaku sekarang, penyakit malaria harus bisa didiagnosis dalam waktu 2 hari dan segera mendapatkan pengobatan yang adekuat. Ratnawati 2008 Perbedaan gejala malaria dengan dengue ataupun Influenza juga tidak jelas pada hari pertama dan kedua penyakit. Penyakit malaria lebih meyerupai dengue, dimana hanya ada panas badan yang mendadak tinggi, disertai menggigil dan tanpa gejala ISPA. Pribadi 1998, Tjitra 2001 Pebedaan pola panasnya hanya pada adanya fluktuasi harian yang jelas pada malaria dan kurang jelas pada dengue. Pada malaria lebih sering ditemukan gejala menggigil dan berkeringat pada malam hari. Riwayat tinggal atau bepergian ke daerah endemis sangat membantu, apakah itu ke pedalaman Sumatera, Kalimantan, Papua atau ke Selatan Pulau Jawa. Dengan peningkatan jumlah pasien malaria di Sukabumi dan Tasikmalaya, kita harus selalu waspada bahwa malaria kemungkinan timbul kembali di daerah yang saat ini sudah tidak endemis.

Pemeriksaan penunjang darah tepi akan sangat membantu. Penyakit Malaria adalah satu-satunya penyakit akut yang saat ini tidak diperkenankan mendapatkan anti mikroba secara empiris. Dengan adanya fasilitas diagnosis mikroskopis dan alat uji cepat (rapid test). Maka pengobatan efefktif dengan obat kombinasi berbasis Artemisinin tidak boleh diberikan bila malaria tidak dibuktikan positif dengan pemeriksaan penunjang. Kusriastuti 2007 Untuk mendiagnosis malaria harus digunakan pemeriksaan apusan darah tebal dan bukan apusan darah tipis. Karena apusan darah tabal mempunyai sensitivitas yang jauh lebih tinggi. Bila kapasitas mikroskopis diragukan harus digunakan alat uji cepat (rapad test) berbasis imunokromatografi Ratnawati 2008, .

Pemeriksaan penunjang untuk membedakan ketiga penyakit ini

Untuk membantu memdiagnosis ketiga penyakit ini bisa dilakukan pemeriksaan penunjang: Hematologi rutin (hb, ht, trombosis, leukosit). Sebaiknya dilakukan serial setiap hari sampai diperoleh gambaran fluktuasi menurun atau meningkat atau diuakini tidak ada fluktuasi seperti dengue. Diff count lekosit, dilakukan paling sedikit di awal untuk melihat kecenderungan kearah limfositosis atau dominasi dari granulosit. Limfositosis Madang bisa menunjukkan adanya infeksi viral sedangkan granulosit meninjukkan adanya infeksi bacterial. Darah apus tebal perlu di lakukan bila ada kecurigaan pada penyakit malaria. Pemeriksaan ini bisa digabung dengan pemeriksaan apus tipis untuk mendeteksi maorfologi parasitnya bila ada. Pemeriksaan untuk mendeteksi antigen sudah ada tersedia untuk dengue NS1 dan malaria. Pemeriksaan ini bisa dilakukan segera dan memberikan hasil yang cepat bahkan sejak hari pertama penderita panas,. Pemeriksaan mendeteksi antibodi, seperti deteksi IgG dan IgM untuk dengue bisa dilakukan Namur sebaiknya diatas hari ke 5 sakit. Bila hasil negatif hal ini belum bisa menyingkirkan karena IgM biasa baru meningkat pada hari ke 5. Untuk meninyingkirkan diagnosis dan memastikannya diperlukan pemeriksaan ulang pada saat pulang. Toraks foto bila ada gejala penyakit yang melibatkan paru-paru

USG toraks dan abdomen perlu dilakukan untuk melihat efusi atau asites pada penderita yang dicurigai demam dengue. Pemeriksaan ini lebih sensitif daripada pemeriksaan hematokrit untuk mendeteksi plasma leakage.

Penyakit pada penderita dengan febris > 5 hari


Bila menghadapi penderita dengan panas badan yang lebih lama dari 5 hari, penyakit yang paling sering didiagnosis di Ilmu Penyakit Dalam RSHS adalah typhoid, leptospirosis, tuberkulosis dan penyakit infeksi bakterial lain. Klasifikasi ini dapat digunakan untuk memudahkan mengidentifikasi kasus apa yang dihadapi dan menentukan pemeriksaan lanjutan yang diperlukan. Tabel 3. Perbandingan gejala dan tanda penyerta panas badan lebih dari 5 hari antara penyebab
Pemeriksaan Panas badan Usia /sex penderita Tifoid Mulai bertahap, kontinua Tidak khas Leptospirosis Mulai bertahap, kontinua Umumnya laki-laki, usia produktif Nyeri otot, riwayat bekerja di air kotor Kondisi sepsis, kelainan organ ginjal dan otak Meningitis (dan kelainan diatas) Karena sepsis atau syok Ikterik, conjunctival sufusion, nyeri tekan gastroknemius Tanda pneumonitis Normal Lekositosis Tuberkulosis extra paru Mulai tidak jelas tidak terlalu tinggi Tidak khas Infeksi di tempat lain Mulai bertahap, kontinua Diatas usia produktif dengan riwayat penyakit kronis Sesuai lokasi infeksi Berhubungan dengan keikutsertaan organ-organ utama e.c. Sepsis Karena sepsis atau syok Sesuai lokasi infeksi.

Anamnesis khusus

Keadaan umum berat Penurunan kesadaran Nadi cepat Pemeriksan fisik khusus

Tidak ada yang khas. Bisa ada gejala gastrointestinal Berhubungan dengan Sepsis (toksik) e.c. Sepsis (toksik) Karena sepsis atau syok Nyeri tekan ileo caecal

Riwayat sakit paruparu, batuk, atau sesuai lokasi infeksi Berhubungan dengan hipoksemia, adrenal insufisiensi e.c. Meningitis Karena anemia, atau hipoksemia Sesuai lokasi infeksi (SSP, paru, pleura, peritoneum, KGB dll). TB milier tidak ada gejala khas Banyak kelaianan bila ada TB paru Anemia Bervariasi

Pemeriksaan fisik dada Hb Leuko

Kebanyakan normal Normal Leukopenia

Bervariasi Bervariasi Bervariasi

Tifoid
Penderita typhoid saat ini lebih jarang ditemukan. Mungkin karena penggunaan antibiotika di level primer lebih banyak Kunin 2002. Dengan demikian penderita yang masuk Rumah Sakit kebanyakan tidak khas seperti pada tahun 1990an Nelwan 2006. Walaupun demikian tifoid tetap endemis dan harus diwaspadai khususnya di Bandung dimana jajanan adalah komoditas yang penting. Penderita tifoid merupakan model yang khas untuk suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh gram negatif. Gejala yang sama juga sering di temukan dengan infeksi kuman Shigela, dan E.Coli. van den Bergh 1999 Tidak ada gejala ptognomonik pada penderita Typhoid yang ringan dan sedang. Demam muncul bertahap dan akhirnya menetap. Awalnya penderita merasa tidak enak badan namun lama-kelamaan menajdi panas badan yang berat. Penderita typhoid cepat masuk kedalam kondisi apatis karena pelepasan dari endotoxin yang cepat, walaupun bakteremia belum terjadi van den Bergh 1999. Hal ini yang membedakan misalnya dengan penderita tuberkulosis yang sadar penuh walaupun sudah sakit dan mengalami panas badan lebih beberapa minggu. Perbedaan penyakit Tifoid dengan leptospirosis pada fase awal adalah adanya leukopenia. Leptospirosis umumnya disertai dengan lekosistosis Fresh 1971. Tuberkulosis bisa dibedakan dengan tifoid bila ada gejala yang khas seperti batuk lama, berdahak atau hemoptisis. Tuberkulosis ekstrapulmonal biasanya memberikan gejala yang khas sesuai lokasi infeksi. Tuberkulosis milier adalah satu-satunya yang sulit dibedakan dengan tifoid, baik dari sisi gejala maupun tanda. Bahkan penyakit yang sudah berkembang disertai dengan meningitis TB, sering di salah diagnosis sebagai tifoid toksik. Untuk ini makan pada setiap diagnosis tifoid diperlukan pemikiran kearah TB milier, karena itu toraks foto di haruskan pada keadaan ini .

Leptospirosis
Saat ini penyakit leptospirosis lebih sering ditemukan di Bandung. Kira-kira 5 sampai 15 kasus dalam 1 tahun datang di unit gawat darurat RS dr Hasan Sadikin. Hartantri 2008 Umunnya penderita datang sudah dengan panas badan lebih dari 1 minggu dengan kondisi

ikterik. Beberapa penderita ditemukan dengan kegagalan ginjal dan dialisis diperlukan. Namun penyakit yang terberat adalah kalau penderita sudah menunjukkan adanya respiratory failure karena pneumonitis Levett 2001. Leptospirosis menyebabkan gejala penyakit yang bervariasi dari ringan sampai berat. Penderita mungkin saja datang dalam kondisi yang ringan hanya demam biasa dan kita curigai sebagai demam berdarah atau tifoid yang ringan. Penyakit Leptospirosis berbeda dengan tifoid dalam beberapa hal. Dari gejala, leptsospirosis jarang menunjukkan gejala gastrointestinal. Nyeri otot dan ikterus lebih sering ditemukan pada leptospirosis. Levett 2001 Dari pemeriksaan penunjang, hal yang paling nyata adalah lekositosis yang sangat bertolak belakang dengan tifoid yang sering leukopenia. Karena itu pemeriksaan ini penting untuk bisa dilakukan 24 jam di ruang gawat darurat suatu rumah sakit rujukan. Dibandingkan dengan tuberkulosis, perbedaannya cukup jelas. Tuberkulosis umumnya menunjukkan gejala yang sangat lokal spesifik. Bila infeksi menyerang otak maka penurunan kesadaran yang dominan tanpa disertai gangguan organ lain. Bila menyerang peritoneum maka keluhan abdomen dominan tanpa disertai gangguan ginjal maupun hati. Pada leptospirosis, gangguan organ cepat terjadi walaupun pada minggu pertama sakit levett 2001

Tuberkulosis
Karena tingginya kejadian tuberkulosis (TB) di Indonesia dan semakin tingginya penderita yang HIV positif dirawat di rumah sakit. Deferensial diagnosis ini harus selalu difikirkan pada semua penderita dengan panas badan. Terutama penderita dengan panas badan lama lebih dari 2 minggu. Di rumah sakit, terutama rumah sakit rujukan, tidak jarang ditemukan penderita TB tanpa dengan gejala khas paru atau organ yang terkena. Penderita hanya mempunyai keluhan panas badan. Bila informasi anamnesis dan pemeriksaan fisik yang diperoleh tidak jelas kearah tifoid, leptospirosis atau malaria, maka tuberkulosis harus menjadi pemikiran kita. Hal ini penting di singkirkan sebelum memikirkan penyebab lain yang lebih kompleks seperti infeksi tersembunyi, autoimun atau keganasan. Perbedaan utama dari tuberkulosis dan tifoid adalah kondisi apatis yang lebih sering ditunjukkan oleh penderita Tifoid. Karena toxemia atau penyebaran endotoxin, maka penderita tifoid lebih cepat terlihat berat walaupun hanya panas badan selama 2 minggu. van den

Bergh 1999

Penderita TB tanpa meningitis bisa panas badan dan bergejala berminggu-minggu

tetapi tetap sadar. Tuberkulosis milier sulit dibedakan dengan tifoid toksik karena menunjukkan gejala panas badan dan penurunan kesadaran yang sama. Kadangkala penderita ini diberikan kortiksteroid dosis tinggi, namun kemudian mengalami perburukan kesadaran dan masuk kedalam kondisi meningitis TB yang berat. Leptospirosis jarang mengecohkan kita sebagai tuberkulosis atau sebaliknya. Karena penyakit leptospirosis jelas menyerang multi organ sekaligus, dengan demam yang berat dan akut. Sedangkan tuberkulosis umumunya lebih menunjukkan gejaka lokal dengan demam yang ringan.

Sepsis oleh berbagai sebab


Selain penyakit-penyakit khusus yang sering ditemui seperti diatas, ada sebagian penderita yang datang dengan panas badan disertai gejala dan tanda sepsis yang berat. Biasa penderita datang sudah tidak sadar, panas badan tinggi, takikardia dan takipnea. Keluarga biasanya menyatakan penderita tidak bisa makan atau minum selama lebih dari beberapa hari. Anamnesis dan pemeriksaan fisik awal harus meyakinkan kondisi yang berat dan mengancam jiwa. Kemudian baru kita menentukan apa sumber infeksi yang menyebabkannya. Karena gejala dan tanda lokal sangat sumir, maka tidak jarang sumber infeksi terletak di tempat yang tidak kasat mata seperti, abdomen, rongga pelvis, ginjal, hati atau sistemik. Calhoun 1995, Nelwan 2008 Bila pertanyaan terbuka tidak bisa mendapatkan keluhan tambahan yang memandu, maka anamnesis berdasarkan sistem perlu kita lakukan. Tanyakan dan periksa kemungkinan adanya kelainan sebelumnya pada sistem saraf pusat, mulut leher, dada, abdomen termasuk semua organ di abdomen, juga ke ekstremitas dan sendi. Bila tidak ada juga tanda diperoleh, maka sepsis e.c. penyebab yang tidak diketahui kita nyatakan dengan tetap mencantumkan beberapa sumber infeksi yang dicurigai dengan defensial diagnosis yang masih belum bisa disingkirkan. Dalam pemeriksaan selanjutnya pemeriksaan penunjang kita lakukan sesuai dengan diagnosis, lokasi penyebab yang dicurigai dan deferensial diagnosis. Tidak jarang diagnosis hanya bisa diperoleh setelah 1 minggu setelah penderita dirawat. Namun dengan lengkapnya catatan diagnosis dan deferensial diagnosis, semua penyebab sudah difikirkan termasuk terapinya sudah diberikan. Beberapa penyebab infeksi yang tidak nyata ini sering berlokasi di

abdomen. Di penyakit Dalam RSHS, cukup sering ditemukan abses intra hepar karena amuba. Hal ini cukup khas karena penderita biasa ikterik dengan adanya pembesaran hepar dengan efusi pleura kanan. Ada beberapa kasus khusus pernah ditemukan yaitu abses intraabdomenNelwan 2008, radang rongga panggul Calhoun 1995, fraktur symphisis pubis yang berkomplikasi dan penyakit infeksi sistemik seperti histoplasmosis. Tidak jarang kondisi sepsis di sebabkan oleh penyakit yang non infeksius seperti akut gout dan keganasan darah seperti limphoma malignum. Peradangan bakterial intraabdomen seperti yang dicontohkan diatas hampir selalu dibarengi dengan adanya leukosistosis pada pemeriksaan darah rutin. Lekositosis adalah penanda yang baik untuk menentukan adanya infeksi bakterial, dan ia juga bisa digunakan untuk monitoring efek dari antimikroba. Keadaan lekositosis yang tinggi dan tidak dapat tertasi berhubungan dengan kondisi yang berbahaya. Lawrence 2007 Penyebab Hantavirus pernah masuk dalam pertimbangan untuk deferensial diagnosis di Bagian penyakit, karena pada kasus-kasus sepsis yang lanjut ini sering disertai dengan gangguan fungsi ginjal menyerupai kondisi Hemorhagic Fever with Renal Syndrome. Leukositosis juga bisa terjadi pada kasuskasus demikian. Namun penelitian tahun 2006 tidak berhasil membuktikan adanya hanta virus pada kasus-lasus tersebut. Satu kasus yang terbukti hanta virus justru menunjukkan gejala klinis yang ringan seperti demam berdarh dengue Alisjahbana 2004.

Pengelolaan umum dan pemeriksaan penderita dengan febris > 5 hari


Kecuali untuk penyebab tuberkulosis, pada umumnya dalam menghadapi penderita dengan penyakit yang dibicarakan diatas, antibiotika harus segera diberikan untuk mencegah komplikasi berat dari infeksi bakterial. Karena itu pemeriksaan penunjang awal perlu dilakukan sebelum antibiotika diberikan. Pemeriksaan yang umumnya perlu dilakukan saat penderita di unit gawat darurat adalah: Hematologi rutin; hb, ht, trombosis, leukosit dengan hitung jenis. Pemeriksaan ini perlu diulang setelah beberapa hari untuk menentukan efek dari terapi antibiotika yang diberikan.

Bila diduga penyebabnya adalah bakteri yang bisa di biakan (gram positif atau negatif) dan bukan leptospira atau TB, maka pengambilan kultur builion dianjurkan untuk segera diambil sebelum antibiotika diberikan.

Bila ada spesimen yang dicurigai seperti pus dari abses, sputum, harus dilakukan pemeriksaan langsung gram, Ziehl Neelsen, dan kultur dari spesimen ini. Pengambilan sputum untuk pemeriksaan Ziehl Neelsen bisa dikumpulkan selama 1 malam (3 hari beruturut-turut) untuk mendapatkan jumlah dan kualitas yangbaik tanpa kekhawatiran kontaminasi Alisjahbana 2005.

Toraks foto selalu perlu diperiksa untuk mendeteksi adanya tuberkulosis paru atau milier atau melihat adanya komplikasi penyakit berat ke paru-paru. Pemeriksaan urin rutin bisa cepat menunjukkan bila ada kelainan infeksi di ginjal dan saluran kemih. Pemeriksaan feses diperlukan pada pemeriksaan untuk pemeriksaan antigen tifoid dan kultur tifoid dari feses. Bila disertai gangguan gastro intestinal, pemeriksaan ini juga akan cepat menunjukkan bila ada fokus infeksi di usus.

Bila malaria masih belum bisa disingkirkan, pemeriksaan darah apus tebal atau alat uji malaria perlu dilakukan karena sangat mudah dan memberikan penyingkiran yang cepat. Pemeriksaan yang berhubungan dengan komplikasi pada organ lain perlu dilakukan bila memungkinkan. Hal ini antara lain adalah untuk menentukan gangguan fungsi ginjal, hati, gangguan elektrolit dan gas darah.

Bila dimungkinkan, pemeriksaan USG untuk melihat kelainan di rongga dada (efusi) atau abdomen akan sangat membantu upaya diagnosis di ruangan gawat darurat. Pemeriksaan LED dan CRP (kuantitatif) bisa diperiksa bukan untuk mendiagnosis etioloti tetapi untuk menentukan apakah benar infeksi yang kita hadapi dan apakah sudah berlangsung lama atau masih baru. Pemeriksaan ini kemudian bermanfaat untuk monitoring hasil terapi bila diputuskan untuk diberikan terapi eksjuvantibus.

Pemeriksaan PCR dan antigen untuk mendeteksi patogen saat ini sudah tersedia untuk penyakit tifoid dan leptospirosis. Pemeriksaan ini dapat dilakukan segera di emergensi dan memberikan kepastian dengan cepat. Hasil yang negatif belum bisa menyngkirkan diagnosis karena sensitifitas yang rendah dari pemeriksaan-pemeriksaan ini.

Pemeriksaan mendeteksi antibodi, seperti deteksi IgG dan IgM anti tifoid atau leptospira bisa dilakukan juga sebaiknya diatas hari ke 5 sakit. Bila hasil negatif hal ini belum bisa menyingkirkan karena IgM biasa baru meningkat pada hari ke 5. Untuk melihat peningkatan titer pemeriksaan ini perlu diulang pada saat pulang.

Kesimpulan
Pengelolaan demam akut di ruang gawat darurat membutuhkan pemeriksaan dan pemikiran yang seksama agar diperoleh diagnosis kerja yang baik. Walaupun waktu dan sarana terbatas, anamnesis tetap merupakan kunci utama dan harus dilakukan dengan seksama, sistematis dan cepat. Pemeriksaan fisik bisa membantu memperjelas tingkat berat ringan penyakitnya dan menunjukkan tanda yang lebih meyakinkan. Diagnosis kerja harus didasari atas gambaran penyakit yang lengkap dan bisa menjelaskan dasar etio-patofisiologi yang terjadi. Bila diagnosis kerja salah satu penyakit yang tersering tidak bisa di putuskan, maka keputusan yang diambil harus memberikan kemungkinan terbaik untuk bisa mengatasi semua penyakit yang mungkin dan memberikan kerugian sekecil mungkin pada penderita. Panas badan yang akut kurang dari 5 hari dan timbul mendadak biasanya tidak disebabkan oleh infeksi bakterial. Namun penyebab yang juga tidak kalah berbahaya adalah dengue dan avian influenza. Selain ini masih banyak virus lain yang bisa mengakibatkan panas badan akut, namur umumnya tidak berbahaya dan self limitng. Penyakit infeksi bakterial sistemik pada beberapa hari pertama biasanya masih tidak spesifik dan masih dalam kondisi yang ringan sehingga pemberian antibitica tidak selalu dibutuhkan segera. Pemberian antibitika yang terlalu cepat dapat nemberikan efek masking sehingga mengurangi kejelasan gejala yang timbul. Adanya lekositosis apalagi dengan meningkatnya persentasi polimorfonuklear dalam 5 hari pertama sakit bisa digunakan untuk keputusan penggunaan antibitica. Dengan berjalannya penyakit melalui hari ke 5, semakin jelas perkembangan infeksi bakerial seperti tifoid, leptospirosis atau infeksi bakterial lain sebagai infeksi sekunder dari penyakit viral di saat sebelumnya. Di saat ini kita bisa menyingkirkan demam berdarah dan influenza karena waktu sekitar 5 hari cukup untuk menunjukkan gejala dan tanda yang mengarah ke penyakit ini. Karena itu investigasi dan pemeriksaan penunjang perlu diarahkan

pada infeksi bakterial. Terlepas dari klasifikasi ini, penyakit tuberkulosis dan malaria merupakan dua penyakit dengan endemisitas yang cukup tinggi. Gejalanya bisa menyerupai apapun yang dijelaskan diatas. Oleh karena itu kecurigaan terhadap kedua penyakit ini harus selalu ada dan di jadikan pertimbangan dalam pengelolaan.

Kepustakaan
Alisjahbana, B., R. van Crevel, et al. (2005). "Better patient instruction for sputum sampling can improve microscopic tuberculosis diagnosis." Int J Tuberc Lung Dis 9(7): 814-7. Alisjahbana B, Wisaksana R, Kosasih H, Beckett C, Jusuf H (2004). Hantavirus study in Hasan Sadikin Hospital Bandung, Presentation at the Congress of the American Society of Tropical Medicine and Hygiene, Washington. Beigel, J. H., J. Farrar, et al. (2005). "Avian influenza A (H5N1) infection in humans." N Engl J Med 353(13): 1374-85. Benardi B, Alisjahbana B, Rudiman I, Sudjana P, Jusuf H(2000) Value of the torniquete test in adult to detect dengue fever. Presentation at National PETRI Congress, Malang. Calhoun, B. C. and B. Brost (1995). "Emergency management of sudden puerperal fever." Obstet Gynecol Clin North Am 22(2): 357-67. Setiabudi E, Alisjahbana B, Rudiman I, Sudjana P, Jusuf H, Gambaran klinik penderita demam berdarah yang dirawat di Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUP-RSHS, karya tulis akhir, pendidikan dokter spesialis I, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, 2002 Fresh, J. W., C. C. Tsai, et al. (1971). "A leptospirosis study in South Sumatra and Bangka Island, Indonesia." Southeast Asian J Trop Med Public Health 2(1): 22-4. Gasem, M. H., H. L. Smits, et al. (2002). "Evaluation of a simple and rapid dipstick assay for the diagnosis of typhoid fever in Indonesia." J Med Microbiol 51(2): 173-7. Giriputro, S., R. Agus, et al. (2008). "Clinical and epidemiological features of patients with confirmed avian influenza presenting to Sulianti Saroso Infectious Diseases Hospital, Indonesia, 2005-2007." Ann Acad Med Singapore 37(6): 454-7. Hartantri Y, Wisaksana R, Jusuf H, Sudjana P. (2008) Gambaran kasus leptospirosis di Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUP-RSHS. Presentasi dalam Konas Petri 2008, Samarinda. Hoffner, R. J., E. Slaven, et al. (2000). "Emergency department presentations of typhoid fever." J Emerg Med 19(4): 317-21. Hooker, E. A. and H. Houston (1996). "Screening for fever in an adult emergency department: oral vs tympanic thermometry." South Med J 89(2): 230-4. Ingarfield, S. L., A. Celenza, et al. (2007). "Outcomes in patients with an emergency department diagnosis of fever of unknown origin." Emerg Med Australas 19(2): 105-12.

Kunin, C. M. and Y. C. Liu (2002). "Excessive use of antibiotics in the community associated with delayed admission and masked diagnosis of infectious diseases." J Microbiol Immunol Infect 35(3): 141-6. Laferl, H. (1997). "Pleural effusion and ascites on return from Pakistan." Lancet 350(9084): 1072. Lawrence, Y. R., D. Raveh, et al. (2007). "Extreme leukocytosis in the emergency department." Qjm 100(4): 217-23. Lee, I. K., J. W. Liu, et al. (2008). "Clinical and laboratory characteristics and risk factors for fatality in elderly patients with dengue hemorrhagic fever." Am J Trop Med Hyg 79(2): 14953. Levett, P. N. (1999). "Leptospirosis: re-emerging or re-discovered disease?" J Med Microbiol 48(5): 417-8. Levett, P. N. (2001). "Leptospirosis." Clin Microbiol Rev 14(2): 296-326. Marco, C. A., C. N. Schoenfeld, et al. (1995). "Fever in geriatric emergency patients: clinical features associated with serious illness." Ann Emerg Med 26(1): 18-24. Nelwan, E. J., R. H. Nelwan, et al. (2008). "Intraperitoneal multi abscess." Acta Med Indones 40(3): 159-60. Nelwan, R. H., K. Chen, et al. (2006). "Open study on efficacy and safety of levofloxacin in treatment of uncomplicated typhoid fever." Southeast Asian J Trop Med Public Health 37(1): 126-30. Oill, P. A., S. M. Roser, et al. (1976). "Infectious disease emergencies. Part III: Patients presenting with respiratory distress syndromes." West J Med 125(6): 452-78. Pastoor, R., M. Hatta, et al. (2008). "Simple, rapid, and affordable point-of-care test for the serodiagnosis of typhoid fever." Diagn Microbiol Infect Dis 61(2): 129-34. Pribadi, W., I. Sutanto, et al. (1998). "Malaria situation in several villages around Timika, south central Irian Jaya, Indonesia." Southeast Asian J Trop Med Public Health 29(2): 22835. Ratnawati, M. Hatta, et al. (2008). "Point-of-care testing for malaria outbreak management." Trans R Soc Trop Med Hyg 102(7): 699-704. Kusriastuti R. (2007) Policy of National Malaria Control program in Indonesia, presented at the PETRI congress, Bandung. Shimoni, Z., M. Niven, et al. (2008). "Increased complaints of fever in the emergency room can identify influenza epidemics." Eur J Intern Med 19(7): 494-8. Thulkar, S., S. Sharma, et al. (2000). "Sonographic findings in grade III dengue hemorrhagic fever in adults." J Clin Ultrasound 28(1): 34-7. Tjitra, E., S. Suprianto, et al. (2001). "Therapy of uncomplicated falciparum malaria: a randomized trial comparing artesunate plus sulfadoxine-pyrimethamine versus sulfadoxinepyrimethamine alone in Irian Jaya, Indonesia." Am J Trop Med Hyg 65(4): 309-17. Tran, T. H., T. L. Nguyen, et al. (2004). "Avian influenza A (H5N1) in 10 patients in Vietnam." N Engl J Med 350(12): 1179-88.

van den Bergh, E. T., M. H. Gasem, et al. (1999). "Outcome in three groups of patients with typhoid fever in Indonesia between 1948 and 1990." Trop Med Int Health 4(3): 211-5. Wu, T. S., F. Y. Shih, et al. (2008). "Establishing a nationwide emergency department-based syndromic surveillance system for better public health responses in Taiwan." BMC Public Health 8: 18.

Anda mungkin juga menyukai